Anda di halaman 1dari 7

Sifat Umum Ragam Bahasa Jurnalistik

Perlu diketahui sebelumnya, bahwa yang membedakan ragam bahasa jurnalistik dengan ragam
bahasa yang lain adalah dalam cara penggunaannya. Ragam bahasa jurnalistik digunakan untuk
mengungkapkan hal-hal yang dialami, diketahui, dan dipikirkan oleh sebagian besar orang
( Slamet Soewandi, 1996 ). Hal-hal itu berupa fakta ( berita ), pendapat (opini ), dan
pemberitahuan.

Menurut H. Rosihan Anwar, sifat Ragam bahasa jurnalistik terdiri dari:

1. Menggunakan kalimat pendek

2.Menggunakakn bahasa biasa yang mudah dipahami orang

Bahasa adalah alat untuk menyampaikan cipta dan informasi. Bahasa diperlukan dalam
komunikasi. Dalam suatu penulisan harus menggunakan bahasa yang betul-betul dapat
dimengerti khalayak (audiens). Salah satunya penulis harus komunikatif.

3. Menggunakan bahasa sederhana dan jernih pengutaraannya

Khalayak media massa yaitu pembaca surat kabar, pendengar radio, penonton televisi terdiri dari
aneka ragam manusia dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang berbeda-beda, dengan
minat perhatian, daya tangkap, kebiasaan yang berbeda-beda pula. Maka penulis berusaha
menulis sesederhana dan sejernih mungkin.

4. Menggunakan bahasa tanpa kalimat majemuk

Dengan menggunaan kalimat majemuk, pengutaraannya pikiran kita sering terpeleset menjadi
berbelit-belit dan bertele-tele. Penulis sebaiknya menjauhkan diri dari kesibukan memakai
kalimat majemuk karena bisa mengakibatkan tulisannya menjadi woolly alias tidak terang.

5.Mengunakan bahasa dengan kalimat aktif, bukan kalimat pasif

Membuat berita menjadi hidup bergaya ialah sebuah persyaratan yang dituntut penulis atau
wartawan. Pengunaan kalimat aktif lebih disukai jurnalistik daripada kalimat pasif karena
dinggap lebih bergaya. Contoh: : Si Amat dipukul babak belur oleh si Polan”. Dari pada kalimat
“ Si Polan memukul si Amat babak belur”.

6. Menggunakan bahasa padat dan kuat

Penulis atau wartawan muda seringkali suka terhanyut menulis dengan mengulangi makna yang
sama dalam bebagai kata. Kata-kata yang dipakai seharusnya efisien dan seperlunya saja.
kembang-kembang bahsa harus dihindarkan. Bahasa jurnalistik harus hemat dengan kata-kata.

7. Menggunakan bahasa positif, bukan bahasa negative


Penulis di dalam menulis, sedapat mungkin menulis dalam bentuk kalimat positif karena kalimat
positif dianggap lebih sopan daripada kalimat negatif. Contoh: “ Wartawan Sondang Meliala
tidak menghendaki penataran wartawan olahraga”. Dengan kalimat “ Wartawan Sondang
Meliala menolak penataran wartawan olahraga”. Kalimat kedua lebih bersifat positif dibanding
dengan perkataan “ tidak menghendaki”, karena “ tidak” bersifat negatif.

Menurut Slamet Soewandi, secara umum wacana dengan ragam bahasa jurnalistik memiliki ciri:

1. Singkat

Singkat adalah penuturan yang tidak berpanjang-panjangan, bertele-tele

2. Padat

Padat adalah mengacu pada arti syarat isinya

3. Sederhana

Sederhana adalah tidak berbelit-belit

4. Lancar

Lancar adalah penuturan yang tidak tersendat-sendat, melainkan mengalir dengan enak.

5. Jelas

Jelas adalah penuturan yang tidak menimbulkan salah tafsir .

6. Lugas

Lugas adalah tidak mengada-ada.

7. Menarik

Menarik adalah pemberitaan yang membuat pembaca, pendengar atau penonton bosan, atau
mengerutkan dahi karena masalahnya berat.

8. Baku

Baku adalah penulisan kata dan kalimat, pemilihan dan pembentukan kata, pemilihan
danpembentukan kalimat, pemilihan dan pembentukan paragraph menurut kaidah yang berlaku.

9. Netral

Netral adalah tidak berpihak atau membedakan tingkatan, jabatan atau kedudukan orang.
Menurut Kunjana Rahardi ragam bahasa jurnalistik yaitu:

1. Komunikatif

Bahasa jurnalistik tidak berbelit-belit, tidak membunga-bunga, tetapi harus langsung terus
langsung pada pokok permasalahannya ( straight to the point). Bahasa jurnalistik harus lugas,
sederhana, tepat diksinya dan menarik sifatnya. Dengan demikian bahasanya akan menjadi
komunikatif, tidak menimbulkan salah paham dan menimbulkan tafsir ganda.

2. Spesifik

Bahasa jurnalistik harus disusun dengan kalimat-kalimat yang singkat-singkat dan pendek-
pendek. Bentuk kebahasaannya sederhana dan mudah diketahui oleh banyak orang, gampang
dimengerti oleh orang awam. Kata-katanya hendaknya bersifat denotative maknanya, sehingga
tidak dimungkinkan ada salah tafsir makna yang ganda.

3. Hemat kata

Kebahasaan yang dipakai dalam bahasa jurnalistik hendaknya bercirikan minim karakter kata
atau sedikit jumlah huruf-hurufnya. Kalimat-kalimat jurnalistik dibuat simple dan sederhana
serta tidak menumpuk-nimpuk gagasannya.

4. Jelas makna

Bahasa jurnalistik sedapat mungkin digunakan kata-kata yang bermakna denotatif, kata-kata
yang mengandung makna sebenarnya, bukan kata-kata yang bermakna konotatif, kata-kata yang
maknanya tidak langsung, kata, kata yang bermakna kiasan.

5. Tidak mubazir dan tidak klise

Bentuk mubazir pada kata atau frasa yng sebenarnya dapat dihilangkan dari kalimat yang
menjadi wadahnya, dan peniadaan kata-kata tersebut tidak mengubah arti/maknanya. Kata-kata
klise atau stereotype ialah kata-kata yang berciri memenatkan, melelahkan, membosankan, terus
hanya begitu-begitu saja, tidak ada inovasi, tidak ada variasi.

ciri-ciri yaang harus dimiliki oleh bahasa jurnalistik yaitu:[10]

1. Singkat, artinya bahasa jurnalistik itu harus menghindari penjelasan yang terlalu panjang
dan berbelit-belit. Tetapi juga tidak boleh terlalu hemat.
2. 2.      Padat, artinya dengan bahasa yang singkat tersebut harus mampu menyampaikan
informasi secara lengkap yang dibutuhkan oleh pembaca. Hal ini dapat dilakukan dengan
menerapkan prinsip 5W dan 1H, dan membuang kata-kata yang mubazir, serta
menerapkan prinsip ekonomi dalam pembuatan kalimat.
3. Sederhana, artinya bahasa jurnalistik ini harus menggunakan kalimat tunggal dan
sederhana, bukan kalimat majemuk yang panjang dan rumit. Selain itu, sederhana berarti
menggunakan kalimat yang efektif, praktis, dan tidak berlebih-lebihan.
4. Lugas, artinya bahasa yang digunakan harus mampu menyampaikan informasi atau
berita secara langsung.
5. Menarik, artinya yaitu harus pandai-pandai mengolah kalimat menjadi menarik sehingga
dapat menarik minat pembaca dan kita juga dituntut harus kreatif. Hal ini dapat dilakukan
dengan menggunakan pilihan kata yang masih hidup dan populer dimasyarakat, jangan
menggunakan kata-kata yang sudah mati.
6. Jelas, artinya informasi yang disampikan haarus mudah dipahami oleh semua lapisan
masyarakat. Struktur kalimatnya tidak menimbulkan penyimpangan atau salah
pengartian, mengindari ungkapan dan makna ganda, serta menggunakan kata-kata yang
bermakna denotatif.
7. Komunikatif artinya langsung menuju pada materi yang ingin dibahas atau langsung ke
pokok persoalan (straight to the point), bermakna tunggal, tidak konotatif, tidak
berbunga-bunga, tidak bertele-tele, dan tanpa basa-basi.
8. Dan spesifik artinya mempunyai gaya penulisan tersendiri, yakni kalimatnya pendek-
pendek, memiliki kata-kata yang jelas, dan mudah dimengerti orang awam.

9. Sudut Pandang Orang Pertama sebagai Pelaku Utama

Dalam sudut pandang teknik ini, si ”aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah
laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik,
hubungannya dengan sesuatu yang di luar dirinya. Si ”aku”menjadi fokus pusat
kesadaran, pusat cerita. Segala sesuatu yang di luar diri si ”aku”, peristiwa, tindakan, dan
orang, diceritakan hanya jika berhubungan dengan dirinya, di samping memiliki
kebebasan untuk memilih masalah-masalah yang akan diceritakan. Dalam cerita yang
demikian,si ”aku” menjadi tokoh utama (first person central).

10. Contoh:
Pagi ini begitu cerah hingga mampu mengubah suasana jiwaku yang tadinya penat karena
setumpuk tugas yang masih terbengkelai menjadi sedikit teringankan. Namun, aku harus
segera bangkit dari tidurku dan bergegas mandi karena pagi ini aku harus meluncur ke
Kedubes Australia untuk mengumpulkan berita yang harus segera aku laporkan hari ini
juga.

11. 2. Sudut Pandang Orang Pertama sebagai Pelaku Sampingan

Dalam sudut pandang ini, tokoh ”aku” muncul bukan sebagai tokoh utama, melainkan
sebagai tokoh tambahan (first pesonal peripheral). Tokoh ”aku” hadir untuk
membawakan cerita kepada pembaca, sedangkan tokoh cerita yang dikisahkan itu
kemudian ”dibiarkan” untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya. Tokoh cerita
yang dibiarkan berkisah sendiri itulah yang kemudian menjadi tokoh utama, sebab dialah
yang lebih banyak tampil, membawakan berbagai peristiwa, tindakan, dan berhubungan
dengan tokoh-tokoh lain. Setelah cerita tokoh utama habis, si ”aku”tambahan tampil
kembali, dan dialah kini yang berkisah.
Dengan demikian si ”aku” hanya tampil sebagai saksi saja. Saksi terhadap
berlangsungnya cerita yang ditokohi oleh orang lain. Si ”aku” pada umumnya tampil
sebagai pengantar dan penutup cerita.

12. Contoh:
Deru beribu-ribu kendaraan yang berlalu-lalang serta amat membisingkan telinga
menjadi santapan sehari-hariku setelah tiga bulan aku tinggal di kota metropolitan ini.
Memang tak mudah untuk menata hati dan diriku menghadapi suasana kota besar,
semacam Jakarta, bagi pendatang seperti aku. Dulu, aku sempat menolak untuk
dipindahkan ke kota ini. Tapi, kali ini aku tak kuasa untuk menghindar dari tugas ini,
yang konon katanya aku sangat dibutuhkan untuk ikut memajukan perusahaan tempatku
bekerja.
Ternyata, bukan aku saja yang mengalami mutasi kali ini. Praba, teman satu asramaku ,
juga mengalami hal yang sama. Kami menjadi sangat akrab karena merasa satu nasib,
harus beradaptasi dengan suasana Kota Jakarta.
“Aku bisa stress kalau setiap hari harus terjebak macet seperti ini. Apakah tidak upaya
dari Pemkot DKI mengatasi masalah ini! Rasanya, mendingan posisiku seperti dulu asal
tidak di kota ini!” umpatnya.

13. 3. Sudut Pandang Orang Ketiga Serbatahu

Dalam sudut pandang ini, cerita dikisahkan dari sudut ”dia”, namun pengarang, narator
dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh ”dia” tersebut. Narator
mengetahui segalanya, ia bersifat mahatahu (omniscient). Ia mengetahui berbagai hal
tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya. Ia
bebas bergerak dan menceritakan apa saja dalam lingkup waktu dan tempat cerita,
berpindah-pindah dari tokoh ”dia”yang satu ke ”dia” yang lain, menceritakan atau
sebaliknya ”menyembunyikan” ucapan dan tindakan tokoh, bahkan juga yang hanya
berupa pikiran, perasaan, pandangan, dan motivasi tokoh secara jelas, seperti halnya
ucapan dan tindakan nyata.

14. Contoh:
Sudah genap satu bulan dia menjadi pendatang baru di komplek perumahan ini. Tapi,
belum satu kali pun dia terlihat keluar rumah untuk sekedar beramah-tamah dengan
tetangga yang lain, berbelanja, atau apalah yang penting dia keluar rumah.
“Apa mungkin dia terlalu sibuk, ya?” celetuk salah seorang tetangganya. “Tapi, masa
bodoh! Aku tak rugi karenanya dan dia juga tak akan rugi karenaku.”
Pernah satu kali dia kedatangan tamu yang kata tetangga sebelah adalah saudaranya.
Memang dia sosok introvert, jadi walaupun saudaranya yang datang berkunjung, dia
tidak bakal menyukainya.

15. 4. Sudut Pandang Orang Ketiga sebagai Pengamat

Dalam sudut pandang ”dia” terbatas, seperti halnya dalam”dia”mahatahu, pengarang


melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita,
namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja atau terbatas dalam jumlah yang sangat
terbatas. Tokoh cerita mungkin saja cukup banyak, yang juga berupa tokoh ”dia”, namun
mereka tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan sosok dirinya seperti halnya tokoh
pertama.

16. Contoh:
Entah apa yang terjadi dengannya. Datang-datang ia langsung marah. Memang
kelihatannya ia punya banyak masalah. Tapi kalau dilihat dari raut mukanya, tak hanya
itu yang ia rasakan. Tapi sepertinya ia juga sakit. Bibirnya tampak kering, wajahnya
pucat,dan rambutnya kusut berminyak seperti satu minggu tidak terbasuh air. Tak satu
pun dari mereka berani untuk menegurnya, takut menambah amarahnya.

Persamaan Argumentasi dan Eksposisi

1. Argumentasi dan Eksposisi sama-sama menjelaskan pendapat, gagasan, dan keyakinan


kita
2. Argumentasi dan Eksposisi sama-sama memerlukan fakta yang diperkuat  atau diperjelas
dengan angka, peta, grafik, diagram, gambar, dll.
3. Argumentasi dan Eksposisi sama-sama memerlukan analisis dalam pembahasan
4.   Argumentasi dan Eksposisi sama-sama menggali idenya dari:
1. Pengalaman
2. Pengamatan dan Penelitian
3. Sikap dan Keyakinan

Perbedaan Argumentasi dan Eksposisi

1. Tujuan eksposisi hanya menjelaskan dan menerangkan sehingga pembaca memperoleh


informasi yang sejelas-jelasnya. Argumentasi bertujuan untuk mempengaruhi pembaca
sehingga pembaca menyetujui bahwa pendapat dan keyakinan kita benar.
2. Eksposisi menggunakan contoh, grafik, dll. Untuk menjelaskan sesuatu yang kita
kemukakan . Argumentasi memberi contoh, grafik, dll. Untuk membuktikan bahwa
sesuatu yang kita kemukakan itu benar
3. Penutup pada eksposisi biasanya menegaskan lagi dari sesuatu yang telah diuraikan
sebelumnya
4. Penutup pada argumentasi biasanya berupa kesimpulan atas sesuatu yang telah diuraikan
sebelumnya.

 
 b.Ciri-cir :Bahasa Jurnalistik memiliki dua ciri utama : komunikatif dan spesifik.
Komunikatif artinya langsung menjamah materi atau langsung ke pokok persoalan (
straight to the point 
), bermakna tunggal, tidak konotatif, tidak berbunga-bunga, tidak bertele-tele, dantanpa basa-
basi. Spesifik artinya mempunyai gaya penulisan tersendiri, yaknikalimatnya pendek-pendek,
kata-katanya jelas, dan mudah dimengerti orang awam.
4.Ragam Bahasa Sastra :a.Contoh ( 1 paragraf ) :“Bagiku, dia bak sebuah Oasis!” akhirnya aku
menemukan sebuah metafora yangkuanggap paling tepat untuk melukiskan gadis yang menarik
hatiku. Oasis itu bersumber dari keteduhan sinar matanya. Sosoknya? Ia seanggun pohon-pohon
kurma berbatangkuning cemerlang, berdaun sehijau jamrud, dan berbuah lebat ranum. (Naning
Pranoto,Kisah Sebuah Oasis: 2003:12). b.Ciri-ciri :1.Ragam bahasa sastra banyak mengunakan
kalimat yang tidak efektif.2.Pengambaran yang sejels-jelasnya melalui rangkaian kata bermakna
konotasi seringdipakai dalam ragam bahasa sastra. Hal ini dilakukan agar tercipta pencitraan di
dalamimajinasi pembaca.

Anda mungkin juga menyukai