Anda di halaman 1dari 4

Nama: Mezaluna Mutiara Shafa

NIM: 210341627300
Offering: C
Krisis Agraria: Apakah wisata Bisa Menjadi Solusi?
Disampaikan dalam Seminar Nasional dalam Jaringan Pusat Sosial Humaniora dan Pariwisata
Universitas Negeri Malang

Program Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) merupakan salah satu program
prioritas nasional. Sector pariwisata adalah prioritas kelima, setelah infrastruktur, maritime,
energi, dan pangan. KSPN dinilai penting karena dapat mengakhiri sumber pendapatan negara
dari industry ekstraktif SDA.
Dalam membangun wilayah KSPN memiliki strategi yaitu mengembangkan konsep
ekowisata. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.38 Tahun 2009 tentang Pedoman
Pengembangan Ekowisata di Daerah Ekowisata adalah “ Kegiatan wisata alam di daerah yang di
dalamnya terdapat beberapa aspek yang saling terkait yakni: Pendidikan, pdmahaman, dan
dukungan terhadap usaha-usaha konservasi sumberdaya alam, seta peningkatan pendapatan
masyarakat lokal”.
Terdapat beberapa prinsip baku pengembangan ekowisata, seperti meminimalisir dampak
fisik, perilaku, dan psikologis; membangun kesadaran dan penghargaan terhadap lingkungan dan
budaya local; mendukung hadirnya pengalaman positif baik dari pengunjung maupun warga
local; mendukung keuntungan finansial langsung untuk konservasi lingkungan, memberikan
keuntungan yang setara bagi masyarakat local dan indutri privat; dan mendesain,
mengkonstruksikan dan mengoperasikan fasilitas wisata yang minim dampak.
Sajogyo Institute melakukan riset pengembangan KSPN di 4 lokasi. Terdapat beberapa
fakta umum yang ditemukan di 4 lokasi tersebut. Fakta-fakta tersebut antara lain, pengembangan
pariwisata yang mengatasnamakan ekowisata di Indonesia bukanlah ekowisata sejati (tidak
terpenuhinya prinsip ekowisata, tetapi lebih cenderung ke wisata alam), pengembangan industry
pariwisata cenderung mendorong proses marginalisasi masyarakat local dari ruang hidupnya
sendiri, tidak ada partisipasi masyarakat sehingga terjadi asimetri informasi di masyarakat,
menganggap KSPN sebenarnya hanya praktik green grabbing bertopeng isu-isu terkait ekologis
dan lingkungan, tujuan-tujuan pembangunan atas nama Kelola ekowisata (termasuk
penmbangunan KSPN) yang bercorak ekologis tidak bebas dari kepentingan ekonomi-politik
kekuasaan, dan pembangunan dan rencana pembangunan KSPN lebih banyak dikuasai oleh
segelintir pemodal besar yang dekat dengan pemerintah (Pusat dan Daerah) cenderung tidak
peduli atas komunitas ekonomi lokal.
Dikutip dari pernyataan Harvey, 1993 yang menyatakan bahwa “Semua proyek-proyek
ekologi pada dasarnya secara simultan juga merupakan proyek ekonomi politik. Argumentasi
ekologi tidak pernah lagi bebas dari nilai-nilai sosial, disbanding argumentasi ekonomi politik
yang umumnya masih bebas ekologi”. Pernyataan tersebut dapat digunakan untuk menganalisis
isu KSPN yang dianggap memiliki nilai karakternya adalah ekowisata namun pada prakteknya
yang terjadi bukan ekowisata namun wisata berbasis alam saja.
Terdapat beberapa modus ekowisata. Green grabbing adalah praktek-praktek perampasan
tanah dan sumber agrarian dengan menggunakan isu dan legitimasi persoalan konservasi dan
lingkungan. Praktek green grabbing dalam KSPN dapat berupa green economy, finansialisasi
alam, dan perampasan ruang hidup dengan dalih konservasi. Contoh kasus green grabbing di
Indonesia antara lain, kasus Bromo Tengger Semeru, Kasus Danau Toba, kasus Kepulauan
Seribu, kasus Wakatobi.
Terdapat relevansi antara KSPN dengan kondisi pandemic seperti sekarang ini. Di tengah
krisis kondisi agrarian yang sifatnya structural, KSPN tidak datang untuk membangun
kesejahteraan tetapi justru sebagai masalah baru. Selain itu, pembangunan KSPN yang membuat
masalah baru bagi kondisi ekologi dan sosial masyarakat dapat menambah beban bagi
masyarakat yang sudah tidak memiliki akses terhadap ruang hidup. Di samping itu, pandemic
terjadi sebagai dampak dari aktivitas manusia yang tidak berkelanjutan secara ekologis.
Pembangunan KSPN yang akan menciptakan krisis ekologi menunjukkan bahwa kita tidak
belajar apapun dari pandemi ini.
Dapat disimpulkan bahwa, proyek KSPN yang diunggulkan oleh pemerintah hanya
memakai ekowisata sebagai dalih; praktik pelaksanaan KSPN justru berdiri di atas krisis agrarian
dan krisis pedesaan yang sudah dialami masyarakat di ruang hidup mereka,; tujuan KSPN untuk
menjadi alternatif ekstraksi sudah tidak terwujud karen KSPN pun dilakukan skala besar dengan
proses ekstraktif dan tetap menghasilkan krisis ekologi; orientasi kebijakan pembangunan KSPN
(termasuk kebijakan pembangunan lain di Indonesia) lebih dominan bertujuan untuk
pertumbuhan dan kesejahteraan tetapi tidak peduli dengan keadilan sosial.
Hal-hal yang dapat diupayak sebagai bentuk refleksi dari isu-isu tersebut antara lain,
memprioritaskan bentuk-bentuk kelola wisata rakyat yang sesuai dengan kondisi tenurial dan
kekhasan masyarkat; hak masyarakat atas ruang hidup, sitem tenurial yang berlaku, pengetahuan
lokal dan budaya masyarakat menjadi basis dalam perencanaan pembangunan KSPN; sejarah
struktur dan beragam permasalahan agrarian yang sudah ada perlu dianalisis dan
dipertimbangkan dahulu sehingga pembangunan ekowisata berorientasi menyelesaikan masalah
yang ada; mencegah komodifikasi tanah atas nama pembangunan wisata; dan memastikan
kejelasan regulasi dan kebijakan dalam prinsip keadilan dan keberlanjutan sosial-ekologis.
Fenomenologi Ruang Pariwisata dalam Merespon Covid-19
Disampaikan dalam Seminar Nasional dalam Jaringan Pusat Sosial Humaniora dan Pariwisata
Universitas Negeri Malang

Fenomenologi merupakan studi tentang pengalaman hidup seseorang atau metode untuk
mempelajar bagaimana individu secara subjektif merasakan pengalaman dan memberikan makna
dari fenomena tersebut. Berdasarkan penjelasaanya, paradigma fenomenologi juga erat dengan
studi kesadaran. Beberapa metode bisa diterapkan dalam melakukan studi pengalaman sadar
adalah dengan mendeskripsikannya atau menginterpretasikannya untuk dihubungkan kepada
konteks yang relevan. Menurut Husserl mengenai teori fenomenologi murni/transcendental,
terdapat 6 konsep kunci yaitu intensionalitas, noema, noesis, epoche (reduksi fenomenologis),
reduksi eidetik, dan esensi pengalaman. Paradigma fenomenologi dianggap cocok untuk
menggali masalah yang kompleks dan juga menjadi alat yang ampuh untuk menghasilkan
pemahaman akan pengalaman hidup serta keberadaan manusia. Paradigma ini juga
memungkinkan peluang untuk memperluas batas penelitian dan memperkaya data empiris dari
sebuah penelitian.
Pada prinsipnya, kita hidup di ruang. Hubungan ruang dengan ruang lainnya disebut
spasial. Hubungan di antara keduanya perlu diamati khususnya pada bidang pariwisata. Untuk
merespon ruang-ruang tersebut, diciptakan sebuah teknologi berbasis aplikasi kecerdasan buatan.
Aplikasi tersebut membantu dalam analisis bisnis, pemetaan, location intelligence, dan geo-
fencing di Indonesia. Location intelligence dapat membantu dalam memvisualisasikan data di
peta dan analisis untuk membuat keputusan bisnis berbasis data.
Terdapat contoh konflik mengenai spasial dan fenomenologi. Salah satunya di Desa
Dirun, Nusa Tenggara Timur. Dalam penelitian ini, awalnya harus merumuskan informasi-
informasi yang didapat menjadi tema-tema empiris. Tema-tema tersebut dibag menjadi 4 yaitu,
budaya, makro, meso, dan mikro. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa terdapat hubungan
kekerabatan di antara ruang-ruang yang ada di Desa Dirun. Selain itu, ditemukan orientasi
tertentu mengenai ruang tinggi yaitu gunung dan air menjadi ruang bawah. Selain itu, terdapat
ruang berbasis manusia dan hewan. Hewan pada masyarakat disimpulkan menjadi pemersatu
hampir seluruh komponen di suatu ruang berbasi manusia dan hewan.
Setelah melakukan rangkaian penelitian tersebut, akhirnya dapat ditemukan suatu teori.
Teori-teori tersebut antara lain,
1. Leluhur adalah pembentuk komunitas sosial
2. Spasial spirialitas menyatu dengan alam
3. Lembaga adata pengatur ruang kehidupan
Poin-poin tersebut dapat disimpulkan bahwa alam, manusia, hewan secara spasial diikat oleh
hewan. Lalu teori tersebut didiskusikan, namun teori-teori sebelumnya tidak bermanfaat bagi
teori tersebut pada konteks ini.
Terdapat fenomenologi dalam konteks pariwisata. Tema yang diangkat dalam
fenomenologi tersebut antara lain pembatasan teritori komunitas, perilaku kultur, transformasi,
kenampakan fakta alam, spiritual melembaga, kreativitas berbasis desa, inisiatif mengangkat
potensi, sadar wisata sehat (CHSE), dan keberlanjutan berbasis komunitas.
Dari tema-tema tersebut menyebabkan munculnya 2 konspe antara lain, eksistensi ikatan
teritori dam wisata berbasis komunitas sehat. Pada akhirnya, dari konsep tersebut, dapat
disimpukan sebuah teori yaitu hidup bersama covid berbasis pengembangan wisata.
Konsep eksistensi ikatan territorial terhadap terjadinya pandemic covid-19 menyebabkan
pertumbuhan ekonomi duia menyusup perjalanan tertutup dan terbatas, mereduksi institusi
menjadi teritori. Konsep wisata berbasis komunitas sehat sangat penting juga perannya. Hal ini
dapat mengupayakan dengan meningkatkan sustainable human development.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa komunitas akademik yang berilmu dan berakhlak
dapat menata ruang wisata untuk peradaban manusia. Dengan fenomenologi, menyadarkan
semua agar sadar akan keberadaan ruang wisata dalam berkontribusi pada kepunahan manusia
oleh covid-19.

Anda mungkin juga menyukai