Anda di halaman 1dari 10

HUKUM MENGENAI :

PENANAMAN MODAL ASING DI INDONESIA


Penanaman modal di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal. Dalam pasal 1 ayat 1 UUPM tersebut disebutkan bahwa penanaman modal
adalah segala bentuk penanaman modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun asing
untuk melakukan usaha di wilayah NKRI.
Penanaman modal asing itu sendiri merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh pihak
asing dalam rangka menanamkan modalnya disuatu negara dengan tujuan untuk mendapatkan laba
melalui penciptaan suatu produksi atau jasa.
Penggunaan modal asing perlu dimanfaatkan secara maksimal untuk mempercepat
pembangunan ekonomi Indonesia serta digunakan dalam bidang-bidang dan sektor-sektor yang
dalam waktu dekat belum dan atau tidak dapat dilaksanakan oleh modal Indonesia sendiri.
Sehubungan dengan itu perlu diadakan ketentuan-ketentuan yang jelas untuk memenuhi
kebutuhan akan modal guna pembangunan nasional, disamping menghindarkan keragu-raguan
dari pihak modal asing.

Dasar hukum Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing
adalah :
 Pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1) pasal 27 ayat (2) dan pasal 33 Undang-undang Dasar
 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia No.
XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan
Pembangunan;
 Nota I MPRS/1966 tentang Politik Luar Negeri berdasarkan Pancasila; Undang-undang No.
5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria
 Undang-undang No. 37 Prp tahun 1960 tentang Pertimbangan dan Undang-undang No. 44
Prp tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
 Undang-undang No.32 tahun 1964 tentang Peraturan Lalu Lintas Devisa;

Dalam Undang-Undang ini diatur tentang Penanaman Modal Asing, yang antara lain memuat
mengenai :
 Bentuk Hukum, Kedudukan Dan Daerah Berusaha
 Bidang Usaha Modal Asing
 Tenaga Kerja
 Pemakaian Tanah
 Kelonggaran-Kelonggaran Perpajakan Dan Pungutan-Pungutan Lain
 Jangka Waktu Penanaman Modal Asing, Hak Transfer Dan Repatriasi
 Nasionalisasi Dan Kompensasi; Kerja Sama Modal Asing Dan Modal Nasional
 Dan Kewajiban-Kewajiban Lain Bagi Penanaman Modal Asing.

Dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah
ditentukan secara jelas tentang bentuk hukum perusahaan penanaman modal asing. Penanaman
modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas. Secara lengkap, bunyi Pasal 5 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman modal:
“penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia
dan berkedudukan di wilayah Negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-
undang.
Unsur yang melekat dalam ketentuan ini meliputi:
1. Bentuk hukum dari perusahaan penanaman modal asing adalah perseroan terbatas (PT);
2. Didasarkan pada hukum Indonesia;
3. Berkedudukan di wilayah Negara Republik Indonesia.
Penanaman modal asing di Indonesia dapat dilakukan oleh pihak asing/perorangan atau
badan hukum ke dalam suatu perusahaan yang seratus persen diusahakan oleh pihak asing atau
dengan menggabungkan modal asing itu dengan modal nasional.

Penyelesaian Sengketa Penanam Modal yang Timbul Antara Pemerintah dengan Investor
Asing
Dalam  Pasal  32  ayat  (4)  Undang-Undang  Nomor  25  Tahun  2007  tentang Penanaman
Modal dikatakan bahwa:
“Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam
modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional
yang harus disepakati oleh para pihak.”
Dalam rangka penyelesaian sengketa oleh arbitrase telah ditetapkan bahwa hukum yang
berlaku dan yang menjadi dasar pemakaian oleh dewan wasit dalam menyelesaikan sengketa
tersebut adalah hukum yang dipilih oleh para pihak.
Republik Indonesia meratifikasi Konvensi ICSID dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1968 (Lembaran Negara No. 32 Tahun 1968) yakni undang-undang persetujuan atas konvensi
tentang penyelesaian perselisihan antara negara dan warga negara asing mengenai penanaman
modal. Undang-undang ini singkat saja, hanya berisi 5 Pasal 125. Dengan telah diratifikasinya
konvensi tersebut, secara yuridis Indonesia terikat dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam konvensi tersebut, sehingga setiap penyelesaian perselisihan atau penyelesaian sengketa
penanaman modal asing akan dilakukan menurut tata cara dan prosedur yang diatur dalam
International Centre for the Settlement of Investment Dispute (ICSID).

PASAR MONOPOLI
Dalam Pasal 1 angka (2) UU Antimonopoli dijelaskan, bahwa praktek monopoli adalah
sebuah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan
dikuasainya produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu sehingga
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum
Pengertian Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU no.5 Tahun
1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku
usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa
tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan
umum.
UU No. 5 Tahun 1999 merupakan salah satu perangkat hukum untuk menunjang kegiatan
bisnis yang sehat dalam upaya menghadapi sistem ekonomi pasar bebas dengan bergulirnya era
globalisasi dunia dan demokrasi ekonomi yang diberlakukan di tanah air. Selain itu, undang-undang
ini juga mengatur tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha yang dapat merugikan
kegiatan ekonomi orang lain bahkan bagi bangsa dan negara ini dalam globalisasi ekonomi.
Keberadaan undang-undang anti monopoli ini menjadi tolok ukur sejauh mana pemerintah mampu
mengatur kegiatan bisnis yang sehat dan pengusaha mampu bersaing secara wajar dengan para
pesaingnya.

Dasar hukum Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah :
 Pasal 5 Ayat (1), Pasal 21 Ayat (1), Pasal 27 Ayat (2)
 Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan
untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung
mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha
adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.

Tujuan yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, adalah sebagai
berikut :
 Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah
satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
 Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat,
sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha
besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
 Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh
pelaku usaha.
 Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Sanksi dan pelanggaran :


 PASAL 36
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian,
penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan
sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli
 PASAL 48
1. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai
dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya
Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000
(seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam)
bulan.
2. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai
dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya
Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh
lima miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
3. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-
rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima
miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
 PASAL 49
Pencabutan izin usaha
Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-
undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan
selama-lamanya 5 (lima) tahun. Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan
timbulnva kerugian pada pihak lain. Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi
aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau
penyidikan dalam konteks pidana.

LINGKUNGAN
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan di Indonesia diatur oleh Undang-Undang No 32
tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bertujuan untuk melindungi
NKRI dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Mewujudkan pembangunan
berkelanjutan hingga antisipasi isu lingkungan global.
UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengakui
bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak yang harus diperoleh warga negara.
Sebagaimana Pasal 28H UUD NRI 1945.
Undang-Undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
mencabut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3699) dan dinyatakan tidak berlaku.

Dasar Hukum UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
adalah :
 Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1)
 Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi:


a. perencanaan;
b. pemanfaatan;
c. pengendalian;
d. pemeliharaan;
e. pengawasan; dan
f. penegakan hukum.

Perlindungan Hukum Dalam Mengelola Lingkungan


1. Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat
Bedasarkan Pasal 5 ayat (1) UULH-UULPH hak ini dimiliki setiap orang, yaitu orang
seorang, kelompok orang, atau badan hukum. Walaupun demikian, di samping mempunyai hak,
menurut pasal 5 ayat (2) UULH “setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan
mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemarannya”.
Penuangan hak perseorangan berupa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak
merupakan hak asasi pada tingkat Undang-Undang Dasar tetapi hanya hak biasa pada Tingkat
Undang-Undang.
2. Hak Untuk Berperan Serta dalam rangka Pengelolaan Lingkungan Hidup
Hak ini terdapat dalam Pasal 6 ayat (1) UULH, berdampingan dengan kewajiban setiap
orang untuk berperanserta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup, mencakup tahap
perencanaan maupun tahap tahap pelaksanaan dan penilaian. Hakekat sebenarnya dari hak
berperanserta adalah dalam prosedur pengambilan keputusan tata usaha negara, khususnya
tentang izin lingkungan.

Sanksi dan pelanggaran :


1. Sanksi Administratif
Pasal 76
1. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan
pelanggaran terhadap izin lingkungan.
2. Sanksi administratif terdiri atas:
a. teguran tertulis;
b. paksaan pemerintah;
c. pembekuan izin lingkungan; atau
d. pencabutan izin lingkungan.
Pasal 82
1. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang untuk memaksa penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya.
2. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang atau dapat menunjuk pihak ketiga
untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang dilakukannya atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan.

2. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan


Pasal 85
1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai
kesepakatan mengenai:
a. bentuk dan besarnya ganti rugi;
b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan;
c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau
perusakan; dan/atau
d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
2. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan
hidup sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
3. Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa
mediator dan/atau arbiter untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup
Pasal 86
1. Masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan
hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak.
2. Pemerintah dan pemerintah daerah dapat memfasilitasi pembentukan lembaga penyedia
jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan
hidup diatur dengan Peraturan Pemerintah.
3. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan
 Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan
Pasal 87
1. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar
hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan
kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau
melakukan tindakan tertentu.
2. Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk usaha,
dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak melepaskan
tanggung jawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.
3. Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari keterlambatan
atas pelaksanaan putusan pengadilan.
4. Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

 Hak Gugat Masyarakat


Pasal 91
1. Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya
sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
2. Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta
jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.
3. Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

 KETENTUAN PIDANA
Pasal 97
1. Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan.
Pasal 98
1. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya
baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)
dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
2. Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka
dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua
belas miliar rupiah).
3. Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat
atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

PERLINDUNGAN KONSUMEN
Perlindungan Konsumen diatur oleh Undang-Undang No 8 Tahun 2019. Berdasarkan
ketentuan UU Perlindungan Konsumen pasal 1 ayat 1 UU no 8 tahun 1999 definisi perlindungan
konsumen meliputi seluruh upaya untuk memastikan kepastian hukum demi memberikan
perlindungan kepada konsumen.

Dasar hukum UU 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah :


Pasal 5 Ayat (1), Pasal 21 Ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai :


a. Hak-hak dan kewajiban yang harus dipenuhi baik oleh konsumen maupun pelaku usaha.
b. Larangan-larangan tertentu yang ditetapkan bagi pelaku usaha.
c. Ketentuan mengenai pencantuman klausula baku dan tanggung jawab pelaku usaha.
d. Kewajiban pemerintah untuk melakukan pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan

Tanggung Jawab Pelaku Usaha


Contractual Liability ( Pertanggungjawaban kontrak)
Yaitu tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian atau kontrak dari pelaku usaha atas kerugian
yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang atau memanfaatkan jasa dari pelaku usaha.
 Sanksi :
1. Sanksi Perdata
a) perjanjian baku yang dibuatnya jika digugat di muka pengadilan oleh oleh konsumen akan
menyebabkan hakim harus memberi keputusan yang menyatakan perjanjian tersebut batal demi
hukum (pasal 18 ayat 3 UU Perlindungan Konsumen);
b) pelaku usaha yang pada saat ini telah mencantumkan klausula baku dalam dokumen atau
perjanjian baku yang digunakannya, wajib merevisi perjanjian baku tersebut agar sesuai dengan UU
Perlindungan Konsumen (pasal 18 ayat 4).
2. Sanksi Pidana
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp
2.000.000.000,00 (pasal 62 ayat 1 UU Perlindungan Konsumen) Selain berlaku ketentuan dari UU
Perlindungan Konsumen seperti diatas, karena perjanjian standar pada dasarnya adalah juga
perjanjian, maka ketentuan di dalam buku III KUH Perdata masih tetap berlaku bagi perjanjian
standar tersebut.
Product Liability
Yaitu pertanggungjawaban secara langsung dari pelaku usaha atas kerugian yang diderita
konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkannya. Ketentuan dalam UU Perlindungan
Konsumen yang mengatur tentang Product Liability adalah pasal 19.
Pasal 8 UU Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa, pelaku usaha dilarang memproduksi
dan/atau memperdagangkan barang yang;
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang disarankan dalam peraturan perundang-
undangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih dan jumlah dalam bilangan sebagaimana yang dinyatakan dalam
label atau etiket barang tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran
yang sebenarnya;
d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan
dalam label, etiket atau keterangan barang;
e. tidak sesuai dengan mutu, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode atau penggunaan tertentu
sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang;
f. tidak sesuai dengan janji dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan
barang;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang
paling baik atas barang tersebut;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang
dicantumkan dalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran,
berat/isi bersih, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat
pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus
dipasang/dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi secara dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
k. tidak disertai informasi secara lengkap dan benar bahwa barang tersebut rusak, cacat atau bekas
dan tercemar;
l. tidak disertai atau disertai dengan informasi secara lengkap dan benar bahwa persediaan barang
dan pangan tersebut rusak, cacat atau bekas atau tercemar.

Pasal 17 (1) UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa, Pelaku Usaha periklanan dilarang
memproduksi iklan yang :
a. mengelabuhi konsumen mengenai kualitas, kuantitas bahan, kegunaan dan harga barang
dan/atau tarif jasa, serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b. mengelabuhi jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c. memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
d. tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang dan/atau jasa;
e. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang seijin yang berwenang atau persetujuan yang
bersangkutan;
f. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.

Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap pelanggaran pasal 8 dan 17 UU Perlindungan
Konsumen adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp 2.000.000.000,00 selain itu apabila terjadi pelanggaran yang dapat berakibat luka
berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku yaitu
dengan KUHP.

Sanksi perdata bagi pelaku usaha yang memproduksi barang yang dapat menimbulkan kerusakan,
pencemaran dan/atau kerugian pada barang, jiwa dan barang milik konsumen dapat dituntut untuk
:
a. mengembalikan uang;
b. penggantian barang yang sejenis atau yang setara nilainya;
c. pemulihan kesehatan dan/atau;
d. pemberian santunan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Suply and promotions Liability (tanggung jawab dalam penawaran dan promosi)
Tanggung jawab dalam penawaran dan promosi tersebut antara lain diatur dalam pasal 9, 10, 12,
13, 14, 15, dan 16 UU Perlindungan Konsumen.

• Pasal 9 UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa, Pelaku Usaha dilarang menawarkan,


mempromosikan, mengiklankan suatu barang secara tidak benar.
• Pasal 10 UU Perlindungan Konsumen menyatakan Pelaku Usaha dalam menawarkan barang yang
ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau
membuat pernyataan yang tidak benar dan menyesatkan mengenai:
a. harga atau tarif suatu barang;
b. kegunaan suatu barang;
c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi suatu barang;
d.tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e. bahaya penggunaan barang;
• Pasal 11 UU Perlindungan Konsumen menyatakan : Pelaku usaha dalam hal penjualan yang
dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabuhi, menyesatkan konsumen

• Pasal 12 UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa : Pelaku usaha dilarang menawarkan,


mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dengan harga atau tarif khusus dalam waktu
dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai
dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan atau diiklankan.
• Pasal 13 (1) UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa : Pelaku usaha dilarang
menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat
kesehatan dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa
barang.
• Pasal 14 UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa : Pelaku usaha dalam menawarkan
barang yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian,
dilarang untuk :
a. tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang diperjanjikan;
b. mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa;
c. memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
d. mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
• Pasal 15 UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa Pelaku usaha dalam menawarkan
barang dilarang melakukan dengan cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun
psikis terhadap konsumen.
• Pasal 16 UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa Pelaku usaha dalam menawarkan
barang melalui pesanan dilarang untuk :
a. tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang
dijanjikan;
b. tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.

Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12, pasal 13 (1), pasal
14 dan pasal 15 UU Perlindungan Konsumen dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun
atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 .
Terhadap sanksi pidana tersebut dapat juga dijatuhi hukuman tambahan berupa :
a. perampasan barang;
b. pembayaran ganti rugi;
c. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya keinginan bagi konsumen;
d. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
e. pencabutan izin usaha.

HAK CIPTA DAN INTELEKTUAL


Hak cipta merupakan hak ekslusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengatur
penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Di Indonesia sendiri, masalah hak
cipta ini sudah diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta yaitu UU No 19 Tahun 2002. Dalam UU No
19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menyatakan bahwa hak cipta adalah hak yang mengatur karya
intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang dituangkan dalam bentuk yang khas
dan diberikan pada ide, prosedur, metode atau konsep yang telah dituangkan dalam wujud tetap.

Pada pasal 2 UU No 19 tahun 2002 juga menjelaskan mengenai fungsi dan sifat hak cipta.
Bunyi dari pasal tersebut yaitu:
1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan
dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pencipta dan/atau pemegang Hak Cipta atau karya sinemtografi dan program Komputer
memiliki hak untuk memberikan Izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya
menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.

Sifat-sifat hak cipta diatur dalam pasal 3 ayat (1) dan (2) No. 19 Tahun 2002, yaitu:
1. Hak cipta dianggap sebagai benda bergerak.
2. Hak cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian karena beberapa hal,
seperti  pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tulis, dan sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh
peraturan perundang-undangan.

Serta pasal 4 ayat (1) dan (2) UU yang sama, yaitu:


1. Hak cipta yang dimiliki oleh Pencipta, yang setelah Penciptanya meninggal dunia, menjadi milik
ahli warisnya atau milik penerima wasiat, dan Hak Cipta tersebut tidak dapat disita, kecuali jika hak
itu diperoleh secara melawan hukum.
2. Hak cipta yang tidak atau belum diumumkan yang setelah Penciptanya meninggal dunia, menjadi
milik ahli warisnya atau milik penerima wasiat, dan Hak Cipta tersebut tidak dapat disita, kecuali
jika hak itu diperoleh secara melawan hukum.

Sanksi pidana terhadap pelanggaran hak cipta sebagaimana tercantum dalam UU Hak Cipta,
yaitu:
1. Dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan : Ancaman
hukuman pidana penjara paling lama 7 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000
2. Dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,mendengarkan atau menjual kepada umum ciptaan
hasil pelanggaran hak cipta : Ancaman penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 50.000.000
3. Melanggar ketentuan pasal 16 : Ancaman pidana penjara paling lama 3 tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 25.000.000
4. Melanggar ketentuan pasal 18 : Ancaman pidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 15.000.000

Dasar hukum hak cipta saat ini telah meratifikasi konvensi internasional dibidang hak cipta
yaitu namanya Berne Convension tanggal 7 Mei 1997 dengan Kepres No. 18/ 1997 dan
dinotifikasikan ke WIPO tanggal 5 Juni 1997, dengan konsekuensi Indonesia harus melindungi dari
seluruh negara atau anggota Berne Convention.
Perlindungan hak cipta diatur dalam Undang-undang No 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta,
kemudian diubah menjadi UU No 7 tahun 1987, dan diubah lagi menjadi UU No 12 1987 beserta
peraturan pelaksanaannya.

Selain UU tersebut di atas, terdapat dasar hukum lain atas hak cipta, antara lain:
1. Undang-undang Nomor 7/1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade
Organization (WTO)
2. Undang-undang No. 10/1995 tentang Kepabeanan
3. Undang-undang No. 12/1997 tentang Hak Cipta
4. Undang-undang No. 14/1997 tentang Merek
5. Keputusan Presiden RI No. 15/1997 tentang Pengesahan Paris Convention for the Protection of
Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual Property Organization
6. Keputusan Presiden RI No. 17/1997 tentang Pengesahan Trademark Law Treaty
7. Keputusan Presiden RI No. 18/1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the Protection of
Literary and Artistic Works
8. Keputusan Presiden RI No. 19/1997 tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty

Anda mungkin juga menyukai