Anda di halaman 1dari 26

TINDAK PIDANA EKONOMI DALAM UNDANG-UNDANG

DARURAT NO. 7 TAHUN 1955 TENTANG PENGUSUTAN,


PENUNTUTAN DAN PERADILAN TINDAK PIDANA EKONOMI
(UU TPE)

Nefa Claudia Meliala


• Materi ini diberikan khusus untuk peserta mata kuliah Tindak
Pidana di Bidang Ekonomi (LAW183116-2) Kelas B Semester
Ganjil 2019/2020. Mohon untuk tidak menyebarluaskan dan/
atau memperbanyak bahan kuliah ini.
Sejarah Munculnya UU TPE
• Antisipasi hukum terhadap perkembangan kejahatan ekonomi
dimulai dengan menerbitkan berbagai peraturan perundang-
undangan hukum pidana yang tersebar sektoral dan fragmentaris

• Luasnya ruang lingkup kejahatan ekonomi menuntut dikeluarkannya


berbagai perundang-undangan pidana dengan sanksi pidana

• Dalam perkembangannya, pada tahun 1950, untuk alasan kesatuan


hukum dan alasan praktis dalam penegakan hukum di Belanda,
seluruh perundang-undangan ekonomi yang memiliki sanksi pidana
disatukan dalam satu sistem hukum pidana ekonomi dalam Wet op
de Economische Delicten (WED 1950) ; Undang-Undang Tentang
Delik Ekonomi  ketentuan umum hukum pidana khusus
• Pada tahun 1955, kebijakan legislatif Belanda tersebut ternyata diikuti
pemerintah Indonesia dengan menterjemahkan dan memberlakukan WED
1950 melalui Undang Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 Tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (UU TPE)

• Sejak saat itu Indonesia memiliki sistem hukum pidana ekonomi

• Dalam perkembangannya, ternyata kebijakan untuk menjaga kesatuan hukum


pidana ekonomi di Indonesia tersebut hanya diikuti sampai tahun 1962

• Setelah itu berlaku kebijakan legislatif yang mengatur sistem hukum pidana
ekonomi secara fragmentaris

• Setiap perundang-undangan ekonomi yang mengatur sanksi pidana


membentuk sistem pidananya sendiri
• UU TPE diberlakukan sejak tanggal 19 Mei 1955
• Substansinya merupakan himpunan dari berbagai aturan yang
berkenaan dengan tindak pidana atau pelanggaran di bidang
ekonomi
• Dengan undang-undang darurat ini, pembuat undang-undang
telah berusaha menghimpun aturan-aturan yang telah ada
sebelumnya dan menambah aturan-aturan sendiri secara
umum dan menunjuk rupa tindak pidana ekonomi (delik
ekonomi)
• Terdapat 3 (tiga) golongan atau kriteria yang disebut sebagai
Tindak Pidana Ekonomi
GOLONGAN TINDAK PIDANA DALAM
UU TPE
1. Golongan Tindak Pidana yang termasuk dalam rumusan Pasal 1 Sub 1 e 
berisikan beberapa ordonnantie, wet dan undang-undang (termasuk Perpu) yang
menjadi sumber Hukum Pidana Ekonomi  jumlah undang-undang tersebut
terus berubah, ditambah dan dicabut sesuai dengan perkembangan hukum
pidana ekonomi  kejahatan (ada unsur sengaja), pelanggaran (tidak ada unsur
sengaja)

2. Golongan Tindak Pidana yang termasuk dalam rumusan Pasal 1 Sub 2e 


undang-undang darurat itu sendiri yang menentukan delik ekonomi yang terdiri
dari 3 (tiga) pasal dalam undang-undang darurat tersebut, yaitu Pasal 26, Pasal
32 dan Pasal 33  kejahatan

3. Golongan Tindak Pidana yang termasuk dalam rumusan Pasal 1 Sub 3 e 


pemberian lowongan kepada kaidah-kaidah yang akan datang (dalam undang-
undang ataukah Perpu), dimana ditentukan bahwa pelanggaran atas undang-
undang atau Perpu itu merupakan delik ekonomi  kejahatan (ada unsur
sengaja), pelanggaran (tidak ada unsur sengaja)
Pasal 1 Sub 1 e
• Ordonnantie dan undang-undang yang tersebut dalam Pasal 1 sub 1 e UU TPPE itu
telah banyak sekali yang dicabut dan diganti

• Aturan yang telah dicabut adalah :


1. Crisis uitover Ordennantie 1939
2. Undang-Undang Krisis Ekspor 1933
3. Ordonanntie Gecontroleerde Goederen 1948  Ordonansi Barang-Barang Dalam
Pengawasan
4. Rijs ordonnantie 1948  Ordonansi Penyimpanan Beras
5. Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1952 tentang Kewajiban Penggilingan Padi
dan Perdagangan Bahan Makanan
6. Undang-Undang Darurat No. 17 Tahun 1951 Tentang Penimbunan Barang
7. Prijsbeheersing Ordonnantie 1948 Stbld 1948-295  Ordonansi Pengendalian
Harga
8. Devizen Ordonnantie dan Devizen Verordening 1940  Peraturan Lalu Lintas
Devisa
• Yang tinggal sebagai peraturan yang tercakup dalam pasal 1 sub 1 e UU TPPE
adalah :
1. Rechten Ordonanntie Stbld 1882-240 sebagaimana kemudian diubah dan
ditambah  Ordonansi Bea
2. Indische Scheepvaartwet Stbld 1936-700 dan Scheepvartverordening Stbld 1936-
703 sebagaimana kemudian diubah dan ditambah  Undang-Undang Pelayaran
3. Bedrijfsreglementeerings Ordonanntie Stbld 1934-86  Ordonansi Pengaturan
Perusahaan
4. Kapokbelangen Ordonanntie Stbld 1935-165  Ordonansi Ekspor Kapuk
5. Ordonanntie Aetherische Oliem Stbld 1937-601  Ordonansi Minyak Eteris
6. Ordonanntie Cassave Producten Stbld 1937-602  Ordonansi Produksi Ketela
7. Krosok Ordonanntie Stbld 1937-604 diubah dengan Undang-Undang Darurat No.
12 Tahun 1954  Ordonansi Tembakau
8. Undang-Undang No. 17 Tahun 1964 Tentang Larangan Penarikan Cek Kosong
• Pada 1 Januari 1959, TPE kategori Pasal 1 sub 1 e ini ditambah
berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1958 Tentang
Penambahan UU TPE
• Pada 2 Februari 1960, TPE kategori ini berdasarkan Undang-Undang
No. 1/Prp/1960 ditambah dalam berbagai ordonansi dan undang-
undang
• Berdasarkan Perpu No. 8 Tahun 1962 Tentang Perdagangan Barang-
Barang Dalam Pengawasan dan Perpu No. 9 Tahun 1962 Tentang
Pengendalian Harga, Undang-Undang No. 12 Tahun 1971 jo. Perpu
No. 1 Tahun 1971 Tentang Pencabutan Undang-Undang No. 17
Tahun 1964 Tentang Larangan Penarikan Cek Kosong dan Undang-
Undang No. 24 Tahun 1999 Tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem
Nilai Tukar beberapa ordonansi dicabut
Pasal 1 Sub 2e
• Pasal 26 “Dengan sengaja tidak memenuhi tuntutan Pegawai Pengusut
berdasarkan suatu aturan dari Undang-Undang Darurat ini adalah Tindak
Pidana Ekonomi”
• Tuntutan pegawai pengusut :
1. mensita atau menuntut penyerahan barang yang dapat dipergunakan
untuk mendapat keterangan, termasuk merampas dan memusnahkan
(Pasal 18),
2. menuntut diperlihatkannya surat yang dipandang perlu untuk diketahui
(Pasal 19),
3. memasuki setiap tempat yang menurut pendapatnya perlu dimasuki
untuk menjalankan tugas (Pasal 20),
4. mengambil contoh barang (Pasal 21),
5. menuntut supaya bungkusan barang dibuka jika hal itu dipandang perlu
untuk memeriksa barang-barang (Pasal 22)
6. menuntut pengemudi kendaraan memberhentikan kendaraannya (Pasal
23)
• Pasal 32 “Barangsiapa sengaja berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang
⁻ bertentangan dengan suatu Hukum tambahan sebagaimana
tercantum dalam Pasal 7 ayat 1 Sub a, b atau e ;
⁻ dengan suatu tindakan tata tertib seperti tercantum dalam
Pasal 8 ;
⁻ dengan suatu pengaturan seperti termaksud dalam pasal 10,
atau
⁻ dengan suatu tindakan tata tertib sementara
⁻ atau menghindari hukuman tambahan, tindakan tata tertib
sementara seperti tersebut di atas, maka ia melaksanakan
suatu Tindak Pidana Ekonomi.”
1. Hukuman Tambahan  Pasal 7 ayat 1 sub a, b dan c :
a. Pencabutan hak-hak dalam pasal 35 KUHP
b. Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan
c. Pencabutan seluruh atau sebagian hak tertentu atau penghapusan
seluruh atau sebagian keuntungan tertentu

2. Tindakan Tata Tertib  Pasal 8 :


a. Penempatan perusahaan dibawah pengampuan
b. Mewajibkan membayar uang jaminan
c. Mewajibkan membayar sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan
d. Mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa
yang dilakukan tanpa hak dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki
akibat
3. Pasal 10 :
a. Tindakan tata tertib Pasal 8
b. Hukuman tambahan Pasal 7 dapat ditambah dengan :
– Menyerahkan segala surat-surat yang diberikan kepadanya oleh
Pemerintah untuk keperluan perusahaannya
– Menjual barang-barang persediaan yang ada didalam perusahannya
dibawah pengawasan
– Memberikan bantuan dalam mencatat barang-barang persediaan

4. Tindakan Tata Tertib Sementara  Pasal 27 :


a. Penutupan sebagian atau seluruh perusahaan tersangka
b. Penempatan tersangka dibawah pengampuan
c. Pencabutan seluruh atau sebagian hak tertentu atau penghapusan
seluruh atau sebagian keuntungan tertentu
• Pasal 33 “Barangsiapa sengaja baik sendiri maupun dengan
perantaraan orang lain, menarik bagian-bagian kekayaan
untuk dihindarkan dari tagihan-tagihan atau pelaksanaan
suatu hukuman, tindakan tata-tertib atau tindakan tata tertib
sementara, yang dijatuhkan berdasarkan Undang Undang
Darurat ini maka ia melakukan Tindak Pidana Ekonomi.”
• Sanksi dalam UU TPE :
1. Hukum Tambahan  Pasal 7
2. Tindakan Tata Tertib  Pasal 8
3. Tindakan Tata Tertib Sementara  Pasal 27
Pasal 1 Sub 3e UUTPE
“Pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau berdasar undang-undang lain,
sekedar undang-undang itu menyebut pelanggaran itu sebagai tindak pidana
ekonomi”

• Melalui ketentuan pasal ini, UU TPE sebenarnya memberikan kesempatan


yang sangat luas untuk diintegrasikannya seluruh TPE kedalamnya
• Pola WED 1950 dapat pula dilakukan di Indonesia karena UU TPE sampai
saat ini masih berlaku
• Secara teknis perundang-undangan, pengintegrasian kedalam UU TPE juga
menghindari pengaturan yang beragam dan saling bertentangan antar
perundangan ekonomi
• Dengan memanfaatkan pasal ini, pembentuk undang-undang tidak perlu
merumuskan sarana-sarana hukum pidana khusus dalam setiap
penyusunan perundang-undangan di bidang ekonomi
• Sanksi pelanggaran pasal 1 sub 1 e, 2 e dan 3 e  Pasal 6 UU TPE
Perubahan serta Penambahan UU TPPE
• Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 Tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi
• Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 21 Tahun 1959
Tentang Memperberat Ancaman Hukuman Terhadap Tindak Pidana
Ekonomi
• Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1958 Tentang Penambahan UU TPE
• Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 8 Tahun 1962
Tentang Perdagangan Barang-Barang Dalam Pengawasan
• Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 9 Tahun 1962
Tentang Pengendalian Harga
• Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1962 Tentang Pengendalian Harga
• Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1962 Tentang Perdagangan Barang-
Barang Dalam Pengawasan
• Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1964 Tentang Peraturan Harga
• Undang-Undang No. 32 Tahun 1964 Tentang Peraturan Lalu Lintas
Devisa
• Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1965 Tentang Tindak Pidana Devisa
Tertentu
• Penetapan Presiden No. 30 Tahun 1966 Tentang Perubahan Pasal 7
Undang-Undang No. 32 Tahun 1964 Tentang Peraturan Lalu Lintas
Devisa
• Undang-Undang No. 17 Tahun 1964 Tentang Larangan Penarikan Cek
Kosong
• Undang-Undang No. 1 Tahun 1971 Tentang Pencabutan Undang-
Undang No. 17 Tahun 1964 Tentang Larangan Penarikan Cek Kosong
• Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 Tentang Lalu Lintas Devisa dan
Sistem Nilai Tukar
BEBERAPA PENYIMPANGAN DALAM
UU TPE
• Sebagai suatu lex specialis, delik ekonomi banyak
menyimpang dari ketentuan umum hukum pidana seperti :
1. Badan hukum (korporasi) sebagai subjek
2. Adanya kumulasi dua pidana pokok
3. Jenis dan jumlah pidana tambahan lebih banyak dari KUHP
4. Dikenal adanya tindakan tata tertib sementara
5. Mengenal adanya lembaga schikking (Pasal 29 Rechten
Ordonanntie yang sekarang menjadi UU Kepabenan)
6. Mengenal adanya peradilan in absentia
7. Delik percobaan disamakan dengan dengan delik selesai
8. Percobaan dan membantu melakukan pelanggaran dapat
dipidana
JENIS PIDANA DALAM UU TPE
1. Pidana Pokok  Pasal 10 KUHP :
a. Pidana mati (tidak ada dalam UU TPE)
b. Pidana penjara
⁻ seumur hidup
⁻ sementara
a. Pidana kurungan
b. Pidana denda
 dapat dijatuhkan secara kumulatif
2. Hukuman Tambahan  Pasal 7 ayat 1 sub a, b dan c :
a. Pencabutan hak-hak dalam pasal 35 KUHP
b. Perampasan barang-barang
c. Pencabutan seluruh atau sebagian hak tertentu atau penghapusan seluruh atau
sebagian keuntungan tertentu
d. Pengumuman keputusan hakim

3. Tindakan Tata Tertib  Pasal 8 :


a. Penempatan perusahaan dibawah pengampuan
b. Mewajibkan membayar uang jaminan
c. Mewajibkan membayar sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan
d. Mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang
dilakukan tanpa hak dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat
 Penjatahuan pidana pokok, hukuman tambahan dan tindakan tata tertib dapat
dikumulasikan
TINDAKAN TATA TERTIB SEMENTARA
• Tindakan sementara dalam rangka pengusutan delik ekonomi
oleh jaksa (sanksi pendahuluan) :
1. Penutupan sebagian atau seluruh perusahaan tersangka
dimana TPE itu disangka telah dilakukan
2. Penempatan perusahaan Tersangka dibawah pengampuan
3. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau
pencabutan seluruh atau sebagian keuntungan yang telah
atau dapat diberikan pemerintah kepada Tersangka
berhubung dengan perusahaan itu
PENYELESAIAN DILUAR ACARA
(SCHIKKING)
• Penyelesaian perkara tanpa memajukannya kemuka
persidangan pengadilan dengan pembayaran denda damai
yang disepakati antara Kejaksaan Agung dengan Tersangka

• Denda damai  pembayaran sejumlah uang kepada negara


sebagai pengganti kerugian yang timbul akibat perbuatan
Tersangka  dasar : asas oportunitas yang ada ditangan Jaksa
Agung yang dapat dilimpahkan ke Kepala Kejaksaan Tinggi
atau Kepala Kejaksaan Negeri  diatur dalam UU Kejaksaan ;
tidak diatur dalam UU TPE ; diatur dalam WED 1950
PERADILAN IN ABSENTIA
• Judgment by default, where the defendant does not appear

• Dasar hukum : Pasal 16 UU TPE 


1. Orang yang telah meninggal dunia dapat dijatuhi pidana
berupa :
a. Perampasan barang-barang yang telah disita
b. Tindakan tata tertib terhadap harta
2. Orang yang tidak diketahui keberadaannya ; orang yang
melarikan diri
PERCOBAAN DAN PEMBANTUAN
• Percobaan dalam KUHP :
1. Percobaan melakukan kejahatan dipidana  Pasal 53 ayat 1
KUHP
2. Percobaan melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana 
Pasal 54 KUHP
3. Sanksi pidana dikurangi 1/3 dari ancaman pidana pokok 
Pasal 53 ayat 2 KUHP

• Percobaan dalam UU TPE  Pasal 4 UU TPE


1. Percobaan melakukan pelanggaran dapat dipidana
2. Pidana percobaan disamakan dengan ancaman pidana pokok
• Pembantuan dalam KUHP :
1. Sanksi pidana dikurangi 1/3 dari ancaman pidana pokok 
Pasal 57 KUHP
2. Membantu melakukan pelanggaran tidak dipidana  Pasal
60 KUHP

• Pembantuan dalam UU TPE  Pasal 4 UU TPE


1. Pidana disamakan dengan ancaman pidana pokok
2. Membantu melakukan pelanggaran dapat dipidana
Referensi
• Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 Tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana
Ekonomi
• Andi Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi, Erlangga, Jakarta, 1973

Anda mungkin juga menyukai