Anda di halaman 1dari 16

BAB V

ASAM BASA

Asam dan basa adalah dua golongan zat kimia yang sangat umum ditemukan di sekitar
kita. Sebagai contoh, cuka, asam sitrun, dan asam dalam lambung tergolong asam, sedangkan
kapur sirih dan soda api tergolong basa. Asam dan basa memiliki sifat-sifat yang berbeda. Pada
mulanya, asam dan basa dibedakan berdasarkan rasanya, di mana asam terasa masam sedangkan
basa terasa pahit dan licin seperti sabun. Namun, secara umum zat-zat asam maupun basa
bersifat korosif dan beracun — khususnya dalam bentuk larutan dengan kadar tinggi — sehingga
sangat berbahaya jika diuji sifatnya dengan metode merasakannya.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pembedaan asam dan basa pun
dapat dilakukan dengan menggunakan indikator seperti kertas lakmus dan indikator universal
ataupun instrumen pH meter. Larutan asam akan memerahkan kertas lakmus biru, sedangkan
larutan basa akan membirukan kertas lakmus merah. Pada pengujian zat dengan pH meter,
larutan asam akan menunjukkan pH lebih kecil dari 7, sedangkan larutan basa akan menunjukkan
pH lebih besar dari 7. Larutant dengan pH sama dengan 7 disebut netral.

Namun demikian, apakah yang menentukan suatu senyawa bersifat asam atau basa?
Definisi asam dan basa pun akhirnya menjadi rumusan masalah bagi para ahli selama ratusan
tahun. Dari berbagai teori definisi asam basa yang pernah diajukan, terdapat tiga teori yang
sangat bermakna, antara lain teori asam basa Arrhenius, teori asam basa Brønsted–Lowry, dan
teori asam basa Lewis.

Teori Asam Basa Arrhenius

Teori ini pertama kalinya dikemukakan pada tahun 1884 oleh Svante August Arrhenius.
Menurut Arrhenius, definisi dari asam dan basa, yaitu:

 asam adalah senyawa yang jika dilarutkan dalam air melepaskan ion H+.
 basa adalah senyawa yang jika dilarutkan dalam air melepaskan ion OH−.
Gas asam klorida (HCl) yang sangat larut dalam air tergolong asam Arrhenius, sebagaimana HCl
dapat terurai menjadi ion H+dan Cl− di dalam air. Berbeda halnya dengan metana (CH4) yang
bukan asam Arrhenius karena tidak dapat menghasilkan ion H+ dalam air meskipun memiliki
atom H. Natrium hidroksida (NaOH) termasuk basa Arrhenius, sebagaimana NaOH merupakan
senyawa ionik yang terdisosiasi menjadi ion Na+ dan OH− ketika dilarutkan dalam air. Konsep
asam dan basa Arrhenius ini terbatas pada kondisi air sebagai pelarut.
Teori Asam Basa Brønsted–Lowry

Pada tahun 1923, Johannes N. Brønsted dan Thomas M. Lowry secara terpisah mengajukan
definisi asam dan basa yang lebih luas. Konsep yang diajukan tersebut didasarkan pada fakta
bahwa reaksi asam–basa melibatkan transfer proton (ion H+) dari satu zat ke zat lainnya. Proses
transfer proton ini selalu melibatkan asam sebagai pemberi/donor proton dan basa sebagai
penerima/akseptor proton. Jadi, menurut definisi asam basa Brønsted–Lowry,
 asam adalah donor proton.
 basa adalah akseptor proton.
Jika ditinjau dengan teori Brønsted–Lowry, pada reaksi ionisasi HCl ketika dilarutkan dalam air,
HCl berperan sebagai asam dan H2O sebagai basa.
HCl(aq) + H2O(l) → Cl−(aq) + H3O+(aq)
HCl berubah menjadi ion Cl− setelah memberikan proton (H+) kepada H2O. H2O
menerima proton dengan menggunakan sepasang elektron bebas pada atom O untuk berikatan
dengan H+ sehingga terbentuk ion hidronium (H3O+).
Sedangkan pada reaksi ionisasi NH3 ketika dilarutkan dalam air, NH3 berperan sebagai basa dan
H2O sebagai asam.
NH3(aq) + H2O(l) ⇌ NH4+(aq) + OH−(aq)
NH3 menerima proton (H+) dari H2O dengan menggunakan sepasang elektron bebas pada
atom N untuk berikatan dengan H+ sehingga terbentuk ion ammonium (NH4+). H2O berubah
menjadi ion OH− setelah memberikan proton (H+) kepada NH3.
Pelarutan asam atau basa dalam air sebagai reaksi asam–basa Brønsted–Lowry (Sumber:
Silberberg, Martin S. & Amateis, Patricia. 2015. Chemistry: The Molecular Nature of Matter and
Change (7th edition). New York: McGraw-Hill Education)

Dari kedua contoh tersebut terlihat bahwa (1) asam Brønsted–Lowry harus mempunyai
atom hidrogen yang dapat terlepas sebagai ion H+; dan (2) basa Brønsted–Lowry harus
mempunyai pasangan elektron bebas yang dapat berikatan dengan ion H+.
Kelebihan definisi oleh Brønsted–Lowry dibanding definisi oleh Arrhenius adalah dapat
menjelaskan reaksi-reaksi asam–basa dalam fase gas, padat, cair, larutan dengan pelarut selain
air, ataupun campuran heterogen. Sebagai contoh, reaksi antara gas NH3 (basa) dan gas HCl
(asam) membentuk asap NH4Cl.
NH3(g) + HCl(g) → NH4Cl(s)
Beberapa zat dapat bertindak sebagai asam, namun juga dapat sebagai basa pada reaksi
yang lain, misalnya H2O, HCO3−, dan H2PO4−. Zat demikian disebut amfiprotik. Suatu zat
amfiprotik (misalnya H2O) akan bertindak sebagai asam bila direaksikan dengan zat yang lebih
basa darinya (misalnya NH3) dan bertindak sebagai basa bila direaksikan dengan zat yang lebih
asam darinya (misalnya HCl).
Teori Asam Basa Lewis

Pada tahun 1923, G. N. Lewis mengemukakan teori asam basa yang lebih luas dibanding
kedua teori sebelumnya dengan menekankan pada pasangan elektron yang berkaitan dengan
struktur dan ikatan. Menurut definisi asam basa Lewis,

 asam adalah akseptor pasangan elektron.


 basa adalah donor pasangan elektron.
Berdasarkan definisi Lewis, asam yang berperan sebagai spesi penerima pasangan elektron
tidak hanya H+. Senyawa yang memiliki orbital kosong pada kulit valensi seperti BF3 juga dapat
berperan sebagai asam. Sebagai contoh, reaksi antara BF3 dan NH3 merupakan reaksi asam–basa,
di mana BF3 sebagai asam Lewis dan NH3 sebagai basa Lewis. NH3 memberikan pasangan
elektron kepada BF3 sehingga membentuk ikatan kovalen koordinasi antara keduanya.

Kelebihan definisi asam basa Lewis adalah dapat menjelaskan reaksi-reaksi asam–basa
lain dalam fase padat, gas, dan medium pelarut selain air yang tidak melibatkan transfer proton.
Misalnya, reaksi-reaksi antara oksida asam (misalnya CO2 dan SO2) dengan oksida basa
(misalnya MgO dan CaO), reaksi-reaksi pembentukan ion kompleks seperti [Fe(CN)6]3−,
[Al(H2O)6]3+, dan [Cu(NH3)4]2+, dan sebagian reaksi dalam kimia organik.

Contoh Soal dan Pembahasan

Tentukan manakah asam dan basa dalam reaksi asam–basa berikut dengan memberikan alasan
yang didasarkan pada teori asam basa Arrhenius, Brønsted–Lowry, atau Lewis.

1. HCN(aq) + H2O(l) ⇌ CN−(aq) + H3O+(aq)


2. Ni2+(aq) + 4CN−(aq) ⇌ [Ni(CN)4]2−(aq)
Jawab:

1. Berdasarkan teori asam basa Arrhenius, HCN adalah asam Arrhenius sebagaimana HCN akan
melepaskan ion H+ jika dilarutkan dalam air.
Berdasarkan teori Brønsted–Lowry, HCN adalah asam Brønsted–Lowry karena mendonorkan
proton (H+) sehingga menjadi ion CN− sedangkan H2O adalah basa Brønsted–Lowry karena
menerima proton sehingga membentuk ion H3O+.
Berdasarkan teori Lewis, H2O adalah basa Lewis karena mendonorkan pasangan elektron kepada
ion H+ yang berasal dari molekul HCN membentuk ion H3O+ sedangkan H+ dari HCN adalah
asam Lewis karena menerima pasangan elektron dari atom O pada H2O.

2. Teori Arrhenius dan teori Brønsted–Lowry tidak dapat menjelaskan reaksi ini.

Berdasarkan teori Lewis, CN− adalah basa Lewis karena mendonorkan pasangan elektron kepada
ion Ni2+ sehingga terbentuk ikatan kovalen koordinasi sedangkan Ni2+ adalah asam Lewis karena
menerima pasangan elektron dari CN−.

CARA MENENTUKAN, MENGHITUNG PH DAN POH LARUTAN, SIFAT ASAM DAN


BASA, INDIKATOR.

Apakah suatu larutan bersifat asam atau basa dapat kita ketahui kalau kita mempunyai alat untuk
mendeteksinya. Dalam pendeteksian ini, ada beberapa alat yang dapat digunakan. Agar kalian
tahu lebih jelas tentang alat itu, simak penjelasan.

1. Konsep pH (Derajat Keasaman


Dari uraian tetapan kesetimbangan air dapat disimpulkan bahwa besarnya [H+] dalam
suatu larutan merupakan salah satu ukuran untuk menentukan tingkat keasaman suatu larutan.
Untuk menyatakan tingkat atau derajat keasaman suatu larutan, pada tahun 1910, seorang ahli
dari Denmark, Soren Lautiz Sorensen memperkenalkan suatu bilangan yang sederhana. Bilangan
ini diperoleh dari hasil logaritma konsentrasi H+. Bilangan ini kita kenal dengan skala pH. Harga
pH berkisar antara 1 – 14 dan ditulis:
pH = – log [H+]

Analog dengan di atas, maka:

pOH = – log [OH–]

Sedangkan hubungan antara pH dan pOH adalah:

Kw = [H+] [OH–]
– log Kw = –log [H+] + (–log [OH–])

pKw = pH + pOH

Pada suhu 25 ºC, pKw = pH + pOH = 14.

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa :

a. Larutan bersifat netral jika [H+] = [OH–] atau pH = pOH = 7.


b. Larutan bersifat asam jika [H+] > [OH–] atau pH < 7.
c. Larutan bersifat basa jika [H+] < [OH–] atau pH > 7.

Karena pH dan konsentrasi ion H+ dihubungkan dengan tanda negatif, maka makin besar
konsentrasi ion H+ makin kecil pH, dan karena bilangan dasar logaritma adalah 10, maka larutan
yang nilai pH-nya berbeda sebesar n mempunyai perbedaan ion H+ sebesar 10n.

Perhatikan contoh di bawah ini.


Jika konsentrasi ion H+ = 0,01 M, maka pH = – log 0,01 = 2
Jika konsentrasi ion H+ = 0,001 M (10 kali lebih kecil)
maka pH = – log 0,001 = 3 (naik 1 satuan)
Jadi dapat disimpulkan:
• Makin besar konsentrasi ion H+ makin kecil pH
• Larutan dengan pH = 1 adalah 10 kali lebih asam daripada larutan dengan pH = 2.

2. Menunjukan Sifat Asam dan Basa dengan Menggunakan Indikator


Sifat asam dan basa dapat diketahui dengan mencicipinya, namun amat berbahaya untuk
zat-zat kimia di laboratorium. Selain dengan mencicipi, kita juga dapat mengetahui sifat asam
atau basa dari pengaruhnya terhadap indikator. Indikator adalah suatu zat kimia yang warnanya
tergantung pada keasaman atau kebasaan larutan. Indikator yang biasa digunakan adalah kertas
lakmus. Apabila dicelupkan ke dalam larutan basa, kertas lakmus merah akan berubah warna
menjadi biru, sedangkan kertas lakmus biru akan berwana merah jika dicelupkan ke dalam
larutan asam.
Warna lakmus semakin merah tua dengan nilai pH semakin kecil, sedangkan warna
lakmus semakin biru tua dengan nilai pH semakin besar, meskipun konsentrasi larutannya sama.
Hal ini menunjukkan kekuatan asam dan basa tiap-tiap larutan berbeda.

2.1. Menggunakan Beberapa Indikator

Indikator adalah asam organik lemah atau basa organik lemah yang dapat berubah warna
pada rentang harga pH tertentu (James E. Brady, 1990). Harga pH suatu larutan dapat
diperkirakan dengan menggunakan trayek pH indikator. Indikator memiliki trayek perubahan
warna yang berbeda-beda. Dengan demikian dari uji larutan dengan beberapa indikator akan
diperoleh daerah irisan pH larutan. Contoh, suatu larutan dengan brom timol biru (6,0 – 7,6)
berwarna biru dan dengan fenolftalein (8,3 – 10,0) tidak berwarna, maka pH larutan itu adalah
7,6–8,3. Hal ini disebabkan jika brom timol biru berwarna biru, berarti pH larutan lebih besar
dari 7,6 dan jika dengan fenolftalein tidak berwarna, berarti pH larutan kurang dari 8,3.
2.2. Menggunakan Indikator Universal

pH suatu larutan juga dapat ditentukan dengan menggunakan indikator universal, yaitu
campuran berbagai indikator yang dapat menunjukkan pH suatu larutan dari perubahan
warnanya. Warna indikator universal larutan dapat dilihat pada tabel 1.

2.3. Menggunakan pH–meter

pH–meter adalah alat pengukur pH dengan ketelitian yang sangat tinggi.


3. Cara Menghitung pH Larutan

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa sifat asam suatu larutan ditentukan oleh adanya ion
H+ yang ada pada senyawa ketika dilarutkan dalam air (Baca : Teori Asam Basa Arrhenius).
Dengan demikian, tingkat keasaman suatu larutan tergantung pada konsentrasi ion H+ tersebut.
Sebagai contoh, larutan 0,01M HCI akan terionisasi menjadi:

Konsentrasi ion H+ di atas 0,01 M. Konsentrasi ini didapatkan dari perbandingan koefisien, di
mana koefisien H+ = koefisien HCl, sehingga konsentrasi ion H+ = konsentrasi HCI = 0,01 M.
Larutan 0,01 M HCI sering ditulis dengan larutan pH 2 bukan larutan pH 0,01; padahal
konsentrasi ion H+-nya 0,01 M. Mengapa demikian?
Konsentrasi ion H+ seringkali memiliki nilai yang kecil sehingga seorang ilmuwan kimia dari
Denmark yang bernama Sorensen mengusulkan untuk penulisan tingkat keasaman suatu larutan
ditulis dengan pH agar menyatakan konsentrasi ion H+. Nilai pH sama dengan negatif logaritma
konsentrasi ion H+. Secara matematis, untuk mencari pH suatu larutan dirumuskan sebagai
berikut.

pH = -log [H+]

Dan perumusan di atas, maka pH larutan dapat dicari dengan perhitungan berikut.

pH 0,01 M HCI = -log 1 x 10-2 = 2

Dan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa semakin besar konsentrasi larutannya, maka
nilai pH-nya semakin kecil dan tingkat keasamannya bertambah besar. Begitu pula sebaliknya,
semakin kecil konsentrasi larutan, semakin besar nilai pH nya tetapi tingkat keasamannya
semakin
4. Cara Menghitung pOH Larutan

Untuk mencari pOH suatu larutan basa, caranya sama dengan mencari pH larutan asam. Analog
dengan pH, konsentrasi ion OH- dapat ditulis dengan pOH sehingga diperoleh persamaan
berikut.

pOH = - log [OH-]

Contoh Soal Menentukan nilai POH (1) :

Berapakah pOH larutan NaOH 0,01M ?

Jawab:

Jika dilarutkan dalam air, larutan NaOH akan mengalami ionisasi sebagai berikut.

Koefisien OH- sama dengan koefisien NaOH, sehingga konsentrasi ion OH- juga sama, yaitu
0,01 M dan pOHnya = -log 1 x 10-2 =2.

Jadi, pOH larutan NaOH adalah 2.

5. Kesetimbangan Air

Air sumur yang terasa tawar memiliki nilai pH = 7 atau bersifat netral. Mengapa
demikian? Setelah diteliti dan diukur, ternyata air murni mengandung ion dalam jumlah yang
kecil sekali. Hal ini disebabkan terjadinya reaksi asam basa sesama molekul air dan membentuk
kesetimbangan berikut ini.
Karena derajat disosiasi (α) air sangat kecil, maka jumlah air yang terionisasi dapat diabaikan
sehingga konsentrasi air yang tidak terionisasi dapat dianggap konstan. Persamaan
kesetimbangan di atas menjadi :

Kc [H2O] = [H+] [OH-]


Kc [H2O] = Kw

sehingga dapat ditulis : Kw = [H+] . [OH-]


Kw adalah konstanta ionisasi air pada suhu kamar (25° C) dan mempunyai nilai 10-14, sehingga
dalam air murni terdapat ion-ion dengan konsentrasi berikut.

10-14 = [H+] [OH-]


[H+] = [OH-] = 10-7
pH = -log 10-7 = 7

Jadi, air memiliki pH 7 atau netral.

Dalam persamaan kesetimbangan di atas, tertulis konsentrasi H+ dan OH-. [H+] dapat
dinyatakan dengan pH dan [OH-] dapat dinyatakan dengan pOH. Adakah hubungan antara pH
dengan pOH? Simak uraian berikut.

6. Hubungan pH dengan pOH


Nilai Kw = 10-14 tidak hanya untuk air murni, tetapi juga berlaku untuk larutan asam
atau basa karena adanya kesetimbangan ion. Perhatikan reaksi
Jika larutan mengandung asam, berarti menambah jumlah H+ dan akan menggeser
kesetimbangan ke kiri sampai tercapai kesetimbangan baru Pada kesetimbangan baru jumlah
konsentrasi H+ lebih besar daripada konsentrasi OH-, tetapi hasil perkalian [H+] dan [OH-] tetap
10-14. Hal yang sama akan terjadi jika air ditambah basa sehingga dicapai kesetimbangan baru
dengan nilai [OH-] > [H+] dan hasil perkaliannya pun tetap 10-14.

Berdasarkan perbedaan jumlah konsentrasi ion H+ dan OH-, maka larutan dapat dibagi menjadi
tiga, yaitu:

Apabila diambil dalam bentuk harga negatif, logaritma persamaan di atas menjadi sebagai
berikut.

Untuk lebih sederhananya, penentuan larutan bersifat asam, basa, atau netral dapat dituliskan
seperti di bawah ini.
Agar lebih paham dengan penjelasan di atas, perhatikan contoh soal berikut.
Contoh Soal (2) :
Berapa pH larutan berikut (diketahui log 2 = 0,301)?

a. HCl 0,2 M
b. NaOH 0,1 M

Penyelesaian:
a. Diketahui :
[HCl] = 0,2 M
Log 2 = 0,301
Ditanyakan : pH = .... ?

Jawaban :
Dari contoh soal yang telah dibahas, kita dapat mengetahui bahwa harga kekuatan asam
dan basa ditentukan oleh besar kecilnya konsentrasi ion H+ dalam larutan. Semakin besar
konsentrasi ion H+ dalam larutan, semakin kecil harga pH-nya. Begitu pula sebaliknya, semakin
besar konsentrasi ion OH- dalam larutan, semakin kecil konsentrasi ion H+, sehingga semakin
kecil harga pH-nya.

Larutan elektrolit akan terionkan dalam air menjadi ion-ionnya. Sewaktu pengionan,
belum tentu semua zat terionkan. Ada sebagian zat yang terionkan sempurna, ada yang terionkan
sebagian besar, dan ada pula yang terionkan sebagian kecilnya saja. Apakah besarnya pengionan
ini mempengaruhi pH larutan? Simak materi berikut, dan kalian akan tahu jawabannya.

Contoh Soal Menghitung pH larutan.


Hitunglah pH larutan berikut.

Jawaban :

Anda mungkin juga menyukai