Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Medis Post Partum


1. Konsep Post Partum
a. Pengertian Post Partum
Post partum adalah proses lahirnya bayi dengan tenaga ibu sendiri,
tanpa bantuan alat-alat serta tidak melukai ibu dan bayi yang
umumnya berlangsung kurang dari 24 jam (Dwi, 2019). Post
partum adalah masa pulih kembali, mulai dari persalinan kembali
sampai alat-alat kandungan kembali seperti sebelum hamil. Lama
masa nifas ini 6-8 minggu. Akan tetapi seluruh alat genital akan
kembali dalam waktu 3 bulan. Selain itu, masa nifas adalah masa
partus selesai dan berakhir dengan perkiraan 6 minggu (Rizqi,
2020).
b. Tahapan Masa Nifas
Menurut maritalia (2012) masa nifas dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:
1) Puerperium dini Puerperium dini merupakan masa pemulihan
awal dimana ibu diperbolehkan untuk berdiri dan berjalan-
jalan. Ibu yang melahirkan per vagina tanpa komplikasi dalam
6 jam pertama setelah kala IV dianjurkan untuk mobilisasi
segera.
2) Puerperium intermedial Suatu masa pemulihan dimana organ-
organ reproduksi secara berangsur-angsur akan kembali ke
keadaan sebelum hamil. Masa ini berlangsung selama kurang
lebih enam minggu atau 42 hari.
3) Remote puerperium Waktu yang diperlukan untuk pulih dan
sehat kembali dalam keadaan sempurna terutama bila ibu
selama hamil atau waktu persalinan mengalami komplikasi.
Rentang waktu remote puerperium berbeda untuk setiap ibu,
tergantung dari berat ringannya komplikasi yang dialami
selama hamil atau persalinan.(Wicaksana, 2016)
c. Adaptasi Fisiologi
Masa Nifas Ibu dalam masa nifas mengalami perubahan
fisiologis. Setelah keluarnya plasenta, kadar sirkulasi hormon HCG
(human chorionic gonadotropin), human plasental lactogen,
estrogen dan progesteron menurun. Human plasental lactogen akan
menghilang dari peredaran darah ibu dalam 2 hari dan HCG dalam
2 mingu setelah melahirkan. Kadar estrogen dan progesteron
hampir sama dengan kadar yang ditemukan pada fase follikuler
dari siklus menstruasi berturut-turut sekitar 3 dan 7 hari. Penarikan
polipeptida dan hormon steroid ini mengubah fungsi seluruh sistem
sehingga efek kehamilan berbalik dan wanita dianggap sedang
tidak hamil (Walyani, 2017). Perubahan-perubahan fisiologis yang
terjadi pada ibu masa nifas menurut Maritalia (2012) dan Walyani
(2017) yaitu:
1) Uterus Uterus merupakan organ reproduksi interna yang
berongga dan berotot, berbentuk seperti buah alpukat yang
sedikit gepeng dan berukuran sebesar telur ayam. Panjang
uterus sekitar 7-8 cm, lebar sekitar 5-5,5 cm dan tebal sekitar
2, 5 cm. Letak uterus secara fisiologis adalah anteversiofleksio.
Uterus terbagi dari 3 bagian yaitu fundus uteri, korpus uteri,
dan serviks uteri. Menurut Walyani (2017) uterus berangsur-
angsur menjadi kecil (involusi) sehingga akhirnya kembali
seperti sebelum hamil:
a) Bayi lahir fundus uteri setinggi pusat dengan berat uterus
1000 gr.
b) Akhir kala III persalinan tinggi fundus uteri teraba 2 jari
bawah pusat dengan berat uterus 750 gr.
c) Satu minggu postpartum tinggi fundus uteri teraba
pertengahan pusat dengan simpisis, berat uterus 500 gr.
d) Dua minggu postpartum tinggi fundus uteri tidak teraba
diatas simpisis dengan berat uterus 350 gr.
e) Enam minggu postpartum fundus uteri bertambah kecil
dengan berat uterus 50 gr.
2) Serviks Serviks merupakan bagian dasar dari uterus yang
bentuknya menyempit sehingga disebut juga sebagai leher
rahim. Serviks menghubungkan uterus dengan saluran vagina
dan sebagai jalan keluarnya janin dan uterus menuju saluran
vagina pada saat persalinan. Segera setelah persalinan, bentuk
serviks akan menganga seperti corong. Hal ini disebabkan oleh
korpus uteri yang berkontraksi sedangkan serviks tidak
berkontraksi. Warna serviks berubah menjadi merah kehitaman
karena mengandung banyak pembuluh darah dengan
konsistensi lunak. Segera setelah janin dilahirkan, serviks
masih dapat dilewati oleh tangan pemeriksa. Setelah 2 jam
persalinan serviks hanya dapat dilewati oleh 2-3 jari dan
setelah 1 minggu persalinan hanya dapat dilewati oleh 1 jari,
setelah 6 minggu persalinan serviks menutup.

3) Vagina merupakan saluran yang menghubungkan rongga


uterus dengan tubuh bagian luar. Dinding depan dan belakang
vagina berdekatan satu sama lain dengan ukuran panjang ± 6, 5
cm dan ± 9 cm. Selama proses persalinan vagina mengalami
penekanan serta pereganganan yang sangat besar, terutama
pada saat melahirkan bayi. Beberapa hari pertama sesudah
proses tersebut, vagina tetap berada dalam keadaan kendur.
Setelah 3 minggu vagina kembali kepada keadaan tidak hamil
dan rugae dalam vagina secara berangsur- angsur akan muncul
kembali. Sesuai dengan fungsinya sebagai bagian lunak dan
jalan lahir dan merupakan saluran yang menghubungkan
cavum uteri dengan tubuh bagian luar, vagina juga berfungsi
sebagai saluran tempat dikeluarkannya sekret yang berasal dari
cavum uteri selama masa nifas yang disebut lochea.
4) Vulva Vulva juga mengalami penekanan serta peregangan
yang sangat besar selama proses melahirkan bayi. Beberapa
hari pertama sesudah proses melahirkan vulva tetap berada
dalam keadaan kendur. Setelah 3 minggu vulva akan kembali
kepada keadaan tidak hamil dan labia menjadi lebih menonjol.
5) Payudara (mamae) Setelah pelahiran plasenta, konsentrasi
estrogen dan progesteron menurun, prolactin dilepaskan dan
sintesis ASI dimulai. Suplai darah ke payudara meningkat dan
menyebabkan pembengkakan vascular sementara. Air susu
sata diproduksi disimpan di alveoli dan harus dikeluarkan
dengan efektif dengan cara dihisap oleh bayi untuk pengadaan
dan keberlangsungan laktasi. ASI yang akan pertama muncul
pada awal nifas ASI adalah ASI yang berwarna kekuningan
yang biasa dikenal dengan sebutan kolostrum. Kolostrum telah
terbentuk didalam tubuh ibu pada usia kehamilan ± 12 minggu.
Perubahan payudara dapat meliputi:
a) Penurunan kadar progesteron secara tepat dengan
peningkatan hormon prolactin setelah persalinan.
b) Kolostrum sudah ada saat persalinan produksi ASI terjadi
pada hari ke 2 atau hari ke 3 setelah persalinan.
c) Payudara menjadi besar dan keras sebagai tanda mulainya
proses laktasi (Walyani, 2017)

6) Tanda-tanda vital Perubahan tanda- tanda vital menurut


Maritalia (2012) dan Walyani (2017) antara lain:
a) Suhu tubuh Setelah proses persalinan suhu tubuh dapat
meningkat 0,5⁰ celcius dari keadaan normal namun tidak
lebih dari 38⁰ celcius. Setelah 12 jam persalinan suhu tubuh
akan kembali seperti keadaan semula.
b) Nadi Setelah proses persalinan selesai frekuensi denyut nadi
dapat sedikit lebih lambat. Pada masa nifas biasanya denyut
nadi akan kembali normal.
c) Takanan darah Setelah partus, tekanan darah dapat sedikit
lebih rendah dibandingkan pada saat hamil karena
terjadinya perdarahan pada proses persalinan.
d) Pernafasan Pada saat partus frekuensi pernapasan akan
meningkat karena kebutuhan oksigen yang tinggi untuk
tenaga ibu meneran/ mengejan dan memepertahankan agar
persediaan oksigen ke janin tetap terpenuhi. Setelah partus
frekuensi pernafasan akan kembali normal.
7) System peredaran darah (kardiovaskuler) Denyut jantung,
volume dan curah jantung meningkat segera setelah
melahirkan karena terhentinya aliran darah ke plasenta yang
mengakibatkan beban jantung meningkat yang dapat diatasi
dengan haemokonsentrasi sampai volume darah kembali
normal, dan pembulu darah kembali ke ukuran semula.
8) System pencernaan Pada ibu yang melahirkan dengan cara
operasi (section caesarea) biasanya membutuhkan waktu
sekitar 1- 3 hari agar fungsi saluran cerna dan nafsu makan
dapat kembali normal. Ibu yang melahirkan secara spontan
biasanya lebih cepat lapar karena telah mengeluarkan energi
yang begitu banyak pada saat proses melahirkan. Buang air
besar biasanya mengalami perubahan pada 1- 3 hari
postpartum, hal ini disebabkan terjadinya penurunan tonus otot
selama proses persalinan. Selain itu, enema sebelum
melahirkan, kurang asupan nutrisi dan dehidrasi serta dugaan
ibu terhadap timbulnya rasa nyeri disekitar anus/ perineum
setiap kali akan b.a.b juga mempengaruhi defekasi secara
spontan. Faktorfaktor tersebut sering menyebabkan timbulnya
konstipasi pada ibu nifas dalam minggu pertama. Kebiasaan
defekasi yang teratur perlu dilatih kembali setelah tonus otot
kembali normal.
9) System perkemihan Buang air kecil sering sulit selama 24 jam
pertama. Kemungkinan terdapat spasine sfingter dan edema
leher buli- buli sesudah bagian ini mengalami kompresi antara
kepala janin dan tulang pubis selama persalinan. Urine dalam
jumlah yang besar akan dihasilkan dalam waktu 12- 36 jam
sesudah melahirkan. Setelah plasenta dilahirkan, kadar hormon
estrogen yang bersifat menahan air akan mengalami penurunan
yang mencolok. Keadaan ini menyebabkan diuresis. Uterus
yang berdilatasi akan kembali normal dalam tempo 6 minggu.
10) System integument Perubahan kulit selama kehamilan berupa
hiperpigmentasi pada wajah, leher, mamae, dinding perut dan
beberapa lipatan sendri karena pengaruh hormon akan
menghilang selama masa nifas.
11) System musculoskeletal Ambulasi pada umumnya dimulai 4-
8 jam postpartum. Ambulasi dini sangat membantu untuk
mencegah komplikasi dan mempercepat proses involusi.
d. Adaptasi Psikologi
Masa Nifas Adanya perasaan kehilangan sesuatu secara fisik
sesudah melahirkan akan menjurus pada suatu reaksi perasaan
sedih. Kemurungan dan kesedihan dapat semakin bertambah oleh
karena ketidaknyamanan secara fisik, rasa letih setelah proses
persalinan, stress, kecemasan, adanya ketegangan dalam keluarga,
kurang istirahat karena harus melayani keluarga dan tamu yang
berkunjung untuk melihat bayi atau sikap petugas yang tidak ramah
(Maritalia, 2012). Minggu- minggu pertama masa nifas merupakan
masa rentan bagi seorang ibu. Pada saat yang sama, ibu baru
(primipara) mungkin frustasi karena merasa tidak kompeten dalam
merawat bayi dan tidak mampu mengontrol situasi. Semua wanita
akan mengalami perubahan ini, namun penanganan atau
mekanisme koping yang dilakukan dari setiap wanita untuk
mengatasinya pasti akan berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh pola
asuh dalam keluarga dimana wanita tersebut dibesarkan,
lingkungan, adat istiadat setempat, suku, bangsa, pendidikan serta
pengalaman yang didapat (Maritalia, 2012). Adaptasi psikologis
ibu dalam masa nifas. Pada primipara, menjadi orang tua
merupakan pengalaman tersendiri dan dapat menimbulkan stress
apabila tidak ditangani dengan segera. Perubahan peran dari wanita
biasa menjadi seorang ibu memerlukan adaptasi sehingga ibu dapat
melakukan perannya dengan baik. Perubahan hormonal yang
sangat cepat setelah proses melahirkan juga ikut mempengaruhi
keadaan emosi dan proses adaptasi ibu pada masa nifas. Fase- fase
yang akan dialami oleh ibu pada masa nifas menurut Dewi (2012)
antara lain adalah sebagai berikut:
1) Fase taking in Fase taking in merupakan fase ketergantungan
yang berlangsung dari hari pertama sampai hari kedua setelah
melahirkan. Ibu terfokus pada dirinya sendiri sehingga
cenderung pasif terhadap lingkungannya. Ketidaknyamanan
yang dialami ibu lebih disebabkan karena proses persalinan
yang baru saja dilaluinya. Rasa mules, nyeri pada jalan lahir,
kurang tidur atau kelelahan, merupakan hal yang sering
dikeluhkan ibu. Pada fase ini, kebutuhan istirahat, asupan
nutrisi dan komunikasi yang baik harus dapat terpenuhi. Bila
kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, ibu dapat mengalami
gangguan psikologis berupa kekecewaan pada bayinya,
ketidaknyamanan sebagai akibat perubahan fisik yang dialami,
rasa bersalah karena belum bisa menyusui bayinya dan kritikan
suami atau keluarga tentang perawatan bayinya.
2) Fase taking hold Fase taking hold merupakan fase yang
berlangsung antara 3- 10 hari setelah melahirkan. Ibu merasa
khawatir akan ketidakmampuan dan rasa tanggung jawab
dalam perawatan bayinya. Perasaan ibu lebih sensitif sehingga
mudah tersinggung. Hal yang perlu diperhatikan adalah
komunikasi yang baik, dukungan dan pemberian penyuluhan
atau pendidikan kesehatan tentang perawatan diri dan bayinya.
3) Fase letting go Fase ini merupakan fase menerima tanggung
jawab peran barunya sebagai seorang ibu. Fase ini berlangsung
selama 10 hari setelah melahirkan. Ibu sudah mulai dapat
menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya dan siap
menjadi pelindung bagi bayinya. Perawatan ibu terhadap diri
dan bayinya semakin meningkat.

B. Konsep Sectio Caesarea


1. Definisi SC Sectio Caesarea
adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada
dinding uterus melalui dinding depan perut (Kusuma, 2015). Sectio
Caesarea adalah jalan alternatif menyambut kelahiran seorang bayi
melalui operasi praktis. Pembedahan dilakukan pada perut dan rahim
ibu. Sectio Caesarea dilakukan sebagai tindakan penyelamatan
terhadap kasus-kasus persalinan normal yang berbahaya. Oleh karena
itu tindakan ini hanya di lakukan ketika proses persalinan alamiah
melalui vagina tidak memungkinkan karena risiko medis tertentu
(Wahyudi, 2016).
2. Etiologi
a. Berasal dari ibu Yaitu pada primigravida dengan kelainan
letak, primi para tua disertai kelainan letak ada, disproporsi
sefalo pelvik (disproporsi janin / panggul ), ada sejarah
kehamilan dan persalinan yang buruk, terdapat kesempitan
panggul, Plasenta previa terutama pada primigravida, solutsio
plasenta tingkat I — II, komplikasi kehamilan yang disertai
penyakit (jantung, DM). Gangguan perjalanan persalinan (kista
ovarium, mioma uteri, dan sebagainya).
b. Berasal dari janin Fetal distress / gawat janin, mal presentasi
dan mal posisi kedudukan janin, prolapsus tali pusat dengan
pembukaan kecil, 8 9 kegagalan persalinan vakum atau forceps
ekstraksi. (Nurarif & Hardhi, 2015). Manuaba (2002) indikasi
dari janin adalah fetal distres dan janin besar melebihi 4.000
gram Dari beberapa faktor SC diatas dapat diuraikan beberapa
penyebab SC sebagai berikut:
1) CPD (Chepalo Pelvik Disproportion) Chepalo Pelvik
Disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu
tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat
menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara alami.
Tulang-tulang panggul merupakan susunan beberapa tulang
yang membentuk rongga panggul yang merupakan jalan
yang harus dilalui oleh janin ketika akan lahir secara alami.
Bentuk panggul yang menunjukkan kelainan atau panggul
patologis juga dapat menyebabkan kesulitan dalam proses
persalinan alami sehingga harus dilakukan tindakan
operasi.
2) PEB (Pre-Eklamsi Berat) Pre-eklamsi dan eklamsi
merupakan kesatuan penyakit yang langsung disebabkan
oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas.
Setelah perdarahan dan infeksi, pre-eklamsi dan eklamsi
merupakan penyebab kematian maternal dan perinatal
paling penting dalam ilmu kebidanan.
3) KPD (Ketuban Pecah Dini) Ketuban pecah dini adalah
pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan dan
ditunggu satu jam belum terjadi inpartu. Sebagian besar
ketuban pecah dini adalah hamil aterm di atas 37 minggu,
sedangkan di bawah 36 minggu.
4) Bayi kembar Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan
secara caesar. Hal ini karena kelahiran kembar memiliki
resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi daripada
kelahiran satu bayi. Selain itu, bayi kembar pun dapat
mengalami sungsang atau salah letak lintang sehingga sulit
untuk dilahirkan secara normal.
5) Factor hambatan jalan lahir Adanya gangguan pada jalan
lahir, misalnya jalan lahir yang tidak memungkinkan
adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan
pada jalan lahir, tali pusat pendek dan ibu sulit bernafas.
6) Kelainan letak janin
a. Letak kepala tengah, Bagian terbawah adalah puncak
kepala, pada pemeriksaan dalam teraba UUB yang
paling rendah. Etiologinya kelainan panggul, kepala
bentuknya bundar, anaknya kecil atau mati, kerusakan
dasar panggul.
b. Presentasi muka, Letak kepala tengadah (defleksi),
sehingga bagian kepala yang terletak paling rendah
ialah muka. Hal ini jarang terjadi, kira-kira 0,27- 0,5 %.
c. Presentasi dahi, Posisi kepala antara fleksi dan defleksi,
dahi berada pada posisi terendah dan tetap paling
depan. Pada penempatan dagu, biasanya dengan
sendirinya akan berubah menjadi letak muka atau letak
belakang kepala.
7) Letak sungsang Letak sungsang merupakan keadaan
dimana janin terletak memanjang dengan kepala difundus
uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum uteri.
Dikenal beberapa jenis letak sungsang, yakni presentasi
bokong, presentasi bokong kaki, sempurna, presentasi
bokong kaki tidak sempurna dan presentasi kaki.

c. Klasifikasi Klasifikasi Sectio Caesarea menurut (Hary


Oxorn dan Wiilliam R. Forte, 2010).
1) Segmen bawah : Insisi melintang Karena cara ini
memungkinkan kelahiran per abdominam yang aman
sekalipun dikerjakan kemudian pada saat persalinan dan
sekalipun dikerjakan kemudian pada saat persalinan dan
sekalipun rongga Rahim terinfeksi, maka insisi melintang
segmenn bawah uterus telah menimbulkan revolusi dalam
pelaksanaan obstetric.
2) Segmen bawah : Insisi membujur Cara membuka abdomen
dan menyingkapkan uterus sama seperti insisi melintang,
insisi membujur dibuat dengan scalpel dan dilebarkan
dengan gunting tumpul untuk menghindari cedera pada
bayi.
3) Sectio Caesarea klasik Insisi longitudinal digaris tengah
dibuat dengan scalpel kedalam dinding anterior uterus dan
dilebarkan keatas serta kebawah dengan gunting yang
berujung tumpul. Diperlukan luka insisi yang lebar karena
bayi sering dilahirkan dengan bokong dahulu. Janin serta
plasenta dikeluarkan dan uterus ditutup dengan jahitan tiga
lapis. Pada masa modern ini hamper sudah tidak
dipertimbangkan lagi untuk mengerjakan Sectio Caesarea
klasik. Satu-satunya indikasi untuk prosedur segmen atas
adalah kesulitan teknis dalam menyingkapkan segmenn
bawah.
4) Sectio Caesarea Extraperitoneal Pembedahan
Extraperitoneal dikerjakan untuk mennghindari perlunya
histerektomi pada kasus-kasus yang menngalami infeksi
luas dengan mencegahh peritonitis generalisata yang sering
bersifat fatal. Ada beberapa metode Sectio Caesarea
Extraperitoneal, seperti metode Waters, Latzko, dan Norton,
T. tekhnik pada prosedur ini relative lebih sulit, sering tanpa
sengaja masuk kedalam vacuum peritoneal dan isidensi
cedera vesica urinaria meningkat. Metode ini tidak boleh
dibuang tetapi tetap disimpan sebagai cadangan kasus-kasus
tertentu.
d. Patofisiologi
Ada beberapa kelainan atau hambatan pada proses persalinan yang
menyebabkan bayi tidak lahir normal atau spontan, misalnya
disebabkan oleh panggul sempit dan plasenta previa. Dalam proses
operasinya dilakukan tindakan anastesi yang akan menyebabkan
pasien mengalami imobilisasi, efek anastesi menyebabkan
konstipasi. Dalam proses pembedahan akan dilakukan tindakan
insisi pada dinding abdomen sehingga menyebabkan terputusnya
jaringan merangsang area sensorik yang menyebabkan gangguan
rasa nyaman yaitu nyeri. Setelah proses pembedahan berakhir
daerah insisi akan ditutup dan menimbulkan luka post sectio
caesarea, yang bila tidak dirawat dengan baik akan menyebabkan
resiko infeksi. Pada saat post partum mengalami penurunan
hormon progesteron dan estrogen akan terjadi kontraksi uterus dan
involusi tidak adekuat sehingga terjadi pendarahan dan bisa
menyebabkan risiko syok, Hb menurun dan kekurangan O2
mengakibatkan kelemahan dan menyebabkan defisit perawatan diri
(Nurarif & Kusuma, 2015).
e. Pathway Sectio Caesaria

SECTIO CAESARIA

Pre Op SC Insisi Post Op Sc


jaringan

Kurang
informasi General
Terputusnya Luka anostesi
kontinuitas
Kesalahan jaringan
Penurunan
interprestasi
Terbuka kesadaran

Pengeluaran post dientri

Kurang mediator Stagnasi


pengetahuan V nyeri penarikan
tentang proses Perawatan
pembedahan kurang
Merangsang
neuroresptor Trombus
Ansietas vena
Resiko
Nyeri akut infeksi
Emboli

CO2
menurun

Perubahan
perfusi

muskoloskeletal

Kelemahan

Intoleransi
aktivitas
f. Pemeriksaan
1. Laboratorium
a. Hemoglobin atau hematokrit (HB/HT) untuk mengkaji
perubahan dari kadar pra operasi dan mengevaluasi
efek kehilangan darah pada pembedahan.
b. Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi.
c. Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu
pembekuan darah.
d. Urinalisis/kultur urine.
e. Pemeriksaan elektrolit.
2. Pemeriksaan ECG.
3. Pemeriksaan USG
4. Amniosentetis terhadap maturitas pari janin sesuai indikasi
g. Penatalaksanaan
1. Pemberian cairan Karena 24 jam pertama penderita puasa
pasca operasi, maka pemberian cairan per intavena harus
cukup banyak dan mengandung elektrolit agar tidak terjadi
hipotermi, dehidrasi, atau komplikasi pada organ tubuh
lainnya. Cairan yang biasa diberikan biasanya DS 10%,
garam fisiologi dan RL secara bergantian dan jumlah
tetesan tergantung kebutuhan. Bila kadar Hb rendah
diberikan transfusi darah sesuai kebutuhan. (Indrieni, 2020)
2. Diet Pemberian cairan per infus biasanya dihentikan setelah
penderita flatus lalu dimulailah pemberian minuman dan
makanan per oral.
3. Mobilitas Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :
Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 sampai 10 jam
setelah operasi, Latihan pernafasan dapat dilakukan
penderita sambil tidur telentang sedini mungkin setelah
sadar, Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan
selama 5 menit dan diminta untuk bernafas dalam lalu
menghembuskannya, Kemudian posisi tidur telentang dapat
diubah menjadi posisi setengah duduk (semifowler),
Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien
dianjurkan belajar duduk selama sehari, belajar berjalan,
dan kemudian berjalan sendiri pada hari ke-3 sampai hari
ke-5 pasca operasi.
4. Katerisasi Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa
nyeri dan rasa tidak enak pada penderita, menghalangi
involusi uterus dan menyebabkan perdarahan. Kateter
biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung
jenis operasi dan keadaan penderita.
5. Pemberian obat - obatan Antibiotik cara pemilihan dan
pemberian antibiotik sangat berbeda-beda sesuai indikasi.
6. Perawatan luka Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post
operasi, bila basah dan berdarah harus dibuka dan diganti.
7. Perawatan payudara Pemberian ASI dapat dimulai pada hari
post operasi jika ibu memutuskan tidak menyusui,
pemasangan pembalut payudara yang mengencangkan
payudara tanpa banyak menimbulkan kompesi, biasanya
mengurangi rasa nyeri.(Indrieni, 2020)

C. Definisi Anemia
1. Anemia
adalah kondisi dimana sel darah merah menurun atau menurunnya
hemoglobin, sehingga kapasitas daya angkut oksigen untuk kebutuhan
organ-organ vital pada ibu dan janin menjadi berkurang. Selama
kehamilan, indikasi anemia adalah jika konsentrasi hemoglobin kurang
dari 10,50 sampai dengan 11,00 gr/dl. Hemoglobin (Hb) yaitu
komponen sel darah merah yang berfungsi menyalurkan oksigen ke
seluruh tubuh, jika Hb berkurang, jaringan tubuh kekurangan oksigen.
Oksigen diperlukan tubuh untuk bahan bakar proses
metabolisme.(Verawati, 2019).
Anemia juga dapat diaktakan sebagai keadaan dimana masa eritrosit
dan masa hemoglobin yang beredar tidak memenuhi fungsinya untuk
menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. Secara laboratorium anemia
terjadi karena penurunan kadar hemoglobin serta nilai eritrosit yang
tidak normal. Anemia adalah keadaan berkurangnya jumlah eritrosit
atau hemoglobin (protein pembawa O2) dari nilai normal dalam darah
sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa O2 dalam
jumlah yang cukup ke jaringan perifer sehingga pengiriman O2 ke
jaringan menurun. Anemia adalah istilah yang menunjukkan rendahnya
hitung sel darah dan kadar hematokrit dibawah normal. Anemia
merupakan penyakit kurang darah yang ditandai dengan kadar
hemoglobin (Hb) dan sel darah merah (eritrosit) lebih rendah
dibandingkan normal. (Soebroto, 2010).
2. Etiologi
a. Perdarahan (jelas atau samar). Perdarahan yang jelas (dari
perdarahan pervagina, epistaksis dan sebagainya) menjadi
penyebab/ keterangan yang nyata untuk anemia. Perdarahan samar
dapat karena perdarahan gastrointestinal yang diperiksa melalui
feses.
b. Defisiensi gizi (factor nutrisi). Akibat kurangnya jumlah besi total
dalam makanan atau kualitas besi yang tidak baik (makanan yang
mengandung serat, rendah vitamin C, rendah daging)
c. Kebutuhan zat besi yang meningkat untuk prematuritas janin
d. Gangguan absorbs zat besi seperti gastrektomi, colitis kronis.
e. Ketidaksanggupan sum-sum tulang membentuk sel-sel darah
f. Kelainan darah(Amalia Yunia Rahmawati, 2020)

3. Tanda dan Gejala


a. Mengeluh cepat lelah
b. Pusing
c. Mata berkunang-kunang
d. Lidah luka
e. Nafsu makan turun (anoreksia)
f. Konsentrasi hilang
g. Nafas pendek (pada anemia parah)
h. Keluhan mual muntah lebih hebat pada hamil muda.
4. Patofisiologi
Kadar hemoglobin untuk wanita tidak hamil biasanya adalah 13,5 g/dL.
Namun kadar hemoglobin selama trimester kedua dan ketiga kehamilan
berkisar 11,6 g/dL sebagai akibat pengenceran darah ibu karena
peningkatan volume plasma. Ini disebut sebagai anemia fisiologis dan
merupakan keadaan yang normal selama kehamilan. Selama kehamilan zat
besi tidak dapat dipenuhi secara adekuat dalam makanan sehari-hari. Zat
dalam makanan seperti susu, the dan kopi menurunkan absorbs besi.
Selama kehamilan, tambahan zat besi diperlukan untuk meningkatkan sel-
sel darah ibu dan di salurkan ke janin untuk penyimpanan dan produksi
sel-sel darah merah. Janin harus menyimpan cukup zat besi pada 4 sampai
6 bulan terakhir setelah kelahiran. Selama trimester ketiga, jikan asupan
zat besi wanita tersebut tidak memadai, hemoglobin tidak akan meningkat
sampai nilai 12,5 g/dL dan dapat terjadi anemia karena nutrisi. Hal ini
akan mengakibatkan penurunan transfer zat besi ke janin. Secara umum
dengan kehilangan zat besi hal ini akan menyebabkan cadangan zat besi
menurun. Apabila cadangan kosong, maka keadaan ini disebut iron
depleted state. Apabila kekurangan zat besi berlanjut terus, maka
penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, sehingga menimbulkan
gangguan pada bentuk eritrosit, tetapi anemia secara klinik belum terjadi,
keadaan ini disebut iron deficient erythropoiesis. Selanjutnya timbul
anemia hipokromik mikrositer, sehingga disebut sebagai iron deficiency
anemia. Pada saat ini terjadi kekurangan zat besi pada epiter serta
beberapa enzim yang dapat menimbulkan manifestasi anemia.
5. Pemeriksaan
Pemeriksaan laboratorium dasar:
a. Pemeriksaan Hb sahli, kadar Hb < 10 mg/%
b. Kadar Ht menurun (normal 37%-41%)
c. Peningkatan bilirubin total (pada anemia hemolitik)
d. Terlihat retikulositosis dan sferositosis pada apusan darah tepi
e. Terdapat pansitopenia, sum-sum tulang kosong diganti lemak
6. Penatalaksanaan Medis
a. Terapi oral
1) Pemberian tablet zat besi mengandung ferosulat, zat besi
glukonat
2)Asam folik 15-30 mg/hari
3) Vitamin B12 3x1 tablet/hari
4) Sulfas ferosus 3x1 tablet/hari
D. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan
dan merupakan proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari
berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status
kesehatan pasien. Dalam pengkajian meliputi sebagai berikut:
a. Identitas pasien, terdiri dari Nama pasien, umur, suku/bangsa,
pendidikan, pekerjaan, agama, penghasilan, dan alamat.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama Pada pasien post sc yaitu nyeri
2) Riwayat penyakit sekarang Menjelaskan dari awal keluhan
pasien hingga pasien MRS c. Riwayat penyakit dahulu Dikaji
untuk mengetahui apakah pasien pernah mengalami penyakit
atau keluhan yang sama sebelumnya
3) Riwayat kesehatan keluarga Untuk mengetahui apakah
keluarga pasien memiliki riwayat penyakit turunan atau
penyakit penyakit menular
4) Riwayat psikososial Hubungan antara kondisi social seseorang
dengan kesehatan mental atau emosionalnya yang melibatkan
aspek psikologis dan aspek sosial
c. Pola fungsi kesehatan
1) Pola presepsi dan tata laksana hidup sehat.
2) Pola nutrisi dan metabolism.
3) Pola aktivitas.
4) Pola eliminasi.
5) Pola persepsi sensoris.
6) Pola konsep diri.
7) Pola hubungan dan peran.
8) Pola hubungan dan peran.
9) Pola reproduksi dan seksual.
10) Pola penanggulangan stress/koping – toleransi stress
d. Riwayat obstetric
1) Riwayat menstruasi
2) Riwayat perkawinan
3) Riwayat kehamilan dan persalinan
4) Riwayat kelainan obstetric
5) Riwayat penggunaan kontrasepsi
e. Riwayat ginekologi Untuk mengetahui apakah pasien memiliki
riwayat gangguan resproduksi atau tidak sebelumnya.
f. Pemeriksaan fisik head to toe (inspeksi, palpasi, perkusi,
auskultasi) Pemeriksaan fisik pada pasien dengan abortus
inkomplit meliputi keadaan umum, tanda-tanda vital,
kepala&leher, thorax/dada, pemeriksaan payudara, abdomen,
genetalia dan anus, punggung, ekstermitas, dan integument.
E. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik.
2. Ketidak nyamanan pasca partum b.d onvolusi uterus proses
pengembalian ukuran rahim ke ukuran semula.
3. Gangguan pola tidur b.d post sc
DAFTAR PUSTAKA

Fahriani, M., Ningsih, D. A., Kurnia, A., & Mutiara, V. S. (2020).


Pengertian nifas dan pembagian masa nifas.
Jurnal Kebidanan, 10(1), 48–53.
https://doi.org/10.31983/jkb.v10i1.5460 Indrieni, S. (2020).
Asuhan Keperawatan Klien dengan Preeklampsi yang dirawat di
Rumah Sakit. In Poltekkes Kemenkes Kalimantan Timur (Vol. 53,
Issue 9). Wicaksana, A. (2016).
Tinjauan Pustaka Konsep Dasar Masa Nifas.
Https://Medium.Com/.
https://medium.com/@arifwicaksanaa/pengertian-usecase-
a7e576e1b6bf Bahrudin, M. (2018). Patofisiologi Nyeri (Pain).
Saintika Medika, 13(1), 7. https://doi.org/10.22219/sm.v13i1.5449
Darmawati. (2011).
Mengenali abortus dan faktor yang berhubungan dengan kejadian
abortus. Idea Nursing Journal, II(1). Mulyaningasih, D. (2013).
Asuhan Keperawatan Pada Abortus. Oliver, J. (2018).
Tanda dan Gejala Nyeri. Journal of Chemical Information and
Modeling, 53(9), 1689–1699. Purwaningrum, E. D., & Fibriana, A.
I. (2017). HIGEIA JOURNAL OF PUBLIC HEALTH. 1(3), 84–
94.
NO Diagnosa Tujuan dan kriteria Intervensi Keperawatan Rasional
keperawatan hasil
1. Nyeri akut b.d Nyeri pasien Manajemen nyeri Tindakan adekuat dapatkan hasil yang
agen pencedera teratasi dalam Observasi maksimal
fisik waktu 2x24 jam 1. Identifikasi 1. Mengidentifikasi tempat nyeri
Kriteria hasil: lokasi,karakteristik,durasi,frekuen 2. Identifikasi tingkatan nyeri
1. Tidak ada si, kualitas,dan intensitas nyeri 3. Evaluasi tindakan yang tepat
keluhan nyeri 2. Identifikasi nyeri 4. Mencegah penurunan kualitas hidup
2. Tidak ada rasa 3. Identifikasi faktor yang Memberikan pengobatan untuk mengurangi
gelisah pada memperberat dan memperingan nyeri
pasien nyeri 1. Mengurangi rasa nyeri
3. Pola nafas 4. Identifikasi pengaruh nyeri pada 2. Linglkungan yang baik untuk mengontrol
pasien normal kualitas hidup rasa nyeri
4. Tekanan darah Terapeutik 3. Fasilitasi yang baik mengurangi rasa nyeri
normal (120/90) 5. Berikan teknik nonfarmakologis Edukasi
untuk mengurangi rasa nyeri 1. Edukasi sebagai sarana transfer
6. Jelaskan strategi mengatasi nyeri pengetahuan
7. Anjurkan untuk memonitor nyeri Kolaborasi
secara mandiri 1. Analgetik membantu mengurangi rasa nyeri
8. Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
9. Dengan memberikan
analgetik,jika perlu
2. Ketidaknyamanan Ketidaknyamanan Terapi relaksasi Observasi
pasca partum b.d pasca partum Observasi 1. Mengetahui rasa tidak nyaman
onvolusi uterus teratasi setelah 1. Identifikasi rasa tidak nyaman membantu mengetahui masalah yang
proses dilakukan tindakan 2. Identifikasi lingkungan yang terjadi
pengembalian keperawatan dapat memperbuat rasa tidak 2. Pencahayaan,kebisingan dan suhu
ukuran rahim ke selama 2x24 jam nyaman seperti pencahayaan,suhu ruangan membantu membuat pasien
ukuran semula Kriteria hasil: ruangan,kebisingan merasa nyaman
1. Tidak ada Terapeutik Terapeutik
keluhan tidak 1. Berikan kenyamanan pada pasien 3. Memberikan rasa nyaman kepada
nyaman 2. Fasilitasi pemenuhan kebutuhan pasien sangat membantu merubah
2. Tidak ada dasar pasien keadaan pasien menjadi lebih nyaman
mringis Edukasi 4. Memfasilitasi pasien membuat pasien
3. Tidak ada 1. Anjurkan aktivitas secara merasa nyaman
kontraksi uterus bertahap Edukasi
4. Tidak ada rasa 5. Dapat mempengaruhi kosentrasi
gelisah
3. Gangguan pola Gangguan pola Dukungan tidur 1. Untuk mendata masalah yang dialami
tidur b.d post sc tidur teratasi dalam Observasi 2. Untuk memberikan rasa nyaman pasien
2x24 jam 1. Identifikasi faktor pengganggu 3. Agar pasien mampu beristirahat dengan
Kriteria hasil: tidur cukup
1. Tidak ada 2. Identifikasi makanan dan 4. Untuk menjaga kualitas tidur yang baik
keluhan sulit minuman yang mengganggu tidur 5. Agar pasien mampu rileks dan merasa lebih
tidur Terapeutik santai
2. Pasien tidak 3. Modifikasi lingkungan 6. Agar pasien tahu pentingnya istirahat yang
sering menguap 4. Lakukan prosedur untuk cukup
3. Pasien dapat meningkatkan kenyamanan 7. Untuk membiasakan waktu tidur rutin
istirahat dengan Edukasi
cukup 5. Jelaskan pentingnya tidur cukup
selama sakit
6. Anjurkan menepati kebiasaan
waktu tidur
Kolaborasi
7. Kolaborasi dengan medis
pemberian anlgeti,jika perlu

Anda mungkin juga menyukai