Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN KASUS

PERITONITIS EC PERFORASI PYLORUS GASTER DENGAN ANEMIA


GRAVIS, DAN DM TIPE II

Penyusun :
dr. Safina Firdaus

Pembimbing :
dr. Kurniadi Murdini
dr. Megawati

Dokter Penanggung Jawab Pasien :


dr. Mintardi, Sp.B

PROGRAM DOKTER INTERNSIP INDONESIA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KAB BREBES

JAWA TENGAH

2020
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

PERITONITIS EC PERFORASI PYLORUS GASTER DENGAN ANEMIA


GRAVIS, DAN DM TIPE II

Oleh :

dr. Safina Firdaus

Brebes, September 2020

Telah dibimbing dan disahkan oleh,

Pembimbing, Pembimbing

dr. Kurniadi Murdini dr. Megawati

Dokter Penanggung Jawab Pasien

dr. Mintardi, Sp. B


BAB I
PENDAHULUAN

Peritonitis adalah peradangan peritoneum ( membran serosa yang melapisi

rongga abdomen dan menutupi visera abdomen ). Keadaan ini biasanya terjadi akibat

penyebaran infeksi dari organ abdomen, perforasi saluran cerna, atau dari luka

tembus abdomen. Peritonitis bakteri spontan sering terjadi pada anak dan dewasa, dan

merupakan komplikasi sirosis, 70% terdiri dari anak-anak. Pada dewasa seirngkali

terjadi pada sirosis alkohol. Sedangkan pada pasien dengan asites, prevalensinya

18%. Pada peritonitis abses insidensi abses setelah operasi abdomen ialah 1-2 %.

Tatalaksana definitif pada kasus peritonitis ialah memperbaiki anatomi atau fungsi yang

terganggu karena infeksi.

Perforasi tukak gaster adalah penyakit yang disebabkan oleh komplikasi serius

dari penyakit ulserasi lambung. Ulserasi lambung merupakan luka  yang  terjadi 

pada  lapisan  lambung  akibat terkikisnya lapisan dinding lambung, yang juga bisa

terjadi pada dinding duodenum. Perforasi dalam bentuk apapun yang mengenai

saluran cerna merupakan suatu kasus kegawatdaruratan bedah. Setiap tahunnya,

dilaporkan 4 miliyar orang di seluruh dunia menderita penyakit tukak gaster, 10% -

20% kasus diantaranya menderita komplikasi dari tukak gaster dan 2% - 14% tukak

akan mengalami perforasi. Pada anak-anak biasanya terkati dengan trauma.

Sedangkan pada dewasa paling sering disebabkan oleh perforasi ulkus gaster. Sekitar

30% perforasi gaster disebabkan oleh keganasan (Tarasconi, 2020). Pembedahan baik

open ataupun laparoskopi merupakan tatalaksana definitif.

1
2

Keterlambatan dalam diagnosis dan penanganan dapat meningkatkan angka

mortalitas pasien. Faktor yang berpengaruh antara lain adanya komorbid, usia lanjut,

malnutrisi, muncul komplikasi, lokasi perforasi.


3

BAB II

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : Tn.S

Usia : 61 th

Alamat : Luwung Bata 4/1, Brebes

Jenis kelamin : Laki-laki

Status : Menikah

Tanggal masuk : 21 Agustus 2020

Tanggal periksa : 25 Agustus 2020

B. Anamnesis

1. Keluhan Utama

Nyeri Perut

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri perut. Nyeri dirasakan 3+-

3 jam SMRS. Awalnya nyeri terasa pada uluhati lalu semakin lama

menyebar ke seluruh perut dan berpindah disertai rasa panas dan rasa

seperti ditusuk-tusuk. Nyeri dirasakan terus menerus sehingga pasien tidak

dapat beristirahat. Sejak dahulu pasien sering merasakan kembung, dan

sejak 3 HSMRS pasien mengeluh perut terasa panas disertai sesak namun
4

pasien belum berobat. Pada saat masih dirumah, BAB bewarna coklat,

darah -, kemudian saat di

rawat di bangsal BAB menjadi kehitaman dan lembek. Pasien tidak nafsu

makan sehingga pasien merasa lemas, selain itu pasien juga mengeluh kaki

terasa matirasa, sering haus dan sering BAK. Pasien menyangkal mual,

muntah, nyeri saat BAK, dan demam.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

a. Riwayat keluhan serupa : disangkal

b. Riwayat hipertensi : disangkal

c. Riwayat penyakit jantung : disangkal

d. Riwayat kencing manis : disangkal

e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal

f. Riwayat asma : disangkal

g. Riwayat alergi : disangkal

h. Riwayat dispepsi : diakui

4. Riwayat Penyakit Keluarga

a. Riwayat keluhan serupa : disangkal

b. Riwayat hipertensi : disangkal

c. Riwayat penyakit jantung : disangkal

d. Riwayat kencing manis : disangkal

e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal


5

f. Riwayat asma : disangkal

g. Riwayat alergi : disangkal

h. Riwayat stroke : disangkal

5. Riwayat Sosial dan Ekonomi

Pasien bekerja sebagai petani, dari muda pasien sudah terbiasa

meminum jamu untuk menghilangkan pegal linu. pasien menyangkal

sering meminum kopi atau teh. Jam makan pasien tidak teratur, sehari

hanya makan 2x.

C. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum : Tampak kesakitan

2. Kesadaran : GCS E:4 V:5 M:6

3. Tanda Vital :

Tekanan Darah : 129/79 mmHg

Nadi : 83 x/m

Suhu : 36.7 oC

RR : 26 x/m

VAS :7

4. Status Generalis

a. Pemeriksaan Kepala

Bentuk : mesocephal, simetris, venektasi temporal (-)


6

Mata : conjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-),edema

palpebra (-/-), reflex cahaya (+/+) normal, pupil bulat

isokor,

Hidung : Sekret (-)

Mulut : Bibir sianosis (-), lidah sianosis (-)

Leher : deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-)

b. Pemeriksaan Dada

Paru

Inspeksi : Dada simetris (+), retraksi dinding dada (-)

Palpasi : fremitus ka=ki

Perkusi : sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung

Inspeksi : ictus cordis (-)

Palpasi : ictus cordis teraba di linea midclavicularis sinistra

ICS 5 ke lateral, kuat angkat

Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi :S1>s2, murmur (-), gallop (-)

c. Pemeriksaan Abdomen

Inspeksi : Perut tampak cembung

Auskultasi : Bising usus (+)

Perkusi : Timpani (+)


7

Palpasi : Nyeri tekan seluruh lapang abdomen (+), defans muscular


(+)

d. Pemeriksaan Ekstremitas
Ekstremitas
Ekstremitas inferior
superior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Akral hangat + + + +

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium Darah

22/8/20 24/8/20 24/8/20 25/8/20 29/8/20 31/8/200 Nilai


Pemeriksaan 21/8/20 (11.00) normal
Hemoglobin 4.9 L - 6.8 L 6.1 L 11.7 9.1 L 11.7 11.0-14.0
Hematokrit 14.2 % - 19.2 % 19.3 % 33.4 % 26.3 % 35.9 % 40-48
L L L L L L
Leukosit 13230 H - 11210 14800 H 12320 5600 5200 4500-
12500
Trombosit 298.000 - 227000 198000 205000 260000 322000 150000-
400000
Eritrosit 1.57 L - 2.34 L 2.22 L 4.0 3.17 L 4.20 4.00-5.50
MCV 90.4 - 82.1 86.9 83.5 H 83 85.4 75-95
MCH 31.2 H - 29.1 27.6 29.3 28.7 27.9 27-31
MCHC 34.5 - 35.4 31.8 L 35.0 34.6 32.7 32-37
Neutrofil 92.4 H - 89.2 H 90.6 H 93.5 H 83.3 H 76.4 H 50-70
Limfosit 4.5 L - 2.7 L 2.7 L 2.1 L 8.1 L 7.1 L 25-50
Monosit 1.5 - 4.1 4.2 4.1 4.9 11.9 H 1-6
Eosinofil 1.9 - 3.9 2.2 0.1 3.5 3.8 1-4
Basofil 0.1 - 0.1 0.3 0.2 H 0.2 0.7 0-1
LED - - - - 61.6 H - - <10
CRP - - - - 21 H - - <0.5
Gol. Da A - - - - -
GDS 321 H - 216 H - - <= 200
GDP - - 185 H - - -
G2PP - - 203 H - - -
Ureum 131 H - - - 52.0 H - - 10-50
8

Kreatinin 1.1 - - - 0.7 - - 0.6-1.10


darah
RapidTest - - - - - - - -
SARS COV2
Kalium - 2.83 L - 4.14 4.47 H - - 3.5-5.0
Klorida - 93.69 L - 100.87 107.89 - - 95-105
H
Kalsium - 1.17 - 1.44 1.51 - - 1.10-1.90
Natrium - 132.83 - 141.66 143.69 - - 135-147
L H
HbSAg - Non - - - - - Non
Reaktif Reaktif
Anti HIV - - - Non - - - Non
Reaktif Reaktif
Protein Total - - - - 4.6 H - - 6-8
Albumin - - - - 3.1 L 2.1 L - 3.4-4.8
Globulin - - - - 1.5 - -

2. Pemeriksaan Radiologi
Rontgen Thoraks (21/8/20)

Kesan :

- Kardiomegali disertai elongasiao aorta


9

- Pulmo dalam batas normal

- Pneumoperitoneum

3. EKG

Kesan : Sinus Rhythm

E. Diagnosis

Peritonitis ec perforasi gaster

Anemia Gravis

DM Tipe II

F. Tatalaksana

IGD

Inf NaCl 0.9 % 10 tpm


10

Inj furosemide 1 x 1 amp

Inj ranitidine 2 x 1 amp

Transfusi PRC

Bangsal

Operasi Laparotomi Eksplorasi

Inf Asering/Aminofluid 30 tpm

Inj Ceftriaxone 2x1

Inj Metronidazole 3x1

Inj Gentamisin 2x1

Inj Ranitidin 2x1 Amp

Inf PCT 3x1

Puasa 5 Hari

G. Prognosis

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia

Ad functionam : dubia ad bonam


11

Perkembangan Pasien

26/8/2020 27/8/2020 28/8/2020 29/8/2020 30/8/2020 31/8/2020 1/9/2020


TD 154/86 140/92 145/89 140/78 140/88 135/77 138/70
mmHg mmHg mmHg mmHg mmHg mmHg mmHg
N 98 82 97 88 92 95 97

RR 20 20 20 20 20 20 20
S 36.8 36.4 36.9 37.2 36.5 37.1 36.6
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1. Peritonitis
a. Definisi
Peritonitis adalah peradangan peritoneum ( membran serosa yang

melapisi rongga abdomen dan menutupi visera abdomen ) merupakan

penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis.

Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ abdomen,

perforasi saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen. Organisme yang

sering menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam kolon (pada kasus

ruptura appendik) yang mencakup Eschericia coli atau Bacteroides.

Sedangkan stafilokokus dan streptokokus sering kali masuk dari luar (Wim,

2011).

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi bakteri adalah keluarnya

eksudat fibrinosa. Terbentuk kantong-kantong nanah (abses) di antara

perlekatan fibrinosa yang menempel menjadi satu dengan permukaan

sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila

infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa yang

kelak dapat menyebabkan terjadinya obstruksi usus (Schwartz, 2000).

Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan

peritoneum atau bila infeksi menyebar akan menyebabkan timbulnya

peritonitis generalisata. Dengan timbulnya peritonitis generalisata, aktivitas

12
13

peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus kemudian menjadi

atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus,

menyebabkan terjadinya dehidrasi, gangguan sirkulasi, oliguria, dan

mungkin shock (Schrock, 2000).

b. Epidemiologi

Peritonitis bakteri spontan sering terjadi pada anak dan dewasa, dan

merupakan komplikasi sirosis, 70% terdiri dari anak-anak. Pada dewasa

seirngkali terjadi pada sirosis alkohol. Sedangkan pada pasien dengan asites,

prevalensinya 18%. Pada peritonitis abses insidensi abses setelah operasi

abdomen ialah 1-2 % (Daley, 2019).

c. Etiologi dan Klasifikasi

Peritonitis bakterial diklasifikasikan menjadi primer dan sekunder

1) Peritonitis primer

Disebabkan oleh invasi bakteri yang melewati dinding

usus, limfatik mesenterium dan darah (sangat jarang) sehingga

terjadi bakteremia. Pasien dengan kadar protein yang rendah pada

cairan asites (<1g/dL) memiliki risiko 10x lebih besar terkena

peritonitis. Lebih dari 90% kasus disebabkan oleh infeksi monomicroba,

terutama yang bergram negative seperti E.Coli (40%), K Pneumoniae

(7%), Pseudomonas sp. Sedangkan sisanya disebabkan oleh bakteri


14

gram negative lainnya seperti kelompok Staphylococcus sp. (3%), S.

Pneumoniae (15%) dan kelompok Streptococcus sp. lainnya (15%).

Sedangkan untuk infeksi mikroorganisme anaerob (<5%). Kasus ini

banyak terjadi pada pasien dengan : (Schrock, 2000; Daley, 2019)

2) Peritonitis sekunder

Merupakan 1% dari total peritonitis yang harus segera dilakukan

tindakan di rumah sakit dan merupakan urutan ke2 penyebab sepsis di

ICU. Penyebab tersering yaitu, perforasi appendicitis, perforasi gaster

atau ulkus duodenum, perforasi colon sigmoid karena diverticulitis,

volvulus atau kanker dan strangulasi usus halus. Necrotizing

pancreatitis dapat berhubungan terkait dengan infeksi jaringan nekrotik

(Daley, 2019).

Patogen yang turut serta terbagi menjadi 2, proksimal (Gram

positif) dan distal saluran cerna. Peritonitis jenis ini sering kali

multimikroba, ada bakteri aerob dan anaerob atau dengan dominansi

bakteri gram negative.


15

Sedangkan pada peritonitis post operasi paling sering disebabkan

oleh kebocoran anastomosis dengan gejala yang muncul pada sekitar 5-7

hari post operasi. Setelah operasi abdominal dengan indikasi non

infeksi, insidensi <2%. Sedangkan operasi dengan indikasi infeksi tanpa


16

perforasi memiliki risiko <10%. Sedangkan risikonya dapat meningkat

hingga 50% pada perforasi iseral dan gangrene usus. Setelah operasi

trauma tusuk, peritonitis dan abses dapat dijumpai pada beberapa pasien.

Kerterkaitan pancreas dan duodenum, seperti perforasi kolon,

kontaminasi peritoneal yang parah, shock peri operasi, dan transfuse

massif merupakan factor yang meningkatkan risiko infeksi. Selain itu

peritonitis juga merupakan komplikasi dari dialysis peritoneal.

3) Peritonitis Tersier

Peritonitis yang sering terjadi pada pasien dengan

imunosupresi dan pada pasien dengan komorbid sebelumnya.

Insidensi peritonitis tersier yang emerlukan ICU 50-74%. Pada

pasien HIV sering disetai peritonitis tuberculosis. mendapat

terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan akibat tindakan

operasi sebelumnya (Daley, 2019; Schwartz, 2000).

4) Peritonitis kimia

Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh empedu, darah,

barium dan substansi infeksi dari oragan visceral (seperti Chron

Disease) tanpa inokulasi babkteri di cavum peritoneal. Manifestasi klinis

yang muncul sulit dibedakan dengan peritonitis sekunder dan abses,

sehingga untuk penegakan dan terapinya sama (Daley, 2019).

5) Peritonitis abses
17

Ialah pembentukan cairan infeksi yang terkapsulasi oleh

eksudat fibrin, omentum dan atau penempelan dengan organ visceral

lainnya. Dapat merupakan komplikasi dari operasi. Insidensi abses

setelah operasi abdomen ialah 1-2 %. Risikonya naik menjadi 10-30%

pada kasus perforasi sebeleum operasi seperti hollow viscus, seberapa

parah kontaminasi feses didalam cavum abdomen, iskemik bowel,

lambat dalam mendiagnosis dan mentatalaksana dan pasien dengan

imunosupresan. Abses yang terbentuk dapat memicu infeksi persisten

dan dapat berkembang menjadi peritonitis tersier (Daley, 2019).


18

d. Patofisiologi

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah

keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di

antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan

sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila

infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang

kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus. Peradangan menimbulkan

akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika

defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat

menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya

interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke

perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh


19

mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit

oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya

meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi

hypovolemia (Schwartz, 2000; Wim, 1997).

Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih

lanjut meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan

penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang

menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi

menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis

umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus

kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam

lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.

Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang

dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan

obstruksi usus (Wim, 2011; Arief, 2000).

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat

menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka

terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi

hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang

tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial,

pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga

terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan
20

akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga

abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis (Wim, 1997).

Infeksi intraabdominal sekunder biasanya disebabkan oleh tumpahan

mikroorganisme gastrointestinal atau genitourinari ke dalam ruang

peritoneum sebagai akibat hilangnya integritas sawar mukosa. Contohnya

termasuk radang usus buntu, divertikulitis, kolesistitis, luka tembus usus, dan

perforasi tukak lambung atau duodenum. Infeksi sekunder relatif umum,

berupa peritonitis umum atau abses lokal. Abses mungkin terbatas pada

ruang peritoneal langsung di sekitar organ intraabdominal yang sakit, seperti

abses pericholecystic, periappendiceal, atau peridivertikular, atau pada ceruk

peritoneal tertentu, seperti interloop, subdiaphragmatic, subhepatik, kantung

kecil, atau abses pelvis. Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh

perangsangan peritonium yang mulai di epigastrium dan meluas keseluruh

peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung dan duodenum

bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami

perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini

timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena

rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim

pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh

perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut

fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan

peritonium berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan
21

mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis

bakteria (Schwartz, 2000; Schrock, 2000).

Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan

lumen apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur

karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang

diproduksi mukosa mengalami bendungan,makin lama mukus tersebut

makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan

sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat

aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi

mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran

arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan

nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi

dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general

(Schwartz, 2000).

Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma

tumpul abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila

mengenai organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang

timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang

bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia

onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian

atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera

sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila

bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena


22

mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru setelah

24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritonium (Price,

2005; Rasad, 1999).

Rute infeksi pada peritonitis primer biasanya tidak jelas tetapi

dianggap hematogen, limfogen, melalui migrasi transmural melalui dinding

usus utuh dari lumen usus, atau, pada wanita, dari vagina melalui saluran

tuba. Pada pasien sirosis rute hematogen paling mungkin. Organisme yang

dikeluarkan dari sirkulasi oleh hati dapat mencemari getah bening hati dan

melewati dinding limfatik yang permeabel ke dalam cairan asites. Selain itu,

shunting portosystemic sangat mengurangi pembersihan hati dari

bakteremia, yang akan cenderung melanggengkan bakteremia dan

meningkatkan kesempatan untuk menyebabkan infeksi metastasis di tempat

yang rentan seperti pengumpulan asites.

e. Manifestasi Klinis

Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan

tanda – tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium

menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular, pekak hati bisa menghilang

akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai

hilang akibat kelumpuhan sementara usus (Arief, 2000).

Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik

dan terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok.

Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang


23

menyebabkan pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif

berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau

mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri

tekan lepas, tes psoas, atau tes lain (Arief, 2000).

f. Diagnosis

1) Anamnesis

2) Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan kondisi umum, wajah,

denyut nadi, pernapasan, suhu badan, dan sikap baring pasien, sebelum

melakukan pemeriksaan abdomen. Gejala dan tanda dehidrasi,

perdarahan, syok, dan infeksi atau sepsis juga perlu diperhatikan. Pada

pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tidak baik. Demam dengan

temperatur >380C biasanya terjadi. Pasien dengan sepsis hebat akan

muncul gejala hipotermia. Takikardia disebabkan karena dilepaskannya

mediator inflamasi dan hipovolemia intravaskuler yang disebabkan

karena mual damuntah, demam, kehilangan cairan yang banyak dari

rongga abdomen. Dengan adanya dehidrasi yang berlangsung secara

progresif, pasien bisa menjadi semakin hipotensi. Hal ini bisa

menyebabkan produksi urin berkurang, dan dengan adanya peritonitis

hebat bisa berakhir dengan keadaan syok sepsis (Wim, 2011; Rasad,

1999).

Pada pemeriksaan abdomen pasien, dapat dijumpai :


24

Inspeksi :

- Jaringan parut bekas operasi (adhesi)

- Cembung abdomen + darm steifung + darm cotour (Gangguan

pasase)

- Distensi Abdomen (Wim, 2011)

Palpasi :

Dimulai dari daerah yang tidak nyeri.

- Nyeri tekan dan defans muskular (rigidity)  inflamasi yang

mengenai peritoneum parietale (nyeri somatik). Defans yang murni

adalah proses refleks otot akan dirasakan pada inspirasi dan ekspirasi

berupa reaksi kontraksi otot terhadap rangsangan tekanan (Schrock,

2000; Wim, 1997)

Perkusi :

- Nyeri ketok  iritasi pada peritoneum, adanya udara bebas atau

cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi melalui

pemeriksaan pekak hati dan shifting dullness. Pada pasien dengan

peritonitis, pekak hepar akan menghilang, dan perkusi abdomen

hipertimpani karena adanya udara bebas tadi (Philips, 1997; Rasad,

1999).

Auskultasi :

- Penurunan suara bising usus  pada peritonitis genralisata

- Peningkatan/normal  peritonitis local (Schrock, 2000; Philips,

1997).
25

3) Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk

pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada

peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi. Gambaran radiologis

pada peritonitis yaitu : terlihat kekaburan pada cavum abdomen,

preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas

subdiafragma atau intra peritoneal (Schwartz, 2000).

Pada pemeriksaan darah, ditemukan leukositosis, hematocrit yang

meningkat. Sedangkan jika dilakukan analisis gas darah dapat dilihat

adanya asidosis metaboleik karena hiperventilasi.

g. DD

1) Appendisitis

2) Pankreatitis

3) Gastroenteritis
26

4) Kolesititis

5) Salpingitis

6) KET

h. Tatalaksana

Terapi Pembedahan

Managemen operasi diperlukan untuk mengontrol sumber infeksi dan

membersihkan bakteri serta toksin. Jenis dan metode operasi bergantung

pada jenis dan keparahan penyakit. Tatalaksana definitive yaitu untuk

memperbaiki anatomi atau fungsi yang terganggu karena infeksi.

Damage Control Surgery, merupakan alternatif dengan memasang

drain guna dengan mudah mengontrol kebocoran visceral pada saat

menunggu pasien stabil untuk dioperasi. Cara ini dapat digunakan pada

pasien dengan perforasi diverticulosis, peritonitis atau syok sepsis baik

pasien stabil ataupun tidak.

1) Laparotomi

Biasanya dilakukan insisi upper atau lower midline tergantung dari

lokasi yang dikira. Tujuannya untuk :

- menghilangkan kausa peritonitis

- mengkontrol origin sepsis dengan membuang organ yang mengalami

inflamasi atau ischemic (atau penutupan viscus yang mengalami

perforasi).

- Peritoneal lavage
27

Mengkontrol sumber primer dari sepsis adalah sangat penting. Re-

laparotomi mempunyai peran yang penting pada penanganan pasien

dengan peritonitis sekunder, dimana setelah laparotomi primer berefek

memburuk atau timbul sepsis. Re-operasi dapat dilakukan sesuai

kebutuhan. Relaparotomi yang terencana biasanya dibuat dengan

membuka dinding abdomen dengan pisau bedah sintetik untuk mencegah

eviserasi.

Penelitian menunjukkan bahwa five year survival rate di RS dan

jangka panjang, lebih tinggi pada relaparotomi sewaktu daripada

relaparotomi yang direncanakan. Pemeriksaan ditunjang dengan CT scan.

Perlu diingat bahwa tidak semua pasien sepsis dilakukan laparotomi,

tetapi juga memerlukan ventilasi mekanikal, antimikrobial, dan support

organ. Mengatasi masalah dan kontrol pada sepsis saat operasi adalah

sangat penting karena sebagian besar operasi berakibat meningkatkan

morbiditas dan mortalitas

2) Laparoskopi

Teori bahwa resiko keganasan pada hiperkapnea dan syok septik

dalam absorbsi karbondioksida dan endotoksin melalui peritoneum yang

mengalami inflamasi, belum dapat dibuktikan. Tetapi, laparoskopi efektif

pada penanganan appendicitis akut dan perforasi ulkus duodenum.

Laparoskopi dapat digunakan pada kasus perforasi kolon, tetapi angka

konversi ke laparotomi lebih besar. Syok dan ileus adalah kontraindikasi

pada laparoskopi.
28

3) Drain

Efektif digunakan pada tempat yang terlokalisir, tetapi cepat

melekat pada dinding sehingga seringkali gagal untuk menjangkau rongga

peritoneum. Ada banyak kejadian yang memungkinkan penggunaan drain

sebagai profilaksis setelah laparotomi.

Terapi Non Bedah

Tatalaksana peritonitis merupakan kombinasi dari berbagai aspek,

obat, operasi dan intervensi non operasi. Terapi obat yang dapat dibeirkan

untuk pasien antara lain :

1) Antibiotik sistemik

Infeksi cavum abdomen memerlukan antibiotic gram negative dan

gram positif serta anaerob. Sehingga antipensudomonas disarankan untuk

pasien yang pernah diterapi dengan antibiotic atau memiiki riwayat rawat

inap di rumah sakit dalam waktu yang lama. Antibiotik dapat di stop saat

infeksi dan manifestasi klinis sudah hilang. Namun dapat terjadi infeksi
29

rekuren pada beberapa mikroorganisme seperti Candida sp dan

Staphylococcus aureus, sehingga terapi dilanjutkan selama 2-3 minggu.

Harus spektrum luas, yang mengenai baik aerob dan anaerob,

diberikan intravena. Cefalosporin generasi III dan metronidazole adalah

strategi primer. Bagi pasien yang mendapatkan peritonitis di RS

(misalnya oleh karena kebocoran anastomose) atau yang sedang

mendapatkan perawatan intensif, dianjurkan terapi lini kedua diberikan

meropenem atau kombinasi dari piperacillin dan tazobactam. Terapi

antifungal juga harus dipikirkan untuk melindungi dari kemungkinan

terpapar spesies Candida.

2) Stabilkan hemodinamik, paru dan renal

3) Nutrisi

4) Mudalsi respon inflamasi

Terapi selalu diawali dengan resusitasi cairan, koreksi elektrolit,

gangguan koagulasi dan diberikan antibiotic spektrum luas.

i. Komplikasi

1) Syok Sepsis

Pasien memerlukan penanganan intensif di ICU

2) Abses intraabdominal atau sepsis abdominal persisten.

Pada tanda-tanda sepsis (pireksia, leukositosis), pemeriksaan harus

disertakan CT dengan kontras luminal (khususnya apabila terdapat

anastomosis in-situ). Re-laparotomi diperlukan apabila terdapat


30

peritonitis generalisata. Drainase perkutaneus dengan antobiotik pilihan

terbaik merupakan terapi pada tempat yang terlokalisir. Terapi antibiotik

disesuaikan dengan kultur yang diambil dari hasil drainase. Sepsis

abdominal mengakibatkan mortalitas sekitar 30-60%.

3) Adhesi

Dapat menyebabkan obstruksi intestinal atau volvulus.

j. Prognosa

Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan

pada peritonitis umum prognosisnya malam, dikarenakan virulensi

mikroorganisme. Faktor yang mempengaruhi tingkat mortalitas adalah :

1) Usia

2) Penyakit kronis

3) Wanita

4) Sepsis pada daerah upper gastrointestinal

5) Kegagalan menyingkirkan sumber sepsis.

2. Perforasi Gaster

a. Definisi

Perforasi gaster merupakan kerusakan seluruh ketebalan dinding

organ. Karena peritoneum menutupi lambung sehingga, saat terjadi perforasi

maka isi lambung akan menyebar ke cavum peritoneum dan menyebabkan

peritonitis kimia.. Perforasi tukak gaster adalah penyakit yang disebabkan


31

oleh komplikasi serius dari penyakit ulserasi lambung. Ulserasi lambung

merupakan luka  yang  terjadi  pada  lapisan  lambung  akibat terkikisnya

lapisan dinding lambung, yang juga bisa terjadi pada dinding duodenum.

Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang komplek

dari dinding lambung, usus halus, usus besar akibat dari bocornya isi dari

usus ke dalam rongga perut. Perforasi dalam bentuk apapun yang mengenai

saluran cerna merupakan suatu kasus kegawatdaruratan bedah (Soreide,

2015)

b. Epidemiologi

Pada orang dewasa, perforasi ulkus gaster adalah penyebab umum dari

morbiditas dan mortalitas akut abdomen sampai sekitar 30 tahun lalu. Angka

kejadian menurun secara paralel dengan penurunan umum dari prevalensi

ulkus peptik. Ulkus duodenum 2 – 3 kali lebih sering dari perforasi ulkus

gaster. Setiap tahunnya, dilaporkan 4 miliyar orang di seluruh dunia

menderita penyakit tukak gaster, 10% - 20% kasus diantaranya menderita

komplikasi dari tukak gaster dan 2% - 14% tukak akan mengalami perforasi.

Pada anak-anak biasanya terkati dengan trauma. Sedangkan pada dewasa

paling sering disebabkan oleh perforasi ulkus gaster. Sekitar 30% perforasi

gaster disebabkan oleh keganasan (Tarasconi, 2020).

c. Etiologi
32

Penyebab tersering perforasi gaster ialah tipe sekunder yaitu ulkus

gaster, namun dapat disebabkan juga oleh trauma, keganasan, tindakan

intervensi medis, dan kelianan instrisnsik yang dapat terjadi pada saat

neonates (Soreide, 2015).

1. Ulkus Gaster

Merupakan penyebab tersering. Perforasi gaster terjadi kurang

dari 10% penderita ulkus gaster. Biasanya terjadi pada lansia yang

menggunakkan NSAID atau minum alkohol. Perforasi pada ulkus

gaster atau ulkus duodenum menyebabkan keluarnya isi ke dalam

caum peritoneum sehingga menyebabkan peritonitis kimia. Jika

perforasi terjadi pada dinding belakang lambung, kebocoran isi akan

tertampung dalam suatu kantong sehingga membatasi peritonitis dan

gejalanya tidak khas.

2. Perforasi gaster spontan

Merupakan kasus yang jarang dijumpai, dapat dijumpai pada

kasus pneumoperitoneum neunatus.

3. Trauma

Terkadang dijumpai setelah terjadi luka tembus (luka tembak

atau tusuk) atau karena instrument medis, meskipun dapat pula terjadi

rupture organ karena trauma tumpul. Dari total kasus luka abdomen

sekitar 8% terkait dengan lambung, dan sekitar 5% lambung

merupakan organ tunggal yang terkena. Jika terjadi karena luka

tembus, maka dinding depan dan belakang lambung dapat terkena.


33

Sedangkan pada trauma tumpul, dapat terjadi laserasi pada lambung

atau dapat rupture jika lambung terdistensi dan terisi penuh saat

trauma terjadi. Lambung merupakan urutan 3 tersering dari kerusakan

organ intra abdomen berongga setelah usus halus dan kolon.

4. Keganasan

Neoplasma dapat menyebabkan perforasi melalui penetrasi

langsung dan nekrosis atau dengan menyebabkan obstruksi. Biasanya

terjadi secara spontan dan biasanya terjadi dalam kemoterapi atau

radioterapi. Serta dapat pula berhubungan dengan pemasangan stent di

ujung obstruksi lambung.

5. Iatrogenic

Endoskopi saluran cerna atas dapat menyebabkan perforasi

gaster dengan insidensinya lebih tinggi pada endoskopi terapeutik

dibantingkan diagnostic. Lambung bagain atas memilikir isko yang

lebih besar karena dindingnya lebih tipis. Pada pasien yang memiliki

gangguan pada lambungnya memiliki risiko yang lebih tinggi juga.

d. Klasifikasi

Adapun tipe perforasi dikategorikan atas 4 tipe yaitu (Haile T. Debas,

2007) :

1) Tipe 1 (primary) : berada pada kurvatura minor diantara fundus dan

antrum gaster, biasanya pada usia tua dan berhubungan dengan


34

hiposekresi asam lambung. Tipe 1 merupakan tipe yang paling sering

terjadi.

2) Tipe 2 : merupakan kombinasi ulkus gaster dan ulkus duodenal yang

berada pada kurvatura minor dan duodenal.

3) Tipe 3 : berada pada prepilorik

4) Tipe 4 : berada pada juxtaesofageal dimana berada lebih tinggi dari

kurvatura minor dekat dengan gastroesofageal junction

e. Patofisiologi

Perforasi merupakan komplikasi dari penyakit tukak gaster yang

dimana terjadi bila adanya gangguan ketidakseimbangan antara faktor

defensif (mucus-bicarbonate layer, prostaglandins, cellular regeneration,

mucosal blood flow) dan agresif (hydrochloric acid, pepsin, ethanol, bile

salts, drugs). Patologi dapat dibagi dalam 3 kategori (Pietrouisti, 2005;

Gisbert, 2004) :

1) H. Pylori positive

H. Pylori hidup di lapisan dalam mukosa terutama mukosa

antrum menyebabkan kelemahan pada sistem pertahanan mukosa

dengan mengurangi ketebalan lapisan mukosan dengan melepaskan

berbagai macam enzim seperti urease, lipase, protease, dan posfolipase

dan mengeluarkan berbagai macam sitotoksin yang dapat menyebabkan

vakuolisasi sel – sel epitel. Urease dapat memecah urea dalam lambung
35

menjadi amonia yang toksik terhadap sel – sel epitel, sedangkan

protease dan fosfolpase A2 menekan sekresi mukus yang menyebabkan

daya tahan mukosa menurun, lalu merusak lapisan kaya lipid pada

apikal sel epitel dan melalui kerusakan sel – sel ini asam lambung

berdifusi balik menyebabkan nekrosis yang lebih luas sehingga terjadi

tukak gaster.

2) H. Pylori negative and non-NSAID associated

Ulkus juga dapat timbul tanpa adanya infeksi H. Pylori dan

konsumsi NSAID. Contohnya Zollinger-Ellison syndrome, Cushing’s

ulcer, dan high-dose upper abdominal radiotherapy merupakan idopatic

ulcers.

3) NSAID associated

Ulkus akibat NSAID timbul disebabkan oleh terjadinya supresi

pembentukan prostaglandin pada gaster. Prostaglandin berperan penting

dalam mempertahankan integritas mukus gaster.

Cyclo-oxygenase (COX 1 dan COX 2) inhibitor diduga yang

menyebabkan ulkus gaster. Perlekatan neutrofil diketahui dapat

menyebabkan kerusakan pada mukosa dengan meningkatkan kadar radikal

bebas, produksi protease, dan penurunan aliran darah kapiler. NSAID

dapat menginhibit Nitric oxide (NO) dan hydrogen sulphide (H 2S), yang

dimana NO dan H2S sangat berperan dalam menjaga integritas mukosa


36

gaster. Peran NO dan H2S dalam menjaga integritas adalah meningkatkan

aliran darah ke mukosa, menstimulasi sekresi mukosa, dan menginhibit

perlengketan neutrofil.

f. Manifestasi Klinis

Secara umum, nyeri abdomen yang disebabkan oleh perforasi ulkus

peptikum terjadi sangat mendadak pada abdomen bagian atas. Sebagian

besar pasien menunjukkan gejala yang jelas. Secara umum episode dari

perforsi ulkus peptikum dibagi menjadi tiga fase (Soreide, 2015) :


37

1) Peritonitis kimia. Pada saat awal perforasi menimbulkan peritonitis

kimia, dengan atau tanpa kontaminasi mikroorganisme. Bocornya isi

gastroduodenum biasanya terjadi difuse tetapi dapat pula terlokalisir

pada abdomen bagian atas dengan adanya adhesi dari omentum.

2) Fase intermediate. Setelah 6 – 12 jam pasien dapat menunjukkan

penurunan gejala nyerinya. Hal ini mungkin disebabkan oleh dilusi dari

cairan gastroduodenum dengan adanya eksudat peritoneal.

3) Fase infeksi abdomen. Jika pasien belum dilakukan operasi, setelah 12 –

24 jam akan terjadi infeksi intraabdomen.

Nyeri perut hebat yang makin meningkat dengan adanya pergerakan

disertai nausea, vomitus, pada keadaan lanjut disertai demam dan mengigil.

Perforasi gaster akan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang

mengalami perforasi akan tampak kesakitan hebat, seperti ditikam di perut.

Nyeri ini timbul mendadak, terutama dirasakan di daerah epigastrium

karena rangsang peritoneum oleh asam lambung, empedu dan/atau enzim

pankreas. Cairan lambung akan mengalir ke kelok parakolika kanan,

menimbulkan nyeri perut kanan bawah, kemudian menyebar ke seluruh

perut menimbulkan nyeri seluruh perut. Pada awal perforasi, belum ada

infeksi bakteria, fase ini disebut fase peritonitis kimia. Adanya nyeri di

bahu menunjukkan adanya rangsangan peritoneum di permukaan bawah

diafragma. Reaksi peritoneum berupa pengenceran zat asam yang

merangsang itu akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai


38

kemudian terjadi peritonitis bakteria. Rangsangan peritoneum

menimbulkan nyeri tekan dan defans muskuler. Pekak hati bisa hilang

karena adanya udara bebas di bawah diafragma. Peristaltis usus menurun

sampai menghilang akibat kelumpuhan sementara usus. Bila telah terjadi

peritonitis bakteria, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia,

hipotensi, dan penderita tampak letargik karena syok toksik. Rangsangan

peritoneum menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan

pergeseran peritoneum dengan peritoneum. Nyeri subjektif dirasakan

waktu penderita bergerak, seperti berjalan, bernapas, menggerakkan badan,

batuk, dan mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri ketika digerakkan seperti

pada saat palpasi, tekanan dilepaskan, colok dubur, tes psoas, dan tes

obturator.

g. Diagnosis

1) Anamnesis

2) Pemeriksaan Fisik

3) Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan darah lengkap diperlukan untuk menilai derajat

kehilangan darah dan keparahan penyakit, selain itu pemeriksaan

radiologi sangat penting karena seringkali dibutuhkan tindakan

pembedahan yang segera. Deteksi dari pneumoperitoneum yang

minimal pada pasien akut abdomen yang disebabkan oleh perforasi

gastrointestinal merupakan hal yang sangat penting. Pemeriksaan BNO


39

ditemukan adanya free air (udara bebas) dengan sensitivitas 50-70%.

USG juga dapat digunakan untuk mendiagnosis pneumoperitoneum.

Pemeriksaan yang paling sensitive dan spesifik ialah CT-Scan abdomen.

Pemeriksaan laparoskopi juga dapat dilakukan untuk menegakan

diagnosis untuk menentukan penyebab dan pengambilan cairan untuk

kultur (Pieter, 2004; Tarasconi, 2020).

h. DD

1) Ulserasi peptic

2) Ulserasi duodenum

3) Penyakit bilier

4) Infark spleen

5) Insuffisiensi mesenterium ec emboli

6) Gastritis

7) Perforasi esofagus

8) Rupture aneurisma aorta abdominal

i. Tatalaksana

1) Inisial :

a) Oksigen

b) Resusitasi cairan

c) Antibiotic spektrum luas IV


40

Dapat menurunkan risiko infeksi. Pemberian antibiotik

metronidazol + sefalosporin/aminoglikosid

d) Analgesic IV

e) PPI IV

f) NGT

g) Kateter urin

2) Definitif

Pembedahan baik open ataupun laparoskopi. Tujuan dari terapi

bedah adalah :

a) Koreksi masalah anatomi yang mendasari

b) Koreksi penyebab peritonitis

c) Membuang setiap material asing di rongga peritoneum yang dapat

menghambat fungsi leukosit dan mendorong pertumbuhan bakteri

(seperti darah, makanan, sekresi lambung)

Indikasi bedah dan waktu operasi yang tepat pada pasien dengan

ulkus peptikum perforasi adalah sebagai berikut:

a) Sehubungan dengan pneumoperitoneum yang signifikan,

ekstravasasi kontras ekstraluminal, atau tanda-tanda peritonitis:

Perawatan operatif sangat dianjurkan

b) Melakukan pembedahan sesegera mungkin, terutama pada pasien

dengan presentasi tertunda atau yang berusia lebih dari 70 tahun


41

Pendekatan bedah yang direkomendasikan (laparoskopi vs terbuka)

untuk tukak lambung perforasi adalah sebagai berikut:

a) Pasien stabil

Pendekatan laparoskopi, kecuali peralatan dan tenaga ahli tidak

tersedia , dalam hal ini pendekatan terbuka direkomendasikan

b) Pasien tidak stabil

Operasi terbuka

Berikut beberapa manjemen operasi yang dapat dilakukan :

a) Primary repair: defek ini terutama ditutup dengan jahitan, hal ini

sesuai untuk sebagian besar perforasi traumatis

b) Graham patch repair: defek hanya ditancapkan dengan pedikel

omental yang tervaskularisasi dengan baik

c) Modified Graham patch repair: penutupan primer defek kemudian

aplikasi flap.

d) Wedge resection: Area perforasi dapat direseksi dari jaringan sehat,

terutama jika berada pada kelengkungan yang lebih besar dan jauh

dari persimpangan gastroesofagus atau pilorus

Pilihan untuk rekonstruksi:

a) Billroth I: Gastroduodenostomy, anastomosis antara sisa lambung

dan duodenum
42

b) Billroth II: Gastrojejunostomi, anastomosis sisi ke sisi antara sisa

lambung dan lengkung jejunum dengan penutupan tunggul

duodenum. Gastrojejunostomi

c) Roux-en-Y: Pembuatan jejuno-jejunostomi membentuk bentuk y

pada usus halus

j. Komplikasi

Berbagai penyakit merupakan komplikasi dari kasus (NHS, 2018):

1) Infeksi luka

2) Sepsis

3) Malnutrisi

4) Kegagalan multiorgan

5) Adesi atau obstruksi usus besar

6) Delirium

Komplikasi ini dipengengari oleh

1) Usia tua

2) Demensia

3) Sepsis

4) Abnormalitas elektrolit dan metabolic

5) Hipoksia

6) Komplikasi intraoperative
43

k. Prognosis

Keterlambatan dalam diagnosis dan penanganan dapat meningkatkan

angka mortalitas pasien. Faktor yang berpengaruh (Soreide, 2015):

1) Adanya komorbid

2) Usia lanjut

3) Malnutrisi

4) Muncul komplikasi

5) Lokasi perforasi
BAB IV

PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang diagnosis

peritonitits et causa perforasi gaster dengan anemia gravis dan DM tipe II dapat

ditegakkan pada pasien. Dari hasil anamnesis didapatkan informasi nyeri perut sejak

3 jam SMRS, awalnya nyeri terasa pada uluhati lalu semakin lama menyebar ke

seluruh perut dan berpindah disertai rasa panas dan rasa seperti ditusuk-tusuk. Nyeri

dirasakan terus menerus sehingga pasien tidak dapat beristirahat. Sejak dahulu pasien

sering merasakan kembung, dan sejak 3 HSMRS pasien mengeluh perut terasa panas

disertai sesak namun pasien belum berobat. Pada saat masih dirumah, BAB bewarna

coklat, darah -, kemudian saat di rawat di bangsal BAB menjadi kehitaman dan

lembek. Pasien tidak nafsu makan sehingga pasien merasa lemas, selain itu pasien

juga mengeluh kaki terasa matirasa, sering haus dan sering BAK. Pasien menyangkal

mual, muntah, nyeri saat BAK, dan demam.

Sedangkan dari pemeriksaan fisik dapatkan kondisi pasien kesakitan dengan

VAS 7, konjungtiva anemis, nyeri tekan seluruh lapang abdomen, bising usus

menurun, defans muscular.

Dari hasil pemeriksaan penunjang, didapatkan Hb 4.9 (L), leukosit 13230 (H),

Ht 14.2 % (L), eritrosit 1.57 (L), Neutrofil 92.4 (H), GDS 321 (H), K 2.83 (L), Cl

91.69 (L), Na 132.83 (L) sehingga dapat disumpulkan pasien menderita anemia

44
45

gravis, leukositosis dengan dominansi neutrophil, gangguan elektrolit ringan, dan

diabetes melitus tipe II (tegak berdasarkan gejala klasik + GDS). Sedangkan dari

rontgen thoraks didapatkan coupula sign (+) yaitu gambaran udara bebas dibawah

diafragma, sehingga terdapat pneumoperitoneum.

Pada saat dilakukan laparotomi eksplorasi, ditemukan adanya cairan yang

mengisi cavum abdomen, bewarna putih keruh, serta dijumpai adanya perlengketan

pylorus dengan organ sekitar. Saat dilakukan pemisahan dijumpai adanya perforasi

pada pylorus gaster.

Tatalaksana pre operasi yang diberikan pada pasien ini cairan maintenance

dengan NaCl 0.9% 20 tpm, transfusi PRC 7 kolf dengan premedikasi furosemide

untuk mentatalaksana anemia gravisnya, kemudian diberikan injeksi ranitidine untuk

mengatasi nyeri serta inj furosemide untuk mengatasi edema tungkai pasien. Terapi

pasca operasi antara lain Inf Aminofluid/Asering 30 tpm, Inj Seftriakson 2x1 gr

(antibiotic spektrum luas), Inj Metronidazol 3x1 (untuk bakteri anaerob), Inj
46

Gentamisin 2x1 (antibiotic spektrum luas), Inj Ranitidin 2x1 amp (mengurangi

produksi asam lambung), Inf PCT 3x1 (antipiretik dan analgesic) dan dilakukan

puasa selama 5 hari agar produksi asam lambung tidak meningkat sehingga

diharapkan jahitan cepat tertutup.


BAB V

KESIMPULAN

Peritonitis adalah peradangan peritoneum merupakan penyulit berbahaya yang

dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat

penyebaran infeksi dari organ abdomen, perforasi saluran cerna, atau dari luka

tembus abdomen sehingga memberikan tanda rangsangan peritoneum.

Penatalaksanaan dari peritonitis yaitu : dekompresi saluran cerna dengan

penghisapan nasogastrik atau intestinal, koreksi elektrolit, antibiotic sesuai

etiologifokus infeksi dihilangkan dari abdomen. Prognosis untuk peritonitis local

adalah baik, sedangkan untuk peritonitis umum yaitu buruk.

Perforasi gaster merupakan kerusakan seluruh ketebalan dinding organ saat

terjadi perforasi maka isi lambung akan menyebar ke cavum peritoneum dan

menyebabkan peritonitis kimia.. Perforasi tukak gaster adalah penyakit yang

disebabkan oleh komplikasi serius dari penyakit ulserasi lambung.

Penyebab utama bisa karena pemakaian OAINS, steroids, merokok, infeksi

Helicobacter Pylori (H. Pylori) dan diet tinggi garam dan berbagai factor lainnya.

Untuk mencegah terjadinya komplikasi peritonitis harus dilakukan penatalaksanaan

segera, konservatif maupun tindakan pembedahan.

Klinis yang paling khas ialah gejala peritonitis, nyeri perut hebat berpindah,

pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain darah lengkap, radiologi, laparoskopi.

Spesifisitas dan sensitivitas terbaik yaitu dengan CT Scan, namun dengan BNO saja

sudah cukup dengan ditemukannya free air (pneumoperitoneum).

47
48

Tatalaksana awal yaitu oksigen, resusitasi, Antibiotik, analgesic, PPI ,

pemasangan NGT, Kateter. Untuk attalaksana definitive ialah dengan pembedahan

baik open maupun dengan laparoskopi.


DAFTAR PUSTAKA

Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam


Kapita Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius FKUI,
Jakarta.
Gisbert JP, Legido J, Garcia-Sanz I, Pajare JM. Helicobacter Pylory and
Perforated peptic ulcer prevelance of the infection and role of non-steroidal anti
inflammatory drugs. Dig Liver Dis. 2004 Feb; 36(2): 116-20
Philips Thorek, Surgical Diagnosis,Toronto University of Illnois College of
Medicine,third edition,1997, Toronto.
Pieter, John, editor : Sjamsuhidajat,R. dan De Jong, Wim, Bab 31 : Lambung
dan Duodenum, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, EGC : Jakarta, 2004. Hal. 541-59.
Pietroiusti A, Luzzi I, Gomez MJ, et al. Helicobacter pylori duodenal
colonization is a strong risk factor for the development of duodenal ulcer. Aliment
Pharmacol Ther. 2005 Apr 1. 21 (7):909-15. 
Price, Sylvia. 2005.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi

6. Jakarta : EGC.

Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I.1999.Abdomen Akut, dalam Radiologi


Diagnostik, Hal 256-257, Gaya Baru, Jakarta.
Schrock. T. R.. 2000.Peritonitis dan Massa abdominal dalam Ilmu Bedah,
Ed.7, alih bahasa dr. Petrus Lukmanto, EGC, Jakarta.
Schwartz, Shires, Spencer. 2000.Peritonitis dan Abses Intraabdomen dalam
Intisari Prinsip – Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta : EGC. Hal 489 – 493
Soreide, Kjetil., et all. 2015. Perforated Peptic Ulcer. Science Direct. Vol 26 p
1288-1298
Tarasconi, Antonio, et al. 2020. Perforated and bleeding peptic ulcer : WSES
guidelines. World Journal of Emergency Surgery.

49
50

Thorsen K, Soreide JA, Kvaliy JT, Glomsaker T, Soreide K. 2013.


Epidemiology of Perforated Peptic Ulcer: Age- and gender adjusted analysis of
inceidence and mortality. World J Gastroenterol. Vol 19(3_: 347-354
Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997.Gawat Abdomen, dalam Buku ajar Ilmu
Bedah; 221-239, EGC, Jakarta.
Wim de jong, Sjamsuhidayat.R. 2011 Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta :
EGC.
Wong CW, Chung PH, Tam PK, Wong KK. Laparoscopic versus open operation
for perforated peptic ulcer in pediatric patients: A 10-year experience. J Pediatr Surg.
2015 Dec. 50 (12):2038-40. 

Anda mungkin juga menyukai