Anda di halaman 1dari 9

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut World Health Organization (WHO) Sanitasi adalah

penyediaan sarana dan pelayanan pembuangan limbah kotoran

manusia seperti urin dan feses. Istilah sanitasi juga mengacu kepada

pemeliharaan kondisi higienis melalui upaya pengelolaan sampah

dan pengolahan limbah cair. Sanitasi diartikan sebagai alat

pengumpulan dan pembuangan tinja serta air buangan masyarakat

secara higienis sehingga tidak membahayakan bagi kesehatan

seseorang maupun masyarakat secara keseluruhan (Sholehah,

2014).

Sanitasi juga mempunyai arti pemeliharaan kondisi yang

higienis seperti sarana pengolahan sampah dan saluran

pembuangan air limbah domestic. Sanitasi dasar adalah sanitasi

minimum yang diperlukan untuk menyediakan lingkungan sehat yang

memenuhi syarat kesehatan yang menitik beratkan pada

pengawasan berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat

kesehatan masyarakat ( Azwar dalam Rofiana, 2017). Ruang lingkup

sanitasi dasar rumah tangga meliputi pembuangan kotoran manusia

(Jamban), penyediaan air bersih, pengelolaan sampah dan saluran

pembuangan air limbah (SPAL).

1
Sanitasi mempunyai peran penting dalam mewujudkan rumah

sehat juga sebagai penunjang untuk mencegah penyakit berbasis

lingkungan. Laporan World Health Organization (WHO) tahun 2015

terkait fasilitas sanitasi terdapat 2,4 milyar manusia di dunia masih

menggunakan sanitasi yang buruk. Menurut laporan profil kesehatan

Indonesia tahun 2015 persentasi rumah tangga yang memiliki akses

terhadap sanitasi layak adalah sebesar 62,14%. Hasil ini belum

memenuhi target kementrian kesehatan yaitu sebesar 75%.

Wilayah pesisir merupakan satu areal dalam lingkungan hidup

yang sangat penting diperhatikan baik pengelolaan secara

administrasi, pengelolaan habitat hidup, maupun pengelolaan

sanitasi Lingkungan hidup. Krisis sanitasi terutama terjadi pada

permukiman informal yang sangat padat di seluruh dunia. Situasi ini

tidak terbatas pada pemukiman perkotaan dan dapat dijumpai

di pinggiran kota miskin, kota dagang kecil, desa besar, permukiman

peri-urban dan tempat lainnya di negara-negara berkembang.

Di negara-negara berkembang, sekitar 90 persen dari air limbah

dibuang tanpa diproses dahulu ke sungai, danau dan area pesisir.

Di Asia, lebih dari 750 juta orang masih melakukan buang air besar

(BAB) di tempat terbuka, sehingga meninggalkan tinja mereka

di tanah yang kemudian mengontaminasi lingkungan sekitarnya,

memasuki perairan dan pada akhirnya, berdampak pada mata

2
pencaharian dan kesehatan seluruh masyarakat (Sanitation Drive,

2015).

United Nations Children's Fund (UNICEF) baru-baru ini

menyatakan bahwa sebanyak 55 juta orang di Indonesia masih

melakukan Buang Air Besar Sembarang (BABS). Badan Pusat

Statistik (BPS) merilis bahwa capaian sanitasi layak di Indonesia

pada tahun 2013 baru mencapai angka 59,71%. Angka ini masih

berada di bawah rata-rata capaian akses sanitasi layak di nagara-

negara asia tenggara. Perilaku buang air besar sembarang (BABS)

dapat mengakibatkan pencemaran air dan bahkan membahayakan

kesehatan manusia. (Kementrian PU dan perumahan rakyat RI,

2017).

World Bank Water Sanitation Program (WSP) mengemukakan,

bahwa Indonesia berada di urutan kedua di dunia sebagai negara

dengan sanitasi buruk. Menurut data yang dipublikasikan

Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB), 63 juta penduduk Indonesia

tidak memiliki toilet dan masih buang air besar (BAB) sembarangan

di sungai, laut, atau di permukaan tanah (Sholehah, 2014).

Beberapa upaya untuk memperkecil resiko turunnya kualitas

lingkungan telah dilaksanakan oleh berbagai instansi terkait seperti

pembangunan sarana sanitasi dasar, pemantauan dan penataan

lingkungan, pengukuran dan pengendalian kualitas lingkungan.

Usaha meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui

3
perbaikan kondisi sanitasi lingkungan mendapat perhatian yang

cukup besar khususnya masyarakat pesisir pantai. Hal ini mendapat

perhatian yang cukup serius karena sebagian besar penduduk

Indonesia mendiami daerah pesisir pantai dimana pola hidupnya

sangat tergantung pada keadaan alam. Sumber daya alam yang

tersedia dan segala kemampuan yang dimilikinya mengharuskan

sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan

(Dahuri dalam Ramli, 2011).

Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat dan rendahnya

kualitas lingkungan merupakan permasalahan yang hampir sama

bagi seluruh pemukiman baik yang diperkotaan, pedesaan, dan

khususnya di kawasan pesisir. Sanitasi lingkungan di kawasan

pesisir perlu mendapat perhatian yang lebih karena beberapa

hal ditinjau dari letak geografis, demografi, dan ekosistemnya. Selain

itu, permasalahan air limbah yang kian memburuk di kawasan

pemukiman pesisir menjadi salah satu permasalahan sanitasi.

Penyebabnya adalah kebiasaan sosial-budaya yang sulit diubah,

topografi yang sangat rendah bahkan sebagian berada di bawah

ketinggian pasang air laut karena abrasi, perkembangan pemukiman

yang kian hari memadat dan tidak merata, kepemilikan jamban

keluarga, dan kegagalan penerapan standar teknis pembuangan air

limbah serta sampah yang berserakan di pesisir pantai (Dahuri

dalam Ramli, 2011).

4
Lingkungan yang diharapkan pada proses pembangunan

kesehatan, tentu saja lingkungan yang kondusif yakni lingkungan yan

bebas dari polusi, tersedianya air bersih, sanitasi lingkungan yang

memadai, perumahan dan pemukiman yang sehat, perencanaan

kawasan yang berwawasan kesehatan, serta terwujudnya kehidupan

masyarakat yang saling tolong menolong dalam memelihara nilai-

nilai budaya bangsa (Megasari, 2015).

Berdasarkan target Millennium Development Goals (MDGs),

Indonesia harus mampuh untuk meningkatkan hingga 68,87%

proporsi penduduk yang memiliki akses terhadap sumber air minum

yang aman, dengan indikator sumber air terlindungi dan air

perpipaan, serta akses terhadap fasilitas sanitasi dasar, dengan

indikator jamban tangki septik memadai, akan tetapi pada tahun

2015 indonesia baru mampu mencapai angka sebesar 62,41% dari

Target Millennium Development Goals (MDGs) 2015 yang di

tetapkan sebesar 68,87% (Kemenkes RI, 2016).

Masalah utama kesehatan lingkungan pada masyarakat pesisir

pantai masih terfokus pada penyediaan air bersih, perumahan, dan

pembuangan kotoran yang dapat menimbulkan berbagai jenis

penyakit karena keadaan lingkungan yang buruk akan menjadi

tempat berkembang biaknya bibit penyakit yang kemudian

menyerang manusia yang hidup di lingkungan tersebut, khususnya

penyakit yang berbasis lingkungan yaitu Infeksi Saluran Pernapasan

5
Akut (ISPA), Diare, Penyakit kulit, Malaria, Kecacingan

(Arnita, 2011).

Dalam upaya penyelenggaraan kesehatan lingkungan menurut

data dinas kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2017

persentase rumah tangga yang memilki sumber air minum layak

sebanyak 80,95%. Sedangkan sarana air minum yang dilakukan

pengawasan di tahun 2018 sebanyak 22,86% dari jumlah sarana

yang di ambil sampelnya sebanyak 3.622 (Profil Kesehatan

Indonesia, 2018).

Berdasarkan presentase penduduk tahun 2013 yang memiliki

akses sanitasi layak (Jamban Sehat) baru mencapai 41.61%, tahun

2014 menurun hingga 23,92%, dan tahun 2015 kembali mengalami

kenaikan menjadi 41,36%, namun masih di bawah 50%. Bisa

disimpulkan bahwa rata-rata penduduk Sulawesi Tenggara telah

menggunakan jamban, tapi lebih dari setengahnya belum memenuhi

syarat jamban sehat/sanitasi layak.

Hasil data dari Puskesmas Sulaa tahun 2021 jumlah rumah

di Kelurahan Sulaa sebanyak 515 rumah, penyedian air bersih

Sumur Gali (SGL) sebanyak 4 sarana, sumur bor sebanyak 6

sarana, mata air sebanyak 1 sarana, PDAM sebanyak 242, jamban

sebanyak 513, Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) sebanyak

366, jumlah Tempat Pembuangan Sampah (TPS) sebanyak 385.

6
Topa adalah salah satu wilayah di kelurahan Sulaa yang

memiliki daerah pesisir yang panjang dan paling dekat dengan

kawasan pesisir. Wilayah Topa terdapat 6 RT dan 2 RW masing-

masing 1 RW terdapat 3 RT. Jumlah KK di wilayah Topa sebanyak

136.

Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian “Gambaran Perilaku Masyarakat Pesisir Terkait Sanitasi

Lingkungan di Kelurahan Sulaa Kecamatan Betoambari Kota Baubau

Tahun 2021”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan dari uraian di atas maka rumusan masalah pada

penelitian ini adalah bagaimana gambaran perilaku masyarakat

pesisir terkait sanitasi lingkungan di Kelurahan Sulaa Kecamatan

Betoambari Kota Baubau Tahun 2021?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran perilaku masyarakat pesisir terkait

sanitasi lingkungan di Kelurahan Sulaa Kecamatan Betoambari

Kota Baubau Tahun 2021.

7
2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran perilaku masyarakat pesisir dari aspek

penyediaan air bersih di Kelurahan Sulaa Kecamatan

Betoambari Kota Baubau Tahun 2021.

b. Mengetahui gambaran perilaku masyarakat pesisir dari aspek

kepemilikan jamban di Kelurahan Sulaa Kecamatan Betoambari

Kota Baubau Tahun 2021.

c. Mengetahui gambaran perilaku masyarakat pesisir dari aspek

saluran pembuangan air limba di Kelurahan Sulaa Kecamatan

Betoambari Kota Baubau Tahun 2021.

d. Mengetahui gambaran perilaku masyarakat pesisir dari aspek

membuangan sampah di Kelurahan Sulaa Kecamatan

Betoambari Kota BaubauTahun 2021.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Institusi

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan ilmu

pengetahuan bagi civitas akademik mengenai sanitasi lingkungan

masyarakat pesisir di Kelurahan Sulaa Kecamatan Betoambari Kota

Baubau.

8
2. Keilmuwan

Dapat memperkaya konsep yang mendukung perkembangan

ilmu pengetahuan tentang ilmu kesehatan lingkungan, khusunya

yang berhubungan dengan sanitasi lingkungan masyarakat pesisir.

3. Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi

peneliti tentang perilaku masyarakat pesisir terhadap sanitasi

lingkungan di Kelurahan Sulaa Kecamatan Betoambari Kota Baubau,

serta dapat menjadi bahan masukan bagi peneliti selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai