Anda di halaman 1dari 54

ASUHAN KEPEPERAWATAN GAWAT DARURAT

DENGAN OBSTRUKSI & TRAUMA


SALURAN KEMIH

DISUSUN OLEH:

RATIH KUSUMANING PUSPITA

10.895

AKADEMI KESEHATAN ASIH HUSADA


PRODI KEPERAWATAN
SEMARANG
2012
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas karunia,
rahmat, dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini.Dengan
terselesaikannnya makalah ini, diharapkan dapat memperluas dan menambah
wawasan para pembaca.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah


membantu selesainya makalah ini.Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada
:

1. I Made Adi P, S.Kep selaku koordinator IGD


2. Adi Daru.P ,S.Kep selaku dosen pengampu
3. Teman-teman dan seluruh pihak yang terkait

Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.Penulis


menyadari bahwa makalah ini masih terdapat beberapa kekurangan. Oleh karena
itu, penulis mengharap kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Semarang, Desember 2012

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam kehidupan sehari-hari, kebutuhan akan berkemih selalu


menjadi kebutuhan yang sangat vital bagi kita.Karena berkemih adalah
membuang sisa-sisa cairan dan zat-zat yang tidak sudah berguna bagi
tubuh. Namun, jika kebutuhan akan berkemih mengalami gangguan maka
tubuh akan mengalami sakit. Salah satunya adalah dapat mengalami
obstruksi system perkemihan.

Trauma saluran kemih sering tak terdiagnosa atau terlambat


terdiagnosa karena perhatian penolong sering tersita oleh jejas-jejas ada di
tubuh dan anggota gerak saja, kelambatan ini dapat menimbulkan
komplikasi yang berat seperti perdarahan hebat dan peritonitis, oleh karena
itu pada setiap kecelakaan trauma saluran kemih harus dicurigai sampai
dibuktikan tidak ada.

Trauma saluran kemih sering tidak hanya mengenai satu organ


saja, sehingga sebaiknya seluruh sistem saluran kemih selalu ditangani
sebagai satu kesatuan. Juga harus diingat bahwa keadaan umum dan tanda-
tanda vital harus selalu diperbaiki/dipertahankan, sebelum melangkah ke
pengobatan yang lebih spesifik.

Oleh karena itu, di dalam makalah ini penulis tertarik untuk


mengetahui dan membahas lebih lanjut bagaimana Asuhan keperawatan
pada klien dengan kondisi obtruksi dan trauma pada saluran kemih.
B. TUJUAN

1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tentang asuhan keperawatan
kegawatdaruratan pada saluran kemih

2. Tujuan Khusus
 Untuk mengetahui tentang obstruksi saluran kemih
 Untuk mengetahui tentang trauma saluran kemih
BAB II
TINJAUAN TEORI

 OBSTRUKSI SALURAN KEMIH


ASUHAN KEPERAWATAN RENTENSI URINE
A. Definisi
Retensio urine adalah kesulitan miksi karena kegagalan urine dari fesika
urinaria. (Kapita Selekta Kedokteran). Retensio urine adalah tertahannya urine
di dalam akndung kemih, dapat terjadi secara akut maupun kronis. (Depkes RI
Pusdiknakes 1995).
Retensio urine adlah ketidakmampuan untuk melakukan urinasi
meskipun terdapat keinginan atau dorongan terhadap hal tersebut. (Brunner &
Suddarth). Retensio urine adalah sutau keadaan penumpukan urine di kandung
kemih dan tidak punya kemampuan untuk mengosongkannya secara sempurna.
(PSIK UNIBRAW).

B. Etiologi
Adapun penyebab dari penyakit retensio urine adalah sebagai berikut:
a. Supra vesikal berupa kerusakan pada pusat miksi di medulla spinallis S2 S4
setinggi T12 L1. Kerusakan saraf simpatis dan parasimpatis baik sebagian
ataupun seluruhnya, misalnya pada operasi miles dan mesenterasi pelvis,
kelainan medulla spinalis, misalnya miningokel, tabes doraslis, atau spasmus
sfinkter yang ditandai dengan rasa sakit yang hebat.
b. Vesikal berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang, atoni pada
pasien DM atau penyakit neurologist, divertikel yang besar.
c. Intravesikal berupa pembesaran prostate, kekakuan leher vesika, striktur,
batu kecil, tumor pada leher vesika, atau fimosis.
d. Dapat disebabkan oleh kecemasan, pembesaran porstat, kelainan patologi
urethra (infeksi, tumor, kalkulus), trauma, disfungsi neurogenik kandung
kemih.
e. Beberapa obat mencakup preparat antikolinergik antispasmotik (atropine),
preparat antidepressant antipsikotik (Fenotiazin), preparat antihistamin
(Pseudoefedrin hidroklorida = Sudafed), preparat penyekat β adrenergic
(Propanolol), preparat antihipertensi (hidralasin).

C. Patofisiologi
Pada retensio urine, penderita tidak dapat miksi, buli-buli penuh
disertai rasa sakit yang hebat di daerah suprapubik dan hasrat ingin miksi
yang hebat disertai mengejan. Retensio urine dapat terjadi menurut lokasi,
factor obat dan factor lainnya seperti ansietas, kelainan patologi urethra,
trauma dan lain sebagainya. Berdasarkan lokasi bisa dibagi menjadi supra
vesikal berupa kerusakan pusat miksi di medulla spinalsi menyebabkan
kerusaan simpatis dan parasimpatis sebagian atau seluruhnya sehingga tidak
terjadi koneksi dengan otot detrusor yang mengakibatkan tidak adanya atau
menurunnya relaksasi otot spinkter internal, vesikal berupa kelemahan otot
detrusor karena lama teregang, intravesikal berupa hipertrofi prostate, tumor
atau kekakuan leher vesika, striktur, batu kecil menyebabkan obstruksi
urethra sehingga urine sisa meningkat dan terjadi dilatasi bladder kemudian
distensi abdomen. Factor obat dapat mempengaruhi proses BAK,
menurunkan tekanan darah, menurunkan filtrasi glumerolus sehingga
menyebabkan produksi urine menurun. Factor lain berupa kecemasan,
kelainan patologi urethra, trauma dan lain sebagainya yang dapat
meningkatkan tensi otot perut, peri anal, spinkter anal eksterna tidak dapat
relaksasi dengan baik. Dari semua factor di atas menyebabkan urine
mengalir labat kemudian terjadi poliuria karena pengosongan kandung
kemih tidak efisien. Selanjutnya terjadi distensi bladder dan distensi
abdomen sehingga memerlukan tindakan, salah satunya berupa kateterisasi
urethra
D. Tanda dan gejala
Adapun tanda dan gejala atau menifestasi klinis pada penyakit ini adalah
sebagai berikut:
a. Diawali dengan urine mengalir lambat.
b. Kemudian terjadi poliuria yang makin lama menjadi parah karena
pengosongan kandung kemih tidak efisien.
c. Terjadi distensi abdomen akibat dilatasi kandung kemih.
d. Terasa ada tekanan, kadang terasa nyeri dan merasa ingin BAK. e.Pada
retensi berat bisa mencapai 2000 -3000 cc.

E. Pemeriksaan diagnostik

Adapun pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan pada retensio urine


adalah sebagai berikut:

Pemeriksaan specimen urine.


 Pengambilan: steril, random, midstream.
 Penagmbilan umum: pH, BJ, Kultur, Protein, Glukosa, Hb, KEton, Nitrit.
 Sistoskopy, IVP.

F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada retensio urine adalah sebagai
berikut:
a. Kateterisasi urethra.
b. Dilatasi urethra dengan boudy.
c. Drainage suprapubik.

KONSEP KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN RETENSIO URINE


1. PENGKAJIAN
a. Identitas klien
b. Riwayat kesehatan umum, Riwayat kesehatan keluarga,Riwayat
kesehatan klien
c. Riwayat kesehatan sekarang
 Bagaimana frekuensi miksinya
 Adakah kelainan waktu miksi
 Apakah rasa sakit terdapat pada daerah setempat atau secara umum
 Apakah penyakit timbul setelah adanya penyakit lain
 Apakah terdapat mual muntah atau oedema
 bagaimana keadaan urinya
 Adakah secret atau darah yang keluar
 Adakah hambatan seksual
 Bagaimana riwayat menstruasi
 Bagaimana riwayat kehamilan
 -Rasa nyeri
d. Data fisik Inpeksi : seluruh tubuh dan daerah genital
Palpasi : pada daerah abdomen
Auskultasi : kuadran atas abdomen dilakukan untuk mendeteksi bruit
- Tingkat kesadaran
- TB, BB
- TTV
e. Data psikologis
 Keluhan dan reaksi pasien terhadap penyakit
 Tingkat adaptasi pasien terhadap penyakit
 Persepsi pasien terhadap penyakit
f. Data social, budaya, spiritual Umum : hubungan dengan orang lain,
kepercayaan yang dianut dan keaktifanya dalam kegiatan
2. DIAGNOSA
a. Retensi urin b.d ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi
dengan adekuat.
b. Gangguan rasa nyaman: nyeri
c. Intoleransi aktivitas
d. Ansietas b.d krisis situasi
3. PERENCANAAN
1. Retensi urin b.d ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi
dengan adekuat.
Kriteria evaluasi : - Berkemih dengan jumlah yang cukup
- Tidak teraba distensi kandung kemih

Intervensi Rasional
1. Dorong pasien utnuk berkemih tiap 2-4 jam1. Meminimalkan retensi urin distensi
dan bila tiba-tiba dirasakan. berlebihan pada kandung kemih.
2. Tanyakan pasien tentang inkontinensia 2. Tekanan ureteral tinggi menghambat
stres. pengosongan kandung kemih.
3. Observasi aliran urin, perhatikan ukuran 3. Berguna untuk mengevaluasi obsrtuksi dan
dan ketakutan. pilihan intervensi.
4. Awasi dan catat waktu dan jumlah tiap 4. Retensi urin meningkatkan tekanan dalam
berkemih.. saluran perkemihan atas.
5. Perkusi/palpasi area suprapubik 5. Distensi kandung kemih dapat dirasakan
diarea suprapubik.

2. Gangguan rasa nyaman: nyeri


Kriteria evaluasi :
 Menyatakan nyeri hilang/ terkontrol
 Menunjukkan rileks, istirahat dan peningkatan aktivitas dengan
tepat

Intervensi Rasional
1. Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas 1. Memberikan informasi untuk membantu
nyeri. dalam menetukan intervensi.
2. Plester selang drainase pada paha dan 2. Mencegah penarikan kandung kemih dan
kateter pada abdomen. erosi pertemuan penis-skrotal.
3. Pertahankan tirah baring bila diindikasikan.3. Tirah baring mungkin diperlukan pada awal
4. Berikan tindakan kenyamanan selama fase retensi akut.
4. Meningktakan relaksasi dan mekanisme
5. Dorong menggunakan rendam duduk, sabun koping.
hangat untuk perineum. 5. Meningkatkan relaksasi otot.

3. Intoleransi aktivitas
Kriteria evaluasi :
- Menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas yang dapat
diukur dengan tidak adanya dispnea, kelemahan, tanda vital dalam
rentang normal.
Intervensi Rasional
1. Evaluasi respon klien terhadap aktivitas. 1. Menetapkan kemampuan/kebutuhan pasien
dan memudahkan pilihan intervensi.
2. Berikan lingkungan tenang dan batasi 2. Menurunkan stres dan rangsangan
pengunjung selama fase akut sesuai berlebihan, meningkatkan istirahat.
indikasi.
3. Jelaskna pentingnya istirahat dalam rencana3. Tirah baring dapat menurunkan kebutuhan
pengobatan dan perlunya keseimbangan metabolik, menghemat energi untuk
aktivitas dan istirahat. penyembuhan. Pembatasan aktivitas
ditentukan dengan respons individual pasien
terhadap aktivitas dan perbaikan kegagalan
pernapasan.

4. Bantu aktivitas perawatan diri yang 4. Meminimalkan kelelahan dan membantu


diperlukan. Berikan kemajuan peningkatan keseimbangan suplai dan kebutuhan
aktivitas selama fase penyembuhan. oksigen.
4. Ansietas b.d krisis situasi
Kriteria evaluasi :
- Mengakui dan mendiskusikan takut/masalah
- Menunjukkan rentang perasaan yang tepat dan penampilan wajah
tampak rileks/istirahat

Intervensi Rasional
1. Identifikasi persepsi pasien tentang 1. Mendefinisikan lingkup masalah individu
ancaman yang ada dari situasi. dan mempengaruhi pilihan intervensi.
2. Berguna dalam evaluasi derajat masalah
2. Observasi respon fisik,seperti gelisah, tanda khususnya bila dibandingkan dengan
vital, gerakan berulang. pernyataan verbal.
3. Memberikan kesempatan untuk menerima
3. Dorong pasien/orang terdekat untuk masalah, memperjelas kenyataan takut dan
mengakui dan menyatakan rasa takut. menurunkan ansietas.
4. Memberikan kayakinan untuk membantu
ansietas yang tak perlu.
4. Identifikasi pencegahan keamanan yang
diambil, seperti marah dan suplai
oksigen. Diskusikan.
ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN UROLITHIASIS
A. DEFINISI

Urolithiasis adalah suatu keadaan terjadinya penumpukan oksalat, calculi


(batu ginjal) pada ureter atau pada daerah ginjal. Urolithiasis terjadi bila batu
ada di dalam saluran perkemihan. Batu itu sendiri disebut calculi. Pembentukan
batu mulai dengan kristal yang terperangkap di suatu tempat sepanjang saluran
perkemihan yang tumbuh sebagai pencetus larutan urin. Batu dalam
perkemihan berasal dari obstruksi saluran kemih, obstruksi mungkin terjadi
hanya parsial atau lengkap. Obstruksi yang lengkap bisa menjadi hidronefrosis
yang disertai tanda-tanda dan gejala-gejalanya.

Calculi bervariasi dalam ukuran dan dari fokus mikroskopik sampai


beberapa centimeter dalam diameter cukup besar untuk masuk dalam velvis
ginjal. Gejala rasa sakit yang berlebihan pada pinggang, nausea, muntah,
demam, hematuria. Urine berwarna keruh seperti teh atau merah.

B. ETIOLOGI
Faktor – faktor yang mempengaruhi pembentukan batu:
a. Faktor Endogen
Faktor genetik, familial, pada hypersistinuria, hiperkalsiuria dan
hiperoksalouria.
b. Faktor Eksogen
Faktor lingkungan, pekerjaan, makanan, infeksi dan kejenuhan mineral
dalam air minum.
c. Faktor Lain
a) Infeksi
Infeksi Saluran Kencing (ISK) dapat menyebabkan nekrosis
jaringan ginjal dan akan menjadi inti pembentukan Batu Saluran
Kencing (BSK) Infeksi bakteri akan memecah ureum dan
membentuk amonium yang akan mengubah pH Urine menjadi
alkali.
b) Stasis dan Obstruksi Urine
Adanya obstruksi dan stasis urine akan mempermudah Infeksi
Saluran Kencing.
c) Jenis Kelamin
Lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding wanita dengan
perbandingan 3 : 1
d) Ras
Batu Saluran Kencing lebih banyak ditemukan di Afrika dan Asia.
e) Keturunan
Anggota keluarga Batu Saluran Kencing lebih banyak mempunyai
kesempatan
f) Air Minum
Memperbanyak diuresis dengan cara banyak minum air akan
mengurangi kemungkinan terbentuknya batu, sedangkan kurang
minum menyebabkan kadar semua substansi dalam urine
meningkat.
g) Pekerjaan
Pekerja keras yang banyak bergerak mengurangi kemungkinan
terbentuknya batu dari pada pekerja yang lebih banyak duduk.
h) Suhu
Tempat yang bersuhu panas menyebabkan banyak mengeluarkan
keringat.
i) Makanan
Masyarakat yang banyak mengkonsumsi protein hewani angka
morbiditas Batu Saluran Kencing berkurang. Penduduk yang
vegetarian yang kurang makan putih telur lebih sering menderita
Batu Saluran Kencing (buli-buli dan Urethra).
C. MANIFESTASI KLINIS

a. Disamping adanya serangan sakit hebat yang timbul secara mendadak


yang berlangsung sebentar dan kemudian hilang tiba-tiba untuk
kemudian, timbul lagi, disertai nadi cepat, muka pucat, berkeringat
dingin dan tekanan darah turun atau yang disebut kolik, dapat pula
disertai rasa nyeri yang kabur berulang-ulang di daerah ginjal dan rasa
panas atau terbakar di pinggang yang dapat berlangsung beberapa hari
sampai beberapa minggu.
b. Hematuri dapat juga terjadi apabila terdapat luka pada saluran kemih
akibat pergeseran batu.
c. Bila terjadi hydronefrosis dapat diraba pembesaran ginjal. Urin yang
keruh dan demam akan juga dialami penderita batu ginjal. Demam
menandakan infeksi penyerta. Jika terjadi penyumbatan saluran kemih
menyeluruh, suhu tubuh bisas mendadak tinggi berulang-ulang.
Anuria akan terjadi jika ada batu bilateral atau jika hanya ada satu
ginjal penderita.

D. PATOFOSIOLOGI

Batu dalam perkemihan berasal dari obstruksi saluran kemih, obstruksi


mungkin terjadi hanya parsial atau lengkap. Obstruksi yang lengkap bisa
menjadi hidronefrosis yang disertai tanda-tanda dan gejala-gejalanya.

Proses patofisiologisnya sifatnya mekanis. Urolithiasis merupakan


kristalisasi dari mineral dari matriks seputar, seperti pus, darah, jaringan yang
tidak vital, tumor atau urat. Peningkatan konsentrasi larutan urin akibat intake
cairan rendah dan juga peningkatan bahan-bahan 14mmoniu akibat ISK atau
urin statis, mensajikan sarang untuk pembentukan batu. Di tambah adanya
infeksi meningkatkan ke basahan urin (oleh produksi 14mmonium), yang
berakibat presipitasi kalsium fosfat dan magnesium 14mmonium fosfat.
Mekanisme pembentukan batu ginjal atau saluran kemih tidak diketahui
secara pasti, akan tetapi beberapa buku menyebutkan proses terjadinya batu
dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :

± Adanya presipitasi garam-garam yang larut dalam air seni, dimana


apabila air seni jenuh akan terjadi pengendapan.
± Adanya inti ( nidus ). Misalnya ada infeksi kemudian terjadi tukak,
dimana tukak ini menjadi inti pembentukan batu, sebagai tempat
menempelnya partikel-partikel batu pada inti tersebut.
± Perubahan pH atau adanya koloid lain di dalam air seni akan
menetralkan muatan dan meyebabkan terjadinya pengendapan.

Kecepatan tumbuhnya batu tergantung kepada lokasi batu,


misalnya batu pada buli-buli lebih cepat tumbuhnya disbanding dengan
batu pada ginjal. Selain itu juga tergantung dari reaksi air seni, yaitu batu
asam akan cepat tumbuhnya dalam urin dengan pH yang rendah.
Komposisi urin juga akan mempermudah pertumbuhan batu, karena
terdapat zat-zat penyusun air seni yang relatif tidak dapat larut. Hal lain
yang akan mempercepat pertumbuhan batu adalah karena adanya infeksi.

Batu ginjal dalam jumlah tertentu tumbuh melekat pada puncak


papil dan tetap tinggal dalam kaliks, yang sampai ke pyelum yang
kemudian dapat berpindah ke areal distal, tetap tinggal atau menetap di
tempat dimana saja dan berkembang menjadi batu yang besar.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis ditegakkan dengan studi ginjal, ureter, kandung kemih (GUK),
urografi intravena, atau pielografi rektrograde.Uji kimia darah dan urine 24
jam untuk mengukur kadar kalsium , asam urat, kreatinin, natrium, pH, dan
volume total merupakan bagian dari upaya diagnostik. Riwayat diet dan
medikasi serta riwayat adanya batu ginjal dalam keluarga didapatkan untuk
mengidentifikasi faktor yang mencetus terbentuknya batu pada pasien.
1) Airway
· Tidak ada benda asing / darah di rongga mulut
· Tidak ada obstruksi akibat fraktur
2) Breathing
· Nadi > 120 x permenit
· Pernapasan > 28 x permenit
· Pengisian kapiler > 3 detik
3) Circulation
· Tidak ada shock
· Urine out put < 50 cc perjam
· Daerah perifer dingin pucat

F. PENATALAKSANAAN
Tujuan dasar penatalaksanaan adalah untuk menghilangkan batu,
menentukan jenis batu, mencegah kerusakan nefron, mengendalikan infeksi,
dan mengurangi obstruksi yang terjadi.
 Pengurangan nyeri bertujuan untuk mengurangi nyeri sampai
penyebabnya dapat dihilangkan, morfin atau periden diberikan untuk
mencegah syok dan sinkop akibat nyeri yang luar biasa.Selain itu, dapat
juga dengan cara mandi air panas atau air hangat di area panggul.
 Pengangkatan batu dilakukan ketika batu ditemukan, analisis kimiawi
dilakukan untuk menentukan komposisisnya.Sebagai contoh, batu
kalsium oksalat atau kalsium fosfat biasanya menunjukkan adanya
gangguan metabolisme kalsium atau oksalat sedangkan batu urat
menunjukkan adanya gangguan metabolisme asam urat.Agens
antibacterial spesifik diberikan jika terjadi infeksi.

(AIRWAY) Jalan Napas

Setelah selesai melakukan prosedur dasar, kemudian dilanjutkan dengan


melakukkan tindakan :
1) Pemeriksaan jalan napas.
Tindakan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya sumbatan jalan
napas oleh benda asing. Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu,
kalau sumbatan berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk atau
jari tengah yang dilapisi dengan sepotong kain, sedangkan sumbatan oleh
benda keras dapat dikorek dengan menggunakan jari telunjuk yang
dibengkokkan. Mulut dapat dibuka dengan tehnik Cross Finger, dimana
ibu jari diletakkan berlawanan dengan jari telunjuk Pada mulut korban.

2) Membuka jalan napas.


Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing, biasa
pada korban tidak sadar tonus otot-otot menghilang, maka lidah dan
epiglotis akan menutup farink dan larink, inilah salah satu penyebab
sumbatan jalan napas. Pembebasan jalan napas oleh lidah dapat dilakukan
dengan cara Tengadah kepala topang dagu (Head tild – chin lift) dan
Manuver Pendorongan Mandibula. Teknik membuka jalan napas yang
direkomendasikan untuk orang awam dan petugas, kesehatan adalah
tengadah kepala topang dagu, namun demikian petugas kesehatan harus
dapat melakukan manuver lainnya.

(BREATHING) Bantuan napas

Terdiri dari 2 tahap :

1. Memastikan korban/pasien tidak bernapas.


Dengan cara melihat pergerakan naik turunnva dada, mendengar
bunyi napas dan merasakan hembusan napas korban/pasien. Untuk itu
penolong harus mendekatkan telinga di atas mulut dan hidung
korban/pasien, sambil tetap mempertahankan jalan napas tetap terbuka.
Prosedur ini dilakukan tidak boleh melebihi 10 detik.
2. Memberikan bantuan napas.
Jika korban/pasien tidak bernapas, bantuan napas dapat dilakukkan
melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung atau mulut ke stoma (lubang
yang dibuat pada tenggorokan) dengan cara memberikan hembusan napas
sebanyak 2 kali hembusan, waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali
hembusan adalah 1,5 – 2 detik dan volume udara yang dihembuskan
adalah 7000 – 1000 ml (10 ml/kg) atau sampai dada korban/pasien terlihat
mengembang. Penolong harus menarik napas dalam pada saat akan
menghembuskan napas agar tercapai volume udara yang cukup.
Konsentrasi oksigen yang dapat diberikan hanya 16 – 17%. Penolong juga
harus memperhatikan respon dari korban/pasien setelah diberikan bantuan
napas.

Cara memberikan bantuan pernapasan :

 Mulut ke mulut
Bantuan pernapasan dengan menggunakan cara ini merupakan cara yang
tepat dan efektif untuk memberikan udara ke paru-paru korban/pasien.
Pada saat dilakukan hembusan napas dari mulut ke mulut, penolong harus
mengambil napas dalam terlebih dahulu dan mulut penolong harus dapat
menutup seluruhnya mulut korban dengan baik agar tidak terjadi
kebocoran saat mengghembuskan napas dan juga penolong harus menutup
lubang hidung korban/pasien dengan ibu jari dan jari telunjuk untuk
mencegah udara keluar kembali dari hidung. Volume udara yang diberikan
pada kebanyakkan orang dewasa adalah 700 – 1000 ml (10 ml/kg).
Volume udara yang berlebihan dan laju inpirasi yang terlalu cepat dapat
menyebabkan udara memasuki lambung, sehingga terjadi distensi
lambung.
 Mulut ke hidung
Teknik ini direkomendasikan jika usaha ventilasi dari mulut korban tidak
memungkinkan, misalnya pada Trismus atau dimana mulut korban
mengalami luka yang berat, dan sebaliknya jika melalui mulut ke hidung,
penolong harus menutup mulut korban/pasien.
 Mulut ke Stoma
Pasien yang mengalami laringotomi mempunyai lubang (stoma) yang
menghubungkan trakhea langsung ke kulit. Bila pasien mengalami
kesulitan pernapasan maka harus dilakukan ventilasi dari mulut ke stoma.

(CIRCULATION) Bantuan sirkulasi

Terdiri dari 2 tahapan :

1. Memastikan ada tidaknya denyut jantung korban/pasien.


Ada tidaknya denyut jantung korban/pasien dapat ditentukan dengan
meraba arteri karotis di daerah leher korban/ pasien, dengan dua atau tiga
jari tangan (jari telunjuk dan tengah) penolong dapat meraba pertengahan
leher sehingga teraba trakhea, kemudian kedua jari digeser ke bagian sisi
kanan atau kiri kira-kira 1 – 2 cm raba dengan lembut selama 5 – 10 detik.
Jika teraba denyutan nadi, penolong harus kembali memeriksa pernapasan
korban dengan melakukan manuver tengadah kepala topang dagu untuk
menilai pernapasan korban/pasien. Jika tidak bernapas lakukan bantuan
pernapasan, dan jika bernapas pertahankan jalan napas.
2. Memberikan bantuan sirkulasi.
Jika telah dipastikan tidak ada denyut jantung, selanjutnya dapat diberikan
bantuan sirkulasi atau yang disebut dengan kompresi jantung luar,
dilakukan dengan teknik sebagai berikut :
 Dengan jari telunjuk dan jari tengah penolong menelusuri tulang iga
kanan atau kiri sehingga bertemu dengan tulang dada (sternum).
 Dari pertemuan tulang iga (tulang sternum) diukur kurang lebih 2 atau
3 jari ke atas. Daerah tersebut merupakan tempat untuk meletakan
tangan penolong dalam memberikan bantuan sirkulasi.
 Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk satu
telapak tangan di atas telapak tangan yang lainnya, hindari jari-jari
tangan menyentuh dinding dada korban/pasien, jari-jari tangan dapat
diluruskan atau menyilang.
 Dengan posisi badan tegak lurus, penolong menekan dinding dada
korban dengan tenaga dari berat badannya secara teratur sebanyak 15
kali dengan kedalaman penekanan berkisar antara 1.5 – 2 inci (3,8 – 5
cm).
 Tekanan pada dada harus dilepaskan keseluruhannya dan dada
dibiarkan mengembang kembali ke posisi semula setiap kali
melakukan kompresi dada. Selang waktu yang dipergunakan untuk
melepaskan kompresi harus sama dengan pada saat melakukan
kompresi. (50% Duty Cycle).
 Tangan tidak boleh lepas dari permukaan dada dan atau merubah
posisi tangan pada saat melepaskan kompresi.
 Rasio bantuan sirkulasi dan pemberian napas adalah 15 : 2, dilakukan
baik oleh 1 atau 2 penolong jika korban/pasien tidak terintubasi dan
kecepatan kompresi adalah 100 kali permenit (dilakukan 4 siklus
permenit), untuk kemudian dinilai apakah perlu dilakukan siklus
berikutnya atau tidak.

Dari tindakan kompresi yang benar hanya akan mencapai tekanan


sistolik 60 – 80 mmHg, dan diastolik yang sangat rendah, sedangkan
curah jantung (cardiac output) hanya 25% dari curah jantung normal.
Selang waktu mulai dari menemukan pasien dan dilakukan prosedur
dasar sampai dilakukannya tindakan bantuan sirkulasi (kompresi
dada) tidak boleh melebihi 30 detik

G. KOMPLIKASI
 Obstruksi Ginjal
 Perdarahan Infeksi
 Hidronefrosis
Jika batu dibiarkan dapat menjadi sarang kuman yang dapat menimbulkan
infeksi saluran kemih, pylonetritis, yang pada akhirnya merusak ginjal,
kemudian timbul gagal ginjal dengan segala akibatnya yang jauh lebih parah.

KONSEP KEPERAWATAN DENGAN UROLITIASIS

I. PENGKAJIAN
1. Riwayat atau adanya faktor resiko
1) Airway
· Tidak ada benda asing / darah di rongga mulut
· Tidak ada obstruksi akibat fraktur
2) Breathing
 Nadi > 120 x permenit
 Pernapasan > 28 x permenit
 Pengisian kapiler > 3 detik
3) Circulation
· Tidak ada shock
· Urine out put < 50 cc perjam
· Daerah perifer dingin pucat
2. Pemeriksaan fisik berdasarka pada survei umum dapat menunjukkan :
a. Nyeri, Batu dalam pelvis ginjal menyebabkan nyeri pekak dan konstan.
Batu ureteral menyebabkan nyeri jenis kolik berat dan hilang timbul
yang berkurang setelah batu lewat.
b. Mual dan muntah serta kemungkinan diare
c. Perubahan warna urine atau pola berkemih, Sebagai contoh, urine keruh
dan bau menyengat bila infeksi terjadi, dorongan berkemih dengan
nyeri dan penurunan haluaran urine bila masukan cairan tak adekuat
atau bila terdapat obstruksi saluran perkemihan dan hematuri bila
terdapat kerusakan jaringan ginjal.
II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan rasa nyaman: adanya rasa nyeri yang berlebihan pada daerah
pinggang b.d adanya batu pada daerah yang sempit pada ureter atau pada
ginjal.
2. Perubahan pola eliminasi b.d adanya obstruksi (calculi) pada renal atau
pada uretra.
3. Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakitnya b.d kurang informasi

III. INTERVENSI
1. Gangguan rasa nyaman: adanya rasa nyeri yang berlebihan pada daerah
pinggang b.d adanya batu pada daerah yang sempit pada ureter atau pada
ginjal.
Tujuan:
Rasa sakit dapat diatasi/hilang.

Kriteria Hasil:
 Kolik berkurang/hilang
 Pasien tidak mengeluh sakit
 Pasien dapat beristirahat dengan tenang.
Intervensi:

 Kaji intensitas, lokasi dan area serta penjalaran dari rasa sakit
 Observasi adanya abdominal pain
 Jelaskan kepada pasien penyebab dari rasa sakit
 Anjurkan pasien banyak minum
 Berikan posisi serta lingkungan yang nyaman
 Ajarkan teknik relaksasi, teknik distorsi serta guide imagine untuk
menghilangkan rasa sakit tanpa obat-obatan.
Kolaborasi:

 Pemberian obat-obatan narkotika


 Pemberian anti spasmotika
2. Perubahan pola eliminasi b.d adanya obstruksi (calculi) pada renal atau
pada uretra.
Tujuan:
Gangguan perfusi dapat diatasi
Kriteria Hasil:
 Produksi urine 30-50 cc perjam
 Perifer hangat
 Tanda-tanda vital dalam batas normal
 Pengisian kapiler < 3 detik

Intervensi:
 Observasi tanda-tanda vital
 Observasi produksi urine setiap jam
 Observasi perubahan tingkat kesadaran
Kolaborasi:
Pemeriksaan laboratorium: kadae ureum/kreatinin, Hb, Urine HCT
3. Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakitnya b.d kurang informasi.
Tujuan :
Pengetahuan pasien tentang penyakitnya meningkat
Kriteria Hasil :
 Pasien memahami tentang proses penyakitnya
 Diskusikan tentang proses penyakitnya
Intervensi:

 Kaji tingkat pengetahuan pasien dan keluarga


 Beri kesempatan pasien/keluarga untuk mengekspresikan
perasaannya
 Diskusikan pentingnya pemasukan cairan
 Anjurkan pasien minum air putih 6-8 liter perhari selama tidak ada
kontra indikasi
 Batasi aktifitas fisik yang berat
 Diskusikan pentingnya diet rendah kalsium
Kolaborasi:

 Diet rendah protein, rendah kalsium dan posfat


 Pemberian ammonium chlorida dan mandelamine
 TRAUMA SALURAN KEMIH
ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA RENAL
A. DEFINISI
Trauma ginjal merupakan adalah suatu penyakit ginjal yang disebabkan
oleh trauma tumpul atau trauma tajam.Trauma ini sering terjadi pada sistem
urologi. Kejadian penyakit ini sekitar 8-10% dengan trauma tumpul atau
trauma abdominal. Pada banyak kasus, trauma ginjal selalu dibarengi dengan
trauma organ penting lainnya (Baverstock, 2001). Pada trauma ginjal akan
menimbulkan ruptur berupa perubahan organik pada jaringannya. Sekitar 85-
90% trauma ginjal terjadi akibat trauma tumpul yang biasanya diakibatkan
oleh kecelakaan lalu lintas.
Trauma ginjal biasanya terjadi akibat kecelakaan lalulintas atau jatuh.
Trauma ini biasanya juga disertai dengan fraktur pada vertebra thorakal 11-
12. Jika terdapat hematuria kausa trauma harus dapat diketahui. Laserasi
ginjal dapat menyebabkan perdarahan dalam rongga peritoneum.

B. ETIOLOGI
1) Trauma abdomen
2) Trauma punggung
Mekanisme trauma pada ginjal perlu diperhatikan benar oleh klinisi.
Berikut adalah mekanisme yang umunya terjadi pada trauma ginjal;
1) Trauma tembus
2) Trauma tumpul
3) Iatrogenic
4) Intraoperatif
5) Lain-lain

C. KLASIFIKASI
1) Trauma renal minor mencakup kontusi, hematom dan beberapa laserasi
dikorteks ginjal.
2) Cedera renal mayor mencakup laserasi mayor disertai rupture kapsul
ginjal.
3) Trauma vaskuler (renal kritikal) meliputi laserasi multiple yang parah
pada ginjal
disertai cedera panda suplay vaskuler ginjal.

Klasifikasi trauma ginjal menurut Sargeant dan Marquadt yang


dimodifikasi oleh Federle :

Grade I

Lesi meliputi
 Kontusi ginjal
 Minor laserasi korteks dan medulla tanpa gangguan pada sistem
pelviocalices
 Hematom minor dari subcapsular atau perinefron (kadang kadang)
75 – 80 % dari keseluruhan trauma ginjal

Grade II
Lesi meliputi
 Laserasi parenkim yang berhubungan dengan tubulus kolektivus
sehingga terjadi extravasasi urine
 Sering terjadi hematom perinefron
 Luka yang terjadi biasanya dalam dan meluas sampai ke medulla 10 –
15 % dari keseluruhan trauma ginjal

Grade III
Lesi meliputi
 Ginjal yang hancur
 Trauma pada vaskularisasi pedikel ginjal 5 % dari keseluruhan trauma
ginjal
Grade IV
Meliputi lesi yang jarang terjadi yaitu
 Avulsi pada ureteropelvic junction
 Laserasi dari pelvis renal

D. PATOFISIOLOGI
Trauma tumpul merupakan penyebab utama dari trauma ginjal.
Dengan lajunya pembangunan, penambahan ruas jalan dan jumlah
kendaraan, kejadian trauma akibat kecelakaan lalu lintas juga semakin
meningkat. Trauma tumpul ginjal dapat bersifat langsung maupun tidak
langsung. Trauma langsung biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas, olah raga, kerja atau perkelahian. Trauma ginjal biasanya menyertai
trauma berat yang juga mengenai organ organ lain. Trauma tidak langsung
misalnya jatuh dari ketinggian yang menyebabkan pergerakan ginjal secara
tiba tiba di dalam rongga peritoneum. Kejadian ini dapat menyebabkan
avulsi pedikel ginjal atau robekan tunika intima arteri renalis yang
menimbulkan trombosis. Ginjal yang terletak pada rongga retroperitoneal
bagian atas hanya terfiksasi oleh pedikel pembuluh darah serta ureter,
sementara masa ginjal melayang bebas dalam bantalan lemak yang berada
dalam fascia Gerota. Fascia Gerota sendiri yang efektif dalam mengatasi
sejumlah kecil hematom , tidak sempurna dalam perkembangannnya.
Kantong fascia ini meluas kebawah sepanjang ureter ,meskipun menyatu
pada dinding anterior aorta serta vena cava inferior, namun mudah untuk
sobek oleh adanya perdarahan hebat sehingga perdarahan melewati garis
tengah dan mengisi rongga retroperitoneal.
(Guerriero, 1984).
Karena miskinnya fiksasi, ginjal mudah mengalami dislokasi oleh
adanya akselerasi maupun deselerasi mendadak, yang bisa menyebabkan
trauma seperti avulsi collecting system atau sobekan pada intima arteri
renalis sehingga terjadi oklusi parsial maupun komplet pembuluh darah.
Sejumlah darah besar dapat terperangkap didalam rongga retroperitoneal
sebelum dilakukan stabilisasi. Keadaan ekstrem ini sering terjadi pada
pasien yang datang di ruang gawat darurat dengan kondisi stabil sementara
terdapat perdarahan retroperitoneal. Korteks ginjal ditutupi kapsul tipis
yang cukup kuat. Trauma yang menyebabkan robekan kapsul sehingga
menimbulkan perdarahan pada kantong gerota perlu lebih mendapat
perhatian dibanding trauma yang tidak menyebabkan robekan pada kapsul.
Vena renalis kiri terletak ventral aorta sehingga luka penetrans didaerah ini
bisa menyebabkan trauma pada kedua struktur. Karena letaknya yang
berdekatan antara pankreas dan pole atas ginjal kiri serta duodenum
dengan tepi medial ginjal kanan bisa menyebabkan trauma kombinasi pada
pankreas, duodenum dan ginjal.. Anatomi ginjal yang mengalami kelainan
seperti hidronefrosis atau tumor maligna lebih mudah mengalami ruptur
hanya oleh adanya trauma ringan.
(McAninch,2000).

E. MANIFESTASI KLINIS
 Nyeri
 Hematuria
 Mual dan muntah
 Distensi abdomen
 Syok akinat trauma multisystem
 Nyeri pada bagian punggung (akibat ekimosis)
 Hematoma di daerah pinggang yang semakin hari semakin besar
 Massa dirongga panggul
 Ekimosis
 Laserasi atau luka pada abdomen lateral dan rongga panggul.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1) Laboratorium
2) Plain photo
3) Intravenous Urography (IVU)
4) CT Scan
5) Arteriografi
6) USG

G. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Konservatif
2. Eksplorsi
a) Indikasi absolute
b) Indikasi relative

H. KOMPLIKASI
 Komplikasi awal terjadi I bulan pertama setelah cedera.
1. Urinoma
2. Delayed bleeding
3. Urinary fistula
4. Abses
5. Hipertensi
 Komplikasi Lanjut
1. Hidronefrosis
2. Arteriovenous fistula
3. Pielonefritis.

KONSEP KEPERAWATAN DENGAN TRAUMA RENAL


A. Pengkajian
a. Riwayat Penyakit
a) Keluhan utama atau alasan utama mengapa ia datang ke dokter atau ke
rumah sakit
b) Adanya rasa nyeri : lokasi, karakter, durasi, dan hubungannya dengan
urinasi, faktor- faktor yang memicu rasa nyeri dan yang meringankannya.
c) Riwayat infeksi trauma urinarius:
 Terapi atau perawatan rumah sakit yang pernah dialami untuk
menangani infeksi traktus urinarius
 Adanya gejala panas atau menggigil
 Sistoskopi sebelumnya, riwayat penggunaan kateter urine dan hasil-
hasil pemeriksaan diagnostik renal atau urinarius.
d) Gejala kelainan urinasi seperti disuria, hesitancy, inkontinensia
e) Riwayat penyakit masa lalu, misal hematuria, nokturia, batu ginjal, Dm,
hipertensi, dll.
f) Adanya riwayat lesi kongenital
g) Adanya riwayat merokok
h) Riwayat Penyalahgunaan obat dan alkohol

b. Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi
Mengkaji adanya gejala edema yang menunjukkan retensi cairan; daerah
muka dan ekstremitas dikaji secara khusus. Pada wanita dilakukan
pemeriksaan vulva, uretra, dan vagina.
 Palpasi
Pemeriksaan letak ginjal, pemeriksaan rektal, kelenjar prostat, pembesaran
nodus limfatikus, hernnia inguinal, atau femoral.
 Perkusi
Penyakit renal dapat menimbulkan nyeri tekan atau ketuk pada daerah
angulus kostovertebralis yang terletak pada tempay iga ke-12 atau iga
paling bawah.
 Auskultasi
Auskultasi kuadran atas abdomen dilakukan untuk mendeteksi bruit (suara
vaskuler yang dapat menunjukkan stenosis pembuluh arteri renal).
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut b/d trauma
2. Gangguan eliminasi urine b/d trauma
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan; ginjal b/d trauma
4. Resiko hipertensi b/d infark parenkim renal

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Diagnosa Nyeri b/d trauma
Tujuan: Nyeri dapat terkontrol
Intervensi:
a) Kaji intensitas Nyeri, perhatikan lokasi, karakteristik
R/: hasil pangkajian membantu evaluasi derajat ketidaknyamanan dan
ketidak efektifan analgesik atau menyatakan adanya komplikasi.
b) Bedrest dan atur posisi yang nyaman bagi pasien
R/: posisi yang nyaman dapat membantu meminimalkan nyeri.
c) Anjurkan pasien untuk menghindari posisi yang menekan lumbal, daerah
trauma.
R/: Nyeri akut tercetus panda area ginjal oleh penekanan.
d) Lakukan kompres dingin area ekimosis bila tanpa kontra indikasi
R/: kompres dingin mengkontriksi vaskuler.
e) Berikan analgesik sesuai dengan resep
R/: analgesic dapat menghilangnkan nyeri dan ketidaknyamanan

2. Diagnosa Gangguan eliminasi urine b/d trauma


Tujuan : Eliminasi urine cukup atau kembali normal
Intervensi:
a) Monitor asupan dan keluaran urine
R/: hasil monitoring memberikan informasi tentang fungsi ginjal dan
adanya komplikasi. Contohnya infeksi dan perdarahan.
b) Monitor paralisis ileus (bising usus)
R/: Gangguan dalam kembalinya bising usus dapat mengindikasikan
adanya komplikasi, contoh peritonitis, obstruksi mekanik
c) Amankan inspeksi, dan bandingkan setiap specimen urine
R/: berguna untuk mengetahui aliran urine dan hematuria
d) Lakukan kateterisasi bila di indikasikan
R/: kateterisasi meminimalkan kegiatan berkemih pasien yang kesulitan
berkemih manual.
e) Pantau posisi selang drainase dan kantung sehingga memungkinkan tidak
terhambatnya alirann urine.
R/: hambatan aliran urine memungkinkan terbentuknya tekanan dalam
saluran perkremihan, membuat resiko kebocoran dan kerusakan
parenkim ginjal.

3. Diagnosa ketidakefektifan perfusi jaringan; ginjal b/d trauma


Tujuan: Mempertahankan fungsi renal agar maksimal
Intervensi:
a) Kaji tanda-tanda vital
R/: pengamatan tanda-tanda vital membantu memutuskan tindakan
keperawatan yang tepat
b) Kolaborasi dalam terapi nutrisi dan vitamin yang tepat
R/: keseimbangan diet yang tepat perlu untuk penyembuhan dan
regenerasi jaringan.
c) Kaji daerah abdomen, dada dan punggung
R/: mengetahui adanya pembengkakan, palpasi massa, edema,
ekimosis, perdarahan atau ekstravasasi urine.
d) Beri tanda lingkaran masssa dengan pena
R/: teknik untuk membandingkan ukuran lanjut.
e) Berikan cairan intra vena
R/: terapi intra vena berguna dalam memperbaiki tekanan darah dan
perfusi ginjal
f) Monitor hematuria
R/: hematuria mengidentifikasi perdarahan renal
g) Anjurkan pasien untuk meningkatkan asupan cairan bila di indikasikan
R/: peningkatan pemasukan cairan membantu pelancaran haluaran
urine; menilai faal ginjal.
4. Diagnosa resiko hipertensi b/d infark parenkim ginjal
Tujuan: untuk meminimalkan resiko/ mencegah hipertensi.
Intervensi:
a) Awasi denyut jantung, tekanan darah dan CVP
R/: Takikardi dan hipertensi terjadi karena
(1) Kegagalan ginjal untuk mengekskresi urine,
(2) Perubahan fase oliguria,dan atau
(3) Perubahan panda system aldosteron rennin-angio tensin.
b) Amati warna kulit, kelembapan, suhu dan masa pengisian kapiler
R/: Adanya pucat, dingin, kulit lembab dan pengisian kapiler lambat
mungkin berkaitan dengan vasokontriksi.
c) Berikan lingkungan tenang dan nyaman
R/: Lingkungan yang tenang dan nyaman membantu menurunkan
ransang simpatis , meningkatkan relaksasi.
d) Pertahankan pembatasan aktivitas, seperti istirahat ditempat tidur atau
kursi, jadwal periode istirahat tanpa gangguan
R/: Aktivitas yang minimal dan periode istirahat yang tepat
dijadwalkan membantu menghindari stress dan ketegangan yang
mempengaruhi tekanan darah.
e) Kolaborasi terapi obat-obatan
R/: Inhibitor simpatis dapat menekan pelepasan renin.
ASUHAN KEPERAWAN TRAUMA VESIKA URINARIA
A. DEFINISI
Trauma buli-bulu atau trauma vesika urinaria merupakan keadaan darurat
bedah yang memerlukan penatalaksanaan segera, bila tidak ditanggulangi dengan
segera dapat menimbulkan komplikasi seperti perdarahan hebat, peritonitis dan
sepsis. Secara anatomic buli-buli terletak di dalam rongga pelvis terlindung oleh
tulang pelvis sehingga jarang mengalami cedera.
( R. Sjamsuhidayat, 1998)
Cedera kandung kemih disebabkan oleh trauma tumpul atau penetrasi.
Kemungkinan cedera kandung kemih bervariasi menurut isi kandung kemih
sehingga bila kandung kemih penuh akan lebih mungkin untuk menjadi luka
daripada saat kosong
(Arif muttaqin : 211)

B. ETIOLOGI
Ruptur kandung kemih terutama terjadi sehingga akibat trauma tumpul
pada panggul, tetapi bisa juga karena trauma tembus seperti luka tembak dan luka
tusuk oleh senjata tajam, dan cedera dari luar, cedera iatrogenik dan patah tulang
panggul. Pecahan-pecahan tulang panggul yang berasal dari fraktur dapat
menusuk kandung kemih tetapi rupture kandung kemih yang khas ialah akibat
trauma tumpul pada panggul atas kandung terisi penuh. Tenaga mendadak atas
massa urinaria yang terbendung di dalam kandung kemih yang menyebabkan
rupture. Penyebab iatrogenic termasuk pascaintervensi bedah dari ginekologi,
urolodi, dan operasi ortopedi di dekat kandung kemih. Penyebab lain melibatkan
trauma obstetric pada saat melahirkan.

C. PATOFISIOLOGI
Trauma vesikaurinaria terbanyak karena kecelakaan lalu lintas/kecelakaan
kerja yang menyebabkan fragmen patah tulang pelvis mencederai buli-buli.
Trauma vesika urinaria tumpul dapat menyebabkan rupture buli-buli terutama bila
kandung kemih penuh atau terdapat kelainan patelegik sepetrti tuberculosis, tumor
atau obstruksi sehingga menyebabkan rupture. Trauma vesika urinaria tajam
akibat luka trusuk atau luka tembak lebih jarang ditemukan. Luka dapat melalui
daerah suprapubik ataupun transperineal dan penyebablain adalah instrumentasi
urologic.Fraktur tulang panggul dapat menimbulkan kontusio atau rupture
kandung kemih, pada kontusio buli-buli hanya terjadi memar pada dinding buli-
buli dengan hematuria tanpa eksravasasi urin. Ruptur kandung kemih dapat
bersifat intraperitoneal atau ekstraperitoneal. Rupture kandung kemih
ekstraperitoneal biasanya akibat tertusuk fragmen fraktur tulang pelvis pada
dinding depan kandung kemih yang penuh. Pada kejadian ini terjadi ekstravasasi
urin dari rongga perivesikal.

D. TANDA DAN GEJALA


a. Fraktur tulang pelvis disertai perdarahan hebat
b. Abdomen bagian tempat jejas/hemato
c. Tidak bisa buang air kecil kadang keluar darah dari uretra.
d. Nyeri suprapubik
e. Ketegangan otot dinding perut bawah
f. Trauma tulang panggul

E. KLASIFIKASI.
a. Rupture ekstaperitoneal kandung kemih.
Ruptur ekstraperitoenal biasanya berhubungan dengan fraktur panggul
(89%-100%). Sebelumnya , mekanisme cidera diyakini dari perforasi
langsung oleh fragmen tulang panggul. Tingkat cidera kandung kemih
secara langsung berkaitan dengan tingkat keparahan fraktur.
b. Rupture kandung kemih intraperitoneal.
Rupture kandung kemih intraperitoneal digambarka sebagai masuknya
urine secara horizontal kedalam kompartemen kadung kemih.mekanisme
cidera adalah peningkatan tingkat tekanan intravesikel secara tiba-tiba
kekandung kemih yang penuh. Kekuatan daya trauma tidak mampu
ditahan oleh kemampuan dinding kandung kemih sehingga terjadi
perforasi dan urine masuk kedalam peritoneum.
c. Kombinasi rupture intraperitoneal dan ekstraperitoneal.
Meknaisme cidera penetrasi memungkinkan cidera menembus kandung
kemih seperti peluru kecepatan tinggi melintasi kandung kemih atau luka
tusuk abdominal bawah. Hal itu akan menyebabkan intraperitoneal,
ekstraperitoneal, cidera, atau gabungan kandung kemih.

F. KOMPLIKASI
a. Urosepsis.
Keracunan septic dari penahanan dan absorbs substansi urin.
b. Klien lemah akibat anemia.

G. PEMERIKSAAN LABORATORIUM / DIAGNOSTIK


 Hematokrit menurun.
 Cystografi : menunjukkan ekstravasase urine, vesika urinaria dapat
pindah atau tertekan.

H. PENATALAKSANAAN
1. Atasi syok dan perdarahan.
2. Istirahat baring sampai hematuri hilang.
3. Bila ditemukan fraktur tulang punggung disertai ruftur vesica urinaria
intra peritoneal dilakukan operasi sectio alta yang dilanjutkan dengan
laparatomi.
KONSEP KEPERAWATAN TRAUMA VESIKA URINARIA.
A. PENGKAJIAN.
Kaji mekanisme dari riwayat trauma pada kandung kemih. Kaji keluhan
nyeri di daerah suprasimfisis, miksibecampur draah atau mungkin pasian
tidak dapat miksi.pemeriksaan secara umum sering didapatkan adanya syok
hipovolemik yang berhubungan dengan fraktur pelvis dan perdarahan dalam
massif. Sering didapatkan adanya tanda dan gejala sepsis peritonesis akibat
masuknya urine kedalam peritoneum.tanda-tanda klinis cedera landing kemih
relative spesipik, trias gejala (gross hematuria, nyeri suprapubik, kesulitan
ketidakmampuan untuk miksi).
Inspeksi lokalis terdapat adanya tanda fraktur pubis, hematom
perivesika. Pada urine output didapatkan adanya hematuria, penurunan
jumlah urine sampai anuria. Klien terlihat nyeri saat berkemih.
Pemeriksaan abdominal distensi, guarding, rebound tenderness,
hilangnya/ penurunan suara usus dan tanda-tanda iritasi [eritoneal
menunjukan kemungkinan pecahnya kandung kemih intraperitoneal.
Pemeriksaan dubur harus dilakukan untuk mengevalasi posisi prostat.
Posisi prostat yang melayang atau pada posisi anatomis normal
mengidinkasikan adanya cedera kandung kemih disertai adanya cedera
kandung kemih disertai adanya ruptur pada uretra.
Pemeriksaan rigiditas cincin panggul dilakukan untuk menentukan
stabilitas panggul apabila didapatkan adanya riwayat trauma paggul.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN.
1) Gangguan rasa nyaman ( nyeri ) s/d Kerusakan jaringan ( trauma ) pada
daerah bladder, ditandai dengan :
 Klien mengeluh nyeri pada daerah abdomen bawah yang terkena.
 Adanya nyeri tekan pada daerah bladder yang terkena.
 Ekspresi wajah meringis / tegang.
Intervensi :
1) Kaji skala nyeri, catat lokasi, lama, intensitas dan
karakteristiknya.
Rasional : Perubahan dalam lokasi atau intensitas tidak umum
tetapi dapat menunjukkan adanya komplikasi
2. Atur posisi sesuai indikasi, misalnya semi fowler.
Rasional : Mmemudahkan drainase cairan / luka karena gravitasi
dan membantu meminimalkan nyeri karena gerakan.
2) Berikan tindakan kenyamanan, misalnya nafas dalam, tekhnik
relaksasi / visualisasi.
Rasional : Meningkatkan kemampuan koping dengan
memfokuskan perhatian pasien.
3) Kolaborasi untuk pemberian analgesik.
Rasional : Menurunkan laju metabolisme yang membantu
menghilangkan nyeri dan penyembuhan.
2) Gangguan eliminasi urine s/d trauma bladder ditandai dengan hematuria.
Intervensi :
1. Kaji pola berkemih seperti frekwensi dan jumlahnya.
Rasional : Mengidentifikasi fungsi kandung kemih, fungsi ginjal
dan keseimbangan cairan.
2. Observasi adanya darah dalam urine.
Rasional : Tanda-tanda infeksi saluran perkemihan / ginjal dapat
menyebabkan sepsis.
3. Istirahat baring sekurang-kurangnya seminggu sampai hematuri
hilang.
Rasional : Menurunkan metabolisme tubuh agar energi yang
tersedia difokuskan untuk proses penyembuhan pada ginjal.
4. Lakukan tindakan pembedahan bila perdarahan terus berlangsung.
Rasional : Tindakan yang cepat / tepat dapat meminimalkan
kecacatan
3) Gangguan pemenuhan aktifitas s/d kelemahan fisik sekunder terhadap
trauma, ditandai dengan :
 Klien tampak lemah.
 Aktifitas dibantu oleh orang lain / keluarga.
Intervensi :
1. Kaji kemampuan fungsional dengan skala 0 – 4.
Rasional : Untuk menentukan tingkat aktifitas dan bantuan yang
diberikan
2. Ubah posisi pasien setiap 2 jam sekali.
Rasional : Meningkatkan sirkulasi darah seluruh tubuh dan
mencegah penekanan pada daerah tubuh yang menonjol
3. Lakukan rentang gerak aktif dan pasif.
Rasional : Menurunkan resiko terjadinya trauma dan
mempertahankan fungsi sendi dan mencegah penurunan tonus
4. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan ADL.
Rasional : Bantuan yang memberikan sangat bermanfaat untuk
menghemat energi yang dapat digunakan untuk membantu
proses penyembuhan luka
4) Potensial syok hipovolemia s/d pemutusan pembuluh darah.
Intervensi :
1. Observasi tensi, nadi, suhu, pernafasan dan tingkat kesadaran
pasien.
Rasional : Terjadinya perubahan tanda vital merupakan
manifestasi awal sebagai kompensasi hypovolemia dan penurunan
curah jantung.
2. Berikan cairan IV sesuai kebutuhan.
Rasional : Perbaikan volume sirkulasi biasanya dapat
memperbaiki curah jantung.
3. Berikan O2 sesuai kebutuhan.
Rasional : Kadar O2 yang maksimal dapat membantu
menurunkan kerja jantung
4. Kolaborasi pemberian obat-obatan anti perdarahan
Rasional : Untuk menghentikan atau mengurangi perdarahan yang
sedang berlangsung
5. Bila perdarahan tetap berlangsung dan KU memburuk pikirkan
tindakan bedah.
Rasional : Tindakan yang segera dapat menghindarkan keadaan
yang lebih memburuk
ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA URETHRA
A. DEFINISI
Ruptur uretra adalah ruptur pada uretra yang terjadi langsung akibat
trauma dan kebanyakan disertai fraktur tulang panggul, khususnya os pubis
(simpiolisis).

B. RUPTUR URETRA DIBAGI DUA MACAM :


a. Ruptur uretra anterior : paling sering pada bulbosa disebut Straddle Injury,
dimana robekan uretra terjadi antara ramus inferior os pubis dan benda
yang menyebabkannya.
b. Ruptur uretra posterior : paling sering pada membranacea.

C. ETIOLOGI
Adanya trauma pada perut bagian bawah, panggul, genetalia eksterna maupun
perineum.

D. PATOFISOLOGI
Ruptur uretra sering terjadi bila seorang penderita patah tulang panggul
karena jatuh atau kecelakaan lalu lintas. Ruptur uretra dibagi menjadi 2 yaitu ;
rupture uretra posterior dan anterior.
Ruptur uretran posterior hampir selalu disertai fraktur pelvis. Akibat
fraktur tulang pelvis terjadi robekan pars membranaseae karena prostat dan
uretra prostatika tertarik ke cranial bersama fragmen fraktur. Sedangkan
uretra membranaseae terikat di diafragma urogenital. Ruptur uretra posterior
dapat terjadi total atau inkomplit. Pada rupture total, uretra terpisah
seluruhnya dan ligamentum puboprostatikum robek, sehingga buli-buli dan
prostat terlepas ke cranial.
Rupture uretra anterior atau cedera uretra bulbosa terjadi akibat jatuh
terduduk atau terkangkang sehingga uretra terjepit antara objek yang keras
seperti batu, kayu atau palang sepeda dengan tulang simpisis. Cedera uretra
anterior selain oleh cedera kangkang juga dapat di sebabkan oleh
instrumentasi urologic seperti pemasangan kateter, businasi dan bedah
endoskopi. Akibatnya dapat terjadi kontusio dan laserasi uretra karena
straddle injury yang berat dan menyebabkan robeknya uretra dan terjadi
ekstravasasi urine yang biasa meluas ke skrotum, sepanjang penis dan ke
dinding abdomen yang bila tidak ditangani dengan baik terjadi infeksi atau
sepsis.

E. GAMBARAN KLINIK
a) Ruptur Uretra Posterior
 Terdapat tanda patah tulang pelvis.
 Pada daerah suprapubik dan abdomen bagian bawah dijumpai jejas,
hematom dan nyeri tekan.
 Bila disertai ruptur kandung kemih bisa ditemukan tanda rangsangan
peritoneum.
b) Ruptur Uretra Anterior
Terdapat daerah memar atu hematom pada penis dan scrotum
(kemungkinan ekstravasasi urine).
c) Ruptur Uretra Total
 Penderita mengeluh tidak bisa buang air kecil sejak terjadi ruda paksa.
 Nyeri perut bagian bawah dan daerah supra pubic.
 Pada perabaan mungkin dijumpai kandung kemih yang penuh.

F. PENATALAKSANAAN
 Pada ruptur anterior yang partial cukup dengan memasang kateter dan
melakukan drainase bila ada.
 Pada anterior ruptur yang total hendaknya sedapat mungkin dilakukan
penyambungan dengan membuat end-to-end, anastomosis dan suprapubic
cystostomy.
 Pada ruptur uretra posterior yang total suprapubic cystostomy 6-8
minggu.
 Pada ruptur uretra posterior yang partial cukup dengan memasang douwer
kateter.

G. KOMPLIKASI
a) Komplikasi dini setelah rekonstruksi uretra
 Infeksi
 Hematoma
 Abses periuretral
 Fistel uretrokutan
 Epididimitis
b) Komplikasi lanjut
 Striktura uretra
 Khusus pada ruptur uretra posterior dapat timbul :
* Impotensi
* Inkontinensia

KONSEP KEPERAWATAN RUPTUR URETHRA TRAUMATIK


1. PENGKAJIAN
a. Biodata
Jenis kelamin laki-laki lebih dari pada wanita
b. Riwayat Kesehatan Pasien
 Riwayat penyakit dahulu : -
 Riwayat penyakit sekarang :
 Nyeri tekan , memar atau hematum , hematuri. Bila terjadi ruptur total
urethra anuria
c. Pemeriksaan Fisik
 adanya trauma didaerah perineum
 adanya perdarahan per urethra
 adanya nyeri tekan pada daerah supra pubik dan abdomen bagian
bawah
 adanya jejas pada daerah supra pubik dan abdomen bagian bawah
 adanya fraktur tulang pelvis
d. Pemeriksaan Penunjang
Radiologi
Tampak adanya defek urethra anterior daerah bulbus dengan ektra vasasi
bahan kontras uretrografi retrograd

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan rasa nyaman ( nyeri ) b-d adanya trauma urethra
2. Anxietas b-d kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya
3. Potensial infeksi b d efek pemasangan Dower Cateter
4. Gangguan eliminasi urine ( retensio urine ) b-d adanya hematoma dan
ekstravasasi
5. Intoleransi aktivitas b-d adanya trauma urethra

3. INTERVENSI KEPERAWATAN
1) Gangguan rasa nyaman ( nyeri ) b-d adanya trauma urethra
Tujuan : menyatakan atau menunjukkan nyeri hilang
Kriteria hasil : menunjukkan kemampuan untuk membantu dalam tindakan
kenyamanan umum dan mampu untuk istirahat dengan tenang
Intervensi :
1. Kaji nyeri meliputi lokasi , karakteristik , lokasi, intensitas ( skala 0-10 )
R/ membantu evaluasi derajat ketidak nyamanan dan deteksi dini
terjadinya komplikasi.
2. Perhatikan aliran dan karakteristik urine
R/ penurunan aliran menunjukkan retensi urine (s-d edema), urine keruh
mungkin normal (adanya mukus) atau mengindikasikan proses infeksi.
3. Dorong dan ajarkan tehnik relaksasi
R/ mengembalikan perhatian dan meningkatkan rasa control
4. Kolaborasi medis dalam pemberian analgesik
R/ menghilangkan nyeri
5. Lakukan persiapan pasien dalam pelaksanaan tindakan medis
pemasangan DK, drainase, cistostomy
R/ persiapan secara matang akan mendukung palaksanaan tindakan
dengan baik

2) Anxietas b-d kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya


Tujuan : menunjukkan penurunan anxietas dan menyatakan pemahaman
tentang proses penyakitnya
Kriteria hasil : mengungkapkan masalah anxietas dan tak pasti pada pemberi
perawatan atau orang terdekat
Intervensi
1. Ajarkan tentang proses penyakit dan penyebab penyakit
R/ dengan pengajaran meningkatkan pengetahuan pasien , menurunkan
kecemasan pasien
2. Anjurkan pasien dan orang terdekat untuk mengungkapkan tentang rasa
takut , berikan privasi tanpa gangguan , sediakan waktu bersama mereka
untuk mengembangkan hubungan
R/ pasien yang merasa nyaman berbicara dengan perawat , mereka sering
dapat memahami dan memasukkan perubahan kebutuhan dalam praktek
dengan sedikit kesulitan.
3. Beri informasi dan diskusikan prosedur dan pentingnya prosedur medis
dan perawatan
R/ informasi yang adekuat meningkatkan pengetahuan dan koopereratif
pasien
4. Orientasikan pasien terhadap lingkungan , obat-obatan , dosis , tujuan ,
jadwal dan efek samping , diet , prosedur diagnostik
R/ pengorientasian meningkatkan pengetahuan pasien

3) Potensial infeksi b-d efek pemasangan DK


Tujuan : menurunkan atau mencegah terjadinya infeksi
Kriteria hasil : tidak terdapat tanda-tanda infeksi
Intervensi :
1. Pertahankan tehnik steril dalam pemasangan kateter , berikan perawatan
kateter steril dalam manipulasi selang
R/ mencegah pemasukan bakteri dan kontaminasi yang menyebabkan
infeksi
2. Gunakan tehnik mencuci tangan yang baik dan ajarkan serta anjurkan
pasien melakukan hal yang sama
R/ mengurangi kontaminasi yang menyebabkan infeksi
3. Observasi tanda-tanda infeksi
R/ deteksi dini adanya infeksi dan menentukan tindakan selanjutnya
4. Perhatikan karakter, warna, bau, dari drainase dari sekitar sisi kateter
R/ drainase purulent pada sisi insersi menunjukkan adanya infeksi lokal
5. Intruksikan pasien untuk menghindari menyentuh insisi, balutan dan
drainase
R/ mencegah kontaminasi penyebab penyakit
6. Kolaborasi dalam pemberian anti biotika sesuai indikasi
R/mengatasi infeksi dan mencegah sepsis
ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA PENIS
A. DEFINISI
Taruma penis adalah luka yang terjadi pada penis karena suatu benturan
benda tumpul, benda tajam, kekurangan lubrikan (pelumas) ketika
berhubungan seksual, atau karena sebab yang lainnya.
Trauma penis adalah trauma yang mencederai penis dapat berupa trauma
tumpul, trauma tajam, terkena mesin pabrik, ruptur tunika albuguinea, atau
strangulasi penis. Pada trauma tumpul atau terkena mesin, jika tidak terjadi
amputasi total, penis cukup dibersihkan dan dilakukan penjahitan primer. Jika
terjadi amputasi penis total) dan bagian distal dapat diidentifikasi, dianjurkan
dicuci dengan larutan garam fisiologis kemudian disimpan di dalam kantung
es, dan dikirim ke pusat rujukan. Jika masih mungkin dilakukan replantasi
(penyambungan) secara mikroskopik.

B. MANIFESTASI KLINIS
 Pada luka tembak tampak luka compang-camping, cedera daerah
sekitarnya, jaringan nekrotik, perdarahan serta amputasi penis.
 Luka oleh benda tajam biasanya disertai perdarahan yang banyak,
renjatan, pinggir luka tajam, atau amputasi penis.
 Pada luka avulsi akibat mesin, kulit penis dan skrotum terlepas.
 Pada strangulasi tampak bekas jepitan pada penis akibat kateter kondom
atau balutan yang terlalu ketat.
 Pada cedera setelah aktivitas seksual tampak penis bengkok dan
hemaotom pada penis dan skrotum.

C. ETOLOGI
Trauma pada penis yang sedang ereksi disebabkan oleh pembalut karet
atau penyempit lain yang merobek jaringan kavernosa dan dapat
menyebabkan necrosis. Kadang-kadang terjadi kerusakan jaringan penis pada
kecelakaan industri dalam hal ini mungkin diperlukan skin graf.
D. PATOFIOLOGI
Pada fase flasid, jarang terjadi trauma karena adanya gerakan yang lentur
dari penis. Tetapi pada waktu ereksi, darah mengalir ke penis yang
menyebabkan badan erektil membesar secara longitudinal dan tranversal. Hal
ini menyebabkan penis yang flasid menjadi ereksi penuh dan mengeras
(tumescence).
Ketika penis berubah dari fase falsid ke ereksi, tunika albuginea
merenggang dari 2 mm menjadi 0,25-0,5 mm, mengeras dan tidak lentur.
Perenggangan dan mengerasnya tunika albuginea menghalangi aliran balik
vena dan menyebabkan penis mengeras selama pria ereksi. Trauma yang tiba-
tiba terjadi pada penis atau bengkoknya penis yang tidak normal pada saat
ereksi dapat menyebabkan robekan tranversa dari tunika albuginea sebesar
0,5-4 cm, dengan trauma di dasar corpus kavernosum. Robekan miring atau
irregular bisa saja terjadi. Hal ini juga dapat disertai dengan atau tanpa adanya
kerusakan kerusakan pada uretra.

E. KOMPLIKASI
Trauma penis adalah keadaan darurat dan pembedahan untuk memperbaiki
harus dilakukan dengan segera. Keterlambatan dalam penanganan akan
meningkatkan angka komplikasi. Non pembedahan mengakibatkan 10% -
50% angka komplikasi mencakup disfungsi ereksi, kurvatura penis yang
permanen, kerusakan uretra dan nyeri pada saat berhubungan seksual.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pasien dengan fraktur penis, pemeriksaan radiologi diperlukan untuk
memastikan diagnosis dari pemeriksaan klinik atau ketika nyeri hebat pada
tempat tertentu dan bengkak menghalangi pemeriksaan fisis.
1. ULTRASONOGRAPHY
Ultrasonography digunakan untuk mengetahui tempat sobekan yang tepat
sebagai gangguan dari jalur echogenic dari tunika albuginea. Ruptur
albuginea yang kecil dapat di identifikasi menggunakan color Doppler
ultrasonography dengan menekan batang penis dan menggambarkan blood
flush dari corpus cavernosa hingga lesi.
2. MRI
MRI lebih akurat dalam menggambarkan lokasi, dan robekan tunika yang
luas, yang mana bermanifestasi untuk diskontinuitas dari tunika albuginea.
Selebihnya karena tunika albuginea ditunjukkan dengan low signal kedua
struktur gambaran T1 dan T2, MRI optimal untuk evaluasi struktur
anatomi pasien dengan nyeri hebat dan bengkak pada penis.
a. Integritas dari Tunika Albuginea
Fedel et al melaporkan bahwa empat kasus yang menggunakan
US, Cavernosography dan MRI, rupture korpus kavernosa dapat di
identifikasi hanya dengan MRI. Pada gambar di bawah ini kita dapat
melihat diskontinuitas sinyal rendah intensitas tunika albuginea .
Nampak gambaran MRI tunika albuginea dengan hematom
intracavernosa lainnya atau hematom ekstratunica
b. Ukuran dan Lokasi dari Robekan Tunika Albuginea
MRI dapat menemukan ukuran, lokasi dan orientasi dari
robekan tunika untuk konfirmasi bagi pembedahan. Robekan dapat
berupa transversa maupun longitudinal
3. CAVERNOSOGRAPHY
Digunakan untuk mengetahui dimana letak ruptur. Kontras dimasukkan
ke dalam korpus kavernosum dan dilihat apakah ada ekstravasasi kontras
keluar dari tunika albuginea.

G. PENATALAKSANAAN
a. Konservative
Gunakan kompres dingin pada penis; analgetik dan obat anti inflamasi; tidak
berhubungan seksual selam 8 minggu hingga sembuh.
b. Pembedahan
Membuka tempat fraktur di tunika albuginea, keluarkan hematom, dan tutup
defek pada tunika.
KONSEP KEPERAWATAN TRAUMA PENIS
1) Pengkajian
a. Biodata
Jenis kelamin laki-laki lebih dari pada wanita
b. Riwayat Kesehatan Pasien
 Riwayat penyakit dahulu : -
 Riwayat penyakit sekarang :
 Nyeri tekan , memar atau hematum , hematuri.
c. Pemeriksaan Fisik
 adanya trauma didaerah penis
 adanya perdarahan penis
 adanya nyeri tekan, dan jejas pada daerah penis
2) Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan pereganggan kulit penis, cedera jaringan
saraf, luka operasi
2. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan edema jaringan
penis
3. Resiko infeksi berhubungan dengan luka operasi
4. Ansietas berhubungan dengan kehilangan fungsi alat vital

3) Intervensi Keperawatan
1. Dx 1.
 kaji intensitas nyeri
 Latihan manajemen nyeri dengan teknik relaksasi nafas nafas
dalam
 Kolaborasi untuk pemberian analgetik
2. Dx 2.
 Kaji tanda-tanda vital
 Inspeksi balutan seberapa besar luas perdarahan
 Berikan tekanan langsung pada sisi perdarahan
 Kolaborasi untuk pemberian cairan parenteral
 Kolaborasi untuk pemberian antikoagulasi
 Kolaborasi laboratorium; Hb/Ht

3. Dx 3.
 Pertahankan teknik antiseptik bila mengganti balutan/ merawat
luka
 Awasi tanda vital
 Kolaborasi untuk pemberian antibiotic
 Lakukan kultur luka
4. Dx 4.
 Berikan penjelasan dengan sering dan informasi tentang
penyakitnya
 Libatkan pasien/ keluarga terdekat dalam pengambilan keputusan
 Awasi perubahan mental
 Dukung pasien untuk tetap percaya
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Cedera kandung kemih disebabkan oleh trauma tumpul atau penetrasi.


Kemungkinan cedera kandung kemih bervariasi menurut isi kandung kemih
sehingga bila kandung kemih penuh akan lebih mungkin untuk menjadi luka
daripada satu kosong (arif muttaqin : 211)

Trauma saluran kemih sering tak terdiagnosa atau terlambat terdiagnosa


karena perhatian penolong sering tersita oleh jejas-jejas ada di tubuh dan
anggota gerak saja, kelambatan ini dapat menimbulkan komplikasi yang berat
seperti perdarahan hebat dan peritonitis, oleh karena itu pada setiap kecelakaan
trauma saluran kemih harus dicurigai sampai dibuktikan tidak ada.
Trauma saluran kemih sering tidak hanya mengenai satu organ saja, sehingga
sebaiknya seluruh sistem saluran kemih selalu ditangani sebagai satu kesatuan.
Juga harus diingat bahwa keadaan umum dan tanda-tanda vital harus selalu
diperbaiki/dipertahankan, sebelum melangkah ke pengobatan yang lebih
spesifik.

B. Saran
Semoga dengan makalah para pembaca dapat mengambil ilmu dan apabila
terdapat kekurangan dan kesalahan dalam pembuatan makalah ini agar kiranya
pembaca dapat memberikan saran dan kritik yang membangun untuk kebaikan
semua.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Renal Trauma. (online) 2008. (cited) 22 Desember 2008. Available in


URL :http://http://www.merck.com.mmpe.sec21.ch314.ch314d.html/

Anonim. Stabilitation Of Trauma In The ER – Abdominal Trauma. (online) 2008.


(cited) 22 Desember 2008. Available in URL :
http://http://www.medscientist.com/

Carpenito, Lynda Juall.2009.Buku Saku Diagnosa Keperawatan.Edisi


8.Jakarta:EGC.

Dincel C, Cascurlu T, Resim S, Bayraktar Z, Tasci A, Sevin G. Fracture of the


Penis. Eastern Journal of Medicine. 1998.3 (1) : 17 – 19.

Doenges E, Marillyn,dkk.2009.Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokoumentasian Perawatan Pasien.Edisi
3.Jakarta:EGC.

Jack GS, Garraway I, Reznichek R, Rajfer J. Current Treatment Options for


Penile Fractures. Reviews in Urology. 2004. 6(3):115-20.

Kolfman L, Cavalcanti AG, Manes CH, Filho DR, Favorito LA. Penile Fracture –
Experience in 56 Cases. International Braz.J.Urol. 2003.29(1):35–39.

Price,dkk.2010.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Edisi


4.Jakarta:EGC.

Smeltzer,dkk.2009.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.Edisi 8.Jakarta:EGC.

Anda mungkin juga menyukai