Anda di halaman 1dari 19

ARSITEKTUR DEKONSTRUKSI

Sejarah desain dalam arsitektur dapat dilihat sebagai perjalanan pergerakan waktu yang menarik
dan memiliki pengaruh tersendiri pada masanya. Pada dasarnya, setiap desain baru yang muncul
berdasarkan akibat, perkembangan, penyangkalan maupun penolakan dari apa yang sudah desain
yang sudah ada. Munculnya desain-desain itu sering kali merupakan terobosan baru seorang arsitek
yang mencoba ‘jalur lain’ yang merupakan jawaban atas keinginan untuk merealisasikan impian
kreativitasnya.

Dekonstruksi adalah aliran arsitektur yang muncul sekitar 1970 dan menggantikan tren Post-Modern
pada saat itu. Dekonstruksi berarti membongkar, pembongkaran disini berarti menata ulang desain
lama dengan konsep dasar yang sama sekali baru. Dekonstruksi merupakan kata untuk memperjelas
hubungan Post-Modern dengan Post-Strukturalis. Kata “Dekonstruksi” dipetik dari buku Jacques
Derrida, De La Grammatologie (1967), seorang ahli Post-Strukturalis. Sasaran Derrida adalah
mendekonstruksikan cara berpikir metafisika fenomenologi tentang ada (being) dan kehadiran
(presence). Dari latar belakang di atas dapat digambarkan bahwa pandangan dekonstruksi lahir dari
suatu atmosfir yang berlandaskan pada konsep “filosofi-anti” yang merupakan paradigma
konseptual untuk menelusuri pemahaman istilah dekonstruksi dalam arsitektur, yaitu :

• Logo Sentris, tidak adanya metaphora titik awal dan titik akhir dari konfigurasi denah
menyebabkan sebuah karya berkesan “tidak selesai”. Konfigurasi ini mampu memberi peluang bagi
penikmat untuk melengkapi imajinasinya.

• Anti-Sintesis, konsep anti-sintesis mengandung penolakan terhadap pandangan sementara bahwa


arsitektur adalah sintesis.

• Anti Fungsional, dekonstruksi mendasarkan paham bahwa antara bentuk (form) dan fungsi
(function) bukan merupakan hubungan yang dependent melainkan lebih pada hubungan
independent yang sejalan dengan konsep disjunctive di atas.

• Anti Order, Order akan menghasilkan ekspresi keutuhan dan kestabilan. Order dalam arsitektur
yang berakar pada arsitektur klasik seperti unity, balance, dan harmony, akan memberi
kecenderungan pada pembentukan space yang figuratif. Arsitektur dekonstruksi bukan mengarah
pada kecenderungan ruang dan obyek yang figuratif karena arsitektur yang figuratif akan
memperkuat keabsolutan order.

Sejak pameran mengenai Arsitektur Dekonstruksi yang diadakan di Museum Seni Modern di New
York pada bulan Juli dan Agustus 1988, Dekonstruksi memberikan angin segar bagi dunia Arsitektur
hingga dapat meneruskan atau menggantikan gaya Internasional (International Style), yang dalam
tahun tigapuluhan juga diperkenalkan dalam Museum yang sama. Tentu ini merupakan sukses besar
bagi para dekonstruktivis yang ikut pameran itu, yaitu : Frank O. Gehry, Daniel Libeskind, Ren
Koolhaas, Peter Eisenman, Zaha M. Hadid, Coop Himmelblau dan Bernard Tschumi. Aliran baru pada
masanya ini merupakan ‘bahasa ekstrim’ di dalam modernism dan menekankan pada prinsip sesuatu
yang diekspresikan secara berlebihan dari motif-motif yang sudah familiar sebelumnya. Dekonstruksi
juga berusaha mencari dan menampilkan bentuk-bentuk spektakuler. Motto dari dekonstruksi
adalah “Bentuk mengikuti fantasi (Form follows fantasy)”. Dekonstruksi merupakan sebuah konsep
“mengganggu kesempurnaan (disturbed perfection)”, contohnya seperti tumpukan bata atau sebuah
model mainan konstruksi yang kemudian diruntuhkan di atas meja. Ini menghasilkan model abstrak,
untaian dari elemen-elemen, dengan ukuran yang tidak teratur, struktur yang kacau, terlihat lemah
dimana setiap saat bisa saja runtuh. Pada arsitektur dekonstruksi yang ditonjolkan adalah geometri
3-D bukan dari hasil proyeksi 2-D sehingga muncul kesan miring dan semrawut yang menunjuk
kepada kejujuran yang sejujur-jujurnya. Penggunakan warna sebagai aksen juga ditonjolkan dalam
komposisi arsitektur dekonstruksi sedangkan penggunaan tekstur kurang berperan. Bangunan yang
menggunakan langgam arsitektur dekonstruksi memiliki tampilan yang terkesan ‘tidak masuk akal’,
dan memiliki bentukan abstrak yang kontras melalui permainan bidang dan garis yang simpang siur.
Ketidakteraturan dan melawan prinsip-prinsip konstruksi dari bangunan merupakan ciri yang khas
dari arsitektur Dekonstruksi.

Arsitektur dekonstruksi juga telah menggariskan beberapa prinsip penting mengenai arsitektur:

1. Tidak ada yang absolut dalam arsitektur, sehingga tidak ada satu langgam yang dianggap terbaik
sehingga semuanya memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang.

2. Tidak ada pen’dewa’an tokoh dalam arsitektur sehingga tidak timbul kecenderungan pengulangan
ciri antara arsitek satu dan yang lain hanya karena arsitek yang satu dianggap dewa yang segala
macam karyanya harus ditiru.

3. Dominasi pandangan dan nilai absolut dalam arsitektur harus diakhiri, sehingga perkembangan
arsitektur selanjutnya harus mengarah kepada keragaman pandangan dan tata nilai.

4. Pengutamaan indera penglihatan sebagai tolak ukur keberhasilan suatu karya dalam arsitektur
harus diakhiri. Potensi indera lain harus dapat dimanfaatkan pula secara seimbang.

Selain prinsip-prinsip di atas, ada juga empat prinsipal dekonstruksi yang dapat ditransformasikan
dan diaplikasikan melalui arsitektur yang merupakan buah pikir Derrida dan pengembangan dari
Michael Benedikt, yaitu :

1. DIFFERENCE

Difference menurut Derrida bukanlah suatu konsep atau kata, meminjamkan dari pengertian Culler
tentang definisi difference secara harfiah, Benedikt mendefinisikannya ke dalam tiga hal :

Difference

Sistem perbedaan-perbedaan universal yaitu, pengaturan ruang/jarak/spasi (spacing), dan


perbedaan-perbedaan antara sesuatu/dua hal (distinctions between things); perhatiannya bukan
terhadap kosakata tersebut, melainkan lebih kepada dimensi di sepanjang pokok soal dalam
pembedaan koskata tersebut untuk saling memisahkan diri dan saling memunculkan.

Deferral

Proses dari meneruskan (passing along); menyerahkan (giving over); menunda atau menangguhkan
(postponing); pen-skors-an (suspension); mengulur (protaction) dan sebuah jarak dalam waktu (a
‘spacing’ in time).

Differing

Pengertian berbeda yang ditunjukkan dengan tidak sependapat (disagreeing); tidak sepakat
(dissenting) atau bahkan penyembunyian (dissembling).

Selain memiliki pengertian diatas, difference juga sangat dekat artinya dengan kata Jepang ma yang
artinya interval in space, interval in time dan moment/place/occasion. Pengertian dari ma ini lebih
dekat pada hubungannya dengan penundaan waktu atau jarak waktu antara dua hal.

Mendefinisikan seluruh pengertian tentang difference tersebut ke dalam satu pengertian tidak
mudah. Dengan demikian, Benedikt memusatkan perhatiannya pada kata difference ini dalam tiga
hal pokok yaitu, sistem universal kata difference dengan penekanan tidak pada arti katanya, proses
pembedaannya dan pengertian yang ditimbulkan akibat pembedaan tersebut.

2. HIERARCHY REVERSAL

Segala sesuatu yang ada di dunia merupakan pasangan sebab akibat. Pasangan-pasangan ini berlaku
di semua bidang, misalnya: di luar - di dalam, siang-malam, baik-buruk, benar-salah dan juga
keberadaan-ketiadaan. Hubungan seperti ini disebut hubungan vertikal atau hirarkis. Benedikt
melakukan dekonstruksi terhadap hirarki ini, khususnya untuk menyerang adanya hirarki antara
‘presence-absence’. Menurutnya, presence tidaklah demikian sederhana. Kehadiran presence tidak
akan dapat berarti tanpa disadarinya adanya absence.

3. MARGINALITY DAN CENTRALITY

Marginalitas dan sentralitas merupakan masalah titik ‘pokok’ yang dapat digunakan untuk menunjuk
pada pengertian ‘penting’ dan ‘tidak penting’. Pengertian kedua istilah tersebut adalah sebagai
berikut :

Marginality/ Marginalitas

Menunjukkan kedekatannya dengan batas-batas, pinggiran batas luar dan perbatasan terhadap apa
yang ada di dalam dan apa yang ada di luar. Kata ‘margin’ mempunyai arah yang dibangun menuju
ke pusat (central). Margin sangat dekat dengan ambang batas, tetapi bukan ambang batas itu
sendiri.

Centrality/ Sentralitas

Menyatakan secara tidak langsung sebuah kedalaman dan pusat (heart), tempat makna/ arti
terkonsentrasi dan merupakan ‘gravitasi’.

Dengan melihat central dan marginal berpindah tempat dengan ditukar atau dipertentangkan atau
ditindas/ditahan secara dekonstruksi, maka mereka menjadi semakin menarik, dan dengan cara
demikianlah semuanya dapat dilihat secara lebih jelas.

4. ITERABILITY DAN MEANING

Untuk memahami iterability dan meaning adalah terkait dengan konsep Derrida tentang ‘tulisan’
atau ‘teks’. Dalam ilmu bahasa, suatu kata atau tanda memperoleh maknanya dalam suatu proses
berulang pada konsteks yang berbeda. Ini berarti bahwa ‘kata’ tergantung pada interability, dimana
suatu kata adalah tergantung pada bisa tidaknya diulang-ulang. Dengan adanya perulangan ini
merupakan pertanda adanya ‘meaning’.

Dalam arsitektur, penggunaan unsur arsitektural secara berulang-ulang akan membuka pemahaman
yang lebih baik terhadap makna yang dimaksudkannya. Unsur arsitektur tersebut dapat berupa;
batu-bata, jendela, pintu, kolom sampai bentukan geometri dan hubungan abstrak formalnya.

Salah satu contoh bangunan yang mengusung dekonstruksi adalah The Vila Olimpica Hotel Arts karya
Frank O. Gehry yang berlokasi di Olympic Village, Barcelona, Spanyol ini memiliki luas 150.000
square feet. Dengan waktu pelaksanaan yang cukup lama (1989-1992), bangunan ini menjadi sebuah
karya yang unik. Dengan menampilkan bentukan – bentukan trimatra, bangunan yang merupakan
transformasi dari bentuk ikan yang direalisasikan dalam sebuah konstruksi sepanjang 54 meter
dengan ketinggian 35 meter. Dengan bentukan dan dimensi seperti ini, bangunan ini menjadi
landmark bagi daerah sekitar. Frank Gehry, di dalam mengkomposisikan ruang dan bidang tidak
nampak prinsip-prinsip order dari arsitektur klasik yang digunakan seperti: unity, harmony, dan
balance. Secara keseluruhan bangunan meninggalkan citra sebagai suatu komposisi yang retak,
terpunting, dan berkesan belum selesai.

Pembacaan dekonstruksi pada rumah tradisional Toraja (Tongkonan)

Rumah asli Toraja disebut Tongkonan, berasal dari kata ‘tongkon‘ yang berarti ‘duduk bersama-
sama‘. Tongkonan selalu dibuat menghadap kearah utara, yang dianggap sebagai sumber kehidupan.

Tongkonan berupa rumah panggung dari kayu, dimana kolong di bawah rumah biasanya dipakai
sebagai kandang kerbau. Atap tongkonan berbentuk perahu, yang melambangkan asal-usul orang
Toraja yang tiba di Sulawesi dengan naik perahu dari Cina. Di bagian depan rumah, di bawah atap
yang menjulang tinggi, dipasang tanduk-tanduk kerbau. Jumlah tanduk kerbau ini melambangkan
jumlah upacara penguburan yang pernah dilakukan oleh keluarga pemilik tongkonan. Di sisi kiri
rumah (menghadap ke arah barat) dipasang rahang kerbau yang pernah di sembelih, sedangkan di
sisi kanan (menghadap ke arah timur) dipasang rahang babi.

Konteks difference pada Tongkonan:

Konsep difference Derrida terlihat dari metafisikanya atap perahu pada tongkonan, dimana dengan
pemaknaan bahwa tanda menghadirkan sesuatu yang tidak hadir. Masyarakat Toraja sangat
menghormati leluhur mereka dan mereka menganggap bahwa perihal ‘kematian’ tak akan terlepas
dari kehidupan mereka. Itu terlihat dari rancangan atap Tongkonan yang menyerupai perahu yang
konon dipakai nenek moyang mereka dari Cina untuk berlayar. Jadi disini mereka ingin
menghadirkan perahu tersebut sebagai wujud penghormatan mereka terhadap nenek moyang
mereka. Bentuk perahu disini lebih sebagai penundaan atau sebuah simbolisasi untuk kehadiran,
bukan perealisasian bentuk perahu secara utuh.

Konteks Hirarki Riversal pada Tongkonan:

Pembalikan hirarki pada Tongkonan ini ialah pada atap perahu Tongkonan. Dimana perahu yang
semestinya berada di atas air, namun disini perahu tersebut terletak di darat dan dibagian atas
sebagai atap.

Konteks pusat dan marginal pada Tongkonan:

Marginal adalah yang berada di batas tepian, di luar (out side), karena dianggap tidak penting.
Sedangkan pusat adalah bagian terdalam yang menjadi daya tarik, makna dimana setiap gerakan
berasal, dan merupakan pusat pergerakan dari marginal. Dalam rumah Tongkonan, pusatnya adalah
bagian rumah dan atap perahunya yang menjadi ciri khas rumah tradisional Toraja, dan marginalnya
adalah tiang-tiang panggung penyangga rumah Tongkonan tersebut sehingga memberikan kesan
tinggi dan agung pada rumah Tongkonan tersebut. Selain itu tiang-tiang penyangga juga sebagai
pelindung terhadap pusatnya (bagian rumah dan atap).

Konteks iterabilitas dan makna:

Iterabilitas berarti pengulangan. Jadi perulangan akan membuka pemahaman yang lebih baik
terhadap suatu makna yang dimaksudkan dari sebuah karya arsitektur. Dalam rumah tongkonan ini
terdapat perulangan pada bagian-bagian tiang panggung sehingga memberikan filosofi bahwa
rumah tersebut tidak akan berdiri kokoh tanpa banyak tiang yang menyangganya, artinya
masyarakat Toraja selalu diingatkan untuk bersatu, gotong royong, dan saling tolong menolong.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakangMasalah

Dewasa ini, dunia intelektual diguncang oleh munculnya arus pemikiran, paham, gerakan, atau
bahkan mungkin era baru yaitu yang dikenal dengan sebutan posmodernisme atau ada juga yang
menyebutnya sebagai pascamodernisme. Sesuai dengan namanya, posmodern merupakan rekasi
keras dan penolakan terhadap pandangan-pandangan modern yang dianggap terlalu banyak cacat.

Posmodern menunjukkan suatu rasa yang meluas tentang merosotnya wewenang modernisme dan
munculnya epistemologi baru yang dalam jangkauan khasanah kesenian dan intelektual
memutuskan hubungan dan atau berlawanan dengan paradigma modernisme. Bagi yang lain,
posmodern merupakan pertanda kematian modernisme beserta garda depannya, atau merupakan
pembelotan dari berbagai aturan modernisme yang dianggap sebagai kemapanan (Dunn, 1993: 38).

Posmodernisme menolak universalitas, totalitas, keutuhan organis, pensisteman dan segala macam
legitimasi, termasuk dalam bidang keilmuan atau apa yang oleh Lyotard disebut grand-narrative. Ia
menolak kemapaman atau kebakuan teori-teori modernisme, untuk linguistik misalnya teori
strukturalisme yang disebutnya sebagai grand-theory, karena teori-teori itu dianggapnya terlalu
menyederhanakan persoalan yang sesungguhnya dan cenderung menolak pluralisme.
Posmodernisme menggoyang sendi-sendi teori atau ilmu sastra, linguistik, estetika, dan sampai pada
pemikiran antiteori. Salah satu bentuk penolakan teori itu misalnya teori dekonstruksi yang juga
diterapkan dalam pendekatan kesastraan (Abrams, 1981: 34 - 40)

Model pendekatan dekonstruksi dalam bidang kesastraan khususnya fiksi dewasa ini terlihat banyak
diminati orang sebagai salah satu model atau alternatif dalam kegiatan pengkajian sastra.
Dekonstruksi pada hakikatnya merupakan suatu cara membaca sebuah teks yang menumbangkan
anggapan (walau hal itu hanya secara implisit) bahwa sebuah teks itu memiliki landasan, dalam
sistem bahasa yang berlaku, untuk menegaskan struktur, keutuhan, dan makna yang telah menentu
(Abrams, 1981:38).

Teori dekonstruksi menolak pandangan bahwa bahasa telah memiliki makna yang pasti, tertentu,
dan konstan sebagaimana halnya pada pandangan strukturalisme klasik. Tidak ada ungkapan atau
bentuk-bentuk kebahasaan yang dipergunakan untuk membahasakan objek yang bermakna tertentu
dan pasti. Hal ini merupakan alasan mengapa paham dekonstruksi disebut sebagai poststrukturalis.
Selain itu, ia juga disebutkan sebagai paham yang menolak konsep teori Saussure, juga Jakobson
(yang dapat dipandang sebagai grand-theory) baik yang berupa teori linguistik struktural maupun
teori semiotik yang dikembangkan dari teori strukturalisme itu. Kesetiaan yang berlebihan terhadap
suatu teori menurut paham ini, justru akan memunculkan adanya pembangkangan terhadap
kebenaran teori itu sendiri-dekonstruksi dalam hal ini dapat dipandang sebagai pembangkang
terhadap teori struktural dan semiotik dalam linguistik itu.
Mendekonstruksi sebuah wacana (kesastraan) dengan demikian adalah menunjukkan bagaimana
meruntuhkan filosofi yang melandasinya atau beroposisi secara hierarkis terhadap sesuatu yang
menjadi landasannya, dengan cara mengidentifikasi bentuk-bentuk operasional retorika yang ada
dalam teks itu (Culler, 1983:86). Dekonstruksi terhadap suatu teks kesastraan, dengan demikian
menolak makna umum yang diasumsikan ada dan melandasi karya yang bersangkutan dengan
unsur-unsur yang ada dalam karya itu sendiri. Berangkat dari latar belakang tersebut dapat diketahui
rumusan masalah seperti berikut.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran umum dari teori dekonstruksi ?

Bagaimana sejarah dari teori dekonstruksi ?

Siapa sajakah tokoh-tokoh pencetus dari teori dekonstruksi ?

Bagaimana karakteristik dari teori dekonstruksi ?

Apa yang dimaksud membaca kembar dalam teori dekonstruksi ?

Bagaimana prinsip-prinsip kerja teori dekonstruksi ?

Bagaimana metode dalam teori dekonstruksi ?

Apakah tujuan dari teori dekonstruksi ?

Bagaimanakah penerapan dan sistematika dari teori dekonstruksi ?

10. Bagaimanakah contoh penerapan dari teori dekonstruksi ?

11. Apa kelebihan serta kekurangan dari teori dekonstruksi ?

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui bagaimana gambaran umum dari teori dekonstruksi.

Untuk mengetahui bagaimana sejarah dari teori dekonstruksi.

Untuk mengetahui siapa sajakah tokoh-tokoh pencetus dari teori dekonstruksi.


Untuk mengetahui bagaimana karakteristik dari teori dekonstruksi.

Untuk mengetahui apa yang dimaksud membaca kembar dalam teori dekonstruksi.

Untuk mengetahui bagaimana prinsip-prinsip kerja teori dekonstruksi.

Untuk mengetahui bagaimana metode dalam teori dekonstruksi.

Untuk mengetahui apakah tujuan dari teori dekonstruksi.

Untuk mengetahui bagaimanakah penerapan dan sistematika dari teori dekonstruksi.

10. Untuk mengetahui bagaimanakah contoh penerapan dari teori dekonstruksi.

11. Untuk mengetahui apa kelebihan serta kekurangan dari teori dekonstruksi.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Gambaran Umum Teori Dekonstruksi

Terdapat beberapa pengertian dekonstruksi menurut para ahli yakni sebagai berikut, secara leksikal
prefiks ‘de’ berarti penurunan, pengurangan, penokohan, penolakan. Jadi, dekonstruksi dapat
diartikan sebagai cara-cara pengurangan terhadap konstruksi, yaitu gagasan.

Kristeva (1980:36-37), menjelaskan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat


destruktif dan konstruktif. Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai strategi. Dekonstruksi
tidak semata-mata ditunjukkan terhadap tulisan, tetapi semua pernyataan kultural sebab
keseluruhannya pernyataan tersebut adalah teks yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-
nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu. Dekonstruksi dengan demikian
tidak terbatas hanya melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan maupun tulisan, melainkan juga
kekuatan-kekuatan lain yang secara efektif mentransformasikan hakikat wacana.
Menurut Al-fayyadl (2011: 232) dekonstruksi adalah testimoni terbuka kepada mereka yang kalah,
mereka yang terpinggirkan oleh stabilitas rezim bernama pengarang. Maka, sebuah dekonstruksi
adalah gerak perjalanan menuju hidup itu sendiri.

Dari sumber lain, dekonstruksi dikatakan sebagai sebuah metode pembacaanteks. Dengan
dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap
absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu hadir sebagai konstruksi sosial
yang menyejarah. Maksudnya, anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna final.
Anggapan-anggapan tersebut hadir sebagai jejak (trace) yang bisa dirunut pembentukannya dalam
sejarah.

Umar Junus (1996:109-109) memandang dekonstruksi sebagai persepektif baru dalam penelitian
sastra. Dekonstruksi justru memberikan dorongan untuk menemukan segala sesuatu yang selama ini
tidak memperoleh perhatian. Memungkinkan untuk melakukan penjelajahan intelektual dengan apa
saja, tanpa terikat dengan sutu aturan yang dianggap telah berlaku universal.

Dekonstruksi, secara garis besar adalah cara untuk membawa kontradiksi-kontradiksi yang
bersembunyi di balik konsep-konsep kita selama ini dan keyakinan yang melekat pada diri ini ke
hadapan kita.

Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya.
Satu term tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah
yang Derrida sebut sebagai logosentrisme. Yaitu, kecenderungan untuk mengacu kepada suatu
metafisika tertentu, suatu kehadiran objek absolut tertentu. Dengan metode dekonstruksi, Derrida
ingin membuat kita kritis terhadap teks.

2.2 Sejarah Kemunculan Teori Dekonstruksi

Dalam bidang filsafat maupun sastra, dekonstruksi termasuk salah satu teori yang sangat sulit untuk
dipahami. Dibandingkan dengan teori-teori postrukturalisme pada umumnya, secara definitif
perbedaan sekaligus ciri khas dekonstruksi sebagaimana dikemukakan oleh Derrida (1976) adalah
penolakannya terhadap logosentrisme dan fonosentrisme yang secara keseluruhan melahirkan
oposisi biner dan cara-cara berpikir lainnya yang bersifat hierarkis dikotomis. Konsep dekontruksi
(Selden, 1986:84) mulai dikenal sejak Derrida membawakan makalahnya yang berjudul “Structure,
sign, and play in the discourse of the human sciences “,di universitas Johns Hopkins tahun 1966.

Aliran dekonsruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh besar di
Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun 1980-an. Pada dasarnya, menurut Sarup (2003:51)
dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi metafisika barat seperti fenomenologi Husserlian,
strukturalisme Saussurean, strukturalisme Perancis pada umumnya, psikoanalisis Freudian dan
Psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi, mengungkap hakikat problematika wacana-wacana yang
dipusatkan, dipihak yang lain membongkar metafisika dengan megubah batas-batasnya secara
konseptual. Dekonstruksi juga berkembang di Amerika, sebagai aliran yale.

2.3 Tokoh Pencetus Teori Dekonstruksi

Dekonstruksi yang kita ketahui sekarang ini tidaklah hadir dengan sendirinya, melainkan hadir
melalui ilmuan-ilmuan yang ahli dibidangnya. Tokoh terpenting dekonstruksi adalah Jacques Derrida,
seorang Yahudi Aljazair yang kemudian menjadi ahli filsafat dan kritik sastra di Perancis.

Derrida dilahirkan pada tanggal 15 Juli 1930 di El Biar, Aljazair dan meninggal di Paris, Perancis
tanggal 8 Oktober 2004 –Karena itu Derrida lebih dikenal sebagai filosof Perancis daripada filosof
Aljazair. Filsuf ini secara terang-terangan telah mengkritik filsuf Barat, terutama kritik dan analisis
mengenai bahasa “alam”, tulisan, dan makna sebuah konsep. Dekonstruksi merupakan alat yang
digunakannya untuk meruntuhkan konsep-konsep dan deskripsi-deskripsi kita selama ini. tokoh
selanjutnya adalah Nietzsche.

Paham dekonstruksikemudian dilanjutkan oleh tokoh-tokoh seperti Paul de Man, J. Hillis Miller,
bahkan juga Levy-Strauss. Namun, sebenarnya tokoh-tokoh tersebut tidak mempunyai pandangan
yang tunggal, juga dalam praktik mendekati (baca: mengkaji) karya sastra, walau tentu saja juga
mempunyai unsur-unsur kesamaan. Pendekatan dekonstruksi dapat diterapkan dalam pembacaan
karya sastra dan filsafat. Menurut Derrida, teori Saussure yang memandang adanya keterkaitan yang
padu antara ujaran dan elemen tulisan (signifier, signifiant) dan makna yang diacu (signified, signifie)
sebenarnya tidak pernah ada.

2.4 Karakteristik Kajian Dekonstruksi

Dekonstruksi memang berpusar pada teks. Dekonstruksi tak dapat terlepas dari teks, tetapi
pandangannya lebih luas. Teks tak dibatasi maknanya. Bahkan dekonstruksi juga menolak struktur
lama yang telah lazim. Bagi dekonstruksionis, menganggap bahwa ‘bahasa’ teks bersifat logis dan
konsisten. Misalkan sebuah tema besar bahwa kejahatan akan terkalahkan dengan kebaikan oleh
paham dekonstruksi tak selalu dibenarkan. Di era sekarang, sastra boleh saja membalik tema besar
itu. Karenanya, pemahaman teks tak selalu berurutan, melainkan boleh bolak-balik. Sehingga, para
dekonstruksionis menolak pendapat bahwa teks mencerminkan kenyataan. Sebaliknya, demikian
mereka tegaskan. Teks membangun kenyataan.
Sebuah teks dalam pandangan dekonstruksi akan selalu menghadirkan banyak makna, sehingga teks
tersebut bisa sangat kompleks. Jaringan-jaringan makna dalam teks juga bisa rumit yang
memungkinkan pembaca berspekulasi makna. Makna tidak tunggal, melainkan bersifat plural,
makna bukan mati (tetap) melainkan hidup dan berkembang. Karenanya, dekonstruksi membiarkan
teks itu ambigu dan tidak menantang segala kemungkinan.

Telah disadari bahwa pemahaman karya sastra yang hanya berkiblat pada struktur, akan sia-sia.
Itulah sebabnya ( Junus, 1986:36) menegaskan bahwa pada awalnya pencarian makna teks berawal
dari struktur kemudian menambah ‘kekuatan’ makna berdasarkan struktur tersebut. ‘kekuatan’ yang
dimaksud adalah upaya secara dekonstruktif, dengan cara membredel teks, mengobrak-abrik teks,
dan lari dari struktur yang ada.

Kajian dekonstruksi sastra akan selalu tak percaya pada arti bahasa. Kalau struktural lebih
mengandalkan bahasa teks, dimungkinkan akan menemui jalan buntu, karena tak setiap bahasa
dapat dikembalikan ke kenyataan. Itulah sebabnya, keluar dari struktur dan mencoba
menghubungkan dengan teks-teks dan bahkan konteks lain, diharapkan lebih memadai. Inilah yang
dilakukan oleh kaum dekonstruktif yang ingin selalu ada kebaruan pemahaman sastra. Dalam kaitan
ini, Roland Barthes (1983) memberikan tahapan penelitian dekonstruksi :

(1) Mendasarkan semua unsur (struktur) yang terdapat pada teks dan meletakan semua unsur
tersebut pada kedudukan yang sama. Setiap unsur dipahami secara terpisah. Dengan demikian, satu
unsurpun yang dianggap tidak penting atau tidak mempunyai peranan.

(2) Unsur-unsur yang telah dipahami dihubungkan dengan unsur yang lainnya dalam upaya untuk
mengetahui apakah unsur-unsur tersebut merupakan satu jaringan. Baik jaringan antar semua unsur
(Jaringan X) atau merupakan satu jaringan dengan unsur lain (Jaringan X dan Y).

Berdasarkan tahapan tersebut, memang tidak tertututup kemungkinan sebuah teks sastra dipahami
berdasarkan teks lain. teks sastra dipahami tidak hanya lewat struktur, melainkan melalui kode-kode
lain di luar teks. Dalam kaitan ini, membaca karya sastra adalah kegiatan yang paradoksal.
Maksudnya, pembaca boleh menciptakan kembali dunia ciptaan, dunia rekaan, dan menjadikannya
sesuatu yang akhirnya mudah dikenal. Hal yang aneh, menyimpang, dan mengejutkan dalam teks
dinaturalisasikan dan dikembalikan ke dalam dunia yang mudah dikenali.

Dalam kaitan itu, Roland Barthes dalam (Pradopo, 1991:78) memandang bahwa teks sastra memiliki
makna ganda. Bahkan dalam esainya The Pleasure of the Text ia membedakan antara pleasure
(kenikmatan) menjadi dua arti : yakni pleasure (kenikmatan) dan bliss (kebahagiaan). Misalkan saja
saat kita membaca teks sastra erotik atau pornografi, tentu akan melibatkan dua kenikmatan
tersebut. Masing-masing pembaca akan berbeda dalam mencapai kenikmatan. Hal ini berarti bahwa
‘makna’ sebuah teks telah dipandang plural, tidak tunggal.
Foucault berpendapat bahwa tak ada wacana tetap; baik sebab maupun akibat dalam teks sastra.
Jika selama ini telah terjadi kritik sastra strukturalis, sesungguhnya mereka itu berlebih-lebihan
karena sering memotong hubungan antara teks sastra yang harus dipandang dari perbedaan-
perbedaan, dan bukan dari kesamaan terus menerus. Bahkan, pada suatu saat perlu memandang
dan mendekonstruksi wacana-wacana yang mungkin kecil dan non-literer.

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa kehadiran penelitian dekonstruksi merupakan
estafet dari studi sastra sebelumnya. Paham dekonstruksi ini tampaknya memang belum
mendapatkan angin segar dalam perkembangannya. Namun, sebagai sebuah sisi pandang penelitian,
peneliti sastra sulit meninggalkan paham ini. Paham ini sekaligus menjadi koreksi terhadap teori
penelitian sastra sebelumnya. Paling tidak, asumsi yang struktural atau yang lain yang selalu
mendewakan teks secara otonom, harus patah dengan sekonstruksi.

2.5 Membaca dekonstruksi

Pembacaan karya sastra menurut paham dekonstruksi tidak dimaksudkan untuk menegaskan makna
sebagaimana halnya yang lazim dilakukan, sebab sekali lagi tak ada makna yang dihadirkan oleh
suatu yang sudah menentu melainkan justru untuk menemukan makna kontradiktifnya, makna
ironisnya. Pendekatan dekonstruktif bermaksud untuk melacak unsur-unsur aporia, yaitu yang
berupa makna paradoksal, makna kontradiktif, makna ironi, dalam karya sastra yang dibaca. Unsur
atau bentuk-bentuk dalam karya sastra itu dicari dan dipahami justru dalam arti kebalikannya.
Unsur-unsur yang ‘tidak penting’ dilacak dan kemudian ‘dipentingkan’, diberi makna, peran,
sehingga akan terlihat (atau: menonjol) perannya dalam karya yang bersangkutan. Misalnhya,
seorang tokoh cerita yang tidak penting berhubung hanya sebagai tokoh periferal, tokoh (kelompok)
pinggiran saja, setelah didekonstruksi ia menjadi tokoh yang penting, yang memiliki (fungsi dan
makna) yang menonjol sehingga tak dapat ditinggalkan begitu saja dalam memaknai karya itu.

Cara pembacaan dekonstruksi, oleh Levy-Strauss dipandang sebagai sebuah pembacaan kembar,
double reading. Disatu pihak terdapat adanya makna (semu, maya, pura-pura) yang ditawarkan, di
lain pihak dengan menerapkan prinsip dekonstruksi dapat dilacak adanya makna kontradiktif, makna
ironis. Kesemuanya itu menunjukkan bahwa setiap teks mengandung suatu aporia-sesuatu yang
justru menumbangkan landasan dan koherensinya sendiri, menggugurkan makna yang pasti ke
dalam ketidakmenentuan. Tiap teks, menurut Derrida, akan mendekonstruksi dirinya sendiri namun
sekaligus juga didekonstruksi dan mendekonstruksi teks-teks yang lain. dengan demikian, paham
dekonstruksi tersebut dapat dikaitkan dengan (atau: ada kaitannya) dengan paham intertekstualnya.
Ada atau tidaknya kaitan antar teks sebenarnya, pembacalah yang menentukannya. Paham
dekonstruksi oleh karenanya ada kaitannya dengan teori resepsi, khususnya teori resepsi yang
dikembangkan oleh Jausz. Dalam mendekonstruksi sebuah teks, Jausz mempertimbangkan aspek
historisnya, yaitu yang berupa tanggapan pembaca dari masa ke masa yang sering menunjukkan
adanya perbedaan. Misalnya, tanggapan orang terhadap Rahwana Putih dan puisi-puisi Chairil
Anwar pada masa awal kemunculannya dahulu terlihat negatif, namun dewasa ini siapakah yang
meragukan karya-karya itu sebagai karya yang berhasil.
2.6 Prinsip-prinsip dalam Dekonstruksi

Prinsip- prinsip yang terdapat dalam teori dekonstruksi adalah:

1. Melacak unsur-unsur aporia (makna paradoks, makna kontradiktif, dan makna ironi)

2. Membalikkan atau merubah makna-makna yang sudah dikonvensionalkan

Pada dasarnya dekonstruksi yang sudah dilakukan oleh Nietzsche (Culler, 1983:86-87) dalam
kaitannya dengan usaha-usaha untuk memberikan makna baru terhadap prinsip sebab-akibat.
Prinsip sebab-akibat selalu memberikan perhatian terhadap sebab, sedangkan akibatnya sebagai
gejala minor. Nietzsche menjelaskan bahwa prinsip sebab akibat bukanlah hukum universal
melainkan merupakan retorika bahasa, sebagai gejala metonimi, gejala bahasa dengan cara
melekatkan nama orang atau benda-benda pada pusat objek yang lain.

Saussure menjelaskan bahwa makna yang diperoleh melalui pembagian lambang-lambang menjadi
penanda dan petanda. Dekonstruksi menolak keputusan tersebut dengan cara terus menerus
berusaha melepaskan diri, sekligus mencoba menemukan pusat-pusat yang baru. Menurut Saussure
(Eagleton, 1983:128), hubungan penanda dengan petanda bersifat pasti.

Derrida (Spivak, 1976:xliii) menjelaskan peristiwa diatas dengan istilahdifferEnce dan differAnce, dua
kata yang ucapannya hampir sama tetapi penulisannya berbeda, dibedakan melalui huruf ke-7.
Kedua kata tersebut berasal dari bahasa latin, differe, yang sekaligus berarti to differ (membedakan)
yang berkonotasi spasial, dan to defer (menuda) yang berkonotasi temporal. Derrida (Norris,
1983:32) menghubungkan kerangka ruang dan waktu dengan tanda dan bendanya, tanda sebagai
wakil dari bendanya. Tanda sekaligus menunjukkan kehadiran yang tertunda. Makna kata difference
berada dalam posisi yang mengambang antara to differ dan to defer, keduanya berpengaruh
terhadap kekuatan tekstual, tetapi tidak secara utuh mewakili kata difference tersebut. Oleh karena
tanda-tanda mengimplikasikan makna, maka makna karya pun selalu berbeda dan tertunda, sesuai
dengan ruang dan waktu. Artinya, antara konsep dan kenyataan selalu mempunyai jarak sekaligus
perbedaan. Derrida menjadi terkenal karena konsep dekonstruksi, logosentrisme, fonosentrisme,
differEnce/differAnce, trace,dan dencentering.

Differance (Derrida, 2002:45,61) adalah istilah yang diciptakan oleh Derrida tahun 1968 dalam
kaitannya dengan pemahamannya mengenai ilmu bahasa Saussure dan antropologi Levi-Strauss.
Menurut Derrida, perbedaaan difference dandifferance, bahasa kamus baik bahasa Inggris maupun
bahasa Perancis dan bahasa dekonstruksi Derrida, tidak dapat diketahui melalui ucapan, melainkan
melalui tulisan. Menurutnya, tulisan lebih utama dibandingkan dengan ucapan. Menurut Derrida
(Eagleton, 1983:127-128) makna tidak dengan sendirinya hadir dalam suatu lambang. Lambang
mempersoalkan sesuatu yang bukan dirinya, lambang mewakili sesuatu yang lain. Makna hadir
dalam rangkaian penanda.

Konsep Saussure yang juga didekonstruksi oleh Derrida adalah doktrin hierarki ucapan-tulisan, yang
pada dasarnya memandang ucapan sebagai pusat, sedangkan tulisan sebagai non pusat. Menurut
Saussure, ucapan lebih dekat dengan pikiran dan perasaan sebab ucapan mengimplikasikan subjek
yang berbicara, subjek yang hadir secara serta merta, sedangkan tulisan yang bersifat sekunder,
termediasi, grafis dan mewakili.

Menurut Derrida konsep ucapan-tulisan dapat saja dibalik menjadi tulisan-ucapan. Ujaran pun
adalah sejenis tulisan, ujaran selalu sudah tertulis, dan dengan demikian bahasa pun sudah tertulis.
Menurut Rousseau, ucapan merupakan bentuk asal, tulisan merupakan pelengkap bahasa lisan. Di
pihak yang lain, Levi-Strauss melukiskan hubungan antara alam dan kebudayaan yang dengan
sendirinya sudah tertulis.

2.7 Metode Penelitian Dekonstruksi

Karya sastra adalah cipta seni yang bermediumkan bahasa yang dominan Unsur estetiknya. Bahasa
yang dipakai sebagai medium di dalam karya sastra menggunakan bahasa tingkat kedua
(significance) atau konvensi tambahan (Preminger via Pradopo, 1995: 121). Penggunaan bahasa
tingkat kedua dalam karya sastra memungkinkan lahirnya penafsiran yang banyak terhadap karya
sastra tersebut. Oleh karena itu, upaya untuk menemukan makna tunggal dari sebuah karya sastra
adalah sesuatu yang mustahil. Sebab setiap penemuan jejak makna dalam sebuah teks, akan
melahirkan jejak baru dibalik makna tersebut (Derrida dalam Norris, 2003: 12).

Dekonstruksi menolak adanya gagasan makna pusat. Pusat itu relatif. Ia mengingkari makna
monosemi (Selden, 1985:88). Jadi untuk pemaknaan ini sangat longgar. Oleh karena itulah banyak
tafsir terhadap objek. Menurut Norris (2003:24) dekonstruksi merupakan strategi untuk
membuktikan bahwa sastra bukanlah bahasa yang sederhana.

Hakekat dekonstruksi adalah penerapan pola analisis teks yang dikehendaki oleh peneliti dan
menjaga teks agar tetap bermakna polisemi. Di dalam penafsirannya selalu terjadi proses
membedakan dan menangguhkan (difference). Istilahdifference ini diungkapkan pertama oleh
Derrida untuk menyatakan ciri tanda yang terpecah. Di sini dipilih unit wacana yang mampu
menimbulkan kebuntuan makna atau satu figur yang menimbulkan satu kesulitan untuk dijabarkan.
Bagian ini disebut titik aphoria (Norris, 1982:49). Titik aphoria selanjutnya akan menimbulkan alusi.
Ketika ditemukan sebuah inti wacana yang mengalami kebuntuan maka akan timbul asosiasi dengan
teks lain atau peristiwa yang senada dengan yang dihadapi. Hal ini bisa dilakukan dengan cara
mempertentangkan atau menyejajarkan dengan unit wacana yang dihadapi. Penyejajaran atau
pertentangan bisa dihubungkan dengan unit wacana lain di dalam teks yang sama (retrospektif) atau
bisa dengan melacaknya di luar obyek (prospektif). Jadi cara ini seperti bermain bebas (free play).

Dekonstruksi sangat percaya kepada teks. Teks mempunyai otonomi yang luar biasa, segalanya
hanya dimungkinkan oleh teks (Junus, 1985:98). Lebih lanjut Umar Junus mengatakan bahwa sebuah
teks punya banyak kemungkinan makna sehingga teks sangat berbeda. Seorang pembaca tak akan
mengkonkretkan satu makna saja, tetapi akan membiarkan segala kemungkinan makna hidup,
sehingga teks itu ambigu. Dekonstruksi lebih menumpukan kepada unsur bahasa. Bahkan dapat
dikatakan dekonstruksi bertolak dari unsur bahasa yang kecil untuk kemudian bergerak maju kepada
keseluruhan teks. (1985:99).

Metode dekonstruksi yang dilakukan Derrida lebih dikenal dengan istilah dekonstruksi metaforik.
Metafora di sini bukan dipahami sebagai suatu aspek dari fungsi ekspresif bahasa tapi sebagai suatu
kondisi yang esensial tentang tuturan (Sarup, 2003:77-79). Metafora mewakili salah satu cara dari
penyusunan wacana dan secara kuat mempengaruhi pemahaman teks berbagai hal. Dekonstruksi
dilakukan terhadap teks metaforis yang disusun oleh penulis. Dekonstruksi bisa terjadi pada teks itu
sendiri atau sebaliknya kita yang mendekonstruksi sebuah teks.

Kata-kata yang dipakai dalam bahasa karya sastra bersifat denotatif sekaligus konotatif. Pengalaman
batin bisa muncul dari asosiasi pikiran dengan arti kata-kata, tetapi sering juga lewat bunyi kata.
Pertalian pikiran yang timbul dari kata bisa melayang, meledak, suci, murni, hitam, legam dan
seterusnya. Hal ini bukan hanya terjadi dari katanya tetapi bisa juga dari bunyi katanya. Kesadaran
akan adanya asosiasi itu melahirkan kecenderungan kepada simbolisme

Sebagai langkah dalam menyikapi karya sastra melalui dekonstruksi Derrida pun kemudian
menggunakan istilah “trace” sebagai konsep dalam menelusuri makna.Trace (jejak) bersifat misterius
dan tidak terungkap, muncul sebagai kekuatan dan pembentuk tulisan, menembus dan memberi
energi pada aktivitasnya yang menyeluruh. Hal ini berarti bahwa makna akan bergerak, harus dilacak
terus menerus dan meloncat-loncat.

Pengarang di dalam mengemukakan perasaannya sering tidak secara langsung. Kadang-kadang lewat
peristiwa-peristiwa maupun simbol-simbol. Di sinilah letak pentingnya pengalaman dan
pengetahuan pembaca untuk bisa menangkap pesan tersebut. Bekal pengetahuan yang Jausz
disebut sebagai horizon harapan ini sangat penting dalam upaya mencari jejak (trace) sebagai
metode pemaknaan dekonstruksi. Dengan bekal itu pembaca akan bisa mengisi tempat kosong
dalam teks, karena memang sifat karya sastra itu multiinterpretable (Pradopo, 1985:185). Inilah
penggambaran dari metode penelitian dekonstruksi tersebut.

2.8 Tujuan Dekonstruksi


Menurut Sarup (2003:51) dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi metafisika Barat seperti
fenomenologi Husserlin, strukturalisme saussurean, strukturalisme Perancis pada umumnya,
psikoanalisi Freudian, dan psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi, disattu pihak mengungkap
problematika wacana-wacana yang dipusatkan, di pihak lain membongkar metafisika dengan
mengubah batas-batasnya secara konseptual.

Sasaran dari dekonstruksi sendiri ialah memperlihatkan sejauh mana seorang pengarang
mempergunakan pola-pola bahasa dan pemikiran guna memberi bentuk pada suatu pandangan
tertentu. Dekonstruksi berarti penelitian mengenai intertekstualitas, mencari bekas-bekas teks lain.
seorang kritikus yang mengikuti dekonstruksi menguraikan struktur-struktur retorik yang dipakai,
mencari pengaruh-pengaruh dari teks-teks yang pernah ada, meneliti etimologi kata-kata yang
digunakan, kemudian berusaha menyusun teks baru dari teks yang dibongkar itu.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan dari metode dekonstruksi adalah menunjukkan
ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda
tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan ketimpamgan di balik teks-teks.

2.9 Penerapan dan Sistematika Dekonstruksi

Pada awalnya, dekonstruksi adalah cara atau metode membaca teks. Dekonstruksi berfungsi dengan
cara masuk ke dalam analisis berkelanjutan, yang terus berlangsung, terhadap teks-teks tertentu. Ia
berkomitmen pada analisis habishabisan terhadap makna literal teks, dan juga untuk menemukan
problem-problem internal di dalam makna tersebut, yang mungkin bisa mengarahkan ke makna
makna alternatif, di pojok-pojok teks (termasuk catatan kaki) yang diabaikan.

Dekonstruksi menyatakan bahwa di dalam setiap teks terdapat titik-titik ekuivokasi (pengelakan) dan
kemampuan untuk tidak memutuskan (undacidabality), yang mengkhianati setiap stabilitas makna
yang mungkin dimaksudkan oleh si pengarang dalam teks yang ditulisnya.

Proses penulisan selalu mengungkapkan hal yang diredam, menutupi hal yang diungkapkan, dan
secara lebih umum menerobos oposisi-oposisi yang dipikirkan untuk kesinambungannya. Inilah
sebabnya mengapa “filsafat” Derrida begitu berlandaskan pada teksm dan mengapa term-term
kuncinya selalu berubah, karena selalu tergantung pada siapa atau apa yang ia cari untuk
didekonstruksi, sehinggga titik pengekalan selalu dilokasikan di tempat yang berbeda.

Ini juga memastikan bahwa setiap upaya untuk menjelaskan apa itu dekonstruksi harus dilakukan
dengan hati-hati. Ada suatu paradoks dalam upaya membatasi atau mengurung dekonstruksi pada
satu maksud menyeluruh tertentu, mengingat dekonstruksi justru berlandaskan pada hasrat untuk
mengekspos kita terhadap keseluruhan yang lain (tout autre), dan untuk membuka diri terhadap
berbagai kemungkinan-kemungkinan alternatif.
Penjelasan ini berisiko membuat kita semakin sulit memahami pemikiran Derrida. Adanya
perbedaan yang lebar dan diakui meluas, antara karya-kaya awal dan karya-karya terakhir Derrida,
juga menjadi contoh yang jelas bagi kesulitan yang akan muncul, jika kita menyatakan bahwa
“dekonstruksi mengatakan ini” atau “dekonstruksi melarang itu”.

Namun, ada ciri tertentu dari dekonstruksi yang bisa kita lihat. Misalnya, keseluruhan upaya Derrida
dilandaskan pada keyakinkannya tentang adanya dualisme, yang hadir dan tidak bisa dicabut lagi
pada berbagai pemikiran filsafat Barat.

Kekhasan cara baca dekonstruktif, yang dalam proses selanjutnya membuatnya sangat bermuatan
filosofi, adalah bahwa unsur-unsur yang dilacaknya untuk kemudian dibongkar bukanlah sekedar
inkonsistensi logis, argumen yang lemah, atau premis tidak akurat yang terdapat dalam teks,
sebagaimana yang biasanya dilakukan pemikiran modernisme. Melainkan, unsur yang secara filosofis
menjadi penentu atau unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis. Singkatnya,
kemungkinan filsafat itu sendirilah yang dipersoalkan.

Filsafat yang pada dasarnya adalah tulisan, ingin melepaskan statusnya sebagai tulisan, dan keluar
dari kerangka fisik kebahasaan yang digunakannya. Bahasa ingin digunakan sebagai sarana
transparan untuk menghadirkan makna dan kebenaran rill yang ekstralinguistik, atau dalam istilah
kita tadi, kebenaran absolut, kebenaran yang betul-betul benar.

Sistematika penerapan dekonstruksi dalam berhadapan dengan teks, adalah: Pertama,


mengidentifikasi hirarki oposisional dalam teks, dimana biasanya terlihat peristilahan mana yang
diistimewakan secara sistematis dan mana yang tidak.Kedua, oposisi-oposisi itu dibalik dengan
menunjukkan adanya saling ketergantungan di antara yang saling bertentangan atau privilesenya
dibalik. Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa
dimasukkan ke dalam kategori oposisional lama.

Dengan langkah-langkah semacam ini, pembaca dekonstruksi berbeda dari pembacaan biasa.
Pembacaan dekonstruksi berbeda dari pembacaan biasa. Pembacaan biasa selalu mencari makna
yang lebih benar, yang teks itu sendiri barangkali tidak pernah memuatnya. Sedangkan pembacaan
dekonstruktif ingin mencari ketidakutuhan atau kegagalan setiap upaya teks menutup diri dengan
makna atau kebenaran tunggal.

2.10 Contoh Penerapan Dekonstruksi

Seperti dikemukakan di atas, paham dekonstruksi berusaha melacak makna-makna kontradiktif,


makna ironi, memberikan makna dan peran kepada tokoh-tokoh pinggiran menjadi tokoh yang
berfungsi dalam keseluruhan teks yang bersangkutan. Sebagai contoh pembicaraan, berikut akan
sedikit diangkat kasus dalam novel Rahwana Putih karya Sri Teddy Rusdy. Rahwana Putih sebagai
penerapan paham (pembacaan) dekonstruksi.

Rahwana Putih karya Sri Teddy Rusdymerupakan kisah alternatif dari gambaran Rahwana yang
sebagaimana umum dipahami dan dikenali dalam cerita perwayangan, bahwa ia adalah raksasa jahat
yang tenggelam dalam kemutlakan gelap, sang durjana—lambang angkara murka, panji-panji
keserakahan, ketamakan, maling isteri orang dan biang pertumpahan darah. Rahwana merupakan
sosok yang penuh nafsu jahat dan angkara.Serta kelakuannya kasar dan biadab.

Rahwana yang kita kenal sebagai sosok “hitam”, namun dihadirkan sebagai sosok “putih”.
Menelusuri epos Ramayana dan telah menarik ide untuk memikirkan ulang sosok Rahwana. Apalagi
jika mengingat Rahwana adalah anak Begawan Wisrawa yang termasyhur jauh dari sifat haus kuasa,
dia memilih mundur sebagai raja ketika dalam situasi puncak demi hasrat memahami inti kehidupan.
Sedangkan ibunya, Dewi Sukesi, juga dari keturunan raja yg bijaksana, Prabu Sumali. Dewi Sukesi
adalah perempuan cerdas yang tercermin sangat jelas dari syarat yang diajukan bagi laki-laki yang
hendak menjadi suaminya harus bisa memahami Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu,
ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk mengubah keburukan
mencapai kemuliaan dunia akhirat. Dari garis ayah dan ibu yang demikian, tentu menarik untuk
melihat mengapa Rahwana digambarkan di luar sama sekali lingkup ayah-ibunya. Apalagi sejak
usianya belum genap 15 tahun ia telah diberi pemahaman yang lebih atas Sastrajendra Hayuningrat
Pangruwating Diyu.

2.11 Kelebihan dan Kelemahan dari Teori Dekonstruksi

Dekonstruksi membuka ruang kreatif seluas-luasnya dalam proses pemaknaan dan penafsiran. Itulah
kelebihan dekonstruksi, yang membuat setiap orang bebas memberi makna dan menafsiri suatu
objek tanpa batas. Ruangan makna terbuka luas, penafsiran bertumbuh biak. Ibarat pepatah, mati
satu tumbuh seribu. Penghancuran terhadap suatu makna oleh makna baru melahirkan makna-
makna lain.

Demikian bebas, banyaknya makna dan tafsiran, membuat era dekonstruktivisme dianggap era
matinya makna. Makna menjadi tak berarti lagi. Inilah kelemahan dekonstruksi. Kelemahan lainnya
adalah:

Kebebasan tanpa batas menjadikan makna kehilangan ‘roh’. Yang ada adalah massalisasi makna,
retailisme makna. Menjadikan makna sebuah produk massal yang dapat mengurangi nilai obyek
tidak lagi memiliki kemewahan ruang pemaknaan untuk ditelaah.

Ketidakbernilaian makna, ke-chaos-an atau asumsi ‘pesimis’ matinya makna dapat menimbulkan
apatisme dan ketidakberdayaan terhadap makna.
Dekonstruksi tidak menyediakan shelter-shelter untuk persinggahan khusus dalam proses perjalanan
pemaknaan. Titik-titik peristirahatan tertentu diperlukan untuk revitalisasi makna sebelum
membuka ruang makna baru bagi perjalanan penafsiran yang lebih bugar. Dengan demikian,
kejenuhan dan kebiasaan-kebiasaan pemaknaan dapat dicegah.

Tidak adanya upaya untuk menghargai puing-puing hasil pengahancuran makna karena makna-
makna baru dianggap lebih bernilai. Padahal, makna-makna lama bukan tidak mungkin justru
memberi nilai tambah abgi makna-makna baru. Karena itu, diperlukan sebuah model semiotika baru
untuk menjawab kekurangan-kekurangan tersebut.

Kelemahan lain dari teori dekonstruksi ini adalah banyaknya peluang bagi spekulatif subjektif. Selain
itu, dengan terus-menerus melacak bekas-bekas teks lama, maka setiap bentuk asosiasi dapat
digunakan dan lama kelamaan bentuk kritik sangat terikat pada pengetahuan dan pribadi kritikus
(van Luxemburg, dkk. 1982: 53-60).

BAB III

KESIMPULAN

3.1 Simpulan

Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai strategi. Dekonstruksi tidak semata-mata
ditunjukkan terhadap tulisan, tetapi semua pernyataan kultural sebab keseluruhannya pernyataan
tersebut adalah teks yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi,
kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu. Dekonstruksi dengan demikian tidak terbatas hanya
melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan maupun tulisan, melainkan juga kekuatan-kekuatan
lain yang secara efektif mentransformasikan hakikat wacana.

Dekonstruksi yang kita ketahui sekarang ini tidaklah hadir dengan sendirinya, melainkan hadir
melalui ilmuan-ilmuan yang ahli dibidangnya. Tokoh terpenting dekonstruksi adalah Jacques Derrida,
seorang Yahudi Aljazair yang kemudian menjadi ahli filsafat dan kritik sastra di Perancis.

Dalamhalini, penulismenerapkanteoridekonstruksipada novel Rahwana Putih karya Sri Teddy Rusdy


yang merupakan kisah alternatif dari gambaran Rahwana yang sebagaimana umum dipahami dan
dikenali dalam cerita perwayangan, bahwa ia adalah raksasa jahat yang tenggelam dalam
kemutlakan gelap, sang durjana—lambang angkara murka, panji-panji keserakahan, ketamakan,
maling isteri orang dan biang pertumpahan darah. Rahwana merupakan sosok yang penuh nafsu
jahat dan angkara.Serta kelakuannya kasar dan biadab.

Rahwana yang kita kenal sebagai sosok “hitam”, namun dihadirkan sebagai sosok “putih”.
Menelusuri epos Ramayana dan telah menarik ide untuk memikirkan ulang sosok Rahwana. Apalagi
jika mengingat Rahwana adalah anak Begawan Wisrawa yang termasyhur jauh dari sifat haus kuasa,
dia memilih mundur sebagai raja ketika dalam situasi puncak demi hasrat memahami inti kehidupan.
Sedangkan ibunya, Dewi Sukesi, juga dari keturunan raja yg bijaksana, Prabu Sumali. Dewi Sukesi
adalah perempuan cerdas yang tercermin sangat jelas dari syarat yang diajukan bagi laki-laki yang
hendak menjadi suaminya harus bisa memahami Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu,
ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk mengubah keburukan
mencapai kemuliaan dunia akhirat. Dari garis ayah dan ibu yang demikian, tentu menarik untuk
melihat mengapa Rahwana digambarkan di luar sama sekali lingkup ayah-ibunya. Apalagi sejak
usianya belum genap 15 tahun ia telah diberi pemahaman yang lebih atas Sastrajendra Hayuningrat
Pangruwating Diyu.

Anda mungkin juga menyukai