Anda di halaman 1dari 8

Biografi Singkat Prof.

Sartono Kartodirjo

Sebagai awal pembahasan, penting rasanya untuk mengetahui biografi singkat Prof. Sartono
Kartodirjo. Karena latar belakang kehidupan seseorang akan memperlihatkan bagaimana orang
tersebut menulis karyanya.

Prof. Sartono Kartodirjo lahir di Wonogiri 15 Februari 1921 dari pasangan Tjitrosarojo dan
Sutiya. Beliau adalah Guru Besar Ilmu Sejarah pada Universitas Gadjah Mada dan pernah
menjadi anggota Dewan Riset Nasional. Pendidikan formal pertama kali dirasakan ketika Prof.
Sartono berumur enam tahun, ia memasuki pendidikan formal di HIS Wonogiri. Menurut
keterangan dari buku biografi beliau yang ditulis M. Nursam, semenjak kecil Prof. Sartono
dibiasakan hidup disiplin.(Nursam, membuka pintu hal 24-25). Saat duduk dikelas VI HIS
kuartal II, ia pindah dari Wonogiri ke Surakarta. Selesai dari HIS, pada 1934 ia melanjutkan
studinya di MULO, namun karena nilai yang diperoleh sangat baik, pada 1936 pindah dari
MULO ke HIK Kolose Xaverius (Hollands Inlandsche Kweekschool) yakni sekolah menengah
guru yang didirikan oleh Romo van Lith, misionaris yang datang ke Hindia Belanda tahun 1896.
(Makrus Ali). Pada tahun 1941 Sartono Kartodirdjo tamat sekolah Guru Xaverius di Muntilan,
Jawa Tengah, dan melanjutkan karirnya sebagai guru di Salatiga dengan mengajar di HIS swasta
dengan status disamakan. (nurhayati) Pada 1950 Prof. Sartono melanjutkan studi dengan kuliah
di jurusan Sejarah Universtias Indonesia. Dipilihnya melanjutkan studi di Jakarta antara lain
karena beliau mendapat kesempatan mengajar di SMP Van Lith di Gunung Sahari Jakarta.
(nurhayati hal. 23)

Tamat dari jurusan Sejarah Universitas Indonesia tahun 1956, ia memilih menjadi Dosen jurusan
sejarah di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Setelah beberapa lama menjadi dosen, beliau
mendapatkan kesempatan beasiswa untuk melanjutkan studinya. Akhirnya sekitar tahun 1962
Sartono Kartodirjo bersama istrinya berangkat ke Amerika melanjutkan studi dan setelah dua
tahun ia memperoleh gelar MA dari Yale University, Amerika Serikat dibawah bimbingan Prof.
Hary J. Benda. Selesai dari Yale University, beliau melanjutkan studi nya ke Belanda dengan
membawa rekomendasi dari Prof. Hary J. Benda. Dan akhirnya pada tahun 1966 meraih gelar
doktor dari Universitas Amsterdam dengan promotor Prof. Wertheim dari Departemen of
Sociology and Modern History of Southeast Asia, Universitas Amsterdam dengan disertasi yang
berjudul The Peasants’ Revolt of Bantam in 1888 berhasil dipertahankan dengan predikat cum
laude. Karya tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan Judul Pemberontakan
Petani Banten 1888. Karya tersebut kelak akan dikenal sebagai Turning Point Historiografi
Indonesia dengan pendekatan multidimensi. Sekembalinya ke Indonesia beliau mengeluarkan
daya upayanya untuk mengembangkan kajian sejarah yang saintifik dan modern (nurhayati hal.
26) ). Sartono Kartodirdjo kembali mengambil kendali sebagai ketua Jurusan Sejarah di UGM
yang ditinggal sebelumnya pada tahun 1962 ketika Sartono Kartodirdjo ke Amerika.
Pembenahan dan pengembangan akademik memang menjadi prioritas utama, karena tradisi ilmu
sejarah di Indonesia masih sangat baru dan belum ada model yang bisa dijadikan rujukan. Dari
sinilah tradisi keilmuan sejarah diperguruan tinggi di Universitas Gadjah Mada khususnya dan
Indonesia pada umumnya mulai dikembangkan oleh Sartono Kartodirdjo. (nurhayati hal. 27).
Prof. Sartono Kartodirjo tutup usia pada 7 Desember 2007, dalam usia 85 tahun. Menurut
cucunya yang bernama Nandito, pesan terakhir yang disampaikan Prof. Sartono adalah dalam
hidup seorang akademisi jangan meniru pohon pisang yang hanya berbuah sekali, lantas mati.
Seorang akademisi haruslah selalu mengembangkan keilmuwannya terus menerus. (detik news.)

Pengalaman dalam jabatan forum ilmiah antara lain Ketua Umum Seminar Sejarah Nasional II
(1970); President International Conference of International Association for History of Asia
(IAHA) 1971-1974; aktif dalam berbagai konferensi IAHA di Singapura (1961); Kuala Lumpur
(1968), dan Manila (1971); Oriental Congres di Canberra (1971) dan Paris (1973); serta
mengikuti Seminar on Peasant Organization di New York, Amerika Serikat (1975).

Beliau Termasuk sejarawan yang memiliki segudang reputasi nasional maupun internasional. Ia
seorang yang produktif. Banyak karya tulis ilmiah beliau yang diterbitkan di dalam maupun di
luar negeri. Beliau juga sering menulis dalam media massa maupun jurnal-jurnal ilmiah. Di
antara karya-karyanya antara lain :

1. Agrarian Radicalism dalam Claire Holt(ed.), Culture and Politics, Ithaca, Cornel
University Press, 1972;
2. Protesr Movement in Rural Java. A Study of Agrarian Unrest in the Nineteenth and
Early Twentieth Centuries, Oxford University Press, 1973;
3. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia suatu Alternatif, Gramedia,
Jakarta, 1982;
4. Masyarakat Kuno dan Kelompok-Kelompok Sosial, Bhatara Karya Aksara, 1947;
5. Elite dalam Perspektif Sejarah,LP3ES, Jakarta, 1981;
6. Ratu Adil, Sinar Harapan, Jakarta 1984;
7. Modern Indonesia Traditional & Transportation A Social-History Perspective,
Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1984;
8. Ungkapan-Ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan Timur, Jakarta, Gramedia, 1986;
9. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900; Dari Emporium Sampai Imperium, Jilid
1, Jakarta, Gramedia, 1987;
10. Pengantar Sejarah Indonesia Baru; Sejarah Pergerakan Nasional, Jilid 2, Jakarta,
Gramedia, 1991;
11. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta, Gramedia, 1992.

Sartono Kartodirjo dan buku “Pemberontakan Petani Banten 1888”

Pada bagian ini akan diuraikan tinjauan historiografi karya Prof. Sartono Kartodirjo yang
berjudul “Pemberontakan Petani Banten 1888”. Dalam menganalisis pemberontakan petani
Banten tahun 1888, Prof. Sartono mengawalinya dengan pertanyaan pokok yang merupakan
rumusan masalah dari penelitiannya, yaitu dari lapisan mana saja kah peserta gerakan itu
diangkat dan digerakkan? Dari lapisana mana saja para pemimpinnya? Dan bagaimana
kedudukan sosial ekonomi mereka pada umumnya? (sartono kartodirjo, 1984:34)

Mengapa penting untuk merumuskan “pertanyaan pokok”? Menurut Taufik Abdullah,


pengerjaan sejarah sebagai usaha rekonstruksi masa lalu hanyalah mungkin dilakukan apabila
“pertanyaan pokok” telah dirumuskan. Dalam usah amencari jawaban terhadap pertanyaan
pokok itulah ukuran penting atau tidaknya bisa didapatkan. (taufik abdu;;aj 1985: xii)

Akhirnya untuk menjawab pertanyaan pokok pada peristiwa pemberontakan petani Banten tahun
1888, Prof. Sartono kemudian mengkaji dengan melihat struktur. Untuk menjelaskan peristiwa
itu, Prof. Sartono menggunakan alat bantu dari teori-teori ilmu sosial. Dengan demikian model
penulisan sejarah ini mem[erlihatkan suatu penulisan sejarah ilmiah. Bahkan karya beliau ini
dapat disebut sebagai “turning point” historiografi Indonesia yang menggunakan pendekatan
multi-dimensi.

Pendekatan yang dilakukan Prof. Sartono dalam menganalisis peristiwa sejarah merupakan
pendekatan yang dilakukan oleh aliran Analles School. Aliran ini bermula merupakan
sekelompok sejarawan di Perancis yang menerbitkan suatu jurnal ilmiah yang bernama Analles:
economies, societes, civilization. Kelompok ini didirikan oleh Lucien Febre dan Marc Bloch
pada tahun 1929. Karakteristik peikiran aliran ini ialah bahwa sejarawan dalam penulisannya
harus mengurngai penekanan kebiasan naratif khususnya yang bersifat politik, kejadian atau
peristiwa yang bersifat kronologis, dan harus lebih banyak menekankan pada analisis, struktur
dan kencenderungan. Kelompok ini juga percaya bahwa pendekatan sejarah dari aspek ekonomi,
sosial kultural dan politik harus diintegrasikan ke dalam “sejarah total” sehingga sejarawan
membutuhkan bantuan ilmu-ilmu sosial. (agus mulayna : hal. 125)

Teori ilmu sosial yang dipakai Prof. Sartono dalam menjelaskan pemberontakan yaitu sosiologi
Neil J. Smelser. Teori Smelser yang dipakai yaitu Theory of Colective Behavior. Dalam hal ini
pemberontakan diartikan sebagai perilaku kolektif. Menurut Smelser perilaku kolektif adalah
tingkah laku yang bertujuan mengubah lingkungan sosial, yang didasari pada keyakinan tertentu
bahwa situasi perlu dan dapat diubah.

Dalam usaha melihat faktor-faktor penyebab pemberontakan, Prof. Sartono menggunakan


determinan dari teori nya Smelser, yaitu: (1) Structural conducifness; (2) Structural strain; (3)
Generalized believe; (4) Mobilization for Action; (5) Precipitating factor; (6) Lack social control.

Sartono Kartodirjo dalam melihat faktor penyebab pemberontakan petani Banten sebagai suatu
determinan penyebab yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Ada hubungan
sebab akibat antar faktor tersebut , yang dalam eksplanasisejarah menurut Angkersmit disebut
Kausalitas (angkersmith, 1987:161).

Untuk mencari determinan penyebab pemberontakan, terlebih dahulu Prof. Sartono melihat
kondisi sosial ekonomi Banten pada awal abad ke XIX. Walaupun Banten merupakan suatu
wilayah yang dikelilingi oleh pantai, akan tetapi faktor agraris menjadi aset ekonomi yang
penting bagi wilayah tersebut. Sebagaimana lazimnya wilayah agraris, faktor tanah merupakan
faktor yang penting bagi kesejahteraan penduduknya.

Di Banten pada masa itu terdapat tanah yang dianugerahkan oleh Sultan yang dinamakan sawah
ganjaran atau pustaka laden. Istilah jenis ini bisa berbeda-beda sesuai dengan orang yang
menerima hadiah yaitu kawargaan, jika tanah itu diberikan kepada anak Sultan dari istri-istrinya
yang sah; kanayakan jika diberikan kepada anak-anak Sultan dari selirnya atau kepada orang-
orang kesayangan Sultan; Pangawulaan,jika dihadiahkan kepada pejabat-pejabat yang selama
masa jabatan mereka (sarttonom 1984: 59-60). Sedangkan rakyat banyak yang menjadi pekerja
pada tanah-tanah tersebut.

Pada masa Daendels 1808 pemilikan tanah Sultan dihapuskan, sedangkan pada masa Raffles
tanah pusaka dipungut pajaknya dalam bentuk sewa tanah. Mereka yang memiliki tanah pusaka
tersebut mendapat ganti rugi. Kebijakan seperti ini ternyata tidak memberikan kepuasan terhadap
anggota kerabat dan pejabat-pejabat Sultan, karena banyak dikorupsi oleh para pamongpraja
(hlm. 61)

Kedudukan petani atau rakyat biasa pada masa kesultanan banyak yang menyerahkan tenaganya
untuk bekerja pada tanah-tanah psuaka, menjadi pelayan rumah dengan status abdi. Bahkan para
abdi ini banyak pula yang mengerjakan fasilitas umum, seperti pembuatan jalan dan sebagainya.
Setelah kesultanan dihapuskan pada tahun 1810, hak dan kewajiban para petani tidak berubah.
Bahkan para petani ini banyak yang dipekerjakan secara paksa pada tanah-tanah yang dimiliki
oleh para Aristokrat. Keadaan seperti ini menjadi beban penderitaan bagi petani.

Perubahan kondisi sosial ekonomi lebih banyak diakibatkan oleh masuknya model ekonomi
barat yang kemudian diterapkan pada administrasi pemerintahan. Perubahan pola administrasi
dari tradisional ke modern ini banyak menimbulkan sumber konflik. Tinjauan terhadap kondisi
sosial ekonomi ini merupakan upaya Prof. Sartono untuk melihat determinan penyebab dari
structural condusifness.

Pemerintah kolonial mendasarkan mekanisme administrasinya pada model barat dan mengubah
sebagian dari personil Sultan atau anggota keluarga menjadi birokrat. Pada mulanya pemerintah
kolonial merekrut pejabat-pejabat pemerintahan dari golongan bangsawan, dengan harapan dapat
memudahkan hubungan dengan rakyat. Akan tetapi praktiknya tidak efektif diakibatkan banyak
korupsi. Kemudian pemerintah kolonial merubah kebijakan dengan cara merekrut mereka yang
benar-benar profesional dalam pemerintahan kolonial (hlm. 77-78). Selain itu pula semakin
meningkatnya pengawasan politik dari pihak Belanda telah menimbulkan rasa tersingkir di
kalangan kaum elite agama dengan golongan bangsawan (hlm. 35). Hal ini diperlihatkan oleh
Prof. Sartono dengan tampilnya Kyai Haji Tubagus Ismail. Dia adalah bangsawan Banten yang
bersama-sama pemimpin agama memimpin pemberontakan(hlm. 263-265). Penggambaran Prof.
Sartono terhadap kondisi konflik yang menimbulkan ketegangan antara elite politik dan elite
agama terhadap penjajahan, ini merupakan penjelasan terhadap determinan penyebab structural
strain.

Banten dikenal masyarakatnya fanatik beragama Islam. Kesultanan Banten didirikan pada tahun
1520 oleh pendatang-pendatang yang beragama Islam dari Demak. Sebagaimana lazimnya di
pulau Jawa, penyebaran Islam melalui pesantren-pesantren dan jama’ah tarekat. (hlm. 222). Di
pesantren selain dididik pengetahuan keagamaan juga kepada para santrinya ditanamkan
semangat anti penjajah.

Semangat keagamaan pun ditanamkan melalui gerakat tarekat. Gerakan ini merupakan alat yang
baik sekali untuk mengorganisasikan gerakan keagamaan dan menyelenggarakan indoktrinasi
tentang cita-cita kebangkitan kembali. Di Pulau Jawa pada abad XIX hanya ada tiga tarekat,
yaitu: Naksabandiyah, Kadariyah, dan Syatariyah. Tarekat ini melakukan perluasan pengaruhnya
dengan jalan memperbanyak pengikut dan menyalurkan semua otoritas ke tangan guru tarekat.
Di lembaga ini ditanamkan pembentukan solidaritas kelompok melalui revitalisasi ritual-ritual
dan upcara religio-mistik(hal,. 222-226).

Pada saat terjadi pemberontakan, pesantren dan gerakan tarekat punya peran yang bisa dibilang
strategis yaitu sebagai sarana mobilisasi dan penyaluran massa. Analisinya Prof. Sartono
terhadap pesantren dan gerakan tarekan merupakan upaya mencari determinan penyebab
mobilization for action

Precipitating factor sebagai penyebab determinan pemercepat pemberontakan, Prof. Sartono


melihat ada ambruknya tatanan tradisional dan gejala yang menyertainya yakni keresahan sosial
yang terus menerus, telah mendorong peningkatan kegiatan keagamaan. Tahap perkembangan
yang telah dicapau dalam tahun 1880an mengisyaratkan bahwa gerakan keagamaan itu berusaha
untuk membenarkan aspirasi-aspirasi politik. Dan di satu pihak terhadap rasa ketersingkiran
politik dan di lain pihak terdapat reafirmasi tradisi. Masyarakat kaum elit agama, yang telah
kehilangan hak-hak mereka di bidang politik, bertindak sebagai sebuah golongan protes, yang
menentang lembaga-lembaga baru (hlm.208)

Dalam suatu pemberontakan baisanya terdapat suatu sistem nilai yang turut memberikan
semangat secara spiritual terhadap meledaknya pemberontakan. Dalam kasus pemberontakan
Banten, Prof Sartono melihat determinan penyebab ini dengan timbulnya semangat Perang Sabil.
Ambruknya tatanan sosial kesultanan akibat penetrasi kolonial, mengakibatkan timbulnya cita-
cita masyarakat untuk membangun kembali tatanan lama yang telah ambruk dalam bentuk
harapan akan kedatangan Mahdi (hlm.232). Perang jihad sebagai upaya untuk membangun Dar
al-Islam dalam amnigestasi kesultana lama (hlm.235). Identifikasi terhadap fenomena datangnya
mahdi atau sering disebut Ratu Adil merupakan analisis dari Prof. Sartono dalam mencari
deteminan generalized believe.

Pengawasan yang ketat terhadap gerak langkah para elite agama oleh pemerinitah kolonial,
tidaklah membuat sikap para elite agama dalam hal semangat keagamaan terhadap masyarakat
berhenti. Di antara para pemimpin elite keagamaan sering melakukan pertemuan-pertemuan
informal untuk membahas rencana pemberontakan, misalnya melalui pernikahan, sunatan dan
acara lain-lain (hlm289).

Pertemuan informal elite agama tersebut merupakan indikator dari determinan lack social
control. Artinya pemerintah kolonial kurang melakukan kontrol sosial terhadap pertemuan-
pertemuan para elite agama tersebut yang membicarakan persiapan pemberontakan.

Dengan menganalisis historiogradi terhadap karya Prof. Sartono Kartodirdjo tersebut, penulis
melihat bahwa Prof. Sartono Kartodirdjo dalam menganalisis Pemberontakan Banten 1888,
seluruh determinan penyabab pemberontakan dari teori perlaku kolektif Smelser dapat
diterapkan.
SUMBER

M.Nursam, Membuka Pintu Bagi Masa Depan: Biografi Sartono Kartodirdjo, 2008,
Jakarta: Kompas

Nurhayati, N. (2018). Kontribusi Sartono Kartodirdjo Dalam Historiografi Indonesia Modern (Skripsi,


Universitas Islam Negeri" SMH" Banten). Diakses dari http://repository.uinbanten.ac.id/3281/

Sartono Kartodirdjo (1984). Pemberontakan Petani Banten 1888, Jakarta: Pustaka Jaya.

Angkersmith. 1987. Refleksi Sejarah pendapat-pendapat modern filsafat sejarah,


terjemahan Dick Hartoko, Jakarta: Gramedia

Internet

Makrus Ali, Sartono Kartodirdjo dan Terbentuknya Mazhab Bulak Sumur : Tinjauan Dalam Sejarah
Historiografi Indonesia. Http://www.academia.edu/6967400/Sartono_Kartodirdjo. Diakses pada 20
Oktober 2018 pukul 7:21 WIB.

Anda mungkin juga menyukai