TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Cedera medula spinalis (SCI) merupakan masalah kesehatan yang besar. Umumnya, cedera
ini terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Penyebab lainnya meliputi jatuh, tindak
(umumnya luka tembak) dan aktivitas olahraga rekreasional. setengah dari korbannya
berusia antara 16 dan 30 tahun, umunya laki laki. Faktor risiko lainya adalah penggunaan zat
(alcohol dan obat-obatan). Banyak sekali dijumpai cedera dan komplikasi medis yang
menyertai gangguan ini. Vertebra yang paling sering mengalami cedera adalah vertebra
servikal kelima, keenam, dan ketujuh (CS5 – CS7), vertebra toraks kedua belas (T12), dan
vertebra lumbal pertama (LI). Vertebra tersebut adalah yang paling rentan karena rentang
mobilitas pada kolumna vertebra di area tersebut lebih besar. Kerusakan pada medulla
spinalis berkisar dari gegar otak sementara (dapat pulih kembali), hingga kontusio, laserasi,
atau tekanan pada substansi korda (baik tunggal maupun kombinasi), hingga transeksi korda
komplet (paralisis di bawah level cedera). Cedera dapat dikategorikan menjadi primer
(biasanyan permanen) atau sekunder (serabut saraf membengkak dan bercerai cerai akibat
iskemik, hipoksia, edema, dan lesi hemoragi). Cedera primer bersifat permanen, sedangkan
cedera sekunder dapat kembali pulih jika ditangani dalam 4-6 jam sejak awal cedera. Tipe
cedera bergantung pada tingkat keparahan cedera medulla spinalis itu sendiri.
Lesi medulla spinalis tak komplet dapat diklasifikasikan berdasarkan area kerusakan
medulla spinalis, sentral, lateral, anterior atau perifer. Cdeder medulla spinalis komplet
dapat mengakibatkan paraplegia (paralisis pada bagian tubuh bawah) atau tetraplegia
(paralisis pada keempat ekstremitas)
B. Manifestasi Klinis
Konsekuensi cedera medulla spinalis bergantung pada tipe dan level cedera korda.
a. Level Neurologis
Level neruologis mengacu pada level terenda kerusakan korda ketika fungsi motoric dan
sensori masih normal. Tanda dan gejalanya adalah sebagai berikut:
Paralisis (kelumpuhan) total pada kemampuan motoric dan sensorik di bawah level
neurologis.
Kehilangan kontrol kandung kemih dan usus (biasanya dengan retensi urine dan
distensi kandung kemih)
Kehilangan kemampuan berkeringat dan ritme vasomotor
Penurunan tekanan darah akibat hilangnya resistansi vascular perifer
Jika sadar, pasien mengeluhkan nyeri akut pada punggung atau leher, pasien
mungkin mengaku takut leher atau punggungnya patah
b. Masalah respirasi
Fungsi respirasi, keparahan bergantung pada level cedera
Gagal napas akut merupakan penyebab utama kematian pada cedera medulla spinalis
letak tinggi
C. Patofisiologi
Kerusakan medulla spinalis berkisar dari komosio sementara (dimana pasien sembuh
sempurna) sampai kontusio, laserasi, dan kompresi substansi medulla (baik salah satu atau
dalam kombinasi), sampai transeksi lengkap medulla (yang membuat pasien paralisis
dibawah tingkat cedera). Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat
mermbes ke ekstradural, subdural atau daerah subarachnoid pada kanal spinal. Segera
setelah terjadi kontusion atau robekan akibat cedera, serabut-serabut saraf mulai
membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke subtansia grisea medulla spinalis menjadi
terganggu. Tidak hanya hal ini saja yang terjadi pada cedera pembuluh darah medulla
spinalis, tetapi proses patogenik dianggap menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cedera
medulla spinalis akut. Suatu rantai sekunder kejadian-kejadian yang menimbulkan iskemia,
hipoksia, edema, dan lesi-lesi hemoragi, yang pada gilirannya mengakibatkan kerusakan
myelin dan akson.
Reaksi sekunder ini, diyakini menjadi penyebab prinsip degenerasi medulla spinalis pada
tingkat cedera, sekarang diaggap reversible 4 sampai 6 jam setelah cedera. Untuk itu jika
kerusakan medulla tidak dapat diperbaiki, maka beberapa metode mengawali pengobatan
dengan menggunakan kortikosteroid dan obat-obat antiinflamasi lainnya yang dibutuhkan
untuk mencegah kerusakan sebagian dari perkembangannya, masuk ke dalam kerusakan
total dan menetap.
D. Komplikasi
Syok spinal, yaitu komplikasi SCI yang serius, terjadi karena depresi aktivitas refleks pada
medulla spinalis (arefleksia) yang muncul tiba tiba di bawah level neurologis yang
terganggu. Otot otot yang dipersarafi oleh bagian segmen korda yang terletak di bawah
lokasi lesi menjadi kaku dan lumpuh total, dan refleks menghilang. Tekanan darah dan
frekuensi nadi turun dengan cepat ketika organ vital ikut terganggu. Bagian tubuh di bawah
lesi korda mengalami paralisis dan kehilangan fungsi sensori.
E. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan kegawatdaruratan
Penatalaksanaan pasien yang cepat dan tepat di lokasi kejadian sangatlah penting.
Penanganan yang tidak tepat akan memperberat kerusakan yang ada dan
mengakibatkan hilangnya fungsi neurologis
Anggap semua korban kecelakaan bermotor, jatuh, cedera olahraga kontak atau
menyelam, atau trauma langsung pada kepala dan leher mengalami SCI sampai
dipastikan sebaliknya
Perawatan awal meliputi pengkajian cepat, imobilisasi, pemindahan dari lokasi
kecelakaan (ekstrikasi), stabilisasi atau pengontrolan cedera yang mengancam jiwa,
dan transportasi menuju fasilitas medis yang tepat
Pertahankan pasien pada posis ekstensi (jangan duduk), tidak ada bagian tubuh yang
boleh terpuntir atau terbalik.
Standar perawatan adalah merujuk pasien ke pusat cedera spinal atau pusat trauma
setempat untuk mendapatan perawatan dalam 24 jam pertama.
b. Penatalaksanaan medis
Fase akut
Tujuan penalaksanaan adalah untuk mencegah ceder SCI yang lebih parah dan untuk
mengobservasu gejala neurologis yang progresif. Pasien diresusitasi sesuai prosedur,
dan oksigenasi dan stabilitas kardiovaskula dijaga. Kortikosteroid
(metilprednisonlon) dosis tinggi diberikan untuk mengatasi edema pada spinal.
Oksigen diberikan untuk mempertahankan tekanan arteri PaO2 yang tinggi. Jika
intubasi endotrakela perlu dilakikan, dibutuhkan kehati hatian yang tinggi untuk
mencegah leher tertekuk atau tertarik. Diapraghma pacing (stimulasi elektrolit pada
saraf prenikus) dapat dipertimbangkan untuk kasus cedera servikal letak tinggi.
Cedera medulla spinalis perlu ditangani dengan imobilisasi, pengurangan dislokasi,
dan stabilisasi kolumna vertebra. Fraktur servikal dapat dikurangi dengan spina
servikal disejajarkan dengan menggunakan traksi (menggunakan penjepit skeletal
atau kapiler atau teknik halo-vest). Beban digantung bebas sehingga tidak
menggangu traksi.
Pembedahan yang dilakukan sejak awal akan menurunkan kebutuhan akan traksi.
Tujuan terapi bedah adalah untuk memelihara fungsi neurologis dengan
memindahkan tekanan dari medulla spinalis dan menstabilkannya.
F. Pengkajian Keperawatan
kaji pola napas, kaji kekuatan batuk, auskultasi paru paru
pantau pasien secara ketat untuk mlihat adanya perubahan fungus motoric dan sensori
serta gejala kerusakan neurologis progresif
tes kemampuan motoric dengan meminta pasien untuk meregangkan jarinya,
menggenggam tangan pemeriksa, dan menggerakkan jari jari kaki atau membalikkan
kaki
evaluasi sensasi dengan mencubit kulit atau menyentuh secara pelan dengan
menggunakan tongue blade, mulai dari bahu dan turun ke kedua sisi, mata klien harus
ditutup tanyakan pasien dimana sensasi dirasakan
kaji adanya syok spinal
palpasi abdomen bawah untuk menukan tanda tanda gejala retensi urine serta
overdistensi kandung kemih
kaji adanya dilatasi lambung dan ileus paralitik akibat atonik usus
pantau suhu (hipertemia dapat terjadi akibat gangguan otonom).
G. Diagnosa Keperawatan
Ketidakefektidan pola napas b.d kelemahan atau paralisis otot abdomen dan otot
interkosta serta ketidakmampuan membersihkan sekresi
Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d kelemahan otot interkosta
Hambatan mobilitas fisik dan di tempat tidur yang berhubungan dengan gangguan
motoric dan sensori
Gangguan persepsi sensori b.d imobilitas atau kehilangan sensori
Risiko kerusakan integritas kulit b.d imobilitas atau kehilangan sensori
Gangguan eliminasi urine b.d ketidakmampuan untuk berkemih spontan
Konstipasi b.d atonik usus akibat gangguan otonom
Nyeri akut dan ketidaknyamanan b.d penanganan dan imobilitas yang lama
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Kasus
Seorang laki – laki usia 22 tahun terdiagnosis Cedera Medula Spinalis karena jatuh dari
pohon tangkil. Pasien mengeluh sakit kepala, mengatakan area kaki tidak bisa digerakan.
Saat dikaji terlihat kemerahan pada area cedera, akral dingin dan nadi perifer menurun,
tekanan darah 150/100mmHg. Pasien tidak mempunyai riwayat hipertensi. Saat cedera
pasien sempat dibawa ke dukun patah tulang namun karena pasien mengeluh nyeri kepala
yang tidak tertahankan maka pasien dibawa ke RS. Inkontinensia urine (+).
B. Predisposisi dan Presipitasi
Predisposisi: Jatuh dari pohon tangkil
Presipitasi: Pergi ke dukun patah tulang
C. Pengkajian dan Wawancara
a. Wawancara
1. Identitas Klien
Seorang laki laki berusia 22 tahun
2. Keluhan utama
Pasien mengeluh sakit kepala, mengatakan area kaki tidak bisa digerakan.
3. Alasan masuk RS/ RPS
Pasien mengeluh sakit kepala, mengatakan area kaki tidak bisa digerakan
dikarenakan jatuh dari pohon tangkil. Saat cedera pasien sempat dibawa ke dukun
patah tulang namun karena pasien mengeluh nyeri kepala yang tidak tertahankan
maka pasien dibawa ke RS.
4. Riwayat penyakit dahulu
Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi
5. Riwayat penyakit keluarga
ada/tidak riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus, atau
adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
6. Riwayat spiritual dan psikososial
Peranan pasien dalam keluarga, status emosi, interaksi sosial terganggu/tidak,
ada/tidak rasa cemas yang berlebihan, hubungan dengan tetangga harmonis/ tidak,
status dalam pekerjaan. apakah rajin dalam melakukan ibadah sehari-hari.
7. Aktivitas sehari-hari
Nutrisi : Klien makan sehari-hari apakah sering makan makanan yang
mengandung lemak, kolestrol, gula, makanan apa yang sering dikonsumsi oleh
pasien, misalnya : masakan yang mengandung garam, santan, goreng-gorengan,
suka makan hati, limpa, usus, bagaimana nafsu makan klien.
Minum : Apakah ada ketergantungan mengkonsumsi obat, narkoba, minum yang
mengandung alkohol. Jika iya, kapan, bagaimana frekuensi nya dalam sehari bisa
berapa gelas?
b. Pengkajian
1. Menilai keadaan umum dan GCS
2. Mengecek TTV pasien (RR, Nadi, TD dan suhu)
3. Pemeriksaan fisik
kaji pola napas, kaji kekuatan batuk, auskultasi paru paru
pantau pasien secara ketat untuk mlihat adanya perubahan fungus motoric dan
sensori serta gejala kerusakan neurologis progresif
tes kemampuan motoric dengan meminta pasien untuk meregangkan jarinya,
menggenggam tangan pemeriksa, dan menggerakkan jari jari kaki atau
membalikkan kaki
evaluasi sensasi dengan mencubit kulit atau menyentuh secara pelan dengan
menggunakan tongue blade, mulai dari bahu dan turun ke kedua sisi, mata
klien harus ditutup tanyakan pasien dimana sensasi dirasakan
kaji adanya syok spinal
palpasi abdomen bawah untuk menukan tanda tanda gejala retensi urine serta
overdistensi kandung kemih
kaji adanya dilatasi lambung dan ileus paralitik akibat atonik usus
Pantau suhu (hipertemia dapat terjadi akibat gangguan otonom).
D. Analisa Data
N
DATA ETIOLOGI MASALAH
O
1 Ds: Trauma Disrefleksia Otonom
Pasien mengeluh sakit ↓
kepala Cedera medulla spinalis
Do: ↓
Kemerahan pada Hilangnya faal sensorik dan
area cedera motoric
Akral dingin ↓
Tekanan darah Fungsi motoric terbatas
150/100 mmHg ↓
Nadi perifer T6 ke atas
menurun ↓
Stimulus oleh saraf sensorik
↓
Menagktifkan saraf simpatik
↓
Vasokontriksi besar dan
peningkatan BP
↓
Merangsang baroreseptor
↓
Mengaktifkan saraf parasimpatis
untuk melebarkan pembuluh
darah
↓
Impuls eferen tidak bisa
mengurangi vasokontriksi
↓
Kompensasi bradikardi inadekuat
↓
Hipertensi tidak terkendali
↓
Disrefleksia otonom
2. Ds: Trauma Gangguan mobilisasi fisik
Pasien mengatakan area ↓
kaki tidak bisa di Kerusakan medulla spinalis
gerakkan
↓
Do: -
Hemoragi
Serabut-serabut membengkak
atau hancur