Disusun oleh
KUMPULAN P E N Y E L E SA I A N K A S US DISPUTE K L A I M i
D E NGAN PEN D E K ATA N AU D I T M E D I S K E N DA L I MU T U D A N K E N D A L I B IAYA
TIM PENYUSUN
EDITOR
Berdasarkan laporan dari Kantor Kedeputian Wilayah Tahun 2019, TKMKB telah menyelesaikan
atau memberikan rekomendasi kasus pelayanan kesehatan sebanyak 861 kasus dan terdapat
juga pembahasan 137 kasus oleh DPM. Selanjutnya rekomendasi kasus TKMKB tersebut telah
dilakukan validasi kembali oleh Tim Ahli sehingga kemudian dipilih 50 kasus prioritas.
Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan bahwa BPJS Kesehatan mengapresiasi kinerja
dan upaya TKMKB atas berbagai kontribusi dalam hal kendali mutu dan kendali biaya Program
JKN, khususnya dalam penyusunan Buku Kumpulan Penyelesaian Kasus Dispute Klaim Dengan
Pendekatan Audit Medis Kendali Mutu dan Kendali Biaya Edisi Tahun 2020. Kami berharap,
buku ini dapat menjadi acuan atau menjadi rekomendasi bagi kasus-kasus yang serupa.
Direktur Utama
BPJS Kesehatan
D o k u m e n i n i t e l a h d i t a n d a t a n g a n i s e ca r a
e l e k t ro n i k m e n g g u n a k a n s e r t i f i k a t
e l e k t ro n i k y a n g d i t e r b i t k a n o l e h B S r E
TKMKB memiliki tiga tugas utama. Pertama, mengevaluasi kebijakan kewenangan tenaga
kesehatan dalam menjalankan praktik profesi sesuai kompetensi. Kedua, melakukan dan/
atau membahas hasil audit medis. Ketiga, melakukan dan/atau membahas review utilization (UR)
pada fasilitas kesehatan. Dalam praktiknya, TKMKB memberikan rekomendasi apabila terjadi
perbedaan pemahaman antara BPJS Kesehatan dengan FKTP dan FKRTL, membahas usulan
perbaikan kebijakan, serta menyusun rekomendasi pelayanan kesehatan bagi peserta JKN.
Buku ini merangkum berbagai proses permasalahan (dispute) klaim yang dihadapi oleh TKMKB
Tingkat Pusat, Provinsi, dan Cabang, bersama dengan BPJS Kesehatan dan rumah sakit dari tahun
2019. Rekomendasi TKMKB yang tertuang dalam buku dapat dijadikan referensi bagi pemberi
layanan kesehatan untuk mencegah kasus dispute yang sama terjadi. Akhir kata, TKMKB berharap
agar buku ini dapat menjadi salah satu upaya penguatan mutu pelayanan bagi pemberi layanan
kesehatan dan dapat menjadi dasar pembuatan pedoman atau kebijakan oleh berbagai pihak,
seperti Organisasi Profesi, BPJS Kesehatan, Dinas Kesehatan, dan Kementerian Kesehatan.
KUMPULAN P E N Y E L E SA I A N K A S US DISPUTE K L A I M v
D E NGAN PEN D E K ATA N AU D I T M E D I S K E N DA L I MU T U D A N K E N D A L I B IAYA
■
HARAPAN KENDALI MUTU DAN
KENDALI BIAYA DI ERA DISRUPSI
Oleh: Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan
Dalam era disrupsi ini, kita harus mampu merespon efek shifting yang ditimbulkan dengan
baik. Begitu pula BPJS Kesehatan telah menciptakan ekosistem digital yang mampu membentuk
interkoneksi dan membuat proses bisnis berjalan dengan lebih mudah dan memperkuat
hubungan lembaga dalam berinteraksi dengan para pemangku kepentingan.
Sebagaimana Dr. Thobias Ganter yang mengemukakan healthcare is about a patient, not the doctors,
maka kita perlu lebih fokus dalam memberikan pelayanan kepada peserta JKN. Salah satu efek
shifting adalah rujukan online yang memangkas waktu tunggu/antrian dalam mengakses pelayanan
kesehatan. Di samping itu, ada banyak pasien yang tidak menjalani pengobatan hingga tuntas
padahal telah difasilitasi oleh negara secara gratis untuk menjalani sebuah pengobatan. Bahkan
ketika penyakitnya semakin parah sehingga membutuhkan biaya yang jauh lebih besarpun,
negara masih hadir dan menanggung biaya pengobatannya. Inefisiensi akibat ketidakpatuhan
(medication non-adherence) seperti ini harus dicegah, misalnya dengan teknologi telemedicine.
Impian memiliki hubungan personal antara pasien dengan dokter misalnya lewat chatting dengan
dokter keluarga atau dokter FKTP telah terwujud melalui aplikasi mobile JKN hanya
di genggaman tangan (handphone). Fenomena disrupsi lainnya adalah artificial
intelligence yaitu teknologi yang mampu merekam perilaku pasien yang
bergantung pada dokter menjadi mandiri. Contoh-contoh efek shifting ini
membuang waktu tunggu yang tidak perlu, mempercepat pasien dalam
mengakses pelayanan kesehatan secara self-care, sehingga berdampak
efisiensi dalam proses pelayanan kesehatan.
Tim Penyusun................................................................................................................................................. ii
Daftar Isi.......................................................................................................................................................... 1
BAB I Pendahuluan....................................................................................................................................... 2
BAB V Penutup............................................................................................................................................... 55
Lampiran........................................................................................................................................................ 58
KUMPULAN P E N Y E L E SA I A N K A S US DISPUTE K L A I M 1
D E NGAN PEN D E K ATA N AU D I T M E D I S K E N DA L I MU T U D A N K E N D A L I B IAYA
■
BAB I
PENDAHULUAN
Secara internasional, jaminan kesehatan diakui sebagai Hak Asasi Manusia dalam Deklarasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1948 Pasal 25 Ayat (1). Di Indonesia, jaminan kesehatan
dicanangkan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN-KIS) sejak tahun 2014. Pada akhir
tahun kelima pelaksanaannya (2019), sebanyak 223 juta jiwa atau 84.2% penduduk Indonesia
telah tercakup atau menjadi peserta JKN-KIS. Hal ini menjadikan JKN-KIS sebagai salah satu
program jaminan kesehatan terbesar di dunia. BPJS Kesehatan, organisasi pengelola JKN-KIS,
telah bekerja sama dengan lebih dari 23.000 Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan
2.400 Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL). Dengan rerata tingkat utilitas atau
pemanfaatan layanan yang mencapai 756 ribu per hari, maka selayaknya mutu atau kualitas
pelayanan dan keselamatan pasien menjadi perhatian penting bagi penyelenggaraan program JKN.
Hal ini sesuai dengan Pasal 87 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2018 dan
Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 8, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013, dan
Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 8 Tahun 2016.
Pada praktik kendali mutu dan kendali biaya, dibentuk organisasi bernama Tim Kendali Mutu
dan Kendali Biaya (TKMKB) yang terdiri atas unsur organisasi profesi (IDI, PDGI, IBI, IAI, IAKMI,
PPNI), akademisi, dan pakar klinis (PDUI, PERSI) di tingkat Pusat, Provinsi, maupun Kabupaten/
Kota. Ruang lingkup pekerjaan TKMKB meliputi utilization review, audit medis pada FKTP dan
FKRTL, analisis sistem rujukan, analisis sistem pembiayaan kesehatan, dan analisis manajemen
pelayanan. Sebagai perwalian organisasi profesi terkait aspek kebijakan JKN, TKMKB bersifat
independen dalam memberikan rekomendasi kepada BPJS Kesehatan. TKMKB juga memiliki
peran esensial dalam penataan UKP dan UKM di tingkat komunitas.
Buku ini merangkum berbagai aktivitas dan rekomendasi TKMKB sepanjang tahun 2019 dalam
upaya peningkatan kualitas kesehatan bagi JKN-KIS pada proses penyelesaian masalah dispute
klaim antara BPJS Kesehatan dengan fasilitas kesehatan dengan pendekatan audit medik.
TKMKB Tingkat
TKMKB Tingkat Provinsi TKMKB Tingkat Pusat
Kabupaten/Kota
Kegiatan dan BPJS Kesehatan dan BPJS Kesehatan
dan BPJS Kesehatan
Tingkat Wilayah Tingkat Pusat
Tingkat Cabang
Rekomendasi terhadap Rekomendasi medis dan Validasi kasus dan Rekapitulasi hasil
Diskusi Konflik/Dispute mutu klinis atas konsultasi melengkapi teori dibantu rekomendasi daerah
Kasus Medis yang diajukan oleh Tim Penunjang Teknis
Penerbitan FGD penyusunan
rekomendasi
Metode Pengumpulan
Kualitatif: wawancara pakar (anggota TKMKB Tingkat Pusat), FGD, telaah dokumen
Data
Batasan pembahasan buku ini adalah hanya pada salah satu tanggung jawab TKMKB yang
berkenaan dengan penyelesaian kasus dispute dengan kerangka berpikir audit medis.
KUMPULAN P E N Y E L E SA I A N K A S US DISPUTE K L A I M 3
D E NGAN PEN D E K ATA N AU D I T M E D I S K E N DA L I MU T U D A N K E N D A L I B IAYA
■
BAB II
PANDUAN PENYELESAIAN DISPUTE KLAIM
Dispute atau perselisihan klaim adalah ketidaksepakatan antara BPJS Kesehatan (penjamin)
atas klaim yang diajukan oleh fasilitas kesehatan sebagai pemberi layanan. Perbedaan ini
menyebabkan terjadinya permasalahan atau penundaan dalam pembayaran klaim INA-CBG.
Dispute dapat disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya:
a. Permasalahan koding, seperti: penambahan kode kandidiasis pada kasus HIV atau
penambahan kode hiperglikemia pada kasus diabetes melitus.
b. Permasalahan klinis, yang dapat berupa penambahan diagnosis sekunder sehingga
meningkatkan derajat keparahan (severity level) diagnosis utama, seperti: penambahan kode
diagnosis hemiparese pada kasus stroke.
c. Permasalahan administrasi, seperti: pasien dirawat IGD atau boarding namun ditagihkan
sesuai kelas rawat.
d. Permasalahan klinis dalam mekanisme klaim, seperti pemberian rehabilitasi atau edukasi.
BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan telah megeluarkan regulasi untuk menjamin adanya
kendali mutu dan kedali biaya dalam permasalahan dispute. Organisasi profesi juga turut
dilibatkan sebagai pakar yang memahami standar pengelolaan klinis suatu penyakit. Beberapa
aturan atau kesepakatan yang telah dikeluarkan, di antaranya:
a. Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Nomor HK 03.03/X/1185/2015
b. Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor HK.03.03/MENKES/63/2016
c. Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor HK.03.03/MENKES/518/2016
Pada tingkat regulator, dispute klaim menjadi tanggung jawab dari BPJS Kesehatan dan Pusat
Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (P2JK). Kewenangan untuk menyelesaikan masalah yang
berkaitan dengan kode INA-CBG dipegang oleh P2JK, sementara kewenangan untuk mengatasi
Suatu kasus dapat dinyatakan dispute apabila verifikator di Kantor Cabang BPJS Kesehatan
mendeteksi ketidaksesuaian pengajuan klaim dari penanggung jawab klaim rumah sakit. Langkah
pertama yang dilakukan adalah komunikasi dan konfirmasi antara verifikator dengan
penanggung jawab klaim. Selanjutnya, penanggung jawab klaim di rumah sakit akan melakukan
pengkajian awal terhadap dispute tersebut.
Pada tahap pengkajian awal, penanggung jawab klaim di fasilitas kesehatan akan melakukan
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Identifikasi kasus dispute
2. Koordinasi dengan Tim KMKB atau Tim Audit terkait Standar atau Pedoman Kasus
3. Analisis periode/kuota kasus
4. Pengkajian data/berkas rekam medis
5. Analisis kasus
6. Pengiriman hasil kajian kepada BPJS Kesehatan/TKMKB
2. Koordinasi dengan Tim KMKB atau Audit terkait Standar atau Pedoman Kasus
Setelah identifikasi masalah dispute, penanggung jawab klaim akan berkoordinasi dengan
Tim KMKB (Kendali Mutu dan Kendali Biaya) ataupun Audit Medik yang berada di fasilitas
kesehatan. Supervisi terhadap koordinasi tersebut dapat dilakukan direktur medik, bidang
layanan medik, atau bidang mutu yang membawahi kegiatan pengajuan klaim jaminan
kesehatan. Tujuan koordinasi ada tiga, yakni mengeksplorasi permasalahan administrasi
(jika ada), permasalahan pengkodingan, maupun permasalahan klinis.
Permasalahan klinis pada dispute klaim harus ditelusuri dengan sistematis berdasarkan
Panduan Praktik Klinis (PPK) yang dimiliki oleh rumah sakit. PPK dapat berupa turunan dari
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan.
KUMPULAN P E N Y E L E SA I A N K A S US DISPUTE K L A I M 5
D E NGAN PEN D E K ATA N AU D I T M E D I S K E N DA L I MU T U D A N K E N D A L I B IAYA
3. Analisis Periode/Kuota Kasus
Analisis periode/kuota ini dilakukan untuk melihat permasalahan dispute dalam suatu
rentang periode atau frekuensi kejadian kasus. Analisis periode, berarti pencarian data
dispute dalam suatu periode yang ditetapkan Tim KMKB rumah sakit, contoh: Januari-Juni
dengan temuan total 12 kasus dispute. Analisis kuota, berarti penelusuran intensitas
frekuensi dari kasus dengan jenis dispute yang sama.
5. Analisis Kasus
Setelah berkas yang dibutuhkan terkumpul, Tim KMKB di fasilitas kesehatan melakukan
analisis fakta data di berkas rekam medis terhadap alasan penolakan klaim dan standar
atau pedoman praktik klinis. Permasalahan yang perlu jadi pertimbangan pada tahap
analisis adalah relevansi pedoman atau standar mengenai dengan kasus tersebut, kejelasan
sistem pengkodingan, dan faktor pembiayaan yang dapat dipengaruhi oleh moral hazard.
Hasil analisis disusun dalam suatu laporan singkat yang diajukan kepada BPJS Kesehatan
dengan mekanisme klarifikasi atau banding. Selain secara langsung ke BPJS Kesehatan,
fasilitas kesehatan juga dapat mengajukan laporan kepada Tim Kendali Mutu dan Kendali
Biaya yang sesuai dengan wilayah Kantor Cabang BPJS Kesehatan. Dalam pengajuan laporan
tersebut, fasilitas kesehatan menuliskan:
1. Identitas Fasilitas Kesehatan, meliputi:
a. Nama fasilitas kesehatan (ditulis lengkap tanpa singkatan)
b. Jenis fasilitas kesehatan (FKTP atau FKRTL)
c. Tipe fasilitas kesehatan (klinik/puskesmas atau tipe rumah sakit)
d. Kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi asal rumah sakit
e. Penanggung jawab klaim dari rumah sakit atau koordinator Tim KMKB
f. Uraian data kasus (pasien):
i. Inisial pasien
ii. Jenis kelamin pasien
iii. Usia pasien
iv. Hasil anamnesis
v. Hasil pemeriksaan fisik
vi. Hasil pemeriksaan penunjang
vii. Diagnosis (utama dan sekunder)
viii. Terapi yang diberikan
ix. Lama rawat
6. Pengiriman Laporan
Pengiriman laporan dispute klaim dilakukan dengan bersurat kepada BPJS Kesehatan atau
TKMKB Tingkat Cabang/Provinsi.
Apabila laporan diajukan kepada TKMKB, maka TKMKB akan melakukan proses kajian,
pembahasan, dan penyusunan rekomendasi tindak lanjut.
1. Kajian TKMKB
Pada langkah ini TKMKB melakukan kajian terhadap laporan yang diajukan. Kajian dimulai
dengan pengamatan apakah kasus sudah lengkap atau tidak. Selanjutnya, kasus
dibandingkan dengan standar/pedoman yang berlaku dengan PNPK atau PPK, serta SOP
atau clinical pathway, serta peer review dari pakar.
KUMPULAN P E N Y E L E SA I A N K A S US DISPUTE K L A I M 7
D E NGAN PEN D E K ATA N AU D I T M E D I S K E N DA L I MU T U D A N K E N D A L I B IAYA
■
BAB III
PEMBAHASAN DISPUTE KLAIM
Sepanjang tahun 2019, TKMKB dan BPJS Kesehatan mengumpulkan sejumlah 861 kejadian kasus
dispute. Dari 861 laporan kasus yang dikumpulkan dari TKMKB dan Dewan Perwakilan Medik (DPM
ditiadakan pada akhir tahun 2019) hanya 239 kasus yang kemudian diseleksi untuk masuk dalam
uraian kasus dispute karena data yang diminta tidak diisi atau data laporan kosong.
Skrining
Eligibilitas
Terinklusi
Dari 239 kasus, juga masih banyak yang data laporannya tidak lengkap/kosong sehingga hanya 75
kasus tersisa. Dari 75 kasus tersebut ditemukan pola berulang dispute sehingga hanya 50 yang
kemudian dituliskan dalam buku ini. Kekosongan dan ketidaklengkapan data saat pengumpulan
kasus dispute harus dapat dihindari dengan melengkapi data pasien sesuai yang dibutuhkan
dalam tata laksana audit medis dan penyelesaian dispute seperti yang dituliskan dalam BAB II, yaitu
menuliskan tempat pelayanan, inisial pasien, jenis kelamin pasien, usia pasien, hasil anamnesis,
hasil pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan penunjang, diagnosis (utama dan sekunder), terapi yang
diberikan, lama rawat dan analisis masalah. Analisis masalah yang ditulis meliputi: analisis kasus,
analisis koding dan analisis biaya.
Kode Jumlah
Nama CMGs Proporsi
CMGs Baru
O Deliveries groups 5 2%
Q Ambulatory groups-episodic 0 0%
Z Factors influencing health status & other contacts with health services groups 0 0%
KUMPULAN P E N Y E L E SA I A N K A S US DISPUTE K L A I M 9
D E NGAN PEN D E K ATA N AU D I T M E D I S K E N DA L I MU T U D A N K E N D A L I B IAYA
CMG A. INFECTIOUS & PARASITIC DISEASES GROUPS
Pasien Tn. M, usia 47 tahun, mengeluh demam 3 hari, mual dan lemas. Hasil pemeriksaan
fisik nyeri tekan epigastrium dan hematuria. Hasil pemeriksaan laboratorium
menunjukkan hemoglobin 16,2 gr/dL, trombosit 24.000. Terapi yang diberikan: infus
ringer laktat setiap 8 jam, tablet parasetamol 3x500 mg, kapsul lansoprazole 2x30 mg,
dan transfusi trombosit 4 kantong.
Permasalahan
Analisis Kasus
Salah satu tanda klinis DHF adalah trombositopenia, maka tidak perlu dikoding terpisah. Indikasi
transfusi trombosit adalah jika ada pendarahan dan syok, trombosit di bawah 50.000/μL dengan
perdarahan (epistaksis atau gusi berdarah), atau trombosit di bawah 20.000/μL tanpa perdarahan.
Apabila ditemukan hematuria, perlu lihat penyebabnya dari hasil urinalisa (batu, infeksi, atau
keganasan).
Analisis Koding
DHF menggunakan kode A91. Tidak perlu ditambahkan trombositopenia kode D69.6.
Rekomendasi TKMKB
1. Trombositopenia selalu terjadi pada DHF sehingga tidak perlu dikoding terpisah.
2. Transfusi dilakukan bila indikasi transfusi ditemukan.
Pasien Ny. S, usia 58 tahun, mengeluh demam 7 hari, suhu 38°C. Hasil laboratorium menunjukkan
tes widal antigen H 1/320, nilai tes darah lainnya normal (satu kali pemeriksaan). Terapi yang sudah
diberikan adalah injeksi ranitidin, injeksi ondansetron, injeksi seftriakson, infus ringer laktat, tablet
parasetamol dan tablet ranitidin. Durasi rawat 4 hari
Analisis Kasus
Banyaknya pasien yang dirawat inap dengan diagnosis tifus (titer O tidak sampai 1/320 dan/
atau yang positif hanya titer H yang 1/320) dengan lama rawat 3-4 hari. Kriteria demam tifus
sebagai berikut:
1. Anamnesis: demam naik turun dengan pola intermiten pada sore dan malam hari, dapat
terjadi demam tinggi yang berlangsung sampai minggu kedua, sakit kepala area frontal,
gangguan gastrointestinal, dan gejala penyerta lain atau penurunan kesadaran.
2. Pemeriksaan penunjang: tes widal tidak direkomendasi dilakukan setelah demam
berlangsung 7 hari. Interpretasi hasil positif bila titer aglutinin O minimal 1/320 atau terdapat
kenaikan titer hingga 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan interval 5-7 hari.
3. Penegakan diagnosis tifus dapat dilakukan dengan tes tubex. Pemeriksaan widal
mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/
MENKES/514/2015. Demam tifus: titer O; Demam paratifus: titer H dan atau titer O. Kriteria
tifus rawat inap: intake sulit, mual dan muntah berlebihan (gangguan gastrointestinal), dan
penurunan kesadaran. Pada kasus tifus dapat hiperpireksia.
Analisis Koding
Rekomendasi
Kasus tifus dapat ditegakkan dengan tes tubex dan masih mengacu pada Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015. Kasus tifus yang terindikasi rawat inap apabila
terdapat keadaan intake sulit, mual, muntah berlebihan, dan penurunan kesadaran.
KUMPULAN P E N Y E L E SA I A N K A S US DISPUTE K L A I M 11
D E NGAN PEN D E K ATA N AU D I T M E D I S K E N DA L I MU T U D A N K E N D A L I B IAYA
Kasus A.3. Demam Tifus (Dispute Administrasi)
Ny. YR, usia 36 tahun, datang dengan mual, muntah, kurang nafsu makan, dan sulit buang air
besar. Pemeriksaan tekanan darah 120/70 mmHg, frekuensi denyut nadi 88 x/menit, frekuensi
pernapasan 20 x/menit, suhu badan 38˚C. Hasil laboratorium: (17/02/19) hemoglobin 12.6,
hematokrit 37, leukosit 4750, trombosit 179000; gula darah sewaktu 124; tes widal (-). Pemeriksaan
kedua (19/02/19) hemoglobin 12.6, hematokrit 37, leukosit 4750, trombosit 66000. Pemeriksaan
ketiga (20/02/19) hemoglobin 13.9, hematokrit 42, leukosit 5620, trombosit 66000. Pemeriksaan
keempat (21/02/19) hemoglobin 13.3, hematokrit 40, leukosit 9560, trombosit 113000. Diagnosis
utama: DHF, diagnosis sekunder: - Terapi yang sudah diberikan: psidii 3x1; parasetamol 3x1; injeksi
ondansetron 3x1; omeprazol 1x1. Lama rawat: 5 hari.
Permasalahan
Di hari yang sama setelah dipulangkan dari RS (21/02/19) dengan status sembuh dan pasien
masuk rumah sakit lagi di UGD RS D dengan diagnosis tifus dan di RS D dirawat inap kembali
(21/02/19) dengan diagnosis DHF dan Liver Disease.
Analisis Kasus
Di RS H sudah sesuai kriteria pasien dipulangkan dengan trombosit di atas 100.000/uL dan jika
demam sudah di hari ke 7. Pasien dipulangkan sudah sesuai kriteria dan jika dirawat lagi
dengan indikasi yang jelas tidak dianggap undertreatment di RS pertama kali dirawat.
Analisis Koding
Pasien dirawat pertama dengan kode diagnosis A-4-13-I, lalu dirawat kedua dengan kode A-4-
13-II.
Rekomendasi
Pasien Ny. S, usia 58 tahun, dengan pemeriksaan patologi small cell carcinoma. Indeks massa tubuh
(IMT) 16. Pasien didiagnosis dengan malignant neoplasm, bronchus or lung unspecified, dengan
tambahan diagnosis sekunder: unspecified severe protein – energy malnutrition. Terapi yang sudah
diberikan: morfin sulfat (MST) 2x10mg per oral, dan diet tinggi kalori, tinggi protein 1700 kkal.
Permasalahan
Analisis Kasus
Dari anamnesis, penilaian status nutrisi dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Malnutrisi ringan (dilihat dari IMT).
2. Malnutrisi sedang (perubahan asupan: kurang dari 75% lebih dari 1 bulan, penurunan berat
badan (BB) <5% dalam 1 bulan, atau 7,5% dalam 3 bulan, atau 10% dalam 6 bulan, atau 20%
dalam 1 tahun, penurunan massa otot dan massa lemak ringan).
3. Malnutrisi berat (perubahan asupan kurang atau sama dari 75% lebih dari 1 bulan).
Pemeriksaan fisik: IMT, komposisi tubuh, pengukuran lingkar lengan atas, penurunan massa otot
klavikula, temporalis, pektoralis, quadriceps, gastrocnemius, penurunan massa lemak bisep, ascites.
Sementara itu, kaheksia merupakan sindrom yang mengakibatkan penurunan berat badan dalam
waktu tertentu (fatigue, anoreksia, pemeriksaan C-reactive protein (CRP), albumin, hematokrit). Kaheksia
ringan: BB turun 10% dalam 6 bulan. Hasil laboratorium: hemoglobin, albumin, transferin, konverin.
Pada keganasan, dapat ditemukan massa otot menurun, tonus otot menurun, suhu subfebris,
metabolisme meningkat, sering kencing pada malam hari, sistem imun berkurang, albumin
menurun, CRP naik. Subjective global assessment (SGA) digunakan untuk skrining pada pasien sehat.
Patient generated subjective global assessment (PG-SGA) untuk skrining pada pasien malignancy.
Pada kasus ini, harus ada form daftar periksa untuk menentukan kriteria malnutrisi (ringan,
sedang, berat, marasmus, kwashiorkor) dan kaheksia.
KUMPULAN P E N Y E L E SA I A N K A S US DISPUTE K L A I M 13
D E NGAN PEN D E K ATA N AU D I T M E D I S K E N DA L I MU T U D A N K E N D A L I B IAYA
Analisis Koding
Rekomendasi
Ny. A, usia 41 tahun, dengan anamnesis benjolan di punggung kanan 3 tahun makin besar.
Diagnosis utama soft tissue disorder. Tindakan yang diberikan adalah eksisi lokal tumor. Pelayanan
bedah umum dilakukan oleh dokter subspesialis BTKV (bedah torak kardiovaskuler) dan bukan
merupakan kasus kegawatdaruratan. Di wilayah tersebut ada banyak RS yang memiliki kompetensi
bedah umum.
Permasalahan
Apakah dokter dengan spesialis BTKV dapat melakukan pelayanan bedah umum?
Analisis Kasus
Spesialis BTKV tidak dapat melakukan kewenangan spesialis bedah. Keilmuan BTKV dapat
diperoleh melalui jalur langsung ataupun melalui spesialisasi bedah umum terlebih dahulu.
Manajemen rumah sakit harus membantu menentukan kompetensi apa yang diberikan kepada dokter
di rumah sakit. Kewenangan yang dimiliki dokter di rumah sakit disesuaikan dengan yang tercantum
dalam surat izin praktik (SIP). BPJS Kesehatan membayarkan klaim sesuai kompetensi yang tertulis
dalam SIP.
Analisis Kasus
Tn. H, 59 tahun dirawat di ruang perawatan kelas 3, lamanya dirawat 3 hari. Anamnesis
menunjukkan luka operasi nyeri (+), melanoma maligna. Tekanan darah 110/90 mmHg. Hasil
patologi anatomi (PA) tanggal 31-01-2018 menunjukkan makroskopis diterima 2 botol jaringan
(1. Sebuah jaringan sebesar biji warna kecoklatan kenyal, 2. Sebuah jaringan sebesar biji kacang
hijau kenyal). Kesimpulan: fibrosarkoma femur dextra dan kaki dd/rhabdomyosarcoma, tindakan
operasi full-thickness skin grafts (FTSG) pada pasien post-operasi.
Permasalahan
Analisis Kasus
Pada tahun 2018 ada 13 kasus operasi FTSG post-operasi dimana prosedur flap dan graft
merupakan modalitas dalam metode pembedahan rekonstruksi. Jika memungkinkan secara
langsung maka dilakukan secara langsung tanpa harus dlakukan tindakan FTSG.
Analisis Koding
Rekomendasi
FTSG bergantung dari luas eksisinya. Tidak ada patokan luasnya. FTSG dan split-thickness skin
grafts (STSG) tergantung dalamnya. Kalau lebih superfisial biasanya STSG, jika lebih dalam FTSG.
KUMPULAN P E N Y E L E SA I A N K A S US DISPUTE K L A I M 15
D E NGAN PEN D E K ATA N AU D I T M E D I S K E N DA L I MU T U D A N K E N D A L I B IAYA
Kasus C.4. Kanker Payudara
Ny. C, berusia 38 tahun dengan hasil pemeriksaan diagnostik PA biopsi tumor payudara: ductal
carsinoma mamae. USG mamae kiri nodul solid soliter hipervaskuler pada axila kiri (uk. ±
0,66x0,41 cm) cenderung nodul metastasis. Riwayat kemoterapi: brexel, epirubicin, siklofosfamid,
5 FU. Diagnosis utama: ca mamae, diagnosis sekunder: - Terapi yang sudah diberikan: taceral
(kapesitabin) 2x1500mg.
Permasalahan
Pasien mendapatkan terapi kapesitabin dimana restriksinya adalah untuk kanker payudara
metastatik setelah gagal dengan terapi lain.
1. Bagaimanakah kriteria metastasis untuk kaker payudara?
2. Pemeriksaan penunjang apa yang dapat digunakan untuk menegakkan metastasis kanker?
3. Apakah hasil USG bisa dijadikan acuan untuk menegakkan metastasis axila?
4. Nodul pada hasil USG tersebut apakah bisa dipastikan sebagai penanda metastasis atau
masih diperlukan biopsi lebih lanjut?
Analisis Kasus
Metastasis adalah penyebaran sel jauh dari tempat asal, bisa ke organ lain ataupun regional.
Kriteria metastasis secara klinis yakni bila ditemukan nodul pada pemeriksaan radiologi sudah
bisa disebut metastasis PA. Biopsi bila tempat jauh dan sulit, bisa pakai klinis saja. Pada kasus ini,
nodul ditemukan pada axila sehingga sebaiknya dilakukan biopsi karena tempat tidak jauh atau
sulit. Untuk melakukan PA juga harus melihat kondisi pasien. Bila dari pemeriksaan lain sudah
jelas merupakan kanker (permukaan tidak rata, melekat erat, konglomerasi) maka biopsi tidak
diperlukan. Sementara itu, metastasis pada paru bisa bermacam-macam gambarannya. Efusi
pleura pada kanker payudara harus dilihat perjalanan penyakitnya. Bila tidak ada riwayat penyakit
paru, maka efusi pleura kemungkinan adalah metastasis.
Analisis biaya
Total biaya obat kemo (kapesitabin) yang diberikan pada kasus kanker payudara metastasis
yang gagal terapi lain adalah Rp15.147.720,00; dengan potensi efisiensi Rp15.147.720,00.
Rekomedasi
Penegakan metastasis bisa dengan pemeriksaan lain seperti rontgen toraks, CT scan, MRI,
dan USG.
Pasien Tn. R, usia 66 tahun, jenis kelamin laki-laki. Hasil pemeriksaan: hemoglobin (4,4), trombosit
(2.000), leukosit (1.080). Diagnosis di lembar INA-CBGs menunjukkan diagnosis utama: pneumonia,
dan diagnosis sekunder: pansitopenia, malignant neoplasm bronchus or lung unspecified, anemia
aplastik. Diagnosis di lembar resume medis adalah diagnosis utama: pansitopenia, diagnosis
sekunder: pneumonia perbaikan, malignant neoplasm bronchus or lung unspecified, anemia Ca.
Terapi yang sudah diberikan: transfusi packed red cells (PRC), transfusi trombosit, leukin.
Permasalahan
Apakah penegakan pansitopenia hanya dengan penunjang darah rutin dikoding D61.9?
Bagaimanakah penentuan diagnosis (anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang) dan tata
laksana pansitopenia? Apakah harus menggunakan BMP? Apakah koding yang sesuai untuk kasus
pansitopenia untuk kasus tersebut?
Analisis Kasus
Untuk menegakkan diagnosis anemia aplastik menggunakan pemeriksaan BMP D61.0, dan kasus
Pansitopenia tidak sesuai dengan kaidah koding karena tidak diketahui adanya malformasi
(Sindrom Fanconi). Koding yang terkait malignancy, antara lain:
a. Anemia ec malignancy
b. Trombositopenia ec malignancy
c. Leukopenia ec malignancy
Pansitopenia pada pasien ini merupakan komplikasi dari kemoterapi pasien kanker paru. Prevalensi
kejadian komplikasi pada umur anak-anak adalah pansitopenia (pancytopenia with malformation).
Analisis Koding
Saran koding adalah D61.0 (constitutional aplastic anaemia). Sedangkan koding yang digunakan
RS adalah D61.9 (aplastic anaemia, unspecified).
Rekomendasi
Pada kasus ini diagnosis utama bukan pneumonia karena tidak sesuai dengan kondisi pasien
dan resume medis. Penegakan diagnosis anemia aplastik berdasarkan pemeriksaan bone marrow
puncture (BMP). Pansitopenia komplikasi dari kemoterapi pasien kanker paru. Penggunaan koding
D61.9 dan D61.0 tidak sesuai dengan kasus ini, seharusnya dikoding terkait keganasannya pada
masa perawatan.
KUMPULAN P E N Y E L E SA I A N K A S US DISPUTE K L A I M 17
D E NGAN PEN D E K ATA N AU D I T M E D I S K E N DA L I MU T U D A N K E N D A L I B IAYA
Kasus D.2. Talasemia
An. A, usia 7, jenis kelamin laki-laki, dengan keluhan utama 1 minggu pucat dan lemas. Pemeriksaan
fisik menunjukkan berat badan: 21 kg, tekanan darah: 100/60 mmHg, laju napas: 22 x/menit, dan
nadi 100 x/menit. Suhu: 36,5˚C. Pasien didiagnosis dengan talasemia.
Permasalahan
Pasien diberi obat deferiprone sebanyak 20 tablet untuk satu bulan dengan signa 2x1 tablet.
Dalam fornas dosis 50-75 mg/kgBB/hari. Dalam pedoman pelayanan medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI) dosis 30-50 mg/kgBB/hari. Dengan berat badan pasien An. A 21 kg dihitung dosis
minimal membutuhkan 1.050 mg/hari. Obat tidak diberikan untuk 30 hari, tetapi untuk 10 hari.
Analisis Kasus
Pemberian obat talasemia mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK 01.07/
MENKES/1/2018 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tata Laksana
Talasemia yaitu sebanyak 75-100 mg/kgBB/hari. Sehingga untuk pasien ini seharusnya
mendapatkan obat dengan dosis 3x1 yaitu sebanyak 90 tablet. Top up sesuai dengan Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 52 Tahun 2016 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam
Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan bahwa pengajuan klaim pada pelayanan talasemia
mayor baik rawat jalan atau rawat inap yang menerima terapi kelasi besi dilakukan 1 kali dalam
1 bulan, sehingga top up obat talasemia tidak dapat diklaimkan ke BPJS Kesehatan jika obat tidak
diberikan untuk 1 bulan.
Terdapat 292 kasus yang ditagihkan oleh rumah sakit atau sekitar 1,6 M dimana pemberian
obatnya tidak diberikan satu bulan sedangkan sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor 52 Tahun 2016 diberikan 1 bulan.
Analisis Koding
Rekomendasi
Pemberian obat talasemia mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK 01.07/
MENKES/1/2018 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tata Laksana
Talasemia yaitu sebanyak 75-100 mg/kgBB/hari.
An. Ap, umur 7 tahun, jenis kelamin laki-laki. Diagnosis utama: hemofilia. Terapi yang sudah
diberikan: injeksi koate DVI 250.
Permasalahan
Pasien berkunjung lebih dari 3 kali dalam sebulan untuk pengambilan obat koate.
Analisis Kasus
Menyangkut dosis dan ketersediaan koate. Indikasi pemberian obat adalah perdarahan minimal,
tergores, disirkumsisi, jatuh dengkul bengkak. Diberikan oleh Sp.A dengan tim khusus, jika tidak
ada Sp.A hemato onkologi. Pengambilan koate lebih dari 1 kali dalam sebulan dapat dilakukan
sesuai dengan indikasi medis.
Analisis Koding
Q-5-44-0 DD-10-II
Rekomendasi
Tn. M, umur 61 tahun dengan tekanan darah 120/80 mmHg nadi 88/menit, frekuensi napas 18/
menit, suhu 38. Diagnosis utama: NIDDM dengan ulkus. Diagnosis sekunder: IHD. Jumlah hari rawat
(LOS): 4 hari. Terapi yang sudah diberikan: glimepirid 1x4 mg, metformin 3x500 mg, levofloksasin
1x500 mg, ISDN 3x1, aspilet 1x1. Dilakukan tindakan debridement oleh dokter Sp.PD dengan lokal
anestesi. Hasil pemeriksaan diagnostik: gula darah sewaktu (GDS) 330, elektrokardiografi (EKG):
ischemic heart disease (IHD). Catatan lain: kaki bernanah dan bau.
KUMPULAN P E N Y E L E SA I A N K A S US DISPUTE K L A I M 19
D E NGAN PEN D E K ATA N AU D I T M E D I S K E N DA L I MU T U D A N K E N D A L I B IAYA
Permasalahan
Dokter Sp.PD telah melakukan tindakan debridement ulkus diabetes mellitus (DM) dengan lokal
anestesi di klinik utama, tindakan tersebut dilakukan di rawat inap. Telah dilakukan konfirmasi
dengan dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) mengenai indikasi rawat inap, dengan hasil
konfirmasi: pasien memerlukan rawat inap, dikarenakan pasien sudah mengalami komplikasi ulkus
diabetik yang tidak sembuh-sembuh; pengendalian glukosa darah yang baik melalui diet, obat,
dan pengawasan ketat; perawatan luka yang adekuat dan memberikan pelatihan kepada pasien/
keluarga untuk melanjutkan perawatan luka di rumah; dan mencegah perluasan ulkus pasien juga
menderita IHD yang akan memburuk dengan adanya infeksi serta pengendalian glukosa darah
yang buruk.
Analisis Kasus
Perawatan ulkus diabetik yang menjadi kewenangan Sp.PD adalah sampai batas dermis.
Perawatan luka bisa dilakukan di rawat jalan, kecuali ada komorbid lain, misal infeksi berat/sepsis,
dehidrasi, dan penyulit lainnya.
Analisis Koding
Potensi tidak perlu pengkodean 86.22 (excisional debridement of wound, infection, or burn)
Rekomendasi
Tindakan debridement atau perawatan luka tanpa adanya komorbid dan penyulit dapat
dilakukan di rawat jalan.
Tn. B, 19 tahun, dengan diagnosis utama impacted teeth, dan tindakan odontektomi. Terapi yang
sudah diberikan: injeksi seftriakson, injeksi ketorolac, injeksi metilprednisolon, injeksi ranitidin.
Lama rawat 2 hari.
Permasalahan
Pada pasien ini dilakukan tindakan odontektomi hanya 1 gigi. Pada gigi geraham bawah nomor 8
klas III B horizontal. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan keadaan umum sedang, compos mentis
(CM) dan dengan edema pipi kiri.
1. Dalam kasus seperti ini apakah tindakan odontektomi dapat dirawatinapkan?
2. Bagaimana kriteria rawat inap untuk tindakan odontektomi?
Jawaban TKMKB
Indikasi ranap: persiapan anastesi umum; ada penyakit penyerta (misal gangguan perdarahan;
penurunan imun). Penentuan anestesi (umum atau lokal) dari penentuan lokasi gigi. Pada pasien
ini resiko tinggi, karena kelas III B horizontal (scoring 7). Laporan operasi sebaiknya dilengkapi
teknik dan lama operasi. Perlu dilakukan Pemeriksaan OPG untuk mengetahui kedalaman gigi, lebih
dari 5 mm menggunakan anastesi umum. Pada kasus yang sulit, angka komplikasinya besar (fraktur
alveolaris, perdarahan, bengkak, cedera pada nervus). Perikoronitis biasanya terjadi karena posisi
gigi miring, kotoran berkumpul sehingga radang. Kondisi perikoronitis harus diredakan dahulu,
baru dilakukan operasi. Odontektomi tidak hanya untuk impaksi, tapi pengambilan gigi yang harus
dilakukan flap dan pembuangan tulang sudah disebut odontektomi. Indikasi odontektomi pada
impaksi: fokal infeksi, karies gigi sukar restorasi, penyakit periodontal, terdapat tanda patologis/kista
dentigerous, adanya resorpsi gigi sekitarnya; terjadinya fraktur mandibula. Bila ada pasien keluhan
1 gigi tetapi setelah orthopantomograph (OPG) terdapat gigi impaksi lebih dari 1, sebaiknya yang
diambil 1 gigi yang terdapat keluhan saja, tetapi klasifikasi/scoring tinggi/sulit dan dilakukan anastesi
umum, maka dapat dilakukan sekalian. Gigi embedded adalah impaksi yang tertanam sekali (tidak
terlihat di rongga mulut). dr. S: seharusnya dilihat per kasus.
KUMPULAN P E N Y E L E SA I A N K A S US DISPUTE K L A I M 21
D E NGAN PEN D E K ATA N AU D I T M E D I S K E N DA L I MU T U D A N K E N D A L I B IAYA
kasus bersama dengan pasien. Perlu diingatkan kembali kepada sesama spesialis bedah mulut
untuk memberi penjelasan tentang manfaat dan risiko yang mungkin timbul. Dan menentukan
tata laksana kasus per kasus gigi bungsu impaksi bersama pasien, sesuai dengan rekomendasi
American Association of Oral and Maxillofacial Surgeons (AAOMS).
Dasar Teori
Analisis Kasus
Tidak setiap pasien impaksi dilakukan odontektomi dan odontektomi tidak selalu rawat inap.
Analisis Biaya
Rata-rata biaya INA-CBG Rp3.580.800,00 s.d. Rp5.013.100,00. Biaya riil rumah sakit berkisar
Rp1.795.003,00 s.d. Rp2.259.719,00.
Rekomendasi
Tn N, umur 58 tahun, dari pemeriksaan fisik tampak glasgow coma scale (GCS) 3, tekanan darah:
130/90 mmHg, frekuensi napas: 10x, frekuensi denyut nadi: 120x/menit, suhu badan: 36˚C.
Hasil rontgen menunjukkan TB milier dengan destroyed lung kiri dibanding dengan radiografi
toraks. Saat ini efusi pleura kiri berkurang. Hasil laboratorium: Na/K/Cl: 123/4.4/92. Hb/Ht/Eri/Leu:
10.6/33/3.9/19000. Ureum 54. Gas darah dan elektrolit: Ph: 7.48, pCO2: 25.2, pO2: 199.0, HCO3-:
18.5, BE ecf: -4.4, BE (B):-3.90. Lama rawat: 12 hari. Diagnosis utama: hypoglicaemia berat. Diagnosis
sekunder: tuberkulosis paru, dyspepsia, CAD, dan encephalopathy. Terapi yang diberikan: IVFD RL/8
jam, asering 500, cairan dex 10%, cairan dex 5%, cairan NaCL 3%, sefiksim 2x200 mg, sefoperazon
3x2 gr, sitikolin injeksi 2x250 mg/ml, injeksi kortideks, tablet etambutol 500 mg, fluimucil 300
mg, injeksi furosemid 1x40 mg, miniaspi 1x80 mg, humalog, INH 300, simvastatin 1x20 mg,
triofusin 500, ranitidin.
Permasalahan
Pasien masuk dengan kondisi hipoglikemia berat dengan penurunan kesadaran dan didiagnosis
encephalopathy metabolik. Bagaimanakah penentuan diagnosis ensefalopati metabolik
(anamnesis, pemeriksaan fisik, penunjang) dan tata laksana? Apabila sudah spesifik penurunan
kesadaran akibat hipoglikemia, apakah diagnosis encephalopathy dapat ditegakkan lagi?
Kriteria Ensefalopati:
a. Ensefalopati uremikum: hasil lab. ueum, kreatinin (urea di atas 200), hipoalbuminemia
b. Ensefalopati hepatikum: lihat dari ot/pt naik, trombosit turun
c. Ensefalopati metabolik: harus ada penyebab metabolik, elektrolit Na <120, K <2,5
Pada pasien ini lebih banyak untuk menangani hipoglikemia. Hipoglikemia dapat disebabkan oleh
obat glibenklamid dalam 48 jam, atau insulin lebih banyak pada pasien geriatri, lebih sulit untuk
memperbaiki keadaan hipoglikemia. K<3 harus injeksi KCl i.v. K: 3,00-3,50 bisa dengan terapi per
oral kalium makanan: pisang.
Analisis Koding
Rekomendasi
Ny. M, 60 tahun dengan demam. Diagnosis utama diabetes mellitus, diagnosis sekunder ischialgia
dan masalah geriatri.
Permasalahan
Kasus geriatri dikonsulkan ke poli geriatri, instalasi rehabilitasi medik (IRM), poli saraf, dan poli mata
berulang kali. Bagaimanakah penanganan penyakit di poli geriatri sebagai unit geriatri terpadu di
suatu RS?
Analisis Kasus
Kriteria pasien geriatri: usia >60 tahun, sindrom geriatri (imobilisasi, inkontinesia, urin alvi, infeksi),
dan apabila terdapat masalah geriatri (12I). Rujukan dari FKTP untuk skrining geriatri problem
(keluhan utama).
Analisis Koding
KUMPULAN P E N Y E L E SA I A N K A S US DISPUTE K L A I M 23
D E NGAN PEN D E K ATA N AU D I T M E D I S K E N DA L I MU T U D A N K E N D A L I B IAYA
Rekomendasi
Pada kasus ini tim dokter geriatri tidak standby sehingga pasien diarahkan ke hari berikutnya
secara teknis dari RS yang belum siap. Sehingga perlu perbaikan agar pasien dapat dilayani
dalam 1 episode pelayanan.
Ny. T, berusia 61 tahun dengan diagnosis utama Z09.8 (follow-up examination after other treatment
for other conditions) dan diagnosis sekunder F06.9 (unspecified mental disorder due to brain damage
and dysfunction and to physical disease), ditindaklanjuti dengan tiga jenis prosedur, yakni 94,11
(psychiatric mental status determination), 94,19 (other psychiatric interview and evaluation), dan 94,39
(other individual psychotherapy).
Permasalahan
Pasien mengunjungi poli jiwa rawat jalan 5 (lima) kali dalam satu bulan selama 4 (empat) bulan
berturut-turut dengan tiga prosedur yang sama. Terdapat 356 kasus yang sama pada bulan
September 2018.
Analisis Kasus
Kasus seperti di atas kurang lazim terjadi dan seharusnya perlu dilakukan observasi rawat
inap apabila kondisi klinis memang memburuk. Prosedur pemeriksaan status mental dan evaluasi
psikiatri sudah jadi panduan yang rutin, sementara psikoterapi biasanya dilakukan sekali dalam
sepekan. Apabila tidak ada fasilitas rawat inap, maka dapat dirujuk ke rumah sakit yang memiliki
fasilitas.
Analisis Koding
Rekomendasi TKMKB
Tn. X, usia 49 tahun datang dengan keluhan nyeri pinggang. Dari pemeriksaan fisik, didapatkan
visual analogue scale (VAS) 9, tekanan darah 150/90 mmHg, laju napas dan nadi dalam batas normal,
dan rontgen toraks normal. Pasien dilakukan eksplorasi dan dekompresi spinal L3 hingga L5. Dari
laporan operasi, tercatat pasien diberi tindakan anestesi, levelling menggunakan fluoroskopi, diseksi
hingga L4-L5, dan dekompresi L4-L5. Luka dijahit lapis demi lepis dan operasi selesai. Penagihan
klaim dilakukan dengan diagnosis utama M51.2 other specified intravertebral disc displacement dan
diagnosis sekunder D16.6 neoplasm, verteberal column dan G82.2 paraplegia. Tercatat di rekam
medik tindakan yang diberikan 03.09 other exploration and decompression of spinal canal.
Permasalahan
Analisis Kasus
Kasus neoplasma paraplegia merupakan gejala awal sehingga tidak perlu dilakukan koding INA-
CBGs. Hasil MRI menunjukan adaya bulging disc yang menyebabkan terjadinya paraplegia. Meski
demikian, paraplegia dapat dikoding pada kasus yang belum ditemukan penyebab lain
terjadinya kelemahan otot.
Analisis Koding
Rekomendasi
KUMPULAN P E N Y E L E SA I A N K A S US DISPUTE K L A I M 25
D E NGAN PEN D E K ATA N AU D I T M E D I S K E N DA L I MU T U D A N K E N D A L I B IAYA
Kasus G.2. Infark Serebri
Pasien Tn. B, jenis kelamin laki-laki, berusia 23 tahun, dirawat inap selama 3 hari. Pasien
mengeluh pusing berputar disertai dengan lemah tubuh sisi kanan. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan kesadaran compos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, parese N.VII dan XII kiri
sentral dengan kekuatan motorik 3. Hasil lab. menunjukkan gula darah puasa (GDP) 80 mg/dL,
Ur/Cr 15/0,6, asam urat 3.3, kolesterol total 174, trigliserida 59, low-density lipoprotein (LDL) 112,
high-density lipoproteins (HDL) 53, hemoglobin 12,3, hematokrit 37,5, dan trombosit 220.000. CT-
Scan menunjukkan bayangan hipodens pada sinus maxilaris sinistra, suspek gambaran sinusitis,
hipertrofi chonca nasalis bilateral. Tidak tampak tanda-tanda infark, perdarahan, maupun space
occupying lesion lainnya. Diagnosis utama adalah cerebral infarction unspecified. Setelah perawatan,
pasien dinyatakan sembuh dan dipulangkan.
Permasalahan
1. Lebih dari 90 persen pasien saraf yang dirawatinapkan di RS didiagnosis dengan stroke:
3,07% intracerebral haemorrhage, 0,41% subdural haemorrhage, 0,20% intracranial haemorrhage
unspecified, 58,90% cerebral infarction unspecified, 36,20% stroke not specified as haemorrhage
or infarction, 0,61% sequelae of cerebral infarction, 0,61% sequele of stroke, not specified as
haemorrhage or infarction.
2. Berdasarkan kelompok usia: 1 kasus (usia 5 s.d. 11), 7 kasus (usia 12 s.d. 16), 17 kasus (usia
17 s.d. 25), 29 kasus (usia 26 s.d. 35), 93 kasus (usia 36 s.d. 45). 100 kasus (usia 46 s.d. 55),
136 kasus (usia 56 s.d. 65), dan 106 kasus (usia 65 s.d. atas).
Analisis Kasus
Kasus stroke dapat terjadi pada usia muda tergantung faktor resiko yang dimiliki oleh pasien.
Stroke memiliki indikasi medis untuk dirawatinapkan untuk mempertahankan daerah penumbra.
CT-Scan merupakan pemeriksaan penunjang bukan penegak diagnosis utama untuk stroke
dan mungkin saja hasil pemeriksaan fisik mengarah ke stroke tetapi hasil CT-Scan nya belum
tampak karena tergantung waktu pemeriksaan dilakukan. (PNPK Stroke).
Analisis Koding
Banyak ditemukan kasus stroke pada pasien muda dengan LOS 3 hari dan tanpa penyakit
penyerta. Sepertiga biaya pelayanan yang dibayarkan ke RS adalah biaya pelayanan kasus stroke.
Rekomendasi
Ny. A, berusia 46 tahun, jenis kelamin perempuan. Compos mentis dengan tekanan darah 120/80
mmHg, suhu 36˚C, laju nadi 86 kali per menit, laju napas 20 kali per menit, dan saturasi
oksigen 98%. Pasien didiagnosis H47.1 papilloedema dan dilakukan prosedur 90.59 microscopic
examination of blood, other microscopic examination. Pasien dirawat dua hari, diberikan infus ringer
laktat 18 tpm, injeksi deksametason 2x1 ampul, injeksi neurosanbe 1x1 ampul, timol 0,5% dua kali
sehari ODS, dan cendo lyters empat kali sehari ODS.
CT-Scan menunjukkan tidak tampak infark, space occupying lesion (SOL) maupun perdarahan
pada parenkim otak, tidak tampak tanda peningkatan tekanan intracranial, penebalan nervus
opticus kiri (ukuran 6 mm), serta diusulkan multislice computed tomography (MSCT) orbita dengan
kontras. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan hemoglobin, eritrosit, leukosit, trombosit, dan
hematokrit dalam batas normal. Glukosa darah sewaktu 152 mg/dL, ureum: 25,68 mg/dL, dan
kreatinin 0.55 mg/dL.
Permasalahan
Pada resume tertulis bahwa pasien masuk dengan keluhan mata kiri nyeri, kabur, berair, dan
merah, dengan diagnosis Retrobulbar neuritis in diseases classified elsewhere (H48.1).
1. Apakah ada indikasi rawat inap untuk keluhan dan diagnosis tersebut?
2. Apakah kondisi tersebut seharusnya dikelola sebagai pasien rawat jalan?
Analisis Kasus
Kasus ini memiliki indikasi untuk dirawat inap. Penggunaan kortikosteroid pada pasien untuk
menatalaksana neuritis retrobulbar yang dialami pasien. Pemberian kortikosteroid tersebut perlu
rawat inap dan biasanya dilakukan perawatan 3 (tiga) hari dengan 12 (dua belas) kali injeksi,
dilanjutkan dengan kortikosteroid oral. Maka, sesuai dengan hasil CT-Scan terjadi penebalan
nervus opticus kiri, diagnosis yang mendekati adalah neuritis retrobulbar.
Analisis Koding
Rekomendasi
KUMPULAN P E N Y E L E SA I A N K A S US DISPUTE K L A I M 27
D E NGAN PEN D E K ATA N AU D I T M E D I S K E N DA L I MU T U D A N K E N D A L I B IAYA
CMG H. EYE & ADNEXA GROUPS
Ny. A, berusia 75 tahun, jenis kelamin perempuan, dengan visus 20/400 dan didiagnosis katarak.
Pada pasien dilakukan tindakan phaco pada tanggal 29 Juli 2019. Setelah post-operasi, pasien
melakukan kontrol sebanyak enam kali, yaitu tanggal 30 Juli, 6 Agustus, 13 Agustus, 20 Agustus, 27
Agustus, dan 3 September.
Permasalahan
Apakah pasien post-operasi katarak harus melakukan kontrol sebanyak enam kali?
Analisis Kasus
Kasus katarak pemeriksaan pra-operasi biasanya dilakukan pemeriksaan gula darah sewaktu (GDS),
tekanan darah, dan pemeriksaan tonometri. Apabila memiliki riwayat pemberian antikoagulan,
pasien wajib berhenti 5 (lima) hari sebelum operasi. Kontrol post-operasi biasanya dilakukan
4 kali, yakni 1 hari post-operasi, 1 minggu, 2 minggu, dan 1 bulan. Dokter akan memeriksa
apakah ada kelainan di segmen anterior, palpebra, dan konjungtiva. Untuk mengukur ada
peningkatan tekanan bola mata atau tidak, dilakukan tonometri. Selanjutnya, dokter juga harus
memperhatikan risiko endophthalmitis pada hari ke 3 sampai hari ke 10 post-operasi. (PNPK
Katarak PERDAMI 2017).
Analisis Koding
Semua kasus katarak dilakukan 6 kali kontrol post-operasi. Kode ICD 10 terkait: Z09.8.
Rekomendasi
Kontrol post-operasi katarak sesuai PERDAMI dilakukan 4 kali. Jika lebih dari 4 kali, maka harus
ada indikasi yang jelas.
Ny. I, berusia 51 tahun, dengan keluhan utama mata buram. Pada pemeriksaan fisik, tekanan
darah 100/70 mmHg, laju nadi 84 kali per menit, laju napas 20 kali per menit, dan suhu 36,5˚C.
Permasalahan
Tanggal 10 Mei 2019, Ny. I dinyatakan pterygium grade IV OS dan dilakukan operasi, tanggal
16 Mei 2019. Kemudian, Ny. I kembali dinyatakan pterygium grade IV OD dan dilakukan operasi
tanggal 17 Mei 2019.
Analisis Kasus
Tindakan pterygium dapat dilakukan untuk kedua mata dalam satu waktu. Tindakan eksisi
pterygium apabila dilakukan terpisah antara kedua mata maka harus memenuhi kriteria yaitu
kondisi kegawatdaruratan. (Manual Koding tahun 2018).
Analisis Koding
Kasus pterygium sebanyak 99 kasus dan ditagihkan terpisah antara mata kanan dan mata kiri.
Kasus pterygium dengan graft seharusnya menjadi klaim RJTL akan tetapi ditagihkan RITL (untuk
tindakan dikerjakan di poli mata).
Rekomendasi
1. Tindakan pterygium dapat dilakukan untuk kedua mata dalam satu waktu.
2. Tindakan eksisi pterygium apabila dilakukan terpisah antara kedua mata maka harus
memenuhi kriteria yaitu kondisi kegawatdaruratan.
Ny. VB, berusia 50 tahun, dengan tekanan darah 120/90 mmHg, diagnosis utama glaukoma dan
mendapat terapi laser perifer Iridektomi.
Permasalahan
Pasien rawat jalan dengan diagnosis glaukoma mendapat tindakan Akan tetapi, di laporan
operasi tertulis bahwa pasien mendapatkan: (1) tetes pantokain, (2) argon laser perifer iridotomi
KUMPULAN P E N Y E L E SA I A N K A S US DISPUTE K L A I M 29
D E NGAN PEN D E K ATA N AU D I T M E D I S K E N DA L I MU T U D A N K E N D A L I B IAYA
dengan power 3 mj exposure 200 ms interval 400 Hct, (3) ND YAG laser perifer iridektomi dengan
power 2,5 mj sebanyak 400 hct, (4) tetes polidermisin, (5) tetes timol.
Analisis Kasus
Iridektomi dan iridotomi sama-sama membuat lubang di iris. Iridotomi dengan laser dan
iridektomi dengan pisau. Sesuai laporan operasi, pasien dilakukan iridotomi.
Analisis Koding
Ajuan RS total kasus 31 dengan kode prosedur iridektomi, sementara persetujuan biaya
dengan kode prosedur iridotomi lebih rendah sehingga terdapat selisih biaya.
Rekomendasi
Tn.B, berusia 41 tahun, jenis kelamin laki-laki, mengeluh mata kiri merah, dan kotoran mata. Pada
hasil pemeriksaan ditemukan ulkus kornea. Pasien didiagnosis dengan ulkus kornea OS dengan
perbaikan dan mendapat tindakan keratektomi OS. Pasien dilakukan bius lokal dengan
pantokain, serta dilakukan keratektomi dengan menggunakan spuit 1 cc di bawah mikroskop
dilakukan spooling RL. Penagihan diajukan dengan diagnosis utama corneal ulcer dan tindakan
other removal or destruction of corneal lesion.
Permasalahan
Apakah tindakan keratektomi dilakukan pada pasien rawat jalan atau rawat inap?
Analisis Kasus
Keratektomi adalah tindakan pembuangan sebagian epitel kornea. Pada ulkus kornea, jaringan
dibersihkan/dikelupas sehingga terjadi re-epitelisasi. Tindakan dilakukan di ruang operasi dengan
mikroskop dengan durasi operasi 30-60 menit dan menggunakan anestesi lokal. Jika pasien
kooperatif, maka pasien dapat dipulangkan. Pada hari kedua, pasien langsung kontrol untuk
melihat reepitelisasi. Namun jika resiko tinggi, pasien dapat dirawat inap karena setelah operasi
mata harus ditutup dan tidak boleh ada gerakan kelopak mata sehingga perlu observasi.
Perbandingan antara pelayanan yang dapat dilakukan di rawat jalan dengan rawat inap harus
jelas dan berdasarkan dengan kondisi pasien bukan berdasarkan dengan koding dan billing yang
dibayarkan oleh BPJS Kesehatan. Dari analisis biaya, terdapat selisih biaya.
Rekomendasi
Tn. AS, berusia 79 tahun, jenis kelamin laki-laki. Datang dengan nyeri dada. Pada pemeriksaan
fisik tidak ditemukan kelainan pada paru, JVP meningkat, EKG sinus rhythm. Hasil ekokardiografik
menunjukkan LVH konsentrik. Diagnosis utama pasien I25.1 Atherosclerotic heart disease dan
diagnosis sekunder I20.1 Angina pectoris dan I50.0 CHF. Pasien diberikan terapi astika,
artrovastatin, clopidogrel, fitbon, simvastatin, spironolakton, dan ISDN, serta pro percutaneous
coronary intervention (PCI).
Permasalahan
Terjadi peningkatan severity level karena penambahan diagnosis sekunder CHF dan Angina
pectoris. Hampir semua pola kasus PCI disertai dengan diagnosis tersebut.
Analisis Kasus
Angina pectoris merupakan gejala dan bagian dari diagnosis utama sehingga tidak perlu dikode
terpisah. PCI dengan severity level III yang bersifat elektif harus dilakukan di pemberi pelayanan
kesehatan tersier (PPK 3), kecuali sifatnya gawat darurat untuk menyelamatkan nyawa seperti syok
kardiogenik. Untuk severity level III yang dilakukan di pemberi pelayanan kesehatan sekunder (PPK
2) tidak dapat ditagihkan sehingga harus diturunkan menjadi severity level II dengan tujuan agar
sistem rujukan dapat berjalan dengan baik. (Hasil keputusan DPM Provinsi Jawa Barat Tahun 2018).
Analisis Koding
Sesuai kesepakatan DPM tahun 2018 dimana tertulis bahwa PCI severity level III harus
dilakukan di PPK tingkat 3, kecuali untuk sifat gawat darurat.
KUMPULAN P E N Y E L E SA I A N K A S US DISPUTE K L A I M 31
D E NGAN PEN D E K ATA N AU D I T M E D I S K E N DA L I MU T U D A N K E N D A L I B IAYA
Rekomendasi
1. Penggunaan diagnosis angina pectoris seharusnya tidak perlu digunakan lagi karena
merupakan tanda gejala dan bagian dari diagnosis utama.
2. Adanya batasan yang lebih spesifik yang dimaksud untuk kasus gawat darurat itu seperti
apa. Serta penambahan diagnosis angina pectoris apakah harus dikoding di setiap kasus
cathlab.
Ny. DR, berusia 36 tahun, jenis kelamin perempuan. Dengan tekanan darah 105/65 mmHg dan
berat badan 58 kg. Pasien didiagnosis utama dengan G3P2A0 hamil 37 minggu dengan plasenta
previa totalis dan diagnosis sekunder anemia ringan. Pasien dirawat selama 7 (tujuh) hari
dengan pemberian seftriakson, ketorolak, oksigen, ringer laktat, D5, parasetamol, metronid infus,
antasid, sefiksim, feromex, vitamin K, asam traneksamat, tramadol, ketoprofen supositoria, lasik,
metoklopramid, dan parasetamol.
Hasil laboratorium urin menunjukkan leukosit sedimen 10-15/LPB, eritrosit sedimen 3-5, sel epitel
5-10 protein urin negatif, leukosit kimia +3, pH 6.00, gula darah sewaktu (GDS) 94 mg/dL. Darah
lengkap pada 15/11 hemoglobin 10,3, leukosit 11.600, trombosit 294.000, 16/11 hemoglobin 6,1,
leukosit 23.000, trombosit 215.000, 17/11 hemoglobin 7,3, leukosit 15.700, trombosit 135.000, dan
19/11 hemoglobin 9,2, leukosit 11.300, trombosit 196.000. Pada pasien dilakukan transfusi darah
empat kolf, sectio caesarea transperitonealis (SCTP), supra vaginal hysterectomy (SVH), dan ligasi arteri
hipogastrika.
Permasalahan
Tindakan ligasi arteri hipogastrika dilakukan untuk mengontrol perdarahan post-SC dan
merupakan tindakan yang tidak menjadi kesatuan dari tindakan operasi yang saat itu dilakukan.
Sedangkan, tindakan kontrol bleeding ligasi arteri hipogastrika tersebut merupakan bagian dari
prosedur histerektomi.
1. Apakah tindakan ligasi arteri hipogastrika yang dilakukan pada rangkaian operasi tersebut
merupakan bagian dari prosedur histerektomi?
Jawaban TKMKB
Tidak semua dokter spesialis kompeten melaksanakan ligasi arteri hipogastrika. Tindakan pada
kasus ini bukan termasuk bagian dari prosedur histerektomi. Indikasi tindakan ligasi dari kasus ini
adalah histerektomi lebih sulit karena plasenta previa totalis, sehingga dilakukan supracervical
histerektomi. Ligasi dilakukan lebih proksimal.
1 kasus. Diagnosis utama: O440. Diagnosis sekunder: O990, O730, Z370. Prosedur: 74.4, 68.9,
38.86, 99.08. Kode INA-CBGs: I-1-20-II (Prosedur sistem peredaran darah lain-lain sedang). Tarif:
Rp14.240.100,00. Verifikasi. Diagnosis utama: O440. Diagnosis sekunder: O990, O730, Z370.
Prosedur: 74.4, 68.59, 99.04. Kode INA-CBGs: W-1-30-II (Prosedur pada vagina, servik & vulva sedang).
Tarif: Rp7.968.000,00.
Rekomendasi TKMKB
Diperlukan ketentuan yang dengan jelas mengatur koding prosedur yang merupakan bagian
dari prosedur utama.
Tn. HS, berusia 46, dengan tekanan darah 130/80 mmHg. Hasil pemeriksaan EKG menunjukkan
anterior MCI dan durante PCI. Diagnosis utama adalah I25.1 atheroscerotic heart disease dengan
Diagnosis sekunder I49.3 ventricular premature depolarization (VPD) dan I21.9 acute myocardial
infarction. Pasien dirawat selama tiga hari dan diberikan terapi klopidogrel, ISDN, nitrokaf R, miniaspi,
atorvastatin, dan concor.
Permasalahan
Pasien masuk tanggal 15 Juli untuk rencana PCI. Dilakukan PCI tanggal 16 Juli dengan laporan
PCI terlampir. Selama perawatan, kepada pasien dilakukan EKG sebelum, saat, dan pasca
tindakan PCI. EKG saat tindakan ditemukan, VPD saat dilakukan tindakan intervensi PCI, pada
laporan PCI tidak ditemukan kelainan EKG, akan tetapi dilampirkan cuplikan print out EKG yang
memuat gambaran EKG abnormal (VPD). Apakah perubahan EKG abnormal (VPD) yang muncul
saat dilakukan tindakan PCI dapat ditegakkan sebagai diagnosis? Sedangkan di laporan PCI tidak
ditemukan kelainan gambaran EKG VPD.
Analisis Kasus
Pasien yang dilakukan tindakan PCI biasanya pasien angina. Pada kasus ini, gangguan irama
timbul karena prosedur PCI, jadi tidak dimasukkan sebagai diagnosis. Bila terjadi komplikasi
yang berat, seperti cardiac arrest, maka harus dimasukkan sebagai diagnosis. Hasil DPM tidak
digunakan oleh RS sebagai pedoman karena semua pedoman harus berdasarkan keputusan P2JK.
KUMPULAN P E N Y E L E SA I A N K A S US DISPUTE K L A I M 33
D E NGAN PEN D E K ATA N AU D I T M E D I S K E N DA L I MU T U D A N K E N D A L I B IAYA
Analisis Koding
Ajuan RS adalah diagnosis utama I25.1 dengan diagnosis sekunder I49.3, I21.9. Prosedur yang
dilakukan 00.66, 85.92, 89.7, 90.59, 93.96. Kode INA-CBGs: I-1-40-III (percutaneous procedures of
cardiovascular system). Total tarif dalah Rp40.024.100,00. Setelah verifikasi, diagnosis utama I25.1.
Prosedur: 00.66, 85.92, 89.7, 90.59, 93.96. Kode INA-CBGs: I-1-40-I (percutaneous procedures of
cardiovascular system) dengan tarif Rp12.496.100,00.
Rekomendasi
Diperlukan ketentuan yang dengan jelas mengatur koding diagnosis pasien rawat inap.
Tn. S, berusia 54 tahun, jenis kelamin laki-laki. Dengan tekanan darah 170/110 mmHg dan berat
badan 55 kg. Hasil pemeriksaan diagnostik menunjukkan gula darah sewaktu 205 mg/dL.
Diagnosis utama hipertensi heart disease with CHF dan sekunder diabetes mellitus tipe II. Pasien
dirawat jalan dan diberikan terapi.
Permasalahan
Peserta mendapatkan obat kronis disertai lansoprazole 30 mg untuk kebutuhan 30 hari dan
diulang di bulan-bulan berikutnya.
1. Sampai kapan pemberian lansoprazole dapat diberikan untuk mendampingi obat anti
Diabetik/anti hipertensi/obat kronis jantung?
2. Apakah diberikan selama peserta mendapatkan obat kronis tersebut?
Meski demikian, terapi pada pasien ini tidak rasional. Lansoprazole tidak dapat diberikan terus-
menerus. Bila gangguan lambung berlangsung terus, maka perlu dilakukan pemeriksaan
endoskopi.
Analisis Koding
Rekomendasi TKMKB
Tuan A, berusia 59, jenis Kelamin: laki-laki, tekanan darah: 140/80, detak jantung: 116x/menit,
frekuensi napas: 32x/menit, suhu: 37,6˚C, diagnosis utama: liver cirrhosis, diagnosis sekunder:
hydronephrosis, upper gastrointestinal bleeding, ascites, pleural effusion. Jumlah hari rawat (RI): 5
hari. Hasil pemeriksaan diagnostik laboratorium hemoglobin: 12,2, leukosit: 4,05, trombosit: 182,
hematokrit: 34,2. Hasil USG abdominal: hepatosplenomegali dengan Multiple hepatic lesions
DD/cirrhosis malignancy bilateral pleural effusion & ascites, multiple left renal stones dengan left
hydronephrosis. Hasil RO toraks: curiga left ventricle enlargement dengan pulmonary edema masih
mungkin ec kurang inspirum. Obat: asam traneksamat, rexemid injeksi, spironolakton, curcuma
propanolol, nephrolith.
Permasalahan
Pasien dengan sesak napas dan perut membuncit disertai BAB hitam. Pada kasus tersebut, dari
hasil USG abdomen ditemukan adanya efusi pleura, namun tidak ada tindakan spesifik untuk
KUMPULAN P E N Y E L E SA I A N K A S US DISPUTE K L A I M 35
D E NGAN PEN D E K ATA N AU D I T M E D I S K E N DA L I MU T U D A N K E N D A L I B IAYA
mengatasi efusi pleuranya. Pertanyaan: apakah penegakan diagnosis efusi pleura hanya pada
kasus dengan tindakan punksi? atau dapat ditegakkan hanya dengan pemeriksaan penunjang
saja? Mohon kriteria untuk penegakan diagnosis efisi pleura.
Analisis Kasus
Efusi pleura bilateral sebagian besar sekunder dari jantung, liver dan hipoalbumin. Pada kasus
ini sebaiknya dilakukan punksi dan sitologi untuk mengetahui penyebabnya. BA Manual Koding
Nomor JP.02.03/3/2411/2018 dan 620/BA/1118 Efusi pleura sebagai diagnosis sekunder
apabila memenuhi salah satu Kriteria berikut ini:
1. Efusi pleura dengan jumlah berapapun dan penyebabnya apapun yang terbukti terdapat
cairan dengan tindakan punksi pleura/torakosintesis.
2. Efusi pleura yang terbukti dengan pemeriksaan imaging (foto toraks dan/atau USG toraks
dan/atau CT-Scan toraks) dengan jumlah minimal atau lebih dari minimal yang disertai
dengan tindakan punksi pleura (tidak harus keluar cairan) dan/atau tata laksana tambahan
sesuai penyebabnya diluar tata laksana diagnosis primer.
Definisi efusi pleura dengan jumlah minimal bila memenuhi salah satu kriteria berikut:
1. Gambaran efusi pada foto toraks lateral decubitus dan/atau CT-Scan toraks dengan
ketebalan kurang dari 10 mm.
2. Gambaran efusi pada USG toraks dengan jumlah cairan kurang dari 100 ml dan/atau jarak
antara pleura parietal dan pleura viseral kurang dari 10 mm.
Analisis Koding
Terdapat 17 Kasus dengan kode J90 tanpa tindakan punksi paru, yang kemudian dilakukan
pending klaim.
Rekomendasi
Penegakan diagnosis J90 Pleural Effusion didukung dengan prosedur punksi paru.
J.2. Asma
Tuan AR, berusia 47 tahun, jenis kelamin laki-laki, tekanan darah 120/80 mmHg, denyut nadi 88/
menit, frekuensi napas 20/menit, suhu badan 38˚C, pemeriksaan fisik: wheezing (+). Diagnosis
utama: predominantly allergic asma, diagnosis sekunder: Laringofaringitis akut. Jumlah hari rawat
(RI): 3 hari. Terapi yang sudah diberikan: tablet levofloksasin 1x500mg, dumin 3x1, teosal 3x1,
prednison 3x1, sirup coredryl 3xC1, infus ringer laktat.
Indikasi rawat inap pada pasien tersebut, mengingat sesak nafasnya bisa diatasi dengan obat per
oral. Hasil konfirmasi: pasien perlu rawat inap karena asma ada pencetus infeksi. Pertanyaan:
Bagaimana Kriteria kondisi pasien asma yang harus mendapatkan perawatan inap?
Analisis Kasus
Indikasi rawat inap adalah tidak responsif dengan nebul (3x dalam 1 jam masih sesak); komorbid
(infeksi berat mis pneumonia); mual muntah; diabetes mellitus tidak terkontrol.
Analisis Koding
Rekomendasi TKMKB
Diagnosis asma yang responsif dengan tindakan nebulizer (max. 3x dalam 1 jam) tidak
memerlukan rawat inap.
Tn. IAP, berusia 22 tahun, dengan diagnosis utama: bacterial infection. Terapi yang diberikan: infus
ringer laktat setiap 8 jam, tablet parasetamol 3x500 mg, tablet sefiksim 2x200 mg, lansoprazole
2x30 mg. Nama DPJP: dr. SP.PD. Anamnesis menunjukkan demam 4 hari, mual, lemas. Pemeriksaan
fisik: Nyeri tekan epigastrium (+). Hasil laboratorium: Widal 1/160 mg.
Permasalahan
1. Pasien dengan lama rawat 3 hari, usia dewasa tanpa tanda dehidrasi, dengan terapi oral
dirawat inap.
2. Indikasi rawat pasien demam yang tidak teratasi di IGD.
Analisis Kasus
Apa saja keluhan atau tanda yang dapat menjadi indikasi rawat inap pada pasien demam? Pada
pasien dengan mendapatkan terapi oral bisakah dilakukan rawat jalan atau harus dirawat inap?
Apakah cara pemberian obat kepada pasien dapat menjadi indikasi rawat inap pada pasien?
KUMPULAN P E N Y E L E SA I A N K A S US DISPUTE K L A I M 37
D E NGAN PEN D E K ATA N AU D I T M E D I S K E N DA L I MU T U D A N K E N D A L I B IAYA
Indikasi rawat inap pada pasien demam: dehidrasi, intake sulit (dyspepsia). Pada kasus ini di hari
1 dan 2 terapi injeksi supaya adekuat mengenai dyspepsia dan harus ada loading cairan yang
berarti, pada pasien ini tidak mendukung. Jikalau terapi oral jika sudah ada terapi adekuat di hari
1 dan 2 dan sudah ada perbaikan keadaan umum pasien baru dilanjutkan terapi oral. Pada kasus
ini dapat ditangani dengan rawat jalan. Penanganan dyspepsia secara per oral tidak adekuat,
sebaiknya diberikan terapi injeksi. Pada kasus ini tidak ada indikasi rawat inap pasien. Alarm
symptom: dyspepsia dengan penurunan BB. Dyspepsia merupakan kasus rujukan non spesialistik.
Analisis Koding
Rekomendasi
Pada kasus demam yang perlu penanganan rawat inap atas indikasi adanya dehidrasi,
intake sulit, dyspepsia dengan penurunan berat badan. Pada perawatan inap diperlukan terapi
injeksi yang adekuat di hari pertama dan kedua, lalu evaluasi dengan pemberian terapi oral.
Penanganan dyspepsia secara per oral tidak adekuat. Pada kasus ini tidak ada indikasi rawat
inap.
Tn. D, usia 32 tahun. Anamnesis menunjukkan sakit perut, mual, kembung. Pemeriksaan fisik: tekanan
darah: 120/80 mmHg, frekuensi denyut nadi: 92 x/m. Pemeriksaan penunjang: leukosit 12.900.
Terapi: pantoprazole, sucralfat, braxidin. Diagnosis: gastro-oesophageal reflux disease without
oesophagitis.
Permasalahan
Analisis Kasus
GERD ditegakkan berdasarkan symptoms, tidak perlu diendoskopi. Bila ada DD/yang lain yang
berkaitan dengan saluran nafas kronik refluks/mual, maka harus dilakukan endoskopi untuk
menegakkan diagnosis. (KMK RI Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 halaman 115). Berita Acara
Kesepakatan Bersama Mengenai Panduan Penatalaksanaan Solusi Permasalahan Klaim INA-CBG
Tahun 2018 Bab VIII. Penyakit-Penyakit Sistem Pencernaan poin 90, 91, 92, 140.
Trend kasus gastritis tanpa endoskopi mengarah pada diagnosis GERD dengan gejala
nyeri perut, mual. Sedangkan penjelasan dalam KMK RI HK.02.02/MENKES/514/2015:
gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah mekanisme refluks melalui sfingter esofagus.
Analisis Koding
Rekomendasi TKMKB
Pasien usia 20 tahun dengan benjolan di gusi bawah kanan. Pemeriksaan fisik: tekanan darah:
120/80; frekuensi denyut nadi: 80x/m; laju napas: 20x/m. Gizi baik. Jenis anastesi: NU. Tindakan
operasi: enukleasi dan odontektomi. Lama tindakan: 15 menit. Klaim diajukan dengan: Diagnosis:
1. Other cysts of jaw (K09,2); 2. Impaksi Gigi 8 (K01.1). Tindakan: 1. Excision of dental lesion of jaw
(24.4), 2. Odontektomi (23.19).
Permasalahan
Persentase rata-rata kista Folikuler dengan tindakan enukleasi dengan kode tindakan 24.4=52%
dari total keseluruhan kasus bedah mulut. Semua pasien dengan tindakan odontektomi 1 gigi
dilakukan rawat inap dengan Narkose Umum. Sudah dilakukan konfirmasi ke DPJP terkait kode
tindakan untuk memastikan tindakan yang dilakukan apakah eksisi lesi pada gusi atau gigi. Hasil
konfirmasi semua kasus: tindakan dilakukan pada lesi di dalam tulang mandibula bukan di gusi.
Apakah semua kasus odontektomi dilakukan tindakan enukleasi dengan kode tindakan
Excision of dental lesion of jaw (24.4).
Analisis Kasus
Odontektomi yang dirawatinapkan harus ada klasifikasi jelas, jika hanya 1 gigi tidak perlu
dilakukan NU. Konfirmasikan kembali alasan medis rawat inap. Jika ada kista maka dilihat
ukuran kista besar atau kecil, untuk enukleasi lampirkan expertise hasil rontgen panoramic
gigi. Jika ukuran kistanya kecil maka tindakan eksisi sudah termasuk dalam odontektomi.
Konfirmasikan kembali ukuran kista pasien tersebut.
Analisis Koding
KUMPULAN P E N Y E L E SA I A N K A S US DISPUTE K L A I M 39
D E NGAN PEN D E K ATA N AU D I T M E D I S K E N DA L I MU T U D A N K E N D A L I B IAYA
Rekomendasi
Perlu adanya pertemuan lebih lanjut membahas kriteria rawat inap odontektomi dan kriteria
diagnosis odontektomi dengan eksisi kista.
Pasien usia 56 tahun dengan benjolan di inguinal dx. Pemeriksaan fisik: riwayat penyakit (-). Jenis
anastesi: spinal. Tindakan operasi: repair hernia kanan + adhesiolysis. Lama tindakan: 50 menit.
Klaim diajukan dengan diagnosis unilateral or unspecified inguinal hernia, without obstruction or
gangrene (K04.9); peritoneal adhesions (K66.0). Tindakan: unilateral repair of indirect inguinal hernia
(53.02); other lysis of peritoneal adhesions (54.59).
Permasalahan
Perubahan pola pengklaiman kasus hernia: penambahan kode diagnosis sekunder peritoneal
adhesion (K66.-) dan tindakan other lysis of peritoneal adhesions (54.59) sejak Februari 2019,
perubahan kode grouper (K-1-14- menjadi K-1-11-) tarif INA-CBGs ± 30% lebih tinggi. Lamanya
dirawat (LOS) berkisar antara 1-3 hari (pada clinical pathway RS, untuk kasus bedah rawat inap
tanpa pemberat/penyerta maksimal 7 hari). Sudah dilakukan konfirmasi kepada koder terkait
keterangan includes dan excludes kode tindakan sesuai ICD 9 tahun 2010 dan konfirmasi kepada
DPJP. Hasil konfirmasi: semua kasus dilakukan peritoneal adhesiolysis pada tempat yang berbeda,
tujuan tindakan berbeda maka dikoding terpisah. Diagnosis sekunder (K66.-) dan tindakan other
lysis of peritoneal adhesions (54.59) sudah merembet pada kasus bedah lain juga kasus obgyn.
Analisis Kasus
Jika hernia inguinal tidak ada tindakan adhesiolysis. Tindakan adhesiolysis pada kasus ini tidak
sesuai. Peningkatan kasus yang signifikan terjadi pada bulan Februari dan Mei yaitu: Februari:
4 dari 6 kasus (67%); Maret: 1 dari 3 kasus (33%); April: 2 dari 5 kasus (40%); Mei: 6 dari 10 kasus
(10%); Juni: 2 dari 5 kasus (40%); Juli: 7 dari 14 kasus (50%).
Analisis Koding
Terjadi perubahan pola pengklaiman kasus hernia: penambahan kode diagnosis sekunder
peritoneal adhesion (K66.-) dan tindakan other lysis of peritoneal adhesions (54.59) sejak Februari
2019, perubahan kode grouper (K-1-14- menjadi K-1-11-), tarif INA-CBGs ± 30% lebih tinggi. Yang
mana kasus tersebut mulai merembet pada pengklaiman bagian obgyn.
Tn. S (29 Tahun), peserta BPJS Kesehatan segmen kepesertaan TNI Angkatan Darat dirawat selama
13 hari dengan diagnosis sementara (masuk) adalah soft tissue tumor (STT) penis. Diagnosis akhir:
abses penis. Prosedur: - eksisi debridement penis. Input INA-CBG: diagnosis utama N48.2 (other
inflammatory disorder of penis) dan prosedur: 64.2 (local Excision or destruction of lesion of penis)
86.74 (attachment of pedicle or flap graft to other sites).
Permasalahan
Analisis Kasus
Sesuai dengan kasus tersebut, bukan merupakan estetika akan tetapi tergolong pada penyakit
(infeksi atau radang). Akan tetapi sesuai dengan Peraturan Presiden 82 Tahun 2018 bahwa
gangguan kesehatan yang timbul akibat dengan sengaja menyakiti diri sendiri tergolong
pada pelayanan kesehatan yang tidak dijamin oleh Program JKN, maka kasus tersebut masuk
dalam kategori tidak dijamin.
Analisis Koding
Rekomendasi TKMKB
KUMPULAN P E N Y E L E SA I A N K A S US DISPUTE K L A I M 41
D E NGAN PEN D E K ATA N AU D I T M E D I S K E N DA L I MU T U D A N K E N D A L I B IAYA
Kasus L.2. Abses Kulit
Pasien mengeluh nyeri kaki kiri dan bengkak, tanda-tanda vital dalam batas normal, tidak demam.
Diagnosis: L02.4 (cutaneous abscess, furuncle and carbuncle of limb) dengan prosedur 86.09 (other
incision of skin and subcutaneous tissue).
Permasalahan
Bagaimana tindakan yang tepat untuk diagnosis cutaneous abscess, furuncle dan carbuncle of
limb?
Analisis Kasus
Insisi dan debridement biasanya dilakukan dalam satu kesatuan tindakan, kecuali pada kasus
abses terbuka debridement bisa dilakukan tanpa insisi. Sedangkan untuk kasus furuncle perlu
dilakukan insisi kemudian dilakukan debridement. Untuk kasus ini dapat dilihat lagi diagnosis
medis yang ditegakkan dokter.
Analisis Koding
Terdapat perubahan kode yang menyebabkan peningkatan biaya dari kode INA-CBGs L-4-12-I
menjadi L-1-40-I sehigga terjadi peningkatan tarif INA-CBGs.
Rekomendasi
Dilakukan pengecekan kembali apabila diagnosis tegak adalah abses terbuka cukup dilakukan
debridement tanpa insisi, apabila kasus furuncle perlu dilakukan insisi kemudian debridement.
Pasien Ny C, usia 30 tahun dengan luka di kaki kiri. Pemeriksaan fisik: tekanan darah:
110/70, denyut jantung: 80x/menit, laju napas: 16x/menit. Suhu badan: 37°C. Pemeriksaan
penunjang: hemoglobin: 12.8 g/dL, lekosit: 10,800/mm3, trombosit: 256,000/mm3, ALT
(SGPT) 23 U/L, kreatinin: 0.9 mg/dL, gula darah sewajtu (GDS): 85 mg/dL. Diagnosis:
fascitis nekrotik area pedis (s) (M72.67). Terapi: operasi fasciotomy + necrotomy debridement
(83.14+86.22), IVFD NACL 0,9, cebobactam 2x1, ranitidin 2X1 amp, ketorolac 2X1,
sefiksim 200 2x1 mg, asam mefenamat 3x1 mg, ranitidin 2x1 mg. Jenis anastesi: spinal. Jenis
Permasalahan
Prosedur laporan operasi dilakukan eksisi debridement sampai lapisan fascia. Sehingga kode
yang diajukan oleh pihak rumah sakit adalah fasciotomy (83.14) dan eksisi debridement (86.22).
Analsis Kasus
Fasciotomy lebih ke arah fascia untuk menghindarkan suatu kompartemen dari ekstremitas.
Nekrotik/eksisi debridement tidak untuk membebaskan kompartemen, hanya untuk membuang
jaringan tidak baik. Setelah dilakukan konfirmasi ke rumah sakit tentang fasciotomy ternyata
hanya dilakukan eksisi debridement, tidak dilakukan pembukaan kompartemen.
Analisis Koding
Tarif biaya grouper yang menggunakan fasciotomy memiliki kode 83.14. Sementara dengan
menggunakan kode 86.22 untuk diagnosis necrotizing fasciitis (M72.67) dengan grouper M-4-21-I.
Rekomendasi
Ny. T berusia 50 tahun dengan diagnosis utama OA. Terapi yang sudah diberikan: NSAID, SAID, dan
Injeksi artikuler.
Permasalahan
Analisis Kasus
Osteoarthritis merupakan penyakit degeneratif dimana terapi injeksi dilakukan setelah terapi
KUMPULAN P E N Y E L E SA I A N K A S US DISPUTE K L A I M 43
D E NGAN PEN D E K ATA N AU D I T M E D I S K E N DA L I MU T U D A N K E N D A L I B IAYA
non farmakologis dilakukan, misal menurunkan berat badan, dll. Pemberian injeksi lebih bersifat
therapeutic. Injeksi intraartikuler pada osteoarthritis mengurangi progresifitas degeneratif, tetapi
tidak menyembuhkan kondisi osteoarthritis (tidak mutlak bersifat etiologis).
Terapi injeksi dapat menggunakan steroid dan asam hyaluronat, pada pemberian steroid lebih
efektif dengan menggunakan injeksi dari pada oral, namun injeksi steroid pada sendi dapat diberikan
selang 3-4 bulan untuk mencegah resiko osteoporosis jika dilakukan injeksi steroid terlalu
sering. Untuk teraupetik hyaluronic acid dapat diberikan 1x/minggu diberikan berturut-turut
selama 5 minggu untuk perbaikan cairan sendi atau 1x/6 bulan sesuai brand obat tersebut. Injeksi
dengan hanya menggunakan Lidocain tidak masuk kedalam intraartikuler. Lidocain tidak dipakai
sebagai terapi tunggal tetapi mendahului atau menyertai terapi lain, seperti asam hyaluronat.
Diagnosis bisa variatif, tindakan Injeksi intraartikuler dapat berfungsi untuk diagnostik misal
pada hemarthros/perdarahan pada sendi lutut dan injeksi intraartikuler dapat berfungsi untuk
theraputic pada diagnosis OA dengan menggunakan injeksi steroid atau injeksi asam hyaluronat.
Prosedur injeksi dapat dilakukan oleh neurolog/Orthopedi dan Rheumatologi/anestesi/
rehabilitasi medis yang mempunyai sertifikat kompetensi tambahan (SKT) dari kolegium
masing-masing. Kasus dimana skala nyeri tinggi (VAS), sehingga menyebabkan keterbatasan
pergerakan dan tidak berefek dengan anti nyeri oral. Salah satu alasan rawat inap juga karena
injeksi dapat menyebabkan nyeri lokal yang bersifat sementara waktu.
Analisis Koding
Rentang waktu tergantung jenis obat yang diinjeksikan. Injeksi dapat menggunakan steroid
dan asam hyaluronat. Operator harus memiliki sertifikat kompetensi tambahan. M-4-18-I. Jika
diterapkan maka biaya akan berkurang dengan pengaturan interval injeksi dan pemberlakuan
SKT dapat memperketat operator yang melakukan prosedur injeksi.
Rekomendasi
Tn. H berusia 50 tahun dengan diagnosis utama: HNP, diagnosis sekunder: - Terapi yang sudah
diberikan: NSAID, SAID. Tindakan: facet block. LOS: - Nama DPJP: Dr. A
Permasalahan
Pasien facet block tindakan ada yang dilakukan rawat jalan dan rawat inap.
Penggunaan USG sebagai guidance misalnya pada facet block (tindakan intervensi nyeri).
Guidance USG dilakukan oleh neurolog, orthopedi, anestesi, rheumatologi yang memiliki
kompetensi tambahan yang diakui oleh kolegium masing-masing. Kompetensi tambahan yang
dimiliki DPJP dapat disampaikan ke BPJS Kesehatan. Namun secara hukum menurut Kepmen
1014/2014 tindakan dan ekspertise dilakukan oleh spesialis radiologi. Dimana jika ada masalah
hukum yang berkaitan dengan ekspertise spesialis radiologi yang mempunyai kewenangan
facet block dilakukan dengan guide USG, di lokasi yang paling nyeri di injeksi anestesi lokal
lidokain dan obat yang digunakan campuran lidokain dan steroid (campuran ini merupakan
anestesi blok maka nyeri akan berkurang). Indikasi rawat inap setelah dilakukan tindakan dan
dievaluasi masih nyeri yang hebat.
Aanalisis Koding
Tindakan facet block menggunakan guide USG dan operator harus memiliki SKT. M-4-17-I. Jika
memberlakukan sesuai dengan hasil DPM maka akan mengurangi frekuensi injeksi facet block
di RS.
Rekomendasi
Ny. Y, berusia 30 tahun, jenis kelamin perempuan dengan diagnosis utama dyspneu ec asma bronkial
dan diagnosis sekunder G3P1A1 hamil 28 minggu. Anamnesis: G1P1A1 hamil 28 minggu, sesak
nafas. Pemeriksaan fisik: terdapat bekas SC 1x, hiponatremia, hipokalemia. Hasil laboratorium:
hemoglobin 13,3, hematokrit 38, leukosit 12880, trombosit 183000. Hasil pemeriksaan lainnya:
mengalami wheezing. Terapi yang sudah diberikan: ventolin 3x1 puff, injeksi seftriakson 2x1 amp
Permasalahan
Pasien masuk ranap dengan indikasi ranap dyspneu ec suspek asma bronkial dd/CAP. Kemudian
RS menagihkan dengan penambahan diagnosis sekunder 060.0 Preterm labour without delivery.
Ada kecenderungan/trend pasien dengan kondisi hamil yang dirawat inap selalu ditambahkan
diagnosis O60.0.
KUMPULAN P E N Y E L E SA I A N K A S US DISPUTE K L A I M 45
D E NGAN PEN D E K ATA N AU D I T M E D I S K E N DA L I MU T U D A N K E N D A L I B IAYA
Pertanyaan:
1. Apakah definisi preterm labour without delivery (persalinan palsu)?
2. Apakah tanda-tanda klinis dari persalinan palsu dan bagaimana tata laksananya?
3. Apa perbedaan persalinan palsu dengan kontraksi palsu?
Analisis Kasus
Preterm Labour adalah persalinan yang terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu. Kriteria
preterm labour adalah terdapatnya kontraksi secara terus menerus, teratur, semakin lama
semakin sering, dan terdapat cervical dilatation. Preterm labour <34 minggu diberikan tokolitik,
pematangan paru, dipertimbangkan terminasi atau tidak. Kontraksi Palsu adalah kontraksi yang
tidak teratur/aritmik, waktunya singkat, dan frekuensinya tidak sering. Bukan indikator untuk
dilakukan perawatan.
Analisis Koding
Kode O47.0 false labour before 37 complete weeks of gestation tidak bisa dikoding bersamaan
dengan O60.0 preterm labour without delivery, dikarenakan false labour tidak membutuhkan
perhatian khusus (tanpa tata laksana tidak dikodingkan). Ancaman partus prematurus O60.0
harus ada tata laksana tokolitik dan pematangan paru.
Rekomendasi
Kriteria preterm labour adalah terdapatnya kontraksi secara terus menerus, teratur, semakin
lama semakin sering, dan terdapat cervical dilatation (persalinan yang terjadi sebelum usia
kehamilan 37 minggu).
Ny. F berusia 28 tahun jenis kelamin perempuan dengan diagnosis utama delivery by SC dan
diagnosis sekunder anaemia complicating pregnancy, janin letak lintang. Terapi yang sudah
diberikan: infus ringer laktat - keterolac 1 ampul + pitogon 10 iu 20 tetes/menit, seftriakson
2x1g drip, pronalges supositoria 3x1, tablet sefadroksil 2x500mg, tablet asam mefenamat
3x500mg, tablet milmor 1x1. Anamnesis: pasien datang sudah lewat bulan dan mulas-mulas. Hasil
laboratorium: hemoglobin 9,6. Tidak ada hasil pemerikasaan lainnya dan rencana terapi.
Terjadi trend kasus persalinan SC dengan diagnosis sekunder Anemia (tanpa tata laksana
anemia) sekitar 30% dari rata-rata kasus SC tiap bulan. Bagaimana penegakan diagnosis anemia
pada kehamilan? Kondisi anemia pada kehamilan yang seperti apa yang membutuhkan
transfusi?
Analisis Kasus
Anemia bukan merupakan indikasi absolut dilakukan SC. Jenis anemia harus diperiksa, dan harus
diterapi sesuai anemianya. Anemia adalah suatu diagnosis, dan bisa menjadi diagnosis sekunder.
Menurut WHO, disebut anemia jika:
a. Pada trimester 1, hemoglobin <11
b. Pada trimester 2 dan 3, hemoglobin <10,5
c. Pada postpartum, hemoglobin <10
Terapi anemia:
1. Suplemen oral dapat diberikan saat rawat inap atau saat pulang rawat.
2. Suplemen intravena dapat dilakukan saat rawat inap.
3. Transfusi dilakukan jika hemoglobin <7 atau hemoglobin <8 dengan gangguan hemodinamik.
Analisis Koding
Rekomendasi TKMKB
Ny. N, berusia 33 tahun dengan diagnosis utama Second degree perineal laceration dan diagnosis
sekunder Other spontaneus delivery. Terapi yang sudah diberikan adalah ringer laktat, seftriakson,
misoprostol 200 mcq, asam mefenamat, oksitosin, dan klindamisin.
Permasalahan
Dari 62 persalinan spontan, 56 dengan ruptur perineum (90,3%), sehingga tampak tren pasien
yang melahirkan spontan selalu diikuti dengan ruptur perineum. Apakah ruptur perineum
merupakan kondisi yang normal terjadi pada persalinan normal? Kondisi medis seperti apa yang
membutuhkan episiotomi?
KUMPULAN P E N Y E L E SA I A N K A S US DISPUTE K L A I M 47
D E NGAN PEN D E K ATA N AU D I T M E D I S K E N DA L I MU T U D A N K E N D A L I B IAYA
Analisis Kasus
Partus normal adalah persalinan aterm, dengan bayi lebih dari 2500 gram, letak belakang kepala,
dengan tenaga ibu sendiri, tanpa episiotomi, tanpa adanya ruptur. Partus harus disertakan
partograf. Partus spontan tidak selalu berupa persalinan normal. Contoh dengan induksi.
Sehingga, tidak harus ada partograf. Ada juga assisted vaginal delivery: forceps, vakum. Grading
ruptur ada 4. Grading 1 dan 2 ranah Bidan dan dokter umum. Grading 1 dan 2 tidak perlu
dikoding ruptur karena tidak perlu tindakan yang lebih, kecuali ada laserasi dinding pelvis yang
membutuhkan effort yang lebih. Grading 3 dan 4, perlu koding sendiri, dan harus ditata laksana
oleh Sp.OG.
Indikasi episiotomi adalah Persalinan Kala II yang terlalu lama, otot perineum yang terlalu kaku,
untuk assisted delivery. Untuk mencegah ruptur total. Perineorrhaphy hanya untuk tindakan ruptur
perineum. Untuk kasus laserasi dinding pelvic, ruptur portio prosedur tersendiri.
Analisis Koding
Rekomendasi TKMKB
Ruptur yang dapat dikoding adalah ruptur dengan derajat 3 dan 4, dan harus ditata laksana
oleh Sp.OG. Indikasi episiotomi adalah PK2 yang terlalu lama, otot perineum yang terlalu kaku,
untuk assisted delivery, dan untuk mencegah ruptur total. Perineorrhaphy hanya untuk tindakan
ruptur perineum.
Ny. A, berusia 37 Tahun, merasa hamil satu bulan dengan scar pregnancy. Diagnosis utama suntik
Metotrexate pada G4P3 hamil 6 minggu. Diagnosis sekunder bekas SC 3x. Pada anamnesis, pasien
merasa hamil 1 bulan, scar pregnancy (+). Hasil pemeriksaan lainnya: Beta HCG (+). Rencana terapi:
Metotrexate 1x50 mg, B Complex 3x1.
Permasalahan
Analisis Kasus
Untuk kasus kehamilan extrauterin kecil kejadiannya. Kasus ini terjadi pada bekas luka operasi.
Tidak semua kasus ektopik dilakukan operasi, bisa dilakukan dengan konservatif manajemen, yaitu
dengan pemberian metotrexate 1x 50 mg intramuskular. Efek obat kurang lebih 6 jam.
Rekomendasi TKMKB
Tidak semua kasus ektopik dilakukan operasi, bisa dilakukan dengan konservatif manajemen.
Pada Kasus Ny. X usia 32 tahun dengan anamnesis G3P2A0 H 40 minggu, inpartu kala I, letak
oblique, mulas hilang timbul dan keluar air-air sejak 3 hari SMRS dan USG 1 hari SMRS letak
oblique. Diagnosis akhir resume: G3P2A0, CPD, Makrosomia, letak sungsang, KPD >24 jam pukul
07.00. Terapi yang sudah diberikan Section caesarean. Laporan tindakan: dilakukan persiapan
pra bedah. Setelah peritonium dibuka uterus membesar sesuai kehamilan aterm. Plika vesiko
uterina disayat semilunar, kandung kencing disisihkan ke bawah, SBU disayat semilunar, air
ketuban putih keruh, tidak berbau, jumlah + 100 ml. Bayi tunggal dilahirkan dengan FE BB
2800 gram, PB 50 cm, AS 8-9. Penagihan klaim kepada BPJS Kesehatan, diagnosis utama adalah
maternal care for disproportion due to deformity of maternal pelvic bones (O33.0) dan diagnosis
sekunder: delivery by elective caesarean section (O82.0), maternal care for transverse and oblique
lie (O32.2), premature rupture of membranes, onset of labour after 24 hours (O42.1), single live birth
(Z37.0) dan prosedur yang diberikan low cervical cesarean section (74.1).
Permasalahan
Analisis Kasus
KPD adalah ketuban yang pecah yang terjadi sebelum fase inpartu. Jika ketuban pecah setelah
inpartu disebut ketuban pecah. Fase inpartu ditandai dengan adanya HIS 2x selama 10 menit,
adanya lendir darah, belum ada pembukaan dan KPD ditandai dengan adanya Tes Lakmus (+).
Pada kasus ini KPD sepertinya terjadi pada fase laten dan belum ditemukan tanda-tanda inpartu
sehingga dapat dikoding.
Analisis Koding
Banyak koding KPD yang dilakukan pengkodingan setelah masa inpartu. Terjadi selisih biaya
apabila koding KPD dimasukan.
KUMPULAN P E N Y E L E SA I A N K A S US DISPUTE K L A I M 49
D E NGAN PEN D E K ATA N AU D I T M E D I S K E N DA L I MU T U D A N K E N D A L I B IAYA
Rekomendasi
Dilakukan reviu kembali sesuai dengan rekomendasi TKMKB dan melakukan audit klaim sesuai
dengan rekomendasi dari TKMKB.
An. HGAK umur 14 tahun dengan diagnosis utama epidural haemorrhage (S06.4), diagnosis sekunder
concussion (S06.0). Pasien masuk IGD dengan CKR, haematome di kepala, pusing, mual (-), muntah (-).
Jumlah hari rawat (RI) 7 hari. Terapi yang sudah diberikan tofedex ampul, asam mefenamat, metil
prednisolon, injeksi asam traneksamat, injeksi seftriakson. Tindakan operasi craniotomy (01.24).
Hasil Pemeriksaan diagnostik: CT: 3’30”, BT: 1’30”, leukosit darah: 23100, hematokrit: 32.6, eritrosit:
4.97, trombosit: 224000, MCV: 65.6, MCHC: 45.6, limfosit: 23.8, monosit: 8.7. Hasil CT-Scan: epidural
hematome di regio temporal sinistra, Vol: 105 cc, hematome di sinus maksilaris sinistra.
Permasalahan
Hasil konfirmasi dokter dilakukan tindakan operasi karena pasien epidural haemorrhage kurang
250 cc. Kepala dibor sebanyak 3 lubang untuk mengeluarkan darah. Di laporan operasi
berjumlah 100 cc. Jika tidak dilakukan tindakan craniotomy maka pasien bisa meninggal dunia.
Laporan operasi: tanggal 10/07/2018. Anastesi: GA. Lama operasi: 60 menit. Tindakan pembedahan:
craniotomy (1. Kepala di BOR sebanyak 3 lubang, 2. Cairan darah keluar, 3. Evaluasi hematome
kurang lebih 100 cc, 4. Hecting dura, 5. Tutup luka dan drain, 6. Rawat luka operasi, 7. Operasi
selesai). Bagaimana kewenangan klinis spesialis untuk melakukan prosedur kraniotomi?
Analisis Kasus
Untuk kasus trauma emergensi, dokter bedah umum boleh melakukan craniotomy, karena
selama pendidikan sudah dibekali ilmu tersebut (berkompetensi).
Analisis Koding
Rekomendasi TKMKB
Ny. T (67 tahun) datang ke poli penyakit dalam dengan diagnosis impacted serumen. Dilakukan
prosedur irigasi telinga.
Permasalahan
Dibutuhkan pelayanan THT tanpa adanya dokter spesialis THT, di bawah tanggung jawab
spesialis penyakit dalam.
Analisis Kasus
Kondisi ini dapat dilakukan apabila memang sangat diperlukan tindakan tersebut dikarenakan
karena pasien sangat kesakitan dan sangat terganggu (kegawatdaruratan). Terkait hal ini maka
jika memang kondisi tidak gawat darurat dapat dialihkan ke fasilitas kesehatan lain yang
memiliki spesialistik sesuai dengan kebutuhan pasien.
Analisis Koding
Rekomendasi TKMKB
Pelayanan dapat diberikan oleh spesialistik lain jika kondisinya gawat darurat.
Ny. S, umur 32 tahun. Terapi yang sudah diberikan: Tofedex cebactam tranfusi. LOS: 2 hari.
Pasien mengalami perdarahan H-9 Post SC. Hasil laboratorium: Hb 6,9. Laporan operasi:
dilakukan kuretase.
Permasalahan
KUMPULAN P E N Y E L E SA I A N K A S US DISPUTE K L A I M 51
D E NGAN PEN D E K ATA N AU D I T M E D I S K E N DA L I MU T U D A N K E N D A L I B IAYA
Analisis Kasus
Kuretase dilakukan post SC bisa karena ada sisa plasenta post SC. Pada kasus SC bisa terjadi sisa
plasenta di daerah kornu. Observasi perdarahan TV dalam batas normal, perdarahan lokia biasa.
USG post SC belum ada juknis, tetapi perlu dilakukan 1x USG post SC pada kontrol pertama
kali (lazimnya 6-7 hari pasca SC), melihat perdarahan luka pada bekas jahitan, sisa plasenta,
perdarahan di lokasi lain.
Analisis Koding
Rekomendasi TKMKB
Kasus diperbolehkan
Pasien hamil cukup bulan G2P1A0 datang dengan keluhan perut kencang-kencang. Riwayat SC
anak pertama atas indikasi panggul sempit. Tekanan darah:120/80mm/Hg, frekuensi napas: 16x/
menit, T: 37C, Hr: 84 x/menit. Diagnosis utama O34.9 maternal care for abnormality of pelvic organ
dan diagnosis sekunder O82.8 other single delivery by caesarean section. Prosedur 74.4 caesarean
section of other specified type dan 65.89 other lysis of adhesions of ovary and fallopian tube.
Permasalahan
Pasien SC dengan perlengketan dengan tindakan adhesiolysis yang ditagihkan terpisah karena
menggunakan instrumen berbeda.
Analisis Kasus
Pada kasus ini perlengketan akibat SC sebelumnya sehingga tindakan adhesiolysis menjadi satu
tindakan dengan prosedur SC.
Analisis Koding
Penegakan prosedur adhesiolysis pada kasus SC yang merupakan prosedur minor dari prosedur
SC. Prosedur minor include dalam prosedur mayor. Terjadi peningkatan tarif INA-CBGs.
Rekomendasi
Adanya standar tindakan SC yang dilakukan adhesiolysis dan hanya tindakan SC.
Dalam proses kompilasi kasus dispute claim ditemui bahwa laporan yang dikirimkan kepada
TKMKB banyak sekali yang tidak lengkap, yaitu dari sisi kelengkapan data pasien, penulisan
analisis kasus dan masalah yang terjadi. Sehingga kasus-kasus yang seharusnya bisa dirangkum
dan dapat menjadi referensi kasus terbuang karena kurangnya kelengkapan data tersebut.
Dan bisa dilihat, uraian kasus-kasus pada bab 3 masih banyak kekurangan dalam hal pelaporan
kasus yang coba sama-sama kita perbaiki. Misal: ketidaksesuaian dalam menentukan analisis
kasus, tidak jelasnya analisis koding dan analisis biaya. Hal ini tentu bisa dihindari dengan
mengirimkan laporan kasus dispute claim sesuai dengan uraian dalam bab 2 buku ini.
1. Analisis Kasus
Dapat dipahami bila terjadi masalah berkenaan dengan implementasi suatu tindakan
dibandingkan dengan standar atau pedoman yang berlaku. Dalam kenyataannya ditemui
masalah ini dikarenakan hal-hal berikut:
a. Belum adanya standar/pedoman yang baku
b. Kesalahpahaman atau salah tafsir tentang bunyi kalimat dalam standar/pedoman
c. Ketidaktahuan akan standar/pedoman yang ter-update
2. Analisis Koding
Kasus yang terjadi karena kekurangan/kesalahan dari sistem koding memang
membutuhkan masukan dari fasilitas kesehatan sebagai pengguna sistem ini dan perlu
ada sistem agar kekurangan/kesalahan dari sistem koding dapat diselesaikan dengan
waktu sesingkat-singkatnya.
KUMPULAN P E N Y E L E SA I A N K A S US DISPUTE K L A I M 53
D E NGAN PEN D E K ATA N AU D I T M E D I S K E N DA L I MU T U D A N K E N D A L I B IAYA
Tentu masalah koding ini bukan hal yang dapat diselesaikan oleh TKMKB, sehingga perlu
waktu untuk dapat menyampaikan masukan dari fasilitas kesehatan ke BPJS Kesehatan,
berkoordinasi dengan organisasi profesi tentang penetapan sistem koding.
Dari kumpulan seluruh kasus dispute claim yang dilaporkan dan terkumpul, untuk analisis
biaya ini yang masih hanya menuliskan besaran biaya tanpa ada jabaran/uraian analisis
gap pembiayaan. Sehingga ketika besaran mata uang telah berubah nilainya seiring
pertambahan tahun, penyantuman besaran biaya tanpa uraian analisis pembiayaan tidak
akan relevan lagi. Untuk itu perlu dituliskan uraian analisis biaya oleh pengirim laporan
kasus dispute claim agar dapat dipahami dan menjadi referensi untuk kasus selanjutnya
yang serupa.
Konsep pencegahan Kasus Dispute Klaim memiliki kesamaan dengan mencegah fraud.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 16 tahun 2019 disebutkan upaya mencegah
adalah dengan membangun sistem yang terdiri atas:
1. Kebijakan dan Pedoman
a. Penyusunan Kebijakan dengan prinsip Good Corporate and Clinical Governance
b. Penyusunan Pedoman Manajemen Risiko
c. Pembentukan pedoman kendali mutu dan kendali biaya
d. Pembentukan mekanisme deteksi dini, audit dan investigasi
e. Penguatan sistem IT
f. Penyusunan PNPK, PPK dan clinical pathway
2. Budaya Pencegahan
a. Membangun budaya integritas, etika dan nilai perilaku
b. Pelatihan pencegahan dispute/fraud
c. Menciptakan lingkungan penyelenggaraan JKN yang positif
d. Membangun nilai-nilai organisasi
e. Implementasi konsep manajemen mutu pelayanan kesehatan
3. Organisasi/Tim Pencegahan
a. Pembentukan tim kendali mutu dan kendali biaya
b. Implementasi Konsep Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan
c. Tim pencegahan dispute/fraud
d. Tim Pengawas
5.1. Kesimpulan
Buku ini disusun dengan mengumpulkan kasus-kasus dispute klaim yang diharapkan dapat
menjadi referensi dalam upaya mencegah terjadinya kasus dispute klaim dalam implementasi
pelayanan kesehatan. Penyelesaian kasus harus merujuk pada panduan atau standar
klinis yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan atau organisasi profesi. Di samping itu,
penyelesaian kasus dispute memerlukan komitmen bersama antara TKMKB, fasilitas kesehatan,
BPJS Kesehatan, organisasi profesi, dan pakar terkait.
Diakhir buku ini, dilampirkan contoh form pengajuan kasus dispute klaim yang bertujuan agar
kasus dispute dapat dianalisis dengan baik dan menyeluruh. Adapun contoh form laporan
kasus dispute klaim telah dilampirkan pada buku ini agar dapat digunakan dengan sebaik-baiknya.
5.2. Rekomendasi
Upaya pencegahan dispute perlu diimplementasikan sesuai dengan apa yang telah ditulis
dalam buku ini, seperti membangun sistem pencegahan dispute klaim yaitu dengan membuat
pedoman, membangun budaya pencegahan dan membentuk tim pencegahan.
1. BPJS Kesehatan membuat secara khusus pedoman pencegahan kasus dispute klaim (yang
ada sekarang ini pedoman pencegahan fraud).
2. Perlunya independensi TKMKB dalam melakukan fungsinya, sehingga dapat melakukan
percepatan pembentukan TKMKB Tingkat Cabang/Provinsi dan pembuatan pedoman yang
dibutuhkan dan pengadaan sarana prasarana yang dibutuhkan, misalnya sistem IT.
3. BPJS Kesehatan mengadakan suatu bentuk pelatihan untuk membangun sistem
pencegahan kasus dispute klaim.
KUMPULAN P E N Y E L E SA I A N K A S US DISPUTE K L A I M 55
D E NGAN PEN D E K ATA N AU D I T M E D I S K E N DA L I MU T U D A N K E N D A L I B IAYA
5.2.2. Bagi Organisasi Profesi
1. Organisasi membuat PNPK sebagai clinical guideline untuk semua jenis spesialisasi, lalu
diajukan dan disahkan ke Kementerian Kesehatan sebagai panduan klinis di rumah sakit.
2. Organisasi profesi membangun budaya pencegahan kasus dispute klaim di dalam
Organisasi Profesi.
3. Organisai profesi terlibat aktif dalam kegiatan penyelesaian kasus dispute bersama dengan
TKMKB, BPJS Kesehatan, dan fasilitas kesehatan.
1. Rumah sakit menyusun PPK untuk semua jenis spesialisasi terutama untuk kasus yang
belum memilki PNPK.
2. Rumah sakit membangun budaya pencegahan dispute klaim di rumah sakit.
3. Rumah sakit membentuk tim kendali mutu dan kendali biaya di rumah sakit.
4. Rumah sakit menguatkan peran komite medik dalam kegiatan penyelesaian kasus dispute.
O Deliveries groups
Q Ambulatory groups-episodic
Z Factors influencing health status & other contacts with health services groups
Case-Mix Main Groups (CMG) adalah klasifikasi tahap pertama yang dilabelkan dengan huruf
alfabet (A sampai Z) yang disesuaikan dengan ICD 10 untuk setiap sistem organ tubuh manusia,
sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 2016 tentang
Pedoman Indonesian Case Base Groups (INA-CBG) dalam Pelaksanaan Jaminan Kesehatan
Nasional.
KUMPULAN P E N Y E L E SA I A N K A S US DISPUTE K L A I M 57
D E NGAN PEN D E K ATA N AU D I T M E D I S K E N DA L I MU T U D A N K E N D A L I B IAYA
Formulir Pengajuan Penyelesaian Masalah Kasus Dispute Klaim
I. Identifikasi Kasus
Nama Tempat Pelayanan :
Inisial Pasien :
Jenis Kelamin Pasien :
Usia Pasien :
Hasil Anamnesis :
Hasil Pemeriksaan :
Fisik
Hasil Pemeriksaan :
Penunjang
Diagnosis :
(Utama dan Sekunder)
Lama Rawat :
Rujukan PNPK/PPK:
1.
2.
3.
Analisis Koding:
1.
2.
3.