Anda di halaman 1dari 23

B.

2
URAIAN PENDEKATAN METODOLOGI
DAN RENCANA KERJA

Metodologi adalah cara-cara yang akan diterapkan dalam melaksanakan


seluruh pekerjaan. Perumusan metodologi ini bertujuan agar pekerjaan dapat
dilaksanakan secara sistematis sesuai dengan karakteristik pekerjaan, sehingga tujuan
dan sasaran yang telah ditetapkan sehingga dapat tercapai secara utuh sesuai dengan
harapan. Metodologi ini disusun berdasarkan permasalahan yang dihadapi &
disesuaikan acuan yang ada pada pekerjaan ini.

2.1. KONSEP ARSITEKTURAL MASSA BANGUNAN


2.1.1 Sekilas Mengenai Arsitektur Modern
Dalam dunia arsitektur seringkali terjadi perubahan yang selaras dengan
perkembangan teknologi, politik, sosial, dan ekonomi. Dengan bergeraknya kehidupan
sosial - ekonomi yang semakin pesat, menghantarkan masyarakat ke jaman
modernisasi. Jaman modernisasi ini ditandai dengan semakin pesatnya kemajuan
teknologi, industrialisasi, urbanisasi dan juga meningkatnya kompleksitas sistem sosial
- ekonomi. Sebenamya bila kita kaji dari sejarahnya modernisasi timbul ketika revolusi
industri pada tahun 1860-1863. Pada keadaan inilah yang membawa perubahan dalam
masyarakat yang akan mempengaruhi pula perubahan dalam arsitektur. Perubahan ini
semakin tampak dalam hal perubahan dalam sistem konstruksi dan struktur bangunan
(ditemukannya material baja, beton, dan kaca), perubahan pada perkembangan kota,
dan perubahan dalam kebudayaan. Perubahan pada perkembangan kota ditandai
dengan banyaknya urbanisasi, komunikasi yang semakin baik, banyak dibangun
fasilitas umum (misalnya stasiun kereta api, kantor, hotel, tempat hiburan, dan lain
sebagainya), mulai adanya bangunan bertingkat banyak, dan lain-lain. Perubahan
dalam kebudayaan ditandai dengan style neo klasik yang semakin pudar, menuju ke
arah “Form follow function“.
2.1.2 Sekilas Mengenai Arsitektur Post Modern
Dari perkembangan masyarakat, Iptek, seni dan arsitektur yang telah dibahas
di atas, dapat disimpulkan bahwa perkembangan tersebut membawa manusia kepada
tingkat pemikiran yang lebih tinggi lagi. Era modernisasi mulai dianggap tidak mampu

B.2-1
menawarkan sesuatu yang berharga bagi manusia sehingga timbul berbagai kritik
terhadap aliran Modernisme. Kritik yang dilontarkan tidak ditanggapi secara pasif tetapi
ditanggapi dengan berbagai pembaharuan dari kekurangan arsitektur modern, karena
hal inilah arsitektur modern semakin pudar. Kelemahan arsitektur modern telah
dibahas diatas, jadi setiap desain yang dihasilkan dalam arsitektur modern dikupas dan
dipaparkan sejauh mana arsitektur modern mempunyai peranan yang berguna bagi
masyarakatnya. Ternyata arsitektur modern masih belum mencukupi kebutuhan
masyarakatnya maka terjadilah suatu perombakan ke arah yang lebih baik, sehingga
lahir arsitektur post modern.
Arsitektur Post Modern merupakan perpaduan antara arsitektur yang beraliran
’Art and Science’, ’Craft’ dan ’Technology’ dengan arsitektur lokal yang sudah
melepaskan diri dari aturan-aturan Modernisrne dan merupakan koreksi terhadap
aturan-aturan dalam Arsitektur Modern. Post modern itu merupakan kelanjutan dari
perkembangan Arsitektur Modern yang diperbarui.
2.1.3 Konsep Perancangan
Cara untuk mendapatkan ’konsep-konsep' kategori dan hubungan di atas
adalah dengan mencari ’konsep-konsep besar’ dari tiap teoretikus. Kemudian, dicari
konsep-konsep penting mana yang secara substansial menjadi konsep atau pemikiran
postmodernisme para teoretikus lainnya. Makin banyak konsep tersebut secara
substansial menjadi pemikiran para teoretikus, makin penting pulalah konsep tersebut
dalam postmodernisme arsitektur. Namun demikian, ada kemunggkinan sebuah
konsep dianggap sebagai konsep penting postmodernisme arsitektur bila dianggap
unik dan secara substansial dapat memberi kontribusi penciptaan keragaman makna
dan pluralisme gaya dalam arsitektur.
Menurut peneliti, konsep representasi memiliki tingkat abstraksivitas pemikiran
tertinggi dan oleh sebab itu menjadi konsep paling penting dan menentukan dalam
arsitektur potmodern. Dalam konsep ’representasi’ bentuk dan Gaya bukan faktor
yang paling penting. Melainkan ide atau imajinasi dalam pikiranlah yang penting.
Selanjutnya konsep simbiosis dan both and menjadi konsep penting dan signifikan
berikutnya. Karena menandai perlawanan cara berfikir dualisme dalam modernisme.
Cara berfikir penyatuan oposisi biner pertama kali diperkenalkan oleh Robert Venturi
dengan konsep both andnya. Cara berpikir ini dikembangkan lebih lanjut oleh
Kurokawa dengan simbiosis, dengan memasukkan unsur-unsur intangible, seperti
spiritual dan emosional didalamnya.

B.2-2
Konsep both and telah mengalami perkembangan menjadi konsep hybrid.
Hybrid artinya campuran atau turunan. Hibridisasi artinya mencampur dua elemen atau
lebih yang berlawanan karakter menjadi satu unsur yang baru. sedemikian cara
sehingga tercipta sesuatu yang baru yang berbeda dengan objek referensinya. Konsep
kontekstual mengembangkan pemikiran "arsitektur harus memiliki akar lingkungan
atau tempatnya berada".
Konsep-konsep lainnya adalah menerima referensi plural, menghargai memori
dan sejarah, menerima improvisasi, ambiguity, dan complexity. Selanjutnya, konsep-
konsep perancangan postmodernisme arsitektur tersebut di atas dijelaskan sebagai
berikut :
a. Representasi
Hollier (1974) dalam Hays (2002), menyatakan, "Apa yang disebut arsitektur
pada dasarnya hanyalah general locus atau framework dan representasi".
Arsitektur dapat mempresentasikan sebuah agama, kekuatan politik, peristiwa,
dan lain-lain. Arsitektur identik dengan ruang representasi. Arsitektur selalu
merepresentasikan sesuatu yang lain diluar ’dirinya’, yang membedakannya
dengan bangunan yang lain.
Bahasa representasi tampaknya merupakan konsep arsitektur posmodern
yang menjadi sangat penting. Konsep ini berasal dari pemikiran Klotz yang
menggunakan istilah function untuk menyatakan penciptaan imajinasi dalam
arsitektur. Arsitektur didefinisikan sebagai representasi dari sesuatu yang lain,
meluas menuju bahasa, dimana metafor arsitektur menjadi lazim. Jadi, metafor
adalah zaman dari representasi. Klotz juga menyatakan bahwa arsitektur post
modern menerima penggunaan bentuk-bentuk metaforik dan simbolik yang
memberi peluang pemaknaan yang lebih kaya.
Arsitektur post modern menggunakan analogi bahasa sebagai bagian dari
komunikasi arsitektur untuk menjelaskan maknanya. Ada bermacam-macam
analogi tata bahasa dalam arsitektur yang dikemukakan oleh Jencks ( 1977:39).
Salah satunya adalah metafora.
Menurut Nietzsche, metafora menjadi penting karena pada kenyataannya
dunia ini sedemikian kompleks. Di sisi lain, yang kita tangkap lewat bahasa hanya
sebagian ciri-ciri tertentu saja, yang dari sinilah kita mendapatkan konsep-konsep
umum untuk membuat klasifikasi dan kategori. Kegiatan untuk membuat klasifikasi

B.2-3
dan kategori sebenarnva tidak lain adalah kegiatan bermetafor (Bambang, 1996 :
122).
Terdapat tiga istilah yang berkaitan dengan makna simbolik (symbolic
meaning) yang membingungkan, yaitu image, sign dan symbol. Image adalah
imitasi, reproduksi, atau menciptakan kemiripan dari sesuatu (Gibson dalam Lang,
1987). Symbol adalah hasil proses kognitif dimana sebuah objek memperoleh
konotasi diluar kegunaan instrumentalnya (Kepes dalam Lang, 1987). Makna
konotatif tersebut mungkin dihasilkan dari asosiasi psikologis, konvensi sosial, atau
bahkan kebetulan (Burchard dan Brown dalam Lang. 1987). Sign adalah sebuah
konvensi atau alas yang berdiri untuk sesuatu yang lain, cenderung bersifat literal
daripada abstrak.
Charles Morris (1938) dalam Lang (1987) membagi tingkatan makna simbolik
menjadi tiga tingkatan, yaitu syntactic, semantic, dan pragmatic. Makna sintaktik
dihasilkan dari lokasi bangunan dan lingkungannya. Makna semantik mengacu
pada norma, ide, atau sikap yang direpresentasikan sebuah elemen (Rainwater
dalam Lang, 1987). Makna pragmatik berkaitan dengan simbol dari orang yang
menggunakannya (Wolfe dalam Lang, 1987).

b. Both And dan Hybrid


Both and adalah konsep yang pertama kali diajukan oleh Venturi, yang
esensinya adalah mencampur oposisi biner ke dalam satu kesatuan menjadi suatu
entitas baru. Konsep both and ini merupakan jawaban dan perlawanan atas cara
berpikir either or gerakan arsitektur modern. Venturi (1966) menyatakannya dalam
kalimat ”hybrid bukan pure, kompromi bukan clean, distorsi bukan
straightforward, ambiguitas bukan artikulasi, perverse melawan dan juga
impersonal, membosankan sekaligus menarik. konvensional bukan didesain,
akomodatif bukan peniadaan 'excluding', samar bukan sederhana, vestigial (bekas)
dan juga inovatif (baru), tidak konsisten dan samar, bukan langsung dan jelas,
vitalitas berantakan bukan unity yang jelas, non-sequiter, dificult whole bukan
easy whole, both and daripada either or, kaya makna dan elemen fungsi bukan
elemen tunggal fungsi."
Secara implisit Venturi mengakui hybrid sebagai salah satu bentuk both cued.
Menurut Jencks, hybrid adalah sebuah metode untuk menciptakan sesuatu dengan
pola-pola lama (sejarah), namun dengan bahan dan teknik baru. Dengan kata lain,

B.2-4
menggabungkan bentuk-bentuk tradisional dengan teknik modern (mengikuti
Jencks). Di pihak lain, menurut Kurokawa, hybrid berarti menggabungkan atau
mencampur berbagai unsur terbaik dari budaya yang berbeda, baik antara budaya
masa kini dengan masa lalu (diakronik), atau antar-budaya masa kini (sinkronik).
Dengan demikian, hybrid, menurut Kurokawa, berarti menerima penggunaan
referensi majemuk (plural references) yang lintas budaya dan sejarah.

c. Kontekstual
Arsitektur post modern adalah arsitektur yang kontekstual, sebagaimana
dinyatakan oleh Jencks (1990:57) dengan respond to local context dan contextual
urbanism (Jencks, 1990: 67). Di pihak lain, Klotz (1988 : 421) menyatakan dengan
"respond to topological condition and environment ".Venturi (1966:46)
menyatakan sebagai "respect to given environment adjust to circumstantances.
Jencks (1987: 22) menyatakan bahwa perbedaan antara post modern dengan
modern terletak pada aspek-aspek kontekstual dan kulturalnya dalam penciptaan
karya-karyanya seperti existing dan budaya masa lalu. Jencks (1982) juga
menyatakan bahwa arsitek post modern mengklaim bangunannya berakar pada
tempat (place).
Dalam rangka menciptakan keragaman bahasa arsitektur, post modern
menghargai keunikan lokalitas setiap tempat ( respect to local uniqueness ).
Keunikan lokalitas meliputi fisik lingkungan dan sosial budaya masyarakat,
termasuk sejarah yang dimilikinya.
d. Menerima Referensi Plural (pluralism of references)
Konsep ini memang hanya diajukan oleh Heinrich Klotz, namun memiliki unsur
kebenaran di dalamnya, terutama jika dikaitkan dengan konsep hybrid sinkronik
Kurokawa. Postmodemisme menghargai dan mendorong digunakannya referensi
plural di dalam arsitektur. Pluralitas referensi ini bertujuan untuk membuka
peluang keragaman bentuk dan interpretasi makna didalamnya.
e. Menghargai Memori dan Sejarah (respect to the traditions, memory, and
historical references)
Arsitektur post modern melihat sejarah sebagai gudang perbendaharaan
bentuk yang kaya dan bernilai estetika tinggi (Klotz, 1988). Oleh sebab itu,
arsitektur post modern berusaha menghargai bentuk-bentuk arsitektur dari
perbendaharaan sejarah.

B.2-5
Menurut Kurokawa (1991), arsitektur post modern menghargai memori dan
sejarah. Masyarakat modern adalah masyarakat masa kini, tanpa ketertarikan
pada masa lalu atau masa depan. Itulah sebabnya arsitektur modern menolak
sejarah dan tradisi masa lalu. bersama simbol dan bahasa dekoratifnya,
sedangkan arsitektur post modern berlaku sebaliknya, menghargai sejarah dan
tradisi. Kurokawa juga menyatakan bahwa arsitektur post modern menghargai
sejarah dan budaya. Di pihak lain, Charles Jencks menyatakan bahwa arsitek post
modern mengklaim bangunannya berakar pada sejarah, atau cenderung
menengok kembali kepada sejarah (Jencks, 1982).
f. Menerima Bentuk Improvisasi (improvisation, spontaneity, pleasure,
and enjoyment)
Arsitektur post modern menghargai ekspresi improvisasi dan spontanitas.
(Klotz 1988: 421) menggunakan istilah pro improvisation and spontaneity, yang
menyatakan suatu karya tidak harus sempurna, teratur, dan terencana. Karya-
karya demikian umumnya melibatkan user untuk berpartisipasi di dalam proses
desain. Namun. ketidaksempurnaan dapat pula merupakan unsur kesengajaan
desain.
Bentuk lain dari konsep improvisasi adalah permainan (play), bersenang-
senang (pleasure), dan bersuka-suka (enjoyment) seperti yang diajukan oleh
Kurokawa (1991). Konsep ini menyatakan bahwa arsitektur post modern
menerima kehadiran elemen-elemen atau unsur yang hanya merupakan
‘permainan’, tanpa harus dikaitkan dengan fungsi tertentu.
Masih dalam hubungan improvisasi adalah konsep humor, ironi, dan parodi
yang diajukan oleh Carles Jencks. Jencks menggunakan istilah pro humour
(1987:28), pro irony, pro parody (1977: 14) untuk menyatakan sikap
menjungkirbalikkan tatanan (order) atau pola yang biasa dipahami untuk tujuan
sindiran atau lelucon.
g. Kompleksitas
Konsep kompleksitas di dalam arsitektur dapat didefinisikan sebagai
perlawanan terhadap simplisitas. Di dalam kompleksitas, terdapat simetri sebagai
faktor penyatu terkuat. Namun, di sisi lain terdapat beberapa pengarah sekunder
(co-ordinate) struktur formal dan superimposisi serupa, elemen-elemen yang
dikelompokkan oleh pengamat menjadi lebih dari satu interpretasi.

B.2-6
Cara lain membentuk kompleksitas adalah dengan membuat penyimpangan
dari norma. Penyimpangan ini akan menghasilkan perbedaan dari simetri yang
sudah mapan, atau anomali dari pola yang reguler, atau distorsi dari figur yang
telah dikenal. (Meiss, 1989: 46).
Sebenarnya, konsep ini merupakan konsekuensi atau akibat dari
diterapkannya konsep-konsep yang lain, terutama konsep-konsep besar yang telah
disebutkan di atas. Sebuah karya akan memiliki tingkat kompleksitas tinggi
manakala menggunakan konsep-konsep yang telah disebutkan di atas.
Kompleksitas sebuah karya dapat dilihat, baik dari segi bentuk maupun maknanya.
h. Ambiguitas
Ambiguitas sebagai konsep arsitektur post modern dinyatakan oleh Jencks
(1990:67), Venturi (1966:20), dan Kurokawa (1991:152-153). Kurokawa (1991)
menyatakan ambiguitas sebagai elemen penting di dalam era post modern. Jika
modernisme mencari kebenaran yang meliputi semua hal, postmodernisme
mencari kebenaran relatif. Post modern adalah penegasan atau kebalikan
modernisme dalam ide dan keyakinannya.
Venturi (1966: 20) menjelaskan strategi mencapai ambiguitas. Arsitektur
adalah bentuk dan substansi, abstrak dan konkret, dan maknanya diturunkan dari
karakter interior dan konteks tertentu. Elemen arsitektur dimengerti sebagai
bentuk dan struktur, tekstur dan material. Hubungan timbal balik yang kompleks
dan kontradiktif ini adalah sumber ambiguitas dan ketegangan bagi media
arsitektur. Konsep ambiguitas ini, seperti halnya dengan konsep kompleksitas,
dapat dilihat sebagai akibat diterapkannya penggunaan konsep-konsep yang telah
dijelaskan di atas.
i. Tidak Anti-Modernisasi
Meski gerakan ini lahir dari kritik-kritik terhadap pemikiran modernisme,
postmodernisme tetap mengakui sumbangan positif modernisme. Sumbangan
positif modernisme adalah temuan teknik konstruksi dan struktur bangunan serta
pemikiran fungsionalisme. Meskipun demikian, cara bersikap terhadap keduanya
berbeda dengan modernisme. Jencks secara eksplisit menyatakan modernisasi
adalah kewajaran karena postmodernisme adalah kelanjutan modernisme. Jencks
juga menyatakan bahwa postmodernisme adalah "combination of new technique
and.... ". Di pihak lain, menurut Klotz, ‘fungsi’ adalah prinsip postmodernisme yang
penting, tetapi dipadukan dengan unsur lainnya, yaitu ‘fiksi’ (fiction and function).

B.2-7
Kurokawa menyatakan bahwa manusia harus menyatu dengan teknologi dalam
pandangan simbiosisnya (simbiosis man and technology).

2.1.4 Metode Perancangan


’Metode’ menurut webster's new dictionary of synonym diartikan sebagai mode,
manner, way, fashion, system that are comparable when they denote the means taken
or the plan or procedure followed in doing of work or in archieving an end (Natalisa,
2002).
Metode perancangan postmodernisme arsitektur dapat dikategorisasikan dalam
dua kelompok. Pertama, metode perancangan utama, yang meliputi representasi
(metafor dan simbolisasi), hybrid atau both and, dan kontekstual. Kedua, metode
perancangan pendukung, yang meliputi ornamen dan dekorasi, improvisasi, dan
polikromi. Kategorisasi ini berdasarkan peranan dominan tidaknya metode
perancangan dalam menghasilkan karya arsitektur sesuai tujuan postmodernisme,
menciptakan keragaman bentuk dan kekayaan makna. Berikut ini penjelasan metode-
metode perancangan formal postmodernisme arsitektur tersebut.

1. Metode Perancangan Utama


Metode perancangan utama meliputi representasi, hybrid atau both
and, dan kontekstual.
a. Metafor dan Simbolisasi
Metafor. Metafor adalah kiasan atau ungkapan bentuk pada bangunan yang
diharapkan mendapatkan tanggapan dari masyarakat yang menikmati atau
memakainya (Sutedjo, 1986). Metafor dapat membantu ‘melihat’ bangunan
sebagai sesuatu yang lain dan melihat bangunan atau desain secara ‘baru’.
Selain itu, metafor membantu menciptakan konsep baru yang otentik pada
suatu bangunan (Antoniades, 1990). Menurut Antoinades (1990), metafor
dapat dilakukan dengan cara-cara berikut ini.
Pertama, berusaha mentransfer referensi dari sebuah subjek (konsep atau
objek) kepada subjek yang lain. Metafor membantu untuk menciptakan konsep
baru yang hakiki (substansial) yang besar sekali jumlahnya secara otentik. Cara
ini disebut dengan metafor "transfer".
Kedua, mencoba ‘melihat’ subjek (konsep atau objek) seolah-olah sebagai
sesuatu yang lain misalnya "melihat rumah sebagai sebuah kota" (a house as a

B.2-8
city). Dengan demikian, bentuk bangunan mungkin dilihat secara baru oleh
pengamat, memiliki makna yang ekspresif, atau mirip tipe bangunan tertentu.
Cara ini disebut dengan metafor ‘as if’.
Ketiga, memindahkan fokus penelitian dari satu area konsentrasi ke dalam area
konsentrasi yang lain misalnya "architecture as dance". Metafor ini digunakan
dengan menerapkan pengetahuan dan interpretasi yang sudah dipahami seperti
subjek, objek, situasi, dan kejadian. sebagai contoh, konsep "architecture as
dance", tari balet klasik dianalogikan dengan ‘simetri’ dan tari balet modern
dianalogikan dengan ‘asimetri’.
Simbolisasi. Simbolisasi berasal dari kata simbol. Dalam Illustrated Dictionan, of
Architecture (Burden, 1998), simbol adalah “something that stands for or
represents something else by association, resemblance, or convention, deriving
its meaning chiefly from the structure on which it appears" sesuatu yang berdiri
atau merepresentasikan sesuatu yang lain dengan cara asosiasi, kemiripan,
atau konvensi, yang diturunkan maknanya terutama dari struktur yang tampak.
b. Hybrid dan Both and
Metode hybrid dinyatakan oleh Jencks (1978:14) dengan hybrid language, yaitu
old pattern and new technics or tradition and choice", sedangkan Kurokawa
(1991:146) menyatakannya sebagai hybridization, dan Venturi (1966:16)
menyebut sebagai hybrid saja.
Metode hybrid dilakukan melalui tahapan-tahapan quotation, manipulasi
elemen, dan unifikasi atau penggabungan. Metode ini memiliki kesamaan
berpikir dengan metode both and versi Venturi, yang meliputi tatanan,
fragmentasi dan infleksi, dan juctaposition atau superimposisi. Metode hybrid
berpikir dari "elemen atau bagian" menuju keseluruhan. Sebaliknya, pada
metode both and, berpikir dilakukan dari keseluruhan menuju elemen atau
bagian.
Pada metode hybrid, tatanan diletakkan di belakang pada saat unifikasi atau
penggabungan elemen, sedangkan pada both and, tatanan ditentukan terlebih
dahulu. "Manipulasi" pada metode hybrid pada prinsipnya sama dengan
"infleksi" pada metode both and. Infleksi" tidak lain adalah modifikasi atau
menurut Venturi adalah bend ‘pembengkokan tatanan’, breaks ‘pemutusan
tatanan', anomaly 'pengecualian’, membuat ganjil atau inconsistency
'ketidakkonsistenan'. Di pihak lain, unifikasi atau penggabungan tidak lain

B.2-9
adalah juxtaposition atau superimposisi elemen-elemen yang telah dimodifikasi.
Dengan demikian, kedua metode ini dapat dianggap memiliki prinsip yang
‘serupa’, jika tidak dapat dikatakan ‘sama’.

c. Kontekstual
Menimbang pendapat Venturi, Jencks, Klotz dan Kurokawa, metode ini dapat
diartikan memiliki pengertian yang luas yang meliputi langgam arsitektur
(regionalismnya Klotz), struktur fisik lingkungan (local context dan contextual
urbanism-nya Jencks; respond to topogical condition-nya Klotz), iklim (respond
to environment-nya Klotz, respect to given environment-nya Venturi, dan
simbiosis man and nature-nya Kurokawa), dan budaya setempat (culture,
Klotz).
Menurut Sastrowardoyo (1993), ‘kontekstualisme’ dapat dipandang sebagai
teknik mendesain yang dikembangkan untuk memberikan jawaban khususnya
atas kondisi yang bersifat morfologis, tipologis, pragmatic menjadi bersifat
pluralistik dan fleksibel. Siswanto (1993) mengajukan metode desain
kontekstualisme dengan pendekatan tipologi, antara lain yaitu komposisi,
struktur formal internal, juxtaposition alasan dan memory, image, style dan
regionalisms. Di pihak lain, Brolin (1980) rnenjelaskan tiga metode
kontektualisme sebagai sikap merespons keberadaan bangunan-bangunan kuno
di sekitarnya dengan cara alteration 'perubahan', addition 'penambahan', dan
in-fill ’penyelipan’.

2. Metode Perancangan Pendukung


Metode perancangan pendukung meliputi penggunaan ornamen dan dekorasi,
bahan dan teknik modern, improvisasi, dan polychromy.
a.
Penggunaan ornamen dan dekorasi
Arsitektur postmodern menerima kehadiran ornamen dan dekorasi. Ornamen
adalah ’hiasan’ yang ’ditempelkan’ pada elemen struktural, sedangkan dekorasi
adalah ’hiasan’ yang diletakkan pada elemen-elemen nonstruktural.
b.
Improvisasi
Metode improvisasi bertujuan membantu mencapai kekayaan makna dengan
cara ‘ketidaksempurnaan’ dan ’ketidakselesaian’, baik direncanakan atau tidak.
Termasuk di dalamnya metode desain pleasure and enjoyment, yaitu cara

B.2-10
mendesain elemen-elemen arsitektur yang bersifat main-main dan sekadar
bersenang-senang saja.
c.
Kaya warna (polychromy)
Arsitektur modern cenderung menggunakan warna putih, abu-abu, atau perak
(monochromy). Di sisi lain, arsitektur postmodern cenderung menggunakan
warna yang kaya (polychromy). Selain itu, tiap warna dapat memiliki nilai
simbolis yang khas diberbagai tempat di muka bumi.

2.2. Konsep Analisis Tapak Kawasan


Analisis tapak menguraikan beberapa karakterikstik internal yang ada pada
tapak dan karakteristik eksternal yang berdampak terhadap perancangan tapak.
2.2.1 Faktor Internal (On-Site Factors)
a. Elemen Konstruksi, meliputi:
 Batas fisik dan administrasi tapak dan
penggunaan lahan eksisting
 Bangunan : bangunan eksisting, jembatan, atau
struktur bangunan lain termasuk bangunan sejarah dan peninggalan
arkeologi
 Jalan : jalan raya, jalan setapak, dan jalan
lainnya
 Utilitas : Jaringan listrik, Jaringan air bersih dan
kotor, jaringan telfon, dan sebagainya
 Peraturan konstruksi terkait yang ada (daerah
dan regional)
b. Sumber daya alam, meliputi :
 Topografi, meliputi titik rendah dan titik tinggi
antar lokasi, kemiringan lahan, dan pola drainase
 Jenis tanah, permeabilitas, stabilitas, dan
kesuburan, Aliiran air (meliputi kapasitas fluktuasi, arah dan lokasi aliran)
 Unsur dibawah permukaan tanah, meliputi
batuan, pasir, kerikil, dan air tanah
 Jenis vegetasi, meliputi pohon dan tanaman,
termasuk yang diperlukan untuk kepentingan perancangan tapak, Habitat
dan jenis fauna setempat

B.2-11
 Iklim dan cuaca, meliputi suhu, hari
panas/hujan pertahun, penyinaran matahari, penguapan, frekuensi dan
arah angin
c. Karakteristik elemen persepsi
 Karakteristik estetik, meliputi pemandangan dan
kenampakan unsur alam (hutan, gunung, langit)
 Bau, suara didalam tapak, dan ruang terbuka
dalam tapak
 Karakter desain, yang diturunkan dari garis,
bentuk, tekstur, warna, dan hubungan antar ukuran luas
2.2.2. Faktor Eksternal (Off-Site Factors)
 Karakter penggunaan lahan disekitar tapak, khususnya kesesuaian
dengan program perencanaan tapak, kecenderungan perubahan
penggunaan lahan, bayangan yang terbentuk akibat perbedaan ketinggian
bangunan
 Sumber dan pola pola drainase
 Pengaruh negatif suara dan bau disekitar tapak, misalnya akibat limbah
pertanian, industri, aktivitas hiburan, maupun sampah perumahan
 Pengaruh Estetika, view to site dan view from site
 Utiitas eksternal (listrik, telepon, air, sampah, dan sebagainya), meliputi
aksesibilitas dan kapasitas
 Akses transportasi

2.3. KONSEP ARSITEKTUR BANGUNAN DALAM TAPAK (SITE) KAWASAN


2.3.1 Pendekatan Orientasi dan Massa Bangunan
Pendekatan Orientasi dan Massa Bangunan (De Chiara, 1997):
a. Pertimbangan dasar yaitu orientasi perletakan sumbu bangunan
terhadap matahari, angin, view dan penataan landskap untuk pengendalian
panas
b. Pertimbangan mengenai kebisingan lalu lintas dan upaya lanskap untuk
pengendalian kebisingan
c. Sesuai dengan fungsi-fungsi bangunan dan ruang yang ada di dalamnya
(fungsional)

B.2-12
d. Pemanfaatan view terbaik dari bagian bangunan terhadap lingkungan
(view from site) dan view ke dalam lingkungan (view to site).

2.3.2 Konsep Green City


Kota-kota besar di Indonesia perlu secara cermat mengatasi persoalan ledakan
penduduk perkotaan akibat urbanisasi yang brutal, tidak tertahankan, apabila kita
berharap bahwa kota-kota tersebut dapat menjadi layak huni di masa mendatang.
Salah satunya adalah dengan pengendalian jumlah penduduk dan redistribusinya, serta
peningkatan kualitas pelayanan publik. Dengan konsep Green City krisis perkotaan
dapat kita hindari, sebagaimana yang terjadi di kota-kota besar dan metropolitan yang
telah mengalami obesitas perkotaan, apabila kita mampu menangani perkembangan
kota-kota kecil dan menengah secara baik, antara lain dengan penyediaan ruang
terbuka hijau, pengembangan jalur sepeda dan pedestrian, pengembangan kota
kompak, dan pengendalian penjalaran kawasan pinggiran. Terdapat 8 kriteria konsep
Green City yang dapat diterapkan pada perencanaan alun alun, yaitu :
a. Pembangunan kota harus sesuai peraturan Undang-Undang yang berlaku, seperti
Undang-Undang 24/2007: Penanggulangan Bencana (Kota hijau harus menjadi
kota waspada bencana), Undang-Undang 26/2007: Penataan Ruang, Undang-
Undang 32/2009: Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dll.
b. Konsep Green Water (meminimalkan efek yang terjadi pada lingkungan dan
memaksimalkan efisiensi sumber daya yang ada, dimana akhirnya dapat
meminimalkan pengeluaran uang yang ada).
c. Konsep Green Energy (upaya pemanfaatan sumber energy yang efisien serta
ramah lingkungan untuk meminimalisir dampak negative yang luar biasa akibat
dari penggunaan energy fosil).
d. Konsep Zero Run-off (Semua air harus bisa diresapkan kembali ke dalam tanah,
konsep ekodrainase).
e. Infrastruktur Hijau (tersedia jalur pejalan kaki serta area jalan untuk refleksi).
f. Green building
g. Ruang Terbuka Hijau seluas 30% dari luas kota (RTH Publik 20%, RTH Privat
10%)
Kelebihan dari konsep Green City adalah dapat memenuhi kebutuhan
keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di suatu kawasan, sehingga dapat mengurangi
bahkan memecahkan masalah lingkungan, bencana alam, polusi udara rendah, bebas

B.2-13
banjir, rendah kebisingan dan permasalahan lingkugan lainnya. Namun disamping
kelebihannya, konsep ini memiliki kelemahan juga. Penerapannya pada masing-masing
kawasan tidak dapat disamaratakan karena tiap-tiap daerah memerlukan kajian
tersendiri. Setidaknya harus diketahui tentang karakteristik lokal, iklim makro, dan
sebagainya. Misalnya, daerah perkotaan, Alun – alun dapat berfungsi sebagai area
untuk beraktivitas sosial dan menciptakan iklim mikro pada kawasan kota tersebut dan
dapat untuk menekan polusi udara, serta di perumahan, difungsikan meredam
kebisingan. Jadi Alun – Alun yang memiliki tanaman di masing-masing kota memiliki
fungsi ekologis yang berbeda.

2.3.3 Konsep Estetika


Prinsip estetika kawasan diwujudkan dalam perancangan kawasan yang detail
sehingga memberikan pengaruh penting bagi kepuasan pengunjung menikmati
kawasan tersebut. Prinsip estetika kawasan ini antara lain :
1. Urutan tata letak (order)
Alun – alun sebagai pusat kegiatan pemerintah kecamatan dan kegiatan sosial
masyarakat. Sehingga mempengaruhi bentuk alur sirkulasi utama menjadi alur
sirkulasi radial atau terpusat. Dari alur sirkulasi radial tersebut, bisa didapatkan
pembagian zona yang terpusat pada plaza dan area rekreasi, relaksasi, dan
penunjang disekitarnya.
2. Local Wisdom
Ciri khas Kabupaten Purbalingga diwujudkan dalam penataan kawasan dan
penggunaan simbol atau sculpture yang merupakan perlambangan adat budaya
Jawa.
3. Warna, tekstur dan ornamen
Penggunaan warna difokuskan pada warna-warna yang memberikan kesan sejuk
serta dipadukan dengan warna-warna yang memperlihatkan identitas Kabupaten
Purbalingga. Ornamen-ornamen vertikal baik yang buatan ataupun berupa
vegetasi perlu dipertegas agar relefan dengan identitas lingkungan.

2.4. Pendekatan Perencanaan


Pekerjaan Perencanaan Pembangunan Alun-Alun MTL Soedirman dan
Lingkungannya diperlukan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan sistem

B.2-14
birokrasi pemerintahan Kabupaten Purbalingga. Secara garis besar untuk mencapai
tujuan tersebut di atas dilaksanakan tahapan kegiatan seperti berikut :
2.4.1. Kegiatan Persiapan
a. Persiapan (Kantor, Perijinan, Mobilisasi dan Demobilisasi)
Konsultan akan melaksanakan kegiatan persiapan segera setelah menerima
Surat Perintah Kerja dari Pemberi Tugas (Proyek). Adapun kegiatan yang akan
dilakukan sesuai dengan kegiatan A antara lain :
1. Mobilisasi personil, peralatan dan bahan sesuai kebutuhan dan rencana
2. Penyiapan surat-surat ijin untuk memulai pekerjaan, survai lapangan dan
kegiatan lainnya pada instansi-instansi terkait.
3. Melaksanakan desk study dan analisa awal terhadap data - data sekunder
yang sudah diperoleh dari kegiatan - kegiatan tersebut diatas.
b. Inspeksi Site Pendahuluan
Inspeksi Site Pendahuluan dilakukan dalam rangka pengenalan lapangan secara
langsung, dengan tujuan untuk mengetahui kondisi yang ada di lokasi proyek.
Pada saat kegiatan ini berlangsung, Ketua Tim akan menginventarisasi kondisi
yang ada berikut permasalahan ataupun hambatan yang mungkin terjadi saat
survai lapangan dilakukan. Dan dalam tahapan ini juga dilakukan langkah-
langah persiapan survai lapangan, baik untuk pengukuran, pemetaan dan
pengumpulan data lapangan yang khusus terdapat di sekitar lokasi.
Inspeksi lapangan pendahuluan dilakukan guna memperoleh informasi sebagai
berikut :
1. Lokasi, dimensi utama dan kondisi semua bangunan yang terdapat pada
lokasi kantor jumah bangunan yang perlu diukur.
2. Batas cakupan pekerjaan yang perlu diukur untuk kegiatan pengukuran.
3. Hal-hal yang perlu untuk pekerjaan penyelidikan lapangan (bila ada).

2.4.2. Kegiatan Pelaksanaan


Kegiatan ini dilakukan untuk menyiapkan data-data guna Perencanaan
Pembangunan Alun-Alun MTL Soedirman dan Lingkungannya. Tahapan pekerjaan yang
dilaksanakan dirinci seperti berikut ini :
a. Pengukuran Lokasi Site

B.2-15
Konsultan akan melakukan pengukuran lengkap pada Bangunan Utama yang
ada. Hasil pengukuran, cara perhitungan dan penggambaran akan sesuai
dengan Standar yang berlaku.
b. Pengukuran Site Bangunan.
Pengukuran setempat (site survey) untuk pemetaan pada bagian bangunan
yang diperlukan dengan syarat sebagai berikut :
a. Alat yang digunakan Plan-Table atau Theodolite T-0 atau yang setara dan
penyipat datar.
b. Setiap bentuk/ perubahan bangunan akan diukur sampai titik detail
terkecil, karena akan digambarkan pada skala 1 : 100.
c. Pengukuran ketinggian (elevasi) pada bangunan meliputi dasar bangunan
dan lantai bangunan
d. Pengukuran tambahan akan dilakukan pada bangunan-bangunan yang
perlu diperbaiki, dengan detail secukupnya untuk memperlihatkan
pekerjaan perbaikan tersebut pada gambar.
e. Pengukuran lapangan (site survey) secara lengkap

c. Penyusunan Masterplan
Dalam Perencanaan Pembangunan Alun-Alun MTL Soedirman dan
Lingkungannya, Konsultan akan melakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Membuat Catatan Desain (Design Note) sebagai acuan untuk pembuatan
gambar-gambar desain secara sistematis dengan Q desain dan sistem
pengendalian yang sudah disepakati bersama termasuk rekayasa teknik
bangunan baru dan modifikasi bangunan yang sudah ada.
b. Seluruh gambar desain akan dirinci secara lengkap, untuk digunakan
sebagai dokumen lelang dan pelaksanaan konstruksi.
c. Gambar desain yang memperlihatkan pekerjaan perbaikan,
penyempurnaan dan pembangunan baru akan jelas membedakan
pekerjaan yang akan dikerjakan dan/ atau diperhatikan.
d. Penyusunan RAB
Berdasarkan hasil penggambaran secara mendetail, maka dilanjutkan dengan
perhitungan rencana anggaran biaya.

2.5. WILAYAH ADMINISTRASI KABUPATEN PURBALINGGA

B.2-16
2.5.1 Kondisi Fisik Alam
2.5.1.1 Kondisi Geografis
Kabupaten Purbalingga termasuk Propinsi Jawa Tengah bagian barat daya yang
terletak pada posisi 101 º 11’-109 º 35’ Bujur Timur dan 07º 10’- 06 º29’ Lintang
Selatan. Batas wilayah Kabupaten Purbalingga secara administratif dapat diuraikan
sebagai berikut :
 Sebelah Utara : Kabupaten Pemalang
 Sebelah Selatan : Kabupaten Banyumas dan Banjarnegara
 Sebelah Timur : Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Pekalongan
 Sebelah Barat : Kabupaten Banyumas
Luas wilayah Kabupaten Purbalingga adalah 77.764.122 ha atau 2,39% dari
luas wilayah Propinsi Jawa Tengah. Dari 18 Kecamatan yang ada, Kecamatan dengan
wilayah terluas adalah Kecamatan Rembang yaitu 9.159 ha Sedangkan luas wilayah
terkecil adalah Kecamatan Purbalingga dengan luas 1.472 ha.

B.2-17
PENYUSUNAN

RPIJM KABUPATEN PURBALINGGA

TAHUN 2018 - 2022

B.2-18
2.5.1.2 Topografi Dan Geomorfologi
Fisiografi Kabupaten Purbalingga terletak pada daerah perbatasan antara zona
Serayu Utara dan zona Vulkanik Kwarter. Wilayah Kabupaten Purbalingga memiliki
ketinggian tempat antara 23 meter – 3.432 meter dari permukaan laut, dengan
klasifikasi ketinggian Kabupaten Purbalingga termasuk dalam klasifikasi antara 0 – 1.500
meter dari permukaan laut.
Dataran tinggi di Kabupaten Purbalingga meliputi Kecamatan Rembang,
Kecamatan Karangmoncol, Kecamatan Karangreja, Kecamatan Karangjambu, Kecamatan
Karanganyar, Kecamatan Kertanegara dan sebagian Kecamatan Kutasari, sebagian
Kecamatan Bojongsari, KecamatanMrebet dan Kecamatan Bobotsari.
Sedangkan dataran rendah di Kabupaten Purbalingga meliputi Kecamatan
Purbalingga, Kecamatan Kalimanah, Kecamatan Bukateja, Kecamatan Kaligondang,
Kecamatan Pengadegan, sebagian Kecamatan Bojongsari, Kecamatan Kejobong,
sebagian Kecamatan Kutasari, Kecamatan Padamara dan Kecamatan Kemangkon.
Kabupaten Purbalingga memiliki karakter topografi yang beragam, dari dataran
rendah, daerah perbukitan hingga daerah pegunungan. Karakteristik wilayah
berdasarkan kondisi permukaan tanah menunjukkan sebaran sebagai berikut:
Bagian utara merupakan daerah berbukit-bukit dengan kelerengan >40%.
Daerah ini meliputi Kecamatan Karangreja, Karangjambu, Bobotsari, Karanganyar,
Kertanegara, Rembang, sebagian wilayah Kecamatan Kutasari, Bojongsari dan Mrebet.
Bagian selatan merupakan daerah dengan tingkat kemiringan berkisar antara 0 -
25%. Wilayah ini meliputi Kecamatan Kalimanah, Padamara, Purbalingga, Kemangkon,
Bukateja, Kejobong, Pengadegan, sebagian wilayah Kecamatan Kutasari, Bojongsari dan
Mrebet.

2.5.1.3 Klimatologi Dan Curah Hujan


Curah hujan sangat dipengaruhi oleh ketinggian tempat dan letak tempat itu
sendiri. Tidak terkecuali untuk wilayah Kabupaten Purbalingga yang memiliki ketinggian
23 m – 3,432 m dari permukaan laut, dengan puncak gunung Slamet sebagai titik
tertingginya. Purbalingga yang memiliki iklim tropis yang relatif basah dengan
kelembaban relatif antara 74,6 % sampai 87,6 %, suhu udara 26ºC – 31ºC, dan curah
hujan rata-rata 3.938 mm, dengan bulan basah (curah hujan > 200 mm) mencapai 10
bulan, bulan lembab (CH antara 100 – 200) 2 bulan dan bulan kering (CH 0-100 mm) 0

B.2-19
bulan. Dengan demikian menurut typologi Zona Agroklimat dapat diklasifikasikan pada
kelas A1 menurut Oldeman atau klas A menurut Schmit-Fergusson.
Tabel II. 1 Hari Hujan dan Curah Hujan di Kabupaten Purbalingga Tahun 2016
No Bulan Hari Hujan Curah Hujan
1 Januari 102 1.765
2 Februari 51 763
3 Maret 102 2.409
4 April 87 1.917
5 Mei 47 971
6 Juni 11 198
7 Juli 8 65
8 Agustus 1 2
9 September 0 0
10 Oktober 4 30
11 November 85 2.255
12 Desember 74 2.133
JUMLAH 572 12.508
Sumber : Kabupaten Purbalingga Dalam Angka 2017

2.5.1.4 Geologi
Komposisi litologi batuan yang terdapat di Kabupaten Purbalingga terdiri atas:
 Alluvium endapan rawa dan danau, terutama tersusun oleh lempung, umumnya
bersifat kedap air.
 Endapan alluvium gunung api, terdiri dari bahan-bahan tak mengeras,
mengandung bongkah-bongkah batuan gunung api, bergaris tengah 10 – 15 Cm,
tersusun oleh andesit sampai basalt dengan kelulusan terhadap air rendah
sampai tinggi.
 Lava andesit berongga asal Gunung Slamet dengan kelulusan terhadap air tinggi
sampai sedang.
 Endapan vulkanik tua yang terdiri dari aliran lava yang bersifat andesit sampai
basalt dan breksi. Kelulusan terhadap air rendah sampai sedang.
 Batu pasir tufaan, batupasir, konglomerat, tufa, breksi dan lempung dengan
kelulusan terhadap air rendah.
 Napal, napal lempungan dan napal globigerina dengan sisipan tipis tufa pasiran,
batu gamping pasiran, batu pasir, batu lempung dan lempung tufaan dengan
kelulusan terhadap air rendah.
Lokasi penambangan bahan galian pasir dan batu Kabupaten Purbalingga
sebagian besar dilakukan di Sungai Klawing dan Sungai Serayu, jenis bahan galian pasir
dan batu yang ditambang oleh masyarakat adalah pasir dan sirtu.

B.2-20
2.5.1.5 Hidrologi
Pada umumnya, sungai-sungai di Kabupaten Purbalingga belum dimanfaatkan
secara optimal, baik untuk pengairan tanah pertanian maupun untuk kebutuhan lainnya.
Tetapi sungai yang memungkinkan untuk dibuat bendungan, dam dan waduk-waduk
kecil lainnya yang tidak banyak mengeluarkan dana, telah dimanfaatkan sebagaimana
mestinya untuk pengairan sawah, perikanan dan sebagainya.
Debit air sungai itu sendiri dalam setahunnya tidak tetap, karena debit air sungai
dipengaruhi oleh curah hujan di daerah hulu. Sungai di Kabupaten Purbalingga terdiri
dari 2 (dua) macam aliran, yaitu sungai yang mengalir melewati Kabupaten Purbalingga
dan sekitarnya serta sungai yang hanya mengalir di Kabupaten Purbalingga saja. Sungai
yang mengalir melewati Kabupaten Purbalingga dan sekitarnya, yaitu:
 Sungai Pekacangan
 Sungai Serayu
 Sungai Klawing
Sedangkan sungai yang hanya mengalir di Kabupaten Purbalingga dan berpotensi untuk
pengairan yaitu:
 Sungai Ponggawa  Sungai Sosos  Sungai Tungtung Gunung
 Sungai Gemuruh  Sungai Lebak  Sungai Laban
 Sungai Kajar  Sungai Tambra  Sungai Kuning
 Sungai Lembereng  Sungai Muli  Sungai Wotan
 Sungai Tlahap  Sungai Gintung

2.5.1.6 Jenis Tanah


Jenis tanah yang ada di Kabupaten Purbalingga dikategorikan menjadi 9 jenis
dengan karakteristik yang berbeda. Jenis tanah yang mendominasi wilayah Kabupaten
Purbalingga adalah latosol coklat dan regosol coklat seluar 14.943,75 Ha (19,22%) dari
seluruh wilayah Kabupaten Purbalingga dan yang terkecil adalah jenis tanah litosol yang
hanya sebesar 568,75 Ha (0,73%).

2.5.1.7 Hidrogeologi
Air tanah dan akuifer di Kabupaten Purbalingga menurut peta hidrogeologi
Indonesia dari Direktorat Geologi Tata Lingkungan, terdiri atas:

B.2-21
 Akuifer produktif dengan penyebaran luas
Akuifer ini berupa akuifer dengan keterusan sedang, tinggi psiometri atau air tanah
diatas atau dekat muka tanah sampai lebih dari 5 m. Debit sumur umumnya 5 – 10
liter/detik.
 Akuifer dengan produktivitas tinggi dengan penyebaran luas
Akuifer ini berupa akuifer dengan keterusan dan kisaran kedalaman muka air tanah
beragam. Debit sumur umumnya lebih dari 5 liter/detik
 Akuifer dengan produktivitas kecil setempat berarti
Akuifer ini berupa akuifer dengan keterusan rendah sampai sangat rendah. Air
tanah setempat dalam jumlah terbatas dapat diperoleh pada daerah lembah atau
zona pelapukan
 Daerah Air Tanah Langka

2.5.1.8 Penggunaan Lahan


Penggunaan lahan di Kabupaten Purbalingga didominasi oleh fungsi lahan non
persawahan yang pemanfaatannya mencapai 77.764 Ha atau 72,39% dari total luas
wilayah. Pemanfaatan lahan sebagai fungsi tanah rumah, bangunan dan halaman sekitar
menduduki porsi yang paling besar (19,61%). Adapun fungsi kedua berupa tegalan
(19,15%) dan hutan negara yang mencapai 9.647 Ha (12,41%). Penggunaan lahan
sebagai fungsi persawahan didominasi oleh sawah irigasi setengah teknis 6.029 Ha
(7,67%) dan irigasi teknis 5.962 Ha (7,67%).
 Penggunaan Lahan Sawah
Penggunaan lahan sawah di Kabupaten Purbalingga ditampilkan dalam bentuk
luasan lahan yang ditanami padi menurut kecamatan. Luasan tertinggi adalah
sawah dengan hasil panen dua kali dalam setahun mencapai 15.594 hektar,
sedangkan yang mencapai panen tiga kali dalam setahun mencapai luasan 2.714
hektar. Sebaran tertinggi lahan sawah dengan panen tiga kali berada di
Kecamatan Padamara dan Kecamatan Kutasari.
 Penggunaan Lahan Kering
Penggunaan lahan kering di Kabupaten Purbalingga didominasi tegal/ kebun
sebesar 14,794 Ha. Disusul kemudian oleh penggunaan lahan berupa hutan rakyat
6,802 Ha.

2.5.2 Kondisi Demografi Kabupaten Purbalingga

B.2-22
Penduduk Kabupaten Purbalingga pada tahun 2016 berjumlah 907.507 jiwa yang
terdiri dari penduduk berjenis kelamin laki–laki sebanyak 448.419 jiwa dan perempuan
sebanyak 459.008 jiwa, dengan demikian rasio jenis kelamin 0,98. jumlah penduduk
paling banyak berada di Kecamatan Mrebet, dengan penduduk sebanak 69.496 jiwa.
Sedangkan kecamatan yang memiliki penduduk paling sedikit adalah Kecamatan
Karangjambu yaitu sebanyak 24.898 jiwa. Angka kepadatan penduduk di Kabupaten
Purbalingga pada tahun 2016 sebanyak 1.167 jiwa/km 2. Angka kepadatan penduduk
paling tinggi berada di Kecamatan Purbalingga dengan angka kepadatan penduduk
sebanyak 4.032 jiwa/km2, dan yang terendah adap pada Kecamatan Karangjambu
sebesar 542 Orang/Km2.

2.5.3 Kondisi Perekonomian


2.5.3.1 Product Domestic Regional Brutto (PDRB)
Data PDRB menggambarkan kemampuan mengelola sumber daya alam dan
sumber daya manusia yang dimiliki untuk melakukan suatu proses produksi. Oleh karena
itu besaran PDRB yang dihasilkan oleh suatu wilayah sangat tergantung kepada potensi
sumber daya alam dan faktor produksi daerah tersebut.

2.5.3.2 Pertumbuhan Ekonomi


Sejalan dengan kondisi ekonomi Nasional dan Jawa Tengah, Kinerja ekonomi
Kabupaten Purbalingga tahun 2016 secara makro meningkat. Pertumbuhan ekonomi
Kabupaten Purbalingga pada tahun 2016 yang ditunjukan oleh PDRB sebesar 16,79
persen disbanding dari tahun 2015. Pada tahun 2015 PAD Kabupaten Purbalingga
sebesar Rp. 215.622.047.000 sedangkan tahun 2016 naik menjadi Rp. 251.816.668.602

B.2-23

Anda mungkin juga menyukai