Anda di halaman 1dari 5

Seorang wanita dengan jas memasak berwarna putih mengelilingi beberapa jejeran konter dengan

berbagai bentuk kue di atasnya. Ia meneliti setiap ukiran kue pesta yang sedang dikerjakan. Saat salah
seorang peserta mengangkat tangannya, segera wanita itu mendekat dan memberikan beberapa
masukan dalam bidangnya.

Ia adalah Aria, tertera tag chef-in-training di jaketnya. Setelah menyelesaikan sekolah diplomanya di
Surabaya, Aria magang di sebuah restoran cabang milik salah satu mentornya. Setelah selesai masa
magangnya nanti selama enam bulan, Aria akan diangkat menjadi asisten chef di restoran di Jakarta.

Chef Iskandar adalah mentor sekaligus atasan Aria sekarang. Berkat kemurahan hati pria itu, Aria
memiliki banyak pengalaman tak terlupakan. Berkali-kali ia diajak dalam beberapa pertemuan kursus
memasak bagi kalangan sosialita. Meskipun Aria masih dikategorikan magang tapi Aria telah dipercaya
oleh Chef Iskandar sebagai anak emasnya. Secara tidak langsung Chef Iskandar membantu Aria
melebarkan namanya perlahan.

Seperti sekarang ini. Satu kelompok arisan para istri pebisnis tengah meluangkan waktu mereka untuk
membuat kue pesta dengan dekorasi bertabur emas. Sekarang Aria tahu rasanya berkerja mengikuti
passion karena setiap detik yang ia lewati dengan fokus saat ini membawa rasa bahagia dan kepuasan
pada batinnya. Ada celah kosong yang terisi saat Aria memegang berbagai peralatan dapur.

Kadang kala ada waktunya ia menghabiskan waktu berjam-jam di dapur demi memadu padankan
berbagai bahan untuk menjadi sebuah menu terbaru dan Chef Iskandar selalu menyukai paduan rasa
yang disajikan muridnya itu. Mengingat bagaimana kemampuan memasaknya beberapa tahun yang lalu
sangat membuat Aria merasa malu. Ada masanya ia merutuki dirinya, kenapa dirinya dulu sangat
bodoh? Eh, tapi kalau dipikir-pikir dia tidaklah sebodoh itu hanya saja Aria terlalu malas untuk mencoba.

"Aria!" panggil seorang peserta membangunkan Aria dengan lamunan sesaatnya. "Can you help me with
this?"

"Ini mau dibuat apa, Ce?" tanya Aria.

Cece Siska adalah peserta kursus langganan dari Chef Iskandar. Beberapa kali juga Aria ikut membantu
Chef Iskandar membuatkan kue costum untuk setiap acara yang Ce Siska selenggarakan. Wanita chinese
itu selalu meminta Chef Iskandar untuk membawa Aria sebagai asisten.

Pada pertemuan pertama mereka Ce Siska langsung menanyakan shio milik Aria. Melihat kecocokan di
antara keduanya Ce Siska menjadikan Aria chef magang favoritnya. Siska adalah istri salah satu donatur
di sekolahnya jadi sudah wajar jika Siska kenal dekat dengan Chef Iskandar.

"Jadi Koh Hendra bakal ngundang artis langsung dari China untuk ulang tahun mama. And suddenly aku
kepikiran buat tambahin golden crown di atas kuenya. Do you think i can finish it by tonight?" tanya
Siska melihat kue buatannya dan masih merasa kosong.
Aria melihat bahan fondant yang tak cukup. Aria bisa saja membuatkan lapisan fondant lagi tapi karena
Ce Siska memaksa ingin membuatnya dengan tangan sendiri mungkin akan membutuhkan waktu yang
lebih lama.

"Ce, ulang tahun mamanya cece nanti malam, kan? Nah, mungkin cece mau gambarin aja di kertas dan
deskripsi bentuk mahkotanya. Bagaimana biar aku yang buatkan. Aku bakal kirim sebelum jam enam."

"Kamu bener, aku butuh cek persiapan vanue juga. Oh my God! Aku benci banget pekerjaan mepet
begini. Kenapa semuanya harus serba mendadak sih?"

Aria hanya tersenyum simpul dan membantu peserta lain membungkus kue mereka menyisakan kue
milik Siska. Setelah para peserta meminum wine yang telah disediakan oleh Chef Iskandar, kelima
peserta tersebut meninggalkan studio memasak milik akademi dengan masing-masing para sopir yang
menunggu di mobil yang telah terparkir rapi berjejer menunggu nyonya mereka untuk keluar.

Aria meminggirkan kue milik Ce Siska kemudian membersihkan setiap konter dan mengembalikan
semua peralatan pada tempatnya dan membuang bekas bahan yang tak terpakai.

Setelah semuanya bersih Aria beranjak ke ruang pendingin dan mengambil lebih banyak bahan untuk
membuat fondant pesanan Ce Siska. Gadis itu terlalu fokus memahami permintaan pelanggannya
sampai tak sadar akan ponselnya yang bergetar sedari tadi.

Aria mulai menggerakkan tangannya dan bersenandung.

Seorang pria yang lebih pendek darinya masuk ke ruangan dan tersenyum bangga. Pria dengan rambut
beruban itu mengeluarkan ponsel dan memotret Aria yang tengah fokus mengerjakan pekerjaannya.

"Kalau kamu kembali ke Jakarta, Nak. Dapur ini bakal suepi poll," ujar Chef Iskandar membuka salah satu
gorden jendela membiarkan sinar terik panas matahari Surabaya memasuki ruangan.

"Chef," sapa Aria.

"Kamu nggak mau lanjut kuliah manajemen lagi, Aria?"

Aria tertawa garing. Kuliah manajemen lagi? Aria rasa otaknya tak akan mampu untuk itu. Dia telah
mendapatkan kebebasannya saat mendapatkan ijazah sebagai sarjana ekonomi. Dia lelah berkecimpung
dengan tugas-tugas yang kurang relevan dengan urusan dapur. Aria mengangkat hanya menggeleng
sambil tertawa.

"Enggak dulu, Chef. Kan aku juga udah tanda tangan kontrak jadi asisten chef di restoran. Daripada
habisin uang untuk kuliah lagi mending aku kerja buat dapetin uang, chef."

"Kok ngomongnya gitu, sih? Kan aku bisa kasih rekomendasi beasiswa."

Aria teringat perkataan seseorang. Kalau sampai Aria mengalami demotivasi dan kuliah lagi karena
terpaksa rasanya tidak adil bagi orang lain yang memiliki kemampuan dan keinginan lebih darinya tapi
tak berhasil mendapatkan kesempatan itu.
Chef Iskandar ingin muridnya itu bisa lebih dari seorang chef belaka. Kalau bisa dia ingin muridnya itu
bisa membangun bisnis baru di dunia kuliner. Tapi sepertinya keinginan Aria sudah tak bisa diganggu
gugat. Mungkin suatu saat nanti ... Chef Iskandar hanya bisa berharap.

"Kamu berangkat minggu depan?" tanya pria itu.

"Iya, chef. Sekalian ada teman yang mau lahiran jadi mau pulang lebih cepat. Berkas kepindahan sudah
ditandatangani manajer restoran, kok."

"Good. Good. Yowes pokok'e Chef do'akan yang terbaik buat kamu. Sukses selalu. Dan kalau kamu
butuh apa-apa. Jangan sungkan telpon lho ya!"

"Siap, Chef!"

"Yowes lanjutno. Kalau sudah selesai letakkan di meja saja. Aku juga dapat undangan ulang tahun
mamae Siska," ujar Chef Iskandar sembari meninggalkan studio dapur.

Tangan Aria perlahan meletakkan mahkota yang ia buat. Dengan hati-hati Aria memastikan tak ada sisi
kue yang cacat. Kue dua tingkat berwarna putih tersebut terlihat elegan dengan setiap emas yang
mengelilinginya. Kue terakhirnya sebagai seorang chef magang.

Dan tiga tahun enam bulan setelah kepulangan terakhirnya Aria pun kembali menginjakkan kaki ke
Jakarta. Indira maupun Bima tak bisa memaksa putri mereka untuk pulang. Hanya mereka yang tiap tiga
bulan sekali datang mengunjungi putri mereka.

Kedatangannya disambut bahagia oleh kedua orang tuanya. Hubungan ketiganya telah jauh membaik.
Setelah Indira memberanikan diri untuk mengucapkan kata maaf. Aria merasa menjadi seorang anak
seutuhnya. Aria juga tidak sungkan lagi untuk membuka hati dan membuka lembaran baru bersama
Indira.

Kamarnya masih sama seperti dulu. Masih bersih dan rapi. Bima selalu tak lupa membersihkan kamar
kedua putrinya. Aria beristirahat melepaskan penatnya. Tersenyum singkat melihat potret terkahir
wisudanya di nakas. Sudah lama Aria tak merasakan kesedihan kini ada dorongan untuk kembali
menangis tapi dengan sigap gadis itu menepuk pipinya menguatkan mental.

"Kamu masih kerja sama Chef Iskandar ya, dek?" tanya Indira dari dapur.

"Iya, Ma. Beliau banyak promosikan aku ke koleganya. Dapat tawaran juga sebenarnya untuk jadi chef di
hotel Surabaya tapi aku belum bernai ambil. Masih mau belajar jadi asisten dulu."

"Mama juga setujunya begini saja. Kamu bisa deket di sini. Papa sama mama nggak perlu khawatir
berlebihan. Tahun lalu aja papamu sampe rela ambil penerbangan malam gara-gara denger kamu sakit."

Aria tertawa kecil mengingat betapa khawatirnya Bima datang mengetuk kosnya pukul tiga pagi. Dia
memang merasa tak enak badan karena harus magang tugas akhir di sebuah hotel. Pun akhirnya tubuh
Aria menyerah dan berakhir demam tiga hari.
"Eh katanya Amanda mau lahiran minggu depan ya? Tanyain dong anaknya cowok atau cewek biar
mama bisa siapin kado."

Tubuh Aria menegang. Ia meletakkan remot tv tergesa kemudian bangkit dari rebahananya.

"Astaga, Ma! Aku hampir lupa udah janjian sama Damar buat beli persiapan kamarnya adek bayi!"

Aria teringat bahwa Damar dan Manda baru pindah rumah dan menunggu dirinya untuk memilih
dekorasi kamar anak mereka. Itulah alasan dia pulang lebih cepat juga!

Jam dinding masih menunjukkan pukul sepuluh pagi yang artinya masih ada dua jam lagi sampai Damar
menjemputnya di titik janjian. Namun Aria sudah berencana untuk mampir ke satu tempat terlebih
dahulu.

Tempat pertama yang Aria datangi adalah sebuah makan. Gundukan tanah di depannya telah dilindungi
rumput yang telah dipangkas rapi. Terlihat sekali makam itu dirawat dengan baik. Saat Aria memegangi
salah satu kelopak bunga yang tersisa di atas makam itu, Aria langsung tahu bahwa beberapa saat yang
lalu ada orang lain yang berkunjung.

Bunga-bunga itu masih segar dan Aria bisa melihat beberapa butir air di atasnya. Aria mempunyai
beberapa dugaan tentang siapa pengunjung tersebut dan satu nama terus terngiang di kepalanya.

"Sudah waktunya dia move on, kenapa terus datang?" gumamnya.

Aria mengenakan jaketnya kembali. Setelah berjongkok lama bercerita kisahnya selama tiga tahun
terakhir, Aria pun menabur bunga hingga tak tersisa.

"Aku di sini sudah bahagia, Kak. Kakak juga harus bahagia di sana," ucapnya terakhir kali sebelum
meninggalkan kompleks pemakaman tempat Annalise beristirahat selamanya.

Memasuki sebuah kafe langganannya. Aria bertanya keberadaan Damar ke salah satu pegawai baru.
Pegawai itu bilang Damar belum datang dan Aria harus menunggu sendirian. Ia memilih kursi terdekat
dan melamun ke arah jendela. Kafe milik Damar telah berubah banyak tiga tahun terakhir. Design
interior yang lebih elegan dan family friendly kini terkesan lebih terbuka untuk berbagai kalangan.
Biasanya kafe tersebut dipenuhi oleh mahasiswa kini Aria bisa melihat beberapa orang berjas menatap
laptop mereka dengan kopi di tangan mereka.

Sebuah kepala muncul secara tiba-tiba di depan wajahnya membuat Aria bertingkat kaget.

"Aria!" sapa pria itu setengah tak percaya setengah antusias.

Ah, pria itu... "Asahi?"

Anda mungkin juga menyukai