Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

POST PARTUM DENGAN SECTIO CAESAREA


ATAS INDIKASI PRE EKLAMSIA BERAT
DIRUANGAN MAWAR
RSUD RAA. SOEWONDO PATI

Disusun guna memenuhi tugas Program Profesi Ners


Stase Keperawatan Keperawatan Dasar

Disusun Oleh :

Mita Nur Faiqotun


NIM : 82021040057

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
LAPORAN PENDAHULUAN
POST PARTUM DENGAN SECTIO CAESAREA
ATAS INDIKASIPRE EKLAMSIA BERAT

A. Post Partum
1. Pengertian
Masa nifas atau masa purpenium adalah masa setelah partus selesai dan
berakhir setelah kira-kira 6 – 8 minggu. Akan tetapi seluruh alat genetal baruh pulih
kembali seperti sebelumnya ada kehamilan dalam waktu 3 bulan (Manjoer, A dkk,
2011).
Masa nifas adalah priode sekitar 6 minggu sesudah melahirkan anak, ketika
alat-alat reproduksi tengah kembali ke kondisi normal (Barbara F. Weller, 2015).
Post partum adalah proses lahirnya bayi dengan tenaga ibu sendiri, tanpa
bantuan alat-alat serta tidak tidak melukai ibu dan bayi yang umumnya berlangsung
kurang dari 24 jam (Saifuddin, 2012).
Masa purpenium dan masa nifas dimulai setelah partus selesai, dan berakhir
setelah kira-kira 6 minggu. Akan tetapi seluruh alat genetal baru pulih kembali seperti
sebelum ada kelahiran dalam waktu 3 bulan (Siswosudarmo, 2018).
Jadi dapat disimpulkan bahwa masa nifas atau post partum adalah masa setelah
kelahiran bayi pervagina dan berakhir setelah alat-alat kandungan kembali seperti
semula tanpa adanya komplikasi.
2. Priode Post Partum
Tahapan yang terjadi pada masa nifas menurut Saleha (2014) adalah sebagai berikut:
a. Priode immediate post partum
Masa segera setelah plasenta lahir sampai 24 jam. Pada masa ini sering
terdapat masalah, misalnya perdarahan karena atonia uteri. Oleh karena itu bidan
harus tetarur melakukan pemeriksaan kontraksi uterus, pengeluaran lochea, teknan
darah, dan suhu.
b. Priode early post partum antara 24 jam sampai 1 minggu
Pada fase ini dapat memastikan involasi uteri dalam keadaan normal, tidak
ada perdarahan, lochea tidak berbau busuk, tidak demam, ibu cukup mendapatkan
makan dan cairan, serta ibu dapat menyusui dengan baik.
c. Periode late post partum antara 1 minggu sampai 5 minggu
Pada priode ini bidan tetap melakukan perawatan dan pemeriksaan sehari-
hari serta konseling keluarga berencana.
3. Adaptasi Fisiologi dan Adaptasi Psikologis
Adaptasi yang terjadi pada masa post partum adalah:
a. Adaptasi fisiologis
Adaptasi atau perubahan yang terjadi pada ibu post partum normal yaitu:
1) System reproduksi:
a) Uterus
Segera setelah lahirnya plasenta, pada uterus yang nerkontraksi posisi
fundus uteri berada kurang lebih pertengahan antara umbilicus dan simfisis,
atau sedikit lebih tinggi.
“Uterus secara berangsur-angsur menjadi kecil (involusi) sehingga
akhirnya kembali seperti sebelum hamil. Otot uterus berkontraksi segera
pada post partum. Pembuluh-pembuluh darah yang berada diantara anyaman
otot-otot uterus akan terjepit. Proses ini akan menghentikan perdarahan
setelah plasenta dilahirkan” (Wiknjosastro, 2012)
Tabel 1: Tinggi fundus uterus dan berat uterus menurut masa involusi.
Involusi Tinggi Fundus Uteri Berat Uterus
Bayi lahir Setinggi pusat 1000 gram
Uri lahir 2 jari bawah pusat 750 gram
1 minggu Pertengahan pusat-simpisis 500 gram
2 minggu Tidak teraba diatas simpisis 350 gram
6 minggu Bertambah kecil 50 gram
8 minggu Sebesar normal 30 gram
(Mochtar, 2014)
b) Lochea
Lochea adalah cairan sekret yang berasal dari cavum uteri dan vagina
dalam masa nifas. Lochea dibagi menjadi 4 macam, yaitu:
(1) Lochea rubra atau cruenta.
Berisi darah segar dan sisi-sisi selaput ketuban, sel-sel desidua,
serviks kaseosa, lanugo han mekonium, selama dua hari post partum
(2) Lochea sanguinolenta.
Berwarnah merah kuning berisi darah dan lendir, selama hari ke 3
hingga hari ke 7 post partum.
(3) Lochea serosa.
Berwarna kuning, cair tidak berdarah lagi, pada hari ke 7 hingga
hari ke 14 post partum.
(4) Lochea alba.
Cairan putih selama dua minggu (Siswosudarmo, 2018)
c) Endometrium
Perubahan pada endometrium adalah timbunya trombosis, degenerasi,
dan nekrosis di tempat implatasi plasenta. Pada hari pertama tebal
endometrium 2,5 milimeter, mempunyai permukaan yang kasar akibat
pelepasan desidua, dan slaput janin. Setelah tiga hari mulai rata, sehingga
tidak ada pembentukan jaringan parut pada bekas implantasi plasenta
(Saleha, 2014)
d) Serviks
Serviks mengalami involusi bersama-sama uterus. Setelah persalinan,
ostium sksterna dapat dimasuki oleh dua hingga tiga jari tangan. Setelah
enam minggu post natal, serviks menutup. Karena robekan kecil-kecil yang
terjadi selama dilatasi, serviks tidak pernah kembali ke keadaan sebelum
hamil (nulipara) yang berupa lubang kecil seperti mata jarum.
Serviks hanya kembali pada keadaan tidak hamil yang berupa lubang
yang sudah sembuh. Tertutup tetapi terbentuk celah. Dengan demikian
osservivis wanita yang sudah pernah melahirkan merupakan salah satu tanda
yang menunjukkan riwayat kelahiran bayi lewat vagina (Farrer, 2011)
e) Vulva dan Vagina
Vulva dan vagina mengalami penekanan serta peregangan yang sangat
besar selama proses persalinan. Dan dalam beberapa hari pertama sesudah
proses tersebut, kedua organ ini tetap berada dalam keadaan kendur. Setelah
3 minggu vagina kembali pada keadaan tidak hamil dan rugae dalam vagina
secara berangsur-ansur akan muncul kembali, sementara labia menjadi
menonjol. Himen mengalami ruptur pada saat melahirkan bayi pervagina dan
yang tersisa hanya sisa-sisa kulit yang disebut kurunkulae mirtiformis.
Orifisium vagina biasanya tetap sedikit membuka setelah wanita tersebut
melahirkan (Farrer 2011)
f) Perineum
Segera setelah melahirkan, perineum menjadi kendur karena
sebelumnya teregang oleh tekanan kepala bayi yang bergerak maju. Pada
post natal hari kelima, perineum sudah mendapatkan kembali sebagian besar
tonusnya sekalipun tetap lebih kendur daripada keadaan sebelum melahirkan.
Relaksasi dasar panggul dan otot-otot abdomen juga dapat bertahan (Farres,
2011)
g) Mamae
Pada semua wanita yang telah melahirkan proses laktasi terjadi secara
alami. Selama sembilan bulan kehamilan, jaringan pyudara tumbuh dan
menyiapkan fungsinya untuk menyediakan makanan bayi baru lahir. Setelah
melahirkan ketika hormon yang dihasilkan plasenta tidak ada lagi untuk
menghambatnya, kelenjar pituitary akan mengeluarkan prolaktin. Sampai
hari ke tiga setelah melahirkan, efek prolaktin payudara mulai bisa dirasakan
(Saleha 2014).
2) Sistem pencernaan
Selama 2 jam pasca persalinan kadang dijumpai pasien yang merasa mual
sampai muntah. Atasi hal ini dengan posisi tubuh yang memungkinkan dapat
mencegah terjadinya aspirasi kedalam saluran pernafasan dengan setengah
duduk atau tidur ditempat tidur. Perasaan haus pasti dirasakan pasien, oleh
karena itu hidrasi sangat diperlukan untuk mencegah dehidrasi (Sulisyawanti,
2010)
3) Sistem perkemihan
Selama 2 sampai 4 jam pasca persalinan kandung kemih masih dalam
keadaan hipotonik akibat adanya alotaksis, sehingga sering dijumpai kandung
kemih dalam keadaan penuh dan mengalami pembesaran. Hal ini disebabkan
oleh tekanan pada kandung kemih dan uretra selama persalinan.
Kondisi ini dapat ringankan dengan selalu mengusahakan kandung kemih
tetap kosong selama persalinan untuk mencegah trauma. Setelah melahirkan,
kandung kemih sebaiknya tetap kosong guna mencegah uterus berubah posisi.
Uterus yang berkontraksi dengan buruk meningkatkan perdarahan dan nyeri
(Sulisyawati,2010).
4) Sistem muskuloskletal
Kadar MSH mengalami penurunan secara cepat setelah post partum.
Linea nigra dan closma gravidarum menghilang setelah melahirkan. Striae
gravidarum yang ada tumbuh pada abdomen, paha, payudara secara berangsur-
angsur menjadi garis putih kurang nyata, tapi tidak hilang secara sempurna
setelah post partum (Jansen, B. 2015)
5) Sistem endokrin
Setelah plasenta lahir, estrogen dan progesteron mengalami penurunan.
Pada wanita tidak menyusui, estrogen meningkat dan mencapai puncak
follikuler pada minggu ketiga post partum yang mungkin kembali proses
mensturasi. Sedang pada wanita menyusui, proses kembalinya kadar estrogen
dan progesteron lebih lambat. Laktasi ditandai dengan adanya peningkatan
kadar prolaktin yang cepat dengan adanya proses menyusui. Sedangkan pada
wanita yang tidak menyusui kadar prolaktin akan ditekan dengan kembali pada
keadaan normal seperti sebelum hamil.
6) Perubahan tanda-tanda vital
Dalam 2 jam pertama setelah persalinan, tekanan darah, nadi, pernafasan
akan berangsur kembali normal. Suhu pasien biasanya akan mengalami sedikit
peningkatan tapi masih dibawa 38 derajat celcius, hal ini disebabkan oleh
kurangnya cairan dan kelelahan. Jika intake cairan baik, maka suhu akan
berangsur normal kembali setelah 2 jam (Sulistywati,2010)
7) Sistem kardiovaskuler
Pada persalinan pervagina kehilangan darah sekitar 200 sampai 500 ml.
Setelah persalian Shunt akan hilang dengan tiba-tiba. Volume darah pasien akan
relatif bertambah. Keadaan ini akan menjadikan beban pada jantung, dan akan
menimbulkan dekompensasio cordis, keadaan ini dapat diatasi dengan
mekanisme kompensasi dengan adanya hemo konsentrasi sehingga volume
darah kembali seperti awal (Sulityawati,2010)
b. Adaptasi psikologis
Priode ini terjadi dalam 3 tahap:
1) Taking in period
Terjadi pada 1-2 hari setelah persalinan, ibu masih pasif dan sangat
tergantung pada orang lain, fokus perhatian pada tubuhnya, itu lebih mengingat
pengalaman melahirkan dan persalian yang dialami, serta kebutuhan tidur dan
nafsu makan meningkat.
2) Taking hold period
Berlangsung 3-4 hari post partum ibu lebih berkonsentrasi pada
kemampuannya dalam menerima tanggung jawab sepenuhnya terhadap
perawatan bayi. Pada masa ini ibu sangat sensitive, sehingga membutuhkan
bimbingan dan dorongan perawat untuk mengatasi kritikan yang dialami ibu.
3) Letting go period
Dialami setelah ibu dan bayi dirumah. Ibu mulai secara penuh menerima
tanggung jawab sebagai seorang ibu dan menyadari atau merasakan kebutuhan
bayi sangat bergangtung pada dirinya.
4. Pengawasan akhir masa nifas
Pemeriksaan akhir kala nifas (post partum) sangat penting karena dapat
digunakan untuk melakukan pemeriksaan khusus sebagai berikut :
a. Melakukan pemeriksaan papsmears untuk mencari kemungkinan kelainan
sitologi sel servik atau sel sendometrium
b. Menilai seberapa jauh involusi uterus
c. Mempersiapkan untuk menggunakan metode KB.

B. Konsep Teori Pre Eklamsia Berat


1. Pengertian
Preeklampsia adalah sekumpulan gejala yang timbul pada wanita hamil,
bersalin dan nifas yang terdiri dari hipertensi, edema dan proteinuria tetapi tidak
menjukkan tanda-tanda kelainan vaskuler atau hipertensi sebelumnya, sedangkan
gejalanya biasanya muncul setelah kehamilan berumur 28 minggu atau lebih ( Rustam
Muctar, 2014).
Preeklampsia adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan
proteinuria yang timbul karena kehamilan. Preeklampsi berat adalah suatu komplikasi
kehamilan yang ditandai dengan timbulnya hipertensi 160/110 mmHg atau lebih
disertai proteinuria dan atau disertai udema pada kehamilan 20 minggu atau lebih.
Preeklampsia dibagi dalam 2 golongan ringan dan berat. Penyakit digolongkan
berat bila satu atau lebih tanda gejala dibawah ini :
a. Tekanan sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolik 110 mmHg atau
lebih.
b. Proteinuria 5 g atau lebih dalam 24 jam; 3 atau 4 + pada pemeriksaan kualitatif;
c. Oliguria, air kencing 400 ml atau kurang dalam 24 jam
d. Keluhan serebral, gangguan penglihatan atau nyeri di daerah epigastrium
e. Edema paru dan sianosis.
2. Etiologi
Etiologi penyakit ini sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Banyak
teori – teori dikemukakan oleh para ahli yang mencoba menerangkan penyebabnya.
Oleh karena itu disebut “penyakit teori” namun belum ada memberikan jawaban yang
memuaskan. Tetapi terdapat suatu kelainan yang menyertai penyakit ini yaitu :
a. Spasmus arteriola
b. Retensi Na dan air
c. Koagulasi intravaskuler
Walaupun vasospasme mungkin bukan merupakan sebab primer penyakit ini,
akan tetapi vasospasme ini yang menimbulkan berbagai gejala yang menyertai
eklampsia.
Teori yang dewasa ini banyak dikemukakan sebagai sebab preeklampsia ialah
iskemia plasenta. Akan tetapi, dengan teori ini tidak dapat diterangkan semua hal yang
bertalian dengan penyakit itu. Rupanya tidak hanya satu faktor, melainkan banyak
faktor yang menyebabkan preeklampsia dan eklampsia. Diantara faktor-faktor yang
ditemukan sering kali sukar ditemukan mana yang sebab mana yang akibat
Sebab pre eklamasi belum diketahui,
a. Vasospasmus menyebabkan :
1) Hypertensi
2) Pada otak (sakit kepala, kejang)
3) Pada placenta (solution placentae, kematian janin)
4) Pada ginjal (oliguri, insuffisiensi)
5) Pada hati (icterus)
6) Pada retina (amourose)
b. Ada beberapa teori yang dapat menjelaskan tentang penyebab preeklamsia yaitu :
1) Bertambahnya frekuensi pada primigravida, kehamilan ganda, hidramnion,
dan molahidatidosa
2) Bertambahnya frekuensi seiring makin tuanya kehamilan
3) Dapat terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian janin dalam
uterus
4) Timbulnya hipertensi, edema, protein uria, kejang dan koma.
c. Factor Perdisposisi Preeklamsi
1) Molahidatidosa
2) Diabetes melitus
3) Kehamilan ganda
4) Hidrocepalus
5) Obesitas
6) Umur yang lebih dari 35 tahun
3. Patofisiologi
Pada pre eklampsia terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi
garam dan air. Pada biopsi ginjal ditemukan spasme hebat arteriola glomerulus. Pada
beberapa kasus, lumen arteriola sedemikian sempitnya sehingga hanya dapat dilakui
oleh satu sel darah merah. Jadi jika semua arteriola dalam tubuh mengalami spasme,
maka tenanan darah akan naik sebagai usaha untuk mengatasi tekanan perifer agar
oksigenasi jaringan dapat dicukupi. Sedangkan kenaikan berat badan dan edema yang
disebabkan oleh penimbunan air yang berlebihan dalam ruangan interstitial belum
diketahui sebabnya, mungkin karena retensi air dan garam. Proteinuria dapat
disebabkan oleh spasme arteriola sehingga terjadi perubahan pada glomerulus.Pada
preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan patologis pada
sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan oleh vasospasme dan
iskemia (Cunniangham, 2013).
Wanita dengan hipertensi pada kehamilan dapat mengalami peningkatan
respon terhadap berbagai substansi endogen (seperti prostaglandin,tromboxan) yang
dapat menyebabkan vasospasme dan agregasi platelet.  Penumpukan trombus dan
perdarahan dapat mempengaruhi sistem saraf pusat yang ditandai dengan sakit kepala
dan defisit syaraf lokal dan kejang. Nekrosis ginjal dapat menyebabkan penurunan
laju filtrasi glomelurus dan proteinuria. Kerusakan hepar dari nekrosis hepatoseluler
menyebabkan nyeri epigastrium dan peningkatan tes fungsi hati. Manifestasi terhadap
kardiovaskuler meliputi penurunan volume intavaskuler, meningkatnya kardiakoutput
dan peningkatan tahanan pembuluh perifer. Peningkatan hemolisis microangiopati
menyebabkan anemia dan trobositopeni. Infark plasenta dan obstruksi plasenta
menyebabkan pertumbuhan janin terhambat bahkan kematian janin dalam rahim
(Michael, 2015).
Perubahan pada organ :
a. Perubahan kardiovaskuler
Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada
preeklamsia dan eklampsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan
dengan peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang
secara nyata dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis hipervolemia
kehamilan atau yang secara iatrogenik ditingkatkan oleh larutan onkotik /
kristaloid intravena, dan aktifasi endotel disertai ekstravasasi kedalam
ekstravaskuler terutama paru (Cunningham, 2013).
b. Metablisme air dan elektrolit
Hemokonsentrasi yang menyerupai preeklampsia dan eklampsia tidak
diketahui penyebabnya . jumlah air dan natrium dalam tubuh lebih banyak pada
penderita preeklamsia dan eklampsia dari pada wanita hamil biasa atau penderita
dengan hipertensi kronik. Penderita preeklamsia tidak dapat mengeluarkan dengan
sempurna air dan garam yang diberikan. Hal ini disebabkan oleh filtrasi
glomerulus menurun, sedangkan penyerapan kembali tubulus tidak berubah.
Elektrolit, kristaloid, dan protein tidak mununjukkan perubahan yang nyata pada
preeklampsia. Konsentrasi kalium, natrium, dan klorida dalam serum biasanya
dalam batas normal (Trijatmo, 2015).
c. Mata
Dapat dijumpai adanya edema retina dan spasme pembuluh darah. Selain
itu dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan oleh edema intraokuler dan
merupakan salah satu indikasi untuk melakukan terminasi kehamilan. Gejala lain
yang menunjukkan pada preeklampsia berat yang mengarah pada eklampsia adalah
adanya skotoma, diplopia dan ambliopia. Hal ini disebabkan oleh adaanya
perubahan peredaran darah dalam pusat penglihatan dikorteks serebri atau didalam
retina (Rustam, 2014).
d. Otak
Pada penyakit yang belum berlanjut hanya ditemukan edema dan anemia
pada korteks serebri, pada keadaan yang berlanjut dapat ditemukan perdarahan
(Trijatmo, 2015).
e. Uterus
Aliran darah ke plasenta menurun dan menyebabkan gangguan pada
plasenta, sehingga terjadi gangguan pertumbuhan janin dan karena kekurangan
oksigen terjadi gawat janin. Pada preeklampsia dan eklampsia sering terjadi
peningkatan tonus rahim dan kepekaan terhadap rangsangan, sehingga terjadi
partus prematur.
f. Paru2
Kematian ibu pada preeklampsia dan eklampsia biasanya disebabkan oleh
edema paru yang menimbulkan dekompensasi kordis. Bisa juga karena aspirasi
pnemonia atau abses paru (Rustam, 2014).
4. PATHWAY
5. Manifestasi
Diagnosis preeklamsia ditegakkan berdasarkan adanya dari tiga gejala, yaitu :
a. Edema
b. Hipertensi
c. Proteinuria
Berat badan yang berlebihan bila terjadi kenaikan 1 kg seminggu beberapa
kali. Edema terlihat sebagai peningkatan berat badan, pembengkakan kaki, jari tangan
dan muka. Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg atau tekanan sistolik meningkat > 30
mmHg atau tekanan diastolik > 15 mmHg yang diukur setelah pasien beristirahat
selama 30 menit. Tekanan diastolik pada trimester kedua yang lebih dari 85 mmHg
patut dicurigai sebagai bakat preeklamsia. Proteiuria bila terdapat protein sebanyak
0,3 g/l dalam air kencing 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan +1 atau 2;
atau kadar protein ≥ 1 g/l dalam urin yang dikeluarkan dengan kateter atau urin porsi
tengah, diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam.
Disebut preeklamsia berat bila ditemukan gejala :
a. Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolik ≥ 110 mmHg.
b. Proteinuria + ≥5 g/24 jam atau ≥ 3 pada tes celup.
c. Oliguria (<400 ml dalam 24 jam). - Sakit kepala hebat atau gangguan
penglihatan. - Nyeri epigastrum dan ikterus. - Trombositopenia. - Pertumbuhan
janin terhambat. - Mual muntah - Nyeri epigastrium - Pusing - Penurunan visus
(Kapita Selekta Kedokteran edisi ke-3)
6. PemeriksaanPenunjang Preeklampsia
a. Pemeriksaan spesimen urine mid-stream untuk menyingkirkan kemungkinan
infeksi urin.
b. Pemeriksaan darah, khususnya untuk mengetahui kadar ureum darah (untuk
menilai kerusakan pada ginjal) dan kadar hemoglobin.
c. Pemeriksaan retina, untuk mendeteksi perubahan pada pembuluh darah retina.
d. Pemeriksaan kadar human laktogen plasenta (HPL) dan esteriol di dalam plasma
serta urin untuk menilai faal unit fetoplasenta
e. Elektrokardiogram dan foto dada menunjukkan pembesaran ventrikel dan
kardiomegali.

C. Konsep Teori Sectio Caesarea


1. Pengertian
Sectio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka
dinding perut dan dinding uterus. (Sarwono, 2015)
Sectio caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada
dinding uterus melalui depan perut atau vagina. Atau disebut juga histerotomia untuk
melahirkan janin dari dalam rahim. (Mochtar, 2014)
2. Etiologi
Menurut Mochtar (2014) faktor dari ibu dilakukannya sectio caesarea adalah
plasenta previa , panggul sempit, partus lama, distosia serviks, pre eklamsi dan
hipertensi. Sedangkan faktor dari janin adalah letak lintang dan letak bokong.
Menurut Manuaba (2011) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah ruptur
uteri iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan indikasi dari janin
adalah fetal distres dan janin besar melebihi 4.000 gram. Dari beberapa faktor sectio
caesarea diatas dapat diuraikan beberapa penyebab sectio caesarea sebagai berikut :
1. CPD (Chepalo Pelvik Disproportion)
2. KPD (Ketuban Pecah Dini)
3. Janin Besar (Makrosomia)
4. Kelainan Letak Janin
5. Bayi kembar
6. Faktor hambatan jalan lahir
7. PEB (Pre-Eklamsi Berat)
Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang langsung
disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas. Setelah perdarahan dan
infeksi, pre-eklamsi dan eklamsi merupakan penyebab kematian maternal dan perinatal
paling penting dalam ilmu kebidanan. Karena itu diagnosa dini amatlah penting, yaitu
mampu mengenali dan mengobati agar tidak berlanjut menjadi eklamsi (Mochtar, 2014).
Pre-eklamsi ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan
proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi pada trimester
III kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa.
Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu dari pada tanda-tanda lain. Untuk menegakkan
diagnosis pre-eklamsi, kenaikan tekanan sistolik harus 30 mmHg atau lebih diatas
tekanan yang biasanya ditemukan, atau mencapai 140 mmHg atau lebih. Kenaikan
tekanan diastolik sebenarnya lebih dapat dipercaya. Apabila tekanan diastolik naik
dengan 15 mmHg atau lebih, atau menjadi 100 mmHg atau lebih, maka diagnosis
hipertensi dapat dibuat. Penentuan tekanan darah dilakukan minimal 2 kali dengan jarak
waktu 6 jam pada kedaan istirahat (Wiknjosastro, 2012).
Edema ialah penimbunan cairan secara umum dan berlebihan dalam jaringan
tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta pembengkakan kaki,
jari tangan, dan muka. Edema pretibial yang ringan sering ditemukan pada kehamilan
biasa, sehingga tidak seberapa berarti untuk penentuan diagnosis pre-eklamsi. Kenaikan
berat badan setengah kilo setiap minggu dalam kehamilan masih dapat dianggap normal,
tetapi bila kenaikan satu kilo seminggu beberapa kali,hal ini perlu menimbulkan
kewaspadaan terhadap timbulnya pre-eklamsia. Proteinuria berarti konsentrasi protein
dalam air kencing yang melebihi 0,3 gram/liter dalam air 24 jam atau pemeriksaan
kualitatif menunjukkan satu atau dua + atau satu gram per liter atau lebih dalam air
kencing yang dikeluarkan dengan kateter yang diambil minimal 2 kali dengan jarak
waktu 6 jam. Biasanya proteinuria timbul lebih lambat dari pada hipertensi dan kenaikan
berat badan karena itu harus dianggap sebagai tanda yang cukup serius (Wiknjosastro,
2012).
Pada penatalaksanaan pre-eklamsia untuk pencegahan awal ialah pemeriksaan
antenatal yag teratur dan bermutu serta teliti, mengenali tanda-tanda sedini mungkin, lalu
diberikan pengobatan yang cukup supaya penyakit tidak menjadi lebih berat. Tujuan
utama penanganan adalah untuk mencegah terjadinya pre-eklamsi dan eklamsi,
hendaknya janin lahir hidup dan trauma pada janin seminimal mungkin (Mochtar, 2014).
Menurut (Manuaba, 2012) gejala pre-eklamsi berat dapat diketahui dengan
pemeriksaan pada tekanan darah mencapai 160/110 mmHg, oliguria urin kurang 400
cc/24 jam, proteinuria lebih dari 3 gr/liter. Pada keluhan subjektif pasien mengeluh nyeri
epigastrium, gangguan penglihatan dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan di dapat kadar
enzim hati meningkat disertai ikterus, perdarahan pada retina dan trombosit kurang dari
100.000/mm.
Pada ibu penderita pre-eklamsi berat, timbul konvulsi yang dapat diikuti oleh
koma. Mencegah timbulnya eklamsi jauh lebih penting dari mengobatinya, karena sekali
ibu mendapat serangan, maka prognosa akan jauh lebih buruk. Penatalaksanaan eklamsi
bertujuan untuk menghentikan berulangnya serangan konvulsi dan mengakhiri kehamilan
secepatnya dengan melakukan sectio caesarea yang aman agar mengurangi trauma pada
janin seminimal mungkin (Mochtar, 2014).
3. Tujuan Sectio Caesarea
Tujuan melakukan sectio caesarea (SC) adalah untuk mempersingkat lamanya
perdarahan dan mencegah terjadinya robekan serviks dan segmen bawah rahim. Sectio
caesarea dilakukan pada plasenta previa totalis dan plasenta previa lainnya jika
perdarahan hebat. Selain dapat mengurangi kematian bayi pada plasenta previa, sectio
caesarea juga dilakukan untuk kepentingan ibu, sehingga sectio caesarea dilakukan pada
placenta previa walaupun anak sudah mati
4. Jenis - Jenis Operasi Sectio Caesarea (SC)
a. Abdomen (SC Abdominalis)
1) Sectio Caesarea Transperitonealis
Sectio caesarea klasik atau corporal: dengan insisi memanjang pada
corpus uteri. Sectio caesarea profunda: dengan insisi pada segmen bawah
uterus.
2) Sectio caesarea ekstraperitonealis
Merupakan sectio caesarea tanpa membuka peritoneum parietalis dan
dengan demikian tidak membuka kavum abdominalis.
b. Vagina (sectio caesarea vaginalis)
Menurut arah sayatan pada rahim, sectio caesarea dapat dilakukan apabila:
1) Sayatan memanjang (longitudinal)
2) Sayatan melintang (tranversal)
3) Sayatan huruf T (T Insisian)
c. Sectio Caesarea Klasik (korporal)
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira 10cm.
Kelebihan:
1) Mengeluarkan janin lebih memanjang
2) Tidak menyebabkan komplikasi kandung kemih tertarik
3) Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal
Kekurangan:
1) Infeksi mudah menyebar secara intraabdominal karena tidak ada reperitonial
yang baik.
2) Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri spontan.
3) Ruptura uteri karena luka bekas SC klasik lebih sering terjadi dibandingkan
dengan luka SC profunda. Ruptur uteri karena luka bekas SC klasik sudah
dapat terjadi pada akhir kehamilan, sedangkan pada luka bekas SC profunda
biasanya baru terjadi dalam persalinan.
4) Untuk mengurangi kemungkinan ruptura uteri, dianjurkan supaya ibu yang
telah mengalami SC jangan terlalu lekas hamil lagi. Sekurang -kurangnya
dapat istirahat selama 2 tahun. Rasionalnya adalah memberikan kesempatan
luka sembuh dengan baik. Untuk tujuan ini maka dipasang akor sebelum
menutup luka rahim.
d. Sectio Caesarea (Ismika Profunda)
Dilakukan dengan membuat sayatan melintang konkaf pada segmen bawah rahim
kira-kira 10cm
Kelebihan:
1) Penjahitan luka lebih mudah
2) Penutupan luka dengan reperitonialisasi yang baik
3) Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan isi uterus ke
rongga perineum
4) Perdarahan kurang
5) Dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptur uteri spontan lebih kecil
Kekurangan:
1) Luka dapat melebar ke kiri, ke kanan dan bawah sehingga dapat menyebabkan
arteri uteri putus yang akan menyebabkan perdarahan yang banyak.
2) Keluhan utama pada kandung kemih post operatif tinggi.
e. Komplikasi
1) Infeksi Puerperalis
Komplikasi ini bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama beberapa hari
dalam masa nifas atau dapat juga bersifat berat, misalnya peritonitis, sepsis dan
lain-lain. Infeksi post operasi terjadi apabila sebelum pembedahan sudah ada
gejala - gejala infeksi intrapartum atau ada faktor - faktor yang merupakan
predisposisi terhadap kelainan itu (partus lama khususnya setelah ketuban
pecah, tindakan vaginal sebelumnya). Bahaya infeksi dapat diperkecil dengan
pemberian antibiotika, tetapi tidak dapat dihilangkan sama sekali, terutama SC
klasik dalam hal ini lebih berbahaya daripada SC transperitonealis profunda.
2) Perdarahan
Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabang arteria
uterina ikut terbuka atau karena atonia uteri
3) Luka kandung kemih
4) Embolisme paru - paru
5) Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kurang kuatnya perut pada
dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi ruptura uteri.
Kemungkinan hal ini lebih banyak ditemukan sesudah sectio caesarea klasik.
5. Patofisiologi
Adanya beberapa kelainan/hambatan pada proses persalinan yang menyebabkan
bayi tidak dapat lahir secara normal / spontan, misalnya plasenta previa sentralis dan
lateralis, panggul sempit, disproporsi cephalo pelvic, rupture uteri mengancam, partus
lama, partus tidak maju, pre-eklamsia, distosia serviks, dan malpresentasi janin.
Kondisi tersebut menyebabkan perlu adanya suatu tindakan pembedahan yaitu Sectio
Caesarea (SC).
Dalam proses operasinya dilakukan tindakan anestesi yang akan menyebabkan
pasien mengalami imobilisasi sehingga akan menimbulkan masalah intoleransi aktivitas.
Adanya kelumpuhan sementara dan kelemahan fisik akan menyebabkan pasien tidak
mampu melakukan aktivitas perawatan diri pasien secara mandiri sehingga timbul
masalah defisit perawatan diri.
Kurangnya informasi mengenai proses pembedahan, penyembuhan, dan
perawatan post operasi akan menimbulkan masalah ansietas pada pasien. Selain itu,
dalam proses pembedahan juga akan dilakukan tindakan insisi pada dinding abdomen
sehingga menyebabkan terputusnya inkontinuitas jaringan, pembuluh darah, dan saraf -
saraf di sekitar daerah insisi. Hal ini akan merangsang pengeluaran histamin dan
prostaglandin yang akan menimbulkan rasa nyeri (nyeri akut). Setelah proses
pembedahan berakhir, daerah insisi akan ditutup dan menimbulkan luka post op, yang
bila tidak dirawat dengan baik akan menimbulkan masalah risiko infeksi.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Hemoglobin atau hematokrit (HB/Ht) untuk mengkaji perubahan dari kadar pra
operasi dan mengevaluasi efek kehilangan darah pada pembedahan.
b. Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi
c. Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah
d. Urinalisis / kultur urine
e. Pemeriksaan elektrolit
8. Penatalaksanaan Medis Post SC (Manuaba, 2012)
a. Pemberian cairan
Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka pemberian cairan
perintavena harus cukup banyak dan mengandung elektrolit agar tidak terjadi
hipotermi, dehidrasi, atau komplikasi pada organ tubuh lainnya. Cairan yang biasa
diberikan biasanya DS 10%, garam fisiologi dan RL secara bergantian dan jumlah
tetesan tergantung kebutuhan. Bila kadar Hb rendah diberikan transfusi darah sesuai
kebutuhan.
b. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu
dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian minuman dengan
jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 10 jam pasca operasi, berupa air
putih dan air teh.
c. Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi:
1) Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi
2) Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini
mungkin setelah sadar
3) Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan diminta
untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
4) Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah duduk
(semifowler)
5) Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar duduk
selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada hari ke-3
sampai hari ke5 pasca operasi.
d. Kateterisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada
penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan. Kateter
biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan
keadaan penderita.
e. Pemberian obat-obatan
1) Antibiotik
Cara pemilihan dan pemberian antibiotic sangat berbeda-beda setiap institusi
2) Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
a) Supositoria = ketopropen sup 2x/24 jam
b) Oral = tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
c) Injeksi = penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu
3) Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat diberikan
caboransia seperti neurobian I vit. C
4) Perawatan luka
Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila basah dan berdarah
harus dibuka dan diganti
5) Perawatan rutin
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah suhu, tekanan darah,
nadi,dan pernafasan.
6. Fokus Intervensi
a. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan pelepasan mediator nyeri (histamin,
prostaglandin) akibat trauma jaringan dalam pembedahan (section caesarea)
2) Risiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan / luka kering bekas operasi
3) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan adanya luka operasi
b. Rencana Asuhan Keperawatan
N DIANGOSA TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)
o KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan asuhan Pain Management
  Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk
dengan pelepasan mediator keperawatan selama 3x24
nyeri (histamin, jam diharapkan nteri lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
prostaglandin) akibat trauma berkurang dengan kriteria presipitasi
jaringan dalam pembedahan hasil:  Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
(section caesarea)  Pain Level,  Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui
 Pain control, pengalaman nyeri pasien
 Comfort level   Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
  Mampu mengontrol   Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
nyeri (tahu penyebab nyeri,   Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang
mampu menggunakan ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau
tehnik nonfarmakologi   Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan
untuk mengurangi nyeri, dukungan
mencari bantuan)   Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti
  Melaporkan bahwa suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
nyeri berkurang dengan   Kurangi faktor presipitasi nyeri
menggunakan manajemen  Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non
nyeri farmakologi dan inter personal)
  Mampu mengenali nyeri   Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
(skala, intensitas, frekuensi   Ajarkan tentang teknik non farmakologi
dan tanda nyeri)   Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
  Menyatakan rasa nyaman   Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
setelah nyeri berkurang   Tingkatkan istirahat
  Tanda vital dalam   Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan
rentang normal nyeri tidak berhasil
  Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
Analgesic Administration
  Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri
sebelum pemberian obat
  Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi
  Cek riwayat alergi
  Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari
analgesik ketika pemberian lebih dari satu
  Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya
nyeri
  Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis
optimal
  Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri
secara teratur
  Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian
analgesik pertama kali
  Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
  Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek
samping)
Risiko tinggi infeksi Setelah dilakuakan asuhan Infection Control (Kontrol infeksi)
berhubungan dengan trauma keperawatan selama 3x24   Bersihkanlingkungansetelahdipakaipasienlain
jaringan / luka kering bekas jam diharapkan resiko   Pertahankanteknikisolasi
operasi infeksi terkontrol dengan   Batasipengunjung bila perlu
kriteria hasil:  
  Immune Status Instruksikanpadapengunjunguntukmencucitangansaatberkunjun
  Knowledge : Infection g dan setelahberkunjungmeninggalkanpasien
control   Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
  Risk control   Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan
  Klien bebas dari tanda kperawtan
dan gejala infeksi  Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
 Mendeskripsikan proses Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat
penularan penyakit, factor  Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai
yang mempengaruhi dengan petunjuk umum
penularan serta   Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi
penatalaksanaannya, kandung kencing
  Menunjukkan   Tingktkan intake nutrisi
kemampuan   Berikan terapi antibiotik bila perlu
untuk
mencegah timbulnya infeksi Infection Protection (Proteksi Terhadap Infeksi)
  Jumlah leukosit dalam   Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
batas normal   Monitor hitung granulosit, WBC
  Menunjukkan perilaku   Monitor kerentanan terhadap infeksi
hidup sehat   Batasi pengunjung
  Saring pengunjung terhadap penyakit menular
  Partahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko
  Pertahankan teknik isolasi k/p
  Berikan perawatan kuliat pada area epidema
  Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan,
panas, drainase
  Ispeksi kondisi luka / insisi bedah
  Dorong masukkan nutrisi yang cukup
  Dorong masukan cairan
  Dorong istirahat
  Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep

Gangguan mobilitas fisik  Setelah dilakukan  a. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya.
berhubungan dengan adanya tindakan keperawatan  b. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan.
luka operasi dukungan mobilisasi  c. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum
selama 2×24 memulai mobilisasi
pertemuan, diharapkan  d. Fasilitasi melakukan pergerakan.
mobilitas fisik pasien  e. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi.
meningkat dengan
kriteria hasil :
 a. Pergerakan
ekstremitas meningkat.
 b. Kekuatan otot cukup
meningkat.
 c. Rentang gerak
(ROM) meningkat.
 d. Nyeri menurun .
 e. Kekakuan sendi
cukup menurun.
 f. Kelemahan fisik
cukup menurun.
 g. Kecemasan
menurun.
 h. Gerakan terbatas
cukup menurun.
 i. Gerakan tidak
terkoordinasi cukup
menurun.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, I.J. 2011. Diagnosa Keperawatan, Edisi 8. Jakarta : EGC


Carpenito. 2011. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa keperawatan dan
masalah kolaboratif. Jakarta: EGC
Johnson, M., et all. 2010. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River
Mansjoer, A. 2012. Asuhan Keperawatn Maternitas. Jakarta : Salemba Medika
Manuaba, Ida Bagus Gede. 2012. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga
Berencana, Jakarta : EGC
Manuaba, I.B. 2011. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB.
Jakarta : EGC
Mochtar, Rustam. 2014. Sinopsis Obstetri, Edisi 2, Jilid 2. Jakarta : EGC
Nurjannah Intansari. 2010. Proses Keperawatan NANDA, NOC &NIC. Yogyakarta :
mocaMedia
Prawirohardjo, S. 2010. Buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
Saifuddin, AB. 2012. Buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal dan neonatal.
Jakarta : penerbit yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo
Santosa, Budi. 2017. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2015-2016. Jakarta: Prima
Medika
Sarwono, Prawiroharjo,. 2015. Ilmu Kandungan, Cetakan ke-4. Jakarta : PT Gramedi
Wilkinson M. Judith. 2016. Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria Hasil NOC, Edisi 7. Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai