Anda di halaman 1dari 9

Kelompok 10

- M Syafri
- Muhammad Arya Singgih

SENI TRADISIONAL JEPANG


(KYUDO)

A. Latar Belakang.
Di Jepang terdapat bermacam-macam budaya, salah satunya adalah olahraga. Jepang
merupakan salah satu negara yang memiliki ketertarikan tinggi terhadap suatu olahraga.Dapat
dibuktikan jika kita membaca komik dan juga menonton serial drama Jepang. Olahraga adalah
aktivitas untuk melatih tubuh seseorang, tidak hanya secara jasmani tetapi juga rohani. Olahraga
menjadi salah satu pusat perhatian masyarakat di dunia tidak terkecuali masyarakat di Jepang.
Jepang juga mempunyai berbagai macam jenis olahraga yang sangat terkenal di Jepang sendiri
dan bahkan di dunia. Olahraga yang diminati oleh masyarakat Jepang diantaranya baseball, sepak
bola, Karate, Judo, Kendo, Kyudo, dan Sumo
Dari berbagai olahraga yang disebutkan sebelumnya, masyarakat Jepang sangat menyukai
olahraga baseball. Namun tidak hanya olahraga modern seperti baseball dan sepak bola saja yang
disukai oleh masyarakat Jepang, 2 beberapa olahraga tradisional juga masih disukai dan digemari.
Contohnya, Karate, Judo, Kendo, Kyudo, dan Sumo. Olahraga tradisional ini mendapatkan respon yang
cukup banyak dari masyarakat Jepang, bahkan dunia dan masih ada sampai sekarang karena
masyarakat Jepang menganggap bahwa olahraga tradisional memiliki ciri khas tersendiri bagi
masyarakat Jepang dan merupakan salah satu budaya Jepang yang harus dilestarikan, misalnya
Kyudo.
Kyudo adalah salah satu olahraga tradisional Jepang yang memakai alat busur dan panah.
Sebelumnya, Kyudo disebut Kyujutsu. Kyujutsu menjadi salah satu teknik bagi para samurai pada saat
berperang. Dimana pada saat para samurai ataupun prajurit berperang, mereka memakai alat busur
atau panah ini sebagai senjata untuk membunuh lawan agar dapat merebut wilayah kekuasaan
musuh. Pada jaman sekarang, Kyujutsu berubah fungsi menjadi suatu hobi atau olahraga yang
diminati oleh masyarakat umum dan tidak bertujuan untuk membunuh. Hal itu sekarang dikenal
sebagai Kyudo.

B. Defenisi Kyudo
Kyudo [弓 道] adalah seni memanah Jepang yang merupakan salah satu seni bela diri tertua
tradisional Jepang yang meliputi semangat, kemurnian, dan konsentrasi.Kyudo juga dikenal sebagai

Ritsuzen [立 禅] atau “Zen Standing” yang meliputi kontrol pernapasan, konsentrasi pendengaran,
penglihatan dan gerakan.
C. Sejarah Kyudo
Sejarah seni pahanan Jepang terus menjadi subjek pembahasan para sarjana. Asal usul Kyudo
disertai dengan mitos dan legenda, dan catatan ini disimpan oleh berbagai kaum atau suku yang
kadangkala bersifat contradiksi, menggambarkan sejumlah bias familial. Semua hal ini menimbulkan
kesulitan yang luar biasa untuk merangkai gambar sejarah yang benar. Namun demikian kesamaan
yang cukup diperoleh dalam berbagai uraian kuno yang memungkinkan sejarahwan untuk
memadukan bersama catatan sejarah tentang Kyudo.

Menurut Hideharu Onuma (2013:11) Perkembangan seni panahan Jepang dapat dibagi ke dalam
lima tahapan sejarah : periode pra sejarah (dari 7.000 sebelum masehi hingga 330 sesudah masehi),
masa kuno (330 – 1192), masa feodal (1192 –1603), masa tradisional (1603-1912) dan masa modern
(1912 hingga saat ini).

1. Masa Pra Sejarah

Bukti arkeologi memperlihatkan bahwa pada awalnya telah diketahui bahwa penduduk Jepang,
yang menjalankan budaya berburu dan pengumpul makanan disebut Jomon (7.000 sebelum masehi
hingga 250 sebelum masehi),bergantung pada penggunaan busur. Sementara sangat dimungkinkan
bahwa mereka menggunakan busur untuk kesejahteraan sukunya,dan kemungkinan juga untuk
keperluan ritual yang terutama digunakan untuk berburu.

Periode yang mengikutinya,dari 250 sebelum masehi hingga 330 sesudah masehi adalah
didominasi oleh budaya Yayoi. Ini merupakan permulaan zaman besi di Jepang dan kehidupan di
pedesaan yang berubah secara dramatis. Yayoi menghabiskan banyak waktu untuk bekerja di
pedesaan dibandingkan dengan Jomon,dan ini membantu memperkuat pengertian komunitas
diantara penduduk kampung. Juga para sejarahwan meyakini bahwa keluarga yang memiliki kemauan
akan mulai mendapatkan upeti dari penduduk kampung, sehingga memulai sistem politik dan kontrol
ekonomi pada keseluruhan masyarakat. Penduduk kampung sekarang ini dipaksa untuk
menghabiskan waktu untuk memancing dan bertani dan memiliki sedikit waktu untuk berburu guna
memenuhi permintaan atas mereka. Akibatnya, pertama dari serangkaian transformasi dalam cara
pemakaian busur adalah dapat terjadi, kemudian berevolusi dari alat berburu ke dalam simbol dan
instrumen dari kekuatan politik.

2. Masa Kuno

Dari abad keempat hingga ke lima, budaya China sangat mempengaruhi sistem pemerintahan di
Jepang. Bersamaan dengan etiket dan ritual, Jepang mengadopsi upacara memanah dari aristokrasi
China yang mempertimbangkan kemahiran dalam memanah sebagai tanda bagi seorang laki-laki yang
berpendidikan baik.Sarjana pada masa itu menulis bahwa laki-laki yang beradab tidak pernah
berkelahi untuk menyelesaikan perbedaan mereka, tetapi harus menyelesaikannya melalui uji
kepandaian dalam memanah. Kontes seperti itu harus diatur oleh kode etik dan peserta yang harus
melaksanakannya.

Jepang dan China putus hubungan pada abad kesembilan, tetapi China terus melanjutkan dan
memiliki pengaruh terhap kepiawaian memanah Jepang. Dalam kenyataannya, jauh setelah upacara
memanah menghilang di China, maka kemudian dilanjutkan untuk berkembang di Jepang, dimana ini
dapat diikuti dalam seni Kyoto. Berikut ini ada tiga ratus tahun berlangsung perubahan yang sekali lagi
akan merubah praktek memanah Jepang. Pertama, sebagai sebuah kekuatan pemilik tanah yang terus
meningkat, mereka diberikan pengecualian atas pajak dan kekebalan dari pemeriksa resmi.
Kemudian, ketika otoritas negara terhadap tanah berkurang, maka pemilih tanah mengasumsikan
tanggung jawab pemerintah dan melindungi orang yang tinggal di daerah mereka.

Akibatnya, wajib militer sebagai sebuah kelompok yang kurang terlatih dan tidak berdisiplin yang
lebih bersifat tenaga kerja dari serdadu adalah ditempatkan oleh milisi provinsi yang memiliki
kemauan. Akhirnya, sebagai pengaruh pemerintahan pusat, maka kekuatan pejuang elit meningkat
dan kelas militer baru, samurai, mulai mendominasi negeri itu. Peningkatan kelas samurai mengarah
pada pembentukan berbagai Ryu, atau sekolah marsial.

Pemanah mulamula Ryu adalah tidak terorganisir, mereka tidak memiliki metode instruksi yang
sistematis. Namun demikian, mereka memberikan pelatihan bagi generasi pemanah baru. Akibatnya,
kaum samurai utama sangat tergantung pada keahlian dari sekolah pemanah. Juga ada catatan
sejarah terhadap sebutan Taishi Ryu yang telah ada selama masa regensi Shotoku taishi (593 – 622),
tetapi secara umum dianggap bahwa Henmi Ryu, yang didirikan lima ratus tahun kemudian oleh
Henmi Kiyomitsu, adalah Ryu pemanah pertama. Ini diikuti oleh Takeda Ryu dan Ogasawara Ryu,
keduanya dibentuk oleh keturunan Kiyomitsu.

3. Masa Feudal

Di tahun 1192, Minamoto no Yoritomo, kepala kaum Minamoto, diberi gelar Shogun. Pada saat
itu dia berhasil menghimpun kekuatannya dan mengendalikan seluruh negeri dari markas besarnya di
kamakura. Pengadilan Imperial Kyoto masih di tempat, tetapi mendorong untuk melepaskan semua
kewenangan kepada regime militer. Ini bersifat alami dimana prinsip dan praktek dari militer ini harus
mempengaruhi seluruh masyarakat.(Hideharu Onuma:2013:15) Hampir akhir abad keduabelas,
Yoritomo memulai standar pelatihan yang lebih ketat bagi para pejuangnya. Sebagai bagian dari
pelatihan dia minta Ogasawara Nagakiyo, pendiri Ogasawara Ryu, untuk mengajarkan keahlian
panahan itu. Memanah dari belakang kuda adalah sudah pasti bukan hal baru tetapi ini merupakan
kali pertama diajarkan dalam cara yang lebih atau kurang standar.
Dalam tahun berikutnya, Yabusame atau panahan itu akan mencapai potensi penuh dan
menambahkan dimensi baru untuk mempelajari Kyudo.Untuk abad kelima belas dan keenam belas,
Jepang mengalami gangguan oleh perang sipil. Ini merupakan masa yang sangat menghancurkan,
tetapi kemudian memungkinkan para samurai mengasah keahlian perkelahiannya atas dasar
konstant, yang menghasilkan pejuang terampil dalam sejarah Jepang. Dengan demikian, busur
menjadi sangat penting sebagai senjata dan teknik memanah telah mengalami perbaikan yang cukup
signifikan.

Pemanah umumnya dilatih atas metode sendiri dengan metode yang mereka rasa lebih efektif.
Samurai dengan cepat mengakui Potensi gaya memanah Heki Danjo, sehingga tidak membutuhkan
waktu lama untuk menyebarluaskan metode ini. Heki Danjo memberikan rahasianya kepada Yoshida
Shigekata. Keturunan Shigekata ini membentuk fraksi tersendiri dan dalam zaman itu, jumlah sekolah
didasarkan atas pengajaran Heki Danjo meningkat hingga duapuluh kali. Ini termasuk Chikurin ha
(sekolah Chikurin) yang bergulir dari Iga Heki Ryu, sebagian besar melalui anggota keluarga Yoshida.
Sekolah ini disebut sekolah baru yang berbeda dengan Henmi, Takeda dan Ogasawara Ryu yang
mendominasi pengadilan dan memanah di medan pertempuran hingga kemunculan Heki Danjo.

Secara umum dapat dipikirkan bahwa sejumlah besar sekolah memanah telah ada di zaman
kuno itu, tetapi secara aktual ini merupakan cabang dari Heki Ryu dan sebagian besar seperti Heki Ryu
Chikurin-ha, Heki Ryu Sekka-ha dan heki Ryu Insaiha, terus berlangsung hingga saat ini. Penggunaan
busur mencapai puncaknya selama abad kelima belas dan abad keenambelas. Metode pengajarannya
telah didefinisikan dan memodifikasikan kembali dan teknik pembuatan busur dan panah telah
disempurnakan. Selama periode ini, pemanah telah mendapatkan posisi tertinggi dalam hirarkhi
pejuang atau prajurit. Tetapi semuanya ini berubah tiba-tiba pada tanggal 25 Agustus 1543 ketika
fregat China berlari di Tanegashima di sebelah selatan Kyushu. Di kapal dimana tiga tentara Portugis
dengan senapan kuno,senjata yang sebelumnya belum diperkenalkan di Jepang.Sementara samurai
penuh kebanggaan adalah pertama kali digunakan sebagai senjata asing, maka tidak lama sebelum
Jepang mulai membuat senjata dalam jumlah yang besar. Di tahun 1575, pemimpin perang Oda
Nobunaga pertama kali berhasil menggunakan pistol dalam pertempuran utama, sehingga mengakhiri
pemanfaatan busur sebagai senjata perang.

4. Masa Transisi

Pada awal abad ketujuh belas, Shogun Tokugawa Ieyasu mengelola untuk menyatukan fraksi
samurai pejuang dan negara itu berada dalam damai yang cukup lama. Ketiadaan perang, dikaitkan
dengan diperkenalkannya senjata api, harus dapat membuat para pemanah samurai menyingkirkan
busurnya tetapi mereka menolak untuk melakukannya. Merasakan bahwa Kyujutsu teknik berjuang
dengan busur adalah sesuatu yang absolut, dengan kompetisi yang teratur di kuil Sanjusangendo di
Kyoto dengan harapan mempertahankan minatnya dalam memanah.(Hideharu Onuma:1961:18).
Waktu berubah dan kemudian busur tidak pernah lagi digunakan dalam pertempuran. Dalam
paruh terakhir abad ketujuh belas, populasi umum menggunakan praktek memanah dalam jumlah
yang meningkat dan upacara panahan menjadi populer. Menurut beberapa sumber, Morikawa Kozan,
pendiri Yamoto Ryu modern, pertama kali menggunakan kata Kyudo pada saat itu. Dan meskipun
telah berlangsung selama dua ratus tahun untuk waktu memperoleh penerimaan yang luas, tempat
yang terus menerus dan diperkenalkannya senjata api yang lebih efisien menjadi sesuatu yang tidak
dapat dielakkan bahwa penekanan terhadap pelatihan memanah ini harus bergeser ke arah
perkembangan spritual dan mental.

Era Meiji (1868 – 1912) melihat Jepang berembarkasi pada modernisasi yang cepat. Tiba-tiba,
segala sesuatu telah berlangsung di Eropa. Secara natural, budaya tradisional telah diderita dan
panahan Jepang adalah dalam kondisi bahaya atau menghilang.

Mendekati abad Honda Toshizane, instruktur Kyudo di Universitas Imperial Tokyo, memadukan
berbagai unsur pejuang dan gaya upacara untuk menciptakan metode hibrida dari memanah yang
kemudian diajarkan kepada murid-muridnya. Hingga saat itu pengajaran terhadap kedua gaya ini
lebih kurang terpisah. Tentu saja, sekolah tradisional tidak mendukung metode yang baru. Protes
mereka adalah tidak didengarkan, seperti Honda Toshizane yang terus mengajarkan muridnya gaya
hibrid.

Seiring dengan berlalunya waktu, pengajarannya menyebar ke seluruh sistem sekolah dan Honda
Ryu yang kemudian menjadi terkenal, ditemukan lebih diketahui oleh umum. Dewa ini, Honda
Toshizane diakui sebagai seorang master Kyudo yang berpengaruh pada zaman modern. Sebagian
mengatakan bahwa ini bukan hanya bertanggung jawab untuk merubah arah panahan Jepang tetapi
juga memastikan kelangsungannya dalam abad keduapuluh.

5. Zaman modern

Sekarang bahwa Kyudo tidak lagi berada dalam kontrol keluarga pemanah tradisional dan lebih
banyak orang yang datang bersama untuk berlatih Kyudo, yang kemudian menjadi penting untuk
membangun beberapa standar panahan nasional.Di awal tahun 1930-an, Dai Nipppon Butoku Kai
mengundang berbagai sekolah untuk ikut serta dalam penetapan standar itu. Hal ini masih
kontroversial dan diperdebatkan untuk waktu sebelum perjanjian tentatif akhirnya dicapai di tahun
1934. Dan meskipun standar baru telah diabaikan oleh sekolah utama dari panahan ini, kyudo
mengalami kebangkitan dalam popularitas yang kemudian sampai akhir perang dunia kedua. Setelah
perang, latihan kyudo dan seni marsial lainnya dilarang oleh penguasa saat itu. Tetapi di tahun 1946,
berbagai master kyudo dan orang berpengaruh lainnya telah berhasil melobi GHQ untuk
mendapatkan izin membentuk organisasi kyudoyang baru. Usaha pertama untuk organisasi ini tidak
terpenuhi dengan persetujuan otoritas setempat dan ini hanya berlangsung hingga 1949 dimana
autorisasi akhir diberikan untuk membentuk Zen Nihon Kyudo Renmei (Semua Federasi Kyudo
Jepang). Pada musim panas tahun 1953, Zen Nihon Kyudo Renmei mempublikasikan Kyudo Kyohon
(panduan), yang menetapkan standar modern dari bentuk, etikat dan prosedur memanah. Sejak saat
itu, Sharei atau upacara panahan, telah dilaksanakan dan jumlah orang yang berlatih kyudo terus
meningkat hingga lebih dari 500.000 di seluruh dunia.

Pada musim gugur tahun 1989, laki-laki dan perempuan dari delapan negara yang berbeda,
mulai dari usia sebelas tahun hingga sembilan puluh sembilan tahun berkumpul di Budokan di Tokyo
untuk merayakan ulang tahun keempat puluh Zen Nihon Kyudo Renmei. Keberaaannya dan fakta yang
ada adalah berkumpul dalam harmoni, dan juga dengan kesaksian hidup terhadap kekuatan Kyudo
modern. Diperlihatkan bahwa pemanah Jepang adalah bergulir dari metode penaklukan musuh ke
dalam cara mempromosikan persahabatan dan perdamaian dunia.

D. Peralatan Dan Atribut serta Teknik dalam memanah dalam kyudo

1. Busur Jepang (Yumi)

Di mana saja di seluruh dunia, terdapat busur yang menyerupai yumi Jepang. Dalam setiap
pengertiannya ini adalah unik. Pengecualiannya adalah panjang yang lebih dari dua meter dan
asimetris, pegangannya adalah ditempatkan di bawah titik tengah. Dan ini dibuat dewasa ini dengan
menggunakan teknik yang sama dan dengan bahan yang sederhana, bambu dan kayu, yang digunakan
selama lebih dari 400 tahun ang lalu. Keindahan dan kekuatannya tidak tertandingi, Yumi membuat
semangat Jepang. Ini adalah sederhana dan elegan dan berakar dalam tradisi yang lebih lama.
Sepanjang sejarah yumi telah dipuja karena memiliki nilai seni dan nilai praktisnya.

2. Bowstring (Tsuru)

Pada dasarnya, ada tiga jenis Tsuru : alami, sintesis dan campuran keduanya. Tsuru terbaik
terbuat dari hemp alami (asa). Ini memberikan pelepasan yang halus dan mulus dari Tsurune (bunyi
string). Bagaimanapun, ini tidak akan tahan lama, terutama pada kondisi kering. Tsuru sintesis atau
campuran adalah lebih kuat tetapi tentu kekruangan mutu dan elegansi dari string alami. Pilihan tsuru
ini adalah mengarah pada individu yang harus memutuskan jenis tsuru mana yang sesuai dengan
kebutuhan dan kebiasan memanah.Tsuru ini datang dengan panjang yang disesuaikan dengan yumi
(Namisun, Nisun Nobi, dll). Ini juga datang dengan berat yang berbeda (momei dan kisaran 1.6 momei
(enam gram) hingga 2.4 momei (sembilan gram). Ketika aturan umum dengan string yang lebih ringan
digunakan di musim panas atau pada yumi dengan kekautan tarikan ringan, sementara string berat
lebih baik digunakan dalam musim penghujan atau Yumi.
3. Anak anah (Ya)

Panah Jepang adalah tidak seperti panah di dunia Barat. Ini sangat panjang, mendekati satu
meter atau lebih dengan bulu dengan panjang lima belas sentimeter. Seperti Yumi, ini terbuat dengan
cara yang sama seperti di masa lalu, dengan semua bahan alami dengan pengecualian titik besi.
Porosnya dibuat dari Yadake, pilih dengan variasi bambu. Nock ini adalah normalnya terbuat dari
tanduk atau bambu dan bulunya dari elang, rajawali,atau burung besar.

4. Sarung Tangan (Yugake)

Pada dasarnya ada tiga jenis Yugake yang biasa digunakan dewasa ini : Mitsugake (sarung tangan
tiga jari), Yotsugake (sarung tangan empat jari) dan Morogake (sarung tangan lima jari). Sarung
tangan ini adalah bertangan kanan karena pemanah Jepang selalu menghadap Kamiza ketika
memanah. Terlepas dari jumlah jari, juga ada perbedaan bagaimana sarung tangan itu dibuat. Ibu jari
yotsugakemisalnya adalah dibuat dengan sudut yang lebih rendah dari Mitsugake. Akibatnya, sekolah
tertentu atau guru akan lebih menyukai satu jenis sarungan ini dibandingkan dengan yang lainnya.
Morogake misalnya, digunakan oleh mereka yang berlatih Ogasawara Ryu sementara eksponen Heki
Ryu lebih suka menggunakan Mitsugake ketika memanah dari jarak dekat. Yotsugake, pada sisi lain
adalah dirancang dan digunakan untuk kompetisi memanah jarak jauh di Sanjusangendo Kyoto.
beberapa peserta pelatihan lebih suka menggunakan Yotsugakeuntuk panahan jarak dekat karena
membutuhkan sedikit usaha untuk menarik dan memegang busur dengan Yotsugake

5. Seragam

Untuk melihat pemanah berpengalaman menembak dalam Kimono Remsi dan Hakama pakaian
Jepang klasik adalah melihat Kyudo pada kecantikannya. Namun, Kimono yang baik adalah sangat
mahal, seringkali membentuk ratusan dollar atau lebih. Akibatnya, sebagian orang hanya memakai
kimono pada kesempatan tertentu. Seragam dalam praktek standar terdiri dari Kimono (Kyudo-gi)
dengan pakaian belahan (Hakama), kaos kaki belahan pada jari kaki (Tabi), dan juga tali pinggang kain
(Obi). Wanita memakai pelindung dada dari kulit (Muneate). Ada beberapa perbedaan seragam yang
digunakan oleh laki-laki dan perempuan. Hakama laki-laki misalnya, memiliki bagian punggung yang
kaku sementara pada wanita tidak.

Ini terutama karena wanita pada dasarnya memakai Hakama mereka lebih tinggi pada
pergelangan tangan dibandingkan dengan laki-laki. Di Jepang, Zen Nihon Kyudo Renmei
mempersyaratkan agar semua pemanah menguji hingga kelima dan memakai kyudo-gi putih dan Tabi
putih. Laki-laki harus memakai Hakama belakang, sementara perempuan diperkenankan memakai
belakang atau Hakama biru. Pemanah menguji dan ke lima yang dibutuhkan untuk memakai anggota
yang mengikuti standar yang sama untuk praktek sehari-hari tetapi tentu dengan anggota lawan yang
memakai Kyudo-gi putih atau Kimono.Setiap saat seragam Kyudo ini harus tetap bersih dan dipres
rapi. Tidak ada noda karena keindahan Kyudo lebih dari sekedar orang yang bersih dari kotoran.
Sebagian besar Kyudo-gi adalah terbuat dari katun atau bahan sintesis dan mudah dicuci dan
disetrika. Hakama juga harus dilipat rapi setelah digunakan untuk menjaga kerapiannya. Semuanya ini
bersifat biasa, tetapi tentu bila seseorang tidak mengabaikannya dan disiplin untuk mempertahankan
permintaan yang lebih besar dari praktek Kyudo untuk membuatnya.

6. Teknik memanah dalam kyudo

Sebelum,selama, dan sesudah menembakkan anak panah seorang kyudojin selalu mematuhi dan
menjalankan dengan cermat langkah-langkah tertentu yang di sebut dengan “shaho hassetsu” atau
delapan langkah memanah yaitu :

1. Ashibumi - mengatur posisi kaki dan telapak kaki.


2. Dozukuri - meperbaiki postur tubuh.

3. Yugamae - menyiapkan busur dan anak panah.

4. Uchiokoshi - mengangkat busur diatas kepala dan bersiap menarik tali busur.

5. Hikiwake - menarik tali busur.

6. Kai - tali busur tertarik maksimal, dengan mengharmoniskan tubuh dan jiwa sambil
menunggu saat yang tepat untuk menembak.

7. Hanare - melespaskan anak panah dengan alamai ketika saatnya tiba.

8. Zanshin - tetap menjaga postur tubuh setelah menembak.

E. Kesimpulan

Kyudo merupakan salah satu kesenian tradisional jepang kuno yang termasuk kedalam seni
beladiri,dimana seni ini melatih tubuh dan pratisinya dengan cara belajar fokus pada proses
menembakkan anak panah dengan timing yang tepat.Kyudo bertujuan untuk mengembangkan
karakter praktisinya tidak hanya dalam hal panah memanah tetapi juga dalam kehidupan keseharian
mereka. Dan seperti halnya seni beladiri yang lain, kyudo membantu praktisinya untuk dapat
menghindari konflik dan kekerasan.

F. Daftar Pustaka
Aikens, C. Melvin, and Higuchi, Takayasu. Prehistory of Japan. New York: Harcourt, Brace,Jovanovich
Publications, 1985.

Anzawa, Toko (Heijiro). Dai Sha Do. Tokyo: Shatokutei, 1970.

Draeger, Donn F. Classical Budo. New York/Tokyo: Weatherhill, 1973.

Hall, John Whitney. Japan from Prehistory to Modern Times. Tokyo: Charles E. Tuttle Co.,1984.

Herrigel, Eugen. Zen in the Art of Archery. Translated by R.F.C. Hull. New York: RandomHouse, Inc.,
1971.

Anda mungkin juga menyukai