Anda di halaman 1dari 3

Jakarta, 9 Mei 2018

Kepada Yth.

Kepala BP2TL dan para pejabat di lingkungan BP2TL

di

JAKARTA

Perihal : Persiapan FGD Diklat Pelaut Kapal Penangkap Ikan

Dengan hormat,

1. Dalam rangka persiapan pelaksanaan FGD Diklat Pelaut Kapal Penangkap Ikan,
maka dianggap perlu untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang
“perikanan” sehingga ketika berhadapan dengan tenaga ahli dari instansi lain,
asosiasi, serikat pekerja dan serikat buruh sektor perikanan, kita memiliki persepsi
yang sama dan keluar dengan 1 (satu) suara.

2. Pelaksanaan program diklat peningkatan ANT/ATT – V dan IV tersebar dan


populasinya berpotensi tidak stabil, namun populasi nelayan sangat besar dan bisa
dijadikan alternatif pengembangan usaha BP2IP.

3. Uraian ringkas di bawah ini adalah gambaran secara garis besar tentang Buku
Pelaut dan penyijilannya.

4. Terlampir adalah audisi yang pernah dilakukan oleh Ka. Badan PSDM Kelautan dan
Perikanan (Kementerian KP) dengan saya (mewakili Menhub) yang menggambarkan
secara garis besar hampir semua persoalan pelaut kapal penangkap ikan dan
nelayan di Indonesia.

5. Adapun bahan lain terkait implementasi UU No. 45 Tahun 2009 tentang Revisi UU
No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan seperti kajian tentang “Wilayah dan
Masyarakat Pesisir”, budidaya perikanan, mutiara dan rumput laut tersedia dalam
format softcopy dan ada dalam desktop PC di ruang resepsionis Kepala.

Demikian disampaikan, dan atas perhatian serta kerjasamanya diucapkan terima kasih.

Hormat saya,

Capt. Indra Priyatna


Training Supervisor

1–3
Lampiran

PENJELASAN DASAR PEMIKIRAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


TERKAIT DENGAN BUKU PELAUT DAN PENYIJILAN PELAUT

I. DASAR PEMIKIRAN PENERBITAN BUKU PELAUT

Pemberian Buku Pelaut adalah untuk mencatat track record approved sea service dari
pelaut dan untuk penyijilan yang kelak akan melindungi pelaut dari masalah hubungan
industrial.

A. PENYALAH GUNAAN BUKU PELAUT


1. Pemalsuan Buku Pelaut terjadi hampir di seluruh Indonesia, sehingga Ditjen
Hubla dengan Bareskrim POLRI sepakat untuk memberi fitur sekuriti baru.
2. Ditjen Hubla sepakat dengan DEPLU (Ditjen Protkon, Badan Perlindungan WNI
dan BHI) supaya Buku Pelaut hanya diberikan kepada pelaut yang dibuktikan
dengan pemilikan kode pelaut (seafarer code) agar tidak dipakai oleh TKI yang
akhirnya dapat hukuman cambuk di Malaysia karena memiliki Buku Pelaut untuk
mendapatkan bebas fiskal/visa tapi tidak memiliki sertifikat kepelautan.

B. ANGKA KECELAKAAN FATAL PELAUT PERIKANAN

1. Kematian kumulatif 3 tahun terakhir (2006 sd 2008)

NO PELABUHAN SUB JUMLAH SUB JUMLAH SUB JUMLAH


MENINGGAL KEMATIAN per KAPAL DAN
DUNIA 100.000 NELAYAN ALAT TANGKAP
HILANG

1 Tegal 23 dari 18.675 123 8

2 Pekalongan 12 dari 26.198 46 1

3 Cilacap 35 dari 14.046 249 13

JUMLAH 70 dari 58.919 119 22

Sumber : DKP (Juli 2009)

2. Kesimpulan Sementara
a. Angka kematian nelayan di Cilacap di atas angka kematian nelayan dunia
(rata-rata 80 jiwa / 100.000 nelayan / tahun);
b. Buku Pelaut hanya untuk pelaut. Jalan terpendek untuk menjadi pelaut
adalah mengikuti diklat BST (100 jam pel x 45 menit atau 75 jam x 60 menit
atau 10 hari);
c. BST merupakan pengetahuan dasar bagi pelaut untuk dapat menyelamatkan
dirinya sendiri dari musibah di laut dan bergaul di kapal, dan sama sekali
bukan untuk mempersulit pelaut atau nelayan.

2–3
3. Permasalahan
a. Pembiayaan
Sampai dengan Juli 2009 jumlah rumah tangga nelayan adalah 14 juta orang
dan dari populasi ini terdapat 68,4% tidak sekolah/tidak lulus sekolah dasar.
Dari sekitar 14 juta orang tersebut terdapat nelayan aktif sebanyak 2,512,820
orang (record 15 Desember 2008) dan mereka pada umumnya tidak sanggup
membayar biaya diklat BST.
b. Latar belakang pendidikan formal nakhoda pada kapal perikanan

JABATAN TIDAK TAMAT TAMAT TAMAT LOKASI


TAMAT SD SD SLTP SLTA

Nakhoda 14,06% 70,31% 10,94% 4,69% Tegal,


Pekalongan
dan Cilacap

Sumber : DKP (Juli 2009)

C. REGULASI
BST untuk pelaut kapal niaga (unrestricted voyage and unlimited size of vessel)
harus sesuai dengan persyaratan Chapter VI and STCW Code Section A - VI/1.2
of the STCW, 1978 as amended in 1995.
Sekarang Badan Diklat Perhubungan sudah menerbitkan standar BST khusus untuk
kelompok nelayan yang sebagian buta huruf dan pelaut PELRA yang hanya bekerja
di kapal tradisional dan tidak pernah berlayar ke negara lain (3 hari). Hal ini sudah
dikonsultasikan dengan Sea Transport College Rotterdam (konsultan Quality
Standard System Kepelautan Indonesia).

II. DASAR PEMIKIRAN PENYIJILAN

A. PENGERTIAN ISTILAH

Kata “penyijilan (mustering)” di dalam Buku Pelaut (Monsterboekje) ditemui dalam


kolom “sijil naik (sign on)” dan perwira penyijil (mustering officer).
Dalam UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, kata “pelaut” hanya ada 1 (satu)
kata yakni pada Bab XIV SDM pasal 266 ayat (3).
Pelaut terdiri dari active seafarers dan non-active seafarers.
Active seafarers yang telah menanda-tangani PKL (Individual working contract)
dapat disijil dalam Buku Pelaut.
Setelah disijil dalam Buku Pelaut, kemudian sign on lalu disijil di atas kapal
(dimasukan dalam buku sijil / crew list) dan sejak saat itu sebutan “pelaut” berubah
menjadi “awak kapal” yang selanjutnya diatur dalam UU No. 17 Tahun 2008 Bab VIII
dan Bab IX.

B. MAKSUD
Untuk melindungi pelaut ketika terjadi sengketa hubungan industrial (contract of
agreement dispute), karena yang bisa melindungi pelaut di pengadilan hubungan
industrial hanyalah PKLnya. Kesulitan terjadi pada kapal ikan dan KLM (PELRA)
yang menerapkan pola bagi hasil atau pola kekeluargaan yang tak terikat perjanjian
kerja tertulis.

3–3

Anda mungkin juga menyukai