Anda di halaman 1dari 2

Permasalahan pembuangan tinja

Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang yang terus membenahi diri agar dapat
setara dengan negara maju lainnya. Berbagai upaya pemerintah untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dilakukan secara serius dan sungguh-sungguh. Salah satu
upaya untuk meningkatkan kesejahteraan umum adalah melalui pembangunan kesehatan yang
diarahkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat sebagaimana tercantum dalam Undang-undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Keadaan kesehatan lingkungan di Indonesia dewasa ini masih belum mencapai kondisi yang diinginkan,
karena belum terpenuhinya kebutuhan sanitasi dasar yaitu sanitasi yang minimal diperlukan untuk
menyehatkan lingkungan pemukiman misalnya sarana pembuangan tinja. Menurut Hendrik L. Blum
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi status kesehatan yaitu faktor lingkungan, perilaku,
pelayanan kesehatan dan faktor keturunan.

Salah satu faktor yang berhubungan dengan lingkungan adalah dibidang pembuangan tinja, karena
apabila pembuangan tinja tidak dilakukan secara saniter, maka kemungkinan besar akan menimbulkan
gangguan pada manusia. Masalah yang akan timbula apabila pembuangan tinja tidak memenuhi syarat
kesehatan antara lain dapat mengotori dan mencemari lingkungan, dapat menimbulkan bau dan
merupakan sumber penularan penyakit seperti penyakit diare, cholera, disentri, polio myelitis,
askariasis, tipus abdominalis, viral hepatitis dan sebagainya (DepKes RI, 2007).

Persoalan pembuangan tinja ini, semakin penting diperhatikan apabila dikaitkan dengan jumlah
penduduk indonesia yang sangat besar. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) Tahun 2002 dari
jumlah penduduk indonesia sebanyak 204.456.005 jiwa, jumlah kepala keluarga yang tidak memiliki
jamban keluarga sebanyak 44,66%. Dengan demikian hampir separuh keluarga di indonesia tidak
memiliki jamban keluarga. Kondisi ini apabila tidak ditangani dengan serius akan menimbulkan
permasalahan kesehatan terutama dibidang kesehatan lingkungan.

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2012 menyebutkan, sebanyak 39-40 juta orang yang BAB
sembarangan, merupakan mereka yang mempunyai WC, namun masih membuang kotorannya ke
sungai. BAB yang dianjurkan oleh ahli kesehatan dan merupakan buang air besar yang sehat yaitu
dengan membuang tinja di septic tank yang digali di tanah dengan syaratsyarat tertentu. Dengan
pembuangan tinja di septic tank dan bukan di sungai, maka masyarakat telah melakukan salah satu
syarat dasar kesehatan lingkungan (Kementerian Kesehatan RI, 2013). J

amban keluarga yang digunakan masyarakat sebagian besar adalah leher angsa (97,5%), tetapi tidak
semua menggunakan tangki septik untuk tempat pengelolaan dan penampungan tinja. Dari 39 unit
responden yang memiliki jamban keluarga, hanya 29 unit (75%) yang memenuhi syarat. 10 unit yang
tidak memenuhi syarat dikarenakan tempat penampungan tinja memiliki kedalaman sama dengan muka
air tanah (Suliono, 2018).

Jawa Timur masih mengalami masalah terkait kebiasaan buang air besar sembarangan (BABS). Jumlah
penduduk sebesar 38.610.000 jiwa, sejumlah 2.923.910 diantaranya adalah anak-anak. Hanya 60,38%
penduduknya yang memiliki akses ke sarana sanitasi yang layak, sedangkan 18,2% sama sekali tidak
memiliki akses ke toilet. Dampak dari buruknya sanitasi memengaruhi angka kematian balita di Jawa
Timur hingga 30 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan kasus diare pada balita mencapai 2,30%.
Sekretaris Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL) Nasional Maraita
Listyasari mengatakan, sudah banyak kesadaran untuk buang air besar (BAB) di jamban, tetapi masih
ada 70 juta masyarakat yang BAB di sembarang tempat. Walaupun sudah banyak jamban sehat
dibangun tetapi masih banyak saja jamban yang tidak memenuhi syarat. Padahal ketika tidak memenuhi
syarat, sebenarnya kita hanya memindahkan polutan dari satu tempat ketempat yang lain," ujarnya,
saat acara Workshop Media dan Kunjungan Media Mewujudkan STOP BABS 2015, di Sulawesi Selatan
(Harian Kompas, 2012).

Indonesia merupakan negara yang masih banyak masyarakatnya berperilaku buang air besar (BAB)
sembarangan. Di sejumlah daerah, BAB sembarangan masih menjadi budaya di masyarakat. Data Joint
Monitoring Program WHO/UNICEF tahun 2014, sebesar 55 juta penduduk di Indonesia berperilaku BAB
sembarangan. Mereka juga melakukan aktivitas mandi dan mencuci pakaian di sungai yang sama dan
bisa berakibat rentan terkena penyakit diare. Selain diare, balita mudah terserang pneumonia dari
pencemaran tinja melalui udara (Karuru, 2014).

Anda mungkin juga menyukai