Anda di halaman 1dari 6

Reginaldo Ch.

Lake, Metode Pendekatan Desain


Menurut Henry Bergson dan Gilbert Ryle Terhadap Arsitektur Dekonstruksi

METODE PENDEKATAN DESAIN MENURUT HENRY BERGSON DAN


GILBERT RYLE TERHADAP ARSITEKTUR DEKONSTRUKSI
Reginaldo Ch. Lake
Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Widya Mandira
Jl. San Juan, no 1, Penfui Timur, Kupang
E-mail: egilake@yahoo.com

ABSTRAK
Dekonstruksi merupakan suatu aliran arsitektur atau dapat dikatakan sebagai suatu langgam arsitektur
yang mencoba melepaskan diri dari belenggu bentuk simetris dan taat aturan berkonstruksi.
Benarkah dekonstruksi anti ratio? Ataukah aliran dekonstruksi murni conjecture?.
Dalam paper ini saya mencoba mengaitkan (membaca) suatu bangunan dekosntruksi dengan metode
ratio, intuition, knowing that, knowing how yang bermuara pada konsep conjecutre dan refutation.
Karena tidak mungkin sebuah wujud arsitektur itu terbentuk tanpa sebuah pola metode desain. Obyek
studi yang saya ambil adalah hotel Marques de Riscal winery karya masterpiece Frank Gerhy.
Diharapkan dengan kajian obyek studi ini dapat mengungkapkan abstaksi sang designer
deconstruction architecture. Alat membaca dari studi kasus ini yakni mengaitkan (relasi) teori
conjecture dan refutation.

Kata Kunci: conjecture, refutation, deconstruction, ratio, intuition

PENDAHULUAN
Munculnya arsitektur modern sekarang ini memberi nuansa baru dalam wujud arsitektur. Kehadiran
bentuk arsitektur modern yang menjadi fenomena desain yang serba gigantik, dan terlepas dari
belenggu aturan adalah arsitektur dekonstruksi. Filosofis konsep dekonstruksi ini diperkenalkan oleh
Jacques Derrida (1930-2004). Konsep dekonstruksi tidak mudah disampaikan dan tidak mudah
diterima, tidak seperti pemahaman umum orang tentang kosntruksi. Kemunculan konsep dekonstruksi
pada dunia arsitektur yakni pada tahun 1988 dalam sebuah diskusi Academy Forum di Tate Galerry,
London. Konsep ini ada kaitannya dengan slogan “Design = Ratio + Intuition”. Konsep “intuition” ini
diperkenalkan oleh Henry Bergson (1859-1941) sebagai “bentuk baru pendekatan ilmiah” disamping
„ratio” yang sudah lama dikenal. Kedua teori ini muncul lagi ketika lahirnya wujud arsitektur
dekonstruksi, akibat kesan dekonstruksi yang anti method. “Ratio” sebagai instrumen untuk mendesain
bagi saya sudah jelas; namun “intuition” adalah sesuatu yang menantang untuk digali lebih jauh; apa
maksud dari “intuition” ini?, apakah “intuition” ini adalah sesuatu yang bisa diukur? Real atau abstrak
jika dikaitkan dengan teori conjecture dan refutation? Subyektif atau obyektif dalam desain
dekonstruksi serta bagaimana intuition ini bisa menjadi bagian dan berperan dalam metode desain
tersebut?. Kemudian saya menemukan juga konsep “knowing that” dan “knowing how” dari Robert
Ryle (1900-1976) ketika arsitektur dekonstruksi dihadapkan dengan teori fungsi-bentuk-dan makna.
Dari isu teori-teori ini saya ingin mengkaji relasi teori tersebut (intuition, ratio, conjecture, refutation
dan knowing that serta knowing how dalam wujud desain dekonstruksi.

PEMBAHASAN
1. “Ratio = Refutation” dan “Intuition = Conjecture”
Henry Bergson dalam bukunya “An Introduction to Methapysic” memperkenalkan sebuah teori yang
menghantarnya meraih penghargaan Nobel (1927). Bergson menyatakan bahwa ada dua cara untuk
mengenali (to know) obyek, yaitu dengan pendekatan “absolut” dan pendekatan “relatif”. “Absolut”
adalah pendekatan dengan “ratio”; sedangkan “relatif” adalah pendekatan “intuition”. Menurut
Bergson, ketika berhadapan dengan obyek, “ratio” bekerja dengan menggunakan berbagai simbol
untuk mengekspresikan temuannya dan menghasilkan suatu pengetahuan yang bersifat relatif (masih
bisa salah). Sedangkan “intuition” merupakan metode “berpikir dalam durasi” dan mencerminkan

51
Seminar Nasional Riset dan Teknologi Terapan 2017 (RITEKTRA 2017) ISBN 978-602-50244-0-5
Kupang, 2-4 Agustus 2017

adanya realitas yang terus mengalir. Intuition mengacu pada pikiran, perasaan, persepsi dan kemauan
yang secara alami akan selalu berubah sehingga selalu terjadi sesuatu yang baru dan bukan
pengulangan akan masa lalu, perubahan terjadi bukan karena dipikirkan melainkan sebagai sesuatu
yang dialami. Intuition adalah proses dimana kita masuk ke dalam sesuatu dan mengidentifikasikan
diri kita dengannya lewat rasa simpati intelek. Ini seperti mengidentifikasikan diri kita sebagai aktor
dalam novel yang kita baca; dalam intuition tidak ada simbol yang mutlak dan sempurna. Intuition itu
jangan disamakan dengan perasaan dan emosi secara harafiah; tapi sesuatu yang bergantung pada
kemampuan khusus yang didapat dari ilmu non-alam. Intuition itu suatu tindakan atau rentetan dari
tindakan-tindakan yang berasal dari pengalaman; sehingga pengalaman menjadi penting dalam
proses.Meskipun Bergson mengkritik ratio sebagai pengetahuan yang bisa salah; namun ratio dan
intuition dapat digabungkan untuk mendapatkan pengetahuan yang dinamis akan realitas. Berikut ini,
kita akan melihat “knowing that” dan “knowing how”, sebagai pembanding. 1

2. “Knowing That = Conjecture” dan “Knowing How = Refutation”


Gilbert Ryle dalam bukunya “The Concept of Mind”, menyebutkan tentang perbedaan antara dua
kategori pengetahuan, yaitu: “knowing that” dan “knowing how”. “Knowing that” adalah jenis
pengetahuan yang bersifat eksplisit dan bisa diformulasikan dalam prosedur atau aturan-aturan
konvensional. Misalnya, seorang arsitek tahu bahwa dibutuhkan luasan minimum tertentu di area
parkir untuk bisa ditempatkan satu mobil. Sedangkan “knowing how” adalah jenis pengetahuan yang
tidak bersifat eksplisit. Pengetahuan ini, oleh Ryle disebutnya dengan “we know but cannot tell”;
sesuatu yang diketahui namun tidak mudah untuk dikatakan secara verbal persis sama seperti yang
diketahui. Jenis pengetahuan ini dimiliki karena pengalaman “jam terbang” yang mendalam; sebuah
pengalaman mengekplorasi sesuatu yang tidak jarang harus melampaui aturan-aturan baku, penemuan-
penemuan yang tidak disengaja. Contoh yang lebih mudah dipahami adalah sebagai berikut:
pengetahuan “knowing that” itu dimiliki oleh pelatih sepak bola (pelatih sepak bola tahu aturan-aturan
dan strategi untuk memenangkan pertandingan sepak bola); sedangkan pengetahuan “knowing how”
dimiliki oleh pemain sepak bola (pemain sepak bola tahu bagaimana bermain di lapangan sepak bola,
namun ia tidak bisa menjelaskan hal tersebut secara akurat ke atas kertas sebagaimana yang terjadi di
lapangan.2

3. Dekonstruksi Method
Menarik, bahwa Derrida secara gamblang menyatakan, “Deconstruction is not a method and cannot be
transformed into one”3 karena menurutnya Dekonstruksi bukanlah mechanical operation.4 Namun
mengenai pernyataan ini, Richard Beardsworth berpendapat:

Derrida is careful to avoid this term [method] because it carries connotations of a


procedural form of judgement. A thinker with a method has already decided how to
proceed, is unable to give him or herself up to the matter of thought in hand, is a
functionary of the criteria which structure his or her conceptual gestures. For Derrida
this is irresponsibility itself.5

Pendapat Beardsworth ini menunjukkan bahwa “metode” dalam paham Derrida tidak sama dengan
paham “metode” yang dimengerti secara umum. Sebab menurut Derrida, dalam paham “tradisional”
metode itu menunjukkan seperangkat aturan prosedural kaku yang harus diikuti; sehingga sebenarnya

1
Bdk. Henry Bergson, An Introduction to Metaphysics (Indianapolis: Hackett Publishing Company),
hlm. 159-162.
2
Bdk. Gilbert Ryle, The Concept of Mind (Chicago: The University of Chicago Press, 2000), hlm. 27;
Bdk. Juga Nigel Cross, John Naughton & David Walker, “Design Method and Scientific Method” dalam Design
Studies 4 (2) (October 1981); hlm. 199-200.
3
“Deconstruction” dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Deconstruction.
4
It is true that in certain circles (university or cultural) the technical and methodological “metaphor”
that seems necessarily attached to the very word “deconstruction” has been able to seduce or lead astray. (ibid)
5
Richard Beardsworth, Derrida and the Political (London and New York: Routledge), 1996, hlm. 4.

52
Reginaldo Ch. Lake, Metode Pendekatan Desain
Menurut Henry Bergson dan Gilbert Ryle Terhadap Arsitektur Dekonstruksi

seorang Arsitek sudah memutuskan sesuatu sebelum proses itu sendiri dijalankan. Derrida menegaskan
bahwa Dekonstruksi sama sekali berbeda dengan paham itu, Dekonstruksi adalah suatu “metode” yang
“un-closed, un-enclosable, not wholly formalizable ensemble of rules”6 sebuah “metode” yang terbuka,
tidak pernah selesai dan bukan suatu tatanan aturan-aturan formal. Menurut saya, hal yang menarik
adalah bahwa “kekakuan” dalam prosedural metode itu sendiri adalah sebuah tatanan “konstruksi “
rigid yang persis ditentang oleh “Dekonstruksi”. “Pembebasan” dari aturan-aturan memang adalah
prinsip dasar dari Dekonstruksi dan metode desain-pun tidak luput dari gugatan Dekonstruksi.
Secara sederhana, prinsip Dekontruksi dalam Arsitektur adalah: (1) Tidak ada yang mutlak dalam
desain Arsitektur; tidak ada satupun aturan atau bentuk bangunan yang dianggap “baik”; dengan
prinsip ini, diberikan kesempatan yang sama pada bentuk-bentuk bangunan dalam Arsitektur untuk
berkembang. (2) Tidak ada sosok acuan dalam mendesain, sehingga karya arsitek Dekonstruksi
sungguh-sungguh orisinil, dan bukan merupakan pengulangan karya yang sudah ada sebelumnya. (3)
Tidak ada cara pandang yang menonjol (dominan), sehingga cara pandang dan tata nilai semua
seragam/setara. (4) Indera penglihatan bukan satu-satunya indera yang akan menentukan kualitas
desain Dekonstruksi, namun menjadi sebuah pengalaman total dari seluruh indera manusia.
Setelah uraian di atas, menjadi pertanyaannya adalah: apakah dekonstruksi yang membongkar paham-
paham lama dari konstruktivisme lalu berjalan tanpa metode yang tertata yang menjadi ciri dari cara
berproses secara ter-struktur? Bagaimana relasi dari teori ration/knowing that = refutation, dan teori
intuition/knowing how = conjecture dengan arsitektur dekonstruksi?.
Untuk mengkaji komparatif teori-teori tersebut, studi kasus yang diangkat adalah arsitektur
dekonstruksi karya Frank Gehry yakni Marques de Riscal.

Gambar 1. Konfigurasi massa Marqués de Riscal Winery by Frank Gehry

6
“Deconstruction” dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Deconstruction.

53
Seminar Nasional Riset dan Teknologi Terapan 2017 (RITEKTRA 2017) ISBN 978-602-50244-0-5
Kupang, 2-4 Agustus 2017

Marques de Riscal adalah bangunan dekonstruksi karya Frank Gehry berdasarkan konsep building
environmental artinya konsep ini lahir dari bentuk-bentuk geometri organis. Conjecture abstrak dari
bangunan ini memberi appreciates dari para observer atas sosok lempeng-lempeng Marques de Riscal
Winery yang seolah “melawan” gaya arsitektur geometris. Dengan tanpa mempertimbangkan
keteraturan, bangunan ini hadir tanpa metode modular dan skalatis pada bentuk atapnya.
Conjecture = intuition/knowing how berbicara mengenai metode perancangan arsitektur, bagaimana
cara (metode) membuat arsitektur. Metode akan menentukan hasil akhir (rill building) diujung proses
atau bisa juga dibalik, tujuan akhir menentukan metode yang dipilih dan digunakan untuk mencapai
tujuan tersebut. Bagaimana metode perancangan Marques de Riscal Winery ini?
Frank Gerhy adalah salah satu pelopor teori dekonstruksi furturistic yang menjadi fenomenal di era
modern. Namun, Frank Gerhy menggunakan analogi-nya sendiri dalam memaknai dekonstruksi yakni
dengan teori nature; ia menganalogikan desain sebagai bagian dari alam dimana semua bagian
berperan (memiliki kesan “alami” dan bertumbuh sesuai lingkungan). Paham dasar ini, diwujudkan
dalam karya-karya Frank Gerhy. Kesan nature juga hadir pada bangunan Marques de Riscal Winery
yakni permainan lempeng-lempeng enclosure yang menempel sebagai bagian atapnya, berupa
gelompang lempengan titanium. Bentuk kurva acak terbuat dari titanium, yang menyerupai lembaran
kain yang dikepak-kepakkan. Perpaduan warna perak, emas dan ungu anggur sehingga menghasilkan
pencahayaan dalam bangunan dengan memanfaatkan skylight. Konsep ini di-refutation sebagai bentuk
yang tidak beraturan, namun dari bentuk ini Frank Gerhy melalukan conjecture terhadap nature dan
culture.

Gambar 2. Kesan nature yang digunakan oleh Frank Gerhy pada bangunan Marques de Riscal
(Sumber: www.marquesderiscal.com)

Karena letak lahan adalah tepat di perkebunan anggur, konsep lempengan titanium berwarna unggu
anggur ini memanfaatkan teori topografi, geologi dan geodasi digunakan sebagai pertimbangan oleh
Frank Gerhy dalam desain Marques de Riscal Winery.

54
Reginaldo Ch. Lake, Metode Pendekatan Desain
Menurut Henry Bergson dan Gilbert Ryle Terhadap Arsitektur Dekonstruksi

Bidang Atap: Bentuk


atap tak beraturan
merupakan permainan
lempeng-lempeng
titanium untuk
menghasilakn konsep
organis.

Bidang Dinding dan


Pelingkup: conjecture
sebagai konsep abstrak
hadir dalam tatanan
geometri antropometri,
mempertimbangkan
skala manusia sebagai
Fungsi-Bentuk-Makna: Dekonstruksi lahir dari bentuk-bentuk skala baku dari bangunan
abstrak (conjecture). Fungsi dipertahankan, mewujudkan bentuk ini.
dinamis, sebagai kreativitas sang arsitek untuk memberi nuansa
yang berbeda dengan desain-desain yang lainnya. Pengkaburan
makna sebagai intervensi observer (refutation) yang berusaha
untuk memahami dan mengalami wujud dari bangunan
dekonstruksi.

Refutation

Kaidah-kaidah perancangan
masih diperlihatkan terutama
pada bentuk denah yang statis,
sedangkan atap yang serba
dinamis memperlihatkan wujud
arsitektur dekonstruksinya.

KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal yakni: (1) “Ratio” itu sama dengan “knowing that”
adalah refutation yakni cara mengenal obyek yang sudah baku, kaku, matematis, dan terukur.
“Intuition” itu sama dengan ”knowing how” adalah conjecture yakni cara mengenal obyek secara
relatif, tidak terukur yang didapat dari pengalaman. Ketika seorang arsitek melihat gambar peta, lalu
mulai menggambar jalan, petak-petak kavling, utilitas, elektrikal dengan perhitungan terperinci dan
baku maka “ratio/knowing that” sedang berperan di situ; namun ketika Bugsy Siegel (1906-1947)
melihat padang pasir yang gersang, kosong lalu mengatakan dia akan membangun casino terbesar di
padang pasir itu, maka itulah “Intuition=Knowing How”. Bugsy dianggap gila oleh rekan-rekannya
(baca: “tidak rasional”), namun padang pasir itu sekarang menjadi kota judi terbesar “Las Vegas” yang
terkenal. Jika Bugsy menggunakan ratio/knowing that, maka Las Vegas tidak akan pernah ada karena
sama sekali tidak masuk dalam kalkulasi di ranah ratio/knowing that. Begitu juga dengan konsep
desain dekonstruksi mengandalkan intution atau knowing how yakni sebuah teori conjecture yang
terdapat dalam naluri seorang arsitek; (2) Intuition/knowing how bicara tentang sesuatu yang tidak bisa
diukur dengan skala dan angka; misalnya sense of place, sacred space, meaningfull experience,

55
Seminar Nasional Riset dan Teknologi Terapan 2017 (RITEKTRA 2017) ISBN 978-602-50244-0-5
Kupang, 2-4 Agustus 2017

atmosphere of place, feng shui, chi, harmony, balance juga hal-hal yang terkait dengan profit dari
desain yang akan dibangun; orang-orang tertentu dengan “sense of bussines” bisa “mencium” satu
tempat atau desain akan menjadi wadah yang menghasilkan uang atau tidak. Ini bisa terjadi karena
pengalaman yang matang; itulah sebabnya Bergson disebut penganut aliran “empirisme”; Namun,
seperti juga ditegaskan Bergson, keduanya ratio dan intuition harus bersama-sama digunakan; tidak
bisa melulu hanya intuition atau hanya ratio saja. Keduanya saling melengkapi; demikian juga
“knowing that” dan “knowing how” serta conjecture dan refutation; (3) Seorang arsitek mendesain
sebaiknya menggunakan ratio/knowing that untuk membuat desain itu lebih terukur, menjadi terbentuk
secara fisik (kaku) namun serentak menggunakan intuition/knowing how untuk “melenturkan”
kekakuan sehingga proses desain tetap mengalir, dinamis dan tidak “mandeg” terjebak dalam rumus-
rumus matematis yang kaku. Jelas bahwa dalam produk arsitektur dekonstruksi menggunakan teori
intuition/knowing how.

DAFTAR PUSTAKA
Bergson, Henry: An Introduction to Metaphysics. Hackett Publishing Company.
Broadbent, Geoffrey, Design In Architecture, Jhon Willey, New York, 1973.
Ching, Francis D. K. Architecture; Form, Space, and Orde, New York, Ligo, Larry L, The.
Jancks, Charles: The Language of Post Modern Architecture.
Jormakka, Kari: Basics Design Methods. Birkhauser, Basel, Boston, Berlin.
Ryle, Gilbert: The Concept of Mind. The University of Chicago Press, Chicago. 2000.
Salura, Purnama. (2001): Ber-arsitektur; Membuat, Menggunakan, Mengalami, dan Memahami
Arsitektur. Architecture & Communication. Bandung.
Salura, Purnama. (2010): Arsitektur yang Membodohkan. Cipta Sastra Salura. Bandung.
Sutedjo, Suswondo. (1982): Peran, Kesan, dan Pesan Bentuk Arsitektur. Jakarta.

56

Anda mungkin juga menyukai