Anda di halaman 1dari 29

STUDIO PERANCANGAN

ARSITEKTUR IV
RANGKUMAN BUKU “METODE PERANCANGAN : SUATU PENGANTAR UNTUK
ARSITEK DAN PERANCANG” OLEH GUNAWAN TJAHJONO

NAMA KELOMPOK :
1. IQBAL FAUZAN NOOR / 315160044
2. CATHERINE NATAWIBAWA / 315170002
Oleh Catherine Natawibawa/315170002
BAB I
PENGENALAN METODE BERPIKIR DALAM
PEROLEHAN PENGETAHUAN
Berpikir adalah suatu gerakan mental atau intelektual yang bergerak dari suatu obyek ke obyek lain,
sementara perolehan pengetahuan adalah suatu tindakan berpikir dengan sungguh – sungguh yang
mengarah ke pembentukan pengetahuan.
a) Peristilahan Ontologi
Ontologi adalah filsafat tentang
keberadaan, terutama terhadap apa yang
kita hadapi, atau apa yang ada di “situ”.
Istilah filsafat bagi segala sesuatu yang ada,
atau dapat ada, adalah Ada (being). Ini
berarti sifat yang melekat pada benda juga
termasuk dalam istilah yang menjadi
sasaran penyelidikan. Setiap Ada selalu
dapat kita tinjau dari dua segi yang berbeda;
yaitu ke-apa-annya (whatness) dan
kehadirannya (existence).
Sejarah filsafat Barat telah mencatat
banyak pemikir yang menekankan bahwa
hampir tidak ada benda kecuali sifat – sifat
dan hubungan – hubungan, tetapi ada juga
yang beranggapan hanya ada satu benda.
b) Peristilahan Psikologi
Pengetahuan adalah sesuatu yang
bersifat mental, atau sesuatu yang akan
ditemukan hanya dalam pikiran.
Pengetahuan dianggap tidak dalam
pengertian suatu proses, melainkan suatu
keadaan. Pengetahuan adalah sesuatu yang di
dalam kegunaannya seseorang disebut ‘dia
yang tahu’.
Pengetahuan selalu ada sasarannya, yaitu
yang diketahui. Sasaran tersebut selalu dalam
setingkatan hubungan – hubungan. Ini
berarti: sesuatu hanya sebagai dirinya tidak
dapat diketahui; sesuatu itu dapat diketahui
bila benda atau sifat atau hubungan yang
menjadi sasaran tampil dalam cara tertentu
di dalam tingkatan keadaan hubungan –
hubungan (state of affairs).
c) Peristilahan Semiotik
Bahasa tidak menggantikan benda secara langsung, tetapi secara konsep dan proposisi obyektif. Namun
terkadang, bahasa tidak dengan memadai menyatakan konsep dan proposisi obyektif. Oleh karena itu suatu
tanda untuk suatu konsep obyektif kita berikan suatu “nama”, sedangkan suatu tanda untuk proposisi
obyektif berupa suatu pernyataan.
d) Peristilahan Teori Pengetahuan
Suatu proposisi obyektif atau proposisi subyektif dan suatu pernyataan berarti selalu benar atau salah.
Suatu proposisi akan benar bila setingkatan hubungan – hubungan yang berkaitan dengannya menjadi kasus.
Sebaliknya, proposisi itu salah apabila setingkatan hubungan – hubungan yang berkaitan dengannya bukan
kasus.
Logika adalah suatu istilah yang amat kabur dalam pemakaiannya di berbagai cabang pengetahuan, karena ia
sering dipakai tidak dalam kaitan menarik kesimpulan, padahal justru ia seyogyanya kita pakai untuk
memperoleh kesimpulan. Logika sebagai ilmu pengetahuan penarik kesimpulan, terdiri atas 3 disiplin, yaitu :
a) Logika formal (formal logic)
Logika formal membidangi hokum – hokum logika, misalnya proposisi – proposisi yang terhadapnya
perlu ditarik suatu kesimpulan apabila seseorang ingin mengolah dari satu proposisi benar ke proposisi
benar lain.
Hukum Identitas : A adalah A

Hukum Nonkontradiksi : Tidak ada yang mungkin A dan


Hukum Logika menurut Aristoteles : tidak A

Hukum Meniadakan Antara : Semua adalah A atau tidak A


b) Metodologi
Metode adalah suatu kebiasaan olahan
dalam bidang tertentu, yang berhubungan
dengan pengaturan kegiatan dan
pengoordinasian tujuannya. Metodologi
adalah teori metode. Metodologi dapat
dibagi ke dalam 2 kelompok, yaitu yang
membahas cara – cara fiskal dan intelektual.
Dalam kegiatan intelektual terdapat
beberapa metode, salah satunya adalah
metode berpikir. Metode berpikir adalah
arah berpikir ‘benar’, yang berhubungan
dengan berpikir sungguh – sungguh dalam
perolehan pengetahuan.
c) Ilmu Pengetahuan
Secara subyektif, ilmu pengetahuan adalah hanya
pengetahuan sistematis. Ilmu pengetahuan adalah
sejenis pengetahuan dan dengan demikian suatu
mutu manusia dan apa kelebihan dari suatu subyek.
Secara obyektif, ilmu pengetahuan bukanlah sejenis
pengetahuan tetapi suatu struktur proposisi
obyektif. Dalam kaitan ini, ilmu pengetahuan
memiliki sifat sebagai berikut :
◦ Ilmu pengetahuan itu suatu struktur proposisi –
proposisi obyektif yang tersusun secara sistematis
sesuai dengan sifat sistematis dalam pengertian
subyektif
◦ Ilmu pengetahuan mengandung bukan proposisi –
proposisi berpeluang, tetapi proposisi yang telah
secara nyata diformulasikan
◦ Ilmu pengetahuan adalah suatu penugasan sosial.
Perbedaan antara ilmu pengetahuan dengan
perancangan adalah, ilmu pengetahuan
menghasilkan penjelasan suatu gejala tanpa dapat
merubahnya, sedangkan perancangan menghasilkan
serangkaian instruksi dalam berbagai bentuk (denah,
model, syarat) yang bila dilaksanakan dapat merubah
gejala tersebut.
Fenomenologi adalah suatu cabang filsafat yang dikembangkan oleh
Edmund Husserl. Husserl memakai istilah fenomenologi dalam arti suatu
ajaran dan suatu metode.
a) Sifat Hakiki Fenomenologi
Metode fenomenologi adalah suatu prosedur kognitif yang khusus. Ia
berdasarkan intuisi dalam pengamatan intelektual terhadap obyek. Intuisi
ini mengacu pada yang diberikan, jadi aturan utama fenomenologi adalah
“kembali kepada benda itu sendiri”. Dalam hal ini, benda itu berarti yang
diberikan (atau yang dihadapi). Untuk itu kita perlu melaksanakan 3
reduksi :
◦ Pertama, reduksi dari seluruh subyektivitas karena apa yang diperlukan
disini adalah pendapat obyektif.
◦ Kedua, reduksi dari seluruh pengetahuan yang ada seperti teori,
hipotesis, bukti yang diperoleh pengamat dari sumber lain sehingga
hanya yang diberikan itu yang menjadi satu – satunya acuan.
◦ Ketiga, reduksi dari seluruh tradisi yang ada, seperti apa yang pernah
diartikan orang lain tentang obyek tersebut.
b) Kembali ke Benda – benda itu Sendiri
Fenomenologi diartikan untuk memperlihatkan,
terlihat atau yang tampil. Jadi, suatu fenomenon dapat saja
tampil di dalam pikiran kita sejauh itu jelas. Fenomenologi
adalah teori tentang fenomenon.
Prinsip utama metode fenomenologi adalah kembali
pada benda – benda itu sendiri, jadi seseorang harus
melihat benda – benda itu dalam arti intelektual. Metode
tersebut adalah suatu metode intuisi pengamatan
intelektual. Intuisi di sini adalah kebalikan dari perolehan
pengetahuan diskursif (cara tidak langsung dengan
melibatkan diskusi); dan pengamatan obyek secara
langsung namun tidak menyeluruh.
Metode fenomenologi adalah: dalam semua
penyidikan, perhatian pengamat harus menujukan ke obyek
itu dengan menghilangkan semua hal yang subyektif. Ini
berarti semua bentuk pendapat yang sebelumnya ada dalam
dirinya termasuk keinginan, perasaan dan sikap perlu
diabaikannya selama melakukan penyidikan.
BAB II
BEBERAPA METODE
PENGENALAN MASALAH
PERANCANGAN : DESAIN DAN
PENGETAHUAN PERANCANG
a) Desain dan Perancangan
Desain berasal dari Bahasa Latin yang
berkembang menjadi kata kerja yang berarti
menandai, menamai. Kemudian beralih ke
kata Perancis Pertengahan designer dengan
arti merancang.
Desain sebagai sebuah benda
sebagaimana akar katanya menunjuk pada
sesuatu yang dibuat agar berarti khusus
bagi pembuatnya. Unsur pembentuknya
mencakup seseorang yang membuatnya,
bahan, alat dan cara membuatnya.
Desain sebagai suatu kegiatan adalah urutan tindakan hingga menghasilkan desain sebagai
benda tersebut.

Perancangan berakar kata rancang yang berarti setangkai kayu yang berujung runcing untuk
dicocokkan ke dalam tanah agar mengetahui susunan tanah atau menandai batas tempat.

Benda Rancangan
(hasil)

Kegiatan Merancang
Perancangan dan desain sebagai suatu kegiatan
dapat disimpulkan sebagai kegiatan yang
bertujuan menghasilkan rangkaian instruksi
(dalam bentuk denah, spesifikasi, notasi musik,
dst.) yang akan dilaksanakan dan dalam
pelaksanaannya akan menyelesaikan masalah
yang dihadapi. Sebagai kegiatan yang penuh
kesadaran dan bertujuan, perancangan juga
penuh perhitungan. Oleh sebab itu dia perlu
melibatkan berbagai pengetahuan seperti
bagaimana menghasilkan rangkaian instruksi,
dsb.
b) Permasalahan Perancangan
Masalah perancangan menyangkut
pemakainya, yaitu manusia yang tidak homogen
dalam arti pikirannya, sikapnya dan nilai – nilai
panutannya.
Sementara itu hasil perancangan arsitektur
selalu membawa konsekuensi baru yang tidak
dapat diduga oleh ilmu yang diacunya. Oleh
karena itu, tidaklah mudah untuk langsung
melibatkan yang satu pada yang lain tanpa suatu
penyesuaian.
c) Pengetahuan Perancang
Beberapa pengetahuan yang tercakup dalam kegiatan merancang :
◦ Ada suatu fakta yang menunjukkan bahwa di dalam suatu konteks timbul masalah (faktual)
◦ Ada sesuatu yang seharusnya terjadi sehingga masalah itu selesai atau hilang (deontik)
◦ Ada cara – cara atau instrument untuk menyelesaikan masalah tersebut (instrumental)
◦ Ada penjelasan atas langkah yang diambil dan sebab - sebab masalah (penjelasan)
◦ Ada sejumlah arti yang perlu disepakati selama kegiatan perancangan berlangsung (konseptual).

1) Pengetahuan Faktual
◦ Fakta adalah sesuatu yang dapat kita periksa dan berbentuk nyata.
◦ Pengetahuan faktual adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pertanyaan tentang kasus.
◦ Pengetahuan faktual itu melibatkan seperangkat istilah atau konsep yang berkaitan dengan masalah
perancangan.
2) Pengetahuan Konseptual
Konsep adalah abstraksi (sari) dari suatu
pengalaman manusia atas suatu gejala. Pernyataan
konsep sering dalam bentuk satu kata yang
mengandung satu pengertian. Pengertian itu
dapat kemudian dijelaskan. Bila masih perlu
menjelaskan gejala teralami itu dengan kata –
kata, maka yang terjadi adalah konsepsi. Tidak
semua konsep dapat dijelaskan, namun dapat
dianalogikan dan ditunjuk. Konsep itu disebut
konsep ostensive. Konsep mengandung unsur –
unsur yang mungkin dapat mengarah pada hal –
hal yang bersifat instrumental.
3) Pengetahuan Deontik
Deontik berhubungan dengan sesuatu yang
sudah semestinya demikian. Keputusan deontic
menghentikan perdebatan dalam suatu
pembahasan untuk pengambilan keputusan.
Dalam bidang arsitektur, arsitek amerika
ternama Louis I. Khan adalah orang yang selalu
sungguh – sungguh memulai dengan pertanyaan
deontic dalam perancangannya. Ia selalu
berangkat dari titik nol sehingga dapat melihat
permasalahan dengan lebih jelas hingga ke
esensi serta semua unsur – unsur yang
membentuknya.
4) Pengetahuan Penjelasan
Penjelasan adalah suatu upaya untuk memberi jawaban atas sesuatu yang bila dibiarkan akan
menimbulkan ketidakpuasan. Penjelasan menerangkan posisi suatu masalah dengan mengikuti
perjalanannya yang sering mengandung sebab akibat.
Dengan penelusuran alasan, perancang akan memiliki kemampuan mengetahui konsekuensi
perancangannya. Dengan penjelasan yang jelas, rancangan menjadi mudah dimengerti dan diterima.
Selain itu, pengetahuan penjelasan akan memperkuat argumentasi perancang.

5) Pengetahuan Instrumental
Instrumen adalah alat yang dapat mengantarkan penggunanya kepada suatu tujuan. Instrumen
selalu berkaitan dengan tata cara dan instruksi.
Dalam batas tertentu, instrument berhubungan dengan keterampilan orang yang memainkannya.
Dalam hal ini, seorang perancang memerlukan latihan yang cukup agar mahir mewujudkan tujuannya.
d) Isu, Data dan Informasi
Isu adalah sesuatu yang diangkat (dalam masalah) untuk dibahas penjelasannya. Isu yang terjelaskan
dapat menjadi informasi, yaitu (secara sederhana) data yang tersusun dan dapat disampaikan dengan
sistem komunikasi.
Data adalah sesuatu yang kita perlukan dalam menghadapi masalah. Data yang terkumpul perlu
dijadikan informasi terlebih dahulu agar tersusun sehingga siap untuk dikomunikasikan.
Pengumpulan data membawa kita dekat dengan pengenalan lebih lanjut terhadap suatu masalah,
sedangkan perubahan dari data ke informasi membawa kita dekat dengan pemahaman masalah.
Dengan berbasis isu dan informasi, perancang akan selalu menemukan hal baru sesuai dengan citra
yang berkembang dalam benaknya.
BAB IV
BEBERAPA METODE PENYELESAIAN
MASALAH : TIPOLOGI, ARKITIPE
KERUANGAN, BAHASA POLA, TATA BAHASA
BENTUK DAN DEKONSTRUKSI

a) Tipologi
Tipologi adalah kajian tentang tipe. Arsitek
sebelum masa jaya Gerakan Moderen dalam
arsitektur mengandalkan tipe bangunan sebagai
wujud akhir penyelesaian perancangan.
◦ Pemikiran tentang tipologi ini secara cermat diangkat oleh
sejarahwan arsitektur Anthony Vidler dalam tulisannya “The Third
Typology” Dia mengamati, bahwa abad ke 18 muncul tipologi
arsitektur pertama yang bersumber dari gubuk primitif sebagai
akibat usulan Laugier.
◦ Tipologi kedua tidak lagi mengandalkan bentuk, tetapi pada proses
sebagaimana usul Le Corbusier dan kawan-kawan di abad ini.
◦ Sedangkan tipologi ketiga adalah yang dipelopori kelompok Neo-
Rationalis. Bila kedua tipologi sebelumnya banyak mengandalkan
inspirasinya dari gejala yang ada diluar arsitektur, maka yang ketiga
ini justru kembali pada unsur-unsur arsitektural sebagai tipe dan kota
adalah tapak yang menyediakan kondisi bagi tipologi baru ini.
Pelopor tipologi baru ini menolak semua kenangan manis yang anti
kota, dan kehidupan sosial yang mempengaruhi bentuk arsitektur.
Bagi mereka arsitektur itu sendiri sudah berbicara tentang hal itu.
Mereka tidak menurunkan aturan yang ketat untuk mengubah
obyeknya, karena tipologi akan dengan sendirinya memproduksi.
1. Analisis Tipologi Bangunan
Dalam kajian tipologis, sebuah obyek arsitektur yang hadir perlu diamati unsur – unsur
pembentuknya. Bangunan adalah kumpulan unsur – unsur yang membentuknya.
Pertama, kita coba sisihkan lahan kosong dan isi satu persatu unsur pembentuk mulai dari tiang
saja, dinding saja, bukaan saja, tanaman saja, lantai saja dan atap saja, setelah itu barulah
dikumpulkan semuanya seperti dalam denah. Cara ini juga berlaku untuk menganalisis potongan dan
tampak. Melalui kajian tipe demikian, pembanding antar bangunan sekegiatan dapat menghasilkan
tipe, yaitu unsur – unsur mendasar sebagai pembentuk jenis kegiatan tersebut. Sekali ditemukan
unsur terdasar, dari situ akan berangkat suatu proses transformasi sebagai penyelesaian bentuk.
2. Tipologi Ruang Kegiatan
Kegiatan manusia ada yang bersifat amat
mendasar seperti istirahat, makan, dsb. yang
semuanya berkonsekuensi terhadap pemakaian
ruang dan syarat yang dihasilkannya. Untuk
menganalisis batas ruang gerak, kita harus
mengetahui tipe kegiatan yang akan dilakukan
seperti misalnya di toko, tipe kegiatannya
adalah pertukaran benda dengan sesuatu.

3. Tipologi Ruang Formal


Tipe ruang formal adalah menghayati
kemungkinan dari apa yang terkandung di
balik kata – kata keterangan yang selalu tidak
sepenuhnya kita sadari kehadirannya. Bila
perancang mengacu pada tipe tersebut, maka
ia akan lebih bebas menentukan suatu keadaan
di dalam konteks perancangan.
b) Arkitipe Keruangan
Dalam ilmu jiwa, bidang psikoanalisis menyelidiki ingatan kolektif, dan Carl Gustav Jung adalah
ahlinya yang mengemukakan konsep arkitipe. Menurutnya arkitipe adalah citra purba yang terdapat
dalam alam tak sadar kolektif manusia. Arche berarti kepala atau yang utama. Archetect adalah kepala
tukang dan Arkitipe secara akar kata adalah tipe utama. Dengan mengetahui arkitipe keruangan, maka
perancang lebih sadar akan garis – garis yang ditariknya dan oleh sebab itu juga memiliki
perbendaharaan perancangan dalam bentuk dasar. Menurut pengamatan Lobell, terciptalah 6 kategori
arkitipe keruangan, diantaranya :

1. Sensitive Chaos (Ketakteraturan Peka)


Manusia zaman purba mempertahankan hidup dengan berburu dan/atau meramu bahan makanan.
Mereka menyelusuri sungai, lereng, gurun dan pantai yang batas – batasnya tidak teratur secara
geometris. Pola keruangan yang ada saat itu tidak ada acuan pasti yang menyamai salah satu wujud
geometri, namun juga bukan tanpa suatu dasar. Pola tersebut amat bergantung pada wujud alami.
2. Great Round (Bundar Raya)
Dari berpindah beralih ke bercocok tanam dan beternak meungkinkan manusia berdiam lebih lama
di suatu tempat. Dalam masyarakat ini, pembagian kerja dan partisipasi yang seimbang mendudukkan
posisi wanita setingkat dengan pria dalam menentukan kehidupan berumah tangga. Mereka menjaga
pemilikan dan menurunkannya ke anak perempuan (matrilineal). Mumford dalam bukunya City in History
menduga permukiman yang menjadi cikal bakal kota di kemudian hari mungkin dibangun oleh wanita.
Wujud bangunan yang duluan muncul dalam peradaban manusia juga bersifat bundar. Pola maha lingkar
ini menandai suatu masa yang nisbi damai. Simbol bundar raya adalah lingkaran.

3. Four Quarters (Empat Bagian)


Kelompok bercocok tanam rawan terhadap suku – suku yang sedang menuju peradaban yang sama.
Seringkali mereka berperang satu sama lain untuk memperebutkan wilayah, oleh karena itu pertahanan
dan kekuatan pusat mungkin menginspirasikan tindakan membuat banteng dengan arah yang jelas.
Gagasan ini menentukan bentuk permukiman dan pola – polanya. Pola keruangan dengan demikian
berasosiasi dengan empat mata angin yang memiliki gerbang dan dijaga oleh pejuang. Simbol keruangan
pada masa itu berupa gambaran bujur sangkar yang terbagi 4 bagian dengan satu pusat yang jelas.
4. Pyramid (Piramid)
Pola keruangan yang muncul di peradaban Dewaraja ini mencerimnkan stratifikasi sosial dan
konsep kekuasaannya. Bentuk pyramid yang berada dalam lapisan konsep, membentuk lapisan –
lapisan yang mengatur penduduk yang berhak menghuni disitu dengan puncaknya adalah milik raja
sebagai penguasa bangsa. Simbol keruangan adalah piramida dengan lapisan bawah yang paling luas
menjadi cerminan rakyat.

5. Radiant Axes (Sumbu – sumbu Radial)


Pada masa ini, militer berperan secara dominan dan untuk itu penataan ruang perlu mengikuti
kemudahan pengendalian sesuai gerak latih tantara. Untuk itu penguasa menciptakan sumbu –
sumbu dengan tempat dia memberi perintah atau tinggal sebagai pusat. Oleh karena itu, pola
keruangan yang utama adalah sumbu – sumbu yang panjang dari satu sumber, bergerak ke segala
arah. Pola tersebut dalam angan – angan penciptanya memudahkan pengendalian dari tempat
kekuasaan. Sumbu – sumbu tersebut menjadi jalur parade militer. Simbol keruangannya adalah
sumbu – sumbu dalam 8 arah mata angin.
6. Grid
Pada masa ini, rakyat banyak mengalami kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pola
keruangan yang muncul pada era rasional ini adalah grid yang bekerja tidak hanya 2 matra, tetapi 3
matra (dalam pengertian geometri Euclid). Dalam grid – grid tersebut tidak ada pusat yang
dominan. Grid juga tidak mengenal batas yang mengikat. Grid mencerminkan keunggulan teknokrat
atas birokrat. Simbol keruangan ini adalah kotak – kotak yang menyambung tanpa batas penutup.
c) Bahasa Pola
Melalui buku A Pattern Language,
Alexander menawarkan 253 pola yang
menjadi model penyelesaian ketataruangan
lingkungan bangun, mulai dari yang berskala
regional ke skala detail bangunan. Bagi
Alexander, ada cara membangun abadi dan
hanya dengan cara demikian kita dapat
membuat lingkungan bangunan hidup dan
menyenangkan untuk berkegiatan di
dalamnya.
1. Mutu Tanpa Suatu Nama
Untuk memperoleh cara abadi, kita perlu
mengenal mutu tanpa nama. Mutu tanpa
suatu nama mengandung aturan – aturan
yang mampu kita pelajari. Aturan – aturan
tersebut tampil dalam bentuk pola.
2. Pola
Pengertian pola disini mengacu pada sesuatu yang
susunannya beraturan sehingga dapat menjadi dasar bagi
pengulangan selanjutnya. Lingkungan bangunan yang
bermutu selalu menampilkan pola. Sebelum mampu memakai
pola tersebut, sebaiknya kita mengerti dulu susunannya
dengan cara mengamatinya. Seperti dalam buku Notes on the
Synthesis of Form, dikatakan bahwa bahasa pola tidak dari
abstraksi, melainkan melalui pengalaman langsung dan
pengamatan lapangan.
3. Bahasa Pola
Bila sudah memastikan pola dengan unsur – unsur dan
hubungan unsurnya, pengamat dapat menemukan Bahasa
yang terkandung di dalamnya. Bahasa pola terdiri atas pola –
pola yang teratur dan membuat suatu pola bermakna. Setiap
pola akan melengkapi dirinya. Pola yang baik adalah pola yang
dapat menyelesaikan konflik yang terjadi dalam konteks
perancangan. Jadi, pola yang utuh telah mengandung suatu
konteks, masalah dan penyelesaiannya.

Anda mungkin juga menyukai