Perspektif Lokal
Membumikan Kearifan Lokal
dalam Kajian Komunikasi Masyarakat Madura
Surokim
KOMUNIKASI PERSPEKTIF LOKAL:
Membumikan Kearifan Lokal dalam Kajian Komunikasi Masyarakat Madura
Pengarang : Surokim
Desainer Cover : Candra Coret
Layouter : Atik Sustiwi
Diterbitkan oleh:
Puskakom Publik
Prodi Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya
Universitas Trunojoyo Madura
iii
iv Komunikasi Perspektif Lokal ...
ix
x Komunikasi Perspektif Lokal ...
Daftar Isi
xi
xii Komunikasi Perspektif Lokal ...
Membumikan Kearifan
Lokal pada Teori dan
Praktik Komunikasi
Oleh:
Rachmat Kriyantono, Ph.D
Universitas Brawijaya
xiii
xiv Komunikasi Perspektif Lokal ...
moralitas untuk bersikap benar. Tetapi, aplikasi tell the truth ini akan
berbeda antara konteks budaya Barat dan kita. Teori-teori versi Amerika
atau Eropa, mengadopsi pemikiran Edward T. Hall (Gudykunst & Mody,
2002; Mulyana, 2001; Rogers, 1997), lebih bersifat budaya konteks rendah
(low context culture) sehingga makna tell the truth akan berbeda dengan
masyarakat Indonesia yang berbudaya konteks tinggi (high context culture).
Budaya konteks tinggi menghasilkan komunikasi konteks tinggi, seperti
bermakna implisit, tidak terus terang, tidak langsung, banyak simbol
nonverbal, dan multiinterpretasi. Budaya konteks rendah membuat
komunikasi bersifat konteks rendah, seperti lebih banyak pesan verbal,
makna eksplisit, langsung, terus terang atau “blak-blakan”. Jika seseorang
berbudaya barat berkata “ya”, berarti memang ya atau setuju. Masyarakat
Jawa yang berbudaya konteks tinggi cenderung tidak seterbuka budaya
barat dalam menyampaikan maksud hatinya. Misalnya, orang Jawa
ditawari minum saat bertamu, mengatakan “sampun, maturnuwun”, artinya
sudah (minum), terima kasih, bisa diartikan “dia sebenarnya mau tapi
malu disangka tidak sopan”.
Kedua, dalam komunikasi politik, beberapa kali kita menemukan
proses pengambilan keputusan dilakukan dengan cara voting (ada istilah
one man-one vote). Kita sering temui, misalnya, dalam sidang DPR. Bahkan
voting sering mewarnai sidang MPR dan Munas (Musyawarah nasional)
atau Mubes (Musyawarah besar). Padahal huruf “M” berarti musyawarah.
Jika dalam perspektif Barat dikenal teori dialogic public relations (Kent
& Taylor, 2002), di perspektif lokal proses pengambilan keputusan
pun dengan cara dialog, yaitu “musyawarah mufakat”. Cara pengambilan
keputusan ini terkadang memerlukan kesediaan berbagai pihak untuk
mengorbankan kepentingannya demi kepentingan yang lebih besar. Ini
yang disebut kearifan Jawa: “wani ngalah, luhur wekasane” (terkadang
mengalah itu lebih baik, untuk kepentingan bersama). Organisasi pun
mesti siap menghadapi risiko terburuk apapun jika akar permasalahan
bisa terurai dengan baik. Masyarakat Makassar mengatakan “teppettu
maoompennge, teppolo massellomoe” (Tak akan putus yang kendur, tak akan
patah yang lentur). Artinya, berlaku bijaksanalah, dengan toleransi dan
tenggang rasa, saat menghadapi permasalahan agar solusi tercapai tanpa
kekerasan atau kesewenangan.
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR xix
REFERENCES:
Carey, J.W. (2009). Communication as culture: Essay on media and society.
Revised edtion. New York: Routledge.
Dissayanake, W. (2003). Asian approaches to human communication:
Restrospect and prospect, Intercultural Communication Studies,
XII-4.
Fiske, J. (2002). Introduction to communication studies. New York: Routledge-
Taylor & Francis e-Library.
Gudykunst, W.B., & Mody, B.B. (2002). Introduction of intercultural
communication. Di Handbook of international & intercultural
communication. Gudykunst, W.B., & Mody, B.B. (Ed.). California:
Sage Publications.
Gunaratne, S.A. (2009). Asian communication theory. In Encyclopedia
communication theory. Littlejohn, S.W., & Foss K.A. (Eds.). London:
Sage
Hobart, M. (2006). Introduction. Asian Journal of Communication, 16(4).
Kriyantono, R. (2017). Teori public relations perspektif barat dan lokal:
Aplikasi penelitian dan praktik. Jakarta: Prenada.
Kriyantono, R., & McKenna, B. (2017). Developing a Culturally-Relevant
Public Relations Theory for Indonesia. Malaysian Journal of
Communication, 33(1),1-16.
xxii Komunikasi Perspektif Lokal ...
I
de dan tekad untuk membumikan ilmu komunikasi
dengan meretas perspektif lokal khas Indonesia sudah
digagas sejak tahun 2000an. Selama ini perspektif
ilmu pengetahuan itu sebagaimana sudah dipaparkan
Kriyantono (2019) masih didominasi Barat (Eropa dan
Amerika, pen), karena keunggulan berbagai hal mulai dari
kemapanan sistem pendidikan, sdm, prasarana, literasi,
referensi hingga publikasi. Dominasi itu akhirnya membawa
implikasi kepada terciptanya hegemoni perspektif barat
atas perspektif yang lain dan menjadikan perspektif di
luar barat seperti perspektif timur sebagai sesuatu yang
tidak ilmiah dan tidak valid dan hanya sekadar menjadi
pelengkap.
Akibatnya, perspektif barat hampir selalu menjadi
rujukan dalam menyusun kerangka, landasan teori hingga
perspektif dalam menjawab dan menyelesaikan apapun
1
2 Meng-Indonesia-kan Ilmu Komunikasi
efektif tidak sekadar deliver pesan, tetapi juga soal kebersamaan yang
selama ini tidak diperhatikan pada masyarakat barat. Nugroho (2001)
menambahkan bahwa sesuatu “tidak komunikatif ” karena tidak membaur
dalam kehangatan kebersamaan, tidak menjaga harmoni. Komunikasi bagi
khalayak ini bukanlah masalah akurasi informasi yang ditransmisikan,
melainkan masalah keberbagian dalam kebersamaan, masalah ketepatan
dalam melaksanakan ritus kolektivisme itu. (Alois Nugroho, 2001).
Dengan demikian ukuran efektivitas komunikasi adalah kebersamaan
dan kehangatan, bukan pertama-tama interpretasi yang benar di pihak
penerima, bukan pertama-tama umpan balik yang diharapkan. Ada hal
yang berbeda antara masyarakat barata dan Indonesia, khususnya jawa.
Dalam masyarakat Jawa, sebagai contoh tidak mengenal berterus
terang, tetapi lebih banyak diam dan menyimpan perasaannya atas
sesuatu jadi tidak reaktif. Bahkan semakin tinggi kedudukan seseorang,
maka hal yang tak terang seperti komunikasi nonverbal pesemon sudah
menjadi bahasa tersendiri melebihi makna dari kata kata. Bahkan ada
kecenderungan bahasa yang tak terkatakan seperti bahasa non verbal
semakin memiliki kedudukan tinggi dalam praktik komunikasi tradisional
Jawa.
Dalam aplikasinya pada tataran penyelia, komunikasi masih
menggunakan kata-kata, tetapi tidak langsung pada masalah, melainkan
berputar-putar. Sementara pada tataran menengah, sudah tak diperlukan
kata-kata, melainkan gerak-gerik mulut yang tak bersuara namun
bermakna. Adapun pada tataran tinggi komunikasi menjadi semakin
halus dan mengambil rupa sasmita, isyarat, utamanya melalui perubahan
raut muka, gerak-gerik mata, hidung, lidah, telinga, bibir, tarikan napas,
tanpa banyak mengeluarkan suara. Maka sesungguhnya tantangan bagi
ilmu komunikasi Indonesia bukanlah pada kemampuan menganalisis apa
yang dipancarkan, melainkan kemampuan menganalisis hal-hal yang
tidak dipancarkan.
Mengingat besarnya konsep yang bisa digali dalam masyarakat
Indonesia itu, maka tidaklah mengherankan jika hasil penelitian nanti
akan menunjukkan variasi dari daerah ke daerah, dari suku ke suku, dari
segmen masyarakat yang satu ke segmen masyarakat yang lain. Nilai nilai
seperti gotong royong, silih asih, asah, asuh, berat sama dipikul, ringan
8 Meng-Indonesia-kan Ilmu Komunikasi
sama dijinjing, welas asih, rahayu sagung dumadi adalah sebagian nilai
yang lahir dari dinamika local masyarakat Indonesia. Semangat guyup
gotong royong sebagai masyarakat paguyuban membuat masyarakat
senantiasa hidup dalam tenggang rasa yang tinggi dengan sesama serta
menekankan proses kebersamaan. Konteks itu yang agak berbeda dengan
masyarakat Barat yang individualistik dan lebih mementingkan hasil.
Sejumlah pakar komunikasi juga mulai mencari paradigma yang serasi
dengan dengan keadaan yang ada di masyarakat yang mengeksplorasi lebih
dalam variabel manusia, sosio pilitik, budaya, pandangan dan keakinan
nilai sosial budaya, baik ekplisit maupun implisit yang selama ini hanya
menjadi variabel penyela dalam tradisi riset barat (Hamidjoyo, 2000:4).
Manusia (perilaku manusia) dan perubahan sosial yang menjadi fokus dan
inti dari kajian komunikasi senantiasa dinamis. Dengan demikian nilai
budaya menjadi penting untuk diperhatikan.
Di level makro, sistem pendidikan yang mengacu kepada pasar juga
tidak sedikit perannya dalam mengerus potensi lokal. Politik pendidikan
juga tidak bisa dilepaskan dari liberalisasi pasar yang membawa dampak
kepada peningkatan kebutuhan tenaga praktis. Pendidikan akhirnya hanya
mengikuti pola barat dan memenuhi kebutuhan pasar atau respon kritis
terhadap sistem pasar. Konglomerasi, ekspansi ekonomi dan globalisasi
ekonomi ini jelas memperlemah identitas nasional kita. Hal ini sejalan
dengan trend global dalam arus neoliberlisasi. Bagaimanapun semua tidak
bisa dilepaskan dari kepentingan industri dan pendidikan komunikasi sulit
untuk obyektif berdiri di atas kepentingan publik yang obyektif.
Pengetahuan dengan demikian sebenarnya adalah prosese yang
tiada endingnya (never ending process), ia bertumbuh mengikuti dinamika
social, politik, dan budaya serta pengaruh baik di dalam maupun di luar. Ia
akan terus berubah dan proses konstruksi sosial yang dihasilkan melalui
interaksi kuasa antarberbagai kepentingan. Sesungguhnya pada muara
akhir, bentuk atau lanskap pendidikan yang menjadi basis perkembangan
ilmu pengetahuan akan mencerminkan siapa yang sedang berkuasa dan
siapa yang paling kuat memengaruhi. Guna memperkuat identitas ke-
Indonesia-an, maka ke depan pendidikan komunikasi harus bisa menjadikan
civitas academica menjadi kritis dan mengabdi kepada masyarakat dan
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 9
REFERENSI
Alois A. Nugroho (2011), Indigenisasi Ilmu Komunikasi di
Indonesia Menjadi Ilmu Komunikasi Indonesia,
Makalah dalam Konferensi Nasional Ilmu Komunikasi yang
bertajuk “Membumikan Ilmu Komunikasi Indonesia” yang
diselenggarakan oleh Pusat Kajian Komunikasi Departemen
Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Indonesia di Depok, 9 November 2011.
Hamijoyo, Santoso S (2000), Landasan Ilmiah Komunikasi: Sebuah
Pengantar, Jurnal Mediator, Vol 1 No. 1 Tahun 2000.
Kriyantono, Rachmad (2014a) Teori Public Relations Perspektif Barat
dan Lokal: Aplikasi Riset dan Praktik. Jakarta: Prenada Media.
10 Meng-Indonesia-kan Ilmu Komunikasi
2
Konstruksi Penyiaran
Islami dalam Liberalisasi
Industri Media TV:
TANTANGAN DAN PELUANG MENGEMBANGKAN
PROGRAM TV-9 DAN MADURA TV
P
ada dasarnya lanskap media massa di Indonesia
merupakan sebuah proses kontruksi sosial yang
masih dalam proses pembentukan dan berlangsung
terus menerus (Sendjaja, 2007). Proses pembentukan itu
diwarnai kontestasi yang tajam antar aktor dan agen untuk
mengukuhkan relasi kuasanya masing masing dalam
berebut ruang legitimasi. Proses itu bisa manifes atau
laten dan terus berlangsung berkesinambungan hingga
kini. Sendjaja (2007) mengemukakan ada tiga agen utama
pasca reformasi yang saling interplay yakni masyarakat
sipil, pasar, dan media yang akan terus bersaing satu
sama lain dalam upaya menentukan definisi operasional
yang sahih tentang realitas media yang dianggap paling
sah agar dipatuhi semua pihak. Hasil kontestasi itu akan
meneguhkan siapa sejatinya yang memiliki kuasa dan
menentukan isi media.
11
12 Konstruksi Penyiaran Islami dalam Liberalisasi Industri Media TV
prowarga, propublik. Namun, apa mau dikata regulasi yang pro publik
tersebut dilevel regulasi teknis tidak mampu diterjemahkan dengan baik
oleh aparat negara sehingga semangat media propublik tersebut ditingkat
teknis menjadi pudar dan tak lagi terlihat. Hal ini bisa jadi karena negara
dan pasar tidak melihat hal tersebut menguntungkan bagi kepentingan
kedua belah pihak.
Di era awal reformasi kekuatan sipil terlihat menguat dan kekuatan
negara melemah. Regulasi teknis banyak yang belum disusun sejalan
dengan regulasi fundamental hingga banyak regulasi teknis yang siap
dilaksanakan karena belum selesai dibuat. Situasi tersebut membuat
implementasi kebijakan media menjadi karut marut dan akhirnya banyak
kalangan menafsirkan kebijakan level praktis sendiri sendiri, sesuai
kehendak dan kepentingannya sendiri sendiri. Situasi ini membuat proses
kebijakan teknis terkendala dan media penyiaran hanya berjalan di tempat.
Dalam kondisi tertentu situasi ini memang dilematis dan menjadi polemik
di level teknis. Negara yang seharusnya segera membuat kebijakan teknis
seolah melakukan pembiaran dan perkembangan media menjadi rumit
dan serba tidak ada kepastian.
Saat kekuatan civil society mulai longgar pasca 2010 maka negara
bersama pasar kembali melakukan konsolidasi dan melakukan kerjasama di
level regulasi teknis untuk menjamin legitimasi dan kepentingan mereka.
Akibatnya bisa ditebak, mekanisme pasar berjalan dalam persaingan di
bidang bisnis media dan investor mulai memegang kendali dalam bisnis
media. Sejatinya, situasi itu berlangsung dalam persaingan yang tidak fair
dan masing masing pihak berkehendak sendiri menafsirkan regulasi dan
mengambil langkah teknis sendiri sendiri. Payung hukum yang demokratis
dilevel regulasi fundamental kerapkali tidak sesuai dengan level regulasi
teknis. Bahkan kadang bertolak belakang. Kebijakan media menjadi kabur
tergantung siapa yang bisa memanfaatkan situasi tersebut. Tak syak lagi,
banyak media massa tutup karena kalah bersaing dan akhirnya pasrah
diambil alih oleh investor media baik melalui proses akuisisi maupun
merger bisnis, khususnya investor grup media dari Jakarta.
Fenomena ini sungguh menarik diamati mengingat pascareformasi,
proses konsolidasi kelas menengah kritis Indonesia juga belum solid
dan mapan. Kekuatan civil society kritis mulai banyak yang masuk dalam
14 Konstruksi Penyiaran Islami dalam Liberalisasi Industri Media TV
upah dan jaminan kesejahteraannya. Para jurnalis bisa terjebak menjadi one
dimention man dan tidak mampu menghayati diri mereka sebagai craftmen
yang mampu menjadi pekerja seutuhnya yang mampu mengekplorasi dan
mengekpresikan kreativitas, idealisme, dan aspirasi demokrasi mereka.
Bisa jadi dalam tahap tertentu posisi jurnalis akan berada dan dipaksa
menjadi freelance yang memiliki posisi tawar yang rendah untuk menuntut
perbaikan upah, kesejahteraan dan jaminan profesi guna menerapkan
prinsip prinsip jurnalisme profesioal.
Liberalisasi pasar ini semakin meneguhkan kekuatan pemodal besar
dalam bisnis media dan mendorong ke arah konsentrasi modal dan
kepemilikan baik melalui proses commercialization, liberalization, dan
internationalization.
Dalam mekanisme pasar itu juga meyakini bahwa tidak ada kewajiban
negara, pun tidak ada hak dasar warga. Fundamentalisme pasar meyakini
semua manusia adalah enterpreneur, semua interaski manusia adalah
transaksi ekonomi dan semua hal adalah komoditas. Media dengan
demikian harus diserahkan kepada mekanisme pasar. Langkah langkah
ini berusaha untuk membebaskan media dari kuasa negara dan juga
publik. Tidak heran jika kemudian muncul sejumlah ancaman bagi
penyelenggaraan kepentingan publik. Media publik dikelola laksana
industri penyedia jasa bisnis yang menghasilkan keuntungan bukan
memberi pelayanan bagi kepentingan publik. Pemenuhan kebutuhan
publik, menjaga kepentingan publik, dan menjamin akses publik yg bisa
menjamin diskursus kepentingan dan kebaikan bersama tidak lagi menjadi
prioritas dalam industri media. Akses ke forum pmbentukan pendapat
umum publik semakin lemah dan pada akhirnya public sphere semakin
terkontaminasi kepentingan bisnis dan eksplorasi kapitalis semata.
LIBERALISASI POLITIK
Pascareformasi juga ditandai dengan semakin bebasnya kebebasan
berekpresi dalam berpolitik. Reformasi yang membawa tuntutan atas
demokratisasi disegala bidang menyasar juga bidang media massa. Tak
pelak terjadi tuntutan penyesuaian atas berbagai perangkat hukum yang
dinilai tidak sejalan dengan demokratisasi bidang media. State regulation
18 Konstruksi Penyiaran Islami dalam Liberalisasi Industri Media TV
Tidak dimungkiri, sinetron religi kita selama ini juga banyak terjebak
pada kepentingan sesaat yang sekadar mementingkan tampilan fisik artis
dan setting kehidupan keluarga mapan serta tidak berusaha untuk keluar
pakem dengan setting mayoritas masyarakat yakni keluarga kelas bawah
guna mendorong empati dan kesalehan sosial. Tayangan sinetron tersebut
akhirnya tidak memberi inspirasi dan mendorong umat untuk melakukan
kontemplasi lebih dalam terhadap ajaran agama.
Dalam konteks ini sinetron religi sebagian besar menyuguhkan
siaran religius ‘seolah-olah’, hanya sekadar sebagai lipstik pemanis dan
tidak menyentuh aspek substansi. Banyak program yang dikemas dalam
bingkai religi, tetapi cerita dan isinya bertentangan dan melenceng
dengan isi dan pesan agama yang sesungguhnya. Beberapa hal yang
menghawatirkan dalam sintron religi kita adalah asosial, memicu sikap
pramatisme, konsumerisme dan hedonisme. Selain itu, dramatisasi azab
dan siksa membuat ajaran agama penuh darah dan membuat orang
ketakutan dalam memahami esensi ajaran agama yang hakiki.
Pendek kata tayangan TV kita tidak membumi dan hanya sekadar
cerita yang berandai-andai dan jauh dari pesan religius yang mengarah
pada kesalehan sosial. Gara-gara tayangan siksa kubur yang gosong
dan penuh belatung serta penuh darah, banyak anak-anak tidak berani
pergi ke masjid untuk tarawih dan sholat malam. Tidak sedikit anak-anak
ketakutan keluar dari kamar dan akhirnya terpaksa mengompol di tempat
tidurnya. Banyak akibat negatif dari tayangan religi seperti itu yang tidak
disadari oleh pembuat sinetron religi. Hal ini tentu membahayakan bagi
masyarakat, khususnya dalam memahami ajaran agama.
Menurut pengamatan Imawan (2008) banyak tayangan televisi
berbau mistik yang bertentangan dengan substansi ajaran islam. Imawan
(208) juga mengkritisi acara religi dengan menyebut sebagai post-
spiritualitas. Jika ditelaah lebih mendalam papar Imawan dengan merujuk
pada Pilian (2005) acara religi di televisi tersebut memperlihatkan
sebuah kondisi ketika yang kita sebut suci dicemari oleh yang kotor,
yang spiritual dinodai oleh yang material, yang Ilahiah ditulari oleh yang
duniawi. Sebuah percampuran entitas, peleburan esensi, dan sekaligus
persimpangsiuran nilai. Kondisi bercampurnya nilai-nilai spiritual
dengan nilai-nilai materialisme, bersekutunya yang duniawi dengan yang
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 23
Adapun logo Madura channel merah dan yang berarti berani sesuai
dengan karakter dari masyarakat Madura. Berani yan berarti tegas, keras
dan pantan terhadap apapun. Dan putih yan berarti suci. Sesuai dengan
hati masyarakat Madura. Meskipun oran Madura berwatak keras, tetapi
mereka mempunyai hati yang bersih, jujur, suka menolong.
Menurut penelusuran Mia Rahmatin (2015) program harian Televise
yang berada di Jl. Adirasa 5-7 Kolor Sumenep ini cukup variatif dan
mempunyai banyak program acara juga seperti: Seputar Madura, Madura
Infotama Pagi, Madura Infotama Siang, Madura Infotama Sore, Madura
Infotama Malam, Sudut Pandang MATA, Sorot MATA, MATA Akhir
Pekan, Gerbang Salam Samenggu, Dialog Khusus, Birokrak, Caca Colo,
Jati Diri Pesantren, Pesona Madura, Gado-Gado Madura, The King Of
Han Dinasty III, M Music, OS (Odik Sehat), Mutiara Indonesia, Nyaman
Onggu, Request Lagu, SEKEP (Se Sala E Tangkep), Uang Kita, VOA
Madura, Telepon Dangdut, Ma’ Emo’, Pamor Madura
Adapun program acara yang diproduksi sendiri meliputi 1) Madura
Infotama Siang tayang setiap hari selama setengah jam dari jam 12.00-
12.30 WIB 2) Madura Infotama Petang Tayang Setiap Hari Senin-Sabtu
Jam Dari Jam 18.30-19.00 WIB 3) Berta Madhure tayang setiap hari senin-
minggu jam dari jam 21.00-21.30 WIB 4) Madura Infotama Sepekan Siang
tayang setiap hari minggu dari jam 12.00-13.00 WIB 5) Madura Infotama
Petang tayang setiap hari minggu dari jam 18.00-19.00 WIB 6) Gerbang
Salam Seminggu Khusus wilayah Pamekasan digabung dengan dialog
interaktif jam 16.30-17.30 WIB 7) Dialog Legislative tayang setiap hari
sabtu dari jam 15.30-16.30 WIB 7) Madura Membangun tayang setiap
hari kamis dari jam 19.00-20.00 WIB 8) Caca Colo’ tayang setiap selasa
& kamis dari 20.00-21.00 WIB 9) Tor-Ator Program edukasi budaya
Madura tayang setiap hari minggu dari jam 15.00-15.30 WIB
Madura Channel juga program unggulan seperti Caca colo’. Program
ini secara garis besar. Cacacolo’ ini merupakan acara yang paling komplit
terhadap kebutuhan masyarakat Madura saat ini. Jadi program acara
caca colo’ ini telah mengubah mindset masyarakat Madura saat ini, yang
dulunya Madura hanya dikenal dengan masyarakat yang terbelakang
dan kurangnya pendidikan kini masyarakat menjadi lebih pintar dalam
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 31
mengolah pola pikir saat ini. Dan juga memberikan kebanggaan kepada
Madura channel itu sendiri bahwa televise Madura telah memberikan
banyak manfaat kepada masyarakat Madura. Caca colo’ ini merupakan
program acara yang menyuguhkan program kebudayaan Madura
itu sendiri. Yang berbasiskan kebudayaan dan kemasyarakatan. Jadi,
pantaslah jika caca colo’ ini mendapatkan perhatian yang sangat banyak
dari audiencenya dan program acara ini merupakan program unggulan
dari Madura channel televise.
Catatan akhir*** Naskah dan kerangka sebagian besar diambil dari tulisan penulis yang
terbit dalam JURNAL KOMUNIKASI ISLAM UINSA Surabaya VOL. 9 NO. 2 (2019) dengan judul
Kontestasi dan Survivalisme Media Dakwah di Tengah Liberalisasi Industri Media: Analisis
Media TV-9 Jawa Timur dengan penambahan dan penyesuaian untuk chapter buku oleh
penulis.
REFERENSI
AHamad, (2004). Konstruksi Ralitas Politik dalam media Massa: Studi Critical
Discourse Analysis terhadap Berita Berita Politik, Granit, Jakarta
Hendrawan, Bram (2013), Televisi Lokal: Antara Kepentingan Korporat dan
Fungsi Sosial, dalam Jurnal Komunikasi Indonesia Vol. II No. 1
April, hal 5- 14. Departemen Komunikasi Universitas Indonesia
Jakarta
Hidayat (2013) Fundamentalisme Pasar dan konstruksi Sosial Industri
Penyiaran: Kerangka Teori Mengamati Pertarungan di Sektor
Penyiaran, dalam Gazali, dkk (2013) Konstruksi Sosial Industri
Penyiaran, Departemen Ilmu Komunikasi Ui Jakarta
Hidayat (2000) Pers dalam Kapitalisme Orde Baru, dalam Hdayat dkk
(2000) Pers dalam Revolusi Mei, Runtuhnya sebuah hegemoni,
Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 33
Ida, Rachmah (2010) Media, Pasar, dan Regulasi: Dinamika Media Penyiaran
Lokal Di Indonesia Pasca-Reformasi, dalam Pengantar Buku
Ekonomi Politik Media Penyiaran Lokal, Surokim, Interpena
Jogjakarta.
Ida, Rachmah (2009) Watching Indonesian Sinetron: Imagining Audience in
front of Television, Berlin: VDM Dr. Mueller Publication
Ida, Rachmah ( 2011) ‘Reorganisation of Media Power and the Influence
of Local Media Entrepreneurs in Post-Authoritarian Indonesia,’
dalam Krishna Sen dan David T. Hills, Media in the 21st Century
Indonesia, London and New York: Routledge
Kitley, Philip (2003) (Ed.) Television, Regulation and Civil Society in Asia,
London and New York: Routledge Curzon
Sendjaja, Sasa Djuarsa (2007) Tantangan Kebijakan Komunikasi di
Era Konvergensi dan Media Baru di Indonesia, Naskah Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Ilmu Komunikasi, FISIP
Universitas Indonesia, Jakarta.
Soedibyo, Agus, (2007) Ekonomi Politik Media Penyiaran Indonesia, Jakarta:
LKiS, Yogyakarta
Imawan, Teguh (2008) Tayangan TV; Kematian Spiritualitas Ramadan,
Opini Jawa Pos
34 Konstruksi Penyiaran Islami dalam Liberalisasi Industri Media TV
3
Riset Aksi:
R
iset dan peran peneliti perguruan tinggi (perti,
pen) mendapat kritik agak keras dan tajam akhir
akhir ini karena kontribusi peneliti dan hasil
riset dianggap belum signifikan dan maksimal dalam
pemecahan berbagai masalah mutakhir. Riset dan peran
para peneliti dianggap belum mampu menghadirkan
solusi atas berbagai masalah sosial yang kian kompleks
dan rumit. Kondisi faktual saat ini kian kompeks dan
beragam. Permalahan sosial muncul silih berganti dengan
intensitas yang cepat dan dinamis sehingga berbagai
masalah sosial yang hadir di masyarakat membutuhkan
solusi dan jalan keluar lebih cepat, tepat, dan efisien.
Selama ini peran lembaga riset termasuk didalamnya
perti seolah mengambil jarak dengan problem sosial
kekinian masyarakat sehingga menimbulkan anggapan
35
36 Riset Aksi
bahwa lembaga riset dan perti terlampau asyik masyuk dengan dirinya
sendiri melalui metode ilmiahnya ansich tanpa bisa memberi kontribusi
yang signfikan bagi upaya pemecahan masalah sosial. Hingga kini perti
tetap menjadi menara gading bagi masyarakat lingkungannya dan
terlampau asyik mengumuli kebenaran dan kemegahan di masa lalu
seolah melupakan peran strategis sebagai pembaharu, pemberi kontribusi
nyata kekinian bagi masyaraat sekitarnya.
Sementara realitas sosial dan faktual kian kompleks dan muncul
banyak sekali permasalahan dalam sistem sosial yang membutuhkan
perbaikan atau pemecahan masalah dalam sistem sosial itu. Hasil riset perti
selama ini terlampau selfish (orientasi akademis kelimuan) dan melupakan
praksis layaknya kendaraan yang berlari dengan melihat kaca spion yang
melaju cepat dengan membanggakan hasil hasil penelitian dimasa lalu.
Perti seolah menjadi mercusuar yang terlihat megah dan gagah, tetapi
minim empati dan daya penerangan kepada lingkungannya.
Bahkan banyak juga cerita yang juga tidak lagi menjadi rahasia umum
bahwa riset perti kerap hanya menjadi stempel rezim dan didedikasikan
sebagai pembelaaan kepada rezim untuk legitimasi hasil atas berbagai
hal yang menjadi polemik dan kontroversi di masyarakat. Hasil riset
akhirnya banyak yang menumpuk di perpustakaan dan di kampus dan
sering berhenti pada seminar dan diskusi. Setelah itu selesai tanpa
adanya tindak lanjut untuk memberi solusi dan kemanfaatan langsung
bagi masyarakat. Situasi ini kerap mematik lelucon bahwa jika seminar
dan diskusi hasil riset Indonesia kalau disambung-sambung bisa menjadi
jembatan yang bisa menghubungkan kepulauan nusantara karena terlalu
banyaknya diskusi dan seminar hasil riset. Hasil riset menjadi laporan
indah di atas kertas tetapi setelah itu laporan tidak dipakai masyarakat
untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Riset perti sejauh ini
masih sekadar menjadi riset ansich dengan metode ilmiah science dan belum
menjadi solusi praksis yang bisa dipakai langsung oleh stakehorlders
untuk perbaikan dan solusi atas masalah yang sedang dihadapi.
Jika melihat kebutuhan pendidikan riset di perti rasanya kita juga
perlu reflektif bahwa pendidikan di perti juga perlu pembaharuan dan
reorientasi, khususnya dalam pengajaran metodologi riset. Sejauh ini
masih terkesan anak didik menjadi templete dosen dan tidak memiliki
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 37
kuda dengan pilihan paradigmatik itu itu saja tanpa mampu menjelaskan
dan memutuskan mana yang akan digunakan untuk dirinya sendiri.
Dalam kompleksitas itu maka seharusnya menurut Hidayat (2006)
tidak ada blokade bagi perspektif tertentu yang memaksakan anak
didik harus menggunakan perspektif lama karena pembimbing hanya
menginginkan persepektif tertentu dan sudah seharusnya peneliti dan
pengajaran metodologi tidak alergi terhadap kehadian paradigma baru serta
alergi dan pemaksaan seperti itu dan kemudian bisa membebaskan anak
didik menentukan pilihan paradigmatiknya untuk bisa mengembangkan
desain risetnya lebih leluasa sesuai konteks dan kebutuhan masalahnya.
Dengan demikian ilmu sosial akan kian beragam perspektif dan bisa
saling melengkapi di dalam menjawab fenomena sosial yang kompeks dan
kian rumit.
Hal ini akan kian urgent ketika situasi ternyata berubah cepat dan
fundamental sebagaimana kasus dan konteks pandemi covid19 dimana
permasalahan kian banyak, berat dan datang silih berganti sementara
peneliti dan perti tetap asyik dengan dirinya sendiri sembari tetap
membanggakan hasil riset masa lalu tanpa intervensi dan bisa memberi
solusi untuk perubahan masyarakat yang lebih mendesak untuk jalan
keluar bersama lebih cepat dan implementatif.
KEBUTUHAN RISET,
URGENSI DAN POWER RISET AKSI
Riset aksi akan membawa perubahan yang fundamental bagi
perkembangan riset dan juga produktivitas perti. Secara substantif riset
aksi sesungguhnya berbeda dengan riset terapan. Riset terapan menurut
Hamad (2006) masih berupa pandangan peneliti semata dan belum menjadi
pandangan bersama (kogeneratif) antara peneliti dan mitra riset. Riset aksi
Cenderung menggunakan partisipatoris sebagai titik tolak diperolehnya
rencana aksi secara kogeneratif antara pengetahuan lokal dan profesional
dan konsisten untuk mendapatkan rencana aksi bersama-sama stakeholders
lokal sebagai solusi masalah yang sedang dihadapi. Jadi riset aksi lebih
menjadi research for problem solving together with local stakeholders.
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 39
adalah pendekatan baru laksana oase ditengah padang pasir dunia riset
perti yang dirindukan kehadirannya di masyarakat saat ini di masa sulit.
Riset ini akan bermanfaat untuk pemecahan semua masalah di semua level
di level baik individu, kelompok maupun masyarakat.
Adapun kekuatan riset aksi menurut Hamad (2016) adalah 1) mampu
menjawab probem sosial 2) mampu memecahkan masalah sosial 3)
memiliki daya ubah untuk perubahan Sosial 4) memiliki efek langsung
untuk solusi problem bersama dan 4) Riset untuk aksi sosial.
PARADIGMA PARTISIPATORIS
Tidak dimungkiri selama ini riset perti masih belum mampu
keluar dari menara gading riset dengan paradigma klasik positivis dan
postpositivis yang masih banyak terjebak dalam proses riset untuk riset
belum menjadikan riset untuk aksi sosial (Hamad, 2006: 4). Paradigma
partisipastoris memang belum terlalu populer untuk mahasiswa dan riset-
riset mahasiswa dalam tugas akhir sehingga secara paradigma belum
terlalu dikenal para peneliti dan mahasiswa kita.
Kita perlu mempromosikan paradigma partisipatoris dalam riset
perti agar bisa menjawab berbagai problem perubahan sosial dan
mempromosikan dilakukannya riset aksi yang berorientasi kepada
pemecahan masalah sosial. Mengapa riset partisipatoris ini solutif
mengingat peneliti 1) bisa melihat realitas yang diteliti bersama sama
subyek yang ditelitimya 2) penelitin di tunjukkan untuk memcahkan
masalah sosial bersama sama dengan subyek penelitian.
Riset aksi berbasis pendekatan kualitatif. Dengan demikian prosedur
dan metode yang dipakai harus memiliki basis pengetahuan pendekatan
kualitatif yang mapan. Secara sederhana peta dan logika paradigma
partisipatoris terkait ketelibatan langsung dapat digambarkan dalam
prosedur P (peneliti) > O (obyek) + interaksi > H (hasil). Peneliti melihat
obyek dari perspektif obyek dan peneliti dengan hasil sebagi hasil bersama
obyek dan peneliti
Secara sederhana dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 41
Abstrak
warga, masyarakat bisa membagi informasi actual yang ditemuai dan dialami secara
langsung kepada masyarakat.
mereka tidak saja menghadapi problem struktural, tetapi juga problem kultural
dan sekaligus problem alam. Mereka berada dalam situasi yang serba tidak
menguntungkan dan sesungguhnya mereka juga memiliki derajad sentralitas yang
rendah, dan mobilitas sosial yang lamban karena keterbatasannya diri dan juga
faktor alam.
Dalam hal informasi, masyarakat kepulauan hanya menjadi obyek media arus
utama (mainstream) yang hanya membahas masalah masalah besar yang ada di
pusat ibukota negara dan tidak pernah menyentuh permasalahan riil yang sedang
dihadapi masyarakat kepulauan. Mereka tidak memiliki media komunikasi sendiri
tempat mereka bisa memperbincangkan masalah dan mencari solusi bersama
sesuai dengan potensi yang mereka miliki. Selama ini mereka hanya menjadi
pendengar dan penonton media mainstream nasional yang jarang mereka temui
dalam kehidupan sehari-hari seperti kemacetan, banjir, dan juga demonstrasi. Untuk
itu diperlukan terobosan bagi peningkatan upaya keswadayaan masyarakat berbasis
pengembangan informasi warga sesuai dengan potensi mereka sendiri.
Pembangunan media warga menjadi kebutuhan saat ini mengingat akses
informasi yang kian tak terkendali dan kian liar serta tidak ada filter informasi
berkesinambungan. Produksi informasi hoax juga kian meningkat sehingga
diperlukan keterampilan literasi media yang cukup bagi masyarakat dengan
menjadi produsen dan konsumen media yang kritis dan berdaya. Media warga
akan bermanfaat bagi benteng pertahanan warga ditengah gelombang informasi
yang tak terkendali saat ini melalui berbagai media sosial. Dengan memiliki media
warga maka sesungguhnya mereka bisa berlatih untuk memproduksi informasi
sesuai kapasitas mereka. Dalam jangka panjang hal itu juga bisa menumbuhkan
kemampuan literasi media sehingga mereka bisa selektif dan bisa menyaring
berbagai informasi yang akurat dan valid serta dapat dipertanggungjawabkan
untuk kebaika ruang public masyarakat desa.
Demokratisasi Media
Media Publik/Komunitas
Prosumer Media
Citizen Journalism
Citizen Reporter
Ruang Publik
Demokratis
membuat penduduk kepulauan menjadi terasing dan terisolasi. Persoalan ini penting
untuk mendapat perhatian agar warga kepulauan tetap merasa menjadi bagian
dari warga Jawa Timur. Guna membuka akses informasi, komunikasi antarwarga,
dan memecah keterasingan antarpulau, diperlukan media warga sebagai media
komunikasi bagi warga Kepulauan Madura. Media lokal ini sangat strategis untuk
pembangunan wilayah dan pemberdayaan warga kepulauan.
obyektif dan lengkap. Media kemudian bisa berkembang menjadi ruang yang lebih
jujur karena partisipasi publik untuk memberi kelengkapan dan koreksi jika tidak
valid. Media dalam posisi ini menurut Arifin (2013) berkembang menjadi sarana
penentu keberhasilan pembangunan berbasis masyarakat.
Dalam sejarahnya menurut catatan Arifin (2013) bahwa peran informasi,
dalam bentuk yang sesederhana apapun, menjadi penentu keberhasilan manusia.
Keberhasilan pertanian pada masyarakat tradisional di zaman prasejarah juga
ditentukan oleh ketersediaan informasi yang umumnya didapatkan dari tanda-
tanda alam seperti bintang, arah angin, bunga tumbuhan tertentu hingga suara
dan gerak khusus binatang sekitar. Dengan demikian menurut Arifin (2013) setiap
manusia harus memiliki akses terhadap sumber-sumber informasi. Bagaimanapuin
kualitas hidup amat ditentukan oleh kualitas informasi. Lebih lanjut dijelaskan Arifin
(2013) bahwa kualitas informasi merujuk kepada akurasi dan ketepatan waktu
diperolehnya. Informasi yang tidak valid, tidak benar, bahkan menyesatkan, akan
berdampak pada kesalahan pengambilan keputusan. Sebaliknya, dengan didukung
informasi dan data yang benar, akurat, dan tersedia tepat waktu, maka kehidupan
masyarakat akan meningkat.
Guna menjaga obyektivitas, Arifin (2013) memandang perlunya kejujuran
dari semua pihak, terutama sumber-sumber dan pelaku jurnalisme. Agar kondisi
ini tercapai, seluruh komponen masyarakat perlu diberdayakan sebagai subyek
informasi; penyedia informasi, pengolah dan pengguna informasi, sehingga berlaku
idealisme demokrasi media: dari warga masyarakat, oleh warga masyarakat, dan
untuk warga masyarakat. Pada poin penting inilah, keberadaan citizen reporter
atau pewarta warga menjadi amat fundamental. Setiap orang difungsikan dan
memfungsikan diri sebagai pemberi informasi yang sekaligus juga pengguna
informasi itu sendiri. Warga masyarakat tidak lagi sebagai konsumen informasi
belaka, tetapi juga sebagai penyedia informasi.
Menjadi pewarta warga bukan berarti tidak terikta pada ketentuan apapun
dan menajdi bebas sebebas-bebasnya. Arifin (2003) mengemukan bahwa pewarta
warga memikul beban tanggung jawab terhadap semua informasi yang dimiliki
dan dibagikannya melalui tulisan di media massa. Dalam tanggung jawab tersebut
terkandung tugas-tugas untuk menghasilkan tulisan yang benar, jujur, informatif,
serta bermanfaat bagi orang banyak. Para pewarta menurut Arifin (2013) patut
mengetahui prinsip ini yaitu “suatu tulisan disebut berita jika ia memenuhi syarat
kebermanfaatan bagi masyarakat”.
Sebagai citizen reporter tambah Arifin (2013) justru akan menjadi wadah
strategis bagi setiap orang untuk menjadi pewarta warga yang jujur, berdedikasi,
memiliki jiwa sosial yang tinggi, serta melatih diri untuk bertanggung jawab.
Seluruh tulisan atau berita yang disampaikan kepada publik, tanggung jawab
sepenuhnya berada pada si penulis pribadi. Karena redaksi setiap media pewarta
warga manapun tidak bertanggung jawab terhadap konsekuensi dari sebuah hasil
karya para pewarta warga. Kekuatan pewarta warga jug terletak pada otentitas.
Inilah modal besar pewarta warga yang bisa menjadi kekuatan tiada tertandingi.
Selama ini, papar Arifin (2013) jurnalistik mainstream umumnya mengejar
aktualitas, sensasi, mendikte, instan, kurang memberi konteks dan berita yang
50 Riset Aksi
hampir seragam. Dalam teori pewarta warga lanjut Arifin (2013) ada yang disebut
extending the news from mainstream media. Menurut argumen Dan Gillmor disebut
sebagai journalism as a conversation, bukan lagi journalism as lectures. Jika dicermati,
media mainstream pada umumnya mendikte masyarakat dengan berita yang
hampir sama, sehingga seakan tidak ada ruang hak berdialog dengan wacana yang
diberitakan media. Ketidakpuasan inilah yang melahirkan pewarta warga.
Elemen terpenting dari pewarta warga adalah kejujuran. Turunan dari elemen
pertama inilah yang akan membuat setiap redaksi pewarta warga memegang teguh
prinsip fact and check, konfirmasi, cover both sides, dan seterusnya. Arifin (2013)
meyakini bahwa pewarta warga adalah basis media massa masa depan yang amat
prospektif. Dengan swakelola dan ditunjang kode etik sendiri media ini akan semakin
berkembang. Kode etik tersebut dibuat dan disepakati bersama untuk menciptakan
keteraturan, produktivitas kerja (kinerja), tak bertentangan dengan norma hukum,
agama dan etika, sehingga mampu menghasilkan karya kreatif yang monumental.
Akhirnya menurut Arifin (2013) jika masyarakat mampu dan memiliki bekal
jurnalistik yang bagus maka upaya untuk menumbuhkan media warga tidak lagi
menjadi pekerjaan yang sulit. Media warga dapat dikembangkan sebagai bagian dari
benteng pertahanan budaya dan masyarakat local. Masyarakat khususnya warga
pedesaan harus didorong untuk menjadi pelopor dan mampu menjadi pendobrak
kebuntuhan ide ide baru pembangunan masyarakat lokal. Ke depan mereka
terus didorong untuk menjadi kekuatan organik yang mampu mengintegrasikan
berbagi pengetahuan untuk melakukan perubahan dalam komunitasnya dengan
memperluas kesadaran kritis yang mereka miliki. (Maryani, 2011) Melalui media
mereka akan menjadi subyek media. Mereka mampu melakukan negoisasi antara
nilai nilai budaya dan kebijakan yang dibuat.
Keinginan warga kepulauan mempunyai rakom menumbuhkan hasrat atau
pengetahuan akan dunia jurnalistik penyiaran, khususnya di radio. Ada banyak
elemen yang harus dipenuhi dalam kelembagaan di radio, misalnya: penyiar, teknisi,
marketing, produksi penyiaran, administrasi dan keuangan, dll. Keterampilan
dasar dalam mengisi program isi siaran yang sesuai dengan kebutuhan warga
kepulauan adalah syarat mutlak agar rakom dapat tumbuh dan berkembang baik
dan berkelanjutan.
Jurnalisme dasar meliputi kemampuan mengenal berita (news), membedakan
fakta dan opini, menulis berita pendek, standup reportase, dan mengembangkan
hardnews dan softnews akan menjadi kemampuan dasar yang diperlukan dalam
pengembangan jurnalisme media warga. Warga kepulauan dapat berlatih
memberikan informasi kepada media rakom melalui sms, tulisan berita pendek,
laporan pandangan mata untuk memberitahukan situasi dan kondisi yang aka,
sedang, dan telah terjadi di masyarakat. Jika masyarakat sudah memiliki kemampuan
dasar jurnalisme ini maka akan terbentuk kebiasaan (habit) dan kultur berbagi yang
merupakan cikal bakal terbentukkan konsumen media yang loyal dan aktif. Media
rakom akan menjadi medium rembuk desa yang konstruktif bagi pembahasan
masalah kemasyarakatan.
Ruang publik media sejatinya adalah tempat bertemunya kepentingan
bersama baik aparat, masyarakat, ataupun investor. Ruang ini terbangun atas
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 51
orang per orang yang secara bersama disebut publik yang mengartikulasikan
kepentingan/kebutuhan masyarakat/bersama melalui media. Wilayah ini merupakan
zona bebas dan netral yang didalamnya berlangsung dinamika kehidupan warga
secara personal/individu, yang bersih/terbebas dari kekuasaan negara, pasar dan
kolektivisme (komunalisme) dan bertanggungjawab. (Ashadi, 1997).
Media radio dapat menjadi ruang publik yang sehat untuk memediasi
kepentingan warga (publik) dan aparatur negara. Radio sebagai perpanjangan/
ekstensi dari ruang publik yang bisa menjamin idealisasi public sphere dari proses
tarik menarik kuasa yang sekaligus menjadi media pembelajaran bersama menuju
daulat publik.Hal ini patut ditekankan mengingat posisi publik selalu berada dalam
posisi asimetris dengan negara. Media radio bisa memainkan peran agar posisi
tersebut bisa equal dan mencerdaskan.
bahwa aset termasuk hibah seyogyanya menjadi aset perkumpulan sehingga tidak
timbul konflik dikemudian hari menyangkut kejelasan aset yang digunakan untuk
menyelenggarakan siaran. Oleh karena itu sejak awal harus dibuatkan berita acara
mengenai kejelasan aset baik yang dipinjam maupun yang dihibahkan. Mekanisme
organisasi menyangkut rapat anggota harus dilakukan secara periodik agar nampak
bahwa komunitas ini riil dan bukan hanya kumpulan beberapa orang saja. Hal ini
penting untuk diperjelas dalam kelembagaan karena selama ini media komunitas
hanya didominasi sejumlah individu tertentu dan proses pelibatan anggota sering
tidak dilakukan. Demikian juga perubahan personil dan permodalan.
Bagan 1
Alur Pendirian Kelembagaan Perkumpulan Rakom Kepulauan
≤ 250 Pengadilan
Pendirian AD/ART Akta Notaris
anggota Negeri
Tabel 3.
Kebutuhan Peralatan
No Nama Barang Nama Barang Nama Barang Nama Barang
Ruang Pemancar Ruang Studio Ruang Produksi Kebutuhan lain-lain
1 Pemancar Mixer Mixer Tower Bambu
2 Exciters Computer Computer Antena Hazler
3 Limiter dan Dekoder Microphone Microphone Cable Coaxial 7/8
4 Studio Stavolt Stand Mic Head phone Computer
5 Head Phone Audio monitor Printer
6 Tape Recorder CD Player –
7 Audio Monitor – –
Dalam hal teknis penyiaran media warga, prinsip dasar yang harus diingat
adalah berbiaya murah dan mampu memelihara kapasitas alat secara berkelanjutan.
Pengelola harus memiliki ketrampilan dasar untuk memperbaiki peralatan jika
sewaktu-waktu terjadi kerusakan dan masalah. Dalam kepentingan ini maka
peralatan yang dipasang bisa jadi adalah rakitan lokal, tetapi memiliki daya saing
yang tidak kalah dengan peralatan pabrikan.
Bagi instansi pemerintah yang ingin diliput program atau kegiatannya secara
langsung, rakom Mandangin menyediakan program siaran langsung atau live dari
lokasi kegiatan. Skema ini menawarkan kecepatan informasi sekaligus interaktif
bagi mereka yang ingin program atau aktivitasnya diketahui oleh masyarakat.
Talk Show bisa menjadi pilihan bagi instasi pemerintah atau lembaga yang ingin
menyampaikan informasi secara detail dan panjang lebar. Sebagian paket on air ini
ditawarkan melalui kontrak kerja sama jangka pendek. Misalnya, pengusaha atau
pemerintah bisa mengambil paket iklan usaha local dan ILM untuk jangka waktu 1
bulan dengan frekuensi penayangan 3 – 5 kali perhari. Sebagian lainnya ditawarkan
dalam bentuk kerja sama jangka panjang.
Sementara metode off air fundraising yang banyak dijalankan adalah
penyelenggaraan event, baik event yang bersifat profit maupun non profit. Event
non profit digelar tidak secara khusus untuk mencari dana, namun sebagai upaya
mempererat hubungan dan memperluas jaringan, serta memperkuat brand media
warga di mata masyarakat. Event ini menjadi semacam investasi jangka panjang
untuk menunjang kegiatan fundraising yang dilakukan media warga. Rakom
Mandangin FM dikenal sebagai media warga yang rutin menyelenggarakan event,
mulai event kecil sampai kegiatan akbar yang melibatkam massa dalam jumlah
besar. Dari event-event inilah pengelola rakom mendapatkan penghasilan melalui
penjualan tiket, pendaftaran maupun dukungan perusahaan yang menjadi sponsor.
1.9 Simpulan
Media komunitas public warga lokal memiliki potensi untuk membuka
akses, dan keterbukaan informasi dan pengembangan ruang publik warga.
Media komunitas warga lokal dapat dikembangkan sebagai medium eksistensi
dan pengembangan diri. Kesadaran masyarakat terhadap informasi harus diikuti
dengan kepemilikan media di tingkat lokal. Masyarakat kepulauan yang memiliki
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 57
modal sosial dan kultural harus menjadi subyek dan memiliki swadaya atas informasi
ditingkat lokal. Masyarakat kepulauan akan menjadi well informed. Kepemilikan
media lokal diyakini akan membuka atmosfer keterbukaan ruang publik pedesaan.
Media warga akan dapat dikelola secara independen dan merdeka yang dilakukan
langsung oleh masyarakat. Melalui media publik dan komunitas maka kekuatan
masyarakat sipil akan semakin solid dalam mengawal demokrasi komunikasi.
Guna mengembangkan media komunitas warga local maka dapat
dikembangkan isi program jurnalisme warga melalui warga pelapor (citizen
reporter). Mengembangkan pewarta warga (citizen reporter) adalah wujud daya kritis
warga. Setiap orang difungsikan dan memfungsikan diri sebagai pemberi informasi
yang sekaligus juga pengguna informasi itu sendiri. Warga masyarakat tidak
lagi sebagai konsumen informasi belaka, tetapi juga sebagai penyedia informasi
(prosuden info) bagi orang lain. Pewarta awarga akan membuka ruang public di
media karena lebih jujur dan lebih independen. Jika daya kritis ini terus terbangun
maka akan meningkatkan pengawasan warga dan kebaikan ruang publik. Pelatihan
warga didalam melaporkan berbagai peristiwa yang ada dilingkungannya akan
menjadikan isi media menjadi actual dan menarik karena informasi akan bisa saling
melengkapi dari waktu ke waktu. Selain itu juga melatih daya kritis warga didalam
menggunakan media.
Didalam mengembangkan media komunitas local maka pilihan aksi perbaikan
manajemen bisa dilakukan melalui perbaikan aspek kelembagaan, program siaran
berbasis jurnalisme warga, penguatan pendanaan dan pengembangan teknologi
media komunitas.
Dalam bidang kelembagaan, media komunitas warga kepulauan didirikan oleh
warga kepulauan harus mempunyai legalitas dan izin pendirian secara sistematis
dan terstruktur dengan baik. Suatu lembaga penyiaran komunitas harus mempunyai
AD/ART sebagai landasan utama pendirian. Selanjutnya akte tersebut dibawa ke
pengadilan negeri untuk disahkan secara legal sebagai badan hukum perkumpulan.
Badan hukum koperasi biasanya memiliki jenis usaha yang tidak fokus kepada
penyiaran sehingga lebih disarankan untuk memilih badan usaha perkumpulan.
Program siaran berbasis jurnalisme warga disusun berdasarkan kebutuhan
warga. Pengembangan pewarta harus melibatkan potensi lokal sehingga warga juga
mampu menghayati dan menjiwai benar yang mereka ceritakan. Hasil pengamatan
ataupun pengalaman mereka sendiri, ditulis dengan penuh perasaan sehingga
menjadi khas dan alami. Selain itu, model jurnalisme ini juga lebih mengedepankan
hati nurani dan kejujuran yang lebih dekat dekat jaminan memelihara ruang public.
Pewarta warga diyakini akan mampu menghadirkan laporan yang lebih khas dan
asli.
Pendanaan secara umum ada 2 pola dan metode fundraising yang dapat
dikembangkan yakni On air fundraising dan off air fundraising. On air fundraising
dilakukan melalui pemanfaatan media siaran yang menjadi kegiatan utama media
warga untuk menggalang sumbangan, dukungan, kerja sama, dan kemitraan
dengan pihak lain. Sementara off air fundraising merupakan kegiatan penggalangan
dukungan dan kemitraan dengan tidak menggunakan media siaran yang menjadi
kegiatan utama media warga.
58 Riset Aksi
Melalui kepemilikan media komunitas local masyarakat akan kian berdaya dan
dapat mengikuti perkembangan lingkungan social, pengetahuan dan teknologi dan
akan berkembang menjadi learning society. Masyarakat yang tidak henti belajar dan
berkelanjutan sebagai prosumer. Melalui pengembangan media local diyakini akan
mendorong demokratisasi komunikasi di tingkat lokal. Masyarakat dapat terlibat
aktif dalam berbagai diskusi yang terkait dengan kepentingan dan permasalahan
mereka hingga dapat mencari solusi secara mandiri dan berkelanjutan.
4.2 Saran
1) Media komunitas lokal harus tumbuh dari, oleh, dan untuk masyarakat
dan warga local dengan menguatkan kepemilikan dan keberagaman
siaran.
2) Pengembangan media lokal bisa dikembangkan dengan melatih warga
menjadi pewarta (reporter) sehingga warga bisa menjadi prosumer yakni
sebagai konsumen sekaligus sebagai produsen media.
3) Penguatan media lokal melalui kejelasan kelembagaan dengan badan
hukum yang abash guna menghindari konflik dan keberlanjutan.
4) Penguatan program siaran melalui program berbasis jurnalisme dan
kebutuhan warga sehingga isi siaran benar-benar sesuai dengan
kebutuhan warga.
5) Penguatan pendanaan melalui strategi fundrising, baik melalui online
maupun off line sehingga pendanaan media komunitas bisa kian mapan
dan independen.
6) Pengembangan teknologi media melalui adopsi teknologi media 2.0
guna peningkatakan kapasitas media dan jejaring media.
SIMPULAN
Riset aksi merupakan solusi mutakhir bagi riset praktis sesuai
metode ilmiah yang bisa dilakukan dalam era new normal pendemi covid
dan merdeka belajar. Dengan paradigma partisipatoris, riset ini akan
menghasilkan pengetahuan yang kolabortif antara pengetahuan lokal dab
pengetahuan profeional dan validitas, keterandalan, dan kredibilitasnya
riset aksi diukur dari kesediaaan dan persetujuan akan hasil riset. Dengan
menggunakan metode studi kasus riset aksi akan sangat kontekstual
sesuai dengan tempat dimana riset dilakukan dan bisa menunjukkan peta
jalan keluarnya dan melakukan perbaikan kinerja organisasi/kelompok
sebagai solusi bersama. Riset ini akan menjadi salah satu peta jalan untuk
meningkatkan produktivitas riset yang dihasilkan baik oleh perti maupun
lembaga riset yang lain sehingga bisa mengingkatkan daya saing bangsa.
Catatan Akhir *** Naskah dipresentasikan oleh penulis dalam seminar nasional penelitian
kualitatif 2020 dengan tema Inovasi Metode Penelitian Sosial - Awarding Peneliti kualitatif
Indonesia 2021 yang diselenggarakan oleh Indonesia Qualitative Researcher Association
(IQRA) pada tanggal 7 September 2020 dengan penambahan dan penyesuaian untuk
chapter buku oleh penulis.
REFERENSI
Cresswell, John W. (1994). Research Design Qualitative & Quantitative
Approachs. Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publication.
Denzin Norman K. and Yvonna S. Lincoln (2000). Handbook of Qualitative
Research, 2nd Edition. Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage
Publication.
Denzin Norman K and Yvonna S Lincoln (1994). Handbook of Qualitative
Research, Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publication.
Hidayat, Dedy N (2006). Meluruskan Dikotomi Penelitian Kualitatif-
Kuantitatif dalam Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi Thesis,
Volume V No. 3 September–Desember Jakarta: Departemen
Ilmu Komunikasi FISIP UI
Hamad, Ibnu (2005) Membumikan Kriteria Kualitas Penelitian, dalam Jurnal
Penelitian Ilmu Komunikasi Thesis, Volume IV No. 1 Januari-
April Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI
62 Riset Aksi
Hamad, Ibnu (2005) Riset Aksi: Mencetak Agen Perubahan, dalam Jurnal
Penelitian Ilmu Komunikasi Thesis, Volume V No. 2 Mei-Agustus
Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI
Hamad, Ibnu (2006) Bagaimana Mempercayai Hasil Penelitian. dalam Jurnal
Penelitian Ilmu Komunikasi Thesis, Volume V No. 3 September–
Desember Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI
Surokim, dkk (2019), Riset Komunikasi: Panduan Praktis Riset Komunikasi,
Jogjakarta: Elmatera
Surokim (2020) Riset Aksi Peningkatan Kapasitas Radio Komunitas Kepulauan
Madura, Laporan Penelitin, Bangkalan: Puskakom Publik.
4
Ekonomi Politik dan Etis
63
64 Ekonomi Politik dan Etis
demikian politik menjadi kehendak public dan bukan menjadi heendak elit
sebagaimana selama ini dominan ada di Madura.
Peran kampus bisa memberi sumbangan positif melalui pemikiran dan
forum ilmiah agar bisa menjadi pengawal atas jalannya politik di Madura.
Membuka forum dialog antar tokoh dan elit untuk bisa mentransfer
komunikasi dan pengetahuan baru sesungguhnya ideal dijalankan oleh
perti. Kampus juga bisa menjadi ajang persemaian ide ide ideal untuk
memberi warna atas jalannya politik di Madura. Apalagi momentum
politik sesunggunya bisa menjadi laboratorium untuk mahasiswa didalam
belajar sebara langsung sekalgius bisa berinteraksi dengan bergagai
kalanagan straegis gua menumbuhkan semangat didalam melakukan
kajian dan riset.
Kampus sesungguhnya menjadi wadah terbuka untuk dialektika ilmu
pengetahuan dan menjadi forum kontruktif guna ikut berpartisipasi dalam
pembangunan di daerah. Dengan demikian kampus akan senantiasa dekat
dengan problem yang ada dimasyarakat dan dapat dirasakan manfaatnya
oleh masyarakat secara riil. Hal ini tentu sejalan dengan perintah
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
yang menyebutkan bahwa bahwa perguruan tinggi sebagai lembaga yang
menyelenggarakan pendidikan tinggi, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat harus memiliki otonomi dalam mengelola sendiri lembaganya.
Hal itu diperlukan agar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan mimbar
akademik serta otonomi keilmuan.
Kampus dalam hal ini dapat menyiapkan agenda diskusi dalam
kerangka membangun kesadaran berpolitik dengan pendekatan akademik,
Kampus bisa memainkan peran didalam mengawal jalannya demokrasi
dengan menumbuhkan iklim akademis. Kampus bis amembuka ruang
akademis dengan mengundang tokoh politik untuk menyampaikan ide
dan gagasannya di dalam kampus, dalam koridor akademik, bukan politik
praktis. Kegiatan ini murni pendidikan dalam koridor akademik sehingga
netralitas kampus tetap terjaga
Banyak tugas yang sesungguhnnya bisa dijalankan masyarakat kampus
di Madura diantaranya mendorong fungsi pengawasan, penyelenggaraan
dan juga edukasi kepada penilih. Apalagi dalam pendidikan politik dan
66 Ekonomi Politik dan Etis
SURVEY POLITIK
Keberadaaan lembaga survei politik di Indonesia hingga saat
ini masih menghadapi beragam masalah dan tantangan, khususnya
menyangkut penilaian pada aspek independensi dan reputasi. Hal ini
bisa dipahami mengingat survei politik sejauh ini masih didominasi
dan diselenggarakan oleh lembaga privat-swasta dan non-publik yang
lebih banyak memosisikan diri sebagai lembaga atau perusahaan bisnis
profesional dengan motif menjadikan politik sebagai salah satu bidang
industri komersial.
Tekanan yang kuat atas motif bisnis itu menjadikan lembaga survei
kerap mengundang penilaian pro dan kontra di masyarakat seiring
dengan meningkatnya kecerdasan, daya kritis, dan partisipasi publik
warga dalam politik elektoral. Apalagi tidak dimungkiri dalam banyak
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 67
Radar Madura
ilmiah. Posisi ini ke depan akan semakin dibutuhkan dan lembaga survei
tetap akan menjadi salah satu pemain penting dalam memotret opini
publik, khususnya terkait politik elektoral.
Dinamika perjalanan lembaga survei di Indonesia baik di level
nasional maupun lokal tidak lepas dari apa yang selama ini dipublikasikan
ke publik, khususnya terkait dengan hasil survei. Perang publikasi hasil
akan semakin keras karena masuknya berbagai kepentingan praktis
guna mendesakkan kandidat untuk memeroleh dukungan, popularitas,
dan akseptabilitas dari pemilih. Harus diakui sejak 2014, perjalanan
lembaga survei mulai menuai kontroversi. Bahkan dalam beberapa kasus
keberadaan dan perang antarlembaga survei politik ini disinyalir turut
mengeraskan konflik dan persaingan antarkandidat. Mereka tiada henti
berlomba memengaruhi opini publik dengan merilis hasil survei yang
menguntungkan kandidat tertentu. Bahkan lembaga survei politik kini
lebih condong sebagai lembaga bisnis partisan.
Kritik itu tentu tidak mengada-ada dan semakin bisa dipahami
logikanya. Ada sejumlah bukti kongkrit dan tak terbantahkan mengapa
lembaga survei politik semakin dipertanyakan independensinya. Pertama,
sebagian besar lembaga survei politik merangkap menjadi konsultan dan
pemenangan kandidat. Kedua, hasil release survei menunjukkan perbedaan
yang mencolok dan signifikan antarlembaga. Ketiga, banyaknya lembaga
survei yang menjadi pelayan partai dan diawaki oleh para politisi dan
simpatisan partai politik. Keempat, silih bergantinya perubahan nama
lembaga survei dengan nama baru padahal personilnya sama, tidak
berganti.
Seiring dengan berjalannya waktu dan juga semakin intensnya
perhelatan pilkada di seluruh Indonesia, keberadaan lembaga survei akan
terus diuji independensinya. Fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa
ada beberapa lembaga survei partisan dan menjadi underbow partai politik.
Mencermati hasil rilis survei perguruan tinggi dalam pilkada di
Jawa Timur 2018 juga tidak luput dari kontroversi baik menyangkut
hasil maupun metodologi yang dilakukan. Situasi ini sempat menjadi
sorotan mengingat perguruan tinggi selama ini bisa diandalkan sebagai
benteng pertahanan independensi ilmu pengetahuan yang diharapkan
bisa netral dan tidak partisan. Terhadap hasil survei yang dipersoalkan
70 Ekonomi Politik dan Etis
maka situasi ini jelas menjadi peringatan bagi lembaga survei perguruan
tinggi. Giovanie (2013) pernah mengungkapkan bahwa ada lembaga
survei yang hasilnya memiliki tingkat akurasi tinggi, tetapi ada juga yang
prediksinya jauh dari kenyataan. Ada lembaga survei yang benar-benar
objektif, tetapi ada juga lembaga survei profesional yang disewa partai
politik atau kandidat yang objektivitasnya dipertaruhkan. Akibatnya,
menurut Geovanie (2013) beberapa lembaga survei tidak lagi memberi
pencerahan kepada para pemilih Indonesia dan menujukkan jalan kompas
yang objektif dan nalar kritis sebagai medium mencerdaskan dan melek
politik.
Ada dugaan bahwa lembaga survei mulai disalahgunakan dan tidak
patuh kepada prinsip dasar metodologi riset dan juga publikasi hasil riset.
Selain itu, lembaga survei, sebagai entitas industri politik di Indonesia
juga dinilai masih belum transparan untuk mengumumkan kepada publik
dari mana pendanaan itu diperoleh. Selama ini masih banyak lembaga
survei mengaku dana yang diperoleh berasal dari dana mandiri dan dana
corporate social responsibility (CSR). Lembaga survei masih malu mengakui
dan tidak berani jujur menyertakan dari mana pendanaan itu diperoleh dan
dapat diaudit secara transparan. Masih banyak persoalan yang dihadapi
lembaga survei politik. Banyak tekanan baik politis maupun komersial
yang memengaruhi hasil publikasi survei.
Kajian ini merupakan kajian kritis reflektif untuk melihat bagaimana
keberadaan lembaga survei politik di Indonesia, khususnya dari perguruan
tinggi di Jawa Timur dan juga melihat tantangan dan peluang di masa
depan. Data diambil melalui wawancara primer dan penelusuran dokumen
sekunder serta hasil observasi di beberapa lembaga survei di Indonesia.
Selain itu juga dilengkapi dengan pendapat beberapa ahli untuk melihat
bagaimana posisi idealnya lembaga survei perguruan tinggi
survei yang valid dan sahih hingga penulisan laporan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Hal-hal mendasar menyangkut desain survei, sampling (populasi,
kerangka sampel dan metode penarikan sampel, mendeteksi kesalahan
Hasil survei Pilgub Jatim dari xxxxxxx dinilai cacat metodologi. Survei tersebut hanya
menentukan Margin of Error 2 persen dengan sampel 800 responden dan tingkat
kepercayaan 98 persen. Hal itu disampaikan pakar Survei Sosial yang juga Dewan Etik
Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), Prof Dr Hamdi Muluk, dalam
siaran persnya, Kamis (31/5/2018). Penentuan responden dan sampel pun dinilai tidak
sesuai dengan teori kalkulasi penelitian. Menurutnya dengan MoE 2 persen, harusnya
repondennya yang diambil lebih banyak.
“Agak mencurigakan karena tingkat kepercayaan yang lazim 95 persen, artinya kaitan
mentolerir kesalahan 5 persen. Biasanya kelaziman 95 persen dan 99 persen tingkat
kepercayaan. Kalau ingin mengambil 98 atau 99 persen artinya sampelnya harus
lebih banyak untuk meminimalkan margin of error,” jelas Prof Hamdi. Soal angka
kepercayaan pun salah satu unsur yang membuat survei xxxxx diragukan. Sebab,
tingkat kepercayaan 98 persen adalah angka yang jarang digunakan para akademisi.
“Jadi itu sudah ada hitungannya. Itu patut dicurigai. Tingkat kepercyaan 98 persen itu
tidak umum juga, biasanya 95 persen atau 99 persen. Bisa jadi itu agak mencurigakan,”
imbuhnya.
Hasil survei yang dilakukan tanggal 12-19 Mei 2018 di 38 kabupaten/kota seluruh
Jatim ini tidak dijamin keabsahannya. Prof Hamdi juga menilai perlu ada validasi lebih
lanjut untuk memastikan metodologi tersebut.
“itu bukan menjamin validitas. Yang menjamin adalah apakah benar-benar turun ke
lapangan. Apakah taat azas yang sudah ditetapkan. Kalau 800 orang sudah ditentukan,
primary sampelnya si A, si B di desa ini, itu. Datang apa enggak ke situ? Apakah ada
spotcheck, ada validasi? Semua metodologi itu memang harus clear,” tuturnya.
Prof Hamid menegaskan masyarakat harus jeli melihat lembaga survei yang kredibel
untuk rujukan data opini.
“Melihat data terakhir setahu saya enggak, bukan anggota. Anggota kita Litbang
Kompas, CSIS, Indikator, Poltracking, Populi, Polmark, Charta Politika. Survei yang
kredibel itu ada di Perseppi. Bisa dijadikan patokan kalau lima anggota persepi sama
hasil surveinya,” ungkapnya.
Dalam penilaian, Prof Hamdi menegaskan, Persepi independen dan tidak
memihak manapun. Bagi akademisi yang melakukan riset atau survei memiliki
pertanggungjawaban baik secara metodologi maupun etika akademik.
“Setiap akademisi memiliki kebebasan akademik, ada tanggung jawab akademik.
Harus jelas metodologinya. Tidak ada etika akdemik yang dilanggar. Itu harus diemban
sebagai akademisi tanggungjawabnya,” pungkasnya.
(iwd/fat)
74 Ekonomi Politik dan Etis
INDEPENDENSI PENDANAAN
Kita semua bisa memahami bahwa untuk menyelenggarakan survei
politik selalu membutuhkan pembiayaan. Menurut pengakuan Oetomo
(2017), biaya survei politik di Jawa Timur yang mencakup 38 kabupaten/
kota setidaknya dibutuhkan biaya antara 200 – 300 juta. Sementara untuk
level kabupaten/kota pemilihan bupati (pilbup) dan pemilihan walikota
(pilwali), biaya yang dihabiskan untuk melakukan survei di kisaran Rp 80
juta - 150 juta. Memang kebutuhan dana ini relatif besar jika dilihat dari
kebutuhan penyelenggaraan survei, tetapi perguruan tinggi sebenarnya
bisa melakukan penghematan biaya lapangan dengan melibatkan
mahasiswa terlatih untuk menjadi interviewer.
Melihat anggaran perguruan tinggi sebenarnya beban biaya tersebut
relatif bisa dilakukan melalui pengajuan dana skema penelitian melalui
skema dana riset terapan. Perguruan tinggi dapat mengajukan dalam
skema riset melalui dana APBN atau mandiri serta melalui dana partisipasi
pihak ketiga yang tidak mengikat. Intinya perguruan tinggi sebenarnya
memiliki keleluasaan untuk bisa menganggarkan dana jika direncanakan
dengan baik sejak pengajuan pada awal tahun anggaran.
Sejauh ini sebenarnya tidak ada kendala bagi perguruan tinggi di
dalam melakukan pendanaan asal sudah dianggarkan di dalam perencanaan
tahun berjalan. Perguruan tinggi juga bisa berkolaborasi dengan lembaga
publik lain sesuai mekanisme kerja sama guna bergotong royong di
dalam pembebanan pembiayaan survei. Hal ini dimungkinkan mengingat
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 77
ada skema penelitian hasil kerja sama antarperguruan tinggi. Akan lebih
bagus jika ada pertanggungjawaban publik melalui audit internal dan
eksternal atas pemakaian dana survei tersebut sehingga sumber dan
penggunaan dana benar-benar dapat dipertanggungjawabkan dengan
baik dan terpercaya.
Jika hal ini bisa dilakukan maka lembaga survei politik perguruan
tinggi akan dapat dipercaya dan dapat mengabdi kepada kepentingan dan
kebaikan publik. Titik ini penting guna meraih reputasi dari pandangan
dan persepsi positif masyarakat. Jangan sampai lembaga survei perguruan
tinggi malah mencederai prinsip dasar penyelenggaraan survei dan akan
langsung mendapat hukuman dari publik berupa ketidakpercayaan.
Masyarakat tidak akan lagi percaya terhadap kualitas dan publikasi hasil
risetnya. Ini adalah modal sosial dan simbolik yang semestinya dijaga dan
dirawat dengan baik oleh lembaga survei termasuk perguruan tinggi agar
senantiasa memeroleh dukungan dan legitimasi dari publik.
Pilihan lembaga survei perguruan tinggi terhadap jenis survei
komersial memang agak problematik mengingat bentuk kelembagaannya
lebih dekat sebagai badan publik yang independen. Apalagi selama
ini perguruan tinggi sebagaimana awal misi pendiriannya memang
tidak diarahkan untuk menjadi lembaga komersial. Dengan demikian
peluang perguruan tinggi sebagai lembaga konsultan politik sejatinya
telah tertutup. Pilihan peran perguruan tinggi adalah survei publik
yang hasilnya murni didedikasikan kepada publik yang bisa diakses dan
disiarkan secara luas kepada publik. Peran itu bisa dilakukan sebagaimana
selama ini dilakukan Litbang Kompas.
Survei publik biasanya dibiayai melalui dana-dana publik seperti
dari APBD/APBN dan lembaga donor independen. Tujuan dari survei
ini jelas tidak dmaksudkan untuk memperoleh keuntungan, tetapi lebih
banyak didedikasikan kepada kepentingan publik seperti sebagai sarana
pembelajaran bagi masyarakat, memberikan wacana atau perspektif baru
kepada masyarakat. Penyelenggaran survei dalam hal ini perguruan tinggi
tidak hendak berpretensi memeroleh keuntungan melalui kegiatan ini.
Akuntabilitas pendanaan juga dapat dilaporkan secara resmi melalui
pertanggungjawaban keuangan negara dan publik. Dalam posisi seperti
ini perguruan tinggi jelas lebih bisa dipercaya karena sebagai badan publik
78 Ekonomi Politik dan Etis
Mengingat hal ini, maka peneliti opini publik perlu menaati etika
terutama ketika hasil survei dipublikasikan kepada publik. Sebagaimana
dicatat Aropi (2009) dengan mengacu pada AAPOR (American Association
for Publik Opinion Research) maka setiap laporan survei opini publik patut
menetapkan 8 item, yaitu: 1) siapa yang membiayai survei dan siapa
yang melakukan survei tersebut, 2) rumusan pertanyaan yang dipakai,
termasuk di dalamnya pernyataan dari setiap instruksi atau penjelasan
kepada pewawancara atau responden yang mungkin bisa berdampak
pada jawaban responden, 3) Populasi dari penelitian dan gambaran
kerangka sampel yang dipakai untuk mengidentifikasi populasi survei, 4)
Gambaran rancangan (desain) sampel, menyajikan petunjuk metode yang
jelas bagaimana responden dipilih oleh peneliti atau apakah responden
memilih dirinya sendiri sebagai responden survey, 5) Jumlah sampel,
jika memungkinkan kriteria responden yang memenuhi syarat, prosedur
penyaringan (screening) dan tingkat respons (response rate), 6) Informasi
tentang tingkat presisi dari temuan, termasuk perhitungan kesalahan
sampel (sampling error) dan gambaran jika pembobotan (weighting) atau
estimasi dipakai dalam penelitian, 7) informasi hasil mana yang didasarkan
pada bagian dari sampel bukan pada total keseluruhan sampel, dan 8)
Metode, tempat, dan periode pengumpulan data.
Terkait profesionalitas dalam publikasi hasil survei, ada standar
minimal penyampaian hasil survei. Lembaga wajib menyampaikan
secara terbuka dan professional: 1) Tujuan, 2) Siapa yang membiayai, 3)
Siapa yang melakukan survei, 4) Instrumen, 5) Populasi dan sampel, 6)
Metodologi, khususnya bagaimana responden dipilih, 7) Tingkat presisi
temuan, di antaranya perhitungan kesalahan sampel, 8) Tempat dan
periode pengumupulan data, 9) Kendali kualitas (quality control) 10) Hasil
yang penting dan bermanfaat bagi publik dan pengetahuan.
Kode etik riset atau survei opini publik dalam posisi seperti ini
menjadi sangat penting. Kode etik akan menjadi benteng pertahanan
idealisme lembaga survei menghadapi dilema etis. Sebagaimana kita
ketahui etik melekat dalam survei opini publik karena sangat lekat dengan
seperangkat norma, aturan, dan etika. Kegiatan ini juga menyertakan objek
manusia yang dinamis. Peneliti tidak hanya dituntut untuk menjalankan
penelitian dengan metode yang benar, tetapi juga punya tanggung jawab
80 Ekonomi Politik dan Etis
terjadap objek yang diteliti. Etika ini penting karena hasil dari riset ini
akan menjadi bahan pembuatan kebijakan publik. Dalam kode etik juga
mengatur hubungan antara peneliti dengan 4 pihak (stakeholders), yakni
publik (masyarakat), klien, responden, dan profesi. Hubungan dengan
profesi ini menjadi penting untuk dikemukakan sebagai basis pertahanan
akhir mengenai aspek pantas/tidak pantas, patut/tidak patut dan juga
kehormatan menjalankan profesi ini secara bertanggung jawab.
Penyelenggara survei wajib menjaga standar tinggi kompetensi
keilmuan dan integritas dalam menjalankan, menganalisis, dan
melaporkan riset serta penggunaan hasil riset. Sejak awal lembaga survei
harus berani menolak intervensi dan semua usaha yang mencederai
objektivitas hasil riset. Lembaga survei perlu menjaga prinsip kehatian-
hatian dalam membuat desian dan instrumen riset, pengumpulan dan
pemrosesan, analisis data, dan semua langkah yang diperlukan untuk
menjamin reliabilitas dan validitas hasil.
Dalam posisi dilematis ini maka lembaga survei perlu kembali
meneguhkan spirit publik dan bagian dari kerja entitas ilmiah yang patuh
kepada kebenaran dan kepentingan dan kemaslahatan publik. Keterbatasan
dan kebutuhan anggaran tidak bisa dijadikan alasan bagi penyelenggara
survei untuk takluk kepada pemodal (politisi). Lembaga survei harus
menjaga kehormatan dan marwah ilmiah yang hanya bisa dikendalikan
oleh kebenaran ilmiah dan kehormatan akademis. Ia tidak boleh jatuh
kepada kepentingan praktis semata-mata untuk mendapat dana.
Politisi sebagai user atas hasil survei juga tidak boleh memaksa untuk
publikasi hasil guna menguntungkan posisi mereka dengan manipulasi
data. Klien dalam hal ini politisi sering memaksa hasil survei untuk
menguntungkan posisi mereka. Lembaga survei menuntut kedewasaan
para politikus dan funding of polical entrepreneur dalam memperlakukan
lembaga survei dan hasil survei. Jika politikus terus memengaruhi dan
memaksa lembaga survei untuk tidak jujur, justru akan merugikan
kandidat dan politisi sendiri. Biarlah hasil survei itu tampil apa adanya
dan tidak perlu harus dimodifikasi untuk kepentingan sesaat pencitraan
dan pemenangan. Perlakukan hasil survei semata-mata untuk menjadi
cermin evaluasi bagi kandidat.
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 81
Perguruan tinggi dalam hal ini akan lebih bijak jika memiliki badan
pengawas survei internal dalam wadah dewan etik yang bisa mengawasi
dan memeriksa jika terjadi kegaduhan. Dewan etik bisa memeriksa jika
terjadi pertanyaan dan protes dari publik.
Beberapa alasan mengenai pentingnya dewan etik ini adalah bisa
menangani jika terjadi kegaduhan atas hasil survei melalui pemeriksaan
secara mendalam dan terukur. Dewan etik bisa meminta keterangan dan
diserta bukti-bukti riil untuk melihat prosedur dan pelaksanaan survei
lapangan serta pemeriksaan atas hasil analisis. Dewan etik juga bisa
mendeteksi apakah terjadi penyelewengan, survei tidak menyampaikan
data sebenarnya atau mendistorsi realitas sesungguhnya. Selain itu juga
bisa mendeteksi potensi kongkalikong atau patgulipat antara penyelenggara
survei dan kekuatan modal atau kelompok individu politik di luar
perguruan tinggi. Selain itu dewan etik bisa menegakkan kode etik yang
telah disusun sejak awal sebagai dewan pengawas. Selain itu juga untuk
memberi jaminan bahwa survei yang dilakukan tepat dan melalui prosedur
dan metodologi yang tepat.
perguruan tinggi harus menjauh dari para kandidat dan melepaskan diri
dari kepentingan menjadi konsultan politik dan mengabdikan semata-mata
hasil survei itu untuk kebaikan public sphere politik. Sekali lagi kembali ke
khitah menjadi mata batin pemilu di Indonesia.
Lembaga survei perguruan tinggi juga harus meningkatkan
kompetensi SDM, khususnya di lapangan agar tenaga lapangan benar-
benar bisa memahami teknis penggalian data yang bisa dipercaya dan
dapat dipertanggungjawabkan. Kendali mutu dapat terus ditingkatkan
agar berbagai kesalahan teknis di lapangan dapat diminimalisi sehingga
kualitas hasil survei dapat ditingkatkan dari waktu ke waktu.
Dengan cara seperti itu, marwah dan kehormatan lembaga survei
milik perguruan tinggi di Indonesia dapat dikembalikan dan akan meraih
kembali simpati dari publik. Betapapun lembaga survei politik tetap
diperlukan kehadirannya untuk menjadi mata batin dan pengontrol hasil
pemilu kita.
Pada intinya, survivalisme lembaga survei termasuk dari perguruan
tinggi sangat ditentukan oleh kemampuan lembaga ini menjaga
kepercayaan publik. Jika kepercayaan itu bisa dirawat dan dipelihara maka
eksistensi lembaga survei milik perguruan tinggi juga akan terjamin.
Demikian juga sebaliknya jika kepercayaan itu sering dicederai, maka
lembaga survei akan mati dengan sendirinya.
SIMPULAN
Peran pergurun tinggi dalam kontestasi elektoral lokal sesungguhnya
amat strategis. Perguruan tinggi dapat menyelenggarkan survei
politik independen sebagai bahan informasi publik dan sekaligus bisa
berfungsi sebagai kontrol atas berbagai hasil survei politik dari lembaga
lain. Perguruan tinggi selain memiliki keunggulan mengingat secara
kelembagaan, ia adalah lembaga independen dan memiliki tradisi akademis
yang kuat sehingga hasil riset bisa dipertanggungjawabkan kepada publik.
Saat ini dan di masa depan keberadaannya semakin dibutuhkan perannya
untuk ikut menjaga marwah demokrasi elektoral, khususnya di tingkat
lokal mengingat selama ini peran itu banyak dilakukan oleh lembaga
privat yang sebagaian besar menjadi bagian dari industri politik.
84 Ekonomi Politik dan Etis
Catatan Akhir *** Naskah dan kerangka sebagian besar diambil dari tulisan penulis yang
terbit dalam JURNAL Aspikom Jawa Timur VOL. 1 NO. 1 (2020) dengan judul Perguruan Tinggi
Dan Survei Politik Dalam Kontestasi Elektoral Di Jawa Timur Indonesia: Tinjauan Ekonomi
Politik Dan Etis dengan penambahan dan penyesuaian untuk chapter buku oleh penulis.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Nyarwi (2012) Elemen Elemen Kajian Komunikasi Politik dan
Marketing Politik, Yogyakarta: Pustaka Zaman.
Anonimous (2009) Bagaimana merancang dan membuat survei opini publik,
Jakarta: AROPI.
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 85
M
edia massa cetak di Madura mulai berkembang
sejak dibukanya era otonomi daerah. Salah
satunya melalui Grup Jawa Pos yang membuka
koran lokal dalam bentuk radar di berbagai daerah di
Jawa Timur. Jawa Pos Grup membuka koran lokal Jawa
Pos Radar Madura (JPRM) sebagai suplemen halaman
koran nasional dan regional Jawa Pos. Sebagai bagian dari
spasialisasi koran Jawa Pos, JPRM memuat berita lokal
yang meliputi 4 Kabupaten yakni Bangkalan, Sampang,
Pamekasan, dan Sumenep. Halaman JPRM juga disesuaikan
dengan cakupan liputan ke empat wilayah tersebut.
Perkembangan Koran JPRM terbilang cukup
pesat bahkan bisa menembus tiras hingga 14 ribu di
Madura. Perkembangan ini membuat RMJP membuka
biro dibeberapa kabupaten di wilayah Madura untuk
menguatkan pangsa pasar pembaca. Sukses JPRM ini
87
88 Panoptikon Wartawan Madura dalam Pemberitaan Elit Politik Lokal
sehingga tawadhu dan taat kepada pemimpin (kiai) itu dilakukan tanpa
reserve. Titah kiai lebih ditaati daripada pada pemimpin formal. “Mon tak
norok perintane kiai cangkolang”, kalau tidak ikut perintah kiai dianggap
lancang, hingga masih dipegang teguh sebagian masyarakat, khususnya
kelas bawah. Kepatuhan terhadap para kiai dan elit pemerintah daerah
membuat peran masyarakat bawah dan menengah relatif dependen
(Surokim, 2015). Selain itu masyarakat Madura juga memelihara adat
istiadat yang kuat sesuai nilai-nilai dan ajaran keagamaan/Islam dan
menstuktur kebudayaan berbasis agama islam tradisonal (Kuntowijoyo
dalam Haliq, 2014). Ketaatan ini yang membuat daya kritis masyarakat
Madura relatif berkurang. Akses informasi masih bergantung kepada
tokoh elit agama dan pemerintah dan konsumsi media masih belum
meluas.
Dinamika politik di Madura juga mulai berkembang seiring dengan
kebijakan pemilu langsung. Pemilihan pemimpin lokal selalu berlangsung
semarak dan bisa berlangsung dalam tensi tinggi. Media massa lokal
sebagai kekuatan baru juga mulai membuka informasi kepada publik
dan berusaha menyajikan peristiwa dekat dengan warga yang menjadi
pembaca utamanya. Media massa cetak akhirnya tampil menjadi salah
satu aktor pendidik daya kritis masyarakat Madura. Perkembangan
ini direspons oleh para elit pemegang kekuasaan lokal. Mereka juga
mulai beradaptasi hingga dalam tahap tertentu terancam dan membuat
kelompok kelompok yang selama ini memeroleh manfaat atas ketertutupan
informasi semakin terganggu. Keberadaan media massa yang mengekspose
berbagai penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan di masyarakat
juga kerap menimbulkan konflik antara penguasa lokal dengan media.
Media disatu sisi ingin berdiri teguh diatas prinsip jurnalistik, tetapi ia
juga mengahadapi beragam tekanan dari kelompok kelompok yang selama
ini berkuasa di masyarakat Madura.
Dalam situasi seperti itu Koran JPRM tumbuh berkembang dengan
berbagai tantangan. Kuasa elit lokal yang dominan juga membuat
perkembangan media cetak di Madura kerap berkompromi dengan
kehendak elit dan belum mampu menyerap aspirasi masyarakat bawah.
Suara arus bawah Madura kerap nyaris tidak terdengar dan terekam
dalam pemberitaan media cetak. Media massa cetak di Madura seolah
90 Panoptikon Wartawan Madura dalam Pemberitaan Elit Politik Lokal
tiarap dan tunduk kepada kehendak pasar. Media mengabdi kepada siapa
yang berani membayar dan kepada siapa yang punya akses kuasa ekonomi
politik (Surokim, 2016).
pemilu lebih banyak berasal dari aktor politik dan elit pemerintahan dan
melalui mekanisme membayar iklan advertorial.
Isi pemberitaan politik memang banyak dari kalangan politisi dan pejabat daerah. Ya
mereka punya anggaran untuk memasang iklan dan berita advertorial. Sepanjang
itu tidak menganggu estetika pemberitaan, kami akan mengakomodasi. Saya pikir
itu bukan pesanan, karena kami bisa membedakan antara berita dan advertorial.
(informan 4 Wawancara 8 September 2017)
Dalam proses produksi memang tidak ada arahan secara khusus, tetapi
para wartawan hanya diberi pesan agar berita tidak membuat perusahaan
menjadi rugi. Pemberitaan diusahakan yang tidak memiliki resiko untuk
menjadi konflik dengan elit kekuasaan dan massa.
Terkait pemilu local, seperti pilkades saya dulu pernah mencoba menulis, tetapi
tidak dinaikkan sama redaktur. Percuma juga kalau menulis tentang itu karena
tidak mungkin bisa diterbitkan. Jadi kalau peristiwa pemilu local seperti pilkades
biasanya kami memilih aman dan tidak menulis. Kecuali kalau ada kericuhan, seperti
penganiayaan atau pembunuhan. Baru kita ditulis dari sisi tindak kriminalnya.
(Informan 3 Wawancara 23 Agustus 2017)
Kami sering dibuntuti dan diawasi orang orang tidak dikenal. Menurut teman mereka
akan merampas sepeda motor saya atau mencelaki saya diperjalanan. Hal itu
setiap hari saya rasakan. Ya bagaimanapun itu menganggu konsentrasi saya dalam
melakukan liputan dan mencari berita. (Informan 2 Wawancara 16 Agustus 2017)
Ancaman dan tekanan blater bagi para jurnalis bisa jadi menjurus
kepada tindak kriminal. Mereka bisa melakukan perampasan dan juga
gangguan peliputan. Namun, posisi Blater juga kerap dilematis bagi
masyarakat. Ia tidak saja identik dengan cara kekerasan, tetapi dalam
94 Panoptikon Wartawan Madura dalam Pemberitaan Elit Politik Lokal
para aktor (blater) sehingga bisa menjalin relasi kuasa dengan media tetap
menjadi pilihan strategis. Dalam praktiknya tidak semua wartawan bisa
ditekan dengan ancaman verbal. Jika cara itu tidak berhasil mereka baru
menggunakan cara koersif.
Blater dan Klebun termasuk salah satu kekuatan kultural di dalam
masyarakat Madura. Demi menjaga eksistensi kuasa masyarakat pemilik
kuasa juga mencoba memengaruhi isi media agar tidak mengancam
eksistensi mereka. Dalam banyak kasus, klebun yang telah menjabat
mendapat dukungan penuh dari blater. Karena kekuasaan blater di setiap
desa, wilayah, antar kecamatan, begitu kuat. Di samping itu, blater
memang harus memiliki kuasa di atas para klebun yang ada. Kenapa harus
berkoalisi, menurut Rachmad (2015) karena klebun ingin desanya aman
dan tak mau ambil risiko. Klebun biasanya bayar upeti setiap tahun ke
blater dengan tujuan keamanan desa. Peran Blater dan kepala desa dalam
kekuasaan Madura relatif kuat dan juga otonom. Hal ini terjadi karena
diperlihara dan mendapat legitimasi dari masyarakat dan berlangsung
lama. Relasi ini yang membuat hubungan klebun dan blater semakin dekat
dalam memelihara kekuasaan mereka di Madura.
Seiring dengan perkembangan zaman, motif Blater kini tidak sekadar
soal harga diri, tetapi juga motif ekonomi. Saat ini telah terjadi pergereran
motif dalam peran blater yang menjaga kehormatan kultural bergeser ke
motif ekonomi semata. Akhirnya, terjadi degradasi peran blater didalam
menjaga peran di masyarakat. Belum lagi saat ini masyarakat juga semakin
kritis dan melihat para blater hidup bermewah mewah memiliki fasilitas
yang mencolok sehingga respek masyarakat rasional mulai mengalami
penurunan.
Posisi dilematis masyarakat terhadap blater juga disebabkan oleh
adanya kuasa ekonomi kepada masyarakat sekitar. Selama ini charity
social mereka dikenal tinggi ke masyarakat sekitar. Posisi ini memberi
ketergantungan kepada masyarakat untuk bisa memberi dukungan
secara tidak langsung kepada keberadaan blater. Apalagi mereka juga
tidak merugikan kepentingan amsyarakat sekitar secara langsung dan
menganggap itu sebagai pekerjaan.
Dalam konteks media, karena motif mereka lebih banyak karena
ingin mendapat kompensasi ekonomi untuk mengamankan seseorang
96 Panoptikon Wartawan Madura dalam Pemberitaan Elit Politik Lokal
yang bisa membayar maka ia harus bisa membargain para wartawan agar
bisa melakukan pemberitaan yang menguntungkan para bos elit yang ia
bela. Selama ini blater dalam posisi menjaga dan memelihara kuasa para
pihak sehingga ia juga harus bisa mengontrol media
Bagan Ilustrasi 1
Model Hegemoni
SIMPULAN
Media massa cetak di Madura menghadapi tekanan ektra media,
khususnya dari para kelompok penguasa lokal seperti elit pemerintah
local dan keamanan local (blater). Mereka akan memberi tekanan dan
memengaruhi produksi dan isi media dalam pemberitaan pemilu lokal
di Madura karena terkait dengan pemeliharaan eksistensi dan legitimasi
kuasa mereka di tingkat lokal.
Media massa cetak memilih jalan aman demi menjamin keamanan
bisnis dan juga keselamatan wartawan. Hal ini ditempuh mengingat kuasa
dan tekanan itu kerap masuk hingga ke ruang redaksi dengan wujud
tekanan fisik maupun non fisik baik secara komunal maupun individual
dan mengarah kepada keselamatan nyawa. Akhirnya, media dalam proses
produksi berita dan mengambil jalan aman untuk tidak mematik konflik
dengan penguasa lokal.
Terjadi proses negoisasi dalam konteks pemberitaan sehingga
membuka peluang kerjasama untuk pengamanan masing masing pihak.
Pemberitaan media massa akhirnya terpaksa mengkaburkan dan pada
taraf tertentu bisa menyembunyikan fakta yang sesungguhnya dan
menjadi ruang pemberitaan yang menguntungkan dan mengamankan
para elit penguasa dan pemodal.
Negoisasi kuasa itu dilakukan untuk saling menguatkan antarpenguasa
dan saling memberi jaminan secara simbiosis mutualis guna memelihara
kuasa dan dan melegitimasi kekuasaan masing-masing. Tekanan
Blater dan klebun dalam pemberitaan pemilu lokal cukup besar dalam
pemberitaan pemilu lokal karena terkait langsung dengan kepentingan
mereka yang telah terjalin baik selama ini. Kuasa hegemonik elit, blater,
dan klebun terhadap media merupakan salah satu bagian dari cara mereka
100 Panoptikon Wartawan Madura dalam Pemberitaan Elit Politik Lokal
Catatan Akhir *** Naskah ini pernah dipresentasikan oleh penulis dalam acara Indonesia
Media Research Award and Summit (IMRAS) ke-4 tentang Trend Pola Konsumsi Media di
Indonesia Tahun 2017 Serikat Penerbit Indonesia di Surabaya dengan penambahan dan
penyesuaian untuk chapter buku oleh penulis
REFERENSI
Haliq, Fathol, (2014) Perilaku Politik Kelas Menengah Madura, Jurnal
KARSA, Vol. 22 No. 2, Desember 2014 hal 526-728
Jonge, De Huub (2011) Garam, Kekerasan dan Aduan Sapi: Esai Esai Tentang
Madura dan Kebudayaan Madura, Yogyakarta: LkiS
Martina, Lasti (2005) Konstruksi Berita tentang Kampanye Kandidat Presiden
di Televisi, Kasus Berita Kampanye Surya Paloh pada Metro TV
selama Pemilu 2004. Jurnal Penelitian ilmu Komunikasi Vol. IV/
No.2 Mei–Agustus 2005, Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi,
Universitas Indonesia
Rifai, Ahmad Mien (2007) Manusia Madura, Pembawaan, Perilaku, Etos
Kerja, Penampilan, dan pandangan Hidupnya seperti dicitrakan
Peribahasanya, Yogyakarta: Nuansa aksara
Surokim (2015) Madura: Masyarakat, Budaya, Media, dan Politik.
Yogyakarta: Elmatera
Surokim (2016) Media Lokal: Kontestasi, Trend, Dinamika, dan Suara Arus
Bawah Madura.Yogyakarta: Elmatera
Rachmad, Teguh Hidayatul dkk (2015) Strategi Kultural Blater sebagai
Identitas Orang Madura, Bangkalan: Puskakom Publik UTM
Wiyata, Latief A, (2013) Mencari Madura, Jakarta: Bidik Phronesis.
6
Komunikasi Publik:
Tantangan di Madura
M
adura sesungguhnya secara geopolitik amat
setrategis di wilayah Jawa Timur. Bahkan
jika dicermati dari besaran wilayah, sebaran
penduduk, kultur maka Madura dan orang Madura di Jawa
Timur amat besar. Jika mampu dioptimalkan maka potensi
ini akan menjadi modal dasar yang signifikan. Madura baik
secara geografis maupun psikografis memiliki beragam
potensi yang selama ini masih belum banyak dieksplorasi
seperti larut dalam tidur panjangnya.
Beragam upaya sudah dicoba dilakukan, tetapi
tantangan memang tidak mudah karena ada banyak
factor baik itu kultural maupun structural yang menjadi
penghambat. Tantangan tersebut tidak hanya parsial,
tetapi juga sistemik yang membutuhkan cara yang sedkit
radikal dan progresif agar perubahan social itu segera
101
102 Komunikasi Publik: Tantangan di Madura
nampak dan nyata hasilnya di Madura. Salah satu langkah itu juga
bisa dilakukan secara progresif melalui jalan kehumasan. Humas bisa
melakukan persuasi dan juga edukasi kepada publik mengenai pentingnya
perubahan yang lebih baik pro public dan membangun peradaban yang
lebih baik.
Gagasan menjadi Madinah Indonesia terkandung maksud yang
visioner dan komprehensif. Tidak saja menjadikan masyarakat dan
wilayah Madura menjadi welcome dan lebih damai harmoni nir kekerasan,
tetapi juga menjadikan karakter yang mengadopsi piagam Madinah
sebagai landasan dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat Madura
dikenal sangat relegius itu adalah modal dasar. Namun, disii lain tidak
dimungkiri anggapan masyarakat yang negative juga masih kuat. Hal itu
tidak saja menjadi bahan evaluasi, tetapi juag menjadi bahan retropeksi
bagi pengembangan kawasan ini.
Masyarakat Madura selama ini khususnya yang berada di level
bawah sejatinya menyimpan potensi yang luar biasa. Semangat pantang
menyerah, taat menjalankan perintah agama, hormat kepada guru adalah
modal yang penting didalam membangun masyarakat maju. Selain itu
semangat untuk belajar juga tidak kalah dengan daerah lain. Anak muda
di daerah ini sangat mobile jika urusan mencari ilmu.
Jika kalangan menengah ini diisi anak muda kritis maka masa
depan Madura akan bis abergerak lincah. Pembangunan akan semakin
merepersestasikan kepentingan public dan mekanisme check and balances
akan berjalan dengan baik. Minimal dengan revitalisasi kelas itu maka
kekuatan dominan elit oligarkhi akan semakin tereduksi seiring dengan
menguatnya kelas menengah kritis di Madura.
Humas memiliki posisi stretegis untuk menapak situasi tersebut.
Melalui berbagai program, humas bisa melakukan aksi yang dapat
mendorong open mindset dan keterbukaan informasi khususnya
menyangkut kepentingan public dan berkomunikasi dengan baik dengan
berbagai kalangan. Madura, sebagaimana digambarkan dalam berbagai
buku adalah daerah yang khas dan unik. Ia memiliki beragam potensi
yang belum banyak dieksporasi. Secara kultural daerajh ini sejak zaman
kolonial membawa beban yang berat terkait dengan loyalitas elit terhadap
publiknya. Selama ini orientasi elit kekuasaan, khusunya pemerintahan
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 103
masih menjadi tuan dan bukan menjadi pelayan. Masih kental para elit
menjadikan dirinya sebagai tuan atas masyarakatnya. Transformasi
goodgovernance juga terus digalakkan dan masih memperlihatkan gradasi
yang berbeda antar daerah di wilayah Madura. Wilayah timur terlihat
lebih responsive dalam mengadopsi prinsip keterbukaan dan good
governance sementara diwaliayah barat justru menujukkan kebalikannya.
Peran humas dilembaga lembaga pemerintahan juga belum
menujukkan performance yang menggembirakan. Disisi lain berbagai
prinsip adiluhung yang menjadi basis nilai local juga sering diabaikan dalam
pelaksanaan bidang kehumasan. Disana sini masih kita lihat penangganan
yang kurang komprehensif dan membumi dalam bidang kehumasan.
Sikap dan response yang dikembangkan oleh aparat kehumasan sering
kontraproduktive terhadap nilai nilai baru dalam bidng kehumasan.
Catatan yang mengemuka adalah beragam problem kekinian yang
terjadi di Madura hingga membuat citra kawasan ninik berada pada
titik negative. Berbagai peristiwa kriminal dan masih menjadi pekerjaan
rumah yang belum dapat ditanggani secara komprehensif. Era media
baru juga belum direspons secara positif oleh elit kekuasaan. Mereka
cenderung nyaman dan memelihara hegemoni untuk keuntungan dan
mengamankan posisi mereka. Praktik praktik kerja sama antar elit untuk
sekdar melanggengkan kuasa juga menjadi problematik dalam kontes
pemilu di Madura.
Perubahan masyarakat Madura jelas membutuhkan waktu dan
perjuangan. Perubahan dalam konteks ini adalah perubahan positif
dengan bertumpu kepada kemapuan SDM dan nilai nilai local masyarakat
dan selaras dengan pertumbuhan dunia dan masyarakat luar. Dorongan
untuk menjadikan Madura lahir kembali sebagai kawasan baru sungguh
menarik untuk disimak. Terbersit keinginan dan harapan yang kuat agar
Madura bisa menjadi surga bagi para warganya. Terekam dengan jelas
keinginan kuat publik untuk melihat kawasan ini berkembang layaknya
daerah lain yang mengalami kemajuan pesat.
Problem itu bukan untuk diratapi tetapi perlu dicarikan solusi
dan jalan keluar. Masalah mulai dari kultur, sumber daya manusia,
regulasi, daya kritis, kelas menengah, profesionalisme badan publik dan
pemerintahan adalah masalah yang terpampang didepan kita. Secara
104 Komunikasi Publik: Tantangan di Madura
M
engamati kontestasi di Madura sungguh
menarik. Sebagai daerah yang relative
tengah mengalami transisi, proses perubahan
berlangsung dalam situasi yang kadang sulit dipahami
dan tidak linier. Beragam peristiwa kadang sulit diduga
dan dipahami secara komprehensif. Dinamika masyarakat
khususnya actor actor strategis juga menunjukkan pola
yang tidak biasa dan kadang unik yang berbeda dengan
yang terjadi didaerah lain hingga sulit diprediksi.
Sebagai bagian dari proses demokrasi, keterbukaan
pemikiran masih belum berlangsung demokratis sebagai
bagian dari proses transisi masyarakat menuju open
107
108 Konteks Kerja PR di Madura Diantara Media Utama, Media Baru, dan ...
society. Masih banyak kendala baik itu structural maupun kultural hingga
membuat modernisasi wilayah ini relative terhambat.
Problem utama perkembangan media di Madura adalah konsolidasi
kelas menengah, minimnya akses dan partisipasi warga di arus bawah
(grass roots). Patut juga diketahui bahwa keterbukaan informasi dan media
di tingkat lokal juga menghadapi beragam problem baik aspek kultural,
politis, maupun struktural hingga membuat masyarakat kerap hanya
sekadar menjadi obyek media. Perbedaan (Gap) yang tinggi antar kelas
juga membuat suara arus bawah kerap tidak terekam oleh media arus
utama dan media lebih banyak menjadi aparatus birokrasi dan kelompok
elit lokal yang berkuasa. Suara arus bawah menjadi samar samar (absurd)
dan terhegemoni kelompok elit yang terus melanggengkan kuasa dan
legitimasi.
Di tengah potret kuasa elit lokal, suara arus bawah kerap nyaris
tak terdengar, hanya riak kecil yang dititipkan kepada kelas menengah
mahasiswa suara suara itu dapat didengarkan agak jelas. Media massa
tiarap dan tunduk kepada kehendal pasar, kepada siapa yang berani
membayar dan kepada siapa yang punya akses kuasa ekonomi politik.
Dalam situasi seperti itu, Madura membutuhkan dukungan sehingga
dapat membuka diri terhadap berbagai perkembangan zaman.
Harapan itu tertumpu pada akses informasi melalui media baru.
Media baru berbasis media social harus fungsional untuk dapat dijadikan
sebagai media penggerak arus bawah Madura gaar semakin memahami
keberadaannya sebagai warga yang memiliki hak sekaligus kewajiban.
Mereka harus didorong agar dapat memainkan peran yang lebih luas
melalui bantuan komunikasi media social sehingga dapat menjadi sebagai
ruang publik yang fungsional bagi pemberdayaan masyarakat kelas
bawah sehingga berbagai isu yang menyangkut hajat hidup masyarakat
kelas bawah tetap mampu tampil dan bisa masuk di media arus utama.
Media social itu diharapkan dapat menjadi ruang publik (publik sphere)
demokratis yang menumbuhkan kesadaran mandiri yang memungkinkan
mereka berinisitif, tumbuh atas kemampuan yang dimiliki.
Kendati hingga saat ini masyarakat, khususnya Madura belum benar
benar bisa merayakan ruang kebebasan secara hakiki, tetapi riak-riak suara
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 109
arus bawah melalui media baru menjadi harapan akan bangkitnya aspirasi
masyarakat kelas bawah. Kendati harus diakui, hingga saat ini sebagian
besar masyarakat pedesaan masih berada dalam situasi yang terkekang
oleh elit lokal hingga membuat redupnya inisiatif untuk berpartisipasi
dalam diskursus dan agenda di media lokal. Pada tahap awal, langkah
membuka akses informasi melalui media komunitas dan jurnalisme
warga adalah harapan bahwa masyarakat lokal dapat menjadi subyek bagi
pembangunan termasuk didalamnya adalah kepemilikan media warga.
Media massa bagi warga Madura tidak sekadar persoalan kepemilikan,
tetapi sebagai bagian dari aktualisasi dan eksistensi warga, sekaligus
modal sosial dan modal simbolik yang akan menumbuhkan harapan dan
keyakinan warga Madura untuk berdiri kukuh di atas prakarsa, inisiatif,
dan kemampuan mereka sendiri dalam mengaktualisasikan beragam
kemampuan dan mengkomunikasikan gagasan membangun masyarakat
lokal. Mendorong tumbuhnya media berbasis warga dan komunitas
diharapkan bisa menjadi sarana untuk berkomunikasi dan membuka
ruang publik yang bisa menjadi taman indah bagi munculnya beragam
program pengembangan keswadayaan warga.
amat tergantung pada para tokoh agama dan pemimpin lokal. Apalagi
masyarakat Madura sebagian besar adalah nahdliyin menganut ahli
sunnah dalam jamaah Nahdlatul Ulama sehingga tawadhu dan taat
kepada pemimpin (kiai) itu dilakukan tanpa reserve. Titah kiai lebih taati
daripada pada pemimpin formal. “Mon tak norok perintane kiai cangkolang”,
kalau tidak ikut perintah kiai dianggap lancang, masih dipegang teguh
sebagian masyarakat, khususnya kelas bawah.
Masyarakat Madura juga memiliki ikatan persaudaraan yang
kuat. Solidaritas, empati, kesetiakawanan, religiusitas, pekerja keras,
keuletan, ketangguhan adalah etos Madura. Bahkan soal solidaritas
warga Madura sangat kental baik di Madura maupun perantauan yang
menjadi basis pengikat social mereka. Solidaritas ini membuat jejaring
masyarakat Madura diberbagai tempat selalu eksis dan berkembang.
Madura, sebagaimana etnis yang lain di Indonesia adalah masyarakat
relegius yang memegang budaya islam tradisional yang kental. Hampir
sama dengan kelompok masyarakat muslim tradisional yang lain di
Nusantara, konstruksi budaya lebih banyak dikembangkan melalui nilai
nilai islam dengan basis kepatuhan kepada orang tua, kiai dan guru serta
penghargaan terhadap adat dan budaya local. Kekerabatan ini sungguh
khas dan dalam konteks tertentu kepatuhan itu bisa menjadi perekat dan
resolusi konflik yang efektif.
Sebagai opinian leader kiai memegang peranan kuat dalam politik.
Tidak heran, kiai menjadi penentu keberhasilan seseorang untuk bisa
dicalonkan dan memenangkan kontestasi politik. Kiai juga menjadi
rujukan dan tempat bertanya bagi masyarakat untuk menentukan
dukungan politik. Seiring dengan meningkatnya pendidikan formal
di madura, struktur masyarakat mulai berubah. Kalangan terpelajar,
khususnya mahasiswa mulai berani berhadapan dengan elit dan turut
menyuarakan aspirasi masyarakat kelas bawah untuk menuntut berbagai
kebijakan pemerintah yang terkait dengan kepentingan masyarakat.
Disaping itu, mereka juga mulai kritis ke bawah. Mereka juga menjadi
barisan terdepan yang berani mengkritisi adat dan tradisi yang berlaku di
masyarakat. Kalangan mahasiswa mulai kritis terhadap adat perjodohan
dan pertunangan dini yang berlaku dihampir sebagian desa rural-periferi.
Kondisi ini berlangsung hingga kini, sehingga keberadaan perguruan
112 Konteks Kerja PR di Madura Diantara Media Utama, Media Baru, dan ...
pasrah. Selama ini politik di Madura banyak dimobilisasi oleh elit. Mereka
merasa tidak akan ada perubahan signifikan politik di Madura. Paling
paling orangnya ya itu itu saja yg nyalon, begitu mereka skeptis terhadap
kontes pilkada di Madura.
Masyarakat Madura sebenarnya relatif kritis, juga sama dengan
daerah lain, mereka pada dasarnya menginginkan perubahan dan
dinamisasi politik, tetapi struktur oligarkhi dan dinasti politik Madura
masih terlalu kuat. Sementara kalangan menengah Madura juga belum
solid untuk menjadi penyeimbang,
Harapan untuk memodernisasi politik di Madura itu ada pada kelas
menengah muda Madura. Mereka sejatinya kelompok kritis yang bisa
menjadi motor dalam perubahan struktur politik Madura yang relatif
tertutup. Kaum muda Madura yang berbasis pondok pesantren memiliki
potensi untuk menjadi kekuatan penyeimbang baru dalam politik di
Madura. Mereka bisa didorong untuk menjadi pemilih yang kritis,
independen, dan maju. Saya berharap dengan semakin meluasnya akses
internet dan penggunaan media sosial, kelompok pemilih muda Madura
yang kritis tersebut akan berkonsolidasi dan turut memodernisasi politik
di Madura. Dengan cara mendorong kelompok muda kritis ini politik yg
tertutup itu bisa dibuka dan lebih transparan berbasis partisipasi alami
aspirasi publik. Kendati jumlah mereka tidak lebih dari 20%, peran mereka
tetap stategis sebagai motor perubahan politik di Madura.
Politik di Madura memang khas. Tingkat dependensi pemilih
terhadap tokoh agama, tokoh masy, dan elit pemerintahan relatif tinggi.
Kelompok kritis selama ini hanya ada dibeberapa wilayah perkotaan
berbasis lembaga swadaya masyarakat. Namun, jumlahnya sangat kecil.
Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan penggunaan media
sosial, saya memiliki harapan agar kelompok muda kritis di Madura ini
akan berkonsolidasi dan turut menentukan jalannya kontestasi politik
di Madura. Tantangan memodernisasi politik di madura memang berat
karena kuatnya elit lokal, tetapi dengan mendorong pemilih muda kritis,
paling tidak akan bisa mewarnai jalannya kontestasi itu lebih terbuka dan
transparan.
Sebenarnya jumlah kelompok kritis Madura itu sudah banyak,
tersebar dan potensial, tetapi keberadaan mereka diluar pulau Madura
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 115
dan tidak berada ditengah tengah masy pemilih di Madura, itu juga
problematik. Selain itu kelompok menengah kritis ang ada di Madura
juga banyak yang tersedot menjadi supported agent para elit di Madura
hingga membuat kalangan menengah di Madura tidak segera terbentuk
dan mengkonsolidasi diri. Pemilukada serentak ke depan sekaligus akan
menjadi tolok ukur bagaimana pemilih muda di Madura bisa memainkan
perannya.
REFERENSI
Surokim (2015), Madura: Masyarakat, Media, Budaya dan Politik, Bangkalan:
Puskakom Publik UTM dan Prodi Komunikasi UTM
Surokim (2016), Media Arus Bawah di madura: Kontestasi dan dinamika,
Bangkalan: Puskakom Publik UTM dan Prodi Komunikasi UTM
Surokim (2017), Internet, Media Online, dan Perubahan Sosial di Madura,
Bangkalan: Puskakom Publik UTM dan Prodi Komunikasi UTM
116 Konteks Kerja PR di Madura Diantara Media Utama, Media Baru, dan ...
8
Mendorong
Demokratisasi Media
Lokal Melalui Partisipasi
Jurnalisme Warga
E
ra keterbukaan informasi telah membawa
perubahan signifikan bagi perkembangan
demokrasi, khususnya media massa. Perubahan
media massa yang lebih egaliter turut mendorong
keterbukaan di masyarakat sehingga meningkatkan
kesadaran publik untuk terlibat aktif dalam produksi isi
media massa. Publik kini tidak lagi mau sekadar menjadi
konsumen, tetapi sekaligus menjadi produsen dalam
mengisi ruang media. Konsep prosumer media menjadi
semakin berkembang dalam pengelolaan media massa saat
ini.
Seiring dengan itu konsumen media semakin dihargai
dengan posisi yang lebih setara. Media massa kemudian
membuka ruang interaktif dengan memberi peluang
kepada publik untuk turut berbagi informasi yang dimiliki.
Saat ini tidak saja media massa cetak, tetapi juga media
117
118 Mendorong Demokratisasi Media Lokal Melalui Partisipasi Jurnalisme Warga
nurani dan kejujuran yang lebih dekat dekat jaminan memelihara ruang
publik
Kini media massa telah berubah menjadi multi arah dan multi
dimensi. Khalayak terlibat dalam diskusi-interaktif, tanya-jawab,
memberi-menerima (take and give) dan seterusnya. Media massa menjadi
ruang pertemuan berbagai gagasan ide dan upaya saling melengkapi
dan koreksi. Media berkembang menjadi ruang yang lebih jujur karena
partisipasi publik untuk memberi kelengkapan dan koreksi jika tidak valid.
Media berkembang menjadi sarana penentu keberhasilan pembangunan
masyarakat.
Sejarah menurut Zaenal Arifin (2013) mencatat bahwa peran informasi,
dalam bentuk yang sesederhana apapun, menjadi penentu keberhasilan
manusia. Keberhasilan pertanian pada masyarakat tradisional di zaman
prasejarah juga ditentukan oleh ketersediaan informasi yang umumnya
didapatkan dari tanda-tanda alam seperti bintang, arah angin, bunga
tumbuhan tertentu hingga suara dan gerak khusus binatang sekitar.
Dengan demikian menurut Zainal setiap manusia harus memiliki akses
terhadap sumber-sumber informasi. Bagaimanapuin kualitas hidup amat
ditentukan oleh kualitas informasi.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa kualitas informasi merujuk kepada
akurasi dan ketepatan waktu diperolehnya. Informasi yang tidak valid,
tidak benar, bahkan menyesatkan, akan berdampak pada kesalahan
pengambilan keputusan. Sebaliknya, dengan didukung informasi dan data
yang benar, akurat, dan tersedia tepat waktu, maka kehidupan masyarakat
akan meningkat.
Setiap orang mempunyai kebutuhan dan ketertarikan yang berbeda
terhadap informasi. Informasi sudah seharusnya dijaga obyektivitasnya
agar tidak menyesatkan. Penyediaan dan sirkulasi informasi yang steril
dari kepentingan pihak-pihak tertentu, benar, jujur dan faktual, tidak
tendensius serta tidak bersifat provokatif-negatif, adalah hal yang mutlak.
Untuk memenuhi kebutuhan informasi yang sesuai dengan kriteria
ini, Zainal Arifin (2012) memandang perlunya kejujuran dari semua
pihak, terutama sumber-sumber dan pelaku jurnalisme. Agar kondisi
ini tercapai, seluruh komponen masyarakat perlu diberdayakan sebagai
subyek informasi; penyedia informasi, pengolah dan pengguna informasi,
120 Mendorong Demokratisasi Media Lokal Melalui Partisipasi Jurnalisme Warga
etik sendiri. Kode etik tersebut dibuat dan disepakati bersama untuk
menciptakan keteraturan, produktivitas kerja (kinerja), tak bertentangan
dengan norma hukum, agama dan etika, sehingga mampu menghasilkan
karya kreatif yang monumental.
Jika masyarakat mampu dan meiliki bekal jurnalistik yang bagus maka
upaya untuk menumbuhkan media warga tidak lagi menjadi pekerjaan
yang sulit. Media warga dapat dikembangkan sebagai bagian dari
benteng pertahanan budaya dan masyarakat lokal. Masyarakat khususnya
generasi muda harus didorong untuk menjadi pelopor dan mampu
menjadi pendobrak kebuntuhan ide ide baru pembangunan masyarakat
lokal. Ke depan mereka terus didorong untuk menjadi intelektual organik
yang mampu mengintegrasikan berbagi pengetahuan untuk melakukan
perubahan dalam komunitasnya dengan memperluas kesadaran kritis
yang mereka miliki. (Maryani, 2011) Melalui media mereka akan menjadi
subyek media. Mereka mampu melakukan negoisasi antara nilai nilai
budaya dan kebijakan yang dibuat.
Pendirian media warga, khususunya media radio merujuk pada
pengalaman di Bolivia yaitu pendirian radio komunitas Bolivia Tin Miner’s
Station sebagaimana dipaparkan Maryani (2015:17) dalam (Downing,
2004) terdapat tujuh fase penting sehingga media komunitas seperti
radio dapat menjadi bagian dalam proses sosial. Fase satu, pendiriannya
haruslah atas inisiatif masyarakat dan program pertama adalah musik,
musik, dan musik. Fase kedua, masyarakat mulai mendatangi stasiun radio
untuk meminta lagu kegemaran dan mengirimkannya kepada teman dan
keluarganya. Faseketiga, stasiun mulai mengirimkan pesan-pesan singkat
agar pendengar lebih tahu tentang kejadian-kejadian yang terjadi didaerah
mereka. Fase keempat, radio mulai berperan dalam pengorganisasian
dan pemimpin-pemimpin komunitas mulai menggunakan radio untuk
memajukan komunitasnya. Fase kelima, mengirim reporter untuk
mewancara anggota-anggota komunitas agar mengekspresikan pendapat
mereka tentang isu sehari-hari atau meliput pertemuan-pertemuan
dikomunitas dan kemudian mengudarakan melalui station microphones.
Fase keenam, secara alamiah pengaruh stasiun meluas baik dari jangkauan
siaran/signal (karena dapat membeli alat atas donasi komunitas) maupun
bergabungnya aktor-aktor baru ke dalam programming process. Fase
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 123
125
126 Penguatan Komunikasi Sosial untuk Satgas Gugus Covid19 di Wilayah ...
komunikasi. Informasi saat ini cenderung dicerna tanpa ada filter untuk
memilih dan memilah informasi yang sehat (bermanfaat) dan informasi
sampah (hoax) yang potensial bisa menyesatkan dan mengadu domba.
Bagaimanapun informasi sehat itu akan memberi manfaat, pencerahan,
wawasan, pengetahuan dan berguna bagi kehidupan lahir batin. Artinya
seseorang mendapat informasi yang sehat dapat memberi asupan gizi bagi
tumbuh kembang fisik, psikis, sosial, moral dan mental. (Rumani, 2018)
Informasi sehat tambah Rumani (2018) bisa menumbuhkan rasa
nyaman, tenang, bahagia, syukur, toleran, saling menghargai dan
menghormati, hidup rukun, damai dalam keberagaman dan perbedaan,
sehingga dapat menumbuhkan rasa persaudaraan, persatuan dan kesatuan
yang erat, tidak bercerai berai dalam permusuhan dan perselisihan paham.
Sebaliknya informasi hoax isinya membingungkan, memutarbalikkan fakta
dan data, tidak bisa dipertanggungjawabkan, bertentangan denga norma
susila, agama, adat, dan hukum, berpotensi menimbulkan permasalahan
dan perbedaan persepsi, yang cenderung memutuskan persaudaraan.
Guna memenuhi kebutuhan informasi yang sesuai dengan kriteria
ini, Arifin (2012) memandang perlunya partisipasi semua pihak
agar intersubjektiviti informasi dan berita kian terjaga, dapat saling
mengkontrol dan bisa lebih faktual, jujur dan penuh tanggungjawab,
terutama sumber-sumber dan pelaku penyedia dan produsen informasi
sosial. Agar kondisi ini tercapai maka seluruh komponen masyarakat perlu
diberdayakan sebagai subyek informasi, penyedia informasi, pengolah dan
pengguna informasi yang bertanggungjawab. Sesungguhnya memberi
informasi sehat adalah kewajiban semua pihak baik pemimpin, pejabat
publik, tokoh masyarakat, ulama berbagai komunitas profesi, lembaga
pemerintah maupun swasta. Informasi sehat adalah hak azasi bagi
setiap orang, yang berfungsi sebagai alat mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, menambah wawasan dan pengetahuan sebagai
bekal dalam kompetisi kehidupannya. (Rumani, 2018) Dalam pendemi
ini tentu saja dibutuhkan asupan informasi sehat yang bercirikan simple,
terang, lugas, tegas, dan konsisten.
Aparatur desa yang menjadi bagian tidak terpisahkan dalam gugus
covid19 dilevel paling bawah memiliki kewajiban untuk bisa memastikan
agar semua prosedur antisipasi dan penangganan pendemi ini sesuai
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 129
maka seringkali terjadi adu mulut yang bersifat pribadi. Diskusi sehat
yang hendak dibangun di media sosial seringkali hancur karena para
peserta diskusi sering tergoda untuk melakukan kekeliruan ini.
Guna membangun iklim dialog publik yang sehat di media sosial,
sejalan dengan pendapat Prasodjo (2020) maka diperlukan proses
pembelajaran tersendiri dan kesadaran bersama. Komposisi peserta
dialog yang terdiri dari berbagai latar belakang tingkat pendidikan,
pemahaman agama, afiliasi politik, dan kedewasaan merupakan tantangan
tersendiri bila budaya berargumen (the argument culture) yang bersifat
rasional hendak dibangun. Namun, dengan datangnya iklim kebebasan
berpendapat (freedom of speech) di era reformasi ini mudah-mudahan akan
mempercepat proses pembelajaran ini.
Prasodjo (2020) menilai bahwa antusiasme berbicara dan memberi
komentar, baik yang bersifat reaktif ataupun hasil perenungan yang dalam,
harusnya segera diikuti hasrat dan tanggung-jawab untuk membangun
iklim komunikasi sehat. Tanggungjawab komunikasi menjadi hal penting
mengingat tanpa itu, kebebasan yang kini kita miliki, baik karena adanya
iklim demokrasi ataupun teknologi komunikasi yang tersedia, hanya akan
menjadikan kita terpecah belah karena kita telah saling menyakiti. Agar
kita tak terjebak pada konflik dan saling memusuhi maka komunikasi
di medsos harus diperbaiki dalam tipe dialog komunikasi yang positif
untuk saling menguatkan dan mencapai kesepahaman serta melalui
memperbanyak konteks posiitif.
yang diinginkan publik (public’s want). Saat ini masyarakat sebenarnya juga
sedang mencari alternatif informasi dan berita di luar media arus utama
(main stream) maka jika jurnalisme aparatur dapat menangkap kebutuhan
itu bisa menjadi alternatif untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumen
media di era pendemi covid19 (Maryani, 2011). Kebeberadaan jurnalisme
aparatur dan publik diperlukan untuk memberikan keseimbangan dalam
memperoleh informasi yang sehat, netral, dan tidak komersial. Situasi ini
akan memberi manfaat kepada kepercayaan warga terhadap aparat yang
biasanya dianggap lamban, malas, semaunya, dan tidak bertanggung
jawab.***
Kompetensi komunikasi sosial perlu dimiliki oleh aparatur desa
yang tergabung dalam gugus covid19 yang berada di level garda depan
dan sebagai satuan paling bawah yang langsung berhubungan dengan
masyarakat. Mereka punya peran strategis menjaga kualitas dan arus
informasi agar berlangsung sehat dan positif. Hal ini akan berkontribusi
dalam membuka ruang publik yang sehat.
Kemampuan teknis komunikasi sosial akan bisa menjernihkan
situasi kepanikan, kegamangan, ketidaksiapsiagaan menjadi lebih
tenang dan kondusif. Melalui pemahaman model komunikasi dialog dan
mengembangkan argumen alami tanpa kepalsuan akan memberi jaminan
pengembangan komunikasi rasional.
Jurnalisme aparatur dan reportase aparatur bisa menjamin isi dan arus
komunikasi sosial bisa lebih berimbang, beragam, dan saling mengkontrol.
Kompetensi ini akan dapat menjaga alur informasi dan komunikasi lebih
cepat up to date sesuai prinsip simple, terang, lugas, tegas, konsisten dan
dapat dipertanggungjawabkan
Tentu saja dalam mengembangkan komunikasi sosial dan publik,
aparatur harus juga harus memahami konteks juga disesuaikan dengan
potensi dan kearifan lokal sehingga selaras dengan potesi dan kebutuhan
warga. Alur komunikasi akan kian positif dan menyejukkan tidak saja akan
mengurangi gesekan dan konflik, tetapi juga menjadi modal sosial dan
perekat solidaritas masyarakat guna mendorong altruism dan filantropi
serta solidaritas sosial yang dibutuhkan dalam pendemi covid19.
Kompetensi komunikasi teknis dalam reportase berita sudah
saatnya dikenalan dan kembangkan di aparatur desa agar bisa selektif
136 Penguatan Komunikasi Sosial untuk Satgas Gugus Covid19 di Wilayah ...
Catatan Akhir *** Naskah diambil dari tulisan penulis yang terbit dalam buku Aspikom
Jatim dengan tema Komunikasi Publik dan Pandemi Covid-19 dengan penambahan dan
penyesuaian untuk chapter buku oleh penulis
REFERENSI
Arifin, Zainal Emka (2012) Jurnalisme Warga, makalah tidak dipublikasikan
disampaikan dalam acara pelatihan jurnalisme warga untuk para
pendamping lapangan program pengembangan komunikasi
publik, Surabaya: Pusakkom Publik dan USAID.
Maryani, Eni. (2011) Media dan Perubahan Sosial. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Rumani, Sri, (2018) Informasi Sehat Versut Informasi Hoaxs, artikel dalam
kompasiana diakses tgl 26 April 2020 https://www.kompasiana.
com/srirumani/5ac5c04df133444aee090b42/informasi-sehat-
versus-informasi-hoax?page=all
Surokim, (2020) Meda Komunitas Menguatkan Suara Arus Bawah Madura
Yogyakarta: Elamatera
Prasodjo, Imam B (2020), Mari Kita Bercermin Diri Pada Cara Kita
Berdialog di Media Sosial Ini, artikel diakses tanggal 26
April 2020 dalam https://m.facebook.com/story.php?story_
fbid=1430424810492005&id=100005734987888?sfnsn=
wiwspwa&extid= bHILGA86V6Xr9agj
10
Teknologi Komunikasi,
Gerakan Arus Bawah,
dan Perubahan Sosial
Madura
P
erkembangan teknologi informasi dan pertumbuhan
akses internet membawa dampak perubahan yang
luas dalam kehidupan masyarakat. Penggunaan
media sosial yang masif dan berlangsung cepat serta
mampu menjangkau ke pelosok desa (rural area) melalui
handphone seluler membuat akses informasi berlangsung
terbuka dan cepat melewati batas batas dan sekat sekat
komunikasi tradisional yang selama ini tertutup hingga
membuat informasi semakin meluber tak terbatas.
Masyarakat yang selama ini pasif dan hanya menjadi
konsumen, kini mulai menjadi pelaku dan terlibat aktif
dalam menyebarkan dan juga memroduksi informasi yang
diunggah melalui media sosial. Trend perkembangan ini
cukup positif didalam masyarakat rural area mengingat
dengan menjadi pelaku aktif masyarakat akan mendorong
partisipasi dalam diskusi di ruang pubik yang menyangkut
137
138 Teknologi Komunikasi, Gerakan Arus Bawah, dan Perubahan Sosial Madura
kepentingan bersama. Saat ini kita telah dan benar benar memasuki
era dimana masyarakat tidak semata-mata menjadi konsumen media,
tetapi juga sekaligus menjadi produsen media. Era itu disebut para ahli
komunikasi sebagai era prosumer.
Perkembangan dan trend penggunaan media itu kita harapkan
berdampak positif dan bisa kita arahkan untuk membangun peradaban
masyarakat yang lebih baik. Internet dan media sosial diharapkan dapat
menjadi pintu keterbukaan informasi publik yang selama ini dikuasai dan
hanya menjadi milik elit tertentu sehingga bisa dideseminasi dan mengalir
ke berbagai lapisan masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah. Hal
ini penting untuk mengait dan mendorong partisipasi masyarakat kelas
bawah sehingga mereka akan memiliki kesadaran, bisa tumbuh dan ikut
serta memengaruhi isu isu publik yang seharusnya dikerjakan pemerintah
dan juga masyarakat sebagai bagian dari tugas membangun dan menuju
kesejahteraan dan kebaikan bersama. Publik akan memiliki kecukupan
informasi dan tumbuh partisipasi untuk ikut serta terlibat dalam diskursus
masalah masalah diruang publik yang menyangkut kepentingan dan hajat
hidup bersama.
Madura, wilayah yang berada di sisi utara Provinsi Jawa Timur ini
memang khas dan unik. Sebagai daerah yang tengah berkembang, wilayah
ini memiliki ciri khas sosial, budaya, dan politik yang khas, berbeda
dengan daerah lain. Masyarakat di wilayah ini dikenal sangat relegius dan
memegang tradisi dan kultur kepatuhan yang khas, khususnya kepada
orang tua, guru, tokoh agama, dan pemerintah. Kepatuhan kultural
tradisional ini bisa dipakai untuk menjelaskan mengapa selama ini suara
arus bawah di Madura diam, relatif stagnan dan kurang bergeliat. Dalam
diam, kalangan bawah Madura memasrahkan nasih dan kehidupan mereka
secara total kepada elit dan tokoh masyarakat. Mereka memiliki anggapan
bahwa elit akan selalu berbuat baik dan positif terhadap kehidupan mereka.
Masyarakat Madura juga memiliki bekal modal sosial yakni kepercayaan
(trust) yang positif terhadap elit pemerintahan sekaligus memegang
teguh modal simbolik berupa kepatuhan kepada para kiai yang menjadi
anutan, penuntun sekaligus penjaga tradisi dalam kehidupan beragama
dan bermasyarakat di Madura.
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 139
daripada pada pemimpin formal. “Mon tak norok perintane kiai cangkolang”,
kalau tidak ikut perintah kiai dianggap lancang, masih dipegang teguh
sebagian masyarakat , khususnya kelas bawah. (Surokim, 2015) Fenomena
ini membuat akses terhadap informasi kadang masih harus dikonfirmasi
kepada para kiai dan tokoh masyarakat. Perubahan melalui internet ini
masih membutuhkan waktu adaptasi sehingga ruang public masyarakat
Madura bias bergerak menuju independen.
Perubahan social di Madura kendati pelan, tetapi akan akan menuju
situasi yang lebih baik sebagai adaptasi perkembangan teknologi informasi.
Perubahan ini dimotori oleh kalangan muda, kelas menengah. Kelas ini
jumlahnya masih minim dan belum solid sehingga belum bisa memainkan
peran strategis dalam penguatan peran politik. Kelas menengah Madura
belum mampu mengisi ruang media mainstream dan menjadi kekuatan
penyeimbang dan kontrol yang efektif terhadap kelompok elit penguasa
di Madura. Kelas menengah yang ada saat ini masih perlu didorong untuk
menjadi independen dan tidak ambivalen. Masih diperlukan waktu untuk
mendorong kelas menengah Madura agar mampu membuat isu isu kelas
menengah dan bawah masuk dalam agenda media mainstream di Madura.
(Surokim, 2016)
Seiring dengan meningkatkan peran media social maka kelas
menengah Madura harus bisa memanfaatkan media social sebaga ruang
alternatif. Terbukti media mainstream konvensional gagal menyediakan
ruang publik, sehingga berbagai kepentingan publik tumpah ruah ke media
sosial. Akhirnya mendorong tumbuhnya reportase warga dan menjadi
cikal bakal jurnalisme warga. Media sosial bisa berpotensi menjadi
media watch sebagai pengawas media mainstream. Public juga harus
memanfaatkan informasi dalam ruang media sosial untuk ditindaklanjuti
dalam aksi yang riil yang berguna bagi perbaikan kehidupan masyarakat.
REFERENSI
Nugroho, Yanuar, dkk (2012) Melampaui Aktivitas Click? Media Baru
dan Proses Politik dalam Indonesia Kontemporer, Friedrich Ebert
Stiftung Kantor Perwakilan Indonesia: Jakarta
Nugroho, Yanuar., dkk (2012) Memetakan Lansekap Industri media
Kontemporer di Indonesia (Edisi bahasa Indonesia). Laporan
148 Teknologi Komunikasi, Gerakan Arus Bawah, dan Perubahan Sosial Madura
M
asa depan media baru (new media) sudah terlihat
jelas saat ini dan tidak lagi samar samar
didepan kita. Kini kita tengah memasuki
masa dimana informasi tersambung luas melalui internet
dan terhubung secara online. Tidak terasa kita sudah
terlibat serta dalam era sebagai keluarga besar netizen.
Era konvergensi dan digitalisasi sudah berada ditengah
tengah kita. Perkembangan itu telah membuka lanskap
baru dengan membuka ruang publik yang sebelumnya
tidak diakomodasi dalam media konvensional. Disisi lain
proses adaptasi industri ternyata berjalan lebih cepat dari
daya kritis publik. Akhirnya perkembangan media baru
itu juga dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki surplus
informasi dan menjadikannya sebagai komoditas layaknya
industri.
149
150 Dari Aktivitas Online ke Aksi Nyata: Menguatkan Peradaban dan ...
REFERENSI
Nugroho, Yanuar, dkk (2012) Melampaui Aktivitas Click? Media Baru
dan Proses Politik dalam Indonesia Kontemporer, Friedrich Ebert
Stiftung Kantor Perwakilan Indonesia: Jakarta
Nugroho, Yanuar., dkk (2012) Memetakan Lansekap Industri media
Kontemporer di Indonesia (Edisi bahasa Indonesia). Laporan
Bermedai, Memberdayakan masyarakat: Memahami kebijakan
dan tata kelola media di Indonesia melalui Kacamata Hak Warga
Negara, Riset Kerja Sama Antara CIPG Dan HIVOS Kantor
Regional Asia Tenggara, Jakarta: CIPG dan HIVOS
156 Dari Aktivitas Online ke Aksi Nyata: Menguatkan Peradaban dan ...
I
nformasi di era digital kini tak lagi menjadi barang
mahal yang sulit dicari. Informasi dapat dengan mudah
diakses melalui beragam sumber kapan saja, oleh siapa
saja, dimana saja dengan mudah dan biaya murah. Bahkan
melalui platform media online informasi cenderung
melimpah dan meluber dimana mana. Apalagi setiap orang
kini bisa menjadi konsumen sekaligus menjadi produsen
informasi (prosumer).
Di era ini rata-rata masyarakat di negara berkembang
bisa mengonsumsi 700 hingga 1200 informasi setiap hari.
Jumlah dan arus informasi itu relatif besar jika dicermati
secara serius terkait kandungan dan dampak yang
ditimbulkan baik positif maupun negatif. Tidak jarang
justru dampak informasi yang negatif lebih dominan dan
hal ini bisa membahayakan perkembangan dan peradaban
masyarakat sendiri.
157
158 Hati-Hati Overdosis & Krisis Informasi
KOMUNIKASI ISLAMI
Masyarakat Madura dikenal sebagai masyarakat relegius dan memiliki
kultur islam yang kental dan kuat. Tradisi keislaman menjadi roh dalam
160 Hati-Hati Overdosis & Krisis Informasi
B
encana alam dan non alam akan senantiasa menjadi
tantangan khas masyarakat modern. Pemulihan
pascabencana juga menjadi hal menarik. Terkait
dengan hal itu penting untuk dilengkapi terkait dengan
dua hal. Pertama, bagaimana mewujudkan partisipasi
masyarakat rawan bencana untuk me-recovery diri dan
lingkungannya. Kedua, membangun sistem masyarakat
yang responsif terhadap bencana berbasis kearifan lokal.
Untuk itu, perlu ditradisikan aksi komunikasi quantum
bagi masyarakat dalam bencana.
Aksi komunikasi bencana dapat menstrukturasi
masyarakat untuk mengembangkan kepekaan, keswadayaan
dan kesiagaan bencana secara berkelanjutan dengan
kelimpahan energi. Sebagai sebuah proses yang panjang,
modal ini akan memiliki dampak yang dahsyat dalam
memelihara optimisme masyarakat dalam merehabilitasi
161
162 Mentradisikan dan Memperkuat Komunikasi Quantum Bencana dalam ...
KOMUNIKASI QUANTUM
Kemampuan untuk saling memahami warga, negara, alam akan
membawa pada percepatan komunikasi yang dahsyat yang bisa membawa
energi positif berlipat-lipat bagi negeri ini untuk bangkit kembali.
Kolaborasi komunikasi energi paling dalam akan membawa pada level
memahami (being) dan bukan sekadar melakukan (doing). Komunikasi
kuantum dibangun atas dasar kesadaran hakiki (hati bicara). Pola ini
bisa mendialogkan dan mendamaikan teknologi dan spiritualisme.
Kewaspadaan yang hakiki bisa dicapai mengingat energi komunikasi ini
akan membawa kepekaan dan cinta warga, negara kepada alam. Bahasa
energi yang bisa menghantarkan pada keihlasan, ketabahan menjauhkan
kepongahan dan kesombongan.
164 Mentradisikan dan Memperkuat Komunikasi Quantum Bencana dalam ...
Barangkali, penting bagi kita untuk belajar dari pesan para pendaki
gunung yakni jangan meninggalkan sesuatu di alam kecuali jejak tapak
kaki, jangan mengambil sesuatu kecuali gambar keindahan, dan jangan
mengumpat kecuali bertasbih atas kebesarannya. Komunikasi kuantum ini
tidak hanya bisa membawa kita melakukan interpretatif secara rasional,
tetapi juga interpretatif spiritual. Ini adalah jalan agar warga, negara, dan
alam mampu membangun hubungan simbiosis mutualism.
Masyarakat akan memeroleh pelajaran dari kebencian,
ketidakpedulian, keacuhan, menjadi imaginasi yang indah tentang
kesatuan dalam perbedaan (unity in diversity). Selanjutnya warga akan
kembali merajut mimpi indah tentang Indonesia. Percayalah, bencana
ini akan menghasilkan solidarity, ketulusan, empati, dan simpati yang
sejatinya jika kita mampu menerapkan komunikasi kuantum.
Marilah kita kembangkan komunikasi kuantum dan memilih jalan
damai dengan alam. Kita kembangkan komunikasi hakiki baik melalui
jalan rasional maupun spiritual yang tidak saling menegasikan apalagi
mempertentangkannya. Akhirnya, mari kita songsong bencana sebagai
wahana untuk memeroleh solidaritas, emphati, dan soliditas, persatuan
bathin warga dan pemimpinya, dan jalan adiluhung untuk bersahabat
dengan alam. ***
14
Tradisi dan
Budaya Lokal Madura
SEBUAH RETROPEKSI DAN PROMOSI VITRUE
ADILUHUNG MADURA
165
166 Tradisi dan Budaya Lokal Madura ...
itu menurut Wiyata (2013) orang Madura pada dasarnya tidak akan
mempermalukan orang lain selama mereka juga diperlakukan dengan
baik (ajjha nobian oreng mon aba’na ta’ enda’etobi’)
Pencarian jati diri masyarakat itu sesungguhnya tidak mudah butuh
waktu lama dan juga proses pendalaman yang tidak instant memahami
konteks dan kontennya. Kita harus bisa menelurus sejarah panjang dan
konteks sebelum mengenal bentuk kontens yang nampak dalam budaya
dan materi seseorang, khususnya manusia Madura.
PERSPEKTIF MADURA
Melihat keyakinan masyarakat Madura yang selalu menghubungkan
aktivitas duniawi dengan aktivitas ibadah ukhrowi tersebut menunjukkan
adanya keselarasan dan harmonisasi kehidupan orang Madura. Orang
Madura sebagai penganut islam tradisional yang taat senantiasa patuh
dan teguh terhadap adat istiadat masyarakat Madura yang sudah turun
temurun. Respek orang Madura terjadap orang tua, guru dan juga
pemimpin menjadikan orang Madura memiliki bekal kesetiaan dan juga
penghormatan terhadap para tetua dan yang memiliki jasa terhadap
kehidupan mereka. Sejauh ini berbagai bentuk konflik yang muncul bisa
dimediasi dan diselesaikan melalui pendekatan adat.
Prinsip Abantal Omba’, Asapo’, Angen. patotor falsafah Madura ini
sangat kental bagi masysrakat Madura untuk menunujukkan karakteristik
Masyasrakat Madura yang gigih, ulet, tidak pantang menyerah meskipun
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 169
RETROPEKSI
Budaya dan tradisi yang berkembang tentu akan berhadapan dengan
pengaruh lingkungan luar yang kuat. Pengaruh tersebut bisa positif dan
juga bisa negatif. Jika positif hal itu bisa saling menguatkan dan akan
terjadi kolaborasi dan adaptasi yang saling melengkapi. Namun, jika
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 171
negatif tentu hal itu bisa saling meniadakan. Nilai nilai luhur yang ada
dalam tradisi Masyarakat madura sebenarnya adalah bentuk adaptasi
masyarakat terhadap lingkungan dan kepercayaan kepada tuhan YME.
Seiring kemajuan sarana komunikasi dan transportasi juga
memengaruhi budaya Madura dan manusia Madura juga terus bergerak
mengikuti dinamika. Orang Madura sejak awal dilukiskan sebagai orang
yang berwatak kasar, arogan, ekstrover, keras bicara dan blak-blakan
menyuarakan pendapatanya serta tidak tahu sopan santun. Orang Madura
juga banyak di sorot dari sisi negative seperti kecepatan tersinggung,
penuh curiga, pemarah, berdarah panas, beringas dan suka berkelahi.
(Rifai, 2007: 456). Pelukisan stereotype itu yang dominan mengkahar ke
masyarakat luas. Sementara gambarang lain seperti orang pekerja keras,
toleran, ulet, berani, kepetuangan, kesetiaan, kesungguhan, kerajianan,
dan kehematan serta ceria humoris masih relative jarang terkabarkan.
Jarang juga terekspos berbagai prestasi orang Madura sehingga yang
selalu tergambar adalah orang Madura yang inferior, terbelakang dan
keras.
Bagaimana menjaga dan menguatkan budaya tersebut? Hal inilah
yang menjadi tantangan sekaligus peluang bagi masyarakat Madura
khususnya didalam menghadapi tekanan budaya luar dan mutakhir yang
amat terbuka saat ini. Masyarakat Madura harus kian terliterasi secara
budaya sehingga bisa menimbang dan memfilter bagaimana pengaruh
budaya luar yang masuk ke Madura dan menjadikan budaya budaya itu
menjadi penguat atas bangunan tradisi asli masyarakat sebagaimana
sudah bisa dipraktikkan oleh masyarakat bali yang kuat kendati mendapat
tekanan budaya dari luar. Harmonisasi menjadi modernisasi berbalut
budaya lokal terjadi amat harmonis dan selaras dilakukan di Bali dan
beberapa kawasan yang lain yang menunjukkan bahwa budaya lokal
tidak harus di gusur dan dihilangkan, tetapi justru menjadi penguat dan
pemberi ciri pembeda.
Kita berhadap ke depan budaya budaya adiluhung ini bisa lestari
melalui jalan budaya alami tanpa rekayasa dan juga paksaan dan bisa
menjawab berbagai hal termasuk liberalisasi budaya dan ekonomi yang
menjadi sumber pengerus utama budaya lokal selama ini. Budaya itu bisa
172 Tradisi dan Budaya Lokal Madura ...
M
encermati dan memahami rangkaian tulisan
yang dipaparkan penulis didepan bisa menjadi
mozaik budaya yang tengah berkembang
dalam masyarakat Madura saat ini. Ada banyak hal nilai
(virtue) yang bisa di jadikan sebagai jalan pertahanan akan
suatu peradaban dan jika hal itu bisa dipelihara dan terus
dikembangkan akan menjadi kekuatan budaya masyarakat
lokal. Berbagai nilai nilai itu menjadi kearifan lokal yang
bisa dijadikan modal budaya sekaligus best practice
dalam menghadapi perubahan lingkungan. Sungguh
mengembirakan dan seolah ada secercah cerah untuk bisa
mengembalikan khittah pengembangan ilmu pengetahuan
berdiri diatas kemandirian dan potensi lokal. Hal ini
penting untuk menumbuhkan kembali kepercayaan diri dan
mengikis mental menjadi follower dan munculnya harapan
173
174 Epilog: Perspektif Lokal Menjadi Yang Utama, Bukan Sekadar Pelengkap
dan keyakinan untuk berusaha serius menjadi creator dan innovator dalam
pengembangan ilmu pengetahuan.
Ikhtiar ini juga bisa dibaca sebagai upaya serius untuk mengenalkan
potret dan potensi local yang kemudian bisa memunculkan konsep
lokal dan kearifan Lokal dalam diskursus ilmu pengetahuan social yang
diharapkan dapat dijadikan sebagai sebagai perspektif utama untuk
mengurangi dominasi perspektif barat. Mengingat selama ini perspektif
local hanya menjadi pelengkap dan banyak ditempatkan sebagai perspektif
alternative an sich.
Analisis yang mendasarkan kepada data local ternyata bisa membuka
wacana bahwa ilmu pengetahuan local kita sesungguhnya teramat kaya dan
belum banyak yang dieksplorasi lebih jauh. Tersedia cukup banyak tema
tema dan realitas social yang bisa diekplore menjadi rangkaian mozaik
ilmu pengetahuan yang utuh yang bisa mengambarkan fenomena yang
sesungguhnya terjadi di masyarakat kita. Tak heran jika banyak ilmuwan
mengatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu laboratorium social
yang lengkap dan beragam.
Mempromosikan konsep local dalam khazanah pengetahuan saat ini
tentu bukan pekerjaan yang mudah. Banyak hal berkelindan baik secara
social politik, budaya maupun kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dibutuhkan tekad dan kerjasama semua pihak, khususnya mulai dari
tingkat local untuk terintegrasi dan bertkesinambungan mempromosikan
kajian kajian dan juga dalam distribusi publikasi ilmiah yang bisa dibaca
oleh banyak kalangan sehingga bisa mendesakkan konsep itu dalam
diskursus mondial. Diharapkan dengan upaya terpadu maka akan
diperoleh banggunan yang lebih lengkap dan komprehensif mengenai
perspektif local dalam pengembangan ilmu pengetahuan khas Jawa
Timur, Indonesia, dan juga Asia.
Selama ini harus diakui bahwa ilmu pengetahuan masih sangat
didominasi oleh perspektif barat sehingga ukuran barat yang selama
ini dijadikan sebagai ukuran utama dalam ilmu pengetahuan. Dominasi
ini telah berlangsung lama dan semakin mengukuhkan kedigdayaan
ilmu pengatahuan barat. Jika kesadaran ini sudah tumbuh maka sudah
selayaknya digugat dan dipertanyakan karena senyataanya masih butuh
banyak proses adaptasi dan elaborasi khususnya terkait dengan konteks
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 175
budaya masyarakat local. Selain itu juga terdapat perbedaan sistem alam
dan lingkungan. Hal ini membuat pengetahuan social tidak mudah untuk
berlaku universal. Ia selalu butuh proses adaptasi dan elaborasi agar cocok
dengan situasi dimana ilmu itu tengah dikembangkan.
Konsep komunikasi barat yang selalu dianggap universal berlaku
dalam berbagai konteks sudah semestinya dipertanyaakan dan juga
dikritisi. Hal ini penting disadari mengingat jika hal ini berlangsung terus
menerus akan bisa menjadi tirani dan hegemoni ilmu pengetahuan. Efek
serius adalah inferior muatan local hingga bisa menjadi persepektif utama
dalam pengembangan pengetahuan. Apalagi factor perbedaan geografis,
budaya, ideology, norma masyarakat juga penting diperhatikan dalam
keberlakuan suatu konsep (Kriantono, 2014:344). Bisa jadi teori yang
sama akan menjadi berbeda aplikasinya antar wilayah. Selain itu menurut
Kriantono (2014) juga tergantung dari filsafat ilmu yang berkembang.
Setiap masyarakat memiliki keyakinan dan juga nilai yang berbeda beda.
Otomatis ilmu pengetahuan juga tergantung atas lokus dan tempus
dimana ilmu itu tengah dikaji.
Sebagai bahan evaluasi ada beberapa hal yang selayaknya patut
untuk direnungkan kembali guna menggugah tekad akademisi Indonesia
sebagaimana dipaparkan Kriantono (2014: 345) yakni 1) ketertinggalan
pendidikan akibat praktik imperialism, 2) Sistem politik otoriter yang
membelenggu kebebasan akademis, 3) lemahnya publikasi ilmiah
dilevel internasional, 4) penguasaan teknologi komunikasi dan bahasa
internasional sebagai alat diseminasi kajian keilmuan, dan 5) dominasi
cendekiawan yang berpendidikan barat. Hal hal itu layak untuk dijadikan
sebagai faktor pendorong agar kita memiliki kesadaran untuk kembali
mengejar ketertinggalan dan melakukan upaya upaya percepatan untuk
mengejar ketertinggalan tersebut.
Perspektif tunggal jelas akan membuat totaliter ilmu pengetahuan.
Menjadikan perspektif barat sebagai satu satunya sumber kebenaran
dalam pengetahuan adalah sikap totaliter yang perlu disadari. Sudah
saatnya kita mendesakkan persepektif local tidak saja sebagai perspektif
alternatif, tetapi juga sebagai persepektif utama dalam ranah kajian
keilmuan kita. Kriantono (2014) menambahkan bahwa perspektif local
sangat diperlukan untuk kajian komunikasi karena 1) demi pembahasan
176 Epilog: Perspektif Lokal Menjadi Yang Utama, Bukan Sekadar Pelengkap
Wassalam
Kampus Telang Sore Hari
Surokim
Tentang Penulis
SUROKIM, S.Sos,
SH, M.Si., MIPR,
CIQaR adalah dosen
di Program Studi
Ilmu Komunikasi,
Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Budaya
(FISIB), Universitas
Trunojoyo Madura
(UTM). Penulis
aktif meneliti media
dan politik di Puskakom Publik dan Surabaya Survey
Center (SSC). Saat ini sebagai wakil ketua Aspikom
Korwil Jatim dan Dekan FISIB UTM dan mengajar mata
kuliah ekonomi politik media, hukum komunikasi dan
komunikasi politik. Selain itu penulis dan kelompok dosen
di puskakom juga memberi training dan konsultasi di
bidang media komunikasi publik dan komunikasi politik.
Penulis dapat dihubungi melalui email: surochiem@gmail.
com., surokim@trunojoyo.ac.id
179