Dasar hukum Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing
adalah :
Pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1) pasal 27 ayat (2) dan pasal 33 Undang-undang Dasar
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia No.
XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan
Pembangunan;
Nota I MPRS/1966 tentang Politik Luar Negeri berdasarkan Pancasila; Undang-undang No.
5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria
Undang-undang No. 37 Prp tahun 1960 tentang Pertimbangan dan Undang-undang No. 44
Prp tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
Undang-undang No.32 tahun 1964 tentang Peraturan Lalu Lintas Devisa;
Dalam Undang-Undang ini diatur tentang Penanaman Modal Asing, yang antara lain memuat
mengenai :
Bentuk Hukum, Kedudukan Dan Daerah Berusaha
Bidang Usaha Modal Asing
Tenaga Kerja
Pemakaian Tanah
Kelonggaran-Kelonggaran Perpajakan Dan Pungutan-Pungutan Lain
Jangka Waktu Penanaman Modal Asing, Hak Transfer Dan Repatriasi
Nasionalisasi Dan Kompensasi; Kerja Sama Modal Asing Dan Modal Nasional
Dan Kewajiban-Kewajiban Lain Bagi Penanaman Modal Asing.
Dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah
ditentukan secara jelas tentang bentuk hukum perusahaan penanaman modal asing. Penanaman
modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas. Secara lengkap, bunyi Pasal 5 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman modal:
“penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia
dan berkedudukan di wilayah Negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-
undang.
Unsur yang melekat dalam ketentuan ini meliputi:
1. Bentuk hukum dari perusahaan penanaman modal asing adalah perseroan terbatas (PT);
2. Didasarkan pada hukum Indonesia;
3. Berkedudukan di wilayah Negara Republik Indonesia.
Penanaman modal asing di Indonesia dapat dilakukan oleh pihak asing/perorangan atau
badan hukum ke dalam suatu perusahaan yang seratus persen diusahakan oleh pihak asing atau
dengan menggabungkan modal asing itu dengan modal nasional.
Penyelesaian Sengketa Penanam Modal yang Timbul Antara Pemerintah dengan Investor
Asing
Dalam Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal dikatakan bahwa:
“Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam
modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional
yang harus disepakati oleh para pihak.”
Dalam rangka penyelesaian sengketa oleh arbitrase telah ditetapkan bahwa hukum yang
berlaku dan yang menjadi dasar pemakaian oleh dewan wasit dalam menyelesaikan sengketa
tersebut adalah hukum yang dipilih oleh para pihak.
Republik Indonesia meratifikasi Konvensi ICSID dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1968 (Lembaran Negara No. 32 Tahun 1968) yakni undang-undang persetujuan atas konvensi
tentang penyelesaian perselisihan antara negara dan warga negara asing mengenai penanaman
modal. Undang-undang ini singkat saja, hanya berisi 5 Pasal 125. Dengan telah diratifikasinya
konvensi tersebut, secara yuridis Indonesia terikat dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam konvensi tersebut, sehingga setiap penyelesaian perselisihan atau penyelesaian sengketa
penanaman modal asing akan dilakukan menurut tata cara dan prosedur yang diatur dalam
International Centre for the Settlement of Investment Dispute (ICSID).
PASAR MONOPOLI
Dalam Pasal 1 angka (2) UU Antimonopoli dijelaskan, bahwa praktek monopoli adalah
sebuah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan
dikuasainya produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu sehingga
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum
Pengertian Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU no.5 Tahun
1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku
usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa
tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan
umum.
UU No. 5 Tahun 1999 merupakan salah satu perangkat hukum untuk menunjang kegiatan
bisnis yang sehat dalam upaya menghadapi sistem ekonomi pasar bebas dengan bergulirnya era
globalisasi dunia dan demokrasi ekonomi yang diberlakukan di tanah air. Selain itu, undang-undang
ini juga mengatur tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha yang dapat merugikan
kegiatan ekonomi orang lain bahkan bagi bangsa dan negara ini dalam globalisasi ekonomi.
Keberadaan undang-undang anti monopoli ini menjadi tolok ukur sejauh mana pemerintah mampu
mengatur kegiatan bisnis yang sehat dan pengusaha mampu bersaing secara wajar dengan para
pesaingnya.
Dasar hukum Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah :
Pasal 5 Ayat (1), Pasal 21 Ayat (1), Pasal 27 Ayat (2)
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan
untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung
mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha
adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
Tujuan yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, adalah sebagai
berikut :
Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah
satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat,
sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha
besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh
pelaku usaha.
Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
LINGKUNGAN
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan di Indonesia diatur oleh Undang-Undang No 32
tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bertujuan untuk melindungi
NKRI dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Mewujudkan pembangunan
berkelanjutan hingga antisipasi isu lingkungan global.
UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengakui
bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak yang harus diperoleh warga negara.
Sebagaimana Pasal 28H UUD NRI 1945.
Undang-Undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
mencabut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3699) dan dinyatakan tidak berlaku.
Dasar Hukum UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
adalah :
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1)
Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
KETENTUAN PIDANA
Pasal 97
1. Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan.
Pasal 98
1. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya
baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)
dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
2. Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka
dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua
belas miliar rupiah).
3. Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat
atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Perlindungan Konsumen diatur oleh Undang-Undang No 8 Tahun 2019. Berdasarkan
ketentuan UU Perlindungan Konsumen pasal 1 ayat 1 UU no 8 tahun 1999 definisi perlindungan
konsumen meliputi seluruh upaya untuk memastikan kepastian hukum demi memberikan
perlindungan kepada konsumen.
Pasal 17 (1) UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa, Pelaku Usaha periklanan dilarang
memproduksi iklan yang :
a. mengelabuhi konsumen mengenai kualitas, kuantitas bahan, kegunaan dan harga barang
dan/atau tarif jasa, serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b. mengelabuhi jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c. memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
d. tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang dan/atau jasa;
e. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang seijin yang berwenang atau persetujuan yang
bersangkutan;
f. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap pelanggaran pasal 8 dan 17 UU Perlindungan
Konsumen adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp 2.000.000.000,00 selain itu apabila terjadi pelanggaran yang dapat berakibat luka
berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku yaitu
dengan KUHP.
Sanksi perdata bagi pelaku usaha yang memproduksi barang yang dapat menimbulkan kerusakan,
pencemaran dan/atau kerugian pada barang, jiwa dan barang milik konsumen dapat dituntut untuk
:
a. mengembalikan uang;
b. penggantian barang yang sejenis atau yang setara nilainya;
c. pemulihan kesehatan dan/atau;
d. pemberian santunan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Suply and promotions Liability (tanggung jawab dalam penawaran dan promosi)
Tanggung jawab dalam penawaran dan promosi tersebut antara lain diatur dalam pasal 9, 10, 12,
13, 14, 15, dan 16 UU Perlindungan Konsumen.
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12, pasal 13 (1), pasal
14 dan pasal 15 UU Perlindungan Konsumen dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun
atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 .
Terhadap sanksi pidana tersebut dapat juga dijatuhi hukuman tambahan berupa :
a. perampasan barang;
b. pembayaran ganti rugi;
c. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya keinginan bagi konsumen;
d. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
e. pencabutan izin usaha.
Pada pasal 2 UU No 19 tahun 2002 juga menjelaskan mengenai fungsi dan sifat hak cipta.
Bunyi dari pasal tersebut yaitu:
1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan
dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pencipta dan/atau pemegang Hak Cipta atau karya sinemtografi dan program Komputer
memiliki hak untuk memberikan Izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya
menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.
Sifat-sifat hak cipta diatur dalam pasal 3 ayat (1) dan (2) No. 19 Tahun 2002, yaitu:
1. Hak cipta dianggap sebagai benda bergerak.
2. Hak cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian karena beberapa hal,
seperti pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tulis, dan sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh
peraturan perundang-undangan.
Sanksi pidana terhadap pelanggaran hak cipta sebagaimana tercantum dalam UU Hak Cipta,
yaitu:
1. Dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan : Ancaman
hukuman pidana penjara paling lama 7 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000
2. Dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,mendengarkan atau menjual kepada umum ciptaan
hasil pelanggaran hak cipta : Ancaman penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 50.000.000
3. Melanggar ketentuan pasal 16 : Ancaman pidana penjara paling lama 3 tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 25.000.000
4. Melanggar ketentuan pasal 18 : Ancaman pidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 15.000.000
Dasar hukum hak cipta saat ini telah meratifikasi konvensi internasional dibidang hak cipta
yaitu namanya Berne Convension tanggal 7 Mei 1997 dengan Kepres No. 18/ 1997 dan
dinotifikasikan ke WIPO tanggal 5 Juni 1997, dengan konsekuensi Indonesia harus melindungi dari
seluruh negara atau anggota Berne Convention.
Perlindungan hak cipta diatur dalam Undang-undang No 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta,
kemudian diubah menjadi UU No 7 tahun 1987, dan diubah lagi menjadi UU No 12 1987 beserta
peraturan pelaksanaannya.
Selain UU tersebut di atas, terdapat dasar hukum lain atas hak cipta, antara lain:
1. Undang-undang Nomor 7/1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade
Organization (WTO)
2. Undang-undang No. 10/1995 tentang Kepabeanan
3. Undang-undang No. 12/1997 tentang Hak Cipta
4. Undang-undang No. 14/1997 tentang Merek
5. Keputusan Presiden RI No. 15/1997 tentang Pengesahan Paris Convention for the Protection of
Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual Property Organization
6. Keputusan Presiden RI No. 17/1997 tentang Pengesahan Trademark Law Treaty
7. Keputusan Presiden RI No. 18/1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the Protection of
Literary and Artistic Works
8. Keputusan Presiden RI No. 19/1997 tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty