Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia hingga saat ini masih memiliki masalah dengan sanitasi,

hasil penelitian yang dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan

pembangunan milenium (MDG’s) pada tahun 2010 menunjukkan bahwa

akses sanitasi layak di wilayah perkotaan masih pada angka 69,51%,

sedangkan capaian akses sanitasi layak di wilayah pedesaan hanya mencapai

33,96% (Bappenas, 2010), masalah buruknya sanitasi tersebut cenderung

terus meningkat setiap tahunnya sesuai dengan pertambahan penduduk

Indonesia.

Salah satu sasaran program Millenium Development Goals (MDGs)

adalah memastikan kelestarian lingkungan dan menjadikan salah satu

indikatornya adalah terjadinya penurunan hingga setengah dari jumlah

penduduk yang tidak mempunyai akses terhadap air minum yang aman dan

sanitasi dasar. Masalah kesehatan lingkungan di negara-negara sedang

berkembang adalah berkisar antara sanitasi dasar dan perumahan.

Sebuah studi Bank Dunia yang disebarluaskan bulan Agustus 2008

menemukan bahwa kurangnya akses terhadap sanitasi menyebabkan biaya

finansial dan ekonomi yang berat bagi ekonomi Indonesia, tidak hanya bagi

individu tetapi juga bagi sektor publik dan perdagangan. Sanitasi yang buruk,

termasuk kebersihan yang buruk, menyebabkan sedikitnya 120 juta kasus

penyakit dan 50.000 kematian dini setiap tahun, dengan dampak ekonominya

1
senilai lebih dari 3,3 miliar dolar AS per tahun. Sanitasi yang buruk juga

menjadi penyumbang signifikan dari polusi air yang menambah biaya air

yang aman bagi rumah tangga, dan menurunkan produksi perikanan di sungai

dan danau. Biaya ekonomi yang terkait dengan polusi air oleh karena sanitasi

yang buruk saja telah melampaui 1,5 miliar dolar AS per tahun. Tahun 2006,

Indonesia kehilangan 2,3 persen produk domestik bruto yang disebabkan oleh

sanitasi dan kebersihan yang buruk.

Pemerintah pada dasarnya telah melaksanakan berbagai kebijakan

untuk menangani masalah buruknya sanitasi. Kebijakan pembangunan

sanitasi yang telah dilaksanakaan di Indonesia pada dasarnya dapat

digolongkan kedalam dua pendekatan (Praptiwi, 2011:3). Pertama yaitu

kebijakan pembangunan sanitasi dengan pendekatan berbasis lembaga (up-

down), melalui dinas, badan, maupun perusahaan daerah, pendekatan ini

menurut Synne Movik disebut dengan istilah state-led sanitation (Movik,

2010:1). Kedua adalah kebijakan pembangunan sanitasi dengan pendekatan

berbasis masyarakat (bottom-up) atau disebut juga community-lead-

sanitation, dimana masyarakat ditempatkan sebagai pelaku utama dan

penentu dalam penyelenggaraan pembangunan sanitasi.

Upaya sanitasi berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

852/Menkes/SK/IX/2008 yang disebut Sanitasi Total Berbasis Masyarakat

(STBM), yaitu: meliputi tidak buang air besar (BAB) sembarangan, mencuci

tangan pakai sabun, mengelola air minum dan makanan yang aman,

2
mengelola sampah dengan benar , mengelola limbah air rumah tangga dengan

aman.

Upaya kesehatan lingkungan merupakan salah satu cara yang

dilakukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik,

kimia, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai

derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Lingkungan sehat yang dimaksud

mencakup lingkungan permukiman, tempat kerja, tempat rekreasi, serta

tempat dan fasilitas umum.

Sanitasi dasar adalah syarat kesehatan lingkungan minimal yang harus

dipunyai oleh setiap keluarga untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Ruang

lingkup sanitasi dasar yakni sarana penyediaan air bersih, sarana jamban

keluarga, sarana pembuangan sampah, dan sarana pembuangan air limbah.

Pembangunan sanitasi saat ini sudah menjadi bagian penting baik di

tingkat kota maupun ke wilayah pedesaan. Ketidaksetaraan untuk air bersih

terdapat di Afrika Selatan pada tahun 2001 (berdasarkan 53 daerah (N)

dengan populasi median (MP) dari 657.015; D = 0,5599) dan terendah untuk

akses sumber air yang diperbaiki terdapat di Uganda pada tahun 2008 (N = 56

; MP = 419.399; D = 0,2801). Untuk sanitasi, ketidaksetaraan terbesar bagi

mereka yang kurang fasilitas terdapat di Kenya pada tahun 2009 (N = 158;

MP = 216.992; D = 0,6981), dan terendah untuk perbaikan akses fasilitas

terdapat di Uganda pada tahun 2002 (N = 56; MP = 341.954; D = 0,3403).

Pada tahun 2009, setengah dari seluruh rumah tangga di Indonesia dan

hanya sepertiga dari rumah tangga pedesaan memiliki akses berkelanjutan

3
terhadap sanitasi. Target sanitasi MDG’s di Indonesia berupaya dalam

peningkatan keseluruhan dengan cakupan 62% pada tahun 2015. Di

Bangladesh, hampir dua pertiga dari semua rumah tangga memiliki akses

yang berkelanjutan terhadap sanitasi pada tahun 2009. Target MDG dalam

sanitasi untuk Bangladesh menyerukan peningkatan untuk cakupan 70%

pada tahun 2015. Pada tahun 2010, sekitar sepertiga dari penduduk pedesaan

di Indonesia dan diperkirakan 7% dari populasi pedesaan di Bangladesh

terlibat dalam buang air besar secara terbuka.

Pada bulan Agustus dan September 2008, proyek Global Impact Team

Evaluation mengumpulkan data dasar dari rumah tangga yang berlokasi di

delapan kabupaten pedesaan di Jawa Timur, Indonesia. Pemilihan peserta

terdiri dari seleksi desa diikuti oleh pemilihan rumah tangga. Dari delapan

kabupaten terpilih, 20 total desa (160 sub-desa) dimasukkan berdasarkan

kriteria seperti tingkat air dan akses sanitasi dan kemiskinan. Delapan

kabupaten meliputi: Probolinggo, Bondowoso, Situbondo, Banyuwangi,

Ngawi, Madiun, Jombang, dan Blitar. Tiga belas rumah tangga secara acak

dipilih untuk dimasukkan dalam survei dasar dari daftar rumah tangga yang

mencakup seluruh rumah tangga dengan anak-anak di bawah usia dua tahun.

Beberapa sub-desa memiliki terlalu sedikit rumah tangga dengan anak-anak

di bawah usia dua; dalam kasus ini, rumah tangga dengan anak-anak di bawah

usia lima tahun yang diganti. Sebanyak 2.080 rumah tangga yang termasuk

dalam survei dasar.

4
Sekitar 40% dari rumah tangga yang disurvei melaporkan bahwa

buang air besar secara terbuka. Kemudian 11% menggunakan fasilitas sanitasi

yang tidak digarap dan sisanya 49% rumah tangga menggunakan fasilitas

secara baik. Di antara rumah tangga dengan fasilitas ditingkatkan, 71% dari

semua rumah tangga memiliki fasilitas yang baik secara pribadi dan 29%

berbagi fasilitas dengan baik.

Dari permasalahan diatas, kami akan membahas bagaimana kondisi

sanitasi di Indonesia serta bagaimana solusi dalam sanitasi.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan sanitasi?

2. Apa saja ruang lingkup yang terdapat dalam sanitasi?

3. Bagaimana kondisi sanitasi di Indonesia?

4. Bagaimana solusi dalam penanganan sanitasi?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui definisi sanitasi.

2. Mengetahui ruang lingkup yang terdapat dalam sanitasi.

3. Mengetahui kondisi sanitasi di Indonesia.

4. Mengetahui solusi dalam penanganan sanitasi.

5
D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah dapat dijadikan


referensi tambahan tentang sanitasi lingkungan dalam hal ini sarana air
bersih, jamban, dan pembuangan kotoran manusia.

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Sanitasi

Kesehatan lingkungan merupakan ilmu kesehatan masyarakat yang

menitik beratkan usaha preventif dengan usaha perbaikan semua faktor

lingkungan agar manusia terhindar dari penyakit dan gangguan kesehatan.

Kesehatan lingkungan adalah karakteristik dari kondisi lingkungan yang

mempengaruhi derajat kesehatan. Untuk itu kesehatan lingkungan merupakan

salah satu dari enam usaha dasar kesehatan masyarakat.

Istilah kesehatan lingkungan seringkali dikaitkan dengan istilah

sanitasi lingkungan yang oleh Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO),

menyebutkan pengertian sanitasi lingkungan/kesehatan lingkungan adalah

suatu usaha untuk mengawasi beberapa faktor lingkungan fisik yang

berpengaruh kepada manusia, terutama terhadap hal-hal yang mempunyai

efek merusak perkembangan fisik, kesehatan dan daya tahan hidup manusia.

Sedangkan menurut Chandra (2007), sanitasi adalah bagian dari ilmu

kesehatan lingkungan yang meliputi cara dan usaha individu atau masyarakat

untuk mengontrol dan mengendalikan lingkungan hidup eksternal yang

berbahaya bagi kesehatan serta yang dapat mengancam kelangsungan hidup

manusia.

B. Ruang Lingkup Sanitasi

Menurut Kusnoputranto (1986) ruang lingkup dari kesehatan

lingkungan meliputi :

7
1. Penyediaan air minum.

2. Pengolahan air buangan dan pengendalian pencemaran air.

3. Pengelolaan sampah padat.

4. Pengendalian vektor penyakit.

5. Pencegahan/pengendalian pencemaran tanah.

6. Hygiene makanan.

7. Pengendalian pencemaran udara.

8. Pengendalian radiasi.

9. Kesehatan kerja, terutama pengendalian dari bahaya-bahaya fisik, kimia

dan biologis.

10. Pengendalian kebisingan.

11. Perumahan dan pemukiman, terutama aspek kesehatan masyarakat dari

perumahan penduduk, bangunan-bangunan umum dan institusi.

12. Perencanaan daerah dan perkotaan.

13. Aspek kesehatan lingkungan dan transportasi udara, laut dan darat.

14. Pencegahan kecelakaan.

15. Rekreasi umum dan pariwisata.

16. Tindakan-tindakan sanitasi yang berhubungan dengan keadaan epidemi,

bencana alam, perpindahan penduduk dan keadaan darurat.

17. Tindakan pencegahan yang diperlukan untuk menjamin agar lingkungan

pada umumnya bebas dari resiko gangguan kesehatan.

8
Dari ruang lingkup sanitasi lingkungan di atas tempat-tempat umum

merupakan bagian dari sanitasi yang perlu mendapat perhatian dalam

pengawasannya (Kusnoputranto, 1986).

Berdasarkan analisis terhadap jurnal yang kami analisis, ruang lingkup

sanitasi yang akan kami bahas adalah mengenai air bersih/air minum dan

jamban/pembuangan air kotor.

1. Penyediaan Air Bersih/Air Minum

Air adalah sangat penting bagi kehidupan manusia. Kebutuhan

manusia akan air sangat kompleks antara lain untuk minum, masak,

mandi, mencuci, dan sebagainya. Menurut perhitungan WHO di negara-

negara maju tiap orang memerlukan air antara 60-120 liter per hari.

Sedangkan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia tiap orang

memerlukan air antara 30-60 liter per hari (Mubarak dan Chayatin,

2009).

Ditinjau dari sudut ilmu kesehatan masyarakat, penyediaan sumber

air bersih harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat karena

persediaan air bersih yang terbatas yang memudahkan timbulnya

penyakit di masyarakat. Volume rata-rata kebutuhan air setiap individu

per hari berkisar antara 150-200 liter atau 35-40 galon. Kebutuhan air

tersebut bervariasi dan bergantung pada keadaan iklim, standart

kehidupan, dan kebiasaan masyarakat (Chandra, 2007).

9
Air yang diperuntukkan bagi konsumsi manusia harus berasal dari

sumber yang bersih dan aman. Batasan-batasan sumber air yang bersih

dan aman tersebut, antara lain (Mubarak dan Chayatin, 2009) :

a. Bebas dari kontaminasi kuman atau bibit penyakit.

b. Bebas dari substansi kimia yang berbahaya dan beracun.

c. Tidak berasa dan tidak berbau.

d. Dapat dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan domestik dan rumah

tangga.

e. Memenuhi standart minimal yang ditentukan oleh WHO atau

Departemen Kesehatan RI.

Persyaratan tersebut juga tertuang dalam Peraturan Menteri

Kesehatan No.416 Tahun 1990 . Penyediaan air bersih harus memenuhi

dua syarat yaitu kuantitas dan kualitas ( Depkes RI, 2005).

a. Syarat Kuantitas

Syarat kuantitas adalah jumlah air yang dibutuhkan setiap hari

tergantung kepada aktifitas dan tingkat kebutuhan. Makin banyak

aktifitas yang dilakukan maka kebutuhan air akan semakin besar.

Secara kuantitas di Indonesia diperkirakan dibutuhkan air sebanyak

138,5 liter/orang/hari dengan perincian yaitu untuk mandi, cuci kakus

12 liter, minum 2 liter, cuci pakaian 10,7 liter, kebersihan rumah 31,4

liter (Slamet, 2002).

b. Syarat Kualitas

10
Syarat kualitas meliputi parameter fisik, kimia, mikrobiologis dan

radioaktivitas yang memenuhi syarat kesehatan menurut Peraturan

Menteri kesehatan RI Nomor 416/Menkes/Per/IX/1990 tentang

Syarat-syarat dan pengawasan Kualitas Air (Slamet, 2002).

1). Parameter Fisik

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor :

416/Menkes/per/IX/1990, menyatakan bahwa air yang layak pakai

sebagai sumber air bersih antara lain harus memenuhi persyaratan

secara fisik yaitu, tidak berbau, tidak berasa, tidak keruh (jernih) dan

tidak bewarna.

2). Parameter Kimia

Air yang baik adalah air yang tidak tercemar secara berlebihan

oleh zat-zat kimia yang berbahaya bagi kesehatan antara lain Air raksa

(Hg), Aluminium (Al), Arsen (As), Barium (Ba), Besi (Fe), Flourida

(F), Calsium (Ca), Derajat keasaman (pH) dan zat-zat kimia lainnya.

Kandungan zat kimia dalam air bersih yang digunakan sehari-hari

hendaknya tidak melebihi kadar maksimum yang diperbolehkan

seperti tercantum dalam Permenkes RI No. 416 Tahun 1990.

Penggunaan air yang mengandung bahan kimia beracun dan zat-zat

kimia yang melebihi kadar maksimum yang diperbolehkan berakibat

tidak baik lagi bagi kesehatan dan material yang digunakan manusia,

contohnya pH air sebaiknya netral. pH yang dianjurkan untuk air

bersih adalah 6,5-9 (Soemirat, 2000).

11
3). Parameter Mikrobiologis

Parameter Mikrobiologis menurut Entjang (2000) yaitu, air tidak

boleh mengandung suatu bibit penyakit. Sebagai indikator

bateriologik adalah basil koli (escherichia coli). Apabila dijumpai

basil koli dalam jumlah tertentu menunjukkan air telah tercemar

kotoran manusia maupun binatang.

4). Parameter Radioaktif

Persyaratan radioaktif sering juga dimasukkan sebagai bagian

persyaratan fisik, namun sering dipisahkan karena jenis

pemeriksaannya sangat berbeda, dan pada wilayah tertentu menjadi

sangat serius seperti disekitar reaktor nuklir.

2. Penyediaan Jamban

a. Pengertian Jamban

Jamban adalah suatu bangunan yang digunakan untuk

membuang dan mengumpulkan kotoran manusia dalam suatu tempat

tertentu, sehingga kotoran tersebut tidak menjadi penyebab penyakit

dan mengotori lingkungan pemukiman (Depkes RI, 1995).

Menurut Depkes RI, 2004 ada beberapa ketentuan jamban yang

memenuhi syarat kesehatan, yaitu :

1. Kotoran tidak mencemari permukaan tanah, air tanah, dan air

permukaan,

2. Jarak jamban dengan sumber air bersih tidak kurang dari 10

meter,

12
3. Konstruksi kuat,

4. Pencahayaan minimal 100 lux (Kepmenkes No.519 tahun 2008),

5. Tidak menjadi sarang serangga (nyamuk, lalat, kecoa),

6. Dibersihkan minimal 2x dalam sebulan,

7. Ventilasi 20% dari luas lantai,

8. Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan

berwarna terang,

9. Murah,

10. Memiliki saluran dan pembuangan akhir yang baik yaitu lubang

selain tertutup juga harus disemen agar tidak mencemari

lingkungannya.

Jamban berfungsi sebagai pengisolasi tinja dari lingkungan.

Jamban yang baik dan memenuhi syarat kesehatan akan menjamin

beberapa hal, yaitu :

1. Melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit,

2. Melindungi dari gangguan estetika, bau dan penggunaan sarana

yang aman,

3. Bukan tempat berkembangbiakan serangga sebagai vektor

penyakit,

4. Melindungi pencemaran pada penyediaan air bersih dan

lingkungan.

13
Jamban hendaknya selalu dijaga dan dipelihara dengan baik.

Adapun cara pemeliharaan yang baik menurut Depkes RI, 2004 adalah

sebagai berikut :

1. Lantai jamban hendaknya selalu bersih dan kering,

2. Di sekeliling jamban tidak ada genangan air, 3

3. Tidak ada sampah berserakan,

4. Rumah jamban dalam keadaan baik,

5. Lantai selalu bersih dan tidak ada kotoran yang terlihat,

6. Lalat, tikus dan kecoa tidak ada,

7. Tersedia alat pembersih,

8. Bila ada yang rusak segera diperbaiki.

Selain itu ditambahkan juga pemeliharaan jamban dapat

dilakukan dengan :

1. Air selalu tersedia di dalam bak atau ember,

2. Sehabis digunakan lantai dan lubang jongkok harus disiram bersih

agar tidak bau dan mengundang lalat,

3. Lantai jamban diusahakan selalu bersih dan tidak licin, sehingga

tidak membahayakan pemakai,

4. Tidak memasukkan bahan kimia dan detergen pada lubang

jamban,

5. Tidak ada aliran masuk kedalam jamban selain untuk membilas

tinja.

14
b. Jenis-Jenis Jamban

Jamban dapat dibedakan atas beberapa macam, yaitu

(Notoatmodjo, 2003) :

1). Jamban Cubluk

Jamban ini sering kita jumpai di daerah pedesaan, tetapi sering

dijumpai jamban cemplung yang kurang sempurna, misalnya tanpa

rumah jamban dan tanpa tutup. Hal yang perlu diperhatikan disini

adalah bahwa jamban ini tidak boleh terlalu dalam, sebab bila terlalu

dalam akan mengotori air tanah dibawahnya. Kedalamannya berkisar

1,5-3 meter dan jarak dari sumber air minum sekurang-kurangnya 1,5

meter (Notoatmodjo, 2003).

2). Jamban Empang

Jamban empang adalah suatu jamban yang dibuat di atas

kolam/empang, sungai/rawa, dimana kotoran langsung jatuh kedalam

kolam atau sungai. Jamban ini dapat menguntungkan karena kotoran

akan langsung menjadi makanan ikan, namun menurut Depkes RI,

2004 buang air besar ke sungai dapat menimbulkan wabah.

3). Jamban Cubluk dengan plengsengan

Jamban ini sama dengan jamban cubluk, hanya saja dibagian

tempat jongkok dibuat seng atau kaleng yang dibentuk seperti

setengah pipa yang masuk ke dalam lubang, yang panjangnya sekitar

satu meter, tujuannya agar kotoran tidak langung terlihat

4). Jamban Leher Angsa (angsa trine)

15
Jamban angsa trine ini bukanlah merupakan type jamban

tersendiri, tetapi merupakan modifikasi bentuk tempat duduk/jongkok

(bowl) nya saja, yaitu dengan bentuk leher angsa yang dapat

menyimpan air sebagai penutup hubungan antara bagian luar dengan

tempat penampungan tinja, yang dilengkapi dengan alat penyekat air

atau penahan bau dan mencegah lalat kontak dengan kotoran. Untuk

type angsa trine ini akan memerlukan persediaan air yang cukup untuk

keperluan membersihkan kotoran dan penggelontor tinja.

C. Kondisi Sanitasi Di Indonesia

Di daerah-daerah kumuh perkotaan, sanitasi yang tidak memadai,

praktek kebersihan yang buruk, kepadatan penduduk yang berlebihan, serta

air yang terkontaminasi secara sekaligus dapat menciptakan kondisi yang

tidak sehat. Penyakitpenyakit terkait dengan ini meliputi disentri, kolera dan

penyakit diare lainnya, tipus, hepatitis, leptospirosis, malaria, demam

berdarah, kudis, penyakit pernapasan kronis dan infeksi parasit usus. Selain

itu, keluarga miskin yang kurang berpendidikan cenderung melakukan

praktekpraktek kebersihan yang buruk, yang berkontribusi terhadap

penyebaran penyakit dan peningkatan resiko kematian anak.

Perhitungan dengan menggunakan kriteria MDG nasional Indonesia

untuk air bersih dan data dari sensus tahun 2010 menunjukkan bahwa

Indonesia harus mencapai tambahan 56,8 juta orang dengan persediaan air

bersih pada tahun 2015. Di sisi lain, jika kriteria Program Pemantauan

Bersama WHO-UNICEF (JMP) untuk air bersihii akan digunakan, Indonesia

16
harus mencapai tambahan 36,3 juta orang pada tahun 2015. Saat ini, bahkan

di provinsi-provinsi yang berkinerja lebih baik (Jawa Tengah dan DI

Yogyakarta), sekitar satu dari tiga rumah tangga tidak memiliki akses ke

persediaan air bersih.

Untuk mencapai target sanitasi nasional MDG, diperlukan pencapaian

tambahan 26 juta orang dengan sanitasi yang lebih baik pada tahun 2015.

Perencanaan pada jangka panjang memerlukan pencapaian angka-angka yang

lebih besar: Data Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa secara keseluruhan,

kira-kira 116 juta orang masih kekurangan sanitasi yang memadai.

Sekitar 17 persen rumah tangga pada tahun 2010 atau sekitar 41 juta

orang masih buang air besar di tempat terbuka. Ini meliputi lebih dari

sepertiga penduduk di Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Nusa

Tenggara Barat dan Kalimantan Barat. Praktek tersebut bahkan ditemukan di

provinsi-provinsi dengan cakupan sanitasi yang relatif tinggi, dan pada

penduduk perkotaan dan di seluruh kuintil.

D. Solusis dalam Penanganan Sanitasi

Setelah kami melakukan analisis terhadap kedua jurnal tersebut, maka

kami dapat mengambil/membuat solusi dari masalah yang ada pada jurnal

tersebut, yaitu:

1. Jurnal pertama mengalami masalah sanitasi terhadap

jamban/pembuangan air kotor, maka solusinya adalah:

17
a). Perlunya kesadaran dari masyarakat khususnya dalam menjaga dan

merawat kebersihan fasilitas sanitasi bersama(MCK) skala

komunitas.

b). Pemerintah melalui instansi terkait harus lebih menggalakkan

program-program yang berbasis sanitasi agar masyarakat tergerak

untuk bersama-sama menciptakan kesadaran terhadap pentingnya

sanitasi khususnya sanitasi fasilitas umum.

2. Jurnal kedua mengalami masalah sanitasi terhadap saranan penyediaan

air bersih, maka solusinya adalah:

a). Perlunya pemetaan wilayah yang kesulitan air bersih agar bisa

diketahui wilayah yang mempunyai masalah akses ke air bersih

sehingga langkah langkah strategis bisa diambil.

b). Melakukan program-program pemberdayaan masyarakat yang

tujuannya bisa mengelola sarana air bersih agar bisa dirasakan

manfaatnya oleh masyarakat.

c). Membuat rainwater harvesting di daerah yang sulit air, sehingga

ketika musim penghujan tiba air hujan yang melimpah dimanfaatkan

dan ditampung agar tidak terbuang percuma

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sanitasi lingkungan/kesehatan lingkungan adalah suatu usaha untuk

mengawasi beberapa faktor lingkungan fisik yang berpengaruh kepada

manusia, terutama terhadap hal-hal yang mempunyai efek merusak

perkembangan fisik, kesehatan dan daya tahan hidup manusia.

Ruang lingkup pada sanitasi lingkungan terdapat sebanyak 17 ruang

lingkup. Akan tetapi, yang kami bahas hanya 2 ruang lingkup sanitasi sesuai

yang terdapat pada jurnal kami yaitu penyediaan air bersih dan penyediaan

jamba/pembuangan air kotor.

Kondisi sanitasi di Indonesia masih banyak memiliki masalah-masalah

akibat sanitasi yang buruk. Adapun solusi untuk mengatasi masalah sanitasi

adalah perlunya kesadaran dari masyarakat khususnya dalam menjaga dan

merawat kebersihan fasilitas sanitasi bersama(MCK) skala komunitas dan

perlunya pemetaan wilayah yang kesulitan air bersih agar bisa diketahui

wilayah yang mempunyai masalah akses ke air bersih sehingga langkah

langkah strategis bisa diambil.

B. Saran

Adapun saran kami adalah diharapkan setelah membaca makalah ini,

dapat dijadikan referensi tambahan mengenai sanitasi lingkungan.

19
DAFTAR PUSTAKA

Sutriyawan, A. 2015. “Makalah Sanitasi dan Kesehatan”.

http://lacaxcom.blogspot.co.id/2015/03/makalah-sanitasi-dan-

kesehatan.html. Diakses: 10 Juni 2015.

Anonim. “Bab II Tinjauan Pustaka”.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30694/4/Chapter

%20II.pdf. Diakses: 10 Juni 2015.

Anonim. “Ringkasan Kajian Air Bersih”.

http://www.unicef.org/indonesia/id/A8_-

_B_Ringkasan_Kajian_Air_Bersih.pdf. Diakses: 10 Juni 2015.

20

Anda mungkin juga menyukai