Anda di halaman 1dari 202

Komunikasi

Perspektif Lokal
Membumikan Kearifan Lokal
dalam Kajian Komunikasi Masyarakat Madura
Surokim
KOMUNIKASI PERSPEKTIF LOKAL:
Membumikan Kearifan Lokal dalam Kajian Komunikasi Masyarakat Madura
Pengarang : Surokim
Desainer Cover : Candra Coret
Layouter : Atik Sustiwi

Diterbitkan oleh:

Penerbit Elmatera (Anggota IKAPI)


Jl. Waru 73 Kav 3 Sambilegi Baru Maguwoharjo Yogyakarta
Telp. 0274-4332287
Email: penerbitelmatera@yahoo.co.id

Puskakom Publik
Prodi Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya
Universitas Trunojoyo Madura

Cetakan Pertama, Oktober 2020


Ukuran buku : 15,5 x 23 cm, xxii + 180 hlm
ISBN : 978-623-223-136-8

Hak Cipta pada Penulis, dilindungi Undang-Undang.


Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah, Tuhan Yang Mahaberilmu


dan Mahamengetahui atas segala limpahan berkah ilmu
pengetahuan sehingga penulis dapat menyelesaikan buku
teks suplemen matakuliah Komunikasi Masyarakat Madura.
Buku Ilmu Komunikasi Perspektif Lokal: Membumikan
Kearifan Lokal dalam Kajian Komunikasi Masyarakat
Madura ini sebenarnya adalah bentuk ekspresi penasaran
penulis yang sudah lama terpendam terkait eksistensi dan
kontribusi ilmu komunikasi mutakhir. Penulis merasa ada
dorongan rasa ingin tahu (curiosity) yang kuat bagaimana
ilmu komunikasi memiliki peran lebih progresif terhadap
pemecahan masalah masyarakat lokal dan eksistensi
Madura. Dalam bahasa yang lebih provokatif bagaimana
ilmu komunikasi mampu merevitalisasi dirinya sehingga
eksistensinya kian diperhitungkan, terjaga, dan dirasakan
keberadaan oleh lingkungan dan masyarakat Madura.

iii
iv Komunikasi Perspektif Lokal ...

Buku ini sekali lagi dimaksudkan sebagai ikhtiar untuk promosi


kajian lokal, meng-Indonesia-kan, dan me-Madura-kan ilmu Komunikasi
dengan kekuatan perspektif lokal guna menghadirkan virtue adiluhung
masyarakat timur dalam memandang dinamika dan fenomena sosial ilmu
komunikasi khas masyarakat lokal timur sebagai perspektif pembanding.
Sejauh ini berbagai kajian masyarakat lokal, khususnya masyarakat timur
Asia masih belum mendapatkan tempat yang semestinya dalam diskursus
ilmu pengetahuan global. Perlu usaha esktra dari para akademisi Asia,
khususnya masyarakat akademisi Indonesia untuk giat mempromosikan
hasil kajiannya sehingga bisa memengaruhi diskursus dan perspektif
pengetahuan global tidak hanya sebagai perspektif alternatif, tetapi juga
menjadi perspektif mainstream yang bisa sejajar dan sederajat dengan
perspektif masyarakat Barat.
Tidak dimungkiri hingga kini hegemoni itu dirasakan masih sangat
kuat. Buku ini sebenarnya juga menjadi curahan hati dan kegelisahan
akademis penulis atas perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir
khususnya dalam bidang ilmu komunikasi yang semakin didominasi ilmu
pengetahuan berperspektif Barat. Disisi lain dibelahan kawasan Asia
Timur sebenarnya produktivitas kajian akademisnya sudah meningkat
sehingga tersedia banyak hal yang bisa berlaku general sebagai bentuk
kearifan lokal yang berlaku secara turun temurun sebagai reaksi dan
respons atas berbagai masalah dan perubahan sosial dan lingkungan.
Sejatinya kajian masyarakat lokal berkembang cukup impresif guna
mendesakkan perspektif lokal mereka sebagai pembanding dan juga
pelengkap atas perspektif barat. Sesungguhnya sudah ada secercah
cerah upaya serius untuk mendudukkan hasil ekplorasi pengetahuan
lokal kedalam diskursus ilmu pengetahuan global. Hasilnya, riset dan
perkembangan ilmu pengetahuan di Asia Timur bisa berkembang lebih
pesat dan mampu meningkatkan harkat dan kepercayaan diri mereka
sebagai sebagai sumber pengetahuan dunia. Apa yang terjadi di Jepang,
Korea Selatan, dan China sesungguhnya bis amenjadi petunjuk adanya
daya saing produktivitas kearifan lokal dalam kancah persaingan global,
khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir.
Tentu saja melawan hegemoni persepektif barat itu tidak mudah
dan gampang. Ilmu pengetahuan Barat yang mapan telah didukung
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR v

oleh infrastuktur yang memadai, politik edukasi, dan juga deseminasi


publikasi yang massif hingga membuat kebergantungan yang luar
biasa, khususnya masyarakat di belahan negara berkembang terhadap
perspektif barat. Dalam posisi seperti itu upaya terus meratapi nasib
tanpa mencoba berusaha memberi alternatif jalan keluar justru akan
membuat kita semakin tenggelam dan terpuruk. Pilihan bijak untuk
keluar dari situasi itu adalah menyalakan nyali dan tekad untuk bangkit
mengejar ketertinggalan dengan memulai berbuat memberi pembanding
terus menerus.
Ikhtiar sebagai respons memulai langkah itu penulis wujudkan dalam
bentuk buku reflektif sebagai bentuk pengenalan dan bila perlu sebagai
‘perlawanan’ sekaligus kampanye penyadaran publik akan pentingnya
promosi perspektif lokal. Pada penerbitan buku ini penulis mencoba
untuk mengenalkan konsep konsep local genuine yang kami ambil dari
kajian masyarakat Madura-Jawa Timur. Kendati masih seperti bunga
rampai yang ditulis ecara terpisah-pisah, tetapi jika dibaca tuntas akan
terlihat keutuhan ide yang menggambarkan akan kekayaan ekspolorasi
konsep lokal dalam masyarakat Madura Jawa Timur. Tentu saja penulis
berharap langkah awal ini akan dapat menjadi pemacu pada penerbitan
seri berikutnya dan mendapat tanggapan riuh dari pembaca, khususnya
akademisi dan masyarakat komunikasi di Indonesia. Kami ingin
bersama sama menjadi bagian dari golongan para pencerah pembangun
tradisi baru keilmuan komunikasi bermasis kearifan keunggulan lokal
guna menumbuhkan harapan akan kemandirian dalam membangun
pengetahuan.
Mempromosikan konsep lokal dalam khazanah pengetahuan saat ini
tentu bukan pekerjaan yang mudah. Banyak hal berkelindan baik secara
sosial politik, budaya maupun kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dibutuhkan tekad dan kerjasama semua pihak, khususnya para akademisi
mulai dari tingkat lokal untuk mengintegrasikan, mempromosikan kajian
kajian dan juga dalam distribusi publikasi ilmiah yang bisa dibaca oleh
banyak kalangan secara berkesinambungan sehingga bisa mendesakkan
konsep itu dalam diskursus mondial. Diharapkan dengan upaya terpadu
maka akan diperoleh banggunan yang lebih lengkap dan komprehensif
vi Komunikasi Perspektif Lokal ...

perspektif lokal dalam pengembangan ilmu pengetahuan khas Madura,


Jawa Timur, Indonesia, dan juga Asia.
Buku ini juga penulis maksudkan sebagai penanda di titik nol kilometer
tempat saya memulai berproses sebagai akademisi yang tertarik mengkaji
Madura. Madura adalah salah satu tempat yang dalam pandangan
penulis sesungguhnya amat kaya sebagai laboratorium ilmu sosial dan
komunikasi. Disertai harapaan kita dapat mengawal dan berkiprah untuk
terus bisa membumikan kajian ilmu komunikasi di Madura dan Jawa
Timur. Laksana titik nol dalam alun alun kota, penulis ingin berangkat
dengan semangat baru guna mendorong ekplorasi yang lebih intens
dan produktif guna membumikan kajian komunikasi khas Madura Jawa
Timur lebih komprehensif. Selain itu kami juga berharap dukungan publik
sehingga kami tidak merasa sendirian dalam mengelorakan semangat ini.
Semoga melalui penerbitan buku ini penulis dapat membuka komunikasi
yang lebih intens dengan para pembaca untuk bisa membangun diskursus
dan peradaban pengetahuan baru yang bisa menggangkat harkat dan
kemandirian kita dalam bidang pengetahuan.
Kita harus menumbuhkan semangat keyakinan diri dan memulai
dari pemahaman dasar akan adanya keyakinan melalui cara kita sendiri.
Bagaimana agar perspektif lokal bisa menjadi perspektif utama dan
perspektif lain akhirnya hanya bisa menjadi pelengkap dan perspektif
lokal bukan sekadar alternatif. Tentu ada beragam prasyarat yang mesti
harus dipenuhi mulai dari hal yang teknis hingga substantif. Pekerjaan
itu bukan pekerjaan mudah dan butuh upaya yang sunguh sungguh serta
konsistensi dan ketahanan yang tinggi secara berkesinambungan.
Kesadaran ini penting agar bisa mengubah mindset kita tidak sekadar
sebagai pengguna users, tetapi juga menjadi kreator. Kita harus berani
memulai, men-declare, dan sudah saatnya memulai ikhtiar itu agar bisa
turut mewarnai diskursus pengetahuan dan menentukan perkembangan
ilmu pengetahuan dunia saat ini hingga ke depan. Kita harus memiliki
keyakinan dan harapan tinggi bahwa kita adalah bangsa yang besar dan
mampu serta akan menjadi subyek dan tidak sekadar menjadi obyek dalam
dinamika perkembangan ilmu pengetahuan.
Buku -- bagi penulis -- adalah tempat persemaian idealisme ruang
publik dan sarana membangun dialog komunikasi dengan masyarakat
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR vii

pembaca. Tekad kami sederhana yakni ingin membumikan Madura


Jawa Timur sebagai pusat kajian dan peradaban unggul masyarakat
madani di Indonesia melalui beragam kegiatan dan aktivitas komunikasi
publik rahmatanlilalamin. Tujuan kami sederhana ingin Madura Jawa
Timur dikenal sebagai salah satu pusat pertumbuhan ilmu pengetahuan
sosial dan komunikasi di Indonesia. Penulis ingin berkontribusi dalam
menjadikan Madura Jawa Timur sebagai kawasan pusat pertumbuhan
dan perkembangan ilmu pengetahuan ditengah berbagai tantangan
perkembangan zaman dan perkembangan teknologi informasi yang
berlangsung cepat hari ini. Madura Jawa Timur sebagaimana daerah lain di
Indonesia sungguh menyimpan potensi yang besar. Masih banyak potensi
yang belum dikembangkan dan diekplorasi. Potensi itu membutuhkan
sentuhan pendekatan yang berbeda. Oleh karena itu pemahaman akan
nilai nilai lokal, khususnya kearifan masyarakatnya layak untuk juga
menjadi titik pijak dalam pengembangan kajian kawasan ini ke depan.
Penulis mengakui penyusunan buku ini agak tergesa-gesa karena
mengejar waktu deadline pengumpulan draft ke puskakom. Jika disana
sini masih ditemukan banyak kelemahan penulis memohon maaf dan
semua masukan akan dijadikan bahan koreksi berharga untuk edisi revisi
berikutnya.
Penulis yakin bahwa bahwa ikhtiar ini akan didukung berbagai pihak.
Saya mengucapkan terima kasih kepada rekan rekan dosen di Prodi
Komunikasi FISIB yang terus bersemangat berbagi pengetahuan dan
berdiskusi tentang banyak hal yang mencerahkan. Saya percaya semua
ini masih awal dan masih sekadar percikan ide berserakan untuk menjadi
pematik dalam penerbitan publikasi buku selanjutnya. Tantangan untuk
menerbitkan buku tiap semester ini sungguh menantang dan akhirnya
bisa diwujudkan kendati dalam wujudnya yang masih sederhana. Penulis
juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang turut memberi
sumbangsih yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
Semoga tekad, cita-cita ini mendapat dukungan banyak kalangan,
khususnya masyarakat dapat melihat era baru ini hingga memberikan
dukungan dan partisipasi secara masif dan berkelanjutan. Tidak lupa kami
juga ingin mengandeng semua pihak terkait untuk sequel selanjutnya
untuk bersama sama menyusun langkah taktis demi cita cita luhur
viii Komunikasi Perspektif Lokal ...

mengembangkan ilmu komunikasi khas Madura dan Jawa Timur. Akhirnya


dengan memohon ridho dan berkah Allah Tuhan yang Mahakuasa hari
ini penulis mulai langkah kami untuk turut serta menjadikan perspektif
ilmu komunikasi lokal Madura Jawa Timur sebagai perspektif utama
melengkapi dan mengimbangi hegemoni pengetahuan masyarakat barat.

Salam Semangat #Membumikan Komunikasi Lokal Madura dan Jawa


Timur #Madura Baik Adiluhung

Bangkalan, September 2020


Surokim As.
Buku ini saya persembahkan dan dedikasikan
untuk:

Permata hati ‘Radita’


Yang selalu memberi inspirasi dan suntikan
semangat

Kampus Fisib Make it Happen UTM


Taman & Oase Pengetahuan Sosial Progresif
Istiqomah memberi karya dalam Pembangunan
Madura Madani

ix
x Komunikasi Perspektif Lokal ...
Daftar Isi

KATA PENGANTAR iii


DAFISI xi
PENGANTAR PAKAR: MEMBUMIKAN KEARIFAN xiii
LOKAL PADA TEORI DAN PRAKTIK KOMUNIKASI

01 Meng-Indonesia-kan Ilmu Komunikasi Perspektif 1


dan Kontribusi Kajian Madura Jawa Timur
02 Konstruksi Penyiaran Islami dalam Liberalisasi 11
Industri Media TV: Tantangan dan Peluang
Mengembangkan Program TV-9 dan Madura TV
03 Riset Aksi: Sebagai Peta Jalan Keluar, Perbaikan 35
Kinerja, dan Solusi Mutakhir untuk Daya Saing
Kampus di Madura

xi
xii Komunikasi Perspektif Lokal ...

04 Ekonomi Politik dan Etis: Atas Peran Perguruan 63


Tinggi dalam Survei Politik: Retropeksi & Evaluasi
Di Madura
05 Panoptikon Wartawan Madura dalam Pemberitaan 87
Elit Politik Lokal
06 Komunikasi Publik: Tantangan di Madura 101

07 Konteks Kerja PR di Madura Diantara Media 107


Utama, Media Baru, dan Interplay Antaraktor
dalam Modernisasi Politik Madura
08 Mendorong Demokratisasi Media Lokal Melalui 117
Partisipasi Jurnalisme Warga
09 Penguatan Komunikasi Sosial untuk Satgas Gugus 125
Covid19 di Wilayah Pedesaan Madura
10 Teknologi Komunikasi, Gerakan Arus Bawah, dan 137
Perubahan Sosial Madura
11 Dari Aktivitas Online ke Aksi Nyata: Menguatkan 149
Peradaban dan Civil Society Madura
12 Hati-Hati Overdosis & Krisis Informasi: Refleksi 157
untuk Masyarakat Madura
13 Mentradisikan dan Memperkuat Komunikasi 161
Quantum Bencana dalam Masyarakat Religius
14 Tradisi dan Budaya Lokal Madura: Sebuah 165
Retropeksi dan Promosi Vitrue Adiluhung Madura
15 Epilog: Perspektif Lokal Menjadi yang Utama, 173
Bukan Sekadar Pelengkap

Tentang Penulis 179


PENGANTAR PAKAR

Membumikan Kearifan
Lokal pada Teori dan
Praktik Komunikasi
Oleh:
Rachmat Kriyantono, Ph.D
Universitas Brawijaya

Dalam beberapa tulisan (Kriyantono, 2017; Kriyantono


& McKenna, 2017), saya menyebut bahwa perspektif
lokal ke-Indonesia-an belum banyak membumi dalam
kajian maupun praktik komunikasi di negara kita. Sejak
berkembang di Indonesia pada 1950-an (Sendjaja, 1998),
kajian komunikasi masih didominasi perspektif Barat,
yakni Amerika Serikat dan Eropa. Hal ini dapat dimengerti
karena cikal bakal kajian komunikasi di Indonesia mengalir
dari Amerika dan Eropa (Kriyantono, 2017; Rogers, 1997;
Rakhmat, 2001). Dengan demikian, perspektif yang
muncul dan menjadi landasan filosofis pengembangan teori
adalah perspektif Barat, artinya, fenomena komunikasi
dikaji dengan menggunakan kacamata Barat, dan dianggap
berlaku universal. Sifat universal ini menganggap bahwa
teori-teori yang dihasilkan berlaku dalam berbagai konteks

xiii
xiv Komunikasi Perspektif Lokal ...

tanpa memandang perbedaan geografis, budaya, ideologi atau landasan


filosofis dari berbagai unit sosial yang beragam.
Dunia Barat pun menjadi pusat episentrum kajian komunikasi
yang berdampak pada penggunaan kacamata tunggal dalam memahami
komunikasi di Indonesia. Dominasi perspektif barat ini disebabkan
beberapa faktor. Pertama, ketertinggalan pendidikan di Indonesia
akibat praktik imperialisme. Imperialisme ini mempengaruhi pola pikir
dan budaya yang tidak kondusif terhadap upaya pengembangan ilmu.
Misalnya, kebebasan berpendapat yang sangat penting bagi kajian ilmiah
dikekang selama ratusan tahun oleh imperialis; upaya pembodohan dan
filosofis pemikiran lokal direduksi hanya sebagai mitos-mitos yang
kehilangan nuansa keilmiahannya, seperti pemikiran Joyoboyo dan
Ronggowarsito direduksi sebagai ramalan. Ramalan mengesankan
sebagai pemikiran yang kebetulan atau sekadar mitos. Kedua, sistem
politik kekuasaan otoriter yang juga membelenggu kebebasan akademik
sampai era orde baru. Demi tujuan pelanggengan kekuasaan, penguasa
membatasi pemikiran-pemikiran yang dianggap mengganggu stabilitas
negara (baca: stabilitas kekuasaan); Ketiga, budaya akademik yang belum
bangkit untuk berkembang, seperti belum banyaknya publikasi ilmiah,
baik nasional maupun internasional; Keempat, penguasaan teknologi
komunikasi dan bahasa Inggris oleh negara barat sebagai alat vital
diseminasi kajian keilmuan. Ilmu Komunikasi berkembang di negara
barat, kemudian kerena mereka juga menguasai teknologi maka lebih
memudahkan penyebarannya ke negara lain; Kelima, banyaknya sarjana
Indonesia yang melanjutkan studi ke negara barat, seperti Australia,
Amerika, Inggris atau Jerman sehingga membuat penggunaan perspektif
negara barat makin besar. Sebenarnya kondisi ini tidak hanya terjadi
di Indonesia. Penelitian Dissanayake (1988), misalnya, menemukan
bahwa buku-buku komunikasi berperspektif Amerika yang digunakan
sebagai referensi di Asia Selatan mencapai 78% dan 71% digunakan di
ASEAN. Di Indonesia, menurut saya, meskipun sudah banyak buku yang
ditulis sarjana komunikasi Indonesia, perspektif yang digunakan masih
didominasi Barat; Keenam, orientasi pasar lebih condong perspektif Barat
dan kurangnya kreativitas mengelola pesan yang berbasis kearifan lokal
terkait budaya populer. Misalnya, produk budaya populer di televisi kita
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR xv

belum banyak tampilan kelokalan; Ketujuh, sistem birokrasi yang tidak


berpihak, khususnya penyediaan infrastruktur sistem. Misalnya, lebih
mudah dan murah mengedit/mendubbing iklan visual dari luar negeri
daripada memproduksi di dalam negeri; Kedelapan, perasaan bangga
produk local yang masih belum mewabah. Hal-hal berbau impor dari
Barat dianggap lebih modern. Ditambah lagi perang budaya dan ideologi
makin memarjinalkan kelokalan karena kuatnya terpaan budaya dan
ideologi Barat, si penguasa media massa. Kedelapan, para akademisi belum
banyak menggunakan karya anak bangsa sebagai sumber sitasinya, meski
tidak sedikit karya anak bangsa memiliki kualitas ilmiah yang baik.
Saya beranggapan aplikasi teori komunikasi dalam praktik professional
komunikasi tidak secara otomatis berlaku universal, dengan alasan:
1) Setiap ilmu, termasuk teori di dalamnya, memiliki objek formal yang
merupakan telaah khas dari masing-masing ilmu itu. Telaah khas
mempunyai makna: (a) membedakan bahasan dengan bidang ilmu
lainnya; (b) kebenaran telaah tersebut sangat dipengaruhi norma-
norma dan ukuran masyarakat itu. Dengan demikian setiap filsafat
ilmu akan memperlihatkan filsafat masyarakat tempat ilmu tersebut
mengabdi. Teori yang sama akan berbeda aplikasinya dalam sistem
masyarakat yang berbeda. Jadi, pemikiran filsafati pada sebuah
ilmu dapat berbeda –meskipun ilmunya sama, tergantung filsafat
negara tempat ilmu itu berkembang. Contoh: Teori Pers, mengenal
pers liberal di negara barat, komunis (Cina), maupun pers bebas
bertanggung jawab (Indonesia) (Kriyantono, 2012e).
2) Teori merupakan representasi fenomena tetapi tidak dapat
menjelaskan fenomena secara lengkap. Teori menjelaskan konteks
ideologi, budaya atau karakteristik masyarakat tertentu dan
mengabaikan yang lainnya.

Karena itu, perlu pengembangan perspektif lokal Indonesia untuk


kajian komunikasi yang secara khusus dapat: (i) membahas dengan
komprehensif dan insight; (ii) Fenomena public relations yang terjadi dalam
konteks Indonesia perlu dikaji dalam perspektif lokal yang disesuaikan
dengan nilai-nilai budaya sekitar; (iii) fenomena public relations di
Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konteks kelokalannya, seperti
xvi Komunikasi Perspektif Lokal ...

budaya, sistem sosial, politik, ekonomi, dan falsafah masyarakatnya; (iv)


Karakteristik lokal ini bukan hanya menarik perhatian ilmuwan Indonesia,
tapi juga ilmuwan barat, antara lain Clifford Geertz atau Ben Andersson.
Tetapi, kajian komunikasi dalam perspektif kelokalan kita, saya rasa masih
belum banyak. Kurangnya kajian dalam konteks Indonesia menyulitkan
ilmuwan Barat mendapatkan literatur kajian dalam perspektif Indonesia
(Hobart, 2006); (v) beberapa masalah muncul akibat tercerabutnya nilai-
nilai lokal dalam kajian dan praktik komunikasi.
Dari tulisan Radmila (2011) dapat dideskripsikan bahwa kearifan
lokal (local-wisdom atau local genius) merupakan pemikiran-pemikiran atau
ide-ide setempat (lokal) yang mengandung nilai-nilai bijaksana, kearifan,
kebaikan, yang terinternalisasi secara turun-temurun (mentradisi). Nilai-
nilai tersebut dipercaya mengandung kebenaran sehingga diikuti oleh
anggota masyarakatnya. Kearifan lokal ini yang biasa disebut nilai-nilai
luhur (adi luhung) masyarakat yang berfungsi sebagai landasan filsafat
perilaku yang baik menuju harmonisasi. Istilah kearifan lokal disebut
local genius, karena berarti “kemampuan kebudayaan setempat dalam
menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan
itu berhubungan” (Rosidi, 2011, h. 29). Kearifan lokal ini tergali dari
kesadaran komunal secara turun-temurun dalam proses interaksi yang
kemudian terakumulasi dan terkristalisasi dalam berbagai ajaran moral
(etika).
Meskipun masyarakat Asia memiliki ragam budaya termasuk
kearifan lokalnya, secara umum mereka memiliki karakteristik yang
berbeda dengan masyarakat Barat. Karenanya ada perbedaan pendekatan
dalam mengaji fenomena komunikasi. Perbedaan cara pandang terhadap
komunikasi antara Barat dan Timur, menurut Johan Galtung (dikutip di
Gunaratne, 2009) dan Lawrence Kincaid (dikutip di Littlejohn & Foss,
1999), mencakup pemahaman tentang diri (self), sifat khas (nature), ruang
& waktu (space & time), pengetahuan, dan relasi personal. Perspektif Barat
lebih menekankan pada individualisme, yaitu orang dipertimbangkan
aktif dalam pencapaian tujuan-tujuan pribadi (elemen self); Menekankan
pada upaya mengontrol lingkungan atau situasi alam (nature); Memberi
perhatian pada pengukuran bagian-bagian dan tidak mengintegrasikannya
ke dalam sebuah proses yang disatukan (space) Ada kepastian waktu atau
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR xvii

batasan waktu jelas (bounded time); Bersifat atomisme/bagian yang terpisah-


pisah dari kecil membentuk yang besar dan deduktif, dan didominasi oleh
bahasa (pengetahuan); dan Hubungan atau relasi muncul diantara dua
atau lebih individu (relasi personal). Perspektif Timur lebih menekankan
pada tanggung jawab berbalasan antara individu dan masyarakat serta
memandang hasil komunikasi sebagai sesuatu yang tidak direncanakan
dan merupakan konsekuensi alami dari suatu peristiwa; Menekankan
pada harmonisasi dengan lingkungan/situasi; Dunia dianggap sebagai
sebuah unit tunggal, yang saling terkoneksi dan saling tergantung
sebagai keseluruhan serta cenderung memfokuskan pada keseluruhan dan
kesatuan; Waktu bersifat tidak terbatas (infinite time); Lambang-lambang
verbal, khususnya ujaran, tidak cukup mendapat perhatian dan dipandang
secara skeptis; dan Hubungan bersifat lebih rumit, karena melibatkan
posisi sosial tentang peran, status dan kekuasaan.

TERCERABUTNYA NILAI LOKAL DALAM KAJIAN


DAN PRAKTIK KOMUNIKASI
Komunikasi tidak terjadi dalam ruang hampa, tapi, komunikasi
mengonstruksi dan dikonstruksi oleh budaya. Jadi, kajian dan praktik
komunikasi tentu tidak dapat dipisahkan dari konteks budaya kita. Edward
T. Hall (Gudykunst & Mody, 2002; Mulyana, 2001; Rogers, 1997) menyebut
“culture is communication, communication is culture”. Komunikasi, menurut
Carey (2009), tidak dapat dipisahkan dengan aspek komunitas yang
memiliki latar belakang khasnya masing-masing yang mewarnai proses
komunikasi yang terjadi. Dissayanake (2003) menyebut budaya tanpa
komunikasi tidak dapat bernapas, dan Fiske (2002) menyatakan bahwa
komunikasi adalah inti berkembangnya budaya, tanpa komunikasi, budaya
akan mati. Budaya, latar belakang personal, dan karakter sosiodemografis
inilah yang disebut Wood (2009) sebagai komunikasi bersifat sistemik. Di
bagian ini, saya menyampaikan sebagian saja permasalahan yang muncul
akibat kajian dan praktik komunikasi kita belum membumi dengan
karakter kelokalan kita.
Pertama, dalam konsep public information maupun jurnalistik, terdapat
prinsip tell the truth. Prinsip ini memang bersifat universal, yaitu prinsip
xviii Komunikasi Perspektif Lokal ...

moralitas untuk bersikap benar. Tetapi, aplikasi tell the truth ini akan
berbeda antara konteks budaya Barat dan kita. Teori-teori versi Amerika
atau Eropa, mengadopsi pemikiran Edward T. Hall (Gudykunst & Mody,
2002; Mulyana, 2001; Rogers, 1997), lebih bersifat budaya konteks rendah
(low context culture) sehingga makna tell the truth akan berbeda dengan
masyarakat Indonesia yang berbudaya konteks tinggi (high context culture).
Budaya konteks tinggi menghasilkan komunikasi konteks tinggi, seperti
bermakna implisit, tidak terus terang, tidak langsung, banyak simbol
nonverbal, dan multiinterpretasi. Budaya konteks rendah membuat
komunikasi bersifat konteks rendah, seperti lebih banyak pesan verbal,
makna eksplisit, langsung, terus terang atau “blak-blakan”. Jika seseorang
berbudaya barat berkata “ya”, berarti memang ya atau setuju. Masyarakat
Jawa yang berbudaya konteks tinggi cenderung tidak seterbuka budaya
barat dalam menyampaikan maksud hatinya. Misalnya, orang Jawa
ditawari minum saat bertamu, mengatakan “sampun, maturnuwun”, artinya
sudah (minum), terima kasih, bisa diartikan “dia sebenarnya mau tapi
malu disangka tidak sopan”.
Kedua, dalam komunikasi politik, beberapa kali kita menemukan
proses pengambilan keputusan dilakukan dengan cara voting (ada istilah
one man-one vote). Kita sering temui, misalnya, dalam sidang DPR. Bahkan
voting sering mewarnai sidang MPR dan Munas (Musyawarah nasional)
atau Mubes (Musyawarah besar). Padahal huruf “M” berarti musyawarah.
Jika dalam perspektif Barat dikenal teori dialogic public relations (Kent
& Taylor, 2002), di perspektif lokal proses pengambilan keputusan
pun dengan cara dialog, yaitu “musyawarah mufakat”. Cara pengambilan
keputusan ini terkadang memerlukan kesediaan berbagai pihak untuk
mengorbankan kepentingannya demi kepentingan yang lebih besar. Ini
yang disebut kearifan Jawa: “wani ngalah, luhur wekasane” (terkadang
mengalah itu lebih baik, untuk kepentingan bersama). Organisasi pun
mesti siap menghadapi risiko terburuk apapun jika akar permasalahan
bisa terurai dengan baik. Masyarakat Makassar mengatakan “teppettu
maoompennge, teppolo massellomoe” (Tak akan putus yang kendur, tak akan
patah yang lentur). Artinya, berlaku bijaksanalah, dengan toleransi dan
tenggang rasa, saat menghadapi permasalahan agar solusi tercapai tanpa
kekerasan atau kesewenangan.
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR xix

Negosiasi musyawarah mufakat adalah ciri khas leluhur kita. Buktinya


adalah penggunaan kata “rembug” dalam kosakata Jawa berikut: “yen
ana rembug dirembug, nanging olehe ngrembug kanthi ati sing sareh”, yaitu
menyelesaikan permasalahan melalui rembugan/musyawarah dengan
kepala dingin, hati yang tenang, dan pikiran yang jernih; Budaya Minang
mengajarkan “elok dipakai jo mufakat, buruak dibuang jo rundiangan” (yang
baik dicapai dengan mufakat, yang buruk dibawa berunding) dan “duduak
surang basampik-sampik, duduak basamo balapang-lapang” (duduk sendiri
bersempit-sempit, duduk bersama berlapang-lapang). Prinsip komunikasi
kearifan lokal ini juga ada saat pilpres di papua, yaitu sistem noken atau
ikat.
Ketiga, dalam komunikasi kepemimpinan dan keorganisasian, nilai-
nilai lokal mengajarkan kedekatan personal antara pimpinan dan bawahan
yang dirajut oleh komunikasi dua arah timbal balik. Semangatnya adalah
“manunggaling kawulo gusti”, yaitu kebersamaan antara pimpinan dan
bawahan yang berdasarkan kebergantungan satu dengan yang lain.
Karena itu, komunikasi “blusukan”, yaitu berkomunikasi face to face dengan
mendatangi secara langsung publiknya. Ada kedekatan personal –tidak
ada jarak fisik– sehingga bisa mendekatkan jarak psikologi, ada komunikasi
“sambung roso” (sambung rasa, dari hati ke hati) yang menimbulkan ikatan
emosi (empati) yang kuat.
Dalam perspektif Barat, dikenal konsep managing by walking around
(sama dengan komunikasi blusukan) dan walking in the shoes of the public
(manunggaling kawulo gusti). Ada kesamaan antara konsep barat dan lokal
ini, yaitu berfungsi sebagai sarana “gethok tular” informasi secara langsung
agar isu tidak meluas. Tetapi nilai lokal kita lebih mendahulukan aspek
emosional untuk membangun hubungan. Komunikasi sambung rasa
ini dapat dimaknai bahwa organisasi “nguwongke”, yaitu menempatkan
karyawan bukan dalam konteks hubungan kerja rasional yang berdasarkan
untung-rugi, tetapi, menempatkan karyawan sebagai mitra yang tidak
terpisahkan dalam operasional organisasi. Budaya Jawa mengajarkan
”curiga manjing warangka, warangka manjing curiga”, pemimpin perlu
memahami aspirasi bawahan, mengenal dengan baik kondisi bawahan,
dan mau menyantuni mereka dengan baik.
xx Komunikasi Perspektif Lokal ...

Keempat, kandungan kelokalan dalam program-program televisi


yang masih sedikit. Menuntut keberanian untuk promosi nilai-nilai lokal
dibarengi kemampuan kreatif yang tinggi dapat menstimuli penyebaran
nilai lokal dengan lebih baik. Perlu “campur tangan” yang lebih aktif dari
pemerintah, tanpa mengabaikan kebebasan berekspresi dan kebebasan
pers.
Kelima, praktik komunikasi politik kita yang masih jauh dari
kesantunan timur. Selain budaya musyawarah mulai kendur, juga terdapat
saling menyerang dengan komunikasi politik sarkasme, kampanye hitam,
character assasination, dan penghinaan.
Tentunya, masih banyak lagi realitas yang dapat ditelusuri. Nah
sekarang bagaimana tugas akademisi di kampus (Dosen dan Mahasiswa)
terkait topik deskripsi di atas? Ada beberapa hal yang mesti dilakukan.
Dalam proses pembelajaran, Dosen dan Mahasiswa jangan hanya
mengintroduksi teori-teori dan konsep-konsep Barat dalam membahas
fenomena, tetapi, juga mengintroduksi kearifan lokal. Proses ini dapat
bersifat sinergi, dapat juga bersifat komparatif. Dosen juga mesti
menanamkan kearifan lokal pada mahasiswa dalam perilaku sehari-hari
di kampus. Diharapkan ada role-model bagi mahasiswa. Memperbanyak
riset kajian komunikasi dalam perspektif lokal. Misalnya, di kajian public
relations dikenal Teori Excellence yang memberikan standar efektivitas
praktik public relations. Melalui riset, dapat diketahui apakah standar
tersebut juga berlaku di Indonesia atau apakah terdapat standar yang
bersifat lokalistik dan hanya terjadi dalam konteks praktik komunikasi
di Indonesia. Memperbanyak publikasi artikel tentang kajian lokal pada
komunikasi. Semakin lebih baik jika dimuat di publikasi internasional.
Buku ini juga menjadi pemupus kerinduan kita terhadap upaya
memahami perilaku komunikasi dalam konteks sosial budaya anak
bangsa sendiri. Buku ini mampu memperteguh kebanggaan kita sebagai
salah satu bangsa yang besar di Asia. Indonesia, negara yang menjadi
zamrud budaya dan bagian dari peradaban, memegang peran penting
dalam pengembangan ilmu komunikasi. Apalagi jika kita melihat
fakta sejarah. Asia menjadi salah satu pusat peradaban dunia dengan
kemegahan imperium dan kespektakuleran karya budayanya, dan tentu
saja, komunikasi berperan sebagai perekat berbagai struktur di dalamnya.
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR xxi

Tidak mungkin muncul peradaban, tanpa kemampuan komunikasi yang


tersistem dengan baik (Dissayanake, 2003). Asia menjadi penyumbang
perkembangan komunikasi melalui agama, seperti kitab-kitab suci
dan teks-teks suci, yang menciptakan peradaban di era Confusianisme,
Hindu, Budha, Judaisme, Taoisme, Christianity, dan Islam, yang
menurut Simonson, Peck, Craig, dan Jackson (2013) dapat disebut “proto-
communication history” (sejarah komunikasi yang pertama).
Kehadiran buku ini, sangat berguna sebagai upaya introduksi adopsi
kearifan lokal pada kajian komunikasi di Indonesia. Tulisan di buku ini
diharapkan dapat memangkas keberjarakan yang selama ini terjadi antara
perspektif Barat dan kelokalan kita. Berbagai tematik tulisan di buku ini
meniscayakan lentik jemari kelokalan kita bertegur dengan perspektif
Barat yang masih dominan dalam kajian komunikasi sehingga menjadi
tetirah yang sejenak menjedakan kita dari keriuhan kajian-kajian Barat
dalam bidang komunikasi.

REFERENCES:
Carey, J.W. (2009). Communication as culture: Essay on media and society.
Revised edtion. New York: Routledge.
Dissayanake, W. (2003). Asian approaches to human communication:
Restrospect and prospect, Intercultural Communication Studies,
XII-4.
Fiske, J. (2002). Introduction to communication studies. New York: Routledge-
Taylor & Francis e-Library.
Gudykunst, W.B., & Mody, B.B. (2002). Introduction of intercultural
communication. Di Handbook of international & intercultural
communication. Gudykunst, W.B., & Mody, B.B. (Ed.). California:
Sage Publications.
Gunaratne, S.A. (2009). Asian communication theory. In Encyclopedia
communication theory. Littlejohn, S.W., & Foss K.A. (Eds.). London:
Sage
Hobart, M. (2006). Introduction. Asian Journal of Communication, 16(4).
Kriyantono, R. (2017). Teori public relations perspektif barat dan lokal:
Aplikasi penelitian dan praktik. Jakarta: Prenada.
Kriyantono, R., & McKenna, B. (2017). Developing a Culturally-Relevant
Public Relations Theory for Indonesia. Malaysian Journal of
Communication, 33(1),1-16.
xxii Komunikasi Perspektif Lokal ...

Littejohn, S. W., & Foss, K. A. (2009). Teori Komunikasi: Theories of human


communication. Jakarta: Salemba Humanika.
Mulyana, D. (2010). Pengantar ilmu komunikasi. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Radmilla, S. (2011). Kearifan lokal: Benteng kerukunan. Jakarta: Gading Inti
Prima.
Rosidi, A. (2011). Kearifan lokal dalam perspektif budaya Sunda. Bandung:
Kiblat.
Rogers, E.M. (1997). A history of communication study: A biographical
approach. New York: The Free Press.
Simonson, P., Peck, J., Craig. R.T., Jackson Jr., P.J. (2013). The history
of communication history. Dalam Simonson P., Peck, J., Craig,
R.T., Jackson Jr. (Eds.). The handbook of communication history.
New York: Routledge.
Wood, J. T. (2009). Communication in our daily lives. Boston: Wadsworth.
1
Meng-Indonesia-kan
Ilmu Komunikasi
PERSPEKTIF DAN KONTRIBUSI
KAJIAN MADURA JAWA TIMUR

I
de dan tekad untuk membumikan ilmu komunikasi
dengan meretas perspektif lokal khas Indonesia sudah
digagas sejak tahun 2000an. Selama ini perspektif
ilmu pengetahuan itu sebagaimana sudah dipaparkan
Kriyantono (2019) masih didominasi Barat (Eropa dan
Amerika, pen), karena keunggulan berbagai hal mulai dari
kemapanan sistem pendidikan, sdm, prasarana, literasi,
referensi hingga publikasi. Dominasi itu akhirnya membawa
implikasi kepada terciptanya hegemoni perspektif barat
atas perspektif yang lain dan menjadikan perspektif di
luar barat seperti perspektif timur sebagai sesuatu yang
tidak ilmiah dan tidak valid dan hanya sekadar menjadi
pelengkap.
Akibatnya, perspektif barat hampir selalu menjadi
rujukan dalam menyusun kerangka, landasan teori hingga
perspektif dalam menjawab dan menyelesaikan apapun

1
2 Meng-Indonesia-kan Ilmu Komunikasi

masalah yang timbul dalam konteks ilmu pengetahuan tak terkecuali


dalam kegiatan riset ilmiah. Masyarakat ilmiah seperti di Indonesia
akhirnya menjadikan perspektif barat yang notabene adalah produk di
luar dirinya (berasal dari masyarakat lain, pen) sebagai perspektif utama
untuk menjawab dan menyelesaikan masalahanya serta menjadikan
perspektif miliknya sekadar sebagai pelengkap.
Disinilah sebenarnya letak kesadaran dan kritik substantif itu
bermula, minimal dalam rangka menggugat dan menyadarkan diri sendiri.
Bagaimana bisa terjadi, diri kita sendiri lebih senang menggunakan
perspektif orang lain sebagai persepektif utama dan menjadikan
perspektif milik sendiri sebagai perspektif alternatif. Hal ini tentu menjadi
tanda tanya besar. Memang menjadikan pengalaman dan perspektif
orang lain sebagai best parctice tentu bukan merupakan kesalahan dan juga
bisa dipahami dalam konteks masyarakat terbuka yang bisa terhubung
secara global. Namun, menjadikan pengalaman dirinya sebagai pelengkap
dan sekadar menjadi pendamping perspektif alternatif maka justru disitu
pangkal tolaknya. Jadi, secara substantif yang hendak kita gugat dan
kita sadarkan adalah persoalan keyakinan dasar dalam berpengetahuan.
Saatnya kini dan menjadi tugas kita pertama adalah meluruskan kembali
keyakinan kita akan khittah pengembangan pengetahuan dengan
membalikkan keyakinan dan mindset kita yakni menjadikan perspektif
kita sebagai yang utama dan yang lain sebagai pelengkap.
Namun, upaya dan ikhtiar menjadikan perspektif lokal sebagai
perspektif utama tentu bukan persoalan mudah seperti membalikkan
tangan. Banyak hal yang mesti didudukkan kembali dengan jernih dengan
posisi yang tenang dan tidak emosional. Apalagi ini juga bukan sekadar
persoalan ansich pengetahuan, tetapi juga berkelindan dengan persoalan
ekonomi, politik, dan sosial budaya sedari awal. Ilmu pengetahuan
sebagaimana dicatat dalam sejarah selalu tidak bisa dilepaskan dari relasi
kuasa dan dalam beberapa konteks ia kerap menjadi salah satu instrument
kekuasan dengan menjadikannya sebagai bagian dari hegemoni dan
penundukan.
Mendorong diakuinya perspektif lokal dalam masyarakat akademis
Indonesia juga bukan persoalan mudah mengingat ilmu pengetahuan juga
dibangun dalam masa yang tidak pendek. Tentu bukan persoalan mudah
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 3

menjadikan perspektif lokal sebagai perspektif utama di dalam dominasi


hegemoni dan relasi kuasa massif seperti itu. Namun, jika tidak segera
disadari maka inferioritas kompleks lama lama akan menjangkiti dunia
pengetahuan Indonesia. Dengan demikian mendesakkan perspektif lokal
sebagai sebuah alternatif juga memperlihatkan akan eksistensi diri sebagai
bangsa mandiri, Sekaligus kita bisa menunjukkan bahwa perspektif itu
bukan acuan utama dan sekadar menjadi pelengkap, tetapi sebagai pijakan
kemandirian bangsa dan juga eksistensi bangsa atas perkembangan ilmu
pengetahuan. Ia bisa menjadi elemen berdikarinya sebuah negara dan
eksistensi pendidikan dan pengetahuan itu sendiri.
Jika melihat pengalaman berbagai Negara dibelahan Asia seperti Cina,
Jepang, dan Korea maka menjadikan perspektif lokal sebagai pijakan utama
itu bukanlah utopia, tetapi sungguh riil dan masuk akal untuk menjadi
bekal bangsa mandiri. Mereka bangsa Asia yang memiliki kemampuan
dan berdiri teguh atas potensi dirinya dan menjadikan perspektif luar
sekadar sebagai pelengkap. Demikian juga Jepang yang memiliki etos dan
nilai yang dikombinasikan dengan perspektif barat menjadikan konsep
khas dan penguat atas praktik praktik ilmu pengetahuan. Namun, dari
semua itu yang paling terlihat adalah semangat menuju kemandirian dan
keyakinan diri sebagai sebuah bangsa untuk mengarahkan pengetahuan
yang dimiliki sebagai alat untuk berdikari. Pada saat ini beberapa negara
itu sudah mendapat pengakuan dan perkembangan mutakhir hingga
masyarakat barat pun mengakui akan hal itu sehingga terjadi elaborasi,
komplementasi, dan kerja sama dalam kesetraan dan bukan hegemoni.
Logika itu sebenarnya sederhana dan bisa dimulai dari pemahaman
dasar akan keyakinan melalui cara kita sendiri. Bagaimana agar perspektif
lokal bisa menjadi perspektif utama dan perspektif lain sebagai pelengkap
alternatif. Tentu ada beragam prasyarat yang mesti harus dipenuhi mulai
dari hal yang teknis hingga substantif. Pekerjaan itu bukan pekerjaan
mudah dan butuh upaya yang sunguh sungguh serta konsistensi dan
ketahanan yang tinggi secara berkesinambungan.
Kesadaran ini penting agar bisa mengubah mindset kita tidak sekadar
sebagai pengguna users, tetapi juga menjadi kreator. Kita harus dan
sudah saatnya memulai ikhtiar itu agar bisa turut mewarnai diskursus
4 Meng-Indonesia-kan Ilmu Komunikasi

pengetahuan dan menentukan perkembangan ilmu pengetahuan dunia


saat ini hingga ke depan Kita harus memiliki keyakinan dan harapan tinggi
bahwa kita adalah bangsa yang besar dan mampu serta akan menjadi
subyek dan tidak sekadar menjadi obyek dalam dinamika perkembangan
ilmu pengetahuan.
Kita seharusnya berkepentingan terhadap upaya ini agar langkah
menjadikan muatan lokal sebagai pespektif utama bisa dimulai, pelan,
tetapi pasti kita bisa melakukan kritik dan tantangan baru atas konsep
komunikasi yang eurosentris atau amerikasentris. Jika kita mau jujur
mereka (masyarakat barat, pen) juga membangun dunia pengetahuan
yang pertama adalah berbasis kepada keyakinan dan kemandirian. Baru
kemudian mereka melakukan penaklukan ke masyarakat dan memaksakan
perspektif mereka di daerah jajahan. Jadi sedari awal mereka sudah
memiliki jiwa superior atas distribusi pengetahuan. Hal itu yang kemudian
menjadikan identitas mereka semakin kuat dan lama lama menjadi kuasa
hegemonik.
Hegemoni Amerika dan Eropa tentu tidak bisa dilawan sekadar hanya
mengumpat dan berteriak, tetapi dengan serius melakukan berbagai
upaya terpadu seraya menyiapkan berbagai perangkat baik hardware
maupun software guna mengejar ketertinggalan atas perkembangan
ilmu pengetahuan barat yang pesat. Jika kesadaran itu telah kita miliki
maka upaya untuk untuk menemukan identitas ke-Indonesia-an dalam
perspektif komunikasi segera kita upayakan tindaklanjuti. Jika menilik
potensi geopolitik dan juga SDM Indonesia maka mengarahkan Indonesia
sebagai salah satu sentral dalam pengembangan ilmu komunikasi di Asia
khususnya di Asia Tenggara bukanlah sekadar utopia dan mengada-ada.
Kita sejatinya memiliki bekal sejarah yang kuat serta SDM yang tidak
kalah hebat dengan masyarakat Eropa dan Amerika.
Jika menilik kejayaan kita dimasa lampau yang telah digoreskan dalam
sejarah kerajaan besar di Nusantara seperti Singasari dan Majapahit yang
bisa menguasai Asia Selatan maka sepatutnya kita harus introspeksi lebih
dalam lagi. Kita semua semestinya harus menyadari bahwa kita memang
bangsa yang besar dan memiliki pijakan yang kuat untuk menjadi
bangsa superpower, termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan. Harapan
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 5

lebih jauh tentu dikemudian hari kita dapat menciptakan masyarakat


komunikasi Indonesia yang memiliki identitas berbasis lokalitas yang
kuat di tengah berbagai gempuran dinamika global. Kita juga dapat
menjadikan komunikasi sebagai solusi dan dan symbol eksistensi identitas
kita ditengah pergumulan ilmu pengetahuan internasional.
Wacana pribumisasi (indigenisasi) ilmu komunikasi jika dicermati
sesungguhnya belum telat dan ketinggalan. Bangunan kesadaran ini
merupakan salah satu respons ahli komunikasi lokal agar ilmu komunikasi
memperhatikan kondisi sosial dan kultural lokal sebagai konteks yang
mesti dan harus diperhatikan dalam mengembangkan kajian ilmu
komunikasi. Kondisi ketergantungan terhadap studi-studi barat tentu
akan semakin menjauhkan ikhtiar kita dalam adaptasi ilmu untuk
menjawab problematika masyarakat. Adaptasi melalui pengalaman di
tingkat lokal justru akan semakin mengayakan perpektif dan menjadikan
ilmu komunikasi semakin kaya dan beragam. Sekaligus yang penting
adalah melakukan koreksi atas keberlakuan teori dan konsep barat yang
selama ini kita jadikan rujukan utama.
Di level local kita memiliki banyak sekali sumber rujukan khas
seperti islam dan kearifan local. Islam sebagai kekuatan tentu tidak bisa
kita lupakan dalam pengembangan kajian komunikasi Indonesia yang
mayoritas. Ia tidak bisa dipisahkan dari konteks masyarakat timur yang
relegius, high context culture, dan guyup gotong-royong dalam kelompok,
grup, dan komunitas. Selain itu berbagai budaya, agama, keyakinan juga
memberi nuansa khas idalektika pengetahuan di Indonesia. Dialektika
beragam ilmu itu juga patut dijakikan titik pijak di dalam mengembangkan
konsep lokal. Bagaimana ilmu komunikasi menjawab kebutuhan lokal
dan bertansformasi yang memberi petunjuk kemana ilmu itu akan
dikembangkan.
Cita-cita luhur kita adalah mampu memiliki konsepsi khas tentang
komunikasi yang sesuai dengan konteks Indonesia dan mengarahkan
Indonesia sebagai sentral dalam pengembangan ilmu komunikasi di
Asia khususnya di Asia Tenggara sehingga dikemudian harinya dapat
menciptakan masyarakat komunikasi Indonesia yang memiliki identitas
berbasis lokalitas di tengah dinamika global dan menjadikan komunikasi
sebagai solusi.
6 Meng-Indonesia-kan Ilmu Komunikasi

Pribumisasi (indigenisasi) ilmu komunikasi merujuk pada logika


berpikir Kleden (1987) dalam Alois A Nugroho (2001) pada dasarnya
adalah menyesuaikan asumsi dasar teori ilmu komunikasi dengan sistem
nilai lokal (atau nasional) serta merekonstruksikan isi teori tersebut
atas dasar sistem kognitif lokal (atau nasional). Ada upaya adaptasi dan
kontekstualisasi di dalam proses ini. Proses adaptasi itu adalah upaya
sistematis dan terpadu menyingkronkan berbagai konsep dan juga
mengkombinasikan dengan kenyataan di tingkat lokal sehingga benar
benar khas sesuai kebutuhan dan kondisi riil dimana ilmu itu tengah
dikembangkan.
Dengan upaya ini ilmu pengetahuan juga akan dekat dengan
masyarakat dimana ilmu pengetahuan itu dikembangkan. Selain itu, ilmu
pengetahuan akan menjadi solusi praktis atas berbagai problematika yang
timbul di tingkat local sehingga keberadaanya menjadi penting dan diakui
oleh masyarakat setempat. Kedekatan dan kesesuaian ini juga menjadikan
proses adaptasi dan elaborasi ilmu pengetahuan, khususnya yang berasal
dari luar dapat dilakukan dengan pertimbangan kontekstual yang mapan
dan cermat.
Harus diakui dan juga disadari jika selama ini universalitas
pengetahuan selalu mengandung kelemahan mengingat tidak semua
konteks masyarakat itu sama persis, baik dalam budaya maupun lingkungan
sosial yang lain. Bahkan kini teori-teori yang berasal dari masyarakat
barat yang mengklaim diri sebagai universal pun mulai dikoreksi dan
memasukkan unsur lokal dimana ilmu itu akan diterapkan. Kearifan
dan muatan lokal mulai dipertimbangkan dan diadopsi dan selanjutnya
dielaborasi dan digabung menjadi konsep baru yang lebih aplikabel dan
adaptif sesuai kebutuhan masyarakat setempat. Jadi ada penghormatan
atas sistem nilai lokal dan sistem kognitif lokal yang telah lama berlaku
dan telah lama dikembangkan masyarakat setempat. Justru kombinasi ini
akan semakin menghasilkan kemampuan daya adaptasi yang tinggi akan
teori dan konsep itu sendiri.
Selama ini secara umum, kajian komunikasi masyarakat barat
hamper selalu menekankan pada aspek individualistik, sementara
masyarakat timur berbasis kelompok, paguyuban, dan kebersamaan.
Dalam masyarakat timur menurut Nugroho (2001) konsep komunikasi
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 7

efektif tidak sekadar deliver pesan, tetapi juga soal kebersamaan yang
selama ini tidak diperhatikan pada masyarakat barat. Nugroho (2001)
menambahkan bahwa sesuatu “tidak komunikatif ” karena tidak membaur
dalam kehangatan kebersamaan, tidak menjaga harmoni. Komunikasi bagi
khalayak ini bukanlah masalah akurasi informasi yang ditransmisikan,
melainkan masalah keberbagian dalam kebersamaan, masalah ketepatan
dalam melaksanakan ritus kolektivisme itu. (Alois Nugroho, 2001).
Dengan demikian ukuran efektivitas komunikasi adalah kebersamaan
dan kehangatan, bukan pertama-tama interpretasi yang benar di pihak
penerima, bukan pertama-tama umpan balik yang diharapkan. Ada hal
yang berbeda antara masyarakat barata dan Indonesia, khususnya jawa.
Dalam masyarakat Jawa, sebagai contoh tidak mengenal berterus
terang, tetapi lebih banyak diam dan menyimpan perasaannya atas
sesuatu jadi tidak reaktif. Bahkan semakin tinggi kedudukan seseorang,
maka hal yang tak terang seperti komunikasi nonverbal pesemon sudah
menjadi bahasa tersendiri melebihi makna dari kata kata. Bahkan ada
kecenderungan bahasa yang tak terkatakan seperti bahasa non verbal
semakin memiliki kedudukan tinggi dalam praktik komunikasi tradisional
Jawa.
Dalam aplikasinya pada tataran penyelia, komunikasi masih
menggunakan kata-kata, tetapi tidak langsung pada masalah, melainkan
berputar-putar. Sementara pada tataran menengah, sudah tak diperlukan
kata-kata, melainkan gerak-gerik mulut yang tak bersuara namun
bermakna. Adapun pada tataran tinggi komunikasi menjadi semakin
halus dan mengambil rupa sasmita, isyarat, utamanya melalui perubahan
raut muka, gerak-gerik mata, hidung, lidah, telinga, bibir, tarikan napas,
tanpa banyak mengeluarkan suara. Maka sesungguhnya tantangan bagi
ilmu komunikasi Indonesia bukanlah pada kemampuan menganalisis apa
yang dipancarkan, melainkan kemampuan menganalisis hal-hal yang
tidak dipancarkan.
Mengingat besarnya konsep yang bisa digali dalam masyarakat
Indonesia itu, maka tidaklah mengherankan jika hasil penelitian nanti
akan menunjukkan variasi dari daerah ke daerah, dari suku ke suku, dari
segmen masyarakat yang satu ke segmen masyarakat yang lain. Nilai nilai
seperti gotong royong, silih asih, asah, asuh, berat sama dipikul, ringan
8 Meng-Indonesia-kan Ilmu Komunikasi

sama dijinjing, welas asih, rahayu sagung dumadi adalah sebagian nilai
yang lahir dari dinamika local masyarakat Indonesia. Semangat guyup
gotong royong sebagai masyarakat paguyuban membuat masyarakat
senantiasa hidup dalam tenggang rasa yang tinggi dengan sesama serta
menekankan proses kebersamaan. Konteks itu yang agak berbeda dengan
masyarakat Barat yang individualistik dan lebih mementingkan hasil.
Sejumlah pakar komunikasi juga mulai mencari paradigma yang serasi
dengan dengan keadaan yang ada di masyarakat yang mengeksplorasi lebih
dalam variabel manusia, sosio pilitik, budaya, pandangan dan keakinan
nilai sosial budaya, baik ekplisit maupun implisit yang selama ini hanya
menjadi variabel penyela dalam tradisi riset barat (Hamidjoyo, 2000:4).
Manusia (perilaku manusia) dan perubahan sosial yang menjadi fokus dan
inti dari kajian komunikasi senantiasa dinamis. Dengan demikian nilai
budaya menjadi penting untuk diperhatikan.
Di level makro, sistem pendidikan yang mengacu kepada pasar juga
tidak sedikit perannya dalam mengerus potensi lokal. Politik pendidikan
juga tidak bisa dilepaskan dari liberalisasi pasar yang membawa dampak
kepada peningkatan kebutuhan tenaga praktis. Pendidikan akhirnya hanya
mengikuti pola barat dan memenuhi kebutuhan pasar atau respon kritis
terhadap sistem pasar. Konglomerasi, ekspansi ekonomi dan globalisasi
ekonomi ini jelas memperlemah identitas nasional kita. Hal ini sejalan
dengan trend global dalam arus neoliberlisasi. Bagaimanapun semua tidak
bisa dilepaskan dari kepentingan industri dan pendidikan komunikasi sulit
untuk obyektif berdiri di atas kepentingan publik yang obyektif.
Pengetahuan dengan demikian sebenarnya adalah prosese yang
tiada endingnya (never ending process), ia bertumbuh mengikuti dinamika
social, politik, dan budaya serta pengaruh baik di dalam maupun di luar. Ia
akan terus berubah dan proses konstruksi sosial yang dihasilkan melalui
interaksi kuasa antarberbagai kepentingan. Sesungguhnya pada muara
akhir, bentuk atau lanskap pendidikan yang menjadi basis perkembangan
ilmu pengetahuan akan mencerminkan siapa yang sedang berkuasa dan
siapa yang paling kuat memengaruhi. Guna memperkuat identitas ke-
Indonesia-an, maka ke depan pendidikan komunikasi harus bisa menjadikan
civitas academica menjadi kritis dan mengabdi kepada masyarakat dan
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 9

kebaikan bersama serta tidak sekadar memenuhi kebutuhan industri


media dan menjadi anak baik dari kapitalisme.
Madura Jawa Timur adalah tempat dan laboratorium sosial yang unik
dan menarik. Banyak ragam masalah, potensi dan tantangan yang bisa
dieksplore lebih lanjut. Sudah saatnya berbagai tema yang ditulis dalam
buku ini bisa ditindaklanjuti dengan upaya yang sungguh-sungguh dalam
menyusun aksi lanjutan. Sebagai agenda bersama mari kita bergandengan
tangan untuk memperteguh tekad kita membumikan ilmu komunikasi
dengan berbasis budaya lokal dengan beberapa agenda stretegis sebagai
berikut: 1) membangun diskursus alternatif di luar ilmu komunikasi
mainstream barat 2) menyuguhkan potret lokal kearifan timur 3) berdasar
pengalaman menurut sudut pandang sendiri 4) Ilmu komunikasi sebagai
penggerak perubahan sosial 5) sebagai produsen bukan konsumen 6)
mengurangi kuasa negara dan pemodal, dan 7) memperbanyak kajian
kontekstual keIndonesiaan. Semoga kita bisa istiqomah membangun
peradaban baru dalam kajian komunikasi ke Indonesia an melaui eksplorasi
di Madura dan Jawa Timur, seberapapun itu bentuk sumbangsihnya. Mari
kita mulai dari sekarang.

REFERENSI
Alois A. Nugroho (2011), Indigenisasi Ilmu Komunikasi di
Indonesia Menjadi Ilmu Komunikasi Indonesia,
Makalah dalam Konferensi Nasional Ilmu Komunikasi yang
bertajuk “Membumikan Ilmu Komunikasi Indonesia” yang
diselenggarakan oleh Pusat Kajian Komunikasi Departemen
Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Indonesia di Depok, 9 November 2011.
Hamijoyo, Santoso S (2000), Landasan Ilmiah Komunikasi: Sebuah
Pengantar, Jurnal Mediator, Vol 1 No. 1 Tahun 2000.
Kriyantono, Rachmad (2014a) Teori Public Relations Perspektif Barat
dan Lokal: Aplikasi Riset dan Praktik. Jakarta: Prenada Media.
10 Meng-Indonesia-kan Ilmu Komunikasi
2
Konstruksi Penyiaran
Islami dalam Liberalisasi
Industri Media TV:
TANTANGAN DAN PELUANG MENGEMBANGKAN
PROGRAM TV-9 DAN MADURA TV

P
ada dasarnya lanskap media massa di Indonesia
merupakan sebuah proses kontruksi sosial yang
masih dalam proses pembentukan dan berlangsung
terus menerus (Sendjaja, 2007). Proses pembentukan itu
diwarnai kontestasi yang tajam antar aktor dan agen untuk
mengukuhkan relasi kuasanya masing masing dalam
berebut ruang legitimasi. Proses itu bisa manifes atau
laten dan terus berlangsung berkesinambungan hingga
kini. Sendjaja (2007) mengemukakan ada tiga agen utama
pasca reformasi yang saling interplay yakni masyarakat
sipil, pasar, dan media yang akan terus bersaing satu
sama lain dalam upaya menentukan definisi operasional
yang sahih tentang realitas media yang dianggap paling
sah agar dipatuhi semua pihak. Hasil kontestasi itu akan
meneguhkan siapa sejatinya yang memiliki kuasa dan
menentukan isi media.

11
12 Konstruksi Penyiaran Islami dalam Liberalisasi Industri Media TV

Dalam sejarahnya kontestasi berlangsung tidak dalam ruang


social vacuum, tetapi berada dalam ruang sosial dinamis yang memiliki
karakteristik relasi kuasa yang khas dan dalam posisi tarik menarik
yang sering tidak berimbang. Ruang media diperebutkan oleh berbagai
kelompok yang memiliki surplus sumber daya ekonomi dan politik
hingga bisa mendominasi dan menguasai kelompok lain. Masing masing
kelompok berusaha untuk menempati posisi yang menguntungkan untuk
memenangkan kontestasi tersebut dalam bentuk hegemoni. Kontestasi
media akhirnya menjadi fenomena khas tidak saja karena faktor internal,
tetapi juga eksternal dan tidak pernah terlepas dari tinjauan historis dan
kontekstual dimana interplay itu berlangsung.
Pasca reformasi tahun 1998 dan berakhirnya rezim orde baru, media
massa mengalami perubahan lanskap yang drastis. Media bergerak dari
media propaganda pembangunan menjadi media industri dan politik.
Media massa cetak berkembang dalam jumlah yang sangat signifikan
hingga mencapai 300%. Di era itu Indonesia menurut Hidayat (2003)
merujuk pada Turner dan Goodman (2000) dikenal sebagai negara paling
demokratis Indonesia has become one of the most open communities in as much
as you can pretty well write what you want without fear of official sanction.
Selain media cetak, perkembangan media massa elektronik khususnya
tv nasional dan lokal di Indonesia pascareformasi juga berubah signifikan
yang ditandai dengan masuknya sejumlah pemain baru. Para pengusaha
yang selama ini tidak memiliki akses karena kendala politik termasuk juga
didalamnya sejumlah aktivis yang dilarang bermedia pada masa orde baru
mulai masuk turut meramaikan ‘bisnis’ media massa di tanah air. Sejumlah
deregulasi bidang media yang dilonggarkan pada awal rezim Habibie
turut mendorong munculnya media baru yang beroperasi di Indonesia.
Jumlah media penyiaran berkembang pesat dan media elektronik nasional
dan lokal bertambah pemain baru hingga pilihan media elektonik free to
air menjadi semakin banyak.
Pelonggaran izin media itu berlangsung hingga medio 2008 hingga
munculnya regulasi baru dibidang pers tahun 1999 dan penyiaran 2002.
Tarik ulur kepentingan dalam regulasi media pada waktu itu karena
pengaruh reformasi pada awalnya dimenangkan publik yang ditopang oleh
kekuatan civil society sehingga regulasi media dilevel fundamental terlihat
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 13

prowarga, propublik. Namun, apa mau dikata regulasi yang pro publik
tersebut dilevel regulasi teknis tidak mampu diterjemahkan dengan baik
oleh aparat negara sehingga semangat media propublik tersebut ditingkat
teknis menjadi pudar dan tak lagi terlihat. Hal ini bisa jadi karena negara
dan pasar tidak melihat hal tersebut menguntungkan bagi kepentingan
kedua belah pihak.
Di era awal reformasi kekuatan sipil terlihat menguat dan kekuatan
negara melemah. Regulasi teknis banyak yang belum disusun sejalan
dengan regulasi fundamental hingga banyak regulasi teknis yang siap
dilaksanakan karena belum selesai dibuat. Situasi tersebut membuat
implementasi kebijakan media menjadi karut marut dan akhirnya banyak
kalangan menafsirkan kebijakan level praktis sendiri sendiri, sesuai
kehendak dan kepentingannya sendiri sendiri. Situasi ini membuat proses
kebijakan teknis terkendala dan media penyiaran hanya berjalan di tempat.
Dalam kondisi tertentu situasi ini memang dilematis dan menjadi polemik
di level teknis. Negara yang seharusnya segera membuat kebijakan teknis
seolah melakukan pembiaran dan perkembangan media menjadi rumit
dan serba tidak ada kepastian.
Saat kekuatan civil society mulai longgar pasca 2010 maka negara
bersama pasar kembali melakukan konsolidasi dan melakukan kerjasama di
level regulasi teknis untuk menjamin legitimasi dan kepentingan mereka.
Akibatnya bisa ditebak, mekanisme pasar berjalan dalam persaingan di
bidang bisnis media dan investor mulai memegang kendali dalam bisnis
media. Sejatinya, situasi itu berlangsung dalam persaingan yang tidak fair
dan masing masing pihak berkehendak sendiri menafsirkan regulasi dan
mengambil langkah teknis sendiri sendiri. Payung hukum yang demokratis
dilevel regulasi fundamental kerapkali tidak sesuai dengan level regulasi
teknis. Bahkan kadang bertolak belakang. Kebijakan media menjadi kabur
tergantung siapa yang bisa memanfaatkan situasi tersebut. Tak syak lagi,
banyak media massa tutup karena kalah bersaing dan akhirnya pasrah
diambil alih oleh investor media baik melalui proses akuisisi maupun
merger bisnis, khususnya investor grup media dari Jakarta.
Fenomena ini sungguh menarik diamati mengingat pascareformasi,
proses konsolidasi kelas menengah kritis Indonesia juga belum solid
dan mapan. Kekuatan civil society kritis mulai banyak yang masuk dalam
14 Konstruksi Penyiaran Islami dalam Liberalisasi Industri Media TV

lingkaran rezim baru hingga kekuatan warga kritis tersebut kehilangan


kekuatan untuk bisa mengontrol jalannya regulasi media secara kritis.
Dalam situasi itu kita juga bisa menyimak mulai munculnya peran peran
aktor profesional dalam serangkaian lobbi untuk memengaruhi proses
pembuatan kebijakan media. Tentu saja kontes dalam kuasa itu, mereka
tidak hanya berjuang menghadapi negara, tetapi juga kekuatan masyarakat
sipil yang juga menghendaki pembaharuan demokrasi media. Pada intinya
kekuatan kekuatan itu berusaha untuk mengurangi hambatan hambatan
politik yang muncul dalam penetrasi media, khususnya dalam medorong
kebebasan pasar dalam pengelolan media di Indonesia.
Meningkatnya jumlah pemain pasar dalam industri media diiringi
harapan tinggi publik agar media penyiaran dapat memainkan peran
yang fungsional bagi demokratisasi media yang bertumpu pada prinsip
keberagaman isi dan kepemilikan. Namun usaha itu menghadapi tantangan
dan problem yang tidak ringan. Tentu saja potret kontestasi media
Indonesia tidak sesederhana itu. Mengamati kontruksi sosial penyiaran
Indonesia tidak bisa dilepaskan dari aspek meso dan makro. Aspek meso
dan makro yang patut diamati adalah liberalisasi ekonomi, liberalisasi
politik, dan perkembangan teknologi komunikasi

LIBERALISASI DAN FUNDAMENTALISME PASAR


Fundamentalisme pasar pada dasarnya identik dengan yang kita
kenal sebagai neo-liberalisme sebagaimana digambarkan Shiva (2002)
dalam Hidayat (2013) sebagai:
“This (market) fundamentalism redefines life as commodity, society as
economy, and the market as the means and end of the human enterprise. The
market is being made the organizing principle for the provisioning of food,
water, health, and other basic need, it is being made the organizing principle for
governance, it is being made the measure of humanity...”
Fundamentalisme pasar meyakini bahwa semua adalah komoditas
yang diatur oleh pasar. Everything is for sale! Fundamentalisme pasar
tambah Hidayat (2003) tidak mengakui apa yang disebut sebagai
fundamental rights of citizens ataupun fundamental duties of governments.
Yang ada adalah kewajiban bagi tiap manusia untuk memenuhi kebutuhan
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 15

mereka sendiri dengan mengembangkan enterpreneurship agar sesuai


dengan kaidah kaidah pasar.
Sebagai sebuah ideologi fundamentalisme pasar meyakini bahwa
semua interaksi manusia merupakan transaksi ekonomi dan semua hal
adalah komoditas. Kebebasan dalam konsep fundamentalisme pasar lebih
banyak diformulasikan sebagai kebebasan individu untuk melakukan
akumulasi keuntungan dan juga kebebasan mobilitas bagi barang dan
jasa serta modal. Jadi semua akan lebih baik kalau diserahkan kepada
mekanisme pasar.
Media massa sebagai entitas bisnis dalam hal ini harus dilepaskan dari
kontrol pemerintah dan warga, dan diserahkan kepada konsumen sebagai
kekuatan inti pasar melalui mekanisme pasar. Hal hal yang menghambat
mekanisme pasar harus disingkirkan dan dihilangkan. Akibatnya, sektor
media yang masih dikelola dengan prinsip public service harus diarahkan
kepada profit making enterprise yang bisa memberi pemasukan dana bagi
negara atau public service institution.
Liberalisasi ini membawa pada situasi dimana rejim kapital nampak
dominan dengan menggunakan logika dalam istilah Hidayat (2003) never
ending circuit of capital accumulation M-C- money-commodities-more money
dan membungkam media yang tidak bisa mematuhi kaidah kaidah pasar.
Akibatnya media hanya akan bisa tumbuh dalam kelompok kelompok
konglomerasi besar yang bisa mengambil keuntungan dengan melakukan
merger dan akuisisi. Kelompok kelompok ini yang memiliki akses besar
dan economic scale yang lebih besar dalam melakukan integrasi vertikal
dan horizontal dalam pasar. (Hidayat, 2003)
Logika pasar ini pula yang akan menentukan isi media, dan akan
memiliki dampak serius terhadap publik sebagaimana dipaparkan Hidayat
(2013:7) yaitu Pertama, tingkah laku penyiaran akan semakin ditentukan
oleh the logic of accumulation and exclution. Logika kepentingan akumulasi
modal akan menentukan siapa dan apa yang akan dikesampingkan media
penyiaran. Artinya pasar akan mendikte isu isu apa yang layak tayang
dalam media penyiaran. Mereka akan mendikte isu isu yang linear dengan
kepentingan pasar dan akan mengesampingkan isu isu yang bertentangan
dengan kepentingan ekspansi dan akumulasi modal. Isu isu publik akan
16 Konstruksi Penyiaran Islami dalam Liberalisasi Industri Media TV

ditayangkan jika fungsional dengan kepentingan itu, dan otomatis


dikesampingkan jika bertentangan dengan prinsip tersebut.
Kedua, Biaya akses ke media menjadi mahal dan hanya akan
terjangkau oleh kelompok yang memiliki surplus modal. Bagi kelompok
yang tidak memiliki sumber daya berupa kekuatan politik dan dukungan
ekonomi maka akan memproleh akses yang kecil guna menyuarakan isu
kepentingan mereka. Yang lebih berbahaya, bagi kelompok yang memiliki
sumber daya akan mampu melakukan perception engineering atau issues
management, dengan membeli jam tayang, melakukan rekayasa public
relations, untuk kepentingan isu mereka.
Ketiga, Kaidah dan logika mekanisme pasar akan mendepak keluar
institusi institusi yang tidak memapu mematuhi rejim kapital dan kehendak
industri pengiklan. Media alternatif tidak akan mendapat tempat sebagai
wadah public sphere dan media akan jatuh pada kepentingan konsumen
yang telah terstruktur ekspansi ekonomi. Hanya isu isu yang panas
dan sensasional yang bisa masuk ke media. Media media yang memiliki
harapan hidup adalah yang memuat isu isu seperti itu dan jika tidak ikut
maka media akan memiliki harapan hidup yang rendah. Akhirnya terjadi
homogenisasi isi media, media hanya menyajikan isi dari kepentingan
pasar.
Keempat, Media akan berperan melanggengkan dan mereproduksi
struktur sosial yang bercirikan ketimpangan antarkelas ekonomi. Akan
terlihat ketimpangan antar kelas dalam mengkonsumsi media. Kelas
ekonomi menengah ke atas akan cenderung menjadi segmen quality
newspaper dan quality program sedangkan untuk kelompok menengah
bawah akan menjadi segmen yellow newspaper dan yellow program yang
penuh dengan ekspoitasi konflik, gosip, kkerasan, mistik, dan eskpiotasi
tubuh perempuan. Hal ini menurut Hidayat (2013) akan mencipta gab
rasionalitas antarkelas antar warga negara dan tidak fungsional bagi
perkembangan demokrasi yang membutuhkan kesetaraan informasi
publik dalam tiap wacana publik.
Kelima, Ekspansi market regulation akan semakin menempatkan
jurnalis pada posisi rentan dan sekadar menjadi alat produksi informasi
dan hiburan. Artinya setiap pertimbangan efisiensi muncul, para jurnalis
itu dengan gampang di putus hubungan kerja (PHK), dikurangi jumlah
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 17

upah dan jaminan kesejahteraannya. Para jurnalis bisa terjebak menjadi one
dimention man dan tidak mampu menghayati diri mereka sebagai craftmen
yang mampu menjadi pekerja seutuhnya yang mampu mengekplorasi dan
mengekpresikan kreativitas, idealisme, dan aspirasi demokrasi mereka.
Bisa jadi dalam tahap tertentu posisi jurnalis akan berada dan dipaksa
menjadi freelance yang memiliki posisi tawar yang rendah untuk menuntut
perbaikan upah, kesejahteraan dan jaminan profesi guna menerapkan
prinsip prinsip jurnalisme profesioal.
Liberalisasi pasar ini semakin meneguhkan kekuatan pemodal besar
dalam bisnis media dan mendorong ke arah konsentrasi modal dan
kepemilikan baik melalui proses commercialization, liberalization, dan
internationalization.
Dalam mekanisme pasar itu juga meyakini bahwa tidak ada kewajiban
negara, pun tidak ada hak dasar warga. Fundamentalisme pasar meyakini
semua manusia adalah enterpreneur, semua interaski manusia adalah
transaksi ekonomi dan semua hal adalah komoditas. Media dengan
demikian harus diserahkan kepada mekanisme pasar. Langkah langkah
ini berusaha untuk membebaskan media dari kuasa negara dan juga
publik. Tidak heran jika kemudian muncul sejumlah ancaman bagi
penyelenggaraan kepentingan publik. Media publik dikelola laksana
industri penyedia jasa bisnis yang menghasilkan keuntungan bukan
memberi pelayanan bagi kepentingan publik. Pemenuhan kebutuhan
publik, menjaga kepentingan publik, dan menjamin akses publik yg bisa
menjamin diskursus kepentingan dan kebaikan bersama tidak lagi menjadi
prioritas dalam industri media. Akses ke forum pmbentukan pendapat
umum publik semakin lemah dan pada akhirnya public sphere semakin
terkontaminasi kepentingan bisnis dan eksplorasi kapitalis semata.

LIBERALISASI POLITIK
Pascareformasi juga ditandai dengan semakin bebasnya kebebasan
berekpresi dalam berpolitik. Reformasi yang membawa tuntutan atas
demokratisasi disegala bidang menyasar juga bidang media massa. Tak
pelak terjadi tuntutan penyesuaian atas berbagai perangkat hukum yang
dinilai tidak sejalan dengan demokratisasi bidang media. State regulation
18 Konstruksi Penyiaran Islami dalam Liberalisasi Industri Media TV

dimana negara mendominasi pengaturan media mulai melongarkan


sejumlah aturan agar nampak sejalan dengan tuntutan reformasi dan
demokratisasi bidang media. Rezim Habibie yang naik saat reformasi
berusaha untuk menderegulasi aturan yang menghambat tumbuhnya
media massa sebagai upaya untuk memeroleh dukungan dan legitimasi
dari publik.
Tak syak lagi, munculnya berbagai ragam regulasi politik yang
mencoba untuk memberi akses kepada warga dalam perkembangannya
mendorong terjadinya liberalisasi politik. Hal ini karena proses konsolidasi
sipil belum matang dan kekuatan sipil kritis banyak termobilisasi menjadi
bagian dari lingkaran elit negara. Situasi ini juga mendorong reformasi
bidang hukum yang membuat banyak penyesuaian dalam regulasi politik
termasuk didalamnya partai politik yang menjadi pilar legislatif.
Menyimak perjalanan pengaturan media di Indonesia dapat dilihat
adanya pergeseran dari state regulation menuju market regulation. Kekuatan
kekuatan sipil seolah lepas dari kungkungan politik dan kemudian
mendapatkan momen untuk unjuk ekpresi kekuatan politik. Pasca
reformasi, munculnya sejumlah deregulasi telah mendorong kekuatan
kekuatan politik untuk muncul baik partai baru maupun LSM untuk ikut
serta meramaikan wacana dan diskursus masalah publik.
Tak syak lagi media tumbuh dan berkembang pesat ditengah kebebasan
politik yang diperoleh. Regulasi media yang tidak mensyaratkan SIUPP
menurut Hamad (2004:66) telah membawa berkah bagi pertumbuhan
media di Indonesia. Pertama, memberi basis yang kuat bagi lahirnya
pers industri dengan mengeser pers idealis. Kedua, mengundang para
pemodal untuk masuk ke media yang belum tentu menjadi bisnis utama
mereka. Ketiga, memunculkan kelompok kelompok usaha penerbitan
media. Hamad (2004) memaparkan ketika gerakan reformasi datang
dengan membebaskan media dari belenggu politik kecenderungan tiga
hal tersebut semakin menguat. Media dan pers Indonesia semakin leluasa
mengekpresikan keyakinan politiknya tanpa harus merasa terancam
usahanya. Bahkan sejumlah media terjerumus menjadi media partisan dan
terkesan jor-joran memberitakan tokoh dan partai politik yang didukung
dan diserangnya. Kepentingan politik media lantas berbaur dengan
kepentingan usaha mereka.
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 19

Kendati dalam faktanya tidak ada yang murni market regulation,


karena dimanapun ada rezim negara tetap memiliki kuasa, dominasi
market sering berkelindan dengan rezim untuk saling mengamankan
kepentingan masing masing. Akibatnya, dorongan media menjadi
industri semakin menguat dan proses liberalisasi kawasan publik mulai
berlangsung. Industri media mulai memegang peranan penting dalam
konteks politik Indonesia.
Dominasi media korporasi di Indonesia pasca reformasi bukannya
tidak problematik. Banyak paradog yang muncul akibat dominasi media
bisnis ini. Sementara cita-cita media nasional untuk mmbentuk jati diri
keindonesiaan yang demokratis bertumpu pada kepentingan warga
semakin jauh dari apa yang dilakukan media korporasi. Kenyataannya
kepentingan negara dan pasar lebih terakomodasi, dibandingkan
kepentingan masyarakat sipil di dalamnya (Ida, 2010). Akhirnya,
mulai lah rezim pasar menguasai warna media di Indonesia. Beragam
masalah mulai timbul silih berganti dan terjadi karut marut dalam
sistem penyiaran nasional, dimana media korporasi terus mendominasi
diskursus wacana publik. Media nasional yang diharapkan dapat menjadi
ruang publik bagi warga negara kerap melanggar kewajiban dan bahkan
sering lari dari fungsi edukasi dan pengawasan. Fenomena konglomerasi
media mulai muncul seiring dengan melemahnya negara dan menguatnya
para pengusaha media. Kondisi ini tidak berubah hingga kini. Platfom
media nasional yang didominasi media korporasi bisnis itulah yang saat
ini mendominasi media Indonesia.

PERKEMBANGAN TEKONOLOGI KOMUNIKASI


Di sisi lain perkembangan teknologi juga berlangsung cepat dan
tidak mampu diimbangi regulasi. Regulasi media kita tergagap gagap
mengantisipasi perkembangan teknologi komunikasi yang berlangsung
cepat. Regulasi kita hanya bisa menjadi pemadam karena datang
begitu masalah timbul dan sudah ada, dan ia tidak mampu menjadi alat
perekayasa sosial (social engginering) yang efektif dalam mengantisipasi
segala dampak negatif yang muncul.
20 Konstruksi Penyiaran Islami dalam Liberalisasi Industri Media TV

Media penyiaran kini tengah memasuki era konvergen dan media


baru. Era ini menurut Sendjaja (2007) merupakan perpaduan dari 3 elemen
sarana 3Cs yakni communication network, computing/information technology
dan digitised media and information content. Salah satu ciri yang menonjol
adalah perubahan model komunikasi dari one to many menjadi many to
many communications. Di level praktis era ni juga membawa implikasi pada
terjadinya konvergensi multitask dan multi content.
Media penyiaran juga tengah bergerak ke arah sini hingga
menjadi multiplatfom dan terintegrasi dengan berbagai media online.
Perkembangan ini juga akan berjalan cepat seiring dengan semakin
berkembangnya teknologi internet dan media sosial. Hal ini memaksa
media penyiaran harus terintegrasi dengan media intenet yang bisa
diakses oleh publik kapan saja dan dimana saja.
Perkembangan ini juga akan membawa dampak kepada perilaku para
konsumen media. Ke depan media penyiaran akan terhubung dengan
media sosial yang akan diakses menggunakan smartphone dan itu artinya
kebutuhan untuk menyajikan informasi online dan on demand semakin
kuat. Media ke depan terintegrasi dengan teknologi seperti itu yang
harus menyediakan banyak content agar tetap bisa mempertahankan
konsumennya.
Dalam posisi itu kepentingan ekonomi politik tetap akan menjadi basis
dalam mengamati pertarungan kuasa pada sektor penyiaran. Peran global
dan juga ekonomi internasional tidak bisa dilepaskan. Perkembangan
ekonomi dan industri media global juga akan berpengaruh terhadap bisnis
media. Proses integrasi ekonomi global bisa membawa tekanan terhadap
rezim dan lebih rentan terhadap tekanan tekanan eksternal (Hidayat,
2003:1)
Arena kontestasi media ini sejatinya adalah konstruksi sosial yang
melibatkan interaksi kekuasaan dalam penggal sejarah tertentu. Bukan
fenomena yg statis, tetapi dinamis dan terus berjalan. Realitas pasar
berkelindan dalam situasi yang tidak selalu berimbang antar kekuatan
atau agen.Sepanjang kekuatan tertsebut tidak imbang maka hegemoni
dan dominasi akan terus berlangsung sepanjang waktu.
Bagaimanapun, menurut Hidayat (2003) tidak mungkin
mengeleminasi kekuatan pasar dan juga negara dalam situasi seperti ini
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 21

karena itu diperlukan penyadaran, pemberdayaan, dan konsolidasi publik.


Bagaimana publik mampu mewujudkan penyiaran publik yang mandiri,
dikelola secara mandari atas kekuatan civil society, dengan menggunakan
dukungan dana publik sehingga tercipta public sphere yang relatif
terlindung dri pengaruh yang berlebihan dari pasar dan negara.

MEDIA KOMUNITAS & KOMODIFIKASI RELIGI


Perkembangan media komunitas sebagai salah satu pilar media
demokratis mengalami pasang surut dalam sejarah perkembangan media
di Indonesia. Media komunitas yang memberi peluang kepada warga
negara untuk berpartisipasi aktif dan ikut serta memajukan media
menghadapi tantangan yang tidak mudah. Tentu saja tantangan itu tidak
bisa dilepaskan dari kontestasi yang dipaparkan dimuka.
Media komunitas termasuk didalamnya media berbasis kelompok
agama seperti milik kelompok masyarakat islam, secara performance
conduct media di Indonesia mungkin tidak segemerlap media swasta yang
dikelola korporasi bisnis profesional. Media islam atau yang berlatar religi
mengalami stagnasi dalam posisi hegemoni industrialisasi media seperti
itu. Isi media industri yang bertumpu pada libido konsumen semakin
menjauhkan isi media religi dari konsumen media Indonesia.
Dalam konteks industri media, siaran agama atau religi hanya
akan memiliki peluang untuk tetap bertahan jika mampu melakukan
komodifikasi isi. Acara religi dipaksa untuk mengikuti logika pengaturan
pasar agar tetap memiliki rating dan penonton. Akhirnya, berbagai acara
religi justru terjebak pada kepentingan pragmatis demi mengejar rating
semata dengan mendramatisasi berbagai jalan cerita menjadi serba ekstra,
tanpa memiliki kedalaman dan memahamkan essensi ajaran agama. Tidak
jarang acara sinetron keluarga menjadi penuh olok-olok, kekerasan
fisik dan kata-kata makian, dan menjurus kejam serta sadis. Belum lagi
visualisasi siksa dan azab agama kerap hadir dengan tayangan yang
menakutkan. Dramatisasi serba ekstra ini menjadikan tayangan religi
bak film horor. Celakanya lagi, acara-acara seperti itu tetap disuka dan
ratingnya tinggi.
22 Konstruksi Penyiaran Islami dalam Liberalisasi Industri Media TV

Tidak dimungkiri, sinetron religi kita selama ini juga banyak terjebak
pada kepentingan sesaat yang sekadar mementingkan tampilan fisik artis
dan setting kehidupan keluarga mapan serta tidak berusaha untuk keluar
pakem dengan setting mayoritas masyarakat yakni keluarga kelas bawah
guna mendorong empati dan kesalehan sosial. Tayangan sinetron tersebut
akhirnya tidak memberi inspirasi dan mendorong umat untuk melakukan
kontemplasi lebih dalam terhadap ajaran agama.
Dalam konteks ini sinetron religi sebagian besar menyuguhkan
siaran religius ‘seolah-olah’, hanya sekadar sebagai lipstik pemanis dan
tidak menyentuh aspek substansi. Banyak program yang dikemas dalam
bingkai religi, tetapi cerita dan isinya bertentangan dan melenceng
dengan isi dan pesan agama yang sesungguhnya. Beberapa hal yang
menghawatirkan dalam sintron religi kita adalah asosial, memicu sikap
pramatisme, konsumerisme dan hedonisme. Selain itu, dramatisasi azab
dan siksa membuat ajaran agama penuh darah dan membuat orang
ketakutan dalam memahami esensi ajaran agama yang hakiki.
Pendek kata tayangan TV kita tidak membumi dan hanya sekadar
cerita yang berandai-andai dan jauh dari pesan religius yang mengarah
pada kesalehan sosial. Gara-gara tayangan siksa kubur yang gosong
dan penuh belatung serta penuh darah, banyak anak-anak tidak berani
pergi ke masjid untuk tarawih dan sholat malam. Tidak sedikit anak-anak
ketakutan keluar dari kamar dan akhirnya terpaksa mengompol di tempat
tidurnya. Banyak akibat negatif dari tayangan religi seperti itu yang tidak
disadari oleh pembuat sinetron religi. Hal ini tentu membahayakan bagi
masyarakat, khususnya dalam memahami ajaran agama.
Menurut pengamatan Imawan (2008) banyak tayangan televisi
berbau mistik yang bertentangan dengan substansi ajaran islam. Imawan
(208) juga mengkritisi acara religi dengan menyebut sebagai post-
spiritualitas. Jika ditelaah lebih mendalam papar Imawan dengan merujuk
pada Pilian (2005) acara religi di televisi tersebut memperlihatkan
sebuah kondisi ketika yang kita sebut suci dicemari oleh yang kotor,
yang spiritual dinodai oleh yang material, yang Ilahiah ditulari oleh yang
duniawi. Sebuah percampuran entitas, peleburan esensi, dan sekaligus
persimpangsiuran nilai. Kondisi bercampurnya nilai-nilai spiritual
dengan nilai-nilai materialisme, bersekutunya yang duniawi dengan yang
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 23

Ilahiah, bertumpang tindihnya hasrat rendah dengan kesucian, sehingga


perbedaan di antara keduanya menjadi kabur, itulah yang dinamakan
Imawan sebagai posspiritualitas.
Wacana posspiritualitas, tambah Imawan (2008) menjadikan
kontradiksi sebagai ruang hidup dan prinsip utama. Tak bisa dipungkiri,
perkembangan masyarakat kontemporer ditandai dengan terseretnya
realitas ritual keagamaan ke dalam ruang pengaruh budaya populer,
sehingga seseorang terjerumus ke pusaran sifat dangkal dan artifisial
untuk menjauh dan terpental dari makna hidup dan nilai-nilai hakiki.
Idealnya, nilai-nilai religi tidak mendangkalkan ritual dan mencabut
makna hakikinya. Dalam amatan Imawan (2008) banyak tayangan religi
yang tidak sesuai dengan ajaran yang hendak disampikan. Demikian
pula dapat dijumpai pada berbagai ritual keagamaan, seperti Lebaran,
haji, zakat, sampai wacana keagamaan di talk show keagamaan, maupun
perayaan hari besar keagamaan.
Dalam situasi itu, Imawan (2008) menyebut bahwa di satu pihak,
televisi merupakan mesin penyebar nilai spiritualitas, tapi sekaligus ia
bertindak sebagai wahana berlangsungnya pemalsuan, pendistorsian,
dan penyelewengan. Dalam tayangan religi ramadan, misalnya, berbagai
bentuk wacana spiritualitas seakan menawarkan jalan pencerahan jiwa,
tapi pada saat yang sama sedang berlangsung proses memerangkap gaya
hidup konsumeristis. Berbagai bentuk kemasan citraan dan gaya hidup,
seperti menu buka puasa, busana simbol kesalehan, parsel, paket liburan,
dan berbuka bersama artis kini menjadi bagian dari ritual keagamaan.
Sebuah kegiatan ritual itu lantas digiring ke dalam perangkap kultur
populer, lengkap dengan manipulasi artifisial, permainan bahasa, dan citra
sebagai cara menciptakan imajinasi kolektif. Kesemuanya itu hanyalah
cara jitu mengomodifikasi kesucian.
Perubahan perilaku konsumen media juga tidak mudah untuk dinilai
dari aspek substansi. Beberapa yang patut diketengahkan adalah munculnya
mental instant society syndrome. TV bisa mencipta hasrat serba ingin cepat
walau dengan jalan pintas. Hal ini memiliki implikasi yang serius bagi
pembentukan mental dan budaya generasi muda. Cara mereka berpakaian,
make-up, dan asosoris terasa berlebihan. Akhirnya, banyak anak muda
yang menjadi pragmatis, konsumeris, dan juga hedonis. Glamorifikasi,
24 Konstruksi Penyiaran Islami dalam Liberalisasi Industri Media TV

pencipta sesuatu yang keren, heboh lagi mentereng. Glamorifikasi ini


tidak lain hanya akan membuat masyarakat terus bermimpi dan hidup di
awang-awang. Semua program tv akhirnya terus menerus mengekploitasi
ekpsektasi dan mimpi publik. Program tv menjadi hyperreality dan jauh
dari realitas sosial.

MENDESAKKAN MEDIA ISLAMI ALTERNATIF


Dibalik pesimisme itu, masih adakah secercah harapan bagi
perkembangan media alterrnatif termasuk media islam ke depan.
Menarik penjelasan Imawan Mashuri (2011) bahwa media tv lokal
masih memiliki harapan. Data ast anggota Asosiasi Televisi Lokal
Indonesia (ATVLI) mengalami peningkatan positif yakni 7% pertahun.
Bahkan, beberapa tv lokal ada yang bisa mencapai 67%. Data ini sungguh
menjadi obat pilu di tengah pesimisme kebijakan penyiaran yang tak
menentu. Di balik problematika yang dihadapi tv lokal, ternyata, jika tv
lokal dapat dikelola secara profesional maka industri ini mampu bersaing
dan berkembang baik. Demikian juga media komunitas akan juga bisa
berkembang dengan baik jika dikelola dengan baik bertumpu pada prinsip
prinsip tata kelola yang profesioanal.
Manajemen media, termasuk media penyiaran sebagaimana pernah
digambarkan Rahayu dalam Siregar (2010) identik dengan ketidakpastian.
Faktor yang turut menyebabkan diantaranya perubahan regulasi, depresi
ekonomi dan sistem permodalan, perkembangan teknologi, meningkatnya
tuntutan dan kesadaran publik, keterbatasan sumber daya manusia yang
berkualitas, serta pergeseran minat konsumen. Menurut Diyah dalam
Siregar (2010), manajemen media harus mampu mengantisipasi dan
mengatasi faktor ketidakpastian tersebut.
Media komunitas harus mulai memikirkan untuk menggunakan
pendekatan sains dan local wisdom dalam mengelola tv lokal agar bisa
bertahan dan berkembang. Media komunitas harus mulai memikirkan
untuk memiliki data base dan sistem informasi yang andal. Apalagi saat
ini publik mulai akrab dengan berbagai teknologi informasi.
Paling tidak, Media komunitas perlu memberi perhatian terhadap
pengelolaan data base terkait dengan asepk demografis dan psikografis
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 25

pemirsa yang selalu menunjukkan tren berubah dan dinamis. Berapa


jumlah penonton aktif, jumlah pesawat tv, pola perilaku menonton, daya
dukung ekonomi bisa dipantau secara realtime. Selain itu, pengelola Media
komunitas juga harus mulai mengembangkan jejaring untuk produksi dan
pemasaran program, termasuk joint dan tukar program dengan tv lokal
yang lain guna mengatasi kendala kekurangan supply program.
Yang tidak bisa dianggap remeh adalah soal sustainabilty, baik
manajamen maupun program. Media komunitas harus memiliki visi ke
depan yang jelas, sehingga bisa diterjemahkan dalam misi dan program
yang terukur mengingat perubahan yang sangat dinamis menyangkut
lifestyle, teknologi maupun ilmu pengetahuan. Media komunitas islam
harus mampu mengantisipasi berbagai perubahan tersebut dengan cepat
dan bisa mengambil keuntungan dari perubahan tersebut melalui sisi
bisnis, program, dan teknis.
Ketika media nasional dikuasai media bisnis, apa yang mesti harus
kita lakukan. Dapatkah kita ruang untuk mendesakkan media alternatif
pro publik untuk menjadi kontrol atas dominasi media bisnis tersebut.
Apa yang harus dilakukan masyarakat sipil, termasuk didalamnya umat
islam melalui penyiaran islami.
Sistem penyiaran yang ada di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari
kepentingan dan persoalan politik. Sistem media nasional harus terus
didorong untuk memiliki pemihakan terhadap umat dan juga warga.
Sistem itu harus juga dikembangkan berbasis pada kepentingan umat
dan bertanggungjawab atas pembentukan karakter bangsa. Sistem itu
harus patuh dan taat kepada cita-cita penyiaran yang demokratis, adil dan
bermartabat sebagaimana tertuang dalam regulasi penyiaran.
Beberapa tantangan bagi pengelola media penyiaran alternatif ke
depan 1) Isi Program: menarik, menghibur, dan mendidik. Selama ini data
AGB Nielsen memperlihatkan bahwa publik lokal masih belum tertarik
pada acara dengan segmen khusus, seperti pendidikan. Publik lokal masih
menyukai acara hiburan serba gado-gado, sekadar hiburan. Menyiasati
kondisi ini maka TV komunitas harus melakukan edukasi pemirsa untuk
menguatkan acara khusus, program-program khas genuin lokalis, juga
tetap menjadi supermarket untuk memenuhi keinginan publik yang
beragam. 2) Pendanaan (fund rising): media alternatif harus sehat secara
26 Konstruksi Penyiaran Islami dalam Liberalisasi Industri Media TV

bisnis dan menghasilkan keuntungan agar bisa berkembang. Selama ini


media komunitas masih belum mampu menghasilkan pendanaan yang
kuat. Media komunitas harus mampu melakukan penguatan sumber
pendanaan dengan terobosan program-program lokal yang khas. Media
tv komunitas juga harus mampu menekan biaya produksi. TV komunitas
harus mampu menekan biaya produksi program lokal. 3) Teknologi:
pengelola media komunitas tv islam harus akrab dengan teknologi
broadcast termasuk teknologi baru digital agar dapat melakukan adaptasi,
re-empowering, maintannace, support serta pengembangan teknologi.
Selama ini tidak jarang publik lokal malas melihat media komunitas dan
tv lokal karena kualitas gambarnya tidak jelas dan kalah jauh dari tv
swasta nasional.

TV-9 MEMBUMIKAN NILAI ISLAM NUSANTARA


DALAM BISNIS MEDIA LOKAL
Perkembangan televise lokal komersial merupakan salah satu
hasil transformasi sistem pertelevisian Indonesia (Hendrawan, 2013:
5). Televisi lokal tumbuh dan berkembang di Indonesia melengkapi
televisi jaringan yang bersiaran nasional. Menurut para pengamat media
keberadaan televise swasta merupakan langkah penting menuju system
penyiaran yang demokratis karena adanya keberagaman kepemilikan
dan keberagaman isi siaran (Silalahi, 2008;Armado,2002, Susilo, 2002,
Hendrawan, 2013).
Pada awal perkembangan televise lokal diharapkan menjadi alternative
dan menurut Hendarwan (2013) dapat menjadi penyeimbang dominasi tv
swasta nasional yang berbasis di Jakarta. TV local seolah menjadi symbol
perlawanan atas dominasi tv nasional Jakarta yang menguasai penyiaran
nasional. TV local dengan demikian menurut Hendrawan (2013) harus
menjadi medium untuk mempraktikkan identitas kultural (etnis dan
agama) yang telah lama diabaikan oleh stasiun televise nasional. Dengan
berfokus pada dinamika local, tambah Hendrawan, televise local dapat
berkontribusi pada pembentukan ruang public dan ekonomi local.
TV-9 yang dikelola PWNU Jatim resmi beroperasi pada 31 Januari
2010 dengan mengusung tagline santun menyejukkan. Televisi TV-9
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 27

sebagai tv kaum santri dioperasionalkan dari Gedung Nahdlatul Ulama


di Jalan Raya Darmo 96 Surabaya. TV9 menurut pengelola diharapkan
dapat menjadi tv antimainstraam yang ingin mengajak pemirsanya
menjadikan ulama sebagai panutan dan mengajak anak muda untuk
menemukan ekspresi seni dalam nikmat dan kesahduan bershalawat dan
memberi arahan keagamaan yang benar yang disampaikan oleh para
kiai dan bu nyai yang berkompeten menyebarkan faham, pemikiran, dan
amaliah ahlussunnah waljamaah tidak hanya dikalangan santri, tetapi juga
masyarakat kota dan kelas menengah. TV9 digarapkan dapat menjadi
kekuatan baru bagi gerakan dakwah islam ahlussunnah waljamaah dengan
bertumpu pada semangat kebangsaan dan nasionalisme.
Sebagai tv dakwah TV-9 menghadapi dilema antara fungsi social atau
fungsi korporasi. Sebagai media dakwah ia amat dekat dengan misi social
religi, sementara sebagai media korporate ia juga memiliki kewajiban untuk
bisa menghasilkan keuntungan. Sebagai tahap awal pengelola mecoba
untuk mendesain program yang out of box dengan mengusung moto
sejuk dan santun, memberi bimbingan keagamaan kepada pemirsa dengan
cara yang baik dan sesuai dengan kaidah amalan ahlusnnah waljamaah.
Program mainstream anak muda yang mengidolakan artis diarahkan
untuk mengidolakan para ulama, ekspresi seni melalui shalawat. Program
TV9 mencoba keluar dari prinsip sekadar menghibur tetapi menuntut
dan memberi kesejukan sebagaimana prinsip rahmatanlilalaamin. Pogram
disusun dengan mengusung kealamian setting tanpa ada rekayasa dan
komodifikasi dan kreatif yeng berlebihan sehingga program program
tv 9 laksana memindahkan apa yang ada didalam masyarakat sehari-hari
kedalam layar TV secara alami apa adanya.
Program pengajian yang diberikan oleh para kiai, dibiarkan mengalir
tanpa adanya intervensi dari programmer dan berjalan asli sebagaimana
para kiai memberi tausiah dan pengajian. Tidak ada intervensi dan pesan
apapun serta kontruksi yang disampaikan kepada para pengisi program
karena TV9 sebenarnya sedang memindah saja setiing dari local ke layar
televisi. Program televise ini mencoba mengusung tradisi pesantren
dan tradisi islam tradisonal yang selama ini dijalankan masyarakat di
pedesaan.. Konsep yang diusung adalah entertainded dakwah. Dakwah
sebagai substansi dan entertainment sebagai cara dan pelengkap. TV9
28 Konstruksi Penyiaran Islami dalam Liberalisasi Industri Media TV

mencoba melakukan resonansi strategi dakwah dengan jalan kultural


dimasa lalu dan selama ini berkembang di masyarakat.
Berikut beberapa program acara TV9 yang digali dari Konsep dakwah
salafus shalihin dan diangkat ke layar kaca (Hakim Jayli, 2013). Program
kiswah, kiswah event, nderes kitab kuning, bengkel keluarga sakinah,
hujjah aswaja, pernik unik, apa kata bu nyai, klinik islami, rindu makkah,
khazanah, xtra kuliner, wisata religi, shallu alannabi, sinema religi,
dan music indo. Konsep program ini dibuat alami dan tanpa intervensi
kreatif yang brelebihan dan lebih mementingkan kepada substansi.
Dalam program dakwah TV9 menggunakan konsep dasar para mubalig
NU yang menjalankan dakwahnya dengan cara menghibur dan nyaman
dengan lebih menekankan aspeks substansi. Program diedain dengan
santai agar tercipta familiar dan santai sebagaimana selama ini dilakukan
oleh amsyarakat sehari-hari.
Dalam program berita sebagaimana dipaparkan Hakim Jayli (2013)
TV-9 juga menerapkan prinsip santun menyejukkan. Informasi dan berita
yang disajikan jernih dan mencerahkan menajdi pertimbangan utama atas
pemberitaan. TV9 mencoba menghadirkan jurnalisme kemaslaahatan
yakni menghadirkan pemberitaan, focus kepada perbincangan dan angle
pemberitaan yang mencerahkan, memberdayakan, dan memampukan
masyarakat yang dioreientasikan keada almaslahatul amah, kepentingan
bersama, khsusunya kaum mustaalafin. Jurnalisme kemaslahatan agak
berbeda dengan cara pandang jurnalisme perang yang lebih mementingan
unsur sensasi, konflik dan pertengangan. Peristiwa dilhart secara hitam
putihm, pro kontra, saling hasut dan meninggalkan konflik mendalam di
amsyarakat dan pemirsa. Jurnalisme kemaslahatan papar Hakim (2013)
tidak sekadar bermuara kepada kedamaian dengan cara damai, tetapi lebih
dari itu lebih menekankan kepada terwujudnya kemaslahatan masyarakat.
Sebagai tv religi bersegmen khusus warga NU yang berjumlah 60%
dari warga Jawa Timur 37juta maka jika TV9 mampu meraih 25 juta
potensial untuk menjadi loyal viewer maka tv9 sebenarnya merupakan
tv dengan basis penotnon yang kuat di Jawa Timur. Dengan mengusung
tradisi islam nusantara yang mementingkan rahmat bagi ummat tv9
seayaknya dikelola dengan prinsip amalan untuk membangun ummat.
Sudah saatnyachannel tv local dipercayakan kepada kelompok organisasi
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 29

kemasyarakatan yang sudah teruji dalam membangun ummat dan


dipercaya untuk membangun peradaban berbasis tradisi masyarakat.

MADURA TV MEMBUKA KEMAMPUAN SDM LOKAL


Madura channel atau yang biasa disebut dengan MACHAN
merupakan salah satu stasiun televisi local yang ada di Madura. TV
lokal ini berdiri sebagai respons atas dibukanya kran industr penyiaran
lokal pascareformasi. Dengan mengandalkan sumber daya lokal stasiun
mencoba mengangkat kebudayaan Madura dalam program acara yang
di tampilkan. TV lokal ini resmi beroperasi pada tanggal 16 April 2007
dan menjadi salah satu stasiun tv kebanggaan masyarakat Madura karena
menjadi stasiun tv lokal pertama yang ada di Madura.
Kehadiran tv lokal ini mampu menarik perhatian pemirsa lokal dan
membawa pengaruh besar terhadap masyarakat Madura. TV ini diinisiasi
oeh salah satu tokoh Madura yaitu Said Abdullah, tokoh masyarakat
yang menjadi politisi. Dalam catatan dokumen macan, tv lokal Madura
channel konsisten berbasiskan kebudayaan dan pemberdayaan masyarakat
Madura. Televisi ini berada di bawah naungan Machan corp yang terdiri
dari Machan FM dan Koran Madura. Slogan atau tagline dari Madura
channel ini yaitu “Sekali Di Udara Tetap Di Madura” tagline ini bermula
pada tahun 2010. Ada dua bahasa yang digunakan dalam program acara
tersebut yaitu, bahasa Indonesia dan bahasa Madura. Penggunaan bahasa
Indonesia ini sebagai bahasa pemersatu dan penggunaan bahasa Madura
yaitu karena bahasa local kita, bahasa yang digunakan dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini untuk menguatkan cirikhas lokalitas Madura (Mia
Rahmatin, 2015)
Wilayah siaran Madura channel ini berada di wilayah Sumenep
melalui Channel areal Madura di 44 UHF. Jika ditarik garis maka
service area Madura channel mulai dari Kkbupaten Sumenep hingga ke
ujung barat pulau Madura. Jangkauan televise ini hanya bisa dinikmati
hingga di daerah pulau Madura saja mengingat televise ini hanya khusus
untuk televisinya orang Madura. Keberadaannya diharapkan dapat
mempromosikan dan mengangkat derajat akan budaya local yang ada di
Madura.
30 Konstruksi Penyiaran Islami dalam Liberalisasi Industri Media TV

Adapun logo Madura channel merah dan yang berarti berani sesuai
dengan karakter dari masyarakat Madura. Berani yan berarti tegas, keras
dan pantan terhadap apapun. Dan putih yan berarti suci. Sesuai dengan
hati masyarakat Madura. Meskipun oran Madura berwatak keras, tetapi
mereka mempunyai hati yang bersih, jujur, suka menolong.
Menurut penelusuran Mia Rahmatin (2015) program harian Televise
yang berada di Jl. Adirasa 5-7 Kolor Sumenep ini cukup variatif dan
mempunyai banyak program acara juga seperti: Seputar Madura, Madura
Infotama Pagi, Madura Infotama Siang, Madura Infotama Sore, Madura
Infotama Malam, Sudut Pandang MATA, Sorot MATA, MATA Akhir
Pekan, Gerbang Salam Samenggu, Dialog Khusus, Birokrak, Caca Colo,
Jati Diri Pesantren, Pesona Madura, Gado-Gado Madura, The King Of
Han Dinasty III, M Music, OS (Odik Sehat), Mutiara Indonesia, Nyaman
Onggu, Request Lagu, SEKEP (Se Sala E Tangkep), Uang Kita, VOA
Madura, Telepon Dangdut, Ma’ Emo’, Pamor Madura
Adapun program acara yang diproduksi sendiri meliputi 1) Madura
Infotama Siang tayang setiap hari selama setengah jam dari jam 12.00-
12.30 WIB 2) Madura Infotama Petang Tayang Setiap Hari Senin-Sabtu
Jam Dari Jam 18.30-19.00 WIB 3) Berta Madhure tayang setiap hari senin-
minggu jam dari jam 21.00-21.30 WIB 4) Madura Infotama Sepekan Siang
tayang setiap hari minggu dari jam 12.00-13.00 WIB 5) Madura Infotama
Petang tayang setiap hari minggu dari jam 18.00-19.00 WIB 6) Gerbang
Salam Seminggu Khusus wilayah Pamekasan digabung dengan dialog
interaktif jam 16.30-17.30 WIB 7) Dialog Legislative tayang setiap hari
sabtu dari jam 15.30-16.30 WIB 7) Madura Membangun tayang setiap
hari kamis dari jam 19.00-20.00 WIB 8) Caca Colo’ tayang setiap selasa
& kamis dari 20.00-21.00 WIB 9) Tor-Ator Program edukasi budaya
Madura tayang setiap hari minggu dari jam 15.00-15.30 WIB
Madura Channel juga program unggulan seperti Caca colo’. Program
ini secara garis besar. Cacacolo’ ini merupakan acara yang paling komplit
terhadap kebutuhan masyarakat Madura saat ini. Jadi program acara
caca colo’ ini telah mengubah mindset masyarakat Madura saat ini, yang
dulunya Madura hanya dikenal dengan masyarakat yang terbelakang
dan kurangnya pendidikan kini masyarakat menjadi lebih pintar dalam
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 31

mengolah pola pikir saat ini. Dan juga memberikan kebanggaan kepada
Madura channel itu sendiri bahwa televise Madura telah memberikan
banyak manfaat kepada masyarakat Madura. Caca colo’ ini merupakan
program acara yang menyuguhkan program kebudayaan Madura
itu sendiri. Yang berbasiskan kebudayaan dan kemasyarakatan. Jadi,
pantaslah jika caca colo’ ini mendapatkan perhatian yang sangat banyak
dari audiencenya dan program acara ini merupakan program unggulan
dari Madura channel televise.

RUANG PUBLIK ISLAMI NUSANTARA


Mewujudkan ruang publik islami yang sesungguhnya dalam media
penyiaran lokal akan menjadi pintu pembuka bagi kualitas isi siaran dan
kecerdasan warga (rasionalitas publik). Media harus menjadi ruang publik
yang demokratis dengan memberi posisi kesetaraan antarumat. Ashadi
Siregar (2003) melihat banyak tantangan untuk mwujudkan hal itu, selain
menghadapi kekuasaan negara, dan pasar, juga kekuasaan kolektif sosial
(communalism).
Dalam penjelasan Siregar (2003), kekuasaan kolektif sosial bisa
membuat warga masyarakat menjadi massa yang kehilangan posisi
personal, dan dikalahkan oleh homogenisasi yang berlangsung
dalam komunalisme. Untuk itu, pewujudan ruang publik harus bisa
mengelemisasi 3 kekuatan tersebut. Dengan demikian dalam pandangan
Siregar (2003) ruang publik termasuk dalam media diharapkan dapat
menjadi zona bebas dan netral yang didalamnya berlangsung dinamika
kehidupan warga secara personal, yang bersih dari kekuasaan negara,
pasar, dan komunalisme dimana individu dapat berkembang pemikiran
dan wawasannya secara sehat.
Melalui media komunitas dan lokal, diharapkan warga dapat
berinteraksi, mendiskusikan berbagai kepentingannya secara bermartabat.
Interaksi ditandai dengan posisi tawar menawar (negoisasi) personal
dalam proses diskusi publik (public discussion) atas dasar rasionalitas
dan kecerdasan, bukan atas dasar kekerasan (kekuatan fisik dan psikhis).
Mengingat selama ini kekerasan dapat terjadi secara personal, institusional
oleh negara, maupun komunalisme masyarakat.
32 Konstruksi Penyiaran Islami dalam Liberalisasi Industri Media TV

Hal ini tidak hanya menyangkut kebebasan warga mendapat


informasi publik serta kebebasan warga menyatakan pendapat tentang
masalah publik, tetapi berlaku juga untuk media, dimana media memiliki
kebebasan untuk mencari dan menyampaikan informasi kepada publik.
Masyarakat dan media komunitas harus bebas dari tekanan kekuasaan
eksternal, baik dari negara maupun masyarakat (kekuasaan kepitalisme
dan komunalisme). Media penyiaran komunitas harus didorong untuk
menjadi zona netral agar memungkinkan warga memeroleh informasi
yang benar. Dengan demikian warga dapat memiliki pemikiran dan
pendapat yang rasional tentang masalah publik yang aktual.
Jika tahapan itu dapat dilakukan selanjutnya maka tahap berikutnya
adalah mengenalkan virtue nilai nilai islami dalam konten siaran. Nilai
itu harus substantif dalam program siaran yang basis utamanya adalah
kemaslahatan publik dan kebaikan publik yakni apakah itu penting bagi
publik, dibutuhkan publik dan juga bisa memberi kemanfaatan bagi publik
sebagai rahmat seluruh umat, semoga.

Catatan akhir*** Naskah dan kerangka sebagian besar diambil dari tulisan penulis yang
terbit dalam JURNAL KOMUNIKASI ISLAM UINSA Surabaya VOL. 9 NO. 2 (2019) dengan judul
Kontestasi dan Survivalisme Media Dakwah di Tengah Liberalisasi Industri Media: Analisis
Media TV-9 Jawa Timur dengan penambahan dan penyesuaian untuk chapter buku oleh
penulis.

REFERENSI
AHamad, (2004). Konstruksi Ralitas Politik dalam media Massa: Studi Critical
Discourse Analysis terhadap Berita Berita Politik, Granit, Jakarta
Hendrawan, Bram (2013), Televisi Lokal: Antara Kepentingan Korporat dan
Fungsi Sosial, dalam Jurnal Komunikasi Indonesia Vol. II No. 1
April, hal 5- 14. Departemen Komunikasi Universitas Indonesia
Jakarta
Hidayat (2013) Fundamentalisme Pasar dan konstruksi Sosial Industri
Penyiaran: Kerangka Teori Mengamati Pertarungan di Sektor
Penyiaran, dalam Gazali, dkk (2013) Konstruksi Sosial Industri
Penyiaran, Departemen Ilmu Komunikasi Ui Jakarta
Hidayat (2000) Pers dalam Kapitalisme Orde Baru, dalam Hdayat dkk
(2000) Pers dalam Revolusi Mei, Runtuhnya sebuah hegemoni,
Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 33

Ida, Rachmah (2010) Media, Pasar, dan Regulasi: Dinamika Media Penyiaran
Lokal Di Indonesia Pasca-Reformasi, dalam Pengantar Buku
Ekonomi Politik Media Penyiaran Lokal, Surokim, Interpena
Jogjakarta.
Ida, Rachmah (2009) Watching Indonesian Sinetron: Imagining Audience in
front of Television, Berlin: VDM Dr. Mueller Publication
Ida, Rachmah ( 2011) ‘Reorganisation of Media Power and the Influence
of Local Media Entrepreneurs in Post-Authoritarian Indonesia,’
dalam Krishna Sen dan David T. Hills, Media in the 21st Century
Indonesia, London and New York: Routledge
Kitley, Philip (2003) (Ed.) Television, Regulation and Civil Society in Asia,
London and New York: Routledge Curzon
Sendjaja, Sasa Djuarsa (2007) Tantangan Kebijakan Komunikasi di
Era Konvergensi dan Media Baru di Indonesia, Naskah Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Ilmu Komunikasi, FISIP
Universitas Indonesia, Jakarta.
Soedibyo, Agus, (2007) Ekonomi Politik Media Penyiaran Indonesia, Jakarta:
LKiS, Yogyakarta
Imawan, Teguh (2008) Tayangan TV; Kematian Spiritualitas Ramadan,
Opini Jawa Pos
34 Konstruksi Penyiaran Islami dalam Liberalisasi Industri Media TV
3
Riset Aksi:

SEBAGAI PETA JALAN KELUAR, PERBAIKAN


KINERJA, DAN SOLUSI MUTAKHIR UNTUK DAYA
SAING KAMPUS DI MADURA

R
iset dan peran peneliti perguruan tinggi (perti,
pen) mendapat kritik agak keras dan tajam akhir
akhir ini karena kontribusi peneliti dan hasil
riset dianggap belum signifikan dan maksimal dalam
pemecahan berbagai masalah mutakhir. Riset dan peran
para peneliti dianggap belum mampu menghadirkan
solusi atas berbagai masalah sosial yang kian kompleks
dan rumit. Kondisi faktual saat ini kian kompeks dan
beragam. Permalahan sosial muncul silih berganti dengan
intensitas yang cepat dan dinamis sehingga berbagai
masalah sosial yang hadir di masyarakat membutuhkan
solusi dan jalan keluar lebih cepat, tepat, dan efisien.
Selama ini peran lembaga riset termasuk didalamnya
perti seolah mengambil jarak dengan problem sosial
kekinian masyarakat sehingga menimbulkan anggapan

35
36 Riset Aksi

bahwa lembaga riset dan perti terlampau asyik masyuk dengan dirinya
sendiri melalui metode ilmiahnya ansich tanpa bisa memberi kontribusi
yang signfikan bagi upaya pemecahan masalah sosial. Hingga kini perti
tetap menjadi menara gading bagi masyarakat lingkungannya dan
terlampau asyik mengumuli kebenaran dan kemegahan di masa lalu
seolah melupakan peran strategis sebagai pembaharu, pemberi kontribusi
nyata kekinian bagi masyaraat sekitarnya.
Sementara realitas sosial dan faktual kian kompleks dan muncul
banyak sekali permasalahan dalam sistem sosial yang membutuhkan
perbaikan atau pemecahan masalah dalam sistem sosial itu. Hasil riset perti
selama ini terlampau selfish (orientasi akademis kelimuan) dan melupakan
praksis layaknya kendaraan yang berlari dengan melihat kaca spion yang
melaju cepat dengan membanggakan hasil hasil penelitian dimasa lalu.
Perti seolah menjadi mercusuar yang terlihat megah dan gagah, tetapi
minim empati dan daya penerangan kepada lingkungannya.
Bahkan banyak juga cerita yang juga tidak lagi menjadi rahasia umum
bahwa riset perti kerap hanya menjadi stempel rezim dan didedikasikan
sebagai pembelaaan kepada rezim untuk legitimasi hasil atas berbagai
hal yang menjadi polemik dan kontroversi di masyarakat. Hasil riset
akhirnya banyak yang menumpuk di perpustakaan dan di kampus dan
sering berhenti pada seminar dan diskusi. Setelah itu selesai tanpa
adanya tindak lanjut untuk memberi solusi dan kemanfaatan langsung
bagi masyarakat. Situasi ini kerap mematik lelucon bahwa jika seminar
dan diskusi hasil riset Indonesia kalau disambung-sambung bisa menjadi
jembatan yang bisa menghubungkan kepulauan nusantara karena terlalu
banyaknya diskusi dan seminar hasil riset. Hasil riset menjadi laporan
indah di atas kertas tetapi setelah itu laporan tidak dipakai masyarakat
untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Riset perti sejauh ini
masih sekadar menjadi riset ansich dengan metode ilmiah science dan belum
menjadi solusi praksis yang bisa dipakai langsung oleh stakehorlders
untuk perbaikan dan solusi atas masalah yang sedang dihadapi.
Jika melihat kebutuhan pendidikan riset di perti rasanya kita juga
perlu reflektif bahwa pendidikan di perti juga perlu pembaharuan dan
reorientasi, khususnya dalam pengajaran metodologi riset. Sejauh ini
masih terkesan anak didik menjadi templete dosen dan tidak memiliki
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 37

pilihan bebas sebagaimana misi merdeka belajar dimana anak didik


memiliki kebebasan didalam memilih perspektif dan paradigma riset
sesuai minat dan konsen riset mereka. Dalam bahasa yang agak provokatif,
mengutip Hidayat (2005) sebenarnya potensi kegagalan menjadikan misi
riset dalam perti ilmu ilmu sosial bisa jadi karena kian menjauh dari
misi sebagai pembaharu. Hal ini juga potensial menuju gagal jika perti
hanya menghasilkan sarjana yang mirip dengan dosen mereka mengingat
perti ilmu sosial sebenarnya bukan mesin fotocopy yang hanya melipat
gandakan ilmuwan sejenis didalamnya, tetapi sebenarnya menuntut peran
melahirkan ilmuwan ilmuwan para pembaharu dan lebih fresh.
Jika melihat konteks perubahan baru dan kompleksitas masyarakat
yang menunjukkan bahwa perkembangan ilmu sosial tidak lagi monolitik.
Ilmu sosial saat ini kian kompleks dan butuh multiparadigm science. Misi
perti dan lembaga riset adalah membantu peneliti agar bisa menentukan
pilihan paradigmatik masing masing yang menurut Hidayat (2005) bisa
jadi sama dan bisa jadi bertolak belakang dengan pilihan dosen dan
gurunya. Hal itu sangat tergantung dalam konteks dan kebutuhan riset
yang dilakukan termasuk riset dengan misi membawa perubahan dan
perbaikan sebagai hasil kerja bersama.
Dalam konteks merdeka belajar proses pendidikan juga tidak bisa
dikatakan berhasil jika peserta didik hanya bisa mengenal dan menggunakan
satu paradigma yang diberikan dosennya dan tidak mengetahui atau
menguasai paradigma lain. Dalam konteks pengajaran riset yag benar
sebagaimana penjelasan Hidayat (2005) cukup menarik dan reflektif
diketengahkan kembali bahwa pilihan paradigmatik itu seharusnya
kontekstual. Anak didik bisa memilih pendekatan konstruktivisme
dengan metode metode kualitatif bukan lantaran karena mereka tidak
memahami perspektif klasik beserta metode metode kuantitatifnya, tetapi
justru karena ia menguasai metode metode kuantitatif dan mengetahui
kelemahan dan keterbatasan yang ada. (Hidayat, 2005) Misi membangun
peserta didik menjadi periset yang dapat menentukan pilihan paradigmatik
seperti itu menuntut kemampuan perti ilmu ilmu sosial dan pendidik
didalamnya menyajikan suatu pemetaan pelbagai perspektif. Menurut
Hidayat (2006) agar anak didik bisa mengetahui pilihan pilihan perspektif
dan paradigma yang tersedia dan tidak sama sekali memiliki kaca mata
38 Riset Aksi

kuda dengan pilihan paradigmatik itu itu saja tanpa mampu menjelaskan
dan memutuskan mana yang akan digunakan untuk dirinya sendiri.
Dalam kompleksitas itu maka seharusnya menurut Hidayat (2006)
tidak ada blokade bagi perspektif tertentu yang memaksakan anak
didik harus menggunakan perspektif lama karena pembimbing hanya
menginginkan persepektif tertentu dan sudah seharusnya peneliti dan
pengajaran metodologi tidak alergi terhadap kehadian paradigma baru serta
alergi dan pemaksaan seperti itu dan kemudian bisa membebaskan anak
didik menentukan pilihan paradigmatiknya untuk bisa mengembangkan
desain risetnya lebih leluasa sesuai konteks dan kebutuhan masalahnya.
Dengan demikian ilmu sosial akan kian beragam perspektif dan bisa
saling melengkapi di dalam menjawab fenomena sosial yang kompeks dan
kian rumit.
Hal ini akan kian urgent ketika situasi ternyata berubah cepat dan
fundamental sebagaimana kasus dan konteks pandemi covid19 dimana
permasalahan kian banyak, berat dan datang silih berganti sementara
peneliti dan perti tetap asyik dengan dirinya sendiri sembari tetap
membanggakan hasil riset masa lalu tanpa intervensi dan bisa memberi
solusi untuk perubahan masyarakat yang lebih mendesak untuk jalan
keluar bersama lebih cepat dan implementatif.

KEBUTUHAN RISET,
URGENSI DAN POWER RISET AKSI
Riset aksi akan membawa perubahan yang fundamental bagi
perkembangan riset dan juga produktivitas perti. Secara substantif riset
aksi sesungguhnya berbeda dengan riset terapan. Riset terapan menurut
Hamad (2006) masih berupa pandangan peneliti semata dan belum menjadi
pandangan bersama (kogeneratif) antara peneliti dan mitra riset. Riset aksi
Cenderung menggunakan partisipatoris sebagai titik tolak diperolehnya
rencana aksi secara kogeneratif antara pengetahuan lokal dan profesional
dan konsisten untuk mendapatkan rencana aksi bersama-sama stakeholders
lokal sebagai solusi masalah yang sedang dihadapi. Jadi riset aksi lebih
menjadi research for problem solving together with local stakeholders.
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 39

Riset aksi sebenarnya sejalan dengan kebutuhan merdeka belajar


dimana civitas academica, khususnya mahasiswa memiliki kebebasan
di dalam mencari permasalahan riset dan juga penggunaan paradigma
dan metode riset. Apalagi dalam konteks kompleksitas sosial kekinian
semakin disadari pentingnya perspektif bekal keilmuan yang bisa saling
menyapa bersinergi saling mengisi terintegrasi dan saling melengkapi
sehingga memiliki daya memahamkan atas berbagai fenomena sosial
yang kompleks dan mampu menjelaskan lebih komprehensif. Dengan
demikian ilmu sosial harus terbuka dengan berbagai pendekatan baru
untuk bisa slaing melengkapi dan berkolaborasi sehingga eksistensi dan
sumbangannya kian signifikan.
Riset aksi memungkinkan terjadinya dalog berkelanjutan antara
peneliti dan mitra sehingga riset aksi potensial melahirkan hasil hasil
riset kolaboratif antara hasil kearifan lokal dan kebutuhan profesional.
Menurut saya hal ini strategis jika melihat kepentingan pengembangan
perspektif keilmuan masa depan. Peta jalan ini akan juga penting untuk
mengerakkan dan mengurangi dominasi perspektif barat yang selama
ini menguasai perspektif keilmuan kita karena kalah produktif. Menurut
saya hal ini akan kian membumikan ilmu ilmu sosial dimasyarakat dan
menjadi promosi strategis berbagai kearifan lokal khas mayarakat timur
yang kaya dan beragam.
Selain itu riset aksi akan bisa menjadi peta jalan keluar bagi perguruan
tinggi yang selama ini sibuk dengan pemeringkatan perti baik di level
nasional, regional maupun internasional karena produktivitas riset akan
kian dengan sendirinya meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi
karena dipatik oleh rasa ingin memberi kontribusi pemecahan sosial
mutakhir. Tentu saja riset aksi bisa dijadikan alat untuk memecahkan
masalah tidak hanya di level mikro, tetapi juga di level meso dan makro
Dalam konteks pandemi kreativitas inovasi sumbangan solusi
mutakhir amat dibutuhkan segera agar situasi tidak tambah memburuk,
tetapi bisa menjadi jalan penerang secercah cerah melalui adaptasi
newnormal. Hal ini jelas butuh solusi akseleratif melalui berbagai hasil
riset sehingga lebih terarah, terencana dan efektif efisien untuk bisa
keluar dari krisis baik ekonomi, politik maupun sosial budaya akibat
terjadinya pandemi covid19. Dengan demikian riset aksi sesungguhnya
40 Riset Aksi

adalah pendekatan baru laksana oase ditengah padang pasir dunia riset
perti yang dirindukan kehadirannya di masyarakat saat ini di masa sulit.
Riset ini akan bermanfaat untuk pemecahan semua masalah di semua level
di level baik individu, kelompok maupun masyarakat.
Adapun kekuatan riset aksi menurut Hamad (2016) adalah 1) mampu
menjawab probem sosial 2) mampu memecahkan masalah sosial 3)
memiliki daya ubah untuk perubahan Sosial 4) memiliki efek langsung
untuk solusi problem bersama dan 4) Riset untuk aksi sosial.

PARADIGMA PARTISIPATORIS
Tidak dimungkiri selama ini riset perti masih belum mampu
keluar dari menara gading riset dengan paradigma klasik positivis dan
postpositivis yang masih banyak terjebak dalam proses riset untuk riset
belum menjadikan riset untuk aksi sosial (Hamad, 2006: 4). Paradigma
partisipastoris memang belum terlalu populer untuk mahasiswa dan riset-
riset mahasiswa dalam tugas akhir sehingga secara paradigma belum
terlalu dikenal para peneliti dan mahasiswa kita.
Kita perlu mempromosikan paradigma partisipatoris dalam riset
perti agar bisa menjawab berbagai problem perubahan sosial dan
mempromosikan dilakukannya riset aksi yang berorientasi kepada
pemecahan masalah sosial. Mengapa riset partisipatoris ini solutif
mengingat peneliti 1) bisa melihat realitas yang diteliti bersama sama
subyek yang ditelitimya 2) penelitin di tunjukkan untuk memcahkan
masalah sosial bersama sama dengan subyek penelitian.
Riset aksi berbasis pendekatan kualitatif. Dengan demikian prosedur
dan metode yang dipakai harus memiliki basis pengetahuan pendekatan
kualitatif yang mapan. Secara sederhana peta dan logika paradigma
partisipatoris terkait ketelibatan langsung dapat digambarkan dalam
prosedur P (peneliti) > O (obyek) + interaksi > H (hasil). Peneliti melihat
obyek dari perspektif obyek dan peneliti dengan hasil sebagi hasil bersama
obyek dan peneliti
Secara sederhana dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 41

DESAIN DAN CONTOH RISET AKSI


Riset aksi didesain sebagai riset kolaborasi hasil kerja bersama
mitra sehingga dialog terus-menerus diperlukan untuk jaminan akurasi
dan validitas data riset. Riset ini didesain sebagai riset solutif yang bisa
menawarkan peta jalan keluar tidak hanya bagi solusi jalan keluar, tetapi
juga meningkatkan kinerja organisasi dan roadmap jalan keluar bagi
pemecahan berbagai masalah sosial dan peningkatan kinerja.
Desain penelitian secara garis besar hampir sama dengan riset
kualitatif yang lain yang berisikan unsur-unsur utama: perumusan
masalah, tujuan penelitian, pendekatan teori, metode penelitian, analisis
data, dan simpulan. Hasil identifikasi masalah diatas kita lanjutkan dengan
merumuskan kelima unsur riset aksi tersebut.
Adapun contoh tema dan masalah riset aksi bisa di level makro,
meso & mikro. Bisa dilakukan untuk pemecahan masalah dalam ruang
lingkup dan tujuan yang sangat besar seperti perubahan sistem sosial,
perubahan sistem politik bisa juga dilevel meso praksis dan masalah yang
lebih sempiit dilevel mikro yakni perubahan manajemen di organisasi,
perubahan proses belajar mengajar yang membutuhkan pemecahan
masalah melalui prinsip riset ilmiah
Tema dan masalah riset aksi yang bisa diajukan seperti perbaikan
kinerja organisasi atau komunitas, perbaikan program pembangunan
dan perbaikan kompetensi individual. Contoh 1) riset aksi untuk upaya
42 Riset Aksi

pengentasan kemiskinan baik di level individual atau komunitas 2)


Penguatan peran publik dalam memutus matarantai covid 19 (Rencana
Aksi Memutus Matarantai Covid melalui Multicara, dst) 3) Penguatan
peran media dalam pilkada (Perbaikan kinerja peliputan dan pemberitaan
media di Pilkada). Riset mencari formulasi aksi bagaimana cara peliputan
yang kontributif bagi demokrasi lokal (Pilkada) 4) Perbaikan kualitas
pemilu lokal 5) Peningkatan kinerja parlemen lokal 6) Peningkatan
produktivitas dosen dalam riset dan publikasi dst.
Banyak riset riset aksi yang bisa dilakukan dengan bertumpu kepada
ikhtiar dan usaha melakukan perbaikan kinerja, mencari solusi atas
permasalahan dan hal hal praksis yang sedang dihadapi masyarakat.
Ditengah stuasi sulit sekarang tersedia cukup banyak problem sosial
praktis yang bisa diriset dengan paradigma partisipatif melalui riset aksi.
Contoh Riset Aksi Peningkatan Kapasitas Media Radio Komunitas di
Kepulauan Madura

Perbaikan Kinerja Media Komunitas Warga Kepulauan Madura


(Studi Kasus Radio Komunitas Mandangin)

Abstrak

Masyarakat desa kepulauan Madura karena kondisi geografis menghadapi


keterasingan dan keterbatasan akses informasi sehingga keswadayaan warga
dalam akses informasi publik masih rendah. Inisiasi mengembangkan media lokal
juga menghadapi masalah yang kompleks. Riset aksi ini menemukan strategi dan
aksi dalam pemgembangan media komunitas masyarakat lokal berbasis jurnalisme
warga. Tujuan dari riset aksi ini adalah untuk menyusun strategi aksi pengembangan
media komunitas oleh masyarakat kepulauan melalui inisiasi media local dan
jurnalisme warga sebagai basis pengembangan demokratisasi komunikasi. Hasil
riset aksi yang dikuatkan melalui observasi partisipatoris memperlihatkan bahwa
masyarakat kepulauan sesungguhnya memiliki potensi untuk mengembangkan
media komunitas lokal berbasis jurnalisme warga yang diharapkan dapat membuka
akses informasi masyarakat. Media komunitas lokal sebagai ruang publik warga
dapat dikelola secara independen dari, oleh, dan untuk warga dengan penguatan
kelembagaan, pendanaan, program dan penguatan teknologi media. Melalui
media komunitas local akan dapat mematik munculnya daya kritis dan pewarta
warga. Setiap orang akan memfungsikan diri sebagai pemberi informasi (pewarta
warga) yang sekaligus juga pengguna informasi itu sendiri. Melalui jurnalisme
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 43

warga, masyarakat bisa membagi informasi actual yang ditemuai dan dialami secara
langsung kepada masyarakat.

Keywords: Strategi Aksi, Media Komunitas lokal, Kelembagaan, Pendanaan, Program


Siaran, Teknologi Media, Jurnalisme Warga, Kepulauan Madura

1.1. Latar Belakang Masalah


Madura merupakan salah satu wilayah yang unik baik ditinjau dari segi sosio,
kultural maupun geografis. Secara geopolitik Madura merupakan wilayah yang
khas dengan beragam keunikannya. Salah satu isu prioritas pembangunan yang
mendesak untuk ditangani di wilayah Madura adalah persoalan pengembangan
dan pemberdayaan masyarakat kepulauan. Masyarakat kepulauan tidak saja
menghadapi kendala alam, tetapi juga keterbatasan akses informasi.
Paling tidak menurut Ariadi (2010) terdapat tiga alasan mengapa masyarakat
kepulauan perlu memperoleh perhatian khusus. Pertama, karena wilayah kepulauan
ditengarai merupakan salah satu kantong kemiskinan yang paling menderita akibat
tekanan situasi krisis ekonomi yang berkepanjangan. Kedua, karena kepulauan
merupakan wilayah yang mengalami polarisasi paling menyolok, baik secara fisik
maupun sosial. Dengan posisi geografis yang relatif terisolir, wilayah kepulauan
bukan saja jauh dari kepentingan dan sumber-sumber produktif di pusat-pusat
kekuasaan, tetapi juga acapkali terlantarkan akibat adanya ‘prasangka ke-ruangan’
yang keliru (Chambers, 1987). Ketiga, karena kualitas SDM masyarakat kepulauan
umumnya masih jauh tertinggal, dan tidak mustahil mengalami degradasi kualitas
kehidupan jika tidak segera dilakukan langkah-langkah intervensi. Sebagian
besar masyarakat kepulauan umumnya hanya berpendidikan setara SD atau SLTP,
dan bahkan cukup banyak yang tidak sekolah, sehingga peluang mereka untuk
melakukan diversifikasi usaha atau mencoba memperbaiki kualitas hidup acapkali
terhambat.
Tidak hanya problem klasik itu, persoalan keberdayaan dan keswadaaan
masyarakat kepulauan juga menghadapi kendala faktor alam, geografis, dan juga
mobilisasi sosial budaya. Mereka tidak hanya mengalami keterbatasan transportasi,
air bersih, tetapi juga akses informasi. Kondisi masyarakat kepulauan relatif terisolasi
dan secara sosial juga tertinggal dibandingkan daerah di wilayah daratan. Akibatnya,
mobilitas vertikal masyarakat berjalan lambat, tradisional, dan pilihan hidup yang
tersedia umumnya sangat terbatas.
Masyarakat yang tinggal di wilayah kepulauan juga hidup dengan fasilitas dan
prasarana publik minimalis dan seadanya. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari serta kebutuhan prasarana produksi, mereka sangat tergantung
kepada kiriman barang dari luar yang tidak selalu datang setiap waktu. Hal yang
sama juga terjadi pada bidang pelayanan kesehatan atau prasarana pendukung
kegiatan produktif masyarakat. Mereka hidup dengan prasarana publik yang
terbatas dan tidak memiliki akses yang kuat terhadap informasi dan pasar.
Kualitas sumber daya manusia juga masih tergolong rendah sehingga
berpengaruh terhadap kemandirian kehidupan warga. Menurut Ariadi (2010)
44 Riset Aksi

mereka tidak saja menghadapi problem struktural, tetapi juga problem kultural
dan sekaligus problem alam. Mereka berada dalam situasi yang serba tidak
menguntungkan dan sesungguhnya mereka juga memiliki derajad sentralitas yang
rendah, dan mobilitas sosial yang lamban karena keterbatasannya diri dan juga
faktor alam.
Dalam hal informasi, masyarakat kepulauan hanya menjadi obyek media arus
utama (mainstream) yang hanya membahas masalah masalah besar yang ada di
pusat ibukota negara dan tidak pernah menyentuh permasalahan riil yang sedang
dihadapi masyarakat kepulauan. Mereka tidak memiliki media komunikasi sendiri
tempat mereka bisa memperbincangkan masalah dan mencari solusi bersama
sesuai dengan potensi yang mereka miliki. Selama ini mereka hanya menjadi
pendengar dan penonton media mainstream nasional yang jarang mereka temui
dalam kehidupan sehari-hari seperti kemacetan, banjir, dan juga demonstrasi. Untuk
itu diperlukan terobosan bagi peningkatan upaya keswadayaan masyarakat berbasis
pengembangan informasi warga sesuai dengan potensi mereka sendiri.
Pembangunan media warga menjadi kebutuhan saat ini mengingat akses
informasi yang kian tak terkendali dan kian liar serta tidak ada filter informasi
berkesinambungan. Produksi informasi hoax juga kian meningkat sehingga
diperlukan keterampilan literasi media yang cukup bagi masyarakat dengan
menjadi produsen dan konsumen media yang kritis dan berdaya. Media warga
akan bermanfaat bagi benteng pertahanan warga ditengah gelombang informasi
yang tak terkendali saat ini melalui berbagai media sosial. Dengan memiliki media
warga maka sesungguhnya mereka bisa berlatih untuk memproduksi informasi
sesuai kapasitas mereka. Dalam jangka panjang hal itu juga bisa menumbuhkan
kemampuan literasi media sehingga mereka bisa selektif dan bisa menyaring
berbagai informasi yang akurat dan valid serta dapat dipertanggungjawabkan
untuk kebaika ruang public masyarakat desa.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah
1.2.1 Bagaimanakah strategi membangun media komunitas public local berbasis
jurnalisme warga yang kontributif terhadap demokratisasi media di wilayah
pedesaan kepulauan Madura secara berkesinambungan?
1.2.2 Bagaimanakah aksi membangun media komunitas public lokal berbasis
jurnalisme warga yang kontributif terhadap demokratisasi media di wilayah
pedesaan kepulauan Madura secara berkesinambungan?

1.3. Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dari penelitian ini adalah
1.3.1 Menemukan jalan tindakan aksi (praksis) guna menghasilkan strategi
membangun media warga pedesaan (media komunitas public local) sesuai
potensi mereka secara berkesinambungan.
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 45

1.3.2 Menemukan jalan tindakan aksi (praksis) guna menghasilkan strategi


membangun isi media berbasis jurnalisme warga yang bermanfaat bagi
pengembangan keswadayaan warga dalam bidang informasi publik.
1.3.3 Menghasilkan pengetahuan kolaboratif antara pengetahuan local (local
knowledge) dan pengetahuan professional (prefesional knowledge) sebagai
hasil kerja sama antara peneliti ahli dan stakeholders local yang sesuai dengan
kondisi sosial riil mereka.
1.3.4 Memecahkan masalah sosial bersama anatar stakeholders local dan peneliti
dalam mengembangakan media warga secara berkesinambungan.

1.4 Metode Penelitian


Pendekatan yang akan dilakukan penelitian ini adalah pendekatan riset
partisipatory-action. Riset aksi menggunakan studi kasus yang merupakan sebuah
metode penelitian dengan pendekatan kualitatif yang berusaha menggali proses
(explore a process) terjadinya kasus dengan menjawab pentanyaan bagaimana hal
itu terjadi (Cresswell, 1994:68). Riset dengan pendekatan itu mencoba mendalami
proses kasus atau masalahnya dilapangan dengan prinsip local knowledge sehingga
dapat diperoleh pemecahan masalah melalui rencana aksi secara kontekstual.
Data digali melalui observasi pengamatan terlibat dan wawancara mendalam
serta dikonfirmasi melalui focus grup discussion (fgd). Selanjutnya diperkaya dengan
data data sekunder dari berbagai kajian mutakhir. Informan dalam riset kali ini
adalah stakehorlders inti yakni kepala desa, tokoh pemuda, dan tokoh masyarakat.
Adapun informan tambahan akan dicari berdasarkan teknik bergulir (snowballing)
berdasarkan petunjuk yang didapatkan dilapangan sehingga bisa memperkaya
data data primer dilapangan.
Observasi dilakukan pada masyarakat dan meliputi segala aktivitas stuktural
dan kultural guna menemukenali berbagai bentuk dukungan dan kendala yang ada
di masyarakat dilapangan serta melihat peluang untuk mencari solusi sesuai dengan
segala potensi yang dimiliki masyarakat local setempat.
Adapun keabsahan dan keterandalan serta kredibilitas hasil riset akan diukur
dari kesediaan stakeholders local menyetujui hasil riset ini menjadi konsekuensi dari
riset aksi yang bersifat kogeneratif dan kolaboratif. Riset aksi sangat terkait dengan
usaha untuk memeroleh pengetahuan yang kontekstual mengingat tujuan riset
berusaha menemukan pemecahan masalah social bersama antara stakeholders local
dan peneliti. Rset aksi ini juga berusaha mengambarkan atau menjelaskan gejala
atau permasalahan atau kasus secara lengkap sambil menunjukkan jalan keluarnya.
Adapun prosedur action research ini akan di awali dengan penggalian data
lapangan melalui wawancara, observasi dan juga diskusi terfokus. Selanjutnya
diperkaya dengan pelatihan dasar jurnalisme warga yang akan menjadi titik pijak
awal untuk membuka wawasan, pengetahuan dan pemahaman warga desa dalam
kegiatan jurnalistik warga. Selanjutnya mereka akan dilatih untuk praktik reportase
warga stand-up dan menulis berita pendek sebagai dasar dalam membuat program
siaran. Pada tahap selanjutnya mereka akan didampingi untuk menyiapkan media
desa dalam media sosial dan online untuk dijejaringkan kemedia arus utama.
46 Riset Aksi

1.5 Kerangka Teori

Demokratisasi Media

Keberagaman Isi Keberagaman Pemilik

Media Publik/Komunitas

Akses & Partisipasi

Prosumer Media

Citizen Journalism

Citizen Reporter

Ruang Publik
Demokratis

1.6 Situasi dan kondisi Masyarakat Kepulauan Madura


Masyarakat Kepulauan Madura adalah warga yang tinggal di pulau pulau kecil
yang tersebar di sekeliling pulau Madura. Tercatat ada 126 pulau yang sebagian
besar berada di kepulauan Timur Madura. Masyarakat kepulauan menghadapi
permasalahan yang kompleks. Mereka tidak hanya menghadapi kendala alam dan
geografis, tetapi juga mobilisasi sosial budaya. Mereka tidak hanya mengalami
keterbatasan transportasi, air bersih, tetapi juga akses informasi. Kondisi masyarakat
kepulauan relatif terisolasi dan secara sosial juga tertinggal dibandingkan daerah
di wilayah daratan. Akibatnya, mobilitas vertikal masyarakat berjalan lambat,
tradisional, dan pilihan hidup yang tersedia umumnya sangat terbatas. (Ariadi, 2010)
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 47

Masyarakat yang tinggal di wilayah kepulauan juga hidup dengan fasilitas


dan prasarana publik seadanya. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari serta kebutuhan prasarana produksi, mereka sangat tergantung kepada
kiriman barang dari luar daerah. Hal yang sama juga terjadi pada bidang pelayanan
kesehatan, pendidikan, dan prasarana pendukung kegiatan produktif masyarakat.
Mereka hidup dengan prasarana publik yang terbatas dan tidak memiliki akses
yang kuat terhadap informasi dan pasar. Kualitas sumber daya manusia juga masih
tergolong rendah karena lembaga pendidikan berada diluar daerah sehingga
berpengaruh terhadap kemandirian (swadaya) warga.
Menurut Ariadi (2010) mereka tidak saja menghadapi problem struktural, tetapi
juga problem kultural dan sekaligus problem alam. Mereka berada dalam situasi yang
tidak menguntungkan dan sesungguhnya memiliki mobilitas sosial yang lamban
karena keterbatasannya diri dan juga faktor alam. Selama ini mereka hanya menjadi
obyek dan tidak terlibat secara langsung mulai dari proses pembangun desa mulai
dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi. Partisipasi yang rendah itu bisa jadi
karena akses informasi terhadap program pembangunan sangat minim. Masyarakat
kepulauan tidak memiliki akses yang cukup terhadap informasi pembangunan desa.
Selama ini mereka juga hanya menjadi obyek pembangunan tanpa muncul inisiasi
dan sumbangsih terhadap program yang dijalankan.
Dalam hal informasi, masyarakat kepulauan hanya menjadi obyek media arus
utama (mainstream) yang hanya membahas masalah masalah besar yang ada di pusat
dan tidak pernah menyentuh permasalahan riil yang sedang dihadapi masyarakat
kepulauan. Mereka tidak memiliki media massa sendiri tempat dimana mereka bisa
memperbincangkan masalah dan mencari solusi bersama sesuai dengan potensi
yang mereka miliki. Selama ini mereka hanya menjadi pendengar dan penonton
media mainstream nasional yang jarang mereka temui dalam kehidupan sehari-hari
dikepulauan seperti kemacetan, banjir, dan juga demonstrasi.
Kondisi ini jelas memerlukan perhatian khusus mengingat warga kepulauan
adalah bagian integral dari pembangunan kawasan daratan. Paling tidak ada tiga
alasan menurut Ariadi (2010) mengapa warga kepulauan harus diberi perhatian
khusus. Pertama, karena di Propinsi Jawa Timur wilayah kepulauan ditengarai
merupakan salah satu kantong kemiskinan yang paling menderita akibat tekanan
situasi krisis ekonomi yang berkepanjangan. Kedua, karena kepulauan merupakan
wilayah yang mengalami polarisasi paling menyolok, baik secara fisik maupun
sosial. Dengan posisi geografis yang relatif terisolir, wilayah kepulauan bukan saja
jauh dari kepentingan dan sumber-sumber produktif di pusat-pusat kekuasaan,
tetapi juga acapkali terlantarkan akibat adanya prasangka keruangan yang keliru
(Chambers, 1987). Ketiga, karena kualitas SDM masyarakat kepulauan umumnya
masih jauh tertinggal, dan tidak mustahil mengalami degradasi kualitas kehidupan
jika tidak segera dilakukan langkah-langkah intervensi. Sebagian besar masyarakat
kepulauan umumnya hanya ber-pendidikan setara SD atau SLTP, dan bahkan cukup
banyak yang tidak sekolah, sehingga peluang mereka untuk melakukan diversifikasi
usaha atau mencoba memperbaiki kualitas hidup acapkali terhambat.
Tantangan paling serius di kepulauan timur Madura adalah persoalan akses
transportasi dan komunikasi. Minimnya sarana transportasi dan komunikasi
48 Riset Aksi

membuat penduduk kepulauan menjadi terasing dan terisolasi. Persoalan ini penting
untuk mendapat perhatian agar warga kepulauan tetap merasa menjadi bagian
dari warga Jawa Timur. Guna membuka akses informasi, komunikasi antarwarga,
dan memecah keterasingan antarpulau, diperlukan media warga sebagai media
komunikasi bagi warga Kepulauan Madura. Media lokal ini sangat strategis untuk
pembangunan wilayah dan pemberdayaan warga kepulauan.

1.7 Mengembangkan jurnalisme warga melalui warga pelapor (citizen


reporter)
Pewarta warga mulai berkembang seiring dengan munculnya platform baru
bermedia. Kini kita memasuki era dimana konsumen sekaligus bisa bertindak
menjadi produsen media (prosumer). Warga bisa melaporkan apa yang terjadi
disekitarnya melalui media jejaring social. Jika cukup magnitude maka laporan itu
akan diambil oleh media mainstream dan menjadi berita di media. Ke depan peran
pewarta warga akan semakin besar dan hal ini akan positif bagi peningkatan daya
kritis masyarakat.
Pewarta warga akan semakin popular dimasyarakat karena mereka yang lebih
dekat dengan kejadian dan peristiwa yang terjadi. Pewarta warga papar Arifin (2013)
memiliki keunggulan karena tidak terkait dengan kepentingan tertentu kecuali
berkomitmen kepada kepentingan masyarakat luas sehingga nurani dan kejujuran
bisa diandalkan. Selain itu menurut Arifin (2013) pewarta warga juga mampu
menghayati dan menjiwai benar yang mereka ceritakan. Hasil pengamatan ataupun
pengalaman mereka sendiri, ditulis dengan penuh perasaan sehingga menjadi khas
dan alami. Selain itu, model jurnalisme ini juga lebih mengedepankan hati nurani
dan kejujuran yang lebih dekat dekat jaminan memelihara ruang public. Pewarta
warga diyakini akan mampu menghadirkan laporan yang lebih khas dan asli. Warga
bisa terlibat dalam diskusi-interaktif, tanya-jawab, memberi-menerima (take and
give) dan seterusnya.
Media massa saat ini berkembang semakin komplek dan telah berubah menjadi
multi arah dan multi dimensi. Trend berita saling melengkapi akan menjadikan
media warga menjadi ruang public yang khas. Arifin (2013) memaparkan bahwa
media massa menjadi ruang pertemuan berbagai gagasan ide dan upaya saling
melengkapi dan koreksi. Berita bisa dilengkapi oleh konsumen untuk menuju
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 49

obyektif dan lengkap. Media kemudian bisa berkembang menjadi ruang yang lebih
jujur karena partisipasi publik untuk memberi kelengkapan dan koreksi jika tidak
valid. Media dalam posisi ini menurut Arifin (2013) berkembang menjadi sarana
penentu keberhasilan pembangunan berbasis masyarakat.
Dalam sejarahnya menurut catatan Arifin (2013) bahwa peran informasi,
dalam bentuk yang sesederhana apapun, menjadi penentu keberhasilan manusia.
Keberhasilan pertanian pada masyarakat tradisional di zaman prasejarah juga
ditentukan oleh ketersediaan informasi yang umumnya didapatkan dari tanda-
tanda alam seperti bintang, arah angin, bunga tumbuhan tertentu hingga suara
dan gerak khusus binatang sekitar. Dengan demikian menurut Arifin (2013) setiap
manusia harus memiliki akses terhadap sumber-sumber informasi. Bagaimanapuin
kualitas hidup amat ditentukan oleh kualitas informasi. Lebih lanjut dijelaskan Arifin
(2013) bahwa kualitas informasi merujuk kepada akurasi dan ketepatan waktu
diperolehnya. Informasi yang tidak valid, tidak benar, bahkan menyesatkan, akan
berdampak pada kesalahan pengambilan keputusan. Sebaliknya, dengan didukung
informasi dan data yang benar, akurat, dan tersedia tepat waktu, maka kehidupan
masyarakat akan meningkat.
Guna menjaga obyektivitas, Arifin (2013) memandang perlunya kejujuran
dari semua pihak, terutama sumber-sumber dan pelaku jurnalisme. Agar kondisi
ini tercapai, seluruh komponen masyarakat perlu diberdayakan sebagai subyek
informasi; penyedia informasi, pengolah dan pengguna informasi, sehingga berlaku
idealisme demokrasi media: dari warga masyarakat, oleh warga masyarakat, dan
untuk warga masyarakat. Pada poin penting inilah, keberadaan citizen reporter
atau pewarta warga menjadi amat fundamental. Setiap orang difungsikan dan
memfungsikan diri sebagai pemberi informasi yang sekaligus juga pengguna
informasi itu sendiri. Warga masyarakat tidak lagi sebagai konsumen informasi
belaka, tetapi juga sebagai penyedia informasi.
Menjadi pewarta warga bukan berarti tidak terikta pada ketentuan apapun
dan menajdi bebas sebebas-bebasnya. Arifin (2003) mengemukan bahwa pewarta
warga memikul beban tanggung jawab terhadap semua informasi yang dimiliki
dan dibagikannya melalui tulisan di media massa. Dalam tanggung jawab tersebut
terkandung tugas-tugas untuk menghasilkan tulisan yang benar, jujur, informatif,
serta bermanfaat bagi orang banyak. Para pewarta menurut Arifin (2013) patut
mengetahui prinsip ini yaitu “suatu tulisan disebut berita jika ia memenuhi syarat
kebermanfaatan bagi masyarakat”.
Sebagai citizen reporter tambah Arifin (2013) justru akan menjadi wadah
strategis bagi setiap orang untuk menjadi pewarta warga yang jujur, berdedikasi,
memiliki jiwa sosial yang tinggi, serta melatih diri untuk bertanggung jawab.
Seluruh tulisan atau berita yang disampaikan kepada publik, tanggung jawab
sepenuhnya berada pada si penulis pribadi. Karena redaksi setiap media pewarta
warga manapun tidak bertanggung jawab terhadap konsekuensi dari sebuah hasil
karya para pewarta warga. Kekuatan pewarta warga jug terletak pada otentitas.
Inilah modal besar pewarta warga yang bisa menjadi kekuatan tiada tertandingi.
Selama ini, papar Arifin (2013) jurnalistik mainstream umumnya mengejar
aktualitas, sensasi, mendikte, instan, kurang memberi konteks dan berita yang
50 Riset Aksi

hampir seragam. Dalam teori pewarta warga lanjut Arifin (2013) ada yang disebut
extending the news from mainstream media. Menurut argumen Dan Gillmor disebut
sebagai journalism as a conversation, bukan lagi journalism as lectures. Jika dicermati,
media mainstream pada umumnya mendikte masyarakat dengan berita yang
hampir sama, sehingga seakan tidak ada ruang hak berdialog dengan wacana yang
diberitakan media. Ketidakpuasan inilah yang melahirkan pewarta warga.
Elemen terpenting dari pewarta warga adalah kejujuran. Turunan dari elemen
pertama inilah yang akan membuat setiap redaksi pewarta warga memegang teguh
prinsip fact and check, konfirmasi, cover both sides, dan seterusnya. Arifin (2013)
meyakini bahwa pewarta warga adalah basis media massa masa depan yang amat
prospektif. Dengan swakelola dan ditunjang kode etik sendiri media ini akan semakin
berkembang. Kode etik tersebut dibuat dan disepakati bersama untuk menciptakan
keteraturan, produktivitas kerja (kinerja), tak bertentangan dengan norma hukum,
agama dan etika, sehingga mampu menghasilkan karya kreatif yang monumental.
Akhirnya menurut Arifin (2013) jika masyarakat mampu dan memiliki bekal
jurnalistik yang bagus maka upaya untuk menumbuhkan media warga tidak lagi
menjadi pekerjaan yang sulit. Media warga dapat dikembangkan sebagai bagian dari
benteng pertahanan budaya dan masyarakat local. Masyarakat khususnya warga
pedesaan harus didorong untuk menjadi pelopor dan mampu menjadi pendobrak
kebuntuhan ide ide baru pembangunan masyarakat lokal. Ke depan mereka
terus didorong untuk menjadi kekuatan organik yang mampu mengintegrasikan
berbagi pengetahuan untuk melakukan perubahan dalam komunitasnya dengan
memperluas kesadaran kritis yang mereka miliki. (Maryani, 2011) Melalui media
mereka akan menjadi subyek media. Mereka mampu melakukan negoisasi antara
nilai nilai budaya dan kebijakan yang dibuat.
Keinginan warga kepulauan mempunyai rakom menumbuhkan hasrat atau
pengetahuan akan dunia jurnalistik penyiaran, khususnya di radio. Ada banyak
elemen yang harus dipenuhi dalam kelembagaan di radio, misalnya: penyiar, teknisi,
marketing, produksi penyiaran, administrasi dan keuangan, dll. Keterampilan
dasar dalam mengisi program isi siaran yang sesuai dengan kebutuhan warga
kepulauan adalah syarat mutlak agar rakom dapat tumbuh dan berkembang baik
dan berkelanjutan.
Jurnalisme dasar meliputi kemampuan mengenal berita (news), membedakan
fakta dan opini, menulis berita pendek, standup reportase, dan mengembangkan
hardnews dan softnews akan menjadi kemampuan dasar yang diperlukan dalam
pengembangan jurnalisme media warga. Warga kepulauan dapat berlatih
memberikan informasi kepada media rakom melalui sms, tulisan berita pendek,
laporan pandangan mata untuk memberitahukan situasi dan kondisi yang aka,
sedang, dan telah terjadi di masyarakat. Jika masyarakat sudah memiliki kemampuan
dasar jurnalisme ini maka akan terbentuk kebiasaan (habit) dan kultur berbagi yang
merupakan cikal bakal terbentukkan konsumen media yang loyal dan aktif. Media
rakom akan menjadi medium rembuk desa yang konstruktif bagi pembahasan
masalah kemasyarakatan.
Ruang publik media sejatinya adalah tempat bertemunya kepentingan
bersama baik aparat, masyarakat, ataupun investor. Ruang ini terbangun atas
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 51

orang per orang yang secara bersama disebut publik yang mengartikulasikan
kepentingan/kebutuhan masyarakat/bersama melalui media. Wilayah ini merupakan
zona bebas dan netral yang didalamnya berlangsung dinamika kehidupan warga
secara personal/individu, yang bersih/terbebas dari kekuasaan negara, pasar dan
kolektivisme (komunalisme) dan bertanggungjawab. (Ashadi, 1997).
Media radio dapat menjadi ruang publik yang sehat untuk memediasi
kepentingan warga (publik) dan aparatur negara. Radio sebagai perpanjangan/
ekstensi dari ruang publik yang bisa menjamin idealisasi public sphere dari proses
tarik menarik kuasa yang sekaligus menjadi media pembelajaran bersama menuju
daulat publik.Hal ini patut ditekankan mengingat posisi publik selalu berada dalam
posisi asimetris dengan negara. Media radio bisa memainkan peran agar posisi
tersebut bisa equal dan mencerdaskan.

1.8 Perbaikan manajemen aksi media komunitas lokal


Media warga di kepulauan bisa menjadi medium akulturasi strategis bagi
masyarakat yang berasal dari berbagai latar belakang agama, ras, pendidikan dan
pekerjaan yang berbeda-beda. Pengetahuan akan media penyiaran dari masing-
masing warga juga beragam (ada yang hanya mengetahui, tidak sama sekali, atau
tahu secara general). Disinilah peran aktif tim pendampingan untuk memberikan
pengetahuan akan media penyiaran, mulai dari regulasi, struktur keorganisasian,
program siaran, teknis, hingga pendanaan dan pengembangan secara berkelanjutan.
Langkah awal yang dapat dilakukan adalah mencari beberapa warga yang
memiliki inisiatif dan ketertarikan dalam mengelola media yang mau belajar tentang
media sebagai pioner. Tim pendamping memberi masukan bagaimana media
dikelola atas dasar kemampuan dan potensi lokal yang ada. Model pengelolaan
media asli (genuine) berbasis kebutuhan dan potensi warga hingga mereka memiliki
kemandirian untuk mengembangkan media secara berkelanjutan.

1.8.1 Aspek Kelembagaan


Media warga komunitas kepulauan didirikan oleh warga kepulauan harus
mempunyai legalitas dan izin pendirian secara sistematis dan terstruktur dengan baik.
Suatu lembaga penyiaran komunitas harus mempunyai AD/ART sebagai landasan
utama pendirian. Dengan mendapat dukungan minimal 250 anggota rill dewasa
dan dibuktikan dengan fotokopi KTP, maka pengelola dapat memusyawarahkan
AD/ART yang akan di bawa ke notaris untuk dibuatkan akte pendirian. Selanjutnya
akte tersebut dibawa ke pengadilan negeri untuk disahkan secara legal sebagai
badan hukum perkumpulan.
Sebenarnya pilihan badan hukum kelembagaan bagi media rakom tidak hanya
badan hukum perkumpulan, tetapi juga bisa dalam bentuk koperasi. Namun, badan
hukum koperasi biasanya memiliki jenis usaha yang tidak fokus kepada penyiaran
sehingga lebih disarankan untuk memilih badan usaha perkumpulan.
Struktur organisasi pada dasarnya terdiri atas pengarah dan pelaksana. Pengarah
sebagai steering committe dan pelaksana sebagai eksekutif committe. Bidang kerja
dibuat yang sederhana sesuai kebutuhan penyiaran yakni usaha, program, dan
teknis. Sebagai badan hukum perkumpulan maka penting untuk memperjelas aset
52 Riset Aksi

bahwa aset termasuk hibah seyogyanya menjadi aset perkumpulan sehingga tidak
timbul konflik dikemudian hari menyangkut kejelasan aset yang digunakan untuk
menyelenggarakan siaran. Oleh karena itu sejak awal harus dibuatkan berita acara
mengenai kejelasan aset baik yang dipinjam maupun yang dihibahkan. Mekanisme
organisasi menyangkut rapat anggota harus dilakukan secara periodik agar nampak
bahwa komunitas ini riil dan bukan hanya kumpulan beberapa orang saja. Hal ini
penting untuk diperjelas dalam kelembagaan karena selama ini media komunitas
hanya didominasi sejumlah individu tertentu dan proses pelibatan anggota sering
tidak dilakukan. Demikian juga perubahan personil dan permodalan.

Bagan 1
Alur Pendirian Kelembagaan Perkumpulan Rakom Kepulauan

≤ 250 Pengadilan
Pendirian AD/ART Akta Notaris
anggota Negeri

Nama Lembaga, Tujuan, Bidang Usaha,


Struktur Organisasi, Mekanisme Organisasi, Modal Dasar &Aset

1.8.2 Aspek Program


Program siaran media rakom di kepulauan harus disusun berdasarkan
kebutuhan warga. Durasi siaran harus dihitung berdasarkan daya dukung ekonomis
produksi siaran dan pendapatan. Siaran tidak harus full time penuh sepanjang hari.
Pada tahap awal, siaran dapat dimulai sore hingga malam karena menyesuaikan
energi atau daya listrik yang ada di lokasi. Acara pengajian agama, berita, diselingi
hiburan musik , motivasi dan kata-kata mutiara. Sebagai penyemangat kerja dapat
diputarkan musik yang digemari masyarakat setempat, yakni musik dangdut dan
islami. Dalam rangka menjaga ukhuwah antarwarga, program-program acara juga
dapat diselingi dengan salam antarwarga agar terjalin persaudaraan. Acara dialog
dapat dikembangkan dengan melibatkan semua suku yang ada (multikultur)suku
asli dan suku pendatang. Dalam penutupan acara dapat diisi dengan tausiah ulama
(tokoh agama) dan bacaan ayat suci al Qur’an.
Sebagai pengembangan program juga dapat didesain hiburan yang variatif
dan dinamis sesuai potensi kreatif seperti setiap jumat/minggu dapat dikembangkan
siaran anak-anak, remaja, konsultasi agama, pentas rakyat, dan cerita sukses warga
kepulauan serta kreativitas usaha dari kelompok ibu-ibu. Kelompok strategis ini yang
harus terus dilatih untuk mengembankan program siaran secara berkelanjutan.
Sebagai bentuk keterbukaan informasi publik maka program informasi dapat
mengambil materi dari beberapa referensi baik dari koran, informasi komunitas,
pondok pesantren, kepala desa dan aparat desa sebagai bahan dasar siar yang
dibutuhkan komunitas. Aparat desa juga dapat memanfaatkan media ini sebagai
media informasi mengenai informasi pembangunan desa termasuk didalamnya
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 53

memamahi informasi yang serta merta, sewaktu-waktu, dan berkala untuk


pemberdayaan warga terhadap berbagai program pembangunan desa. Penting
untuk diperhatikan bahwa masyarakat kepuluaan identik dengan kultur religius
maka program siaran harus didesain dengan brand image menghibur tapi syar’i
sesuai adat dan ajaran agama.
Isi siaran media warga harus mencerminkan kepentingan publik dan benar-
benar didasarkan atas kebutuhan publik (public’s need) bukan sekadar yang
diinginkan publik (public’s want). Program siaran harus mencerminkan kepentingan
publik (representasi suara publik). Tidak hanya representasi publik, tetapi juga
sebagai benteng pertahanan budaya lokal.
Agar publik memiliki kepedulian terhadap program maka perlu ada Consultative
Forum (Ghazali, 2003:51). LCF merupakan suatu forum untuk mendiskusikan tentang
penyiaran dan mengajak masyarakat dalam penggalangan dana publik, perencanaan,
dan produksi program. Forum LCF ini akan dapat menjadi partner sekaligus wahana
yang mampu menjembatani apa saja kepentingan masyarakat dalam media publik.
Publik akan turut memiliki media dan dengan sukarela akan membentuk kelompok-
kelompok pendengar. Kelompok pendengar ini yang akan menjadi penyampai
aspirasi dan harus didorong aktif menyalurkan aspirasinya terhadap keberadaan
media warga. Aspirasi yang disampaikan yang kemudian akan menentukan format
dan program siaran yang akan dipancarluaskan oleh media warga publik.Media
ini harus menjadi sebuah ruang tempat berdialognya semua komponen yang
ada di masyarakat. Misalnya, bila pemerintah desa ingin mengeluarkan sebuah
kebijakan tertentu maka maka media warga bisa menyediakan ruang publik untuk
berdialog bagi pemerintah dan kelompok masyarakat yang akan terkena dampak
kebijakan tersebut. Dalam ruang itu, pemerintah dan masyarakat dapat berdebat
secara terbuka perihal kebijakan yang akan terbit. Hal ini sejalan dengan konsep
public sphere Habermas sebagai ruang otonom diantara negara (state), dan civil
society, dimana setiap warga negara bisa melibatkan diri dalam diskursus tentang
masalah bersama. Celah tersebut dapat diisi dan diperankan oleh media massa
yang berfungsi ke-publikan yang memasok dan menyebarluaskan informasi yang
diperlukan untuk penentuan sikap dalam masyarakat. Media penyiaran dapat
memfasilitasi pembentukan opini publik dengan menempatkan dirinya sebagai
wadah independen untuk perdebatan publik, menyangkut isu ekonomi, politik,
sosial, dan budaya.
Sebagai media publik maka format isi siaran siaran dapat merepresentasikan
budaya lokal sebagai benteng sekaligus pelestari budaya agar masyarakat tidak
tercerabut dari budaya asal (lokal). Siaran dapat menjangkau segmen masyarakat
yang lebih luas dengan menghadirkan siaran yang bisa mendorong warga terlibat
secara aktif dan Media warga dapat berfungsi sebagai ruang publik tempat
masyarakat mendiskusikan persoalan-persoalan mutakhir yang dihadapi.
Masyarakat sebenarnya juga sedang mencari alternatif di luar media arus utama
(main stream) maka media warga dapat menangkap kebutuhan itu agar menjadi
alternatif untuk dapat memenuhi kebutuhan dan harapan pendengar (Maryani,
2011). Kebeberadaan media warga diperlukan untuk memberikan keseimbangan
54 Riset Aksi

dalam memperoleh informasi, pendidikan, kebudayaan, dan hiburan yang sehat


bersifat independen, netral, tidak komersial. (Masduki, 2007)

1.8.3 Aspek Teknis


Media rakom kepulauan fm sebagai media siar komunitas sesuai dengan
peraturan pemerintah di kanal frekuensi 107.70 MHz, 107.8 MHz dan 107.9 MHz.
Peralatan yang akan digunakan untuk menunjang kegiatan siaran rakom kepulauan
terdiri dari 4 kebutuhan, yaitu: kebutuhan ruang pemancar, ruang studio ruang
produksidan kebutuhan lain-lain. Adapun alat-alat kebutuhan media rakom seperti
berikut ini:

Tabel 3.
Kebutuhan Peralatan
No Nama Barang Nama Barang Nama Barang Nama Barang
Ruang Pemancar Ruang Studio Ruang Produksi Kebutuhan lain-lain
1 Pemancar Mixer Mixer Tower Bambu
2 Exciters Computer Computer Antena Hazler
3 Limiter dan Dekoder Microphone Microphone Cable Coaxial 7/8
4 Studio Stavolt Stand Mic Head phone Computer
5 Head Phone Audio monitor Printer
6 Tape Recorder CD Player –
7 Audio Monitor – –

Dalam hal teknis penyiaran media warga, prinsip dasar yang harus diingat
adalah berbiaya murah dan mampu memelihara kapasitas alat secara berkelanjutan.
Pengelola harus memiliki ketrampilan dasar untuk memperbaiki peralatan jika
sewaktu-waktu terjadi kerusakan dan masalah. Dalam kepentingan ini maka
peralatan yang dipasang bisa jadi adalah rakitan lokal, tetapi memiliki daya saing
yang tidak kalah dengan peralatan pabrikan.

1.8.4 Pendanaan (Fundrising)


Media warga komunitas memulai pengorganisasiannya melalui tenaga-tenaga
masyarakat yang ada di kepulauan, baik dari pemuda desa maupun dari aparatur
pedesaan. Rakom dituntut dapat menciptakan fandom (penggemar) akan acara-
acara yang diluncurkan oleh anggota media warga. Fandom yang tergabung di
dalam rakom dapat ditarik iuran rutin untuk menunjang keberlangsungan acara
rakom. Pendanaan fundrising bukan hanya di iuran rutin dari fandom rakom,
namun ada beberapa pihak yang akan ikut, seperti: donatur perorangan dan
komunitas, donatur perusahaan dan usaha komunitas, NGO dan lembaga donor,
dan pemerintah.
Rakom kepulauan dalam hal etika dan kebijakan fundrising mempunyai
landasan hukum yang dijadikan sebagai legalitas. Acuan peraturan dan hukum yang
dimaksud adalah UU No. 32 tahun 2002 dan PP No. 51 tahun 2005 tentang lembaga
penyiaran komunitas. Dua peraturan hukum tersebut mengatakan bahwamedia
warga komunitas sebagai lembaga penyiaran komunitas berfungsi tidak untuk
mencari laba dan hanya dapat menerima sumbangan yang tidak mengikat.
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 55

Usaha untuk pencarian sumber daya dan pendanaan rakom dilakukan


dengan metode fundraising yang beragam dengan tujuan untuk mempertahankan
keberlangsngan acara siaran rakom. Adapun metode fundraising terdiri dari 3
strategi, yaitu: mencari sumbangan atau sumber dana yang tersedia (iuran fandom
rakom), menggalang sumber daya ide kreatif, gagasan, keahlian, tenaga, dan
dukungan partisipasi warga, dan yang terakhir mencari pendanaan bagi rakom
dengan mencari iklan (secara on-line dan off-air). Penggalangan dana melalui on-
air adalah memanfaatkan perangkat siaran dan frekuensi, sdangkan yang off-air
dengan memanfaatkan peluang-peluang kegiatan di luar siaran. Gambaran Ipteks
yang akan ditransfer kepada pengelola media komunitas.

Strategi Fundraising Media Warga Komunitas


Pendanaan awal adanya rakom ini dengan adanya: 1) Iuran dari warga sekitar
atau dana individu. Iuran perorangan di sini yang dimaksud adalah menggalangkan
dana kepada warga sekitar Pulau Mandangin. Baik dalam bidang uang tunai maupun
barang. Sumbangan di sini pun juga tidak di tuntut nominalnya seikhlasnya warga
Pulau 2) Dukungan kemitraan dengan Lembaga Donor Bekerja sama dan kemitraan
dengan LSM di Mandangin, BKKBN, yayasan, JRKI, NGO.3) Donatur dari perusahaan
dan pengusaha. Mereka memberikan dukungan melalui iklan usaha lokal atau ILM
untuk mempromosikan atau mengiklankan produknya, yang di beri tarif sesuai
kemampuan mereka. 4) Bantuan Pemerintah merupakan kerja sama yang beragam,
undangan untuk program talkshow, ILM, JINGLE, dan ucapan selamat baik penyiaran
informasi maupun liputan langsung, bekerja sama dengan Kementrian Negara
Pemberdayaan Perempuan ( Kemeneg PP ) dan Mahkamah Agung,

Pengalaman Metode Fundraising Rakom Mandangin


Secara umum ada 2 pola dan metode fundraising yang dijalankan oleh
Rakom Mandangin FM, yakni On air fundraising dan off air fundraising. On air
fundraising dilakukan melalui pemanfaatan media siaran yang menjadi kegiatan
utama media warga untuk menggalang sumbangan, dukungan, kerja sama, dan
kemitraan dengan pihak lain. Sementara off air fundraising merupakan kegiatan
penggalangan dukungan dan kemitraan dengan tidak menggunakan media siaran
yang menjadi kegiatan utama media warga. Namun, dalam pelaksanaannya, strategi
off air fundraising ini juga didukung dan ditunjang dengan kegiatan siaran. Misalnya,
kegiatan event yang merupakan kegiatan off air akan berhasil jika dipromosikan
secara gencar melalui siaran media warga.
Pengelola rakom Mandangin FM memanfaatkan dan mengoptimalkan siaran
media warga untuk kegiatan fundraising, selain sebagai penyampai informasi dan
media hiburan sebagai fungsi utama. Pengelola rakom Mandangin FM merancang
berbagai skema yang bisa dimanfaatkan masyarakat, pengusaha dan pemerintah
untuk mempromosikan produk, program atau visi misinya. Mereka menawarkan
iklan dan ILM bagi pengusaha local yang ingin mempromosikan perusahaan atau
produknya. Sementara ILM dalam bentuk ucapan selamat, himbauan atau info
singkat juga ditawarkan kepada individu, perusahaan maupun instansi pemerintah.
Penyampaian pesan juga bisa dikemas dengan menarik melalui jingle.
56 Riset Aksi

Bagi instansi pemerintah yang ingin diliput program atau kegiatannya secara
langsung, rakom Mandangin menyediakan program siaran langsung atau live dari
lokasi kegiatan. Skema ini menawarkan kecepatan informasi sekaligus interaktif
bagi mereka yang ingin program atau aktivitasnya diketahui oleh masyarakat.
Talk Show bisa menjadi pilihan bagi instasi pemerintah atau lembaga yang ingin
menyampaikan informasi secara detail dan panjang lebar. Sebagian paket on air ini
ditawarkan melalui kontrak kerja sama jangka pendek. Misalnya, pengusaha atau
pemerintah bisa mengambil paket iklan usaha local dan ILM untuk jangka waktu 1
bulan dengan frekuensi penayangan 3 – 5 kali perhari. Sebagian lainnya ditawarkan
dalam bentuk kerja sama jangka panjang.
Sementara metode off air fundraising yang banyak dijalankan adalah
penyelenggaraan event, baik event yang bersifat profit maupun non profit. Event
non profit digelar tidak secara khusus untuk mencari dana, namun sebagai upaya
mempererat hubungan dan memperluas jaringan, serta memperkuat brand media
warga di mata masyarakat. Event ini menjadi semacam investasi jangka panjang
untuk menunjang kegiatan fundraising yang dilakukan media warga. Rakom
Mandangin FM dikenal sebagai media warga yang rutin menyelenggarakan event,
mulai event kecil sampai kegiatan akbar yang melibatkam massa dalam jumlah
besar. Dari event-event inilah pengelola rakom mendapatkan penghasilan melalui
penjualan tiket, pendaftaran maupun dukungan perusahaan yang menjadi sponsor.

NO. METODE BENTUK CONTOH


FUNDRAISING
1 On Air Fundraising Iklan usaha lokal Promosi toko, warung, bengkel, dll
ILM Ucapan selamat lebaran, info program
pemerintah, himbauan, dll
Siaran Live Reportase lapangan, peresmian,
kampanye, penyampaian visi dan misi
calon, dll
Penjualan air time Sandiwara radio, info program, dll
Talk show Info program, kiat dan tips, dll
Jinggle Info program dan produk
2 Off Air Fundraising Event Konser band, lomba mewarnai,
pameran, dll
Kemitraan Pengembangan keterampilan menjahit
Unit usaha Penjualan voucher HP
Iuran & Sumbangan Sumbangan sukarela untuk korban
bencana, sumbangan peralatan, iuran
temu fans, dll

1.9 Simpulan
Media komunitas public warga lokal memiliki potensi untuk membuka
akses, dan keterbukaan informasi dan pengembangan ruang publik warga.
Media komunitas warga lokal dapat dikembangkan sebagai medium eksistensi
dan pengembangan diri. Kesadaran masyarakat terhadap informasi harus diikuti
dengan kepemilikan media di tingkat lokal. Masyarakat kepulauan yang memiliki
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 57

modal sosial dan kultural harus menjadi subyek dan memiliki swadaya atas informasi
ditingkat lokal. Masyarakat kepulauan akan menjadi well informed. Kepemilikan
media lokal diyakini akan membuka atmosfer keterbukaan ruang publik pedesaan.
Media warga akan dapat dikelola secara independen dan merdeka yang dilakukan
langsung oleh masyarakat. Melalui media publik dan komunitas maka kekuatan
masyarakat sipil akan semakin solid dalam mengawal demokrasi komunikasi.
Guna mengembangkan media komunitas warga local maka dapat
dikembangkan isi program jurnalisme warga melalui warga pelapor (citizen
reporter). Mengembangkan pewarta warga (citizen reporter) adalah wujud daya kritis
warga. Setiap orang difungsikan dan memfungsikan diri sebagai pemberi informasi
yang sekaligus juga pengguna informasi itu sendiri. Warga masyarakat tidak
lagi sebagai konsumen informasi belaka, tetapi juga sebagai penyedia informasi
(prosuden info) bagi orang lain. Pewarta awarga akan membuka ruang public di
media karena lebih jujur dan lebih independen. Jika daya kritis ini terus terbangun
maka akan meningkatkan pengawasan warga dan kebaikan ruang publik. Pelatihan
warga didalam melaporkan berbagai peristiwa yang ada dilingkungannya akan
menjadikan isi media menjadi actual dan menarik karena informasi akan bisa saling
melengkapi dari waktu ke waktu. Selain itu juga melatih daya kritis warga didalam
menggunakan media.
Didalam mengembangkan media komunitas local maka pilihan aksi perbaikan
manajemen bisa dilakukan melalui perbaikan aspek kelembagaan, program siaran
berbasis jurnalisme warga, penguatan pendanaan dan pengembangan teknologi
media komunitas.
Dalam bidang kelembagaan, media komunitas warga kepulauan didirikan oleh
warga kepulauan harus mempunyai legalitas dan izin pendirian secara sistematis
dan terstruktur dengan baik. Suatu lembaga penyiaran komunitas harus mempunyai
AD/ART sebagai landasan utama pendirian. Selanjutnya akte tersebut dibawa ke
pengadilan negeri untuk disahkan secara legal sebagai badan hukum perkumpulan.
Badan hukum koperasi biasanya memiliki jenis usaha yang tidak fokus kepada
penyiaran sehingga lebih disarankan untuk memilih badan usaha perkumpulan.
Program siaran berbasis jurnalisme warga disusun berdasarkan kebutuhan
warga. Pengembangan pewarta harus melibatkan potensi lokal sehingga warga juga
mampu menghayati dan menjiwai benar yang mereka ceritakan. Hasil pengamatan
ataupun pengalaman mereka sendiri, ditulis dengan penuh perasaan sehingga
menjadi khas dan alami. Selain itu, model jurnalisme ini juga lebih mengedepankan
hati nurani dan kejujuran yang lebih dekat dekat jaminan memelihara ruang public.
Pewarta warga diyakini akan mampu menghadirkan laporan yang lebih khas dan
asli.
Pendanaan secara umum ada 2 pola dan metode fundraising yang dapat
dikembangkan yakni On air fundraising dan off air fundraising. On air fundraising
dilakukan melalui pemanfaatan media siaran yang menjadi kegiatan utama media
warga untuk menggalang sumbangan, dukungan, kerja sama, dan kemitraan
dengan pihak lain. Sementara off air fundraising merupakan kegiatan penggalangan
dukungan dan kemitraan dengan tidak menggunakan media siaran yang menjadi
kegiatan utama media warga.
58 Riset Aksi

Melalui kepemilikan media komunitas local masyarakat akan kian berdaya dan
dapat mengikuti perkembangan lingkungan social, pengetahuan dan teknologi dan
akan berkembang menjadi learning society. Masyarakat yang tidak henti belajar dan
berkelanjutan sebagai prosumer. Melalui pengembangan media local diyakini akan
mendorong demokratisasi komunikasi di tingkat lokal. Masyarakat dapat terlibat
aktif dalam berbagai diskusi yang terkait dengan kepentingan dan permasalahan
mereka hingga dapat mencari solusi secara mandiri dan berkelanjutan.

4.2 Saran
1) Media komunitas lokal harus tumbuh dari, oleh, dan untuk masyarakat
dan warga local dengan menguatkan kepemilikan dan keberagaman
siaran.
2) Pengembangan media lokal bisa dikembangkan dengan melatih warga
menjadi pewarta (reporter) sehingga warga bisa menjadi prosumer yakni
sebagai konsumen sekaligus sebagai produsen media.
3) Penguatan media lokal melalui kejelasan kelembagaan dengan badan
hukum yang abash guna menghindari konflik dan keberlanjutan.
4) Penguatan program siaran melalui program berbasis jurnalisme dan
kebutuhan warga sehingga isi siaran benar-benar sesuai dengan
kebutuhan warga.
5) Penguatan pendanaan melalui strategi fundrising, baik melalui online
maupun off line sehingga pendanaan media komunitas bisa kian mapan
dan independen.
6) Pengembangan teknologi media melalui adopsi teknologi media 2.0
guna peningkatakan kapasitas media dan jejaring media.

METODE RISET AKSI


Dalam melaksanakan riset aksi dengan paradigma partisipatoris,
peneliti harus memiliki pengetahuan dan keterampilan metodologis riset
kualitatif. Metode penelitian yang cocok dipakai dalam riset aksi menurut
Hamad (2006) adalah study kasus (case study) sebuah metode penelitian
dalam pendekatan kualitatif yang berusaha menggali proses terjadinya
suatu kasus dengan menjawab pertanyaan mengapa dan bagaimana iitu
terjadi (Cresswell, 1994:68 dalam Hamad 2006:5). Dengan mendalami
proses kasus atau masalahnya dilapangan, apalagi jika di dasari prinsip
local knowledge, niscaya melalui studi kasus itu akan diperoleh pemecahan
masalahnya serta rencana aksinya secara kontekstual.
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 59

Dalam melaksanakan riset aksi dengan paradigma partisipatoris


peneliti harus bisa mengidentifikasi topik dan masalah riset melalui
pemahaman sistem sosial yang kuat sehingga bisa melakukan pembatasan
masalah serta menghitung kemampuannya dalam mengorganisasi riset.
Adapun tujuan riset adalah untuk menemukan masalah masalah yang
riil terjadi dan bisa memberi penjelaan mengapa masalah itu timbul dan
terjad serta bisa mendapatkan solusi format dan roadmap perubahan
sebagai tindak lanjut riset.
Pengumpulan data sebagaimana tradisi riset kualitatif bisa meliputi
data primer, observasi, dan sekunder. Melalui pengamatan terlibat
kegiatan bersama, dialog interaktif dan memperlakukan informan
sebagai mitra, cek and ricek. Adapun teori yang bisa di gunakan adalah
teori sistem dilevel makro dan teori-teori pendukung sesuai konteks
permaslaahan riset riset di level meso dan mikro. Melalui studi kasus dan
paradigma partisipatoris. Analisis data peneliti bisa melakukan klasifikasi,
menafsirkan dan mendiskusikan temuan data sebagai hasil dialog dan
diskusi bersama hingga menemukan insightdan kemantaban peta jalan
keluar. Dengan demikian laporan tidak sekadar berupa gambaran masalah
dan penjelasan mengapa masalah itu terjadi, tetapi juga ada anjuran dalam
bentuk rencana aksi (rancangan aksi bersama) serta roadmap perubahan
dan solusi praktis. Laporan itu harus mendapat kesepakatan dari mitra
dan user riset sebagai prosedur untuk mendapat keabsahan, keterandalan
riset
Riset aksi itu sesungguhnya fully impact. Tindak lanjut bisa dilakukan
melalui pelatihan, lokakarya, dan workshop sebagai prosedur untuk
melakukan perbaikan dengan menggunakan bahasa aksi, menggunakan
teknik konsultasi yang menunjukkan tindakan praktis terkait dengan hal
apa saja yang mestidan bisa dilakukan.

PENGUATAN RISET AKSI


Jika kita ingin memperkuat perti sebagai pusat riset unggulan maka
riset aksi bisa menjadi alternatif jalan keluar. Perti tidak hanya sebagai
menara gading, tetapi bisa menjadi menara air yang bisa memberi
kemanfaatan optimal untuk lingkungan dan masyarakatnya. Bagaimana
60 Riset Aksi

riset universitas bisa menghasilkan teknologi teknologi baru dan inovasi


inovasi kecakapan baru didalam masyarakat sambil bis amenunjukkan
peluang, kendala dan tantangannya.
Perti didorong untuk menjadi universitas pengerak perubahan sosial
sehingga memiliki power daya ubah lebih cepat. Riset ini bisa menjadi
jalan solutif kekinian mengiat tidak memisahkan argumen antara raksis
dan teori. Riset aksi ini mencoba untuk mengubah metode ilmiah (scientific
method) menjadi kegiatan untuk perubahan sosial atau yang seringkali
dikenal sebagai activism.
Peluang untuk mengeksplorasi kearifan lokal dalam riset aksi sangat
terbuka luas sehingga pemecahan pemecahan masalah sosial berbasis
kearifan lokal akan kian banyak terpecahkan dan perti akan menjadi
mitra unggul bagi masyarakat dalam mencari solusi bersama berbagai
masalah sosial. Riset aksi juga bisa membantu penguatan kompetensi
mahasiswa. Sebagai peneliti riset aksi mahasiswa harus bisa memahami
masalah penelitian secara komprehensif dan bisa kreatif menawarkan
berbagai solusi kreatif dan empatik terhadap kebutuhan stakeholders lokal.
Mahasiswa tidak hanya dituntut untuk bisa menguasai metode dan topik
riset, tetapi juga memiliki keterampilan komunikasi guna melakukan
cogenarative inquiry.
Riset aksi tidak hanya memberi pengalaman metodologis kepada
peneliti, tetapi juga akan mematik pengalaman kehidupan dalam bentuk
kemampuan praksis dalam mengembangkan kompetensi komunikasi,
khususnya dalam membangun kesepakatan bersama melalui dialog terus-
menerus – kesepakatan dan persetujuan bersama. Dengan demikian
mahasiswa perlu disiapkan kompetensi teknis dan nonteknis cerdas,
empatif, soltutif punya keterampilan komunikasi guna menawarkan
solusi bersama. Di sini kita akan mendapat keunggulan ganda tidak
hanya memahamkan mahasiswa dalam bidang metode riset, tetapi juga
kompeten, sebagai agen pengerak dan aktivis perubahan sosial yang
tangguh.
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 61

SIMPULAN
Riset aksi merupakan solusi mutakhir bagi riset praktis sesuai
metode ilmiah yang bisa dilakukan dalam era new normal pendemi covid
dan merdeka belajar. Dengan paradigma partisipatoris, riset ini akan
menghasilkan pengetahuan yang kolabortif antara pengetahuan lokal dab
pengetahuan profeional dan validitas, keterandalan, dan kredibilitasnya
riset aksi diukur dari kesediaaan dan persetujuan akan hasil riset. Dengan
menggunakan metode studi kasus riset aksi akan sangat kontekstual
sesuai dengan tempat dimana riset dilakukan dan bisa menunjukkan peta
jalan keluarnya dan melakukan perbaikan kinerja organisasi/kelompok
sebagai solusi bersama. Riset ini akan menjadi salah satu peta jalan untuk
meningkatkan produktivitas riset yang dihasilkan baik oleh perti maupun
lembaga riset yang lain sehingga bisa mengingkatkan daya saing bangsa.

Catatan Akhir *** Naskah dipresentasikan oleh penulis dalam seminar nasional penelitian
kualitatif 2020 dengan tema Inovasi Metode Penelitian Sosial - Awarding Peneliti kualitatif
Indonesia 2021 yang diselenggarakan oleh Indonesia Qualitative Researcher Association
(IQRA) pada tanggal 7 September 2020 dengan penambahan dan penyesuaian untuk
chapter buku oleh penulis.

REFERENSI
Cresswell, John W. (1994). Research Design Qualitative & Quantitative
Approachs. Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publication.
Denzin Norman K. and Yvonna S. Lincoln (2000). Handbook of Qualitative
Research, 2nd Edition. Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage
Publication.
Denzin Norman K and Yvonna S Lincoln (1994). Handbook of Qualitative
Research, Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publication.
Hidayat, Dedy N (2006). Meluruskan Dikotomi Penelitian Kualitatif-
Kuantitatif dalam Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi Thesis,
Volume V No. 3 September–Desember Jakarta: Departemen
Ilmu Komunikasi FISIP UI
Hamad, Ibnu (2005) Membumikan Kriteria Kualitas Penelitian, dalam Jurnal
Penelitian Ilmu Komunikasi Thesis, Volume IV No. 1 Januari-
April Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI
62 Riset Aksi

Hamad, Ibnu (2005) Riset Aksi: Mencetak Agen Perubahan, dalam Jurnal
Penelitian Ilmu Komunikasi Thesis, Volume V No. 2 Mei-Agustus
Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI
Hamad, Ibnu (2006) Bagaimana Mempercayai Hasil Penelitian. dalam Jurnal
Penelitian Ilmu Komunikasi Thesis, Volume V No. 3 September–
Desember Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI
Surokim, dkk (2019), Riset Komunikasi: Panduan Praktis Riset Komunikasi,
Jogjakarta: Elmatera
Surokim (2020) Riset Aksi Peningkatan Kapasitas Radio Komunitas Kepulauan
Madura, Laporan Penelitin, Bangkalan: Puskakom Publik.
4
Ekonomi Politik dan Etis

ATAS PERAN PERGURUAN TINGGI


DALAM SURVEI POLITIK: RETROPEKSI &
EVALUASI DI MADURA

PERGURUAN TINGGI DI MADURA


Keberadaan perguruan tinggi di Madura sesungguhnya
amat strategis jika dikaitkan dengan keberadaan, peran,
kebutuhan dan pertumbuhan kelas menengah kritis.
Perguruan tinggi sebagai garda depan penghasil kaum
terdidik yang bisa kritis terhadap lingkungan senantiasa
akan bisa memainkan peran strategis sebagai control dan
menjalankan fungsi edukatif evaluatif. Perguruan tinggi
sebagai kelompok masyarakat terdidik independen selama
ini dikenal sebagai penjaga depan garda kepentingan
public dan selalu berdiri teguh diatas nilai-nilai virtue
public dalam gerak langkah kiprahnya sehingga bisa
menjadi motor gerakan masyarakat yang positif dalam
pembangunan masyarakat.

63
64 Ekonomi Politik dan Etis

Hingga kini keberadaan perguruan tinggi di Madura masih belum


mampu memberi kontribusi maksimal didalam upaya untuk mendorong
peran public didalam melakukan pengawasan dan mengawal jalannya
demokrasi. Hal ini bisa dipahami mengingat perguruan tinggi di Madura
sebagian besar berasal dari milik pesantren dan memiliki aliansi dengan
tokoh elit yang menjadi penguasa birokrasi lokal. Perguruan tinggi
tersebut biasanya lebih banyak adalah perguruan tinngi agama dan
pendidikan yang lebih banyak mendidik mahasiswa untuk menjadi guru
dan tenaga pendidik. Bentuk perguruan tinggi tersebut mulai dari sekolah
tinggi, akademi hingga institute dengan kekhususan jurusan agama dan
pendidikan.
Sejak dibukanya kran demokrasi, mulai terjadi pemerataan pendidikan
tinggi di berbagai daerah baru dan di Madura juga kemudian hadir
berbagai universitas yang membuka jurusan lebih umum tidak hanya
agama. Keberadaan universitas yang lebih terbuka dalam dialog keilmuan
memungkinkan civitas academica bisa memainkan peran strategis
yang lebih efektif didalam mendorong perubahan social di masyarakat.
Perguruan tinggi melalui tridhrama pada jurusan ilmu social juga bisa
memainkan peran control atas pelaksanaan politik dan demokratis di
Madura.
Dalam kultur Madura yang belum terbuka sepenuhnya, aktivitas
politik kerapkali memberi batasan atas peran perti didalam mendorong
tumbuhnya iklim demokrasi dan politik yang lebih baik. Perti memiliki
keterbatasan akses dalam banyak hal dan kerap mengalami kesulitas
didalam memberikan pandangan senagai pelurusan atas jalananya politik
dan demokrasi di Madura.
Sejauh ini peran perti di Madura didalam mendorong pemilu masih
terbatas. Kendati didalam perti terdapat ribuan calon pemilih muda, tetapi
sebagian besar masih apatis terkendaa oleh iklim keterbukaan di Madura.
Tidak heran jika peran perti didalam mengawal jalannya demokrasi
politik di Madura sangat minimalis.
Memang kampus tidak boleh menjalankan politik praktis, tetapi
kampus juga punya kewajiban didalam menciptakan ruang public
politik yang demokratis sesuai aspirasi arus bawah masyarakat. Dengan
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 65

demikian politik menjadi kehendak public dan bukan menjadi heendak elit
sebagaimana selama ini dominan ada di Madura.
Peran kampus bisa memberi sumbangan positif melalui pemikiran dan
forum ilmiah agar bisa menjadi pengawal atas jalannya politik di Madura.
Membuka forum dialog antar tokoh dan elit untuk bisa mentransfer
komunikasi dan pengetahuan baru sesungguhnya ideal dijalankan oleh
perti. Kampus juga bisa menjadi ajang persemaian ide ide ideal untuk
memberi warna atas jalannya politik di Madura. Apalagi momentum
politik sesunggunya bisa menjadi laboratorium untuk mahasiswa didalam
belajar sebara langsung sekalgius bisa berinteraksi dengan bergagai
kalanagan straegis gua menumbuhkan semangat didalam melakukan
kajian dan riset.
Kampus sesungguhnya menjadi wadah terbuka untuk dialektika ilmu
pengetahuan dan menjadi forum kontruktif guna ikut berpartisipasi dalam
pembangunan di daerah. Dengan demikian kampus akan senantiasa dekat
dengan problem yang ada dimasyarakat dan dapat dirasakan manfaatnya
oleh masyarakat secara riil. Hal ini tentu sejalan dengan perintah
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
yang menyebutkan bahwa bahwa perguruan tinggi sebagai lembaga yang
menyelenggarakan pendidikan tinggi, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat harus memiliki otonomi dalam mengelola sendiri lembaganya.
Hal itu diperlukan agar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan mimbar
akademik serta otonomi keilmuan.
Kampus dalam hal ini dapat menyiapkan agenda diskusi dalam
kerangka membangun kesadaran berpolitik dengan pendekatan akademik,
Kampus bisa memainkan peran didalam mengawal jalannya demokrasi
dengan menumbuhkan iklim akademis. Kampus bis amembuka ruang
akademis dengan mengundang tokoh politik untuk menyampaikan ide
dan gagasannya di dalam kampus, dalam koridor akademik, bukan politik
praktis. Kegiatan ini murni pendidikan dalam koridor akademik sehingga
netralitas kampus tetap terjaga
Banyak tugas yang sesungguhnnya bisa dijalankan masyarakat kampus
di Madura diantaranya mendorong fungsi pengawasan, penyelenggaraan
dan juga edukasi kepada penilih. Apalagi dalam pendidikan politik dan
66 Ekonomi Politik dan Etis

keterlibatan masyarakat menjadi sangat penting mengingat faktanya


sekarang banyak masyarakat Indonesia yang menjadi “silent majority”,
sehingga memilih diam ketika melihat pelanggaran pilkada.
Perguruan tinggi secara normatif bertugas menyiapkan sumberdaya
manusia yang mempunyai kemampuan menguasai iptek, berwawasan
kebangsaan sehingga secara institusional  memiliki tanggung jawab
sosial yang besar. dalam dinamika politik, termasuk secara proaktif
menggulirkan wacana-wacana baru dalam konstelasi social politik
berbangsa. 
Peran perti dalam pemantauan pemilu bisa dilakukan seperti peran
Forum Rektor dalam mengawal pemilu yang jujur dan adil. Peran
ini merupakan bagian dari tugas kampus guna memberi pencerahan.
Keberadaan perguruan tinggi ini akan memberi dampak signifikan untuk
akselerasi jika perti berani mengambil partisipasi dalam mendorong
demokrasi pemilu local. Perti melalui mekanisme ilmiah bisamemberi
pencerahan dan kepada publik.
Keberadaan perguruan tinggi diperlukan di dalam mendorong
jalannya demokrasi Madura. Sejalan dengan pendapat Lubis (2015) untuk
mendorong pembangunan di Madura paling tidak diperlukan peningkatan
kapasitas masyarakat local dan pemberdayaan masyarakat lokal

SURVEY POLITIK
Keberadaaan lembaga survei politik di Indonesia hingga saat
ini masih menghadapi beragam masalah dan tantangan, khususnya
menyangkut penilaian pada aspek independensi dan reputasi. Hal ini
bisa dipahami mengingat survei politik sejauh ini masih didominasi
dan diselenggarakan oleh lembaga privat-swasta dan non-publik yang
lebih banyak memosisikan diri sebagai lembaga atau perusahaan bisnis
profesional dengan motif menjadikan politik sebagai salah satu bidang
industri komersial.
Tekanan yang kuat atas motif bisnis itu menjadikan lembaga survei
kerap mengundang penilaian pro dan kontra di masyarakat seiring
dengan meningkatnya kecerdasan, daya kritis, dan partisipasi publik
warga dalam politik elektoral. Apalagi tidak dimungkiri dalam banyak
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 67

peristiwa elektoral hasil lembaga survei itu bisa berbeda-beda bahkan


kadang ada hasil yang sangat jauh berbeda dan kesemuanya dipublikasikan
secara luas kepada publik hingga menimbulkan kontroversi dan polemik
berkepanjangan di masyarakat.
Sejauh ini polemik di tingkat nasional masih bisa dikontrol dan
diatasi melalui penilaian publik secara luas dan terbuka melalui berbagai
publikasi media massa hingga publik dan pengamat bisa melakukan
crosscheck penilaian atas prosedur dan juga dibandingkan dengan hasil
survei lembaga yang lain.
Koreksi dan evaluasi publik secara intens melalui media massa tersebut
di level nasional akhirnya efektif untuk menghukum lembaga survei dan
terbukti mampu meruntuhkan citra dan kredibilitas lembaga tersebut.
Berbagai lembaga survei yang tidak taat azas, baik dalam hal metodologi
teknis maupun etika publikasi hasil survei akhirnya mendapat koreksi dan
catatan dari publik sebagai lembaga survei yang tidak dipercaya. Namun,
hal itu belum terjadi di level lokal, khususnya di kabupaten/kota.
Publik masih belum bisa terlibat kritis dalam menanggapi hasil survei
lembaga yang tidak taat azas dan hanya menggunakan survei sebagai alat
rekayasa opini publik. Akibatnya, hasil survei dari berbagai lembaga privat
lokal, khususnya survei dari tim pasangan calon (paslon) menghasilkan
laporan survei publik yang berbeda-beda dan cenderung memenangkan
paslonnya masing masing. Publik akhirnya tidak memiliki pembanding
dari lembaga yang independen. Hal ini salah satunya bisa kita cermati dari
hasil quick count pilkada Kabupaten Bangkalan 2018, menurut hasil survei
quick count semua paslon menang versi quick count tim nya sendiri-sendiri.
Sementara data pembanding dari lembaga survei lain yang bereputasi
tidak ada sehingga potensial menimbulkan polemik di masyarakat .
Hingga kini keberadaan lembaga survei nasional tidak semua bisa
menjangkau dan melakukan survei untuk kebutuhan elektoral lokal
kabupaten/kota. Bahkan hingga saat ini keberadaan lembaga survei di
provinsi dan kabupaten di Indonesia masih sangat minim jumlahnya.
Sementara hajat electoral, baik pilkada langsung maupun pemilu legislatif
di provinsi dan kabupaten/kota sudah terlaksana sehingga tidak terpantau
berkesinambungan. Faktanya pada perhelatan baru saja kita banyak
disuguhi hasil survei dari tim internal paslon dan juga timses serta para
68 Ekonomi Politik dan Etis

Sama-Sama Klaim Menang, Tunggu Penghitungan KPU

Radar Madura

BANGKALAN – Pemilihan kepala daerah (pilkada) 2018


berlangsung seru. Tim pemenangan pasangan calon (paslon)
sama-sama mengklaim unggul. Data tersebut berdasar hasil
hitung cepat versi tim masing-masing

pengusung yang kadang lebih kental muaranya untuk opinion engineering


daripada pertanggungjawaban ilmiah yang valid dan objektif. Akibatnya,
bisa ditebak hasil survei maupun quick count lebih banyak didorong oleh
kebutuhan untuk menciptakan opini rekayasa persepsi publik ketimbang
menyuguhkan fakta (aspirasi, harapan, evaluasi) sebenarnya dari
masyarakat.
Dalam situasi seperti ini, maka keberadaan survei politik perguruan
tinggi amat strategis mengingat perguruan tinggi sebagai badan publik
memiliki sumber daya, kapasitas, kapabilitas dan juga tanggung jawab
yang linier dengan kepentingan pencerahan publik dalam literasi politik.
Publik, khususnya ditingkat lokal memiliki harapan kepada lembaga
survei dari perguruan tinggi untuk bisa menyuguhkan hasil survei terkait
elektoral sebagai sumber kepastian informasi sekaligus sebagai kontrol
atas hasil berbagai survei yang dilakukan lembaga privat yang lain.
Bagaimanapun trend politik kontemporer semakin mengukuhkan
bahwa saat ini survei semakin diyakini sebagai instrumen politik modern
yang bisa membaca secara akurat beragam aspirasi, harapan, kekecewaan,
dan dukungan publik. Survei politik elektoral juga bisa memotret berbagai
aneka isu terkait elektoral yang bisa dipertanggungjawabkan secara
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 69

ilmiah. Posisi ini ke depan akan semakin dibutuhkan dan lembaga survei
tetap akan menjadi salah satu pemain penting dalam memotret opini
publik, khususnya terkait politik elektoral.
Dinamika perjalanan lembaga survei di Indonesia baik di level
nasional maupun lokal tidak lepas dari apa yang selama ini dipublikasikan
ke publik, khususnya terkait dengan hasil survei. Perang publikasi hasil
akan semakin keras karena masuknya berbagai kepentingan praktis
guna mendesakkan kandidat untuk memeroleh dukungan, popularitas,
dan akseptabilitas dari pemilih. Harus diakui sejak 2014, perjalanan
lembaga survei mulai menuai kontroversi. Bahkan dalam beberapa kasus
keberadaan dan perang antarlembaga survei politik ini disinyalir turut
mengeraskan konflik dan persaingan antarkandidat. Mereka tiada henti
berlomba memengaruhi opini publik dengan merilis hasil survei yang
menguntungkan kandidat tertentu. Bahkan lembaga survei politik kini
lebih condong sebagai lembaga bisnis partisan.
Kritik itu tentu tidak mengada-ada dan semakin bisa dipahami
logikanya. Ada sejumlah bukti kongkrit dan tak terbantahkan mengapa
lembaga survei politik semakin dipertanyakan independensinya. Pertama,
sebagian besar lembaga survei politik merangkap menjadi konsultan dan
pemenangan kandidat. Kedua, hasil release survei menunjukkan perbedaan
yang mencolok dan signifikan antarlembaga. Ketiga, banyaknya lembaga
survei yang menjadi pelayan partai dan diawaki oleh para politisi dan
simpatisan partai politik. Keempat, silih bergantinya perubahan nama
lembaga survei dengan nama baru padahal personilnya sama, tidak
berganti.
Seiring dengan berjalannya waktu dan juga semakin intensnya
perhelatan pilkada di seluruh Indonesia, keberadaan lembaga survei akan
terus diuji independensinya. Fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa
ada beberapa lembaga survei partisan dan menjadi underbow partai politik.
Mencermati hasil rilis survei perguruan tinggi dalam pilkada di
Jawa Timur 2018 juga tidak luput dari kontroversi baik menyangkut
hasil maupun metodologi yang dilakukan. Situasi ini sempat menjadi
sorotan mengingat perguruan tinggi selama ini bisa diandalkan sebagai
benteng pertahanan independensi ilmu pengetahuan yang diharapkan
bisa netral dan tidak partisan. Terhadap hasil survei yang dipersoalkan
70 Ekonomi Politik dan Etis

maka situasi ini jelas menjadi peringatan bagi lembaga survei perguruan
tinggi. Giovanie (2013) pernah mengungkapkan bahwa ada lembaga
survei yang hasilnya memiliki tingkat akurasi tinggi, tetapi ada juga yang
prediksinya jauh dari kenyataan. Ada lembaga survei yang benar-benar
objektif, tetapi ada juga lembaga survei profesional yang disewa partai
politik atau kandidat yang objektivitasnya dipertaruhkan. Akibatnya,
menurut Geovanie (2013) beberapa lembaga survei tidak lagi memberi
pencerahan kepada para pemilih Indonesia dan menujukkan jalan kompas
yang objektif dan nalar kritis sebagai medium mencerdaskan dan melek
politik.
Ada dugaan bahwa lembaga survei mulai disalahgunakan dan tidak
patuh kepada prinsip dasar metodologi riset dan juga publikasi hasil riset.
Selain itu, lembaga survei, sebagai entitas industri politik di Indonesia
juga dinilai masih belum transparan untuk mengumumkan kepada publik
dari mana pendanaan itu diperoleh. Selama ini masih banyak lembaga
survei mengaku dana yang diperoleh berasal dari dana mandiri dan dana
corporate social responsibility (CSR). Lembaga survei masih malu mengakui
dan tidak berani jujur menyertakan dari mana pendanaan itu diperoleh dan
dapat diaudit secara transparan. Masih banyak persoalan yang dihadapi
lembaga survei politik. Banyak tekanan baik politis maupun komersial
yang memengaruhi hasil publikasi survei.
Kajian ini merupakan kajian kritis reflektif untuk melihat bagaimana
keberadaan lembaga survei politik di Indonesia, khususnya dari perguruan
tinggi di Jawa Timur dan juga melihat tantangan dan peluang di masa
depan. Data diambil melalui wawancara primer dan penelusuran dokumen
sekunder serta hasil observasi di beberapa lembaga survei di Indonesia.
Selain itu juga dilengkapi dengan pendapat beberapa ahli untuk melihat
bagaimana posisi idealnya lembaga survei perguruan tinggi

INDEPENDENSI LEMBAGA SURVEI DAN TEKANAN


KOMERSIALISASI HASIL SURVEI
Survei pada dasarnya adalah wilayah yang menjunjung tinggi
objektivitas sebagai produk ilmiah akademis. Posisi lembaga survei politik
yang ideal adalah menyelenggarakan survei publik yang independen,
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 71

non-partisan dan tidak berafiliasi pada partai politik maupun tokoh


atau kelompok kepentingan politik. Mereka (lembaga survei, pen)
sudah sepatutnya bekerja sesuai kaidah akademis dan mengabdi kepada
kepentingan publik melalui berbagai upaya penggalian data yang jujur
dan imparsial tidak mengikat. Lembaga survei politik juga diharapkan
teguh untuk melayani publik dengan melakukan berbagai edukasi baik
di level pengetahuan, sikap, maupun perilaku politik, khususnya dalam
pemilihan umum yang elegan dan terhormat. Mereka diharapkan kukuh
dan tidak goyah akibat pesanan dan juga tekanan politik maupun juga
bisnis.
Tidak ada jalan lain jika masyarakat ingin tetap menaruh respek dan
kembali percaya, maka lembaga survei politik perguruan tinggi harus
bersungguh-sungguh kembali kepada esensi dan tugas awal sebagai
mata batin pemilu Indonesia. Lembaga survei politik perguruan tinggi
harus menjauh dari para kandidat dan melepaskan diri dari kepentingan
menjadi konsultan politik dan mengabdikan semata-mata hasil survei itu
untuk publik. Sekali lagi kembali menjadi mata batin pemilu di Indonesia
dan juga berbagai daerah.
Jika lembaga survei politik perguruan tinggi sudah bertekad
memutuskan diri untuk ikut menjaga marwah demokrasi elektoral
maka beberapa tantangan berikut penting untuk diperhatikan. Pertama,
memastikan tidak ada orientasi bisnis sebagai penyedia jasa yang sering
terikat kepada kepentingan individual dibandingkan dengan kepentingan
publik. Kedua, penyelenggaraan survei murni dilakukan sebagai penyedia
informasi publik dan tidak terikat pesanan dari politisi yang sering
berimbas kepada independensi hasil riset untuk memberi efek dan
dukungan ketimbang melihat tantangan dan peta sesungguhnya. Ketiga,
publikasi dilakukan semata-mata untuk kepentingan memberi pencerahan
kepada upaya pemahaman publik dan dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah dan kredibel.
Lembaga survei politik perguruan tinggi harus menghindari diri
dari kepentingan politik praktis, termasuk di dalamnya tidak menjadi
konsultan ahli bagi kandidat dan tim sukses agar keberadaannya imparsial
dan tidak terjadi kongkalikong dan patgulipat dengan kekuatan di luar
perguruan tinggi, khususnya kekuatan modal dan politisi.
72 Ekonomi Politik dan Etis

Tekanan komersialisasi atas hasil survei politik sesungguhnya


besar mengingat kontestasi pilkada biasanya berlangsung sengit dan
dinamikanya tinggi. Masing-masing pihak selalu ingin mengambil
manfaat dan keuntungan atas hasil survei tersebut. Godaan terbesar
sesungguhnya ada pada pemilik modal dan tim sukses mengingat hasil
survei bisa mengangkat kredibilitas dan citra pasangan calon (paslon)
yang diuntungkan. Dalam posisi seperti ini, maka lembaga survei harus
kuat terhadap tekanan, khususnya menyangkut iming-iming dukungan
pendanaan. Hal ini penting untuk digarisbawahi mengingat dukungan
pendanaan bisa menjadi alat pengendali terkait hasil survei yang tidak
menguntungkan pemberi dana. Sementara dalam setiap survei mesti ada
hal yang positif dan juga ada hal yang negatif.
Problem pendanaan biasanya menjadi pangkal persoalan pertama
bagi lembaga survei, khususnya bagi lembaga yang belum mapan secara
finansial dan mengandalkan pendanaan hanya dari survei. Lembaga survei
yang tidak kuat secara finansial mudah untuk tergoda mendagangkan hasil
survei. Hasil survei kadang bisa diubah dan menguntungkan pihak-pihak
tertentu dan dapat menyesuaikan kepentingan siapa yang menyumbang
pendanaan. Di sinilah letak pangkal masalah independensi itu muncul.
Hal ini biasanya dihadapi lembaga survei baru yang belum memiliki
diversifikasi pendanaan yang cukup untuk penyelenggaraan survei.
Idealisme itu sering runtuh karena iming-iming dukungan pendanaan.

KAPASITAS TEKNIS DAN KOMPETENSI SURVEI


Perguruan tinggi sejatinya memiliki kapasitas teknis untuk dapat
melakukan survei politik elektoral mengingat sumber daya manusia dan
sumber daya pendukung yang lain tersedia dengan baik. Apalagi bidang
itu sangat lekat dengan tugas tri dharma perguruan tinggi yang selama
ini juga menjadi salah satu tugas para akademisi, yakni melakukan riset
dan penelitian.
Agar penyelenggaraan survei politik oleh perguruan tinggi memiliki
bobot independensi dan reputasi tinggi, maka penyelenggara harus
bisa memastikan secara teknis bahwa survei tersebut dilakukan dengan
cermat, menganut azas kehati-hatia, mulai dari penyusunan instrumen
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 73

survei yang valid dan sahih hingga penulisan laporan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Hal-hal mendasar menyangkut desain survei, sampling (populasi,
kerangka sampel dan metode penarikan sampel, mendeteksi kesalahan

Hasil survei Pilgub Jatim dari xxxxxxx dinilai cacat metodologi. Survei tersebut hanya
menentukan Margin of Error 2 persen dengan sampel 800 responden dan tingkat
kepercayaan 98 persen. Hal itu disampaikan pakar Survei Sosial yang juga Dewan Etik
Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), Prof Dr Hamdi Muluk, dalam
siaran persnya, Kamis (31/5/2018). Penentuan responden dan sampel pun dinilai tidak
sesuai dengan teori kalkulasi penelitian. Menurutnya dengan MoE 2 persen, harusnya
repondennya yang diambil lebih banyak.
“Agak mencurigakan karena tingkat kepercayaan yang lazim 95 persen, artinya kaitan
mentolerir kesalahan 5 persen. Biasanya kelaziman 95 persen dan 99 persen tingkat
kepercayaan. Kalau ingin mengambil 98 atau 99 persen artinya sampelnya harus
lebih banyak untuk meminimalkan margin of error,” jelas Prof Hamdi. Soal angka
kepercayaan pun salah satu unsur yang membuat survei xxxxx diragukan. Sebab,
tingkat kepercayaan 98 persen adalah angka yang jarang digunakan para akademisi.
“Jadi itu sudah ada hitungannya. Itu patut dicurigai. Tingkat kepercyaan 98 persen itu
tidak umum juga, biasanya 95 persen atau 99 persen. Bisa jadi itu agak mencurigakan,”
imbuhnya.
Hasil survei yang dilakukan tanggal 12-19 Mei 2018 di 38 kabupaten/kota seluruh
Jatim ini tidak dijamin keabsahannya. Prof Hamdi juga menilai perlu ada validasi lebih
lanjut untuk memastikan metodologi tersebut.
“itu bukan menjamin validitas. Yang menjamin adalah apakah benar-benar turun ke
lapangan. Apakah taat azas yang sudah ditetapkan. Kalau 800 orang sudah ditentukan,
primary sampelnya si A, si B di desa ini, itu. Datang apa enggak ke situ? Apakah ada
spotcheck, ada validasi? Semua metodologi itu memang harus clear,” tuturnya.
Prof Hamid menegaskan masyarakat harus jeli melihat lembaga survei yang kredibel
untuk rujukan data opini.
“Melihat data terakhir setahu saya enggak, bukan anggota. Anggota kita Litbang
Kompas, CSIS, Indikator, Poltracking, Populi, Polmark, Charta Politika. Survei yang
kredibel itu ada di Perseppi. Bisa dijadikan patokan kalau lima anggota persepi sama
hasil surveinya,” ungkapnya.
Dalam penilaian, Prof Hamdi menegaskan, Persepi independen dan tidak
memihak manapun. Bagi akademisi yang melakukan riset atau survei memiliki
pertanggungjawaban baik secara metodologi maupun etika akademik.
“Setiap akademisi memiliki kebebasan akademik, ada tanggung jawab akademik.
Harus jelas metodologinya. Tidak ada etika akdemik yang dilanggar. Itu harus diemban
sebagai akademisi tanggungjawabnya,” pungkasnya.
(iwd/fat)
74 Ekonomi Politik dan Etis

(error) dalam penarikan sampel, menentukan jumlah sampel, kualitas


kuesioner menyangkut bentuk dan format, rumusan pertanyaan, skala,
urutan pertanyaan, metode wawancara, prosedur wawancara, hingga
analisis membaca dan menafsirkan data hasil survei, menyajikan dan
menuliskan laporan data hasil survei harus cermat. Jika hal mendasar itu
telah dilakukan dengan baik dan benar maka hasil yang diperolehpun bisa
valid dan sahih.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan penulis, laporan hasil
survei perguruan tinggi di Jawa Timur masih banyak menimbulkan pro
kontra terkait hal mendasar ini. Hal ini sebagaimana disampaikan Hamdi
Muluk (2018) selaku Dewan Etik Persepi menanggapi kontroversi hasil
survei yang dilakukan oleh salah satu perguruan tinggi di Jawa Timur
sebagaimana dikutip dari laman berita detik.com.
Mencermati hal ini maka sudah sepatutnya hasil survei perguruan
tinggi sebagai lembaga akademis senantiasa mempertimbangkan prinsip
kehati-hatian di dalam menyusun instrumen dan metodologi survei.
Kampus sesungguhnya memiliki beban lebih besar di dalam menjaga
marwah objektivitas dan metodologis mengingat kampus selama ini
sebagai pusat keunggulan riset ilmiah.
Kendali kualitas (quality control) dalam kegatan survei lapangan juga
menjadi titik strategis yang patut dicermati. Tahapan ini perlu mendapat
perhatian agar terjamin semua proses dan tahapan survei telah dijalankan
dengan baik. Hal ini penting mengingat dalam berbagai survei seringkali
kesalahan survei bukan terletak pada desain atau rancangan survei, tetapi
justru saat survei itu dijalankan. Adapun beberapa potensi kesalahan
itu menurut Aropi (2009), yaitu 1) pewawancara tidak paham teknik
penarikan sampel sehingga sampel yang diambil salah, 2) pewawancara
tidak memahami pertanyaan sehingga wawancara dilakukan sembarang
dan tidak berkualitas, 3) Perbedaan dalam hal menanyakan pertanyaan
antara satu orang pewawancara dengan pewawancara lain, 4) pewawancara
tidak jujur, berbohong termasuk melakukan wawancara fiktif dan
rekaan (mengisi sendiri kuesioner). Adapun langkah-langkah yang bisa
dilakukan, antara lain 1) pretest dan role play, 2) workshop bagi yang terlibat
survei, khususnya tenaga lapangan, 3) pendampingan untuk memastikan
wawancara dilakukan dengan benar, dan 4) spot check.
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 75

Informasi mengenai pelaksanaan survei juga diperlukan agar publik


bisa menilai dan mengevaluasi hasil survei. Bahkan publik bisa mendeteksi
kemungkinan bias dan kesalahan hasil survei. Sebagaimana dipaparkan
Aropi (2009) penelitian dengan topik yang sama, tetapi dilakukan
dengan metode penarikan sampel yang berbeda, instrumen kuesioner
yang berbeda dan metode wawancara yang berbeda, akan menghasilkan
jawaban yang berbeda pula.
Sebagai instrumen untuk memotret pendapat publik, riset dan survei
opini publik menghadapi beragam kendala dan keterbatasan. Menurut
Aropi (2009) karena survei memiliki keterbatasan (limitasi) metode,
maka peneliti perlu secara jujur menyampaikan informasi mengenai
pelaksanaan survei. Informasi ini akan berguna bagi publik ketika harus
menilai hasil survei. Peneliti juga perlu secara jujur dan transparan untuk
mempublikasikan kemungkinan adanya keterbatasan dan kelemahan
yang mungkin muncul dari pelaksanaan survei. Jika ditemukan adanya
kesalahan hasil survei, penyelenggara mempunyai kewajiban untuk
membuat survei lagi.
Selain itu lembaga survei juga harus bisa memahami ketentuan
regulasi kepemiluan sehingga tidak melakukan rilis di dalam masa tenang
sebagaimana terekam dalam berita detik.com di bawah ini.

Selasa 26 Juni 2018, 18:08 WIB


Jelang Coblosan, Lembaga Survei Ini Keluarkan Prediksi Terbaru
Surabaya - Coblosan Pilgub Jatim tinggal menghitung jam. Pusat xxxx mempublikasikan
hasil survei terbaru yang diambil pada 8-22 Juni 2018.
Hasilnya, duet Calon Gubernur Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dan Cawagub Puti Guntur
Soekarno berhasil meraih 49,3 persen, mengungguli Khofifah Indar Parawansa dan
Emil Elestianto yang mendapatkan 43,7 persen.
“Yang menjawab tidak tahu atau belum menentukan pilihan sebesar 7 persen,” ujar
Koordinator Penelitian Pusat Studi xxx, xxxxx, dalam konferensi pers di Surabaya, Selasa
(26/6/2018).
Survei tersebut mengambil responden 1.200 orang di 38 kabupaten/kota pada 8-22
Juni 2018. Ini adalah survei dengan pengambilan waktu termutakhir jelang coblosan
27 Juni. Survei ini memiliki margin of error 2,85 persen pada tingkat kepercayaan 95
persen.
76 Ekonomi Politik dan Etis

Secara metode memang tidak ada yang dilanggar, tetapi persoalan


publikasi pada waktu masa tenang itu jelas bertentangan dengan regulasi
kepemiluan. Dari segi hasil juga bisa dilakukan perbandingan dan
hasilnya memang cukup berbeda jauh dari lembaga survei yang lain serta
penyelenggaraan waktu survei bertepatan dengan libur hari raya idul fitri
yang juga bisa menjadi catatan tersendiri.
Hal-hal mendasar menyangkut persoalan teknis penyelenggaraan
survei seharusnya sudah mampu diselesaikan sehingga marwah perguruan
tinggi sebagai pusat riset dapat dijaga dan dipelihara dalam pandangan
masyarakat.

INDEPENDENSI PENDANAAN
Kita semua bisa memahami bahwa untuk menyelenggarakan survei
politik selalu membutuhkan pembiayaan. Menurut pengakuan Oetomo
(2017), biaya survei politik di Jawa Timur yang mencakup 38 kabupaten/
kota setidaknya dibutuhkan biaya antara 200 – 300 juta. Sementara untuk
level kabupaten/kota pemilihan bupati (pilbup) dan pemilihan walikota
(pilwali), biaya yang dihabiskan untuk melakukan survei di kisaran Rp 80
juta - 150 juta. Memang kebutuhan dana ini relatif besar jika dilihat dari
kebutuhan penyelenggaraan survei, tetapi perguruan tinggi sebenarnya
bisa melakukan penghematan biaya lapangan dengan melibatkan
mahasiswa terlatih untuk menjadi interviewer.
Melihat anggaran perguruan tinggi sebenarnya beban biaya tersebut
relatif bisa dilakukan melalui pengajuan dana skema penelitian melalui
skema dana riset terapan. Perguruan tinggi dapat mengajukan dalam
skema riset melalui dana APBN atau mandiri serta melalui dana partisipasi
pihak ketiga yang tidak mengikat. Intinya perguruan tinggi sebenarnya
memiliki keleluasaan untuk bisa menganggarkan dana jika direncanakan
dengan baik sejak pengajuan pada awal tahun anggaran.
Sejauh ini sebenarnya tidak ada kendala bagi perguruan tinggi di
dalam melakukan pendanaan asal sudah dianggarkan di dalam perencanaan
tahun berjalan. Perguruan tinggi juga bisa berkolaborasi dengan lembaga
publik lain sesuai mekanisme kerja sama guna bergotong royong di
dalam pembebanan pembiayaan survei. Hal ini dimungkinkan mengingat
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 77

ada skema penelitian hasil kerja sama antarperguruan tinggi. Akan lebih
bagus jika ada pertanggungjawaban publik melalui audit internal dan
eksternal atas pemakaian dana survei tersebut sehingga sumber dan
penggunaan dana benar-benar dapat dipertanggungjawabkan dengan
baik dan terpercaya.
Jika hal ini bisa dilakukan maka lembaga survei politik perguruan
tinggi akan dapat dipercaya dan dapat mengabdi kepada kepentingan dan
kebaikan publik. Titik ini penting guna meraih reputasi dari pandangan
dan persepsi positif masyarakat. Jangan sampai lembaga survei perguruan
tinggi malah mencederai prinsip dasar penyelenggaraan survei dan akan
langsung mendapat hukuman dari publik berupa ketidakpercayaan.
Masyarakat tidak akan lagi percaya terhadap kualitas dan publikasi hasil
risetnya. Ini adalah modal sosial dan simbolik yang semestinya dijaga dan
dirawat dengan baik oleh lembaga survei termasuk perguruan tinggi agar
senantiasa memeroleh dukungan dan legitimasi dari publik.
Pilihan lembaga survei perguruan tinggi terhadap jenis survei
komersial memang agak problematik mengingat bentuk kelembagaannya
lebih dekat sebagai badan publik yang independen. Apalagi selama
ini perguruan tinggi sebagaimana awal misi pendiriannya memang
tidak diarahkan untuk menjadi lembaga komersial. Dengan demikian
peluang perguruan tinggi sebagai lembaga konsultan politik sejatinya
telah tertutup. Pilihan peran perguruan tinggi adalah survei publik
yang hasilnya murni didedikasikan kepada publik yang bisa diakses dan
disiarkan secara luas kepada publik. Peran itu bisa dilakukan sebagaimana
selama ini dilakukan Litbang Kompas.
Survei publik biasanya dibiayai melalui dana-dana publik seperti
dari APBD/APBN dan lembaga donor independen. Tujuan dari survei
ini jelas tidak dmaksudkan untuk memperoleh keuntungan, tetapi lebih
banyak didedikasikan kepada kepentingan publik seperti sebagai sarana
pembelajaran bagi masyarakat, memberikan wacana atau perspektif baru
kepada masyarakat. Penyelenggaran survei dalam hal ini perguruan tinggi
tidak hendak berpretensi memeroleh keuntungan melalui kegiatan ini.
Akuntabilitas pendanaan juga dapat dilaporkan secara resmi melalui
pertanggungjawaban keuangan negara dan publik. Dalam posisi seperti
ini perguruan tinggi jelas lebih bisa dipercaya karena sebagai badan publik
78 Ekonomi Politik dan Etis

ia memiliki sumber pembiayaan dari dana negara melalui mekanisme


pertanggungjawaban secara resmi.

KEPATUHAN PADA ETIKA SURVEI


Penyelenggaraan survei senantiasa terikat kepada prinsip ilmiah
akademis dan layak dikedepankan dalam menjalankan survei. Apalagi
penelitian survei selalu menyertakan manusia dan menggunakan objek
manusia. Sebagaimana dicatat Aropi (2009) peneliti tidak hanya dituntut
menjalankan penelitian dengan metode yang benar, tetapi juga punya
tanggung jawab terhadap objek yang diteliti. Apalagi hasil survei
kerapkali dipakai sebagai bahan pembuatan kebijakan publik. Jika hasil
survei tersebut tidak benar maka otomatis kebijakan dan keputusan yang
terkait dengan masyarakat banyak juga tidak akan baik karena didasarkan
pada survei yang tidak akurat.
Hal ini sebenarnya sudah dilakukan oleh lembaga survei privat
dengan menyepakati kode etik sebagai dasar penyelenggaraan kegiatan
survei. Mereka, lembaga survei politik yang komersial sejauh ini telah
memiliki asosiasi sebagai wadah berhimpun dan mereka bisa menyepakati
kode etik guna mengawal survei politik agar memiliki bobot dan dapat
dipertanggungjawabkan secara terhormat.
Mengingat perguruan tinggi adalah badan publik maka sudah
selayaknya juga memiliki etika survei politik badan publik yang
dirumuskan secara independen sebagai bagian dari jaminan mutu atas
kualitas hasil survei dan survei tersebut dilakukan melalui prosedur yang
benar dan valid.
Sebagaimana standardidasi etik lembaga privat, etika survei badan
publik ini sejatinya melekat pada lembaga survei perguruan tinggi. Dalam
kode etik itu jelas dipaparkan apa yang boleh dan menjadi batasan terkait
penyelenggaraan survei serta hubungan dengan pihak-pihak terkait.
Survei publik selalu terikat dengan seperangkat aturan, norma dan etika.
Survei perguruan tinggi sebagai sebuah produk karya akademis
juga harus menjaga kualitas sejak awal perencanaan hingga laporan
pertanggungjawaban. Baik yang berhubungan dengan kepentingan
lapangan maupun hasil survei.
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 79

Mengingat hal ini, maka peneliti opini publik perlu menaati etika
terutama ketika hasil survei dipublikasikan kepada publik. Sebagaimana
dicatat Aropi (2009) dengan mengacu pada AAPOR (American Association
for Publik Opinion Research) maka setiap laporan survei opini publik patut
menetapkan 8 item, yaitu: 1) siapa yang membiayai survei dan siapa
yang melakukan survei tersebut, 2) rumusan pertanyaan yang dipakai,
termasuk di dalamnya pernyataan dari setiap instruksi atau penjelasan
kepada pewawancara atau responden yang mungkin bisa berdampak
pada jawaban responden, 3) Populasi dari penelitian dan gambaran
kerangka sampel yang dipakai untuk mengidentifikasi populasi survei, 4)
Gambaran rancangan (desain) sampel, menyajikan petunjuk metode yang
jelas bagaimana responden dipilih oleh peneliti atau apakah responden
memilih dirinya sendiri sebagai responden survey, 5) Jumlah sampel,
jika memungkinkan kriteria responden yang memenuhi syarat, prosedur
penyaringan (screening) dan tingkat respons (response rate), 6) Informasi
tentang tingkat presisi dari temuan, termasuk perhitungan kesalahan
sampel (sampling error) dan gambaran jika pembobotan (weighting) atau
estimasi dipakai dalam penelitian, 7) informasi hasil mana yang didasarkan
pada bagian dari sampel bukan pada total keseluruhan sampel, dan 8)
Metode, tempat, dan periode pengumpulan data.
Terkait profesionalitas dalam publikasi hasil survei, ada standar
minimal penyampaian hasil survei. Lembaga wajib menyampaikan
secara terbuka dan professional: 1) Tujuan, 2) Siapa yang membiayai, 3)
Siapa yang melakukan survei, 4) Instrumen, 5) Populasi dan sampel, 6)
Metodologi, khususnya bagaimana responden dipilih, 7) Tingkat presisi
temuan, di antaranya perhitungan kesalahan sampel, 8) Tempat dan
periode pengumupulan data, 9) Kendali kualitas (quality control) 10) Hasil
yang penting dan bermanfaat bagi publik dan pengetahuan.
Kode etik riset atau survei opini publik dalam posisi seperti ini
menjadi sangat penting. Kode etik akan menjadi benteng pertahanan
idealisme lembaga survei menghadapi dilema etis. Sebagaimana kita
ketahui etik melekat dalam survei opini publik karena sangat lekat dengan
seperangkat norma, aturan, dan etika. Kegiatan ini juga menyertakan objek
manusia yang dinamis. Peneliti tidak hanya dituntut untuk menjalankan
penelitian dengan metode yang benar, tetapi juga punya tanggung jawab
80 Ekonomi Politik dan Etis

terjadap objek yang diteliti. Etika ini penting karena hasil dari riset ini
akan menjadi bahan pembuatan kebijakan publik. Dalam kode etik juga
mengatur hubungan antara peneliti dengan 4 pihak (stakeholders), yakni
publik (masyarakat), klien, responden, dan profesi. Hubungan dengan
profesi ini menjadi penting untuk dikemukakan sebagai basis pertahanan
akhir mengenai aspek pantas/tidak pantas, patut/tidak patut dan juga
kehormatan menjalankan profesi ini secara bertanggung jawab.
Penyelenggara survei wajib menjaga standar tinggi kompetensi
keilmuan dan integritas dalam menjalankan, menganalisis, dan
melaporkan riset serta penggunaan hasil riset. Sejak awal lembaga survei
harus berani menolak intervensi dan semua usaha yang mencederai
objektivitas hasil riset. Lembaga survei perlu menjaga prinsip kehatian-
hatian dalam membuat desian dan instrumen riset, pengumpulan dan
pemrosesan, analisis data, dan semua langkah yang diperlukan untuk
menjamin reliabilitas dan validitas hasil.
Dalam posisi dilematis ini maka lembaga survei perlu kembali
meneguhkan spirit publik dan bagian dari kerja entitas ilmiah yang patuh
kepada kebenaran dan kepentingan dan kemaslahatan publik. Keterbatasan
dan kebutuhan anggaran tidak bisa dijadikan alasan bagi penyelenggara
survei untuk takluk kepada pemodal (politisi). Lembaga survei harus
menjaga kehormatan dan marwah ilmiah yang hanya bisa dikendalikan
oleh kebenaran ilmiah dan kehormatan akademis. Ia tidak boleh jatuh
kepada kepentingan praktis semata-mata untuk mendapat dana.
Politisi sebagai user atas hasil survei juga tidak boleh memaksa untuk
publikasi hasil guna menguntungkan posisi mereka dengan manipulasi
data. Klien dalam hal ini politisi sering memaksa hasil survei untuk
menguntungkan posisi mereka. Lembaga survei menuntut kedewasaan
para politikus dan funding of polical entrepreneur dalam memperlakukan
lembaga survei dan hasil survei. Jika politikus terus memengaruhi dan
memaksa lembaga survei untuk tidak jujur, justru akan merugikan
kandidat dan politisi sendiri. Biarlah hasil survei itu tampil apa adanya
dan tidak perlu harus dimodifikasi untuk kepentingan sesaat pencitraan
dan pemenangan. Perlakukan hasil survei semata-mata untuk menjadi
cermin evaluasi bagi kandidat.
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 81

URGENSI KOMISI ATAU DEWAN ETIK SURVEI


PERGURUAN TINGGI
Dalam kontestasi pilkada di Jawa Timur, lembaga survei lokal juga
mulai bermunculan merilis hasil survei dan mendapat liputan media.
Kehadiran lembaga survei lokal ini menggembirakan sebagai bentuk
partisipasi publik, sebagai mata batin pengawal dan pengontrol pemilu
Indonesia.
Salah satu yang menarik dicermati adalah hasil survei publik terkait
dengan popularitas dan tingkat elektabilitas pasangan calon (paslon).
Apalagi hampir semua partai politik kini juga menggunakan rujukan hasil
survei untuk menentukan dukungan dan rekomendasi para calon. Namun,
pengawasan publik termasuk media sejauh ini terlihat masih lemah terkait
dengan kewaspadaan dan mengkritisi hasil dan kredibilitas hasil survei
oleh lembaga survei lokal.
Hal ini bisa kita lihat bagaimana lembaga survei lokal masih sering
tidak mengindahkan metodologi survei dengan baik. Dalam kasus di Jawa
Timur masih ditemui terdapat lembaga survei lokal yang menggunakan
margin error 5 %, jumlah sampelnya 20.000. Bagi mereka yg memahami
survei, hal ini jelas menggelikan. Anehnya karena itu dilakukan oleh
lembaga survei lokal yang pas momentumnya media tidak lagi kritis
menanyakan prosedur dan metode pelaksanaan riset. Media hanya fokus
melihat hasil survei sebagai bahan pemberitaan. Atas nama hasil survei
itu akhirnya menjadi rujukan banyak media termasuk media mainstream
bereputasi di Jawa Timur.
Tentu saja hal ini menarik dikritisi sebagai upaya untuk mengawal
demokrasi di tingkat lokal dengan benar. Jika prosedur dan metode riset
tidak ditaati maka hasil riset juga bisa tidak valid. Itu artinya hasil riset
yang dipublikasikan bisa menyesatkan banyak pihak.
Bagaimana jika ada kegaduhan menyangkut hasil survei politik yang
dihadirkan lembaga di bawah naungan perguruan tinggi. Pada Pilkada
Jawa Timur 2018 minimal sempat terjadi kegaduhan sebagaimana
terekspos melalui media massa yang pada intinya menyoal akurasi hasil
dan metodologi yang dilakukan.
82 Ekonomi Politik dan Etis

Perguruan tinggi dalam hal ini akan lebih bijak jika memiliki badan
pengawas survei internal dalam wadah dewan etik yang bisa mengawasi
dan memeriksa jika terjadi kegaduhan. Dewan etik bisa memeriksa jika
terjadi pertanyaan dan protes dari publik.
Beberapa alasan mengenai pentingnya dewan etik ini adalah bisa
menangani jika terjadi kegaduhan atas hasil survei melalui pemeriksaan
secara mendalam dan terukur. Dewan etik bisa meminta keterangan dan
diserta bukti-bukti riil untuk melihat prosedur dan pelaksanaan survei
lapangan serta pemeriksaan atas hasil analisis. Dewan etik juga bisa
mendeteksi apakah terjadi penyelewengan, survei tidak menyampaikan
data sebenarnya atau mendistorsi realitas sesungguhnya. Selain itu juga
bisa mendeteksi potensi kongkalikong atau patgulipat antara penyelenggara
survei dan kekuatan modal atau kelompok individu politik di luar
perguruan tinggi. Selain itu dewan etik bisa menegakkan kode etik yang
telah disusun sejak awal sebagai dewan pengawas. Selain itu juga untuk
memberi jaminan bahwa survei yang dilakukan tepat dan melalui prosedur
dan metodologi yang tepat.

TANTANGAN KE DEPAN: MENGABDI KEPADA


KEPENTINGAN PUBLIK, MENJAGA DAN MERAWAT
TRUST PUBLIK
Tantangan terberat lembaga survei perguruan tinggi adalah tidak
menjadi lembaga partisan. Mulai banyak lembaga survei politik yang
terjerumus ke dalam permainan dan intrik ekonomi dan politik. Ia
tidak lagi mengabdi kepada publik, tetapi mengabdi kepada kepentingan
bisnis dan politik. Mereka tidak lagi memberi pencerahan kepada
para pemilih Indonesia dan menujukkan jalan kompas yang objektif
dalam menumbuhkan nalar kritis pemilih. Alih-alih mencerahkan,
jusru menambah runyam dan membuat gaduh situasi politik dan juga
penyelenggaraan pemilu.
Tidak ada jalan lain, jika lembaga survei politik perguruan tinggi
ingin tetap memeroleh respek dan kepercayaan publik, maka lembaga
survei politik harus bersungguh-sungguh kembali kepada esensi dan
tugas awal sebagai mata batin pemilu Indonesia. Lembaga survei politik
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 83

perguruan tinggi harus menjauh dari para kandidat dan melepaskan diri
dari kepentingan menjadi konsultan politik dan mengabdikan semata-mata
hasil survei itu untuk kebaikan public sphere politik. Sekali lagi kembali ke
khitah menjadi mata batin pemilu di Indonesia.
Lembaga survei perguruan tinggi juga harus meningkatkan
kompetensi SDM, khususnya di lapangan agar tenaga lapangan benar-
benar bisa memahami teknis penggalian data yang bisa dipercaya dan
dapat dipertanggungjawabkan. Kendali mutu dapat terus ditingkatkan
agar berbagai kesalahan teknis di lapangan dapat diminimalisi sehingga
kualitas hasil survei dapat ditingkatkan dari waktu ke waktu.
Dengan cara seperti itu, marwah dan kehormatan lembaga survei
milik perguruan tinggi di Indonesia dapat dikembalikan dan akan meraih
kembali simpati dari publik. Betapapun lembaga survei politik tetap
diperlukan kehadirannya untuk menjadi mata batin dan pengontrol hasil
pemilu kita.
Pada intinya, survivalisme lembaga survei termasuk dari perguruan
tinggi sangat ditentukan oleh kemampuan lembaga ini menjaga
kepercayaan publik. Jika kepercayaan itu bisa dirawat dan dipelihara maka
eksistensi lembaga survei milik perguruan tinggi juga akan terjamin.
Demikian juga sebaliknya jika kepercayaan itu sering dicederai, maka
lembaga survei akan mati dengan sendirinya.

SIMPULAN
Peran pergurun tinggi dalam kontestasi elektoral lokal sesungguhnya
amat strategis. Perguruan tinggi dapat menyelenggarkan survei
politik independen sebagai bahan informasi publik dan sekaligus bisa
berfungsi sebagai kontrol atas berbagai hasil survei politik dari lembaga
lain. Perguruan tinggi selain memiliki keunggulan mengingat secara
kelembagaan, ia adalah lembaga independen dan memiliki tradisi akademis
yang kuat sehingga hasil riset bisa dipertanggungjawabkan kepada publik.
Saat ini dan di masa depan keberadaannya semakin dibutuhkan perannya
untuk ikut menjaga marwah demokrasi elektoral, khususnya di tingkat
lokal mengingat selama ini peran itu banyak dilakukan oleh lembaga
privat yang sebagaian besar menjadi bagian dari industri politik.
84 Ekonomi Politik dan Etis

Dalam perjalanannya hingga saat ini survei politik elektoral hasil


dari perguruan tinggi masih menghadapi masalah dan tantangan yang
cukup pelik mulai dari problem kapasitas teknis, motif dan orientasi hasil
hingga aspek ideologis.
Guna konsolidasi dan pematangan peran perguruan tinggi dalam
penyelenggaraan survei politik elektoral maka perguruan tinggi harus
menguatkan kapasitas teknis, kompetensi, dan kapabilitas dalam
penyelenggaraan survei politik elektoral berbasis kepentingan akademis,
independensi dalam pendanaan, penguatan etika riset dan juga membentuk
komisi atau badan etik pengawas sebagai jaminan atas kualitas hasil survei
politik elektoral hasil dari perguruan tinggi.
Ke depan jika peguruan tinggi ingin terlibat aktif mengawal
pemilu langsung, maka keberadaan dewan etik amat diperlukan sebagai
pengawas jika ada keluhan dan pertanyaan publik. Penyelenggara bisa
diperiksa sesuai kaidah ilmiah secara terhormat dan perguruan tinggi bisa
mempertanggungjawabkan hasilnya secara terbuka dan kredibel. Selain
itu juga untuk mengawasi dan menegakkan kode etik untuk jaminan
kualitas survei secara berkesinambungan.
Survei hasil dari perguruan tinggi amat strategis karena lebih
independen dan dibiayai dana publik yang tidak terikat kepentingan
kontestasi langsung dan sekaligus bisa berfungsi sebagai kontrol atas hasil
lembaga survei privat. Lembaga survei perguruan tinggi harus dikelola
dengan tata kelola yang baik, transparan, dan terus mampu meningkatkan
tanggung jawab kepada publik. Berkesinambungan.

Catatan Akhir *** Naskah dan kerangka sebagian besar diambil dari tulisan penulis yang
terbit dalam JURNAL Aspikom Jawa Timur VOL. 1 NO. 1 (2020) dengan judul Perguruan Tinggi
Dan Survei Politik Dalam Kontestasi Elektoral Di Jawa Timur Indonesia: Tinjauan Ekonomi
Politik Dan Etis dengan penambahan dan penyesuaian untuk chapter buku oleh penulis.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Nyarwi (2012) Elemen Elemen Kajian Komunikasi Politik dan
Marketing Politik, Yogyakarta: Pustaka Zaman.
Anonimous (2009) Bagaimana merancang dan membuat survei opini publik,
Jakarta: AROPI.
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 85

Anonimous (2013) Komunikasi dan Pemilihan Umum 2014: Persiapan,


Pelaksanaan, dan Masa Depan, Prosiding seminar Besar Nasional
Komunikasi yang diselenggarakan oleh ISKI di Padang 26-27
November 2013.
Anonimous (2017) ‘Bermain’ di Margin Error, Minta Rp 400 Juta, Sekali
Survei Jelang Pilkada Jatim 2018, Lembaga Survei Kebanjiran Order
dalam Berita Media Surabaya Pagi http://www.surabayapagi.com/
read/156641/2017/06/05/%E2%80%98Bermain%E2%80%99_
di_Margin_Error,_Minta_Rp_400_Juta_Sekali_Survei.html.
Anonimous, (2016), Lembaga survei politik akan menjadi oksigen bagi
demokrasi Madura dalam berita di Nusantaranews.com http://
nusantaranews.co/lembaga-survei-politik-akan-menjadi-
oksigen-bagi-demokrasi-madura/
Anonimous, (2017), Ada survei sampelnya 20.000 responden sahih dalam Berita
Jatim http://beritajatim.com/politik_pemerintahan/299711/
ada_survei_sampelnya_20.000_responden,_sahih_atau....html
Anonimous, (2017), jelang-coblosan-lembaga-survei-ini-keluarkan-
prediksi-terbaru dalam laman https://news.detik.com/berita-
jawa-timur/d-4084421/jelang-coblosan-lembaga-survei-ini-
keluarkan-prediksi-terbaru diakses pada tanggal 10 Juli 2018
pukul 14.56.
Anonimous, (2017), metodologi survei puskep untuk pilgub jatim dipertanyakan
dalam https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4047239/
metodologi-sur vei-puske p-unair-untuk-pilgub-jatim-
dipertanyakan diakses pada tanggal 10 Juli 2018 pukul 11.48.
Anonimous,(2018), sama-sama-klaim-menang-tunggu-penghitungan-kpu
dalam laman http://radarmadura.id/sama-sama-klaim-menang-
tunggu-penghitungan-kpu/diakses pada tanggal 10 Juli 2018
pukul 16.40.
Firmanzah (2011) Mengelola Partai Politik, Komunikasi dan Positioning
Ideologi Politik di Era Demokrasi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Giovani, Jefrie (2013) Pemilu dan Peran Lembaga Survei dalam http://
sinarharapan.co/kolom/podium/read/150/pemilu-dan-peran-
lembaga-survei.
Lubis, Hisnudin (2015) Membangun Madura : Strategi Menuju Madura
Madani, dalam Jurnal dimensi http://journal.trunojoyo.ac.id/
dimensi/article/view/3730
86 Ekonomi Politik dan Etis

Surokim, (2017) Riset Opini Publik Dalam Industri Politik di Indonesia:


Kelembagaan Publikasi Peluang dan tantangan dalam https://www.
academia.edu/34466803/RISET_OPINI_PUBLIK_DALAM_
INDUSTRI_POLITIK_DI_INDONESIA_Kelembagaan_
Publikasi_Peluang_dan_Tantangan.
Surokim, (2017) Menjaga Marwah Lembaga Survei Politik dalam
Laman Koran Tempo https://indonesiana.tempo.co/
read/108539/2017/02/27/login.
5
Panoptikon
Wartawan Madura
dalam Pemberitaan Elit
Politik Lokal

M
edia massa cetak di Madura mulai berkembang
sejak dibukanya era otonomi daerah. Salah
satunya melalui Grup Jawa Pos yang membuka
koran lokal dalam bentuk radar di berbagai daerah di
Jawa Timur. Jawa Pos Grup membuka koran lokal Jawa
Pos Radar Madura (JPRM) sebagai suplemen halaman
koran nasional dan regional Jawa Pos. Sebagai bagian dari
spasialisasi koran Jawa Pos, JPRM memuat berita lokal
yang meliputi 4 Kabupaten yakni Bangkalan, Sampang,
Pamekasan, dan Sumenep. Halaman JPRM juga disesuaikan
dengan cakupan liputan ke empat wilayah tersebut.
Perkembangan Koran JPRM terbilang cukup
pesat bahkan bisa menembus tiras hingga 14 ribu di
Madura. Perkembangan ini membuat RMJP membuka
biro dibeberapa kabupaten di wilayah Madura untuk
menguatkan pangsa pasar pembaca. Sukses JPRM ini

87
88 Panoptikon Wartawan Madura dalam Pemberitaan Elit Politik Lokal

kemudian diikuti dengan hadirnya media


cetak yang lain seperti Koran Madura,
Berita Madura dan Kabar Madura.
Dibalik keberhasilan JPRM sebenarnya
pangsa pasar media cetak Koran di
Madura masih terbuka luas mengingat
hingga kini perkembangan media cetak
di Madura masih terbatas menjangkau
masyarakat urban perkotaan dan
baru sebagian kecamatan urban serta
belum mampu menjangkau masyarakat
pedesaan. Dengan demikian media
massa cetak masih didominasi pembaca
masyarakat urban, khususnya kelas
Gambar 1. Halaman Koran JPRM
menengah dan atas. Sementara jumlah
penduduk yang tinggal di Pulau Madura,
Jawa Timur hingga awal 2017 ini tercatat sebanyak 4.097.393 jiwa. Jika
ditotal dengan koran cetak yang lain, keberadaan media cetak harian
belum mampu menjangkau 1% jumlah penduduk Madura.
Kondisi wilayah Madura memiliki topografi dan kultur masyarakat
yang khas. Dalam beberapa studi seperti dilakukan Kuntowijoyo (2002),
Jonge (2011), Rifai (2007), dan Wiyata (2013) kondisi geografis ini juga
memberi kontribusi dalam membentuk watak tegas dan keras masyarakat
Madura dan juga potensi konflik manifest dalam masyarakat Madura.
Kondisi alam ini juga yang menjadi pemicu migrasi keluar daerah tinggi
yang membentuk soliditas kelompok yang kuat sebagai warga dan
keluarga Madura. Bahkan dalam beberapa studi ikatan kelompok keluarga
Madura lebih kuat daripada ikatan individual.
Budaya masyarakat Madura yang relatif tertutup juga membuat
mobilisasi masyarakat bawah menjadi kelas menengah relatif berjalan
lambat. Hal ini ditunjang dengan budaya masyarakat yang taat dan
memiliki patron tokoh agama yang kuat membuat dinamika masyarakat
Madura menjadi dependen, fanatik, dan amat tergantung pada para tokoh
agama dan pemimpin lokal. Apalagi masyarakat Madura sebagian besar
adalah nahdliyin menganut ahli sunnah dalam jamaah Nahdlatul Ulama
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 89

sehingga tawadhu dan taat kepada pemimpin (kiai) itu dilakukan tanpa
reserve. Titah kiai lebih ditaati daripada pada pemimpin formal. “Mon tak
norok perintane kiai cangkolang”, kalau tidak ikut perintah kiai dianggap
lancang, hingga masih dipegang teguh sebagian masyarakat, khususnya
kelas bawah. Kepatuhan terhadap para kiai dan elit pemerintah daerah
membuat peran masyarakat bawah dan menengah relatif dependen
(Surokim, 2015). Selain itu masyarakat Madura juga memelihara adat
istiadat yang kuat sesuai nilai-nilai dan ajaran keagamaan/Islam dan
menstuktur kebudayaan berbasis agama islam tradisonal (Kuntowijoyo
dalam Haliq, 2014). Ketaatan ini yang membuat daya kritis masyarakat
Madura relatif berkurang. Akses informasi masih bergantung kepada
tokoh elit agama dan pemerintah dan konsumsi media masih belum
meluas.
Dinamika politik di Madura juga mulai berkembang seiring dengan
kebijakan pemilu langsung. Pemilihan pemimpin lokal selalu berlangsung
semarak dan bisa berlangsung dalam tensi tinggi. Media massa lokal
sebagai kekuatan baru juga mulai membuka informasi kepada publik
dan berusaha menyajikan peristiwa dekat dengan warga yang menjadi
pembaca utamanya. Media massa cetak akhirnya tampil menjadi salah
satu aktor pendidik daya kritis masyarakat Madura. Perkembangan
ini direspons oleh para elit pemegang kekuasaan lokal. Mereka juga
mulai beradaptasi hingga dalam tahap tertentu terancam dan membuat
kelompok kelompok yang selama ini memeroleh manfaat atas ketertutupan
informasi semakin terganggu. Keberadaan media massa yang mengekspose
berbagai penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan di masyarakat
juga kerap menimbulkan konflik antara penguasa lokal dengan media.
Media disatu sisi ingin berdiri teguh diatas prinsip jurnalistik, tetapi ia
juga mengahadapi beragam tekanan dari kelompok kelompok yang selama
ini berkuasa di masyarakat Madura.
Dalam situasi seperti itu Koran JPRM tumbuh berkembang dengan
berbagai tantangan. Kuasa elit lokal yang dominan juga membuat
perkembangan media cetak di Madura kerap berkompromi dengan
kehendak elit dan belum mampu menyerap aspirasi masyarakat bawah.
Suara arus bawah Madura kerap nyaris tidak terdengar dan terekam
dalam pemberitaan media cetak. Media massa cetak di Madura seolah
90 Panoptikon Wartawan Madura dalam Pemberitaan Elit Politik Lokal

tiarap dan tunduk kepada kehendak pasar. Media mengabdi kepada siapa
yang berani membayar dan kepada siapa yang punya akses kuasa ekonomi
politik (Surokim, 2016).

PANOPTIKON WARTAWAN POLITIK


Isi Media: Aktor Strategis, Keselamatan, dan Melanggengkan
Kekuasaan
Isi pemberitaan senantiasa merefleksikan kepentingan, yakni
kepentingan para pihak yang paling kuat memengaruhi media. Para
aktor yang memiliki surplus kuasa baik ekonomi, politik, maupun budaya
memiliki potensi kuat untuk bisa memengaruhi isi media cetak di Madura.
Aktor ekonomi adalah para pengusaha, pemilik modal baik yang berada di
Madura maupun yang berada di daerah lain, tetapi masih punya koneksi
dengan kepentingan ekonomi dan politik dengan masyarakat Madura.
Dari aktor politik selain tokoh partai, ada elit kekuasaan pemerintah lokal
mulai dari Bupati hingga kepala desa (klebun) menjadi aktor potensial
yang bisa memengaruhi isi media. Aktor berikutnya yang kuat di Madura
adalah para kiai dan guru. Aktor-aktor itu bisa memengaruhi isi media di
Madura karena menjadi patron utama bagi masyarakat.
Dalam praktiknya di Madura para aktor yang memiliki kuasa kuat
untuk memengaruhi langsung isi media cetak di Madura adalah agen
keamanan lokal yang menjadi pengaman bagi para investor (pemodal)
dan aktor politik dalam hal ini elit pemerintah. Kepanjangan tangan atas
kuasa dan legitimasi elit pemerintahan tersebut dilakukan melalui para
kepala desa (klebun) dan diperkuat oleh para blater.
Posisi aktor tersebut semakin kuat jika terjadi pemusatan kekuasaan
yaitu mereka yang memegang kekuasaan pemerintahan (modal politik),
memiliki kekuatan modal ekonomi, modal simbolik sebagai tokoh
agama (kiai atau keturunan kiai), dan juga modal sosial menguasai agen
keamanan lokal (blater). Jika actor tersebut memiliki keempat modal ini,
bisa dipastikan bahwa kekuasaan yang ia miliki lengkap dan sangat kuat di
Madura. Sekaligus ia akan memiliki banyak pengaman pengaman dalam
lingkar kekuasaan yang ia jalankan.
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 91

Jika dicermati dalam pemberitaan JPRM selama ini masih besar


mengambarkan aspirasi elit dan kelas menengah juga tidak lepas dari
pilihan strategi memberi porsi pemberitaan kelas menengah ke atas.
Apalagi elit di Madura bisa memberi tekanan kepada media melalui
berbagai kepanjangan tangan keamanan lokal dan isi media mencerminkan
kepentingan elit. Isi media JPRM lebih banyak merepresentasikan
kepentingan elit dan media lebih banyak menjadi aparatus birokrasi dan
kelompok elit lokal yang berkuasa. Elit bisa membargai pemilik atau
pemimpin media dengan imbalan ekonomi atau kompensasi usaha yang
menguntungkan secara ekonomi. Suara arus bawah menjadi samar samar
(absurd) dan terhegemoni kelompok elit yang terus melanggengkan kuasa
dan legitimasi.
Isi berita kita memang lebih banyak mengcover peristiwa di perkotaan, sesuai dengan
segmen pembaca kita yang sebagian besar berada di perkotaan. Jika porsi narasumber
itu banyak bersumber pada birokrasi dan elit kekuasaan, ya karena mereka yang
memiliki informasi dan bisa memberi dukungan ekonomi kepada penerbitan koran
kita. (Informan 3, Wawancara 8 September 2017)

Pemberitaan politik termasuk salah satu desk pemberitaan yang


sering mendapat sorotan dan menarik perhatian pembaca. Berita politik
juga berkaitan dengan kepentingan langsung dari elit kekuasaan. Dalam
konteks berita politik JPRM bisa langsung berhubungan dengan elit
pemerintahan dan kekuasaan. Pemberitaan tentang penyelewengan dan
penyalahgunaan kekuasaan dalam kasus tertentu juga bisa membuat gerah
dan dianggap merugikan kepentingan politik. Hal ini membuat aktor
keamanan lokal (blater) memanfaatkan situasi dengan menjadi jembatan
untuk memberi tekanan kepada wartawan.
Kami diminta berhati hati didalam membuat berita yang menyangkut kekuasaan
seseorang karena bisa menimbulkan tuntutan dan kekecewaan dari para pendukung
lingkar inti kekuasaan. Dalam proses liputan kami pun lebih memperhatikan aspek
ancaman sosial dari para tim sukses atau salah satu calon politik termasuk para
blater. Sejauh ini Alhamdulillah setiap masalah masih bisa terselesaikan meski dalam
beberapa momen cukup menegangkan. (Informan2, Wawancara 16 Agustus 2017)

Sejauh ini dalam pemberitaan pemilu lokal memang masih banyak


dilakukan oleh kandidat yang punya kekuasaan di daerah. Jadi Pemberitaan
92 Panoptikon Wartawan Madura dalam Pemberitaan Elit Politik Lokal

pemilu lebih banyak berasal dari aktor politik dan elit pemerintahan dan
melalui mekanisme membayar iklan advertorial.
Isi pemberitaan politik memang banyak dari kalangan politisi dan pejabat daerah. Ya
mereka punya anggaran untuk memasang iklan dan berita advertorial. Sepanjang
itu tidak menganggu estetika pemberitaan, kami akan mengakomodasi. Saya pikir
itu bukan pesanan, karena kami bisa membedakan antara berita dan advertorial.
(informan 4 Wawancara 8 September 2017)

Dalam proses produksi memang tidak ada arahan secara khusus, tetapi
para wartawan hanya diberi pesan agar berita tidak membuat perusahaan
menjadi rugi. Pemberitaan diusahakan yang tidak memiliki resiko untuk
menjadi konflik dengan elit kekuasaan dan massa.
Terkait pemilu local, seperti pilkades saya dulu pernah mencoba menulis, tetapi
tidak dinaikkan sama redaktur. Percuma juga kalau menulis tentang itu karena
tidak mungkin bisa diterbitkan. Jadi kalau peristiwa pemilu local seperti pilkades
biasanya kami memilih aman dan tidak menulis. Kecuali kalau ada kericuhan, seperti
penganiayaan atau pembunuhan. Baru kita ditulis dari sisi tindak kriminalnya.
(Informan 3 Wawancara 23 Agustus 2017)

Sebagai institusi bisnis, JPRM dalam posisi untuk mengamankan bisnis


media ini agar survive, aman, dan tidak tergantung pada induk perusahaan.
Koran JPRM diharapkan dapat mandiri dan bisa tumbuh berkembang
hingga memberi pendapatan bagi perusahaan. Apalagi pada tahun 2013
JPRM pernah mengalami peristiwa penyerangan oleh sekelompok orang
karena pemberitaan dan pernah harus berpindah kantor karena persoalan
politis pemberitaan JPRM. Pengalaman ini menjadikan pihak manajemen
berhati hati dan kebijakan itu ditransformasikan kepada para redaktur
untuk memikirkan akibat pemberitaan. Tekanan kelompok yang berakibat
kepada terhentinya produksi, dirasakan merugikan perusahaan secara
langsung dan membawa dampak negatif bagi survivalitas perusahaan.

Represi dan Bentuk Tekanan kepada Wartawan


Biasanya tahap awal keterlibatan para blater dalam produksi pemberitaan
dimulai dari rasa tidak terima dengan pemberitaan. Pemberitaan tersebut
dianggap negatif dan merugikan elit dan pihak tertentu yang punya
kekuasaan. Lalu pihak keamanan local (blater) memanfaatkan peluang
untuk menjadi solutif dengan melakukan pengamanan melalui penekanan
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 93

kepada wartawan. Dari usaha itu mereka melakukan penekanan sebagai


bentuk pengamanan dan kemudian memeroleh kepercayaan dari elit yang
ia bela.
Upaya represi itu dimulai dengan cara peringatan dan ancaman yang
halus. Adapun bentuk bentuk tekanan kepada media dan wartawan selama
ini dilakukan oleh keamanan lokal (blater) kepada para wartawan antara
lain berupa ancaman sms, telp, didatangi rumahnya dan atau dicelakakan.
Tekanan ini sebagai bentuk usaha mereka untuk bisa menunjukkan bukti
dan hasil kepada klien dan membela kepentingan orang orang yang
membayarnya.
Kalau pelarangan seperti tidak. Mereka hanya melakukan ancaman, tetapi itu
cukup menakutkan. Bagi yang baru pertama itu rasanya seperti film horror. Kita bisa
disodori dua pilihan di atas meja antara uang dan senjata. Kalau uang yg diambil
maka beritakan yang baik, tetapi kalau senjata, ya sudah pasti nyawa dan keluarga
melayang. Ya akhirnya rasional kita memilih uang (Informan 2 Wawancara 16 Agustus
2017)

Secara teknis tekanan kepada wartawan dalam proses pengamanan


itu tidak hanya setelah pemberitaan, tetapi lebih banyak sebelum produksi
berita. Hal ini dilakukan sebagai bentuk antisipasi agar pemberitaan tidak
semakin keras dan merugikan kliennya.
Tekanan simbolik juga jauh lebih berbahaya karena akan dilakukan
berulangkali. Tekanan simbolik tidak hanya kepada personal, tetapi juga
melalui keluarganya. Mereka menggunakan tekanan segala cara agar
berhasil untuk memberi pesan kepada wartawan yang bersangkutan.
Keluarga saya juga didatangi agar orang tua menasehati saya agar tidak menulis yang
keras keras dan lebih mementingkan keselamatan karena mereka bisa menggunakan
segala cara untuk mencelakai saya. (Informan 2 Wawancara 16 Agustus 2017)

Kami sering dibuntuti dan diawasi orang orang tidak dikenal. Menurut teman mereka
akan merampas sepeda motor saya atau mencelaki saya diperjalanan. Hal itu
setiap hari saya rasakan. Ya bagaimanapun itu menganggu konsentrasi saya dalam
melakukan liputan dan mencari berita. (Informan 2 Wawancara 16 Agustus 2017)

Ancaman dan tekanan blater bagi para jurnalis bisa jadi menjurus
kepada tindak kriminal. Mereka bisa melakukan perampasan dan juga
gangguan peliputan. Namun, posisi Blater juga kerap dilematis bagi
masyarakat. Ia tidak saja identik dengan cara kekerasan, tetapi dalam
94 Panoptikon Wartawan Madura dalam Pemberitaan Elit Politik Lokal

posisi tertentu ia bisa menjadi pengayom dan melindungi serta actor


penyelesai masalah dalam beberapa problem masyarakat di Madura.
Mereka bisa melakukan tugas untuk menjaga keamanan masyarakat
Madura dan dipelihara dan dijaga oleh blater. Dengan adanya rasa aman,
nyaman dan sejahtera, maka masyarakat Madura akan meningkatkan
kepercayaan kultural kepada blater.
Rachmad (2015) mencatat bahwa bantuan blater tidak hanya
dilakukan dalam bidang sosial saja, namun bisa dalam segala hal termasuk
bidang politik dan budaya. Dalam politik juga peran blater nyata dan
menentukan. Ketatnya persaingan membuat beberapa oknum politik
melakukan kecurangan. Dalam hal ini para oknum politik memegang
teguh kepercayaannya kepada kaum blater untuk mengumpulkan massa
sebanyak-banyaknya. Hal ini terkait dengan kultur budaya masyarakat
yang masih menganggap blater sosok yang harus ditaati dan dipatuhi.
Rachmad (2015) menambahkan relasi blater dengan klebun biasanya
kuat karena dalam beberapa kasus menunjukkan bahwa setiap calon
pemimpin yang berada dipihak blater kemungkinan akan menang. Mereka,
melalui jaringan yang luas dan kuat, sering kali menjadi penentu sukses
tidaknya acara pilkades, dan juga menjadi penentu terpilih tidaknya calon
kepala desa. Bahkan tidak jarang lagi, dengan dalih keamanaan dan gengsi,
kepala desa justru dipilih dari kalangan blater. Kepala desa terpilihpun
yang tidak berasal dari kalangan blater harus bisa bersahabat dengan
mereka. Jadi keterlibatan blater ini pun akan sangat menjadi pengaruh
besar dalam arena pilkades. Hal inilah yang membuat kuasa blater menjadi
kuat dan terpelihara karena juga mendapat dukungan masyarakat.
Informan 2 juga pernah bercerita bahwa dirinya hampir dianiaya
oleh oknum yang tidak dikenal. Ketika itu, dia pernah memberitakan
kasus penggelapan sertifikat tanah yang melibatkan elit kekuasaan. Elit
kekuasaan tidak segan-segan untuk mengntimidasi dan mengkooptasi
para awak media yang terkesan kritis dan mencoba mengguncang
kekuasaanya.

Kuasa Hegemonik Elit, Blater, dan Klebun Kepada Media


Media selama ini menjadi salah satu sumber informasi yang diyakini
bisa membentuk opini publik di Madura. Posisi strategis itu dipahami
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 95

para aktor (blater) sehingga bisa menjalin relasi kuasa dengan media tetap
menjadi pilihan strategis. Dalam praktiknya tidak semua wartawan bisa
ditekan dengan ancaman verbal. Jika cara itu tidak berhasil mereka baru
menggunakan cara koersif.
Blater dan Klebun termasuk salah satu kekuatan kultural di dalam
masyarakat Madura. Demi menjaga eksistensi kuasa masyarakat pemilik
kuasa juga mencoba memengaruhi isi media agar tidak mengancam
eksistensi mereka. Dalam banyak kasus, klebun yang telah menjabat
mendapat dukungan penuh dari blater. Karena kekuasaan blater di setiap
desa, wilayah, antar kecamatan, begitu kuat. Di samping itu, blater
memang harus memiliki kuasa di atas para klebun yang ada. Kenapa harus
berkoalisi, menurut Rachmad (2015) karena klebun ingin desanya aman
dan tak mau ambil risiko. Klebun biasanya bayar upeti setiap tahun ke
blater dengan tujuan keamanan desa. Peran Blater dan kepala desa dalam
kekuasaan Madura relatif kuat dan juga otonom. Hal ini terjadi karena
diperlihara dan mendapat legitimasi dari masyarakat dan berlangsung
lama. Relasi ini yang membuat hubungan klebun dan blater semakin dekat
dalam memelihara kekuasaan mereka di Madura.
Seiring dengan perkembangan zaman, motif Blater kini tidak sekadar
soal harga diri, tetapi juga motif ekonomi. Saat ini telah terjadi pergereran
motif dalam peran blater yang menjaga kehormatan kultural bergeser ke
motif ekonomi semata. Akhirnya, terjadi degradasi peran blater didalam
menjaga peran di masyarakat. Belum lagi saat ini masyarakat juga semakin
kritis dan melihat para blater hidup bermewah mewah memiliki fasilitas
yang mencolok sehingga respek masyarakat rasional mulai mengalami
penurunan.
Posisi dilematis masyarakat terhadap blater juga disebabkan oleh
adanya kuasa ekonomi kepada masyarakat sekitar. Selama ini charity
social mereka dikenal tinggi ke masyarakat sekitar. Posisi ini memberi
ketergantungan kepada masyarakat untuk bisa memberi dukungan
secara tidak langsung kepada keberadaan blater. Apalagi mereka juga
tidak merugikan kepentingan amsyarakat sekitar secara langsung dan
menganggap itu sebagai pekerjaan.
Dalam konteks media, karena motif mereka lebih banyak karena
ingin mendapat kompensasi ekonomi untuk mengamankan seseorang
96 Panoptikon Wartawan Madura dalam Pemberitaan Elit Politik Lokal

yang bisa membayar maka ia harus bisa membargain para wartawan agar
bisa melakukan pemberitaan yang menguntungkan para bos elit yang ia
bela. Selama ini blater dalam posisi menjaga dan memelihara kuasa para
pihak sehingga ia juga harus bisa mengontrol media

Negoisasi dalam produksi pemberitaan


Proses tekanan, intimidasi, dan juga ancaman ternyata tidak
selalu melahirkan ketegangan. Dalam konteks tertentu dalam produksi

Bagan Ilustrasi 1
Model Hegemoni

pemberitaan juga terjadi negoisasi antaraktor hingga menghasilkan


hubungan yang saling menguntungkan dan saling mengamankan kedua
belah pihak. Dari kalangan wartawan juga merasa lebih aman dan tidak
terancam, sementara dari sisi elit kekuasaan juga pemberitaan lebih soft.
Sementara pihak keamanan local memeroleh kepercayaan (trust) dan
mendapatkan keuntungan ekonomi. Sebagaimana dipaparkan informan 5
berikut ini.
“ya itu bagian dari cara kami menghormati profesi mereka. Khan akhirnya sama
sama kita baik dan untung. Wartawan bisa menjalankan tugasnya, saya juga bisa
mendapat kepercayaan dari bos” (Informan 5 Wawancara 22 September 2017)

Kesejahteraan wartawan juga menjadi peluang untuk bisa


mengiming-imingi wartawan agar ikut masuk dalam skema pengamanan.
Jika wartawan tidak memiliki pertahanan diri dan integritas yang kuat
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 97

ia bisa masuk dalam skema pengamanan. Informan 2 mengemukakan


pengakuan sebagai berikut.
Karena pendapatan yang minim, maka banyak wartawan yang juga tergiur iming-
iming kerjasama itu. Apalagi para senior juga sudah banyak yang terkontaminasi.
Kami sulit bersuara lantang kalau jurnalis lain juga terus menggembosi. (Wawancara
16 Agustus 2017)

Proses negoisasi itu juga memiliki implikasi terhadap kemudahan dari


berbagai pihak. Hal ini yang teramati dalam proses negoisasi wartawan
radar Madura dengan pihak keamanan lokal (blater). Kepada pihak
pemerintah dan elit kekuasaan mereka bisa memberi akses dan kemudahan
dalam pelayanan yang melibatkan badan layanan pemerintahan.
“Semata-mata pertimbangan keamanan saja, saya tetap menjalankan tugas
jurnalistik dan demi menjaga hubungan baik” (Informan 3 Wawancara 23 Agustus
2017)

Mereka bisa menjalin komunikasi untuk mengamankan misi dan


kepentingannya masing masing. Pihak wartawan bisa menyampaikan
bahwa tugas ia adalah meliput dan terikat kepada tugas jurnalistik.
Sementara pihak blater bisa memberi pesan agar berita yang diproduksi
bisa soft dan tidak menganggu klien yang ia bela.
Dalam proses tertentu ada nego demi menghormati tugas wartawan
dan memberi respek jika wartawan agar bertindak sopan. Para blater hanya
meminta para wartawan tidak merugikan dan membuat berita yang lebih
soft termasuk mengaburkan fakta untuk kepentingan klien dan bosnya.
Langkah ini diminta agar mereka juga bisa memahami peran agar terjalin
mutual simbiosis sehingga memberi keuntungan pada kedua belah pihak.
Perantara kepada wartawan agar lebih soft dan tidak menyerang klien
secara langsung. Selain itu pihak Blater juga bisa menawarkan kompensasi
untuk mempermudah dalam semua urusan terkait pihak yang dibelanya.
Pihak yang dibela dalam hal ini adalah pemodal dan elit kekuasaan.

MOTIF KEAMANAN DAN KELANGSUNGAN


BISNIS MEDIA
Media sebagai institusi bisnis selain mengemban misi sosial juga
dituntut untuk dapat hidup sehat secara bisnis sehingga dapat melakukan
98 Panoptikon Wartawan Madura dalam Pemberitaan Elit Politik Lokal

pembiayaan produksi dan menghasilkan keuntungan. Sebagai korporasi


yang terikat dengan kebijakan induk perusahaan maka JPRM pertama-
tama harus bisa memastikan bahwa secara bisnis aman dan tidak
terganggu. Dengan demikian ia bisa menghidupi dirinya sendiri dan
dapat menyumbang keuntungan kepada induk perusahaan.
Sebagai konsekuensi atas motif bisnis tersebut maka pemberitaan
sosial sering kalah dari pemberitaan advertorial dan pesanan dari pihak
tertentu. Dalam konteks ini JPRM di Madura mengakui bahwa pendapatan
itu lebih penting didahulukan sebagai dukungan atas pembiayaan
penerbitan. Hal ini diakui informan wartawan 1 yang menyatakan bahwa
beritanya sering digusur berita pesanan dan advertorial kendati berita
yang dihasilkan dari lapangan jauh lebih memiliki nilai berita dan manfaat
sosial.
Pemilik media di Madura hanya mementingkan kepentingan korporasi saja yaitu
untuk meningkatkan perekonomian pribadi dan perusahaannya melalui komodifikasi
berita yang diterbitkan setiap harinya. Akibatnya, kadang-kadang banyak berita
wartawan yang telah diperoleh di lapangan hilang begitu saja dan diganti dengan
berita pesanan dari berbagai golongan yang sedang memiliki kepentingan untuk
memuluskan tujuannya. (Informan 4 Wawancara 8 September 2017)

Motif mendirikan media di daerah juga lebih dominan motif


bisnis (ekonomi) dan kekuasaan (politik) ketimbang menjalankan motif
memperkuat peran publik. Dengan demikian media banyak melayani
kepentingan elit dan bukan kepentingan bersama dan bermanfaat bagi
pengembangan dinamika sosial budaya di tingkat lokal. Sementara media
publik yang ada masih dominan menyuarakan kepentingan pemerintah
dan elit penguasa di Madura. Media lokal terjerumus pada kepentingan
produksi kapital dan tekanan pasar untuk memenuhi kebutuhan induk
perusahaan. Fungsi bisnis korporate lebih mengedepan jika dibandingkan
fungsi sosial media.
Hal ini sungguh berbeda dengan semangat awal pendirian media lokal
untuk mendorong desentralisasi dan otonomi daerah masih terlihat kuat.
Namun, kini media lokal di daerah hanya menjadi kepanjangan bisnis induk
media dan memperkukuh fenomena konglomerasi. Media daerah menjadi
kepanjangan tangan bisnis dari induk yang ada di pusat. Karakteristik
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 99

media di daerah lebih banyak menjadi alat untuk menghasilkan modal


dari periklanan media.
Sebagai korporasi media, selama ini JPRM dituntut untuk bisa
mandiri dan mampu menyumbang keuntungan kepada induk perusahaan.
Tuntutan itu membuat media JPRM memberi porsi yang besar untuk
iklan dan sumber pendapatan yang lain.

SIMPULAN
Media massa cetak di Madura menghadapi tekanan ektra media,
khususnya dari para kelompok penguasa lokal seperti elit pemerintah
local dan keamanan local (blater). Mereka akan memberi tekanan dan
memengaruhi produksi dan isi media dalam pemberitaan pemilu lokal
di Madura karena terkait dengan pemeliharaan eksistensi dan legitimasi
kuasa mereka di tingkat lokal.
Media massa cetak memilih jalan aman demi menjamin keamanan
bisnis dan juga keselamatan wartawan. Hal ini ditempuh mengingat kuasa
dan tekanan itu kerap masuk hingga ke ruang redaksi dengan wujud
tekanan fisik maupun non fisik baik secara komunal maupun individual
dan mengarah kepada keselamatan nyawa. Akhirnya, media dalam proses
produksi berita dan mengambil jalan aman untuk tidak mematik konflik
dengan penguasa lokal.
Terjadi proses negoisasi dalam konteks pemberitaan sehingga
membuka peluang kerjasama untuk pengamanan masing masing pihak.
Pemberitaan media massa akhirnya terpaksa mengkaburkan dan pada
taraf tertentu bisa menyembunyikan fakta yang sesungguhnya dan
menjadi ruang pemberitaan yang menguntungkan dan mengamankan
para elit penguasa dan pemodal.
Negoisasi kuasa itu dilakukan untuk saling menguatkan antarpenguasa
dan saling memberi jaminan secara simbiosis mutualis guna memelihara
kuasa dan dan melegitimasi kekuasaan masing-masing. Tekanan
Blater dan klebun dalam pemberitaan pemilu lokal cukup besar dalam
pemberitaan pemilu lokal karena terkait langsung dengan kepentingan
mereka yang telah terjalin baik selama ini. Kuasa hegemonik elit, blater,
dan klebun terhadap media merupakan salah satu bagian dari cara mereka
100 Panoptikon Wartawan Madura dalam Pemberitaan Elit Politik Lokal

memelihara peran dan pengaruh di masyarakat mengingat media juga


menjadi aktor pemberi pengaruh opini publik.

Catatan Akhir *** Naskah ini pernah dipresentasikan oleh penulis dalam acara Indonesia
Media Research Award and Summit (IMRAS) ke-4 tentang Trend Pola Konsumsi Media di
Indonesia Tahun 2017 Serikat Penerbit Indonesia di Surabaya dengan penambahan dan
penyesuaian untuk chapter buku oleh penulis

REFERENSI
Haliq, Fathol, (2014) Perilaku Politik Kelas Menengah Madura, Jurnal
KARSA, Vol. 22 No. 2, Desember 2014 hal 526-728
Jonge, De Huub (2011) Garam, Kekerasan dan Aduan Sapi: Esai Esai Tentang
Madura dan Kebudayaan Madura, Yogyakarta: LkiS
Martina, Lasti (2005) Konstruksi Berita tentang Kampanye Kandidat Presiden
di Televisi, Kasus Berita Kampanye Surya Paloh pada Metro TV
selama Pemilu 2004. Jurnal Penelitian ilmu Komunikasi Vol. IV/
No.2 Mei–Agustus 2005, Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi,
Universitas Indonesia
Rifai, Ahmad Mien (2007) Manusia Madura, Pembawaan, Perilaku, Etos
Kerja, Penampilan, dan pandangan Hidupnya seperti dicitrakan
Peribahasanya, Yogyakarta: Nuansa aksara
Surokim (2015) Madura: Masyarakat, Budaya, Media, dan Politik.
Yogyakarta: Elmatera
Surokim (2016) Media Lokal: Kontestasi, Trend, Dinamika, dan Suara Arus
Bawah Madura.Yogyakarta: Elmatera
Rachmad, Teguh Hidayatul dkk (2015) Strategi Kultural Blater sebagai
Identitas Orang Madura, Bangkalan: Puskakom Publik UTM
Wiyata, Latief A, (2013) Mencari Madura, Jakarta: Bidik Phronesis.
6
Komunikasi Publik:
Tantangan di Madura

M
adura sesungguhnya secara geopolitik amat
setrategis di wilayah Jawa Timur. Bahkan
jika dicermati dari besaran wilayah, sebaran
penduduk, kultur maka Madura dan orang Madura di Jawa
Timur amat besar. Jika mampu dioptimalkan maka potensi
ini akan menjadi modal dasar yang signifikan. Madura baik
secara geografis maupun psikografis memiliki beragam
potensi yang selama ini masih belum banyak dieksplorasi
seperti larut dalam tidur panjangnya.
Beragam upaya sudah dicoba dilakukan, tetapi
tantangan memang tidak mudah karena ada banyak
factor baik itu kultural maupun structural yang menjadi
penghambat. Tantangan tersebut tidak hanya parsial,
tetapi juga sistemik yang membutuhkan cara yang sedkit
radikal dan progresif agar perubahan social itu segera

101
102 Komunikasi Publik: Tantangan di Madura

nampak dan nyata hasilnya di Madura. Salah satu langkah itu juga
bisa dilakukan secara progresif melalui jalan kehumasan. Humas bisa
melakukan persuasi dan juga edukasi kepada publik mengenai pentingnya
perubahan yang lebih baik pro public dan membangun peradaban yang
lebih baik.
Gagasan menjadi Madinah Indonesia terkandung maksud yang
visioner dan komprehensif. Tidak saja menjadikan masyarakat dan
wilayah Madura menjadi welcome dan lebih damai harmoni nir kekerasan,
tetapi juga menjadikan karakter yang mengadopsi piagam Madinah
sebagai landasan dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat Madura
dikenal sangat relegius itu adalah modal dasar. Namun, disii lain tidak
dimungkiri anggapan masyarakat yang negative juga masih kuat. Hal itu
tidak saja menjadi bahan evaluasi, tetapi juag menjadi bahan retropeksi
bagi pengembangan kawasan ini.
Masyarakat Madura selama ini khususnya yang berada di level
bawah sejatinya menyimpan potensi yang luar biasa. Semangat pantang
menyerah, taat menjalankan perintah agama, hormat kepada guru adalah
modal yang penting didalam membangun masyarakat maju. Selain itu
semangat untuk belajar juga tidak kalah dengan daerah lain. Anak muda
di daerah ini sangat mobile jika urusan mencari ilmu.
Jika kalangan menengah ini diisi anak muda kritis maka masa
depan Madura akan bis abergerak lincah. Pembangunan akan semakin
merepersestasikan kepentingan public dan mekanisme check and balances
akan berjalan dengan baik. Minimal dengan revitalisasi kelas itu maka
kekuatan dominan elit oligarkhi akan semakin tereduksi seiring dengan
menguatnya kelas menengah kritis di Madura.
Humas memiliki posisi stretegis untuk menapak situasi tersebut.
Melalui berbagai program, humas bisa melakukan aksi yang dapat
mendorong open mindset dan keterbukaan informasi khususnya
menyangkut kepentingan public dan berkomunikasi dengan baik dengan
berbagai kalangan. Madura, sebagaimana digambarkan dalam berbagai
buku adalah daerah yang khas dan unik. Ia memiliki beragam potensi
yang belum banyak dieksporasi. Secara kultural daerajh ini sejak zaman
kolonial membawa beban yang berat terkait dengan loyalitas elit terhadap
publiknya. Selama ini orientasi elit kekuasaan, khusunya pemerintahan
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 103

masih menjadi tuan dan bukan menjadi pelayan. Masih kental para elit
menjadikan dirinya sebagai tuan atas masyarakatnya. Transformasi
goodgovernance juga terus digalakkan dan masih memperlihatkan gradasi
yang berbeda antar daerah di wilayah Madura. Wilayah timur terlihat
lebih responsive dalam mengadopsi prinsip keterbukaan dan good
governance sementara diwaliayah barat justru menujukkan kebalikannya.
Peran humas dilembaga lembaga pemerintahan juga belum
menujukkan performance yang menggembirakan. Disisi lain berbagai
prinsip adiluhung yang menjadi basis nilai local juga sering diabaikan dalam
pelaksanaan bidang kehumasan. Disana sini masih kita lihat penangganan
yang kurang komprehensif dan membumi dalam bidang kehumasan.
Sikap dan response yang dikembangkan oleh aparat kehumasan sering
kontraproduktive terhadap nilai nilai baru dalam bidng kehumasan.
Catatan yang mengemuka adalah beragam problem kekinian yang
terjadi di Madura hingga membuat citra kawasan ninik berada pada
titik negative. Berbagai peristiwa kriminal dan masih menjadi pekerjaan
rumah yang belum dapat ditanggani secara komprehensif. Era media
baru juga belum direspons secara positif oleh elit kekuasaan. Mereka
cenderung nyaman dan memelihara hegemoni untuk keuntungan dan
mengamankan posisi mereka. Praktik praktik kerja sama antar elit untuk
sekdar melanggengkan kuasa juga menjadi problematik dalam kontes
pemilu di Madura.
Perubahan masyarakat Madura jelas membutuhkan waktu dan
perjuangan. Perubahan dalam konteks ini adalah perubahan positif
dengan bertumpu kepada kemapuan SDM dan nilai nilai local masyarakat
dan selaras dengan pertumbuhan dunia dan masyarakat luar. Dorongan
untuk menjadikan Madura lahir kembali sebagai kawasan baru sungguh
menarik untuk disimak. Terbersit keinginan dan harapan yang kuat agar
Madura bisa menjadi surga bagi para warganya. Terekam dengan jelas
keinginan kuat publik untuk melihat kawasan ini berkembang layaknya
daerah lain yang mengalami kemajuan pesat.
Problem itu bukan untuk diratapi tetapi perlu dicarikan solusi
dan jalan keluar. Masalah mulai dari kultur, sumber daya manusia,
regulasi, daya kritis, kelas menengah, profesionalisme badan publik dan
pemerintahan adalah masalah yang terpampang didepan kita. Secara
104 Komunikasi Publik: Tantangan di Madura

struktural perlu penguatan aspek regulasi daerah sehingga bisa menjadi


daar bagi pengembangan masyarakat secara berkesinambungan. Secara
kultural juga perlu peningkatan daya kritis masyarakat melalui lembaga
lembaga pendidikan sehingga potensi SDM masyarakat Madura dapat
meningkat dan berkualitas.
Tantangan pengembangan humas di Madura dengan demikian
sungguh kompleks. Bahkan sering disampaikan secara berkelakar
bahwa masalah masalah itu sudah menjadi habit dan kembangkan secara
sistemik, terstrutur. Dengan demikian harus ada dorongan untuk menjadi
penyeimbang para elit kekuasaan agar dominasi itu bisa berubah dan
daulat publik Madura bisa diperoleh secara demokratis.
Jalan itu juga bisa didorong melalui keterbukaan informasi
publik. Prinsip keterbukaan informasi merupakan keniscayaan yang
mesti dilakukan untuk mewujudkan terlaksananya good-governance
dalam pelayanan informasi publik. Kriyantono (2016) memaparkan
bahwa keterbukaan dan aksesibilitas informasi publik ini diharapkan
dapat menjadi stimulator mendorong partisipasi masyarakat dalam
pembangunan dan mendorong masyarakat menuju kehidupan demokratis.
Pemenuhan hak informasi publik ini papar Kriyantono (2016) juga
merupakan transfer pengetahuan sehingga masyarakat dapat dicerahkan
(enlighten) dan diberdayakan (empowerment) serta menjadi sparring patner
bagi pemerintah untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik
(good governance), yaitu yang transparan, efektif, efisien, akuntabel serta
dapat dipertanggungjawabkan.
Adapun fungsi tata kelola komunikasi di suatu lembaga terletak pada
Hubungan Masyarakat (Humas) karena Humas merupakan manajemen
komunikasi antara lembaga dan publik (pemangku kepentingan). Tata
kelola komunikasi yang mampu menyediakan keterlayanan sekaligus
aksesibilitas informasi yang ramah akses, adalah sebuah keniscayaan
dalam arsitektur akuntabilitas institusi pemerintah. Pada akhirnya,
penguatan tata kelola komunikasi mesti bermuara kepada penguatan
tata kelola kehumasan sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Penguatan
kehumasan ini mesti bersifat menyeluruh mencakup penguatan fungsi/
peran, struktur, dan kapabilitas pejabat kehumasan. Selanjutnya menurut
Kriyantono (2016) fungsi/peran tersebut menuntut ketersediaan sumber
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 105

daya Humas yang memiliki kompetensi atau kapabilitas manajerial. Perlu


perumusan suatu standar kompetensi atau kapabilitas profesionalitas
kehumasan. Aturan tentang pranata humas mesti disinergikan dengan
aplikasi di lapangan dan bekerja sama dengan elemen akademisi dan
profesional untuk menciptakan sumber daya kehumasan yang profesional.
106 Komunikasi Publik: Tantangan di Madura
7
Konteks Kerja PR di
Madura Diantara Media
Utama, Media Baru, dan
Interplay Antaraktor
dalam Modernisasi
Politik Madura

M
engamati kontestasi di Madura sungguh
menarik. Sebagai daerah yang relative
tengah mengalami transisi, proses perubahan
berlangsung dalam situasi yang kadang sulit dipahami
dan tidak linier. Beragam peristiwa kadang sulit diduga
dan dipahami secara komprehensif. Dinamika masyarakat
khususnya actor actor strategis juga menunjukkan pola
yang tidak biasa dan kadang unik yang berbeda dengan
yang terjadi didaerah lain hingga sulit diprediksi.
Sebagai bagian dari proses demokrasi, keterbukaan
pemikiran masih belum berlangsung demokratis sebagai
bagian dari proses transisi masyarakat menuju open

107
108 Konteks Kerja PR di Madura Diantara Media Utama, Media Baru, dan ...

society. Masih banyak kendala baik itu structural maupun kultural hingga
membuat modernisasi wilayah ini relative terhambat.
Problem utama perkembangan media di Madura adalah konsolidasi
kelas menengah, minimnya akses dan partisipasi warga di arus bawah
(grass roots). Patut juga diketahui bahwa keterbukaan informasi dan media
di tingkat lokal juga menghadapi beragam problem baik aspek kultural,
politis, maupun struktural hingga membuat masyarakat kerap hanya
sekadar menjadi obyek media. Perbedaan (Gap) yang tinggi antar kelas
juga membuat suara arus bawah kerap tidak terekam oleh media arus
utama dan media lebih banyak menjadi aparatus birokrasi dan kelompok
elit lokal yang berkuasa. Suara arus bawah menjadi samar samar (absurd)
dan terhegemoni kelompok elit yang terus melanggengkan kuasa dan
legitimasi.
Di tengah potret kuasa elit lokal, suara arus bawah kerap nyaris
tak terdengar, hanya riak kecil yang dititipkan kepada kelas menengah
mahasiswa suara suara itu dapat didengarkan agak jelas. Media massa
tiarap dan tunduk kepada kehendal pasar, kepada siapa yang berani
membayar dan kepada siapa yang punya akses kuasa ekonomi politik.
Dalam situasi seperti itu, Madura membutuhkan dukungan sehingga
dapat membuka diri terhadap berbagai perkembangan zaman.
Harapan itu tertumpu pada akses informasi melalui media baru.
Media baru berbasis media social harus fungsional untuk dapat dijadikan
sebagai media penggerak arus bawah Madura gaar semakin memahami
keberadaannya sebagai warga yang memiliki hak sekaligus kewajiban.
Mereka harus didorong agar dapat memainkan peran yang lebih luas
melalui bantuan komunikasi media social sehingga dapat menjadi sebagai
ruang publik yang fungsional bagi pemberdayaan masyarakat kelas
bawah sehingga berbagai isu yang menyangkut hajat hidup masyarakat
kelas bawah tetap mampu tampil dan bisa masuk di media arus utama.
Media social itu diharapkan dapat menjadi ruang publik (publik sphere)
demokratis yang menumbuhkan kesadaran mandiri yang memungkinkan
mereka berinisitif, tumbuh atas kemampuan yang dimiliki.
Kendati hingga saat ini masyarakat, khususnya Madura belum benar
benar bisa merayakan ruang kebebasan secara hakiki, tetapi riak-riak suara
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 109

arus bawah melalui media baru menjadi harapan akan bangkitnya aspirasi
masyarakat kelas bawah. Kendati harus diakui, hingga saat ini sebagian
besar masyarakat pedesaan masih berada dalam situasi yang terkekang
oleh elit lokal hingga membuat redupnya inisiatif untuk berpartisipasi
dalam diskursus dan agenda di media lokal. Pada tahap awal, langkah
membuka akses informasi melalui media komunitas dan jurnalisme
warga adalah harapan bahwa masyarakat lokal dapat menjadi subyek bagi
pembangunan termasuk didalamnya adalah kepemilikan media warga.
Media massa bagi warga Madura tidak sekadar persoalan kepemilikan,
tetapi sebagai bagian dari aktualisasi dan eksistensi warga, sekaligus
modal sosial dan modal simbolik yang akan menumbuhkan harapan dan
keyakinan warga Madura untuk berdiri kukuh di atas prakarsa, inisiatif,
dan kemampuan mereka sendiri dalam mengaktualisasikan beragam
kemampuan dan mengkomunikasikan gagasan membangun masyarakat
lokal. Mendorong tumbuhnya media berbasis warga dan komunitas
diharapkan bisa menjadi sarana untuk berkomunikasi dan membuka
ruang publik yang bisa menjadi taman indah bagi munculnya beragam
program pengembangan keswadayaan warga.

MEDIA ARUS UTAMA MADURA


Media massa di Madura selama ini hanya mampu mengcover elit
atas dan menengah yang notabene selama ini hanya menjadi penguat
kepentingan elit. Isi media massa di Madura hanya menjadi kepanjangan
suara atas hegemoni elit penguasa. Informasi media di Madura selama
ini masih banyak mengandung kepentingan kelompok atau golongan
tertentu, yang tujuannya untuk melakukan pencitraan bagi dirinya dan
golongannya. Banyak hak-hak masyarakat tergadaikan oleh kepentingan
kelompok atau golongan tertentu. Kurli (2015) mengemukakan bahwa
hak mendapatkan informasi secara mendalam dan berimbang sesuai
kaidah dalam dunia jurnalis itu sendir masih tergadaikani. Hal ini karena
banyak pemilik media di Madura hanya mementingkan kepentingan
korporasi saja yaitu untuk meningkatkan perekonomian pribadi dan
perusahaannya melalui komodifikasi berita yang diterbitkan setiap
harinya. Akibatnya, kadang-kadang banyak berita wartawan yang telah
110 Konteks Kerja PR di Madura Diantara Media Utama, Media Baru, dan ...

diperoleh di lapangan hilang begitu saja dan diganti dengan berita


pesanan dari berbagai golongan yang sedang memiliki kepentingan untuk
memuluskan tujuannya.
Salah satu factor yang membuat isi media itu selalu pro elit dan
kekuasaan adalah karena tekanan politik, korporasi media dan pemilik
perusahaan, yang mempunyai kepentingan untuk meningkatkan pundi-
pundi omset perusahaan dan kantong pribadi yang selama ini banyak
dipraktekkan di setiap media yang ada, baik cetak maupun elektroniknya.
Menurut Kurli (2015) Banyak berita-berita miring seputar pemerintahan
sulit untuk diterbitkan oleh berbagai media di Madura. Sebab, mereka
merupakan pengiklan terbesar kepada setiap media yang sangat
berpengaruh di media utama ini.
Tidak jarang menurut Kurli (2015) dalam satu halaman terbitan
berita sehari memuat tentang berita politik pecitraan yang dilakukan
oleh salah satu partai atau individu yang sedang memiliki kepentingan
seperti kepala daerah, DPR dan kelompok lainnya. Padahal berita seperti
itu tidak patut untuk dipublikasikan ke publik karena hanya ditunggangi
oleh kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.
Tidak jarang jika masih banyak ditemui wartawan abal abal dan
menjadi tukang peras (palak). Fenomena seperti ini menurut Kurli
(2015) sudah bukan rahasia lagi di masyarakat desa dan kepala dinas.
Sebab, rata-rata dari mereka ketika datang bertamu atau bertemu di jalan
bukan datang untuk wawancara mencari berita, tetapi minta uang untuk
kebutuhan pribadinya. Anehnya lagi menurut pengalaman Kurli (2015)
ada indikasi Hasil pengamatan dilapangan, khususnya di level pedesaan
juga hamper sama, praktik wartawan ditengah-tengah masyarakat desa
bagaikan musuh dalam selimut yang tidak patut bagi mereka diajak
sebagai teman dan harus diasingkan dari lingkungannya. Sebab, banyak
yang menganggap wartawan hanya pembuat berita tentang kejelekan
orang tukan peras (palak).

BUDAYA DAN DINAMIKA POLITIK


Budaya masyarakat yang relegius, patron tokoh agama yang
kuat membuat dinamika masyarakat menjadi dependen, fanatik, dan
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 111

amat tergantung pada para tokoh agama dan pemimpin lokal. Apalagi
masyarakat Madura sebagian besar adalah nahdliyin menganut ahli
sunnah dalam jamaah Nahdlatul Ulama sehingga tawadhu dan taat
kepada pemimpin (kiai) itu dilakukan tanpa reserve. Titah kiai lebih taati
daripada pada pemimpin formal. “Mon tak norok perintane kiai cangkolang”,
kalau tidak ikut perintah kiai dianggap lancang, masih dipegang teguh
sebagian masyarakat, khususnya kelas bawah.
Masyarakat Madura juga memiliki ikatan persaudaraan yang
kuat. Solidaritas, empati, kesetiakawanan, religiusitas, pekerja keras,
keuletan, ketangguhan adalah etos Madura. Bahkan soal solidaritas
warga Madura sangat kental baik di Madura maupun perantauan yang
menjadi basis pengikat social mereka. Solidaritas ini membuat jejaring
masyarakat Madura diberbagai tempat selalu eksis dan berkembang.
Madura, sebagaimana etnis yang lain di Indonesia adalah masyarakat
relegius yang memegang budaya islam tradisional yang kental. Hampir
sama dengan kelompok masyarakat muslim tradisional yang lain di
Nusantara, konstruksi budaya lebih banyak dikembangkan melalui nilai
nilai islam dengan basis kepatuhan kepada orang tua, kiai dan guru serta
penghargaan terhadap adat dan budaya local. Kekerabatan ini sungguh
khas dan dalam konteks tertentu kepatuhan itu bisa menjadi perekat dan
resolusi konflik yang efektif.
Sebagai opinian leader kiai memegang peranan kuat dalam politik.
Tidak heran, kiai menjadi penentu keberhasilan seseorang untuk bisa
dicalonkan dan memenangkan kontestasi politik. Kiai juga menjadi
rujukan dan tempat bertanya bagi masyarakat untuk menentukan
dukungan politik. Seiring dengan meningkatnya pendidikan formal
di madura, struktur masyarakat mulai berubah. Kalangan terpelajar,
khususnya mahasiswa mulai berani berhadapan dengan elit dan turut
menyuarakan aspirasi masyarakat kelas bawah untuk menuntut berbagai
kebijakan pemerintah yang terkait dengan kepentingan masyarakat.
Disaping itu, mereka juga mulai kritis ke bawah. Mereka juga menjadi
barisan terdepan yang berani mengkritisi adat dan tradisi yang berlaku di
masyarakat. Kalangan mahasiswa mulai kritis terhadap adat perjodohan
dan pertunangan dini yang berlaku dihampir sebagian desa rural-periferi.
Kondisi ini berlangsung hingga kini, sehingga keberadaan perguruan
112 Konteks Kerja PR di Madura Diantara Media Utama, Media Baru, dan ...

tinggi menjadi salah satu tonggak kebangkitan perlawanan kelas


menengah di madura.
Kepatuhan terhadap para kiai dan elit pemerintah daerah membuat
peran masyarakat bawah dan menengah dalam politik relatif dependen.
Mereka sering memasrahkan keputusan politik kepada para pemimpinnya.
Takzim politik dianggap sebagai bagian dari mendapat berkah dan barokah.
Independensi dalam politik, khususnya kalangan bawah sulit diwujudkan.
Tak pelak, mekanisme pemilu langsung di madura seringkali menjadi
ajang mobilisasi dan peneguhan atas kehendal elit dalam legitimasi tokoh
agama.
Masyarakat Madura hingga kini adalah entitas masyarakat yang taat
mengamalkan nilai-nilai dan ajaran keagamaan/Islam dan menstuktur
kebudayaan berbasis agama islam tradisonal (Kuntowijoyo dalam Haliq,
2014). Meskipun mereka relatif dependen terhadap kiai, tetapi dalam
praktik ekonomi masyarakat madura memiliki dependensi dan etos kerja
yang tinggi. Kecerdasan sosial masyarakat madura juga sering membuat
urusan yang serius menjadi cepat cair. Masyarakat madura memiliki
selera humor dan sensifitas kelucuan. (Mahfud, 2015) Mereka memiliki
kelincahan dalam berkelit dengan logika-logika polos. Mahfud MD
mengemukakan bahwa orang madura cukup pandai berkelit dan cerdik,
tetapi tidak licik sehingga setiap kelincahan berdebat sering dikaitkan
dengan kelincahan. Orang madura tambah Mahfud (2015) pada umumnya
memiliki etos dan semangat kerja yang tinggi. Mereka bukan tipe orang
pemalas dan cerdik Mereka orang yang agamis, egaliter, pemberani dan
sportif.
Low context communication dalam urusan ekonomi dan high context
communication dalam bidang agama ini kadang membuat tradisi sosial
politik madura menjadi sulit ditebak dan sering berubah-ubah. Semua bisa
berubah dalam waktu yang relatif singkat dan tergantung kepada arahan
dan petunjuk para kiai. Partai politik bagi masyarakat madura tidak lagi
menjadi penting atau menjadi basis ideologi. Bagi mereka partai politik
hanya aksesori dan yang paling penting adalah tokoh. Afiliasi politik
mereka sangat bergantung kemana para kiai berafiliasi politik.
Media memegang peranan penting dalam perkembangan
masyarakat (Subiakto, 2001; Nugroho, 2012). Media bisa mempersuasi
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 113

dan mengkonstruksi agenda perubahan di dalam masyarakat. Selain


itu, media juga bisa mendorong daya kritis masyarakat. Melalui media
agenda-agenda publik bisa didesakkan untuk menjadi perhatian dan
bahan kebijakan. Daya kritis media selanjutnya dapat menjadi kontrol
yang efektif untuk pemerintah dan kekuasaan. Dalam iklim demokrasi
media akan menjadi jembatan aspirasi yang efektif dalam relasi yang
seimbang antaraktor.
Fenomena orientasi media massa cetak dan elektronik di Madura
telah bergeser dari media publik menjadi media bisnis. Pada awal pendirian
media lokal semangat untuk mendorong desentralisasi dan otonomi
daerah masih terlihat kuat. Namun, kini media lokal di daerah hanya
menjadi kepanjangan bisnis induk media dan meperkukuh fenomena
konglomerasi. Media daerah menjadi kepanjangan tangan bisnis dari
induk yang ada di pusat. Karakteristik media di daerah lebih banyak
menjadi alat untuk menghasilkan modal dari periklanan media.
Motif mendirikan media di daerah juga lebih dominana motif
bisnis (ekonomi) dan kekuasaan (politik) ketimbang menjalankan motif
memperkuat peran pubik. Dengan demikian media banyak melayani
kepentingan elit dan bukan kepentingan bersama dan bermanfaat bagi
pengembangan dinamika sosial budaya di tingkat lokal. Sementara media
publik yang ada masih dominan menyuarakan kepentingan pemerintah
dan elit penguasa di Madura.
Media lokal juga belum mampu menjadi ruang publik yang bisa
menumbuhkan diskusi dan mengangkat isu siu publik lokal yang masif
sehingga bisa memengaruhi kebijakan pemerintah daerah dan membuka
ruang diskusi publik yang berkelanjutan. Media lokal terjerumus pada
kepentingan produksi kapital dan tekanan pasar untuk memenuhi
kebutuhan induk perusahaan. Fungsi cbisnis korporate lebih mengedepan
jika dibandingkan fungsi sosial media.

TANTANGAN MODERNISASI POLITIK MADURA


Situasi politik di Madura mulai hangat menjelang pemilu kada 2018.
Berbagai pihak sudah mulai gerilya untuk mendapat dukungan publik.
Di sisi lain sebagian besar masyarakat Madura juga terlihat apatis dan
114 Konteks Kerja PR di Madura Diantara Media Utama, Media Baru, dan ...

pasrah. Selama ini politik di Madura banyak dimobilisasi oleh elit. Mereka
merasa tidak akan ada perubahan signifikan politik di Madura. Paling
paling orangnya ya itu itu saja yg nyalon, begitu mereka skeptis terhadap
kontes pilkada di Madura.
Masyarakat Madura sebenarnya relatif kritis, juga sama dengan
daerah lain, mereka pada dasarnya menginginkan perubahan dan
dinamisasi politik, tetapi struktur oligarkhi dan dinasti politik Madura
masih terlalu kuat. Sementara kalangan menengah Madura juga belum
solid untuk menjadi penyeimbang,
Harapan untuk memodernisasi politik di Madura itu ada pada kelas
menengah muda Madura. Mereka sejatinya kelompok kritis yang bisa
menjadi motor dalam perubahan struktur politik Madura yang relatif
tertutup. Kaum muda Madura yang berbasis pondok pesantren memiliki
potensi untuk menjadi kekuatan penyeimbang baru dalam politik di
Madura. Mereka bisa didorong untuk menjadi pemilih yang kritis,
independen, dan maju. Saya berharap dengan semakin meluasnya akses
internet dan penggunaan media sosial, kelompok pemilih muda Madura
yang kritis tersebut akan berkonsolidasi dan turut memodernisasi politik
di Madura. Dengan cara mendorong kelompok muda kritis ini politik yg
tertutup itu bisa dibuka dan lebih transparan berbasis partisipasi alami
aspirasi publik. Kendati jumlah mereka tidak lebih dari 20%, peran mereka
tetap stategis sebagai motor perubahan politik di Madura.
Politik di Madura memang khas. Tingkat dependensi pemilih
terhadap tokoh agama, tokoh masy, dan elit pemerintahan relatif tinggi.
Kelompok kritis selama ini hanya ada dibeberapa wilayah perkotaan
berbasis lembaga swadaya masyarakat. Namun, jumlahnya sangat kecil.
Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan penggunaan media
sosial, saya memiliki harapan agar kelompok muda kritis di Madura ini
akan berkonsolidasi dan turut menentukan jalannya kontestasi politik
di Madura. Tantangan memodernisasi politik di madura memang berat
karena kuatnya elit lokal, tetapi dengan mendorong pemilih muda kritis,
paling tidak akan bisa mewarnai jalannya kontestasi itu lebih terbuka dan
transparan.
Sebenarnya jumlah kelompok kritis Madura itu sudah banyak,
tersebar dan potensial, tetapi keberadaan mereka diluar pulau Madura
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 115

dan tidak berada ditengah tengah masy pemilih di Madura, itu juga
problematik. Selain itu kelompok menengah kritis ang ada di Madura
juga banyak yang tersedot menjadi supported agent para elit di Madura
hingga membuat kalangan menengah di Madura tidak segera terbentuk
dan mengkonsolidasi diri. Pemilukada serentak ke depan sekaligus akan
menjadi tolok ukur bagaimana pemilih muda di Madura bisa memainkan
perannya.

REFERENSI
Surokim (2015), Madura: Masyarakat, Media, Budaya dan Politik, Bangkalan:
Puskakom Publik UTM dan Prodi Komunikasi UTM
Surokim (2016), Media Arus Bawah di madura: Kontestasi dan dinamika,
Bangkalan: Puskakom Publik UTM dan Prodi Komunikasi UTM
Surokim (2017), Internet, Media Online, dan Perubahan Sosial di Madura,
Bangkalan: Puskakom Publik UTM dan Prodi Komunikasi UTM
116 Konteks Kerja PR di Madura Diantara Media Utama, Media Baru, dan ...
8
Mendorong
Demokratisasi Media
Lokal Melalui Partisipasi
Jurnalisme Warga

E
ra keterbukaan informasi telah membawa
perubahan signifikan bagi perkembangan
demokrasi, khususnya media massa. Perubahan
media massa yang lebih egaliter turut mendorong
keterbukaan di masyarakat sehingga meningkatkan
kesadaran publik untuk terlibat aktif dalam produksi isi
media massa. Publik kini tidak lagi mau sekadar menjadi
konsumen, tetapi sekaligus menjadi produsen dalam
mengisi ruang media. Konsep prosumer media menjadi
semakin berkembang dalam pengelolaan media massa saat
ini.
Seiring dengan itu konsumen media semakin dihargai
dengan posisi yang lebih setara. Media massa kemudian
membuka ruang interaktif dengan memberi peluang
kepada publik untuk turut berbagi informasi yang dimiliki.
Saat ini tidak saja media massa cetak, tetapi juga media

117
118 Mendorong Demokratisasi Media Lokal Melalui Partisipasi Jurnalisme Warga

massa elektronik dituntut untuk membuka ruang kepada konsumen media


guna menyampaikan pandangan, gagasan dan juga laporannya mengenai
kejadian menarik disekitarnya.
Dalam beberapa kali liputan, justru liputan masyarakat sangat
membantu untuk peristiwa yang datangnya tiba-tiba seperti liputan
bencana alam dan peristiwa kecelakaan yang lain. Masyarakat kemudian
menjadi pelapor dan pewarta untuk membagi informasi yang terjadi
disekelilingnya. Perkembangan tidak berhenti disitu, jika selama ini
informasi yang diberikan media tidak lengkap dan kurang akurat, saat ini
melalui partisipasi masyarakat, informasi yang terbagi kendati awalnya
tidak lengkap dan akurat akhirnya bisa menjadi berita terpercaya karena
mendapat korensi dan masukan publik bersama-sama. Era kendali publik
saat ini membuat media tidak lagi leluasa menjadi medium propaganda.
Media kembali kepada fungsinya sebagai ruang penjaga kedaulautan
publik.
Seiring dengan semakin berkembangnya teknologi informasi,
media juga terus mengalami metamorfosis. Perkembangan media
interaktif semakin mendorong munculnya media warga yang berbasis
pada partisipasi publik. Semakin maju dan berkembangnya teknolohgi
komunikasi, media elektronik dan medium berbasis internet juga
semakin memudahkan ketersediaan media bagi warga. Masyarakat bisa
melaporkan, membagi informasi yang ada disekitar mereka dan sekaligus
bisa memanfaatkan media sebagai wahana komunikasi bersama. Hal inilah
yang menjadi cikal bakal berkembangnya jurnalisme warga.
Banyak sekali istilah terkait dengan jurnalisme warga, sebagaimana
dipaparkan Zaenal Arifin MK (2013) seperti citizen journalist, citizen
reporter atau grassroot journalist, participatory journalist dan netizen.
Salah satu keunggulan pewarta warga menurut Zaenal Arifin MK
adalah menghayati dan menjiwai benar yang mereka ceritakan, hasil
pengamatan ataupun pengalaman mereka sendiri, ditulis dengan penuh
perasaan. Pewarta warga memiliki keunggulan karena tidak terkait
dengan kepentingan tertentu kecuali berkomitmen kepada kepentingan
masyarakat luas sehingga nurani dan kejujuran bisa diandalkan. Pewarta
warga juga berkomitmen mencerdaskan masyarakat dengan berbagi
informasi. Selain itu, model jurnalisme ini juga lebih mengedepankan hati
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 119

nurani dan kejujuran yang lebih dekat dekat jaminan memelihara ruang
publik
Kini media massa telah berubah menjadi multi arah dan multi
dimensi. Khalayak terlibat dalam diskusi-interaktif, tanya-jawab,
memberi-menerima (take and give) dan seterusnya. Media massa menjadi
ruang pertemuan berbagai gagasan ide dan upaya saling melengkapi
dan koreksi. Media berkembang menjadi ruang yang lebih jujur karena
partisipasi publik untuk memberi kelengkapan dan koreksi jika tidak valid.
Media berkembang menjadi sarana penentu keberhasilan pembangunan
masyarakat.
Sejarah menurut Zaenal Arifin (2013) mencatat bahwa peran informasi,
dalam bentuk yang sesederhana apapun, menjadi penentu keberhasilan
manusia. Keberhasilan pertanian pada masyarakat tradisional di zaman
prasejarah juga ditentukan oleh ketersediaan informasi yang umumnya
didapatkan dari tanda-tanda alam seperti bintang, arah angin, bunga
tumbuhan tertentu hingga suara dan gerak khusus binatang sekitar.
Dengan demikian menurut Zainal setiap manusia harus memiliki akses
terhadap sumber-sumber informasi. Bagaimanapuin kualitas hidup amat
ditentukan oleh kualitas informasi.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa kualitas informasi merujuk kepada
akurasi dan ketepatan waktu diperolehnya. Informasi yang tidak valid,
tidak benar, bahkan menyesatkan, akan berdampak pada kesalahan
pengambilan keputusan. Sebaliknya, dengan didukung informasi dan data
yang benar, akurat, dan tersedia tepat waktu, maka kehidupan masyarakat
akan meningkat.
Setiap orang mempunyai kebutuhan dan ketertarikan yang berbeda
terhadap informasi. Informasi sudah seharusnya dijaga obyektivitasnya
agar tidak menyesatkan. Penyediaan dan sirkulasi informasi yang steril
dari kepentingan pihak-pihak tertentu, benar, jujur dan faktual, tidak
tendensius serta tidak bersifat provokatif-negatif, adalah hal yang mutlak.
Untuk memenuhi kebutuhan informasi yang sesuai dengan kriteria
ini, Zainal Arifin (2012) memandang perlunya kejujuran dari semua
pihak, terutama sumber-sumber dan pelaku jurnalisme. Agar kondisi
ini tercapai, seluruh komponen masyarakat perlu diberdayakan sebagai
subyek informasi; penyedia informasi, pengolah dan pengguna informasi,
120 Mendorong Demokratisasi Media Lokal Melalui Partisipasi Jurnalisme Warga

sehingga berlaku idealisme demokrasi media: dari warga masyarakat,


oleh warga masyarakat, dan untuk warga masyarakat.
Pada poin penting inilah, keberadaan citizen reporter atau pewarta warga
menjadi amat fundamental. Setiap orang difungsikan dan memfungsikan
diri sebagai pemberi informasi yang sekaligus juga pengguna informasi
itu sendiri. Warga masyarakat tidak lagi sebagai konsumen informasi
belaka, tetapi juga sebagai penyedia informasi (prosuden info) bagi orang
lain.
Pertanyaan Zainal selanjutnya adalah mampukah warga masyarakat
biasa menghasilkan sebuah tulisan yang memenuhi standar jurnalistik
yang baku? Bagaimana pula mengontrol peredaran informasi yang
mungkin saja bisa simpang-siur karena banyak pihak yang memberitakan
sesuatu dengan versinya masing-masing? Bagaimana dengan validitas
dan pertanggungjawaban informasi yang diberikan oleh seorang citizen
reporter?
Zainal Arifin (2014) memaparkan bahwa pewarta warga tidaklah
dimaksudkan untuk membuat segalanya bebas tak terhalang apapun
dalam mengekspresikan informasi yang dimiliki. Namun sistim ini
lebih bertujuan untuk memberikan akses pada masyarakat biasa, bukan
profesional, kepada media massa dari mulai pencarian informasi, penyajian,
hingga kepada penggunaannya. Oleh karena itu, dalam pengelolaannya,
setiap individu memikul beban tanggung jawab terhadap semua informasi
yang dimiliki dan dibagikannya melalui tulisan di media massa. Dalam
tanggung jawab tersebut terkandung tugas-tugas untuk menghasilkan
tulisan yang benar, jujur, informatif, serta bermanfaat bagi orang banyak.
Para pekerja pers mengetahui prinsip ini: “suatu tulisan disebut berita jika
ia memenuhi syarat kebermanfaatan bagi masyarakat”.
Menghasilkan sebuah tulisan yang benar, sesuai fakta, jujur,
tanpa tendensi negatif, tidak provokatif-negatif, dan seterusnya, dapat
dilakukan oleh semua orang tanpa harus memiliki tingkat pendidikan
dan ketrampilan tertentu. Bertugas sebagai citizen reporter justru akan
menjadi wadah strategis bagi setiap orang untuk menjadi pewarta warga
yang jujur, berdedikasi, memiliki jiwa sosial yang tinggi, serta melatih diri
untuk bertanggung jawab. Seluruh tulisan atau berita yang disampaikan
kepada publik, tanggung jawab sepenuhnya berada pada si penulis pribadi.
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 121

Karena redaksi setiap media pewarta warga manapun tidak bertanggung


jawab terhadap konsekuensi dari sebuah hasil karya para pewarta warga.
Selama ini, papar Zainal kita sadar betul jurnalistik berarus main
stream umumnya mengejar aktualitas, sensasi, mendikte, instan, kurang
memberi konteks dan berita yang hampir seragam. Dalam teori pewarta
warga ada yang disebut extending the news from mainstream media. Menurut
argumen Dan Gillmor disebut sebagai journalism as a conversation, bukan
lagi journalism as lectures. Jika dicermati, media mainstream pada umumnya
mendikte masyarakat dengan berita yang hampir sama, sehingga seakan
tidak ada ruang hak berdialog dengan wacana yang diberitakan media.
Ketidakpuasan inilah yang melahirkan pewarta warga. Amat gamblang
terlihat betapa media-media massa di Indonesia senyatanya sangat
mengejar ”sensasi” daripada ”esensi”.
Kekuatan pewarta warga justru pada aspek kebebasan berbicara
(memberikan informasi dan aspirasi publik) yang mendukung demokrasi
”yang sesungguhnya” sebagai sistem pemerintahan Indonesia. Setiap
orang memiliki hak untuk memberikan kritik, informasi, opini, dan saran
dengan bebas tanpa harus takut terjerat hukum. Selain itu kekuatan dari
pewarta warga yaitu mengalahkan media massa lain dalam hal aktualitas
dan otentitas. Inilah modal besar pewarta warga yang bisa menjadi
kekuatan tiada tertandingi dalam memajukan peradaban sebuah bangsa.
Kendati pewarta warga dikelola oleh orang-orang biasa dalam artian
melibatkan warga dalam arti luas, bukan berarti setiap karya jurnalistik
dari pewarta warga tidak mengindahkan kaidah jurnalistik. Instrumen
jurnalistik tetap melekat di dalamnya. Warga yang terlibat adalah anggota
masyarakat yang menjalankan fungsi kewarganegaraannya melalui
kegiatan penulisan kreatif. Proses pembelajaran untuk menulis bukan
sekadar menekankan mantra 5WH (what, who, where, when, why and how).
Rumusan tersebut hanya sebagai aturan teknis. Karena elemen
terpenting dari pewarta warga adalah kejujuran. Turunan dari elemen
pertama inilah yang akan membuat setiap redaksi pewarta warga
memegang teguh prinsip fact and check, konfirmasi, cover both sides, dan
seterusnya. Hebat jadinya, pewarta warga adalah media massa masa depan
yang amat prospektif. Dan tentunya, untuk melahirkan para profesional
yang ahli dalam bidang masing-masing, setiap profesi memiliki kode
122 Mendorong Demokratisasi Media Lokal Melalui Partisipasi Jurnalisme Warga

etik sendiri. Kode etik tersebut dibuat dan disepakati bersama untuk
menciptakan keteraturan, produktivitas kerja (kinerja), tak bertentangan
dengan norma hukum, agama dan etika, sehingga mampu menghasilkan
karya kreatif yang monumental.
Jika masyarakat mampu dan meiliki bekal jurnalistik yang bagus maka
upaya untuk menumbuhkan media warga tidak lagi menjadi pekerjaan
yang sulit. Media warga dapat dikembangkan sebagai bagian dari
benteng pertahanan budaya dan masyarakat lokal. Masyarakat khususnya
generasi muda harus didorong untuk menjadi pelopor dan mampu
menjadi pendobrak kebuntuhan ide ide baru pembangunan masyarakat
lokal. Ke depan mereka terus didorong untuk menjadi intelektual organik
yang mampu mengintegrasikan berbagi pengetahuan untuk melakukan
perubahan dalam komunitasnya dengan memperluas kesadaran kritis
yang mereka miliki. (Maryani, 2011) Melalui media mereka akan menjadi
subyek media. Mereka mampu melakukan negoisasi antara nilai nilai
budaya dan kebijakan yang dibuat.
Pendirian media warga, khususunya media radio merujuk pada
pengalaman di Bolivia yaitu pendirian radio komunitas Bolivia Tin Miner’s
Station sebagaimana dipaparkan Maryani (2015:17) dalam (Downing,
2004) terdapat tujuh fase penting sehingga media komunitas seperti
radio dapat menjadi bagian dalam proses sosial. Fase satu, pendiriannya
haruslah atas inisiatif masyarakat dan program pertama adalah musik,
musik, dan musik. Fase kedua, masyarakat mulai mendatangi stasiun radio
untuk meminta lagu kegemaran dan mengirimkannya kepada teman dan
keluarganya. Faseketiga, stasiun mulai mengirimkan pesan-pesan singkat
agar pendengar lebih tahu tentang kejadian-kejadian yang terjadi didaerah
mereka. Fase keempat, radio mulai berperan dalam pengorganisasian
dan pemimpin-pemimpin komunitas mulai menggunakan radio untuk
memajukan komunitasnya. Fase kelima, mengirim reporter untuk
mewancara anggota-anggota komunitas agar mengekspresikan pendapat
mereka tentang isu sehari-hari atau meliput pertemuan-pertemuan
dikomunitas dan kemudian mengudarakan melalui station microphones.
Fase keenam, secara alamiah pengaruh stasiun meluas baik dari jangkauan
siaran/signal (karena dapat membeli alat atas donasi komunitas) maupun
bergabungnya aktor-aktor baru ke dalam programming process. Fase
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 123

ketujuh, stasiun menjadi suatu proyek budaya dan komunikasi yang


integral dan mendukung pembangunan sosial. Kemudian pengaruh
stasiun meluas ke bidang pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan bidang
lain dalam perubahan dan pembangunan sosial. Setelah itu membuat
kelompok pendengar aktif. Jika kelompok ini rutin melakukan monitor
maka radio akan menjadi media pemberdayaan masyarakat (Tripambudi,
2011)
Jika semua itu bisa dilakukan dengan baik diikuti kesaran masyarakat
untuk turut memiliki dan memelihara media mereka maka media warga
akan menjadi harapan bagi upaya mempercepat pembangunan masyarakat
pedesaan. Melalui jurnalisme dan kepemilikan media warga, maka
masyarakat pedesaan akan memiliki akses dan mendorong partisipasi
warga untuk berkembang memajukan diri mereka melalui potensi dan
daya dukung yang dimiliki dengan prinsip dari, oleh, dan untuk warga
masyarakat.
124 Mendorong Demokratisasi Media Lokal Melalui Partisipasi Jurnalisme Warga
9
Penguatan Komunikasi
Sosial untuk Satgas
Gugus Covid19 di
Wilayah Pedesaan
Madura

PROBLEM DAN KEGAGAPAN APARATUR


DALAM KOMUNIKASI SOSIAL
Pendemi covid19 membuat semua pihak baik
pemerintah maupun masyarakat kalang kabut dan terkaget
kaget bahkan tidak jarang mengalami ketidaksigapan dan
kegamangan. Pendemi ini memang datang tiba tiba dan
membuat situasi darurat di seluruh dunia. Pendemi ini
bahkan sudah ditetapkan sebagai kejadian luar biasa (force
majeure) bencana non-alam yang berdampak besar pada
hampir semua sektor.
Komunikasi sosial dan publik tak pelak juga
terkena imbas. Situasi komunikasi yang seharusnya
bisa berlangsung sehat, nyaman, tenang, damai dan
menyejukkan karena kegagapan dan kegamangan bisa
berubah menjadi komunikasi bernada negatif penuh
olok-olok, menakutkan, dan saling ancam. Kondisi ini

125
126 Penguatan Komunikasi Sosial untuk Satgas Gugus Covid19 di Wilayah ...

diperparah juga dengan komunikasi nis-respek dan nir-empati hingga


membuat situasi komunikasi sosial gaduh dan tidak saling mempecayai
(untrust) antar warga dan aparatur hingga bisa berujung konflik.
Dalam menghadapi pendemi covid19 komunikasi sosial menjadi
salah satu pilar penting untuk menciptakan situasi komunikasi yang
bisa berlangsung sehat dan positif. Harus diakui dalam situasi gagap
seperti itu lalulintas komunikasi sosial bisa berlangsung liar dan tidak
terkendali. Akibatnya, komunikasi rasional terasa kian jauh dari harapan
dan mengakibatkan banyak disinformasi. Bahkan ruang media sosial kian
keruh potensial melahirkan saling ketidakpercayaan (untrust).
Fenomena komunikasi ini pernah dikhawatirkan oleh Prasodjo
(2020) sebagai komunikasi irasional yang tidak fungsional bagi
pengembangan masyarakat yang beradab. Padahal komunikasi rasional
(communicative rational action) menurut Prasodjo (2020), merupakan
prakondisi bagi tercapainya konsensus-konsensus rasional yang sangat
bermakna dalam demokrasi dan menjadi prasyarat penting tercapainya
pemahaman bersama (mutual understanding) untuk mencapai konsensus
bermartabat. Prasodjo (2020) menambahkan jika demokrasi diartikan
sebagai cara masyarakat beradab menegoisasikan perbedaan-perbedaan
kepentingannya untuk mencapai suatu konsensus rasional, maka adanya
kemampuan berkomunikasi secara rasional menjadi mutlak diperlukan.
Situasi gagap dan gamang informasi ini jika tidak segera diperbaiki
akan potensial menambah beban penangganan dan potensial menjadi
bencana lanjutan disaat obat dan vaksin untuk corona belum ditemukan.
Komunikasi nir-empatik irasional kian menambah beban psikologis
warga karena sulit menemukan rujukan informasi dan pengetahuan yang
bisa dipercaya. Masyarakat bisa jadi akan terbawa dalam arus komunikasi
seperti itu dan akan merasa tidak bahagia dan senang yang diyakini bisa
memperlemah imunitas publik. Gagap komunikasi yang berlangsung
campur baur ini bisa juga akan mengkaburkan asupan informasi sehat
berganti informasi racun karena pertentangan konfliktual dan situasi
untrust tersebut. Sementara menurut Prasojo (2020) bahwa kemampuan
berkomunikasi menempati kedudukan sangat penting untuk mendorong
tumbuhnya iklim dialog yang sehat.
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 127

Gugus covid19 di desa sebagai taskforce paling dekat dengan warga


harus bisa membantu menjaga alur komunikasi sosial ke warga agar
bisa lebih terkendali, sehat, empatik dan sekaligus menyejukkan untuk
menciptakan situasi kondusif dan terkendali. Dalam konteks ini maka
diperlukan pengenalan model komunikasi empatik rasional kepada satgas
gugus covid19 desa, khususnya dalam mengembangkan komunikasi sosial
kepada warga melalui peningkatan kapasitas komunikasi teknis.

MENJAGA ARUS DAN KUALITAS INFORMASI


Revolusi teknologi informasi dan komunikasi memiliki dampak luar
biasa pada ledakan informasi (explosion of information). Informasi menjadi
mudah diperoleh melalui gawai (smartphone), yang dapat diakses kapan
dan dimanapun asalkan tersambung dengan internet. Informasi menjadi
melimpah dan kadang dapat membingungkan, meresahkan, dan potensial
mematik konflik (Rumani, 2018). Banjir informasi terjadi dimana mana
dan menjadi sumber polemik dan konflik baru. Dalam situasi bencana
jaminan informasi sehat sungguh sangat diperlukan. Namun, menjamin
suplay informasi sehat sungguh tidak mudah dan upaya mendorong ke
arah itu harus menghadapi tantangan yang tidak mudah akibat derasnya
arus hoax dan disinformasi.
Informasi sehat diyakini dapat mendorong situasi berkembang lebih
baik sebagai bekal pengetahuan masyarakat menghadapi pendemi ini.
Beberapa riset mutakhir juga memberi petunjuk akan pentingnya asupan
informasi sehat bisa mendorong tumbuhnya sikap positif. Agar situasi
kondusif bisa terjaga maka sudah seharusnya informasi publik dijaga
obyektivitasnya agar tidak menyesatkan dan dapat menyehatkan ruang
publik. Penyediaan dan sirkulasi informasi yang steril dari kepentingan
sensasi, hoax, dan kepentingan pihak-pihak tertentu dari komersialisasi
informasi akan bisa mendorong situasi menjadi lebih kondusif. Sebaran
informasi akan lebih alami, benar, jujur dan faktual, tidak tendensius
serta tidak bersifat provokatif-negatif. Alur dan jenis informasi seperti ini
menjadi hal penting untuk dikembangkan dalam situasi pendemi ini.
Jaminan atas informasi sehat saat ini juga dibutuhkan oleh warga
sebagai penyeimbang informasi hoax akibat perkembangan teknologi
128 Penguatan Komunikasi Sosial untuk Satgas Gugus Covid19 di Wilayah ...

komunikasi. Informasi saat ini cenderung dicerna tanpa ada filter untuk
memilih dan memilah informasi yang sehat (bermanfaat) dan informasi
sampah (hoax) yang potensial bisa menyesatkan dan mengadu domba.
Bagaimanapun informasi sehat itu akan memberi manfaat, pencerahan,
wawasan, pengetahuan dan berguna bagi kehidupan lahir batin. Artinya
seseorang mendapat informasi yang sehat dapat memberi asupan gizi bagi
tumbuh kembang fisik, psikis, sosial, moral dan mental. (Rumani, 2018)
Informasi sehat tambah Rumani (2018) bisa menumbuhkan rasa
nyaman, tenang, bahagia, syukur, toleran, saling menghargai dan
menghormati, hidup rukun, damai dalam keberagaman dan perbedaan,
sehingga dapat menumbuhkan rasa persaudaraan, persatuan dan kesatuan
yang erat, tidak bercerai berai dalam permusuhan dan perselisihan paham.
Sebaliknya informasi hoax  isinya membingungkan, memutarbalikkan fakta
dan data, tidak bisa dipertanggungjawabkan, bertentangan denga norma
susila, agama, adat, dan hukum, berpotensi menimbulkan permasalahan
dan perbedaan persepsi, yang cenderung memutuskan persaudaraan.
Guna memenuhi kebutuhan informasi yang sesuai dengan kriteria
ini, Arifin (2012) memandang perlunya partisipasi semua pihak
agar intersubjektiviti informasi dan berita kian terjaga, dapat saling
mengkontrol dan bisa lebih faktual, jujur dan penuh tanggungjawab,
terutama sumber-sumber dan pelaku penyedia dan produsen informasi
sosial. Agar kondisi ini tercapai maka seluruh komponen masyarakat perlu
diberdayakan sebagai subyek informasi, penyedia informasi, pengolah dan
pengguna informasi yang bertanggungjawab. Sesungguhnya memberi
informasi sehat adalah kewajiban semua pihak baik pemimpin, pejabat
publik, tokoh masyarakat, ulama berbagai komunitas profesi, lembaga
pemerintah maupun swasta. Informasi sehat adalah hak azasi bagi
setiap orang, yang berfungsi sebagai alat mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, menambah wawasan dan pengetahuan sebagai
bekal dalam kompetisi kehidupannya. (Rumani, 2018) Dalam pendemi
ini tentu saja dibutuhkan asupan informasi sehat yang bercirikan simple,
terang, lugas, tegas, dan konsisten.
Aparatur desa yang menjadi bagian tidak terpisahkan dalam gugus
covid19 dilevel paling bawah memiliki kewajiban untuk bisa memastikan
agar semua prosedur antisipasi dan penangganan pendemi ini sesuai
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 129

dengan protoker yang bisa dipertanggungjawabkan. Informasi harus


dibuat semudah dan sesederhana mungkin termasuk bagaiman prosedur
dan sop di level desa terkait dengan pencegahan dan antisipasi virus
corona memenuhi prinsip simple, terang, lugas, tegas, konsisten. Tidak
jarang semisal penangganan kedatangan warga dari zona merah sering
menimbulkan konflik karena kurangnya saling kesepahaman antara pihak
keluarga dengan aparatur desa terkait protokol dan sop penangganan
warga yang datang. Hal seperti ini perlu dipahami bersama baik aparatur
dan juga warga agar kedua belah pihak bisa saling menguatkan untuk
tujuan essensial menemukan kesepahaman dan bukan menambah beban
baru konflik komunikasi di masyarakat. Aparatur memiliki peran sentral
untuk bisa memastikan semua warga baik yang bermukim maupun yang
datang untuk bisa memahami semua prosedur penangganan dan antisipasi
berlangsung sehat dan saling menguatkan.

MEMBANGUN DIALOG, ARGUMEN MEMPERBAIKI


CARA, PROSEDUR KOMUNIKASI SEHAT DI MEDSOS
Kegagalan utama komunikasi adalah jika pihak pihak yang
berkomunikasi tidak bisa memahami essensi bagaimana mencapai
kesepahaman. Pertentangan dan konfliktual akhirnya menjadi hasrat
dan hasil dari komunikasi yang dikembangkan. Dalam komunikasi
essensial masing masing pihak harus memiliki kemampuan untuk saling
menghormati, saling berbagi respek, empati dan mengerti dampak
ujaran. Komunikasi kerapkali dikembangkan bukan untuk mencapai
saling kesepahaman tetapi justru membuka ruang perbedaan. Akhirnya
masyarakat dan aparatur sering terjebak dalam ruang komunikasi negatif,
saling mengolok yang membuat ruang publik kian gaduh.
Prasodjo (2020) secara gamblang mengemukakan cara, model dan
bagaimana membangun iklim dialog publik yang sehat di media sosial
mulai dari dialog persuasi hingga dialog negoisasi agar komunikasi bisa
fungsional di ruang publik.
Pertama persuasion dialogue yang bertujuan untuk memecahkan
masalah perbedaan pendapat dengan menggunakan argumen rasional.
Dalam dialog ini masing masing pihak berargumen secara rasional berarti
130 Penguatan Komunikasi Sosial untuk Satgas Gugus Covid19 di Wilayah ...

memberikan seperangkat alasan-asalan logis atau bukti-bukti yang valid


untuk mendukung suatu pendapat tertentu. Masing masing pihak dalam
proses dialog ini harus memiliki komitmen pada kekuatan logika sebagai
dasar berargumen.
Kedua, information-seeking dialogue yang bertujuan untuk
mendapatkan informasi tentang suatu hal. Dalam hal ini para pencari
informasi harus dapat membangun iklim yang nyaman dan bersikap
friendly. Dalam dialog ini percakapan dapat berbentuk advice-solicitation
dialogue yang bertujuan untuk mencari saran dari orang lain, atau expert
consultation dialogue, melakukan konsultasi kepada orang yang dianggap
ahli guna menyelesaikan suatu masalah.
Ketiga, negotiation dialogue. Dalam dialog ini, kedua pihak melakukan
tawar-menawar tentang kepentingan tertentu, dengan tujuan akhir
tercapainya suatu kesepakatan/perjanjian/transaksi. Dalam dialog ini,
masing-masing pihak perlu menjajaki hal-hal yang dianggap paling
dibutuhkan/dipentingkan pihak lain. Jadi masing-masing pihak tidak
hanya memikirkan kepentingan sendiri saja. Untuk mudahnya mencapai
kesepakatan, dalam dialog ini, tenaga profesional dapat diundang untuk
menjalankan peran sebagai mediator.
Ketiga jenis dialog ini menurut Prasodjo (2020) berbeda jauh dengan
apa yang disebut quarrel (percekcokan). Dalam quarrel jelas Prasodjo (2020)
masing masing pihak mencoba melontarkan kata-kata untuk menyakiti
hati lawan, dan bila mungkin, mempermalukannya secara telak. Quarrel
biasanya dipicu oleh kejadian remeh temeh, tetapi membakar emosi. Pihak
yang terlibat dalam quarrel umumnya bersikap keras kepala dan kekanak-
kanakan. Saat terjadi quarrel, kedua pihak berupaya menyalurkan seluruh
emosi yang paling dalam yang sebelumnya tidak tersalurkan, suatu emosi
yang tidak pantas untuk dimuntahkan saat diskusi atau sidang terhormat
diselenggarakan. Quarrel bukanlah teman baik bagi orang-orang yang
ingin membangun argumen logis dan tidak pula perlu dikembangkan
bila kita ingin membangun demokrasi. (Prasodjo, 2020)
Untuk membangun iklim dialog yang sehat tersebut Prasodjo (2020)
meyakini perlunya latihan dan kedewasaan dalam berkomunikasi di ruang
publik. Pelaku komunikasi harus bisa membiasakan diri menerima kritik
dari orang lain dan mendengarkan berbagai pendapat yang berbeda, atau
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 131

bahkan yang sangat bertolak-belakang dengan pendapatnya sendiri, akan


sangat membantu seseorang untuk tidak mudah terpancing emosi saat
melakukan dialog.
Agar iklim dialog dapat tumbuh sehat, perlu dihindari cara-cara
berargumentasi yang mengandung kepalsuan (fallacies). Menurut
Douglas Walton (1992) dalam Prasodjo (2020), terdapat empat argumen
yang biasanya dianggap sebagai kepalsuan: Pertama, adalah argumentum
ad populum. Ini jenis argumen yang disusun untuk menarik sentimen/
emosi publik atau massa agar massa ikut tergiring mendukung kesimpulan
argumen tersebut. Argumen jenis ini juga disebut sebagai argumen
penarik massa (mob appeals). Hindari menggunakan argumen ini dengan
mengekspoitasi sentimen-sentimen primordial - suku, ras, agama, untuk
menggiring massa agar menerima gagasannya tanpa berfikir panjang.
Kini, para pendukung fanatik partai, juga sering melestarikan kebiasaan
buruk ini, walaupun pemilu sudah berakhir. Menurut Engel (1976) dalam
Prasodjo (2020) argumen jenis ini dianggap keliru karena mengarahkan
kita pada kesimpulan melalui nafsu daripada akal sehat.
Kedua, argumentum ad misericodiam. Argumen ini dianggap palsu
karena mengeksploitasi rasa belas kasihan dalam mencari dukungan.
Strategi yang dikembangkan dalam argumen ini adalah mempengaruhi
orang lain dengan cara membangkitkan simpati maupun rasa keharuan.
Ketiga, argumentum ad baculum. Argumen ini palsu karena mengarah
pada suatu ancaman, atau paksaan, atau menimbulkan rasa takut agar
orang lain mendukung kesimpulan argumen yang dikemukakannya.
Argumen jenis ini biasanya dimunculkan bila bukti-bukti nyata untuk
mendukung suatu argumen dianggap tidak mempan lagi, atau argumen
rasional dianggap mengalami kegagalan.
Keempat, argumentum ad hominem. Ini jenis argumen yang paling
berbahaya dan seringkali merusak jalannya diskusi yang sehat. Dalam
argumen jenis ini, serangan yang bersifat pribadi terhadap lawan bicara
dilakukan. Menurut Fearside dan Holther (1959) dalam Prasodjo (2020)
argumen jenis ini adalah cara yang umum dan efektif, walaupun menjijikkan,
untuk memenangkan perdebatan. Dallam konteks argumen maka tak ada
argumen yang lebih mudah dilakukan tetapi sulit melawannya, daripada
argumen membunuh karakter seseorang. Jika argumen ini diluncurkan
132 Penguatan Komunikasi Sosial untuk Satgas Gugus Covid19 di Wilayah ...

maka seringkali terjadi adu mulut yang bersifat pribadi. Diskusi sehat
yang hendak dibangun di media sosial seringkali hancur karena para
peserta diskusi sering tergoda untuk melakukan kekeliruan ini.
Guna membangun iklim dialog publik yang sehat di media sosial,
sejalan dengan pendapat Prasodjo (2020) maka diperlukan proses
pembelajaran tersendiri dan kesadaran bersama. Komposisi peserta
dialog yang terdiri dari berbagai latar belakang tingkat pendidikan,
pemahaman agama, afiliasi politik, dan kedewasaan merupakan tantangan
tersendiri bila budaya berargumen (the argument culture) yang bersifat
rasional hendak dibangun. Namun, dengan datangnya iklim kebebasan
berpendapat (freedom of speech) di era reformasi ini mudah-mudahan akan
mempercepat proses pembelajaran ini.
Prasodjo (2020) menilai bahwa antusiasme berbicara dan memberi
komentar, baik yang bersifat reaktif ataupun hasil perenungan yang dalam,
harusnya segera diikuti hasrat dan tanggung-jawab untuk membangun
iklim komunikasi sehat. Tanggungjawab komunikasi menjadi hal penting
mengingat tanpa itu, kebebasan yang kini kita miliki, baik karena adanya
iklim demokrasi ataupun teknologi komunikasi yang tersedia, hanya akan
menjadikan kita terpecah belah karena kita telah saling menyakiti. Agar
kita tak terjebak pada konflik dan saling memusuhi maka komunikasi
di medsos harus diperbaiki dalam tipe dialog komunikasi yang positif
untuk saling menguatkan dan mencapai kesepahaman serta melalui
memperbanyak konteks posiitif.

KOMPETENSI KOMUNIKASI DASAR DAN


REPORTASE BERITA UNTUK SATGAS DESA
Komunikasi teknis aparatur sebagai salah satu produsen dan konsumen
informasi memegang peran sentral dalam menjaga dan menentukan arus
informasi di pedesaan dimasa pendemi covid19. Jika informasi itu bisa
didesain simple, lugas, tegas dan konsisten maka semua pesan akan bisa
dipahami semua pihak dengan baik. Potensi distrust bisa dieleminasi dan
semua prosedur penangganan dan antisipasi bisa di ikuti dan dukung oleh
warga dengan baik.
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 133

Guna mengawal menjamin arus informasi itu maka kompetensi


teknis seperti bagaimana melakukan reportase berita menjadi penting.
Bagaimana aparatur melaporkan kejadian kepada warga melalui medsos
baik melalui tulisan maupun video reportase akan memberi kejelasan
kepada warga bagaimana harus bertindak dan mengantisipasi serta
mendukung upaya pencegahan dan penangganan pendemi.
Reportase aparatur menjadi kebutuhan baru yang dapat dikembangkan
sebagai upaya untuk mengawal dan menyeimbangkan arus informasi
yang dapat lebih valid dan dapat dipertanggungajwabkan. Melalui
reportase publik satgas desa bisa melaporkan kejadian tersebut dari hal
yang paling dekat. Aparatur bisa menghayati dan menjiwai benar apa
yang diceritakan dan dikabaran. Hasil pengamatan ataupun pengalaman
mereka sendiri disampaikan dengan penuh perasaan empatik sehingga
tracing perkembangan day to day bisa diketahui lebih pasti.
Aparat gugus covid bisa berkontribusi mencerdaskan masyarakat
dengan berbagi informasi. Selain itu, berada dalam garis depan mereka
bisa faktual melihat kenyataan dan mengedepankan hati nurani dan
kejujuran yang lebih dekat dekat jaminan memelihara kemaslahatan ruang
publik. Apalagi hal ini bisa dilakukan lebih cepat dan lebih unggul karena
proximity dan kealamiahan sehingga lebih dekat dengan realitas faktual.
Pada poin penting inilah, keberadaan jurnalisme dan reportase
aparatur menjadi amat fundamental. Setiap aparatur bisa difungsikan
dan memfungsikan diri sebagai pemberi informasi yang sekaligus juga
pengguna informasi itu sendiri. Akhirnya mereka tidak lagi sebagai
konsumen informasi belaka, tetapi juga sebagai penyedia informasi
(prosuden info) bagi warga. Kompetensi ini akan melatih aparatur menjadi
pewarta yang jujur, berdedikasi, memiliki jiwa sosial yang tinggi, serta
melatih diri untuk bertanggung jawab.
Dari pengalaman dilapangan jurnalisme warga yang dikelola oleh
orang-orang biasa saja bisa menghasilkan informasi berkualitas maka
jurnalisme dn reportase aparatur harus bisa menghasilkan informasi yang
juga lebih berkualitas. Karya reportase tetap harus mengindahkan kaidah
jurnalistik. Aparatur yang terlibat menjalankan kegiatan pelaporan berita
faktual. Proses pembelajaran dalam hal ini untuk menulis bukan sekadar
menekankan mantra 5WH (what, who, where, when, why and how) tetapi
134 Penguatan Komunikasi Sosial untuk Satgas Gugus Covid19 di Wilayah ...

juga mampu mengembangkan komunikasi rasional yang memerhitungkan


dampak dan efek.
Elemen terpenting dari pewarta aparatur sebenarnya adalah
kejujuran. Turunan dari elemen pertama inilah yang akan membuat
setiap reporter memegang teguh prinsip fact and check, konfirmasi, cover
both sides, dan seterusnya. Guna melahirkan produser dan reporter yang
profesional maka perlu dibuat dan disepakati bersama kode etik reportase
aparatur untuk menciptakan keteraturan, produktivitas kerja (kinerja),
dan tidak bertentangan dengan norma hukum, agama dan etika, sehingga
mampu menghasilkan informasi yang berkualitas.
Kompetensi jurnalisme dasar menurut Arifin (2012) meliputi
kemampuan mengenal berita (news), membedakan fakta dan opini,
menulis berita pendek, standup reportase, dan mengembangkan hardnews
dan softnews akan menjadi kemampuan dasar yang diperlukan dalam
pengembangan jurnalisme aparatur. Aparatur bisa berlatih memberikan
informasi kepada publik melalui sms, tulisan berita pendek, laporan
pandangan mata untuk memberitahukan situasi dan kondisi yang akan,
sedang, dan telah terjadi di masyarakat. Jika aparatur sudah memiliki
kemampuan dasar jurnalisme ini maka akan terbentuk kebiasaan (habit)
dan kultur berbagi yang merupakan cikal bakal terbentukkan prosumen
rasional yang loyal dan aktif.
Minimal aparatur harus punya kompetensi komunikasi dasar
melaporkan dan mengkoordinasikan semua pertanyaan dari masyarakat
untuk dikomunikasikan dengan pihak terkait. Jika komunikasi itu
berlangsung baik maka akan muncul rekomendasi aksi yang lebih terukur
mulai dari rekap pengaduan dan konsultasi serta tindak lanjut penguatan
peta sebaran informasi ke tracing unit secara transparan dilevel desa.
Pelatihan reportase aparatur desa menjadi titik pijak awal untuk
membuka wawasan, pengetahuan dan pemahaman para aparatur desa
dalam kegiatan jurnalistik. Selanjutnya mereka akan dilatih untuk
praktik reportase stand-up dan menulis berita pendek sebagai dasar dalam
produksi informasi. Pendampingan dan supervisi amat diperlukan agar
pengelolaan informasi rasional dapat dilakukan secara berkelanjutan
Produksi informasi harus mencerminkan kepentingan publik dan
benar-benar didasarkan atas kebutuhan publik (public’s need) bukan sekadar
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 135

yang diinginkan publik (public’s want). Saat ini masyarakat sebenarnya juga
sedang mencari alternatif informasi dan berita di luar media arus utama
(main stream) maka jika jurnalisme aparatur dapat menangkap kebutuhan
itu bisa menjadi alternatif untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumen
media di era pendemi covid19 (Maryani, 2011). Kebeberadaan jurnalisme
aparatur dan publik diperlukan untuk memberikan keseimbangan dalam
memperoleh informasi yang sehat, netral, dan tidak komersial. Situasi ini
akan memberi manfaat kepada kepercayaan warga terhadap aparat yang
biasanya dianggap lamban, malas, semaunya, dan tidak bertanggung
jawab.***
Kompetensi komunikasi sosial perlu dimiliki oleh aparatur desa
yang tergabung dalam gugus covid19 yang berada di level garda depan
dan sebagai satuan paling bawah yang langsung berhubungan dengan
masyarakat. Mereka punya peran strategis menjaga kualitas dan arus
informasi agar berlangsung sehat dan positif. Hal ini akan berkontribusi
dalam membuka ruang publik yang sehat.
Kemampuan teknis komunikasi sosial akan bisa menjernihkan
situasi kepanikan, kegamangan, ketidaksiapsiagaan menjadi lebih
tenang dan kondusif. Melalui pemahaman model komunikasi dialog dan
mengembangkan argumen alami tanpa kepalsuan akan memberi jaminan
pengembangan komunikasi rasional.
Jurnalisme aparatur dan reportase aparatur bisa menjamin isi dan arus
komunikasi sosial bisa lebih berimbang, beragam, dan saling mengkontrol.
Kompetensi ini akan dapat menjaga alur informasi dan komunikasi lebih
cepat up to date sesuai prinsip simple, terang, lugas, tegas, konsisten dan
dapat dipertanggungjawabkan
Tentu saja dalam mengembangkan komunikasi sosial dan publik,
aparatur harus juga harus memahami konteks juga disesuaikan dengan
potensi dan kearifan lokal sehingga selaras dengan potesi dan kebutuhan
warga. Alur komunikasi akan kian positif dan menyejukkan tidak saja akan
mengurangi gesekan dan konflik, tetapi juga menjadi modal sosial dan
perekat solidaritas masyarakat guna mendorong altruism dan filantropi
serta solidaritas sosial yang dibutuhkan dalam pendemi covid19.
Kompetensi komunikasi teknis dalam reportase berita sudah
saatnya dikenalan dan kembangkan di aparatur desa agar bisa selektif
136 Penguatan Komunikasi Sosial untuk Satgas Gugus Covid19 di Wilayah ...

memroduksi dan mengolah informasi sosial guna menghadapi pendemi


ini untuk mencapai model komunikasi rasional yang beradab yang bisa
menciptakan pemahaman bersama secara alamiah dan dapat dikembangkan
berkelanjutan.

Catatan Akhir *** Naskah diambil dari tulisan penulis yang terbit dalam buku Aspikom
Jatim dengan tema Komunikasi Publik dan Pandemi Covid-19 dengan penambahan dan
penyesuaian untuk chapter buku oleh penulis

REFERENSI
Arifin, Zainal Emka (2012) Jurnalisme Warga, makalah tidak dipublikasikan
disampaikan dalam acara pelatihan jurnalisme warga untuk para
pendamping lapangan program pengembangan komunikasi
publik, Surabaya: Pusakkom Publik dan USAID.
Maryani, Eni. (2011) Media dan Perubahan Sosial. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Rumani, Sri, (2018) Informasi Sehat Versut Informasi Hoaxs, artikel dalam
kompasiana diakses tgl 26 April 2020 https://www.kompasiana.
com/srirumani/5ac5c04df133444aee090b42/informasi-sehat-
versus-informasi-hoax?page=all
Surokim, (2020) Meda Komunitas Menguatkan Suara Arus Bawah Madura
Yogyakarta: Elamatera
Prasodjo, Imam B (2020), Mari Kita Bercermin Diri Pada Cara Kita
Berdialog di Media Sosial Ini, artikel diakses tanggal 26
April 2020 dalam https://m.facebook.com/story.php?story_
fbid=1430424810492005&id=100005734987888?sfnsn=
wiwspwa&extid= bHILGA86V6Xr9agj
10
Teknologi Komunikasi,
Gerakan Arus Bawah,
dan Perubahan Sosial
Madura

P
erkembangan teknologi informasi dan pertumbuhan
akses internet membawa dampak perubahan yang
luas dalam kehidupan masyarakat. Penggunaan
media sosial yang masif dan berlangsung cepat serta
mampu menjangkau ke pelosok desa (rural area) melalui
handphone seluler membuat akses informasi berlangsung
terbuka dan cepat melewati batas batas dan sekat sekat
komunikasi tradisional yang selama ini tertutup hingga
membuat informasi semakin meluber tak terbatas.
Masyarakat yang selama ini pasif dan hanya menjadi
konsumen, kini mulai menjadi pelaku dan terlibat aktif
dalam menyebarkan dan juga memroduksi informasi yang
diunggah melalui media sosial. Trend perkembangan ini
cukup positif didalam masyarakat rural area mengingat
dengan menjadi pelaku aktif masyarakat akan mendorong
partisipasi dalam diskusi di ruang pubik yang menyangkut

137
138 Teknologi Komunikasi, Gerakan Arus Bawah, dan Perubahan Sosial Madura

kepentingan bersama. Saat ini kita telah dan benar benar memasuki
era dimana masyarakat tidak semata-mata menjadi konsumen media,
tetapi juga sekaligus menjadi produsen media. Era itu disebut para ahli
komunikasi sebagai era prosumer.
Perkembangan dan trend penggunaan media itu kita harapkan
berdampak positif dan bisa kita arahkan untuk membangun peradaban
masyarakat yang lebih baik. Internet dan media sosial diharapkan dapat
menjadi pintu keterbukaan informasi publik yang selama ini dikuasai dan
hanya menjadi milik elit tertentu sehingga bisa dideseminasi dan mengalir
ke berbagai lapisan masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah. Hal
ini penting untuk mengait dan mendorong partisipasi masyarakat kelas
bawah sehingga mereka akan memiliki kesadaran, bisa tumbuh dan ikut
serta memengaruhi isu isu publik yang seharusnya dikerjakan pemerintah
dan juga masyarakat sebagai bagian dari tugas membangun dan menuju
kesejahteraan dan kebaikan bersama. Publik akan memiliki kecukupan
informasi dan tumbuh partisipasi untuk ikut serta terlibat dalam diskursus
masalah masalah diruang publik yang menyangkut kepentingan dan hajat
hidup bersama.
Madura, wilayah yang berada di sisi utara Provinsi Jawa Timur ini
memang khas dan unik. Sebagai daerah yang tengah berkembang, wilayah
ini memiliki ciri khas sosial, budaya, dan politik yang khas, berbeda
dengan daerah lain. Masyarakat di wilayah ini dikenal sangat relegius dan
memegang tradisi dan kultur kepatuhan yang khas, khususnya kepada
orang tua, guru, tokoh agama, dan pemerintah. Kepatuhan kultural
tradisional ini bisa dipakai untuk menjelaskan mengapa selama ini suara
arus bawah di Madura diam, relatif stagnan dan kurang bergeliat. Dalam
diam, kalangan bawah Madura memasrahkan nasih dan kehidupan mereka
secara total kepada elit dan tokoh masyarakat. Mereka memiliki anggapan
bahwa elit akan selalu berbuat baik dan positif terhadap kehidupan mereka.
Masyarakat Madura juga memiliki bekal modal sosial yakni kepercayaan
(trust) yang positif terhadap elit pemerintahan sekaligus memegang
teguh modal simbolik berupa kepatuhan kepada para kiai yang menjadi
anutan, penuntun sekaligus penjaga tradisi dalam kehidupan beragama
dan bermasyarakat di Madura.
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 139

Seiring dengan meningkatnya akses informasi melalui internet dan


media sosial, keterbukaan informasi publik di Madura mulai bergeliat.
Penyebaran informasi melalui media sosial meluber luas hingga ke
masyarakat bawah. Akibatnya pelan namun pasti terjadi perubahan social
yang mendasar, khususnya dikalangan anak muda (online citizen – genuine
netizen) di Madura. Mereka mulai berani menyuarakan aspirasinya secara
vulgar dan berani. Bahkan dalam beberapa hal daya kritis masyarakat,
khususnya anak muda ini bisa menyasar aktivitas dan kedudukan elit
yang selama ini dianggap tabu untuk didiskusikan dan dikritik. Potret
masyarakat desa yang selama ini sekadar ikut-ikutan (anut grubyuk) mulai
tumbuh dan memiliki kesadaran baru yakni kemandirian berpendapat
berkat informasi yang diperoleh melalui media sosial. Tak kalah
menariknya sejumlah kelompok anak muda Madura juga menginisiasi
media online berlabel Madura guna mengenalkan Madura kepada
masyarakat luas. Perkembangan media online ini juga sekaligus menjadi
kanal baru yang selama ini menjadi monopoli kelas tertentu melalui media
mainstream. Keberadaan media online ini menjadi media alternatif bagi
masyarakat Madura yang selama ini memiliki akses yang minim terhadap
media mainstream.
Internet dan media sosial telah membawa perubahan signifikan bagi
masyarakat baik di perkotaan maupun dipedesaan dan sekaligus membawa
kebiasaan baru dalam mengunakan media. Selama ini masyarakat hanya
menjadi konsumen pasif dan sekadar menjadi obyek media dan kini berubah
menjadi produsen-konsumen media dan menjadi subyek aktif dalam
media. Potret era prosumer ini sudah kita lihat dalam berbagai aktivitas
masyarakat yang mengunggah status dan memberi tanggapan atas
peristiwa yang terjadi disekelilingnya dan membagi dengan cepat melalui
media sosial. Setiap detik kita bisa melihat dan membaca status baru berisi
informasi baik personal maupun public yang diunggah oleh masyarakat.
Hal ini membawa perubahan signifikan menyangkut aktivitas masyarakat
sipil yang selama ini terhegemoni oleh elit kekuasaan. Masyarakat mulai
tumbuh kesadaran kritis untuk menyuarakan aspirasi sesuai dengan apa
yang diyakini dan diketahui secara terbuka tanpa perasaan dan dibayangi
rasa takut.
140 Teknologi Komunikasi, Gerakan Arus Bawah, dan Perubahan Sosial Madura

Masyarakat pedesaan yang selama ini tertutup dan hanya mendapat


informasi dari pihak pihak tertentu, dengan meluasnya penggunaan
media sosial saat ini tengah menikmati berkah kelimpahan informasi.
Mereka bisa memeroleh informasi dari berbagai sumber dan menjadikan
mereka melek informasi. Mereka memiliki akses akan informasi sekaligus
bisa melihat dinamika informasi itu dengan membandingkan informasi
yang mereka peroleh dari sekelilingnya. Hal ini secara tidak langsung
turut mengasah daya kritis publik untuk terlibat dalam diskursus
masalah masalah publik yang selama ini ditabukan di masyarakat dan
hanya menjadi otoritas kekuasaan kelompok tertentu. Akibat keterbukaan
tersebut, masyarakat akhirnya memiliki kesadaran bahwa mereka
memiliki hak untuk menentukan arah kehidupan bersama dan bisa ikut
serta memperjuangkan aspirasi dan kehendak untuk kebaikan kehidupan
mereka bersama.
Masifnya penggunaan internet dan media sosial tentu membawa
beragam implikasi baik yang positif maupun negatif. Kita berharap
media baru ini bisa membawa dampak positif bagi kehidupan masyarakat
dan bisa mengurangi dampak negative yang ditimbulkannya. Namun,
tantangan ke depan akan semakin berat tidak saja terkait bagaimana
menggunakan teknologi komunikasi tersebut, tetapi juga bagaimana
mereka menggunakan teknologi itu secara benar dan bertanggungjawab.
Kita bisa menyimak saat ini konsumen media seolah banyak lepas kendali
dan tidak banyak yang memikirkan tanggungjawab menggunakan media
sosial di ruang publik. Konsumen media banyak yang tidak memiliki
kendali dengan membagi berbagai informasi negatif yang tidak dilakukan
klarifikasi dan Cross Check atas kebenaran sumber berita. Fenomena
ini yang membuat media sosial seolah hanya menghasilkan dampak
negatif semata sementara dampak positifnya tidak bisa diperoleh dan
dimaksimalkan.
Para ahli komunikasi memiliki keyakinan bahwa perkembangan
teknologi informasi sejatinya akan membawa dampak positif, tetapi
sejarahpun membuktikan bahwa dibalik niat baik selalu ada usaha jahat
yang menyertainya. Karena itu kita semua memiliki kewajiban untuk
bersama sama masyarakat berdiksusi dan merumuskan aksi bersama agar
perkembangan teknologi informasi termasuk didalamnya penggunaan
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 141

handphone seluler dan media sosial dapat diarahkan sebesar besarnya


bagi kemaslahatan dan kebaikan bersama.
Perkembangan information, communication, and technology (ICT)
memang cepat dan juga mendadak hingga membawa perubahan yang
radikal. Kita dibuat tergopoh-gopoh akibat fenomena online online. Semua
kebiasaan kita berubah dengan adanya akses online tanpa harus bertemu
langsung dalam bentuk tatap muka. Kita seringkali hanya berbekal
saling kepercayaan untuk komunikasi virtual ini. Hal inilah yang memicu
paradog pada beberapa hal. Untuk itu kita perlu merumuskan strategi
aksi bersama sehingga perkembangan ICT itu dapat dikendalikan dan
membawa perubahan sosial sebagaimana yang kita cita-citakan melalui
pemberdayaan masyarakat secara aktif dan berkesinambungan.
Kita semua harus memiliki pandangan yang optimis dan positif bahwa
ICT akan membawa kita dalam ruang publik yang jauh lebih demokratis.
Pesimisme hanya akan membuat kita kerdil dan tidak memeroleh mafaat
apa apa atas perkembangan ICT itu dan membuat langkah kita terhambat
untuk memeroleh added vaue atas perkembangan itu. Melihat cara adaptasi
masyarakat Indonesia selama ini, mereka terbukti dan sudah teruji adaptif
terhadap perkembangan teknologi. Terbukti masyarakat Indonesia
selalu mampu melakukan adaptasi perubahan berbagai kebijakan dalam
berbagai hal dan penggunaan teknologi dengan baik dan cepat. Beragam
perubahan yang dilakukan elit dapat diikuti dengan baik oleh masyarakat
dalam berbagai kesempatan. Hal itu menujukkan bahwa tingkat adaptasi
masyarkat Indonesia sebenarnya cukup baik dalam berbagai perubahan
social khususnya menyangkut adopsi teknologi baru.
Pada saat ini, mulai muncul hal hal negatif yang patut diwaspadai.
Diantaranya adalah penggunaan internet dan media sosial sebagai
medium ujaran kebencian, pemicu konflik, dan sebagai sarana saling
menghujat dan saling memprovokasi sebagai bagian dari potret bullying
society. Hal ini diyakini menjadi ruang publik menjadi rusak dan benar
adanya bahwa teknologi yang positif menyimpan potensi untuk menjadi
bencana jika digunakan oleh masyarakat yang tidak beradab untuk tujuan
yang tidak terpuji dan merusak ruang publik. Inilah yang membuat
perubahan sosial tidak selalu linear dengan cita cita kebaikan publik. Hal
ini pula yang membuat perubahan sosial tidak selalu baik dan memiliki
142 Teknologi Komunikasi, Gerakan Arus Bawah, dan Perubahan Sosial Madura

kepastian. Komunikasi bisa menjadi tidak produktif untuk menciptakan


kesepahaman. Melalui teknologi yang memediasi komunikasi bisa menjadi
miskomunikasi karena masing masing pelaku tidak mematuhi prinsip-
prinsip dasar berkomunikasi. Teknologi bisa mendorong pengasingan
para pelaku komunikasi. Dalam konteks inilah maka teknologi komunikasi
harus dikendalikan dan agar bisa membawa perbaikan positif dalam
masyarakat dan kepentingan bersama dengan baik dan beradab.
Sebagai bentuk pengendalian atas media sosial maka semua pihak bisa
memberi kontribusi secara bertingkat mulai dari level individu, kelompok,
hingga masyarakat dan negara. Pada level individu, masyarakat harus
memiliki pertahanan diri untuk mampu bersikap kritis atas segala bentuk
informasi yang didapatkan melalui media social, termasuk didalamnya
juga membuat informasi yang akan diunggah. Individu harus memiliki
keasadaran penuh akan dampak informasi yang akan dibagi ke ruang
media social. Dengan begitu setiap orang memiliki pengendalian diri
untuk tidak memroduksi informasi negatif yang bisa merusak ruang
publik menjadi penuh konflik. Pada level kelompok, diantara mereka juga
tumbuh inisiatif untuk saling mengingatkan akan kebaikan ruang publik
dan saling memberi dorongan untuk memanfaatkan ruang publik sebagai
bagian dari cara untuk memberdayakan dan mencerdaskan mereka baik
secara social maupun ekonomi. Dilevel masyarakat juga sama masing
masing memiliki kepedulian untuk memelihara ruang publik menjadi
ruang yang sehat bagi perikehidupan bersama. Dilevel negara dan elit
melalui kebijakan mereka juga akan melindungi ruang public dari berbagai
distorsi yang bias merusak ruang publik dan kebaikan bersama hingga
mengganggu harmoni dalam meraih kebaikan bersama.
Sebagai ruang publik maya, media sosial juga memiliki potensi
untuk didayagunakan secara positif sehingga dapat dikembangkan
menjadi sarana untuk berbagi, meningkatkan kapasitas bersama dan
memberi dampak kepada kehidupan sehari-hari lebih baik. Melalui media
sosial pengetahuan masyarakat akan terus berkembang dan masyarakat
akhirnya memiliki kesadaran untuk bisa mengembangkan potensi dirinya
dan untuk memanfaatkan perkembangan media itu sebagai basis dalam
mengembangkan diri. Kita semua berharap agar masyarakat juga memiliki
kecakapan dalam aksi nyata sehingga teknologi itu tetap membumi dan
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 143

berazas kehidupan nayata tidak tercerabut dalam budaya yang justru


mengasingan mereka dalam kesehariannya.
Patut disadari bahwa media sosial sebagai medium baru tidak selalu
ramah kepada mereka yang tidak memiliki kecakapan bermedia. Ia bisa
membuat orang mudah tersulut marah apalagi jika hal itu menyangkut
hal hal yang sensitif terhadap kehidupan mereka. Tantangan ini patut
menjadi perhatian bersama agar media social dapat menjadi wahana dalam
mendorong pemberdayaan publik secara berkesinambungan sehingga
masyarakat selalu waspada dan sigap dalam menghadapi penggunaan
teknologi komunikasi yang berlangsung cepat dan masif.
Dalam proses ini menurut Nugroho (2015) kita harus mendorong
munculnya inovator inovator ruang publik yang akan menjadi penjaga
kebaikan ruang publik yang patuh pada prinsip prinsip kebaikan publik.
Para inisiator inilah sebenarnya yang bisa diandalkan untuk mengawal
berbagai agenda demokrasi yang bertumpu pada kebaikan warga
negara. Mereka adalah para pengguna aktif media sosial yang memiliki
pengetahuan cukup mengenai media sebagai ruang sehat bagi publik.
Mereka yang aktif mengakses media dengan memberi asupan informasi
positif yang dapat memberi kebaikan bagi kehidupan bersama. Mereka
yang menghindari konflik yang merugikan dan selalu mendorong pola
hidup konstruktif yang bermanfaat bagi kehidupan bersama. Para
inisiator itulah yang akan membawa media sosial menjadi ruang media
alternatif yang sehat dan potensial bagi kebaikan demokrasi.
Upaya memperbanyak para inisiator ini menjadi tantangan kita
bersama. Melalui peran konstruktif para inisiator ini media sosial dapat
dijakdikan sebagai wahani pembelajaran berkesinambunangan menuju
learning society. Mereka saling berpacu untuk memeroleh pengetahuan
dan nilai tambah dalam segala perkembangan yang terjadi dilingkungan
mereka. Jika sudah terbentuk kelompok kelompok ini maka media sosial
kita akan menjadi medium untuk saling berkompetisi dengan positif.
Selain keberadaan kelompok innovator, media social juga berpotensi
menjadi ruang alternative bagi kelompok kelompok yang selama ini tidak
cukup memiliki ruang berbagi pengetahuan dan pengalaman. Media
social sangat memungkinkan tampil menajdi media alternative. Kehadiran
media alternatif akan menjadi semakin menarik ditengah kontestasi saat
ini.
144 Teknologi Komunikasi, Gerakan Arus Bawah, dan Perubahan Sosial Madura

Paling tidak media social bisa mendorong adanya beberagaman


media sehingga muncul media yang bisa saling memantau satu sama lain.
Prinsip keberagaman ini bisa kita dorong melalui media social sehingga
bisa menjadi kontroll atas isi media mainstream yang mulai kehilangan
kepercayaan akibat keterlihatan kepentingan ekonomi dan politik dari
para pemiliknya.
Potret media kini memang tidak lepas dari patgulipat ekonomi
politik media. Dalam situasi seperti itu ruang publik akan menjadi lahan
perebutan trust dari konsumen media. Apakah media konvensional bisa
mempertahankan atau justru akan tergantikan oleh media alternatif.
Apakah jurnalisme konvensional masih bisa bertahan dalam tekanan
jurnalisme warga yang beragam dan luas. Media alternative bisa jadi
akan membawa perubahan terhadap mutu informasi yang selama ini
dikendalikan oleh nafsu para pemilik media dalam berpolitik. Melalui
media alternative kita bisa menyelamatkan informasi untuk public dari
hasrat politik berlebihan dari para jurnalis partisan sekaligus control atas
kualiatas informasi yang cenderung memihak dan tidak berimbang.

ARUS BAWAH MELALUI CITIZEN REPORTER


Perkembangan internet yang cepat membawa iklim keterbukaan
dalam masyarakat membuat para konsumen media bisa sekaligus bertindak
menjadi produsen media. Masyarakat mulai berani menyuarakan berbagai
aspirasi tanpa terhalang ketakutan berlebihan karena ancaman elit dan
kelompok penekan. Masyarakat mulai dapat mengelolah rasa dan karsa
dalam inisiatif public. Mereka sudah mulai berani melibatkan diri ke
dalam berbagai diskusi isu isu public yang menyangkut kehidupan mereka
bersama.
Aspirasi yang tumbuh dari bawah ini akan merepresentasikan
kehendak asli warga terkait dengan apa yang mereka rasakan, apa yang
mereka lakukan, dan apa yang mereka butuhkan. Masyarakt kelas bawah
juga memiliki kehendak untuk bisa melakukan apa yang mereka inginkan.
Dengan demikian aspirasi akan nampak alami dan tumbuh dari semua
pihak secara adil.
Aspirasi masyarakat kelas bawah tersebut bisa tergambar melalui
berabagai ujaran yang diunggah melalui media social. Mereka berani
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 145

untuk melaporkan apa saja yang terjadi disekeliling mereka dan


mengkhabarkan apa yang terjadi disekeliling mereka tanpa harus merasa
terancam oleh kekuasaan. Kritik yang selama ini ditabukan sedikit demi
sedikit telah berubah dalam melakukan pengawasan dan control baik
terhadap pembangunan dan pelayanan public.
Jika informasi yang disampaikan oleh public semakin kontruktif maka
hal ini akan mendorong tatakelola pemerintahan dan pelayanan public
berubah baik secara mendasar. Kini kita bisa melihat berbagai pelayanan
public telah berubah dan jauh berorientasi kepada konsumen dan public.
Berkat media social berbagai kelambanan birokrasi yang berbelit belit
dapat dipangkas dan pelayanan public mulai menunjukkan trends positif.
Laporan masyarakat melalui media social, memiliki aktualitas dan
kecepatan. Masyarakat dapat melaporkan segala sesuatu yang terkait
dengan kehidupan bersama melalui media social. Laporan tersebut dapat
segera diketahui public dan dibagi secara berantai hingga diketahui
banyak pihak, dan akan menjadi viral yang meluas jika terkait dengan
permasalahan bersama. Selain itu, melalui media social kita juga bisa
melakukan tekanan untuk melakukan aksi dan perbaikan terkait berbagai
masalah public.
Melalui pengunaan internet dan media sosial setiap informasi yang
terjadi disekitar kita bisa dengan mudah dibagi ke kawan dan masyarakat
dengan kecepatannya. Media sosial bisa mengubah tatanan politik dan
sosial budaya. Ia bisa memberi tekanan dan tuntutan atas peristiwa
yang terjadi disekeliling kita. Kita dengan mudah mengetahui apapun
yang terjadi disekeliling kita secara nyata dan real time. Warga bisa
menyuarakan aspirasi dan pemikirannya secara terbuka dengan berbagai
fakta yang disuguhkan.
Media sosial juga bisa dipakai untuk menggalang dukungan.
Dukungan dalam konteks ini jelas yang fungsional dengan kepentingan
bersama dan kebaikan kehidupan masyarakat. Guna memeroleh kualias
dukungan maka masyarakat harus mengenai potensi media social tidak
semata mata kepada aspek teknologi, tetapi juga pada aspek interaksi.
Interasi melalui media dan teknologi harus memberi kebaikan keapda
eksistensi sebagai mastarakat yang hidup bersama.
146 Teknologi Komunikasi, Gerakan Arus Bawah, dan Perubahan Sosial Madura

PERUBAHAN SOSIAL, DARI ONLINE KE AKSI


Apakah akses internet dan munculnya media sosial akan membawa
perubahan dan bagaimana teknologi bisa mendorong perubahan ke arah
yang lebih baik, khususnya bagi masyarakat rural di Madura. Internet
jelas membawa perubahan dan inovasi dalam masyarakat. Ia bisa menjadi
medium mobilisasi publik dan juga beragam aksi publik yang tidak
terbayangkan sebelumnya. Internet bisa menjadi medium untuk gerakan
sosial. Ia bisa menjadi kekuatan penekan yang efektif dan dikendalikakan
oleh kehendak bersama. Jika gerakan itu masif atas dasar kepentingan
bersama maka sulit diintervensi termasuk oleh kekuatan modal dan
kekuasaan sekalipun. Melalui internet kita akan menciptakan peluang
baru bagi munculnya ruang publik sebagai perwujudan jaringan dan
hubungan antarwarga yang kuat dan saling menguatkan.
Internet kini telah menjadi medium baru yang membebaskan warga
negara dari kendali negara dan pasar. Internet juga memperluas jaringan
antarpengguna dan juga munculnya peluang untuk trasformasi kekuatan
public demand saat ini yang penting adalah mendorong media menjadi
institusi sosial untuk benar benar menjalankan peran sebagai kepentingan
publik.
Internet jelas menghasilkan informasi yang melimpah dan harus
dimanfaatkan untuk diskusi berbagai kepentingan public. Melalui sharing
kepentingan bersama akan menemukan bentuk aksi yang lebih kongkrit
dan melibatkan banyak pihak Menarik mencermati data Nugroho (2012)
apa yang dilakukan pengguna internet di Indonesia adalah mengakses
situs jejaring sosial untuk berbagi. Melalui berbagai isu isu social yang
selama ini kurang mendapat perhatian akan dapat naik ke permukaan dan
menjadi perhatian bersama untuk diwujudkan ke dalam berbagai program
aksi riil.
Masyarakat Madura selama ini dikenal memiliki sikap lugas dan
memiliki sikap tegas dan juga berwatak keras. Namun, posisi mereka sangat
dependen khususnya kepada tokoh agama dan pemimpin lokal. Apalagi
masyarakat Madura sebagian besar adalah nahdliyin yang menganut aliran
ahli sunnah dalam jamaah Nahdlatul Ulama sehingga tawadhu dan taat
kepada pemimpin (kiai) itu dilakukan tanpa reserve. Titah kiai lebih taati
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 147

daripada pada pemimpin formal. “Mon tak norok perintane kiai cangkolang”,
kalau tidak ikut perintah kiai dianggap lancang, masih dipegang teguh
sebagian masyarakat , khususnya kelas bawah. (Surokim, 2015) Fenomena
ini membuat akses terhadap informasi kadang masih harus dikonfirmasi
kepada para kiai dan tokoh masyarakat. Perubahan melalui internet ini
masih membutuhkan waktu adaptasi sehingga ruang public masyarakat
Madura bias bergerak menuju independen.
Perubahan social di Madura kendati pelan, tetapi akan akan menuju
situasi yang lebih baik sebagai adaptasi perkembangan teknologi informasi.
Perubahan ini dimotori oleh kalangan muda, kelas menengah. Kelas ini
jumlahnya masih minim dan belum solid sehingga belum bisa memainkan
peran strategis dalam penguatan peran politik. Kelas menengah Madura
belum mampu mengisi ruang media mainstream dan menjadi kekuatan
penyeimbang dan kontrol yang efektif terhadap kelompok elit penguasa
di Madura. Kelas menengah yang ada saat ini masih perlu didorong untuk
menjadi independen dan tidak ambivalen. Masih diperlukan waktu untuk
mendorong kelas menengah Madura agar mampu membuat isu isu kelas
menengah dan bawah masuk dalam agenda media mainstream di Madura.
(Surokim, 2016)
Seiring dengan meningkatkan peran media social maka kelas
menengah Madura harus bisa memanfaatkan media social sebaga ruang
alternatif. Terbukti media mainstream konvensional gagal menyediakan
ruang publik, sehingga berbagai kepentingan publik tumpah ruah ke media
sosial. Akhirnya mendorong tumbuhnya reportase warga dan menjadi
cikal bakal jurnalisme warga. Media sosial bisa berpotensi menjadi
media watch sebagai pengawas media mainstream. Public juga harus
memanfaatkan informasi dalam ruang media sosial untuk ditindaklanjuti
dalam aksi yang riil yang berguna bagi perbaikan kehidupan masyarakat.

REFERENSI
Nugroho, Yanuar, dkk (2012) Melampaui Aktivitas Click? Media Baru
dan Proses Politik dalam Indonesia Kontemporer, Friedrich Ebert
Stiftung Kantor Perwakilan Indonesia: Jakarta
Nugroho, Yanuar., dkk (2012) Memetakan Lansekap Industri media
Kontemporer di Indonesia (Edisi bahasa Indonesia). Laporan
148 Teknologi Komunikasi, Gerakan Arus Bawah, dan Perubahan Sosial Madura

Bermedai, Memberdayakan masyarakat: Memahami kebijakan


dan tata kelola media di Indonesia melalui Kacamata Hak Warga
Negara, Riset Kerja Sama Antara CIPG Dan HIVOS Kantor
Regional Asia Tenggara, Jakarta: CIPG dan HIVOS
Surokim. (2015). MADURA: Masyarakat, Budaya, media, dan Politik.
(Surokim, Ed.) (1st ed.). Yogyakarta: Elmatera. Retrieved
from http://komunikasi.trunojoyo.ac.id/wp-content/
uploads/2016/01/BUKU-MADURA-1.pdf
Surokim. (2016). Media Lokal: Kontestasi, Trend, Dinamika, dan Suara Arus
Bawah Madura. (Surokim, Ed.) (1st ed.). Yogyakarta: Elmatera.
Retrieved from http://komunikasi.trunojoyo.ac.id/wp-content/
uploads/2016/01/BUKU-MEDIA-MADURA-21.pdf
11
Dari Aktivitas Online ke
Aksi Nyata: Menguatkan
Peradaban dan Civil
Society Madura

M
asa depan media baru (new media) sudah terlihat
jelas saat ini dan tidak lagi samar samar
didepan kita. Kini kita tengah memasuki
masa dimana informasi tersambung luas melalui internet
dan terhubung secara online. Tidak terasa kita sudah
terlibat serta dalam era sebagai keluarga besar netizen.
Era konvergensi dan digitalisasi sudah berada ditengah
tengah kita. Perkembangan itu telah membuka lanskap
baru dengan membuka ruang publik yang sebelumnya
tidak diakomodasi dalam media konvensional. Disisi lain
proses adaptasi industri ternyata berjalan lebih cepat dari
daya kritis publik. Akhirnya perkembangan media baru
itu juga dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki surplus
informasi dan menjadikannya sebagai komoditas layaknya
industri.

149
150 Dari Aktivitas Online ke Aksi Nyata: Menguatkan Peradaban dan ...

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi selama ini


terbukti membawa dampak signifikan bagi masyarakat. Dalam konteks
perkembangan teknologi disadari bahwa daya adaptasi industri kadang
lebih cepat ketimbang warga. Akibatnya, industri mampu memeroleh
manfaat besar atas perubahan ICT itu dan menjadikan mereka
memiliki surplus modal untuk memastikan bisnis media tetap eksis
dan berkelanjutan. Hal ini sebenarnya menjadi pangkal atas kebijakan
media dimanapun. Jika kuasa industri ini tidak kita hadang termasuk
didalamnya melalui seperangkat regulasi propublik maka akan berakibat
buruk terhadap kualitas demokrasi media kita. Logika bisnis jelas akan
berhadapan dengan kepentingan publik. Pemirsa dan konsumen media
hanya akan ditempatkan dalam posisinya sebagai konsumen dan bukan
sebagai warga yang memiliki hak dan independen.
Jika pemerintah gagal menjaga ruang ini maka tidak ada jalan lain
kecuali publik harus berani mengambil inisiatif melalui daulat publiknya
untuk menegakkan hak mereka terhadap media. Trend perkembangan
media yang begitu cepat menerobos sekat sekat individu dan masuk ke
berbagai kalangan masyarakat jelas akan membawa dampak negative
yang tidak boleh begitu saja diremehkan. Masyarakat harus sejak dini
memiliki pertahanan untuk bisa menggunakan teknologi informasi dan
media social dengan cara yang cerdas dan bijaksana.
Nugroho (2012) mencemaskan bahwa media baru akan semakin
memingirkan peran publik dalam bermedia. Perkembangan teknologi
media tanpa diikuti kesadaran dan nalar kritis publik maka jatuhnya
juga akan mengarah kepada ekspansi pasar. Bagaimana meningkatkan
kesadaran dan nalar kritis publik juga bukan perkara yang mudah.
Mendorong publik untuk memahami hak dasar dalam bermedia, punya
hak untuk memilih dan dilayani punya hak untuk memeiliki akses
informasi membutuhkan perjuangan yang berat.
Publik didorong untuk memiliki keasadaran akan hak hak dasar itu
guna mengontrol kuasa industri yang biasanya lebih responsif terhadap
perkembangan teknologi media. Masyarakat Madura yang dikenal
memiliki semangat yang tinggi harus didorong untuk bisa menggunakan
media social dan media online dengan cara yang benar. Hal ini penting
mengingat masyarakat bisa terkaget-kaget dan tergopoh-gopoh dan bisa
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 151

terjerumus kedalam penggunaan media yang negatif jika tidak memiliki


pengetahuan media yang cukup.
Kami meyakini masyarakat Madura akan jauh berkembang lebih
demokratis jika lanskap media lebih banyak berangkat dari inisiatif publik.
Kalaupun toh disana sini muncul kekkhawatiran bagi kami itu hal yang
lumrah karena kelompok kelompok yang memanfaatkan situasi sekarang
juga ingin situasi ini tetap dan tidak berubah. Kalangan elit Madura
jelas menginginkan kondisi ini tetap untuk melanggengkan kuasa
mereka atas masyarakat, tetapi tidak boleh dilupakan bahwa perubahan
itu adalah keniscayaan dan masyarakat akan terus mengikuti perubahan
itu untuk menuju kehidupan yang lebih baik.
Kecepatan teknologi media dan akses internet harus didorong untuk
sebesar besarnya bagi upaya membuka kesadaran dan daya kritis publik
sehingga partisipasi mereka dalam diskursus masalah dan isu publik
semakin terbuka dan semakin besar. Justru yang harus diantisipasi
adalah jangan sampai teknologi semakin berkembang, media semakin
massif, tetapi ruang publik semakin minimalis. Publik semata mata hanya
menjadi konsumen media dan bukan warga negara yang memiliki hak
dan kebebasan dalam menentukan isi media.
Akses informasi di Madura mulai terbuka seiring dengan kemajuan
dan akses internet. Media sosial akan memegang peran penting dalam
lalulintas informasi warga. Olehkarena itu kita harus bisa memastikan ke
depan bahwa publik melalui media sosial akan tetap mampu menjaga
ruang itu agar fungsional terhadap kepentingan public Madura.
Masyarakat harus terus didorong untuk memiliki kemampuan mandiri
didalam mengakses informasi dan memiliki daya kritis yang terus
menerus meningkat sehingga tidak mudah percaya akan informasi
yang didapatkannya.
Selain berharap kepada regulasi untuk perlindungan ruang publik itu,
kita juga tidak henti bergerak untuk memastikan bahwa hak hak dasar
informasi yang berbasis pada transparansi, keterbukaan dan partisipasi
terus ditingkatkan kualitasnya. Masyarakat dengan bekal pengetahuan
dan informasi harus berjejaring dengan berbagai elemen amsyarakat
yang lain sehingga isu isu yang dikelola Negara adalah isu isu yang
sesuai dengan kebutuhan public. Masyarakat harus memiliki kesadaran
152 Dari Aktivitas Online ke Aksi Nyata: Menguatkan Peradaban dan ...

bahwa dengan melibatkan diri dalam berbagai diskursus masalah public,


otomatis mereka akan bisa turut serta membuat policy kebaikan public
lebih berkualitas dan tepat sasaran.
Konvergensi dan juga digitalisasi media juga tidak lepas dari potensi
paradog, khususnya dalam homogenisasi isi. Hal ini bisa potensial
menghambat akses publik untuk memerolah informasi yang beragam
dan terpercaya (Nugroho, 2012: 117). Dalam pandangan Nugroho (2012)
kita harus bisa memastikan bahwa bahwa mekanisme untuk memastikan
pemenuhan hak bermedia warga itu harus dikawal. Pemerintah memiliki
mandat untuk untuk melindungi dan memastikan pemenuhan hak
bermedia bagi warga negara dan menjadi tugas kita bersama untuk
memastikan apakah pemerintah sudah melakukan dengan benar cara
dan mekanisme perlindungan itu. Dalam hal ini menyediakan kontens
yang mendidik, menyediakan ruang bagi warga negara untuk terlibat
dalam pertukaran wacana secara demokratis melalui perangakt regulasi
yang propublik.
Kita berkepentingan untuk memastikan bahwa regulasi media yang
demokratis yang bertumpu pada keberagaman isi dan keberagaman
kepemilikan selalu menjadi basis dalam pembuatan regulasi di
Indonesia. Pemberian ruang yang terlalu besar kepada industri untuk
menguasai media menjadikan peran publik semakin termarjinal. Akibatnya
industri leluasa menguasai ruang itu dan kita menjadi tidak berdaya atas
apa yang seharusnya menjadi hak dan milik kita. Dalam bahasa yang agak
provokatif seharusnya kita tidak lagi mengandalkan pemerintah untuk
berbuat baik dengan memeperjuangkan hak dasar bermedia itu, tetapi
kita harus turut memperjuangkan agar hak dan keterlibatan warga di
media semakin mendapat tempat dan ruang ekspresi.
Media baru ini harus kita dorong untuk menjadi ruang publik
tempat masyarakat berdialog secara sehat dan berdaulat. Pemerintah
harus terus dikuatkan untuk tidak terlalu percaya bahwa media ini akan
sehat dengan terus memberi keleluasaan kepada industri untuk menguasai
ruang publik kita secara massif. Pemeritah baik regulator maupun
pelaksana harus memiliki kekuatan untuk turut berbuat mengarahkan
jalan agar perkembangan media baru ini mampu menjadi sarana rekayasa
social yang fungsional bagi peradaban yang lebih elegan.
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 153

Untuk itu kita harus bisa memastikan kendala kendala dilevel


makro tersebut dapat diatasi sedini mungkin dengan meningkatkan daya
kritis publik. Kita harus turut memastikan bahwa perkembangan media
termasuk didalamnya industri tidak akan menghilangkan raison d’etre
media sebagai locus publicus, ranah publik yang memediasi kehidupan
warga negara sipil (Nugroho, 2012: 119). Kita harus bersatu padu untuk
membawa media baru ini selaras dengan kepentingan bersama yang
menguatkan nilai nilai kebaikan bersama yang selama ini menjadi pilar
dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian media
baru akan semakin mengukuhkan semangat kebangsaan kita bersama
sebagai warga yang saling menghormati, toleran, dan emphatic terhadap
berbagai potensi dan perbedaan sesame anak bangsa.
Masyarakat Madura melalui media social juga didorong untuk
tidak berhenti kepada pemenuhan diskursus saja, tetapi juga bis
amenindaklanjuti berbagai diskursus ruang public itu menjadi aksi nyata
untuk mewujudkan kebaikan bersama. Nalar positif yang hadir dalam
diskusi public tersebut harus terus dipelihara untuk selanjutkan
dijadikan sebagai basis didalam mengalang dukungan dan aksi lapangan
untuk mepercepat berbagai agenda kebaikan public tersebut tercapai
secara kongkrit sebesar-besarnya bagi kebaikan public.
Masyarakat Madura tidak boleh lengah hanya sekadar dalam
pemanfaatan media baru untuk hal hal yang tidak produktif, tetapi juga
mendapat pembelajaran untuk memakai media sebagai kegiatan yang
produktif. Dengan demikian penggunaan media dapat memberi dampak
langsung bagi perekonomian dan juga keswadayaan public. Sebagai
bagian dari masyarakat Indonesia, masyarakat Madura juga memiliki
kontribusi didalam mengawal perkembangan media agar fungsional bagi
pembangunan masyarakat.
Adapun agenda dan retropeksi kedepan yang membutuhkan
kawalan dan juga partisipasi kita bersama. Agenda ke depan yang patut
untuk dicermati antara lain 1) contents isi media 2) regulasi media 3)
infrastruktur media 4) daya kritis publik. Adapun agenda dilevel amsyarakat
bawah adalah pendidikan media literacy dan juga pendidikan moral
public, agar masyarakat memiliki filter dan pertahanan yang kuat
didalam terpaan informasi yang melimpah. Masyarakat bisa membedakan
154 Dari Aktivitas Online ke Aksi Nyata: Menguatkan Peradaban dan ...

mana informasi yang bertanggungjawab dan tidak bertanggungjawab


untuk selanjutnya menjadi sumber pengetahuan bagi penentuan langkah
dalam mengambil sikap dan aksi nyata di masyarakat.
Melalui aktivitas klik, masyarakat harus dipacu untuk aktif
mewujudukan dalam tataran praktis. Sukarno (2012) menyebut internet
sebagai media baru dapat meningkatkan kapasitas masyarakat (strong
civil society) menuju masyarakat yang beradab, tertib, dan memiliki
mekanisme resolusi konflik. Internet juga harus dimanfaatkan untuk
menjadi supporting system melalui pendekatan informasi bagi kelompok
yang termarjinalisasi. Internet memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk
menyediakan beragam informasi termasuk informasi yang diperlukan
oleh kalangan marginal sehingga mereka memiliki kapasitas untuk
menyampaikan pendapat dan aspirasinya.
Selama ini internet dikalangan masyarakat bawah masih terbatas
pada pemanafaatan kebutuhan rekreatif dan komsumtif belum dipakai
untuk kegiatan produktif dan substantive. Internet dapat membuka
ruang komunikasi dua arah lintas struktur. Internet juga menjadi ajang
mobilisasi social, dimana masyarakat akan memiliki posisi dan kedudukan
setara dan bukan lagi hubungan antarpatron klien atau atasan bawahan
atau relasi yang mengutamakan keterhubungan fisik. Melalui struktur
ini masyarakat pedesaan memiliki peluang dn kesempatan yang sama
dengan masyarakat perkotaan. Hal ini menurut Sukarno (2012) karena
internet mampu menciptakan ruang kesetaraan dan mendobrak hambatan
hambatan fisik sehingga penggunanya memiliki keleluasaan dalam
mengakses informasi dan mengembangakan jaringan.
Selanjutnya yang penting adalah mendorong aktivitas klik itu
menjadi aksi riil di masyarakat. Internet sebagai sarana diseminasi dan
curah gagasan harus ditindaklajuti menjadi gerakan sipil untuk memberi
dukungan kepada perjuangan isu isu public. Aksi kolektif masyarakat ini
akan menjadi pintu awal perjuangan agenda agenda public yang patut
diperjuangkan bersama. Syukur syukur aksi kolektif tersebut dapat
mengubah tatanan amsyarakat yang selama ini dianggap tidak adil dan
demokratis. Masyarakat Madura, khussunya pengguna media social
harus aktif untuk berpartisipasi dalam mendorong kebaikan ruang
public nyata di amsyarakat melalui gagasan gagasan yang ditemukan
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 155

dalam aktivitas online, sehingga penggunaan medioa online tersebut


member kemanfaatan nyata bagi masyarakat Madura.
Melalui internet warga masyarakat pedesaan akan dapat
meningkatkan kapasitas dan jaringannya. Kehadiran teknologi
dan media online diharapkan dapat membahwa perubahan baik dilevel
structural maupun cultural. Kehadiran media social di masyarakat
pedesaan diharapkan dapat meningkatkan ikatan batin dan relasi social
yang lebih guyup yang merupakan cirikhas masyarakat gotong royong.
Kita memiliki harapan baru media komunitas, media social dan
media publik bersatu padu menyuguhkan hal hal positif dan kontruktif
untuk kebaikan bersama agar publik tetap memiliki peran dominan
dalam kontestasi wacana, khususnya menyangkut isu isu publik yang
seharusnya diperjuangkan bersama. Kita semua berkepentingan agar
media online yang ada saat ini akan selalu menjadi ruang dan perantara
kepentingan publik dan membawa isu isu penting yang seharusnya
layak untuk dikerjakan oleh Negara dan amsyarakat secara bersama-
sama. Dengan cara ini media baru akan menjadi harapan baru untuk
memperbaiki ruang public dan kesejahteraan masyarakat.
Mari kita kawal, awasi dan perjuangkan agar internet, media social
akan membawa perubahan yang positif bagi kemaslahatan ruang public
kita. Mari kita perkuat keswadayaan public agar perkembangan media
baru ini dapat membawa kita menuju peradaban yang lebih baik dari
sekarang dan juga demi masa depan generasi yang akan datang. Semoga
meluasnya penggunaan internet, media sosial, di Madura akan membawa
dampak positif bagi masyarakat Madura.

REFERENSI
Nugroho, Yanuar, dkk (2012) Melampaui Aktivitas Click? Media Baru
dan Proses Politik dalam Indonesia Kontemporer, Friedrich Ebert
Stiftung Kantor Perwakilan Indonesia: Jakarta
Nugroho, Yanuar., dkk (2012) Memetakan Lansekap Industri media
Kontemporer di Indonesia (Edisi bahasa Indonesia). Laporan
Bermedai, Memberdayakan masyarakat: Memahami kebijakan
dan tata kelola media di Indonesia melalui Kacamata Hak Warga
Negara, Riset Kerja Sama Antara CIPG Dan HIVOS Kantor
Regional Asia Tenggara, Jakarta: CIPG dan HIVOS
156 Dari Aktivitas Online ke Aksi Nyata: Menguatkan Peradaban dan ...

Sukarno, Adam W. (2012), Internet dan Peningkatan Kapasitas Masyarakat


Pedesaan dalam Marta, Wisnu Adiputra (2012), Media Baru: Studi
teoretis dan Telaah dari perspektif Politik dan Sosiokultural,
Yogyakarta: Fisipol UGM
12
Hati-Hati Overdosis &
Krisis Informasi

REFLEKSI UNTUK MASYARAKAT MADURA

I
nformasi di era digital kini tak lagi menjadi barang
mahal yang sulit dicari. Informasi dapat dengan mudah
diakses melalui beragam sumber kapan saja, oleh siapa
saja, dimana saja dengan mudah dan biaya murah. Bahkan
melalui platform media online informasi cenderung
melimpah dan meluber dimana mana. Apalagi setiap orang
kini bisa menjadi konsumen sekaligus menjadi produsen
informasi (prosumer).
Di era ini rata-rata masyarakat di negara berkembang
bisa mengonsumsi 700 hingga 1200 informasi setiap hari.
Jumlah dan arus informasi itu relatif besar jika dicermati
secara serius terkait kandungan dan dampak yang
ditimbulkan baik positif maupun negatif. Tidak jarang
justru dampak informasi yang negatif lebih dominan dan
hal ini bisa membahayakan perkembangan dan peradaban
masyarakat sendiri.

157
158 Hati-Hati Overdosis & Krisis Informasi

Informasi yang meluber dan perubahan berlangsung cepat kadang


tidak mampu kita imbangi dengan kemampuan literasi informasi sehingga
menimbulkan kekacauan bagi komunikasi di ruang publik. Kita sering
menumpahkan informasi bernada kontroversi, penuh amarah, opini
negatif tanpa mau menenggang perasaan orang lain. Sebagai masyarakat
informasi kita kerapkali melupakan esensi dasar dalam berkomunikasi.
Kita kerap tidak memiliki kesadaran, pengendalian diri, kedewasaan,
khususnya dalam menengang orang lain dan menimbang-nimbang serta
memikirkan dampak lanjutan atas informasi yang kita buat dan dapatkan.
Kita juga sering absen didalam melakukan validasi (croshcheck) mengenai
kebenaran dan validitas informasi yang kita terima. Akibatnya, kadang
secara tidak sadar kita turut menjadi pasukan menyebar informasi palsu
dan bohong dengan memberi like, follow, and share.
Situasi ini bisa berkembang menjadi problem esensial yakni munculnya
banalitas informasi dan melahirkan adanya krisis komunikasi. Banyak
orang berkomunikasi, menurut Agus Sudibyo (2016), tetapi sebenarnya
cenderung antikomunikasi. Agus Sudibyo (2016) menambahkan ditengah
melubernya informasi melalui media sosial, sering kita saksikan orang
berkomunikasi lebih senang mematik konflik, dan tidak berusaha
menciptakan kesepahaman, dan cenderung mengabaikan hal hal yang
fundamental dalam berkomunikasi. Hal hal fundamental itu adalah
penghormatan kepada orang lain, empathi kepada lawan bicara, dan
antisipasi atas dampak ujaran dan pernyataan.
Masih banyak diantara kita yang tidak memiliki kemampuan
pengendalian diri dan kedewasaan dalam berkomunikasi di ruang publik.
Tanggungjawab menjadi sesuatu yang dilupakan dan hanya sekadar
merayakan euforia kebebasan. Kita mulai sering kehilangan kemampuan
untuk menenggang orang lain dan kemampuan menjaga kepatutan dan
kepantasan ruang publik. Kita kehilangan cara merespek orang lain
hingga ruang publik kita sesak oleh informasi bohong (hoax) dan berita
palsu (fakenews). Bahkan kita kerap afirmatif terhadap berbagai bentuk
pelanggaran informasi negatif di ruang publik hingga menjadi kebiasaan
yang terjadi berulang-ulang.
Memasuki era luberan informasi tak terbatas ini, pelaku komunikasi
juga sering menjadi one dimension man. Mereka hanya sekadar menjadi
dan mengikuti logika teknologi tanpa memiliki kemampuan atas kendali
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 159

teknologi itu untuk memanusiakan dirinya. Mereka dikendalikan dan


menjadi asing karena tidak berinterasi dengan lingkungannya dan
kadang anehnya merasa dekat sesuatu yang jauh karena ia akrabi melalui
teknologi informasi. Akibatnya, kini banyak pemakai teknologi yang
semakin ahistoris dan juga tidak terkendali yang kehilangan akal sehat
untuk menempatkan teknologi sebagai alat dan penjunjang dan bukan
tujuan komunikasi itu sendiri. Bahkan kini bisa simak munculnya buzzer
negatif dan industri ujaran kebencian yang menjadikan informasi hitam
sebagai komoditas yang diperdagangkan.

KEMBALI KE ESENSI KOMUNIKASI


Dalam situasi dimana informasi semakin banal dan overload saat
ini, maka penting bagi kita untuk menajamkan kemampuan literasi
informasi dengan memahami esensi dasar komunikasi sebaga basis
dalam memroduksi dan mengkonsumsi informasi. Sebagai produsen dan
konsumen informasi yang bertanggungjawab maka penting bagi kita
memiliki kemampuan untuk empatik kepada orang lain, menenggang
orang lain, menghormati orang lain dan juga mengantisipasi dampai
informasi yang kita buat dan peroleh bagi kebaikan bersama. Mari kita
kuatkan solidaritas antarwarga dan memperbaiki habluminnaas dan
berhenti merusak ruang publik dengan melakukan malapraktik produksi
dan konsumsi informasi bohong dan palsu.
Mari kita dorong tumbuhnya informasi yang positif, berkualitas dan
mencerahkan. Informasi yang kita konsumsi adalah informasi yang terjaga
kualitasnya, bermutu mendalam dan substansial yang bisa meningkatkan
kualitas peradaban kita.
Mari kita mulai dari diri sendiri dengan mampu menahan diri dan
tidak berkehendak jelek terhadap liyan. Mari kita miliki tanggungjawab
dan pengendalian diri atas apa yang kita sampaikan di ruang publik untuk
mencapai kesepahaman dan semangat berbagi kebaikan.

KOMUNIKASI ISLAMI
Masyarakat Madura dikenal sebagai masyarakat relegius dan memiliki
kultur islam yang kental dan kuat. Tradisi keislaman menjadi roh dalam
160 Hati-Hati Overdosis & Krisis Informasi

gerak dinamika masyarakat di wilayah ini. Ajaran agama menjadi sumber


dan rujukan dalam banyak hal untuk kehidupan mereka. Komunikasi islami
yang berintikan menjadi rahmad bagi semua alam menjadikan masyarakat
dan budaya di wilayah ini harmonis dan damai. Melalui pengembangan
komunikasi dengan basis nilai-nilai islam rahmatan lilalamin masyarakat
Madura bisa menyelesaikan segala bentuk perbedaan dan konflik melalui
jalan yang elegan. Ditopang oleh patron yang kuat dari tokoh agama
berbagai dinamika perubahan dapat diikuti dengan tetap berlandaskan
tradisi dan nilai-nilai islami.
Salah satu hal yang mencolok dari nilai-nilai itu adalah pengembangan
komunikasi sebagai bagian dari ibadah. Hal ini sering dijumpai dalam
tradisi dan aktivitas keseharian amsyarakat yang menjadikan masjid dan
surau sebagai sentral berbagai benteng pertahanan budaya menghadapi
berbagai dinamika perubahan lingkungan. Melalui kekuatan patron
para tokoh alim dan kiai masyarakat memeroleh panduan bagaimana
menyikapi berbagai perubahan tersebut menjadi modal masyarakat
menghadapi situasi kekinian. Nilai-nilai relegius dan juga semangat motif
ibadah membuat semangat kegotongroyongan, empati, tasamuh dan
peduli senantiasa tinggi hidup dan berkembang dalam tradisi masyarakat
Madura. Jika modal sosial ini bisa dipelihara dengan baik maka masyarakat
madura akan tetap bisa adaptif tehadap berbagai perubahan lingkungan
yang kadang kadang berubah drastis dan berlangsung cepat.
Terkait dengan melubernya informasi tanpa dibarengi dengan
kecerdasan akan melahirkan kekacauan dan pada akhirnya masyarakat
yang akan menanggung kerugian paling besar. Literasi media digital
menjadi urgen dimiliki oleh setiap kita sebagai user informasi yang
semakin banal dan overload akhir-akhir ini.
13
Mentradisikan
dan Memperkuat
Komunikasi Quantum
Bencana dalam
Masyarakat Religius

B
encana alam dan non alam akan senantiasa menjadi
tantangan khas masyarakat modern. Pemulihan
pascabencana juga menjadi hal menarik. Terkait
dengan hal itu penting untuk dilengkapi terkait dengan
dua hal. Pertama, bagaimana mewujudkan partisipasi
masyarakat rawan bencana untuk me-recovery diri dan
lingkungannya. Kedua, membangun sistem masyarakat
yang responsif terhadap bencana berbasis kearifan lokal.
Untuk itu, perlu ditradisikan aksi komunikasi quantum
bagi masyarakat dalam bencana.
Aksi komunikasi bencana dapat menstrukturasi
masyarakat untuk mengembangkan kepekaan, keswadayaan
dan kesiagaan bencana secara berkelanjutan dengan
kelimpahan energi. Sebagai sebuah proses yang panjang,
modal ini akan memiliki dampak yang dahsyat dalam
memelihara optimisme masyarakat dalam merehabilitasi

161
162 Mentradisikan dan Memperkuat Komunikasi Quantum Bencana dalam ...

diri dan lingkungannya. Jujur, hingga kini masyarakat masih menjadi


objek an sich, dan belum diretas menjadi subjek yang memiliki kesadaran
(awareness) dan kesigapan (alertness) untuk menghadapi bencana lanjutan.
Negara juga kerap kehabisan energi pada saat kondisi tanggap darurat dan
tidak cukup energi mendampingi masyarakat pada tahap pascabencana.
Tak pelak masyarakat kerap merasa sendiri (loneliness), sedih sendiri
(sadness), dan hampa (emptiness) dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi.
Selama ini, negara hanya sekadar doing dan belum mampu beranjak
menjadi being dalam konteks penanggulangan bencana.
Hal ini juga ditambah bencana psikis yang dialami warga akibat
perangai aparatus negara yang tidak solider dan empatik. Rentetan
penangganan bencana ini mampu menunjukkan wajah asli aparatus negara
yang sesungguhnya. Bencana yang semestinya bisa menjadi medium
untuk mengait-eratkan soliditas dan solidaritas sebagai bangsa, justru
kian memperlebar jarak antara pemimpin dan warganya. Kala warga
kesulitan dan menghadapi kesengsaraan akibat bencana, para aparatus
negara sibuk bepergian ke luar negeri. Komunikasi bathin menjadi kian
lebar, luka menjadi kian mengangga dan butuh waktu yang lama untuk
disembuhkan. Bencana, yang bisa membawa hikmah untuk memersatukan
anak negeri untuk kembali mengusung ‘berat sama dijinjing, ringan sama
dipikul’, akhirnya hanya menjadi medium memperlebar kebencian warga
dengan para pemimpinnya. Kita kehilangan pola komunikasi bathin yang
hakiki dan kita telah kehilangan komunikasi energi bathiniah.
Padahal, jika cermat, bencana ini adalah momentum tepat untuk
bisa kembali memperbaiki komunikasi antarkeduanya. Pemimpin bisa
memasuki dimensi komunikasi bathin yang hakiki dengan warganya
secara elegan dan humanis. Selama ini, warga telah tercerai berai karena
perbedaan partai, suku, ras, golongan, dan agama. Kini, melalui bencana
sejatinya kita tengah dipersatukan oleh nilai kemanusiaan. Namun, semua
hanya fatamorgana, para pemimpin telah kehilangan kepekaan. Lalu,
warga tidak sedikit yang menyontoh para pemimpinnya. Perlakuan para
pemimpin dan warga kepada alam juga dalam posisi eksploitatif dan saling
merugikan. Pendek kata semua pihak berlomba saling mengeksploitasi.
Jurgen Habermas (1989), tokoh aliran kritis pernah menyebut kita
kehilangan kepekaan intersubjectivity communication. Kita semua tidak
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 163

mampu untuk saling memahami. Padahal bencana ini dapat dipakai


sebagai ruang untuk memahami lebih dalam dari hati ke hati warga dan
pemimpin, sekaligus manusia dan alamnya. Pada dasarnya alam adalah
subjek yang bisa mengirim pesan yang dapat ditangkap baik oleh teknologi
maupun bathiniah (spiritual). Sebagai sesama subjek, sejatinya bisa saling
memahami, bisa berdialog, dan mampu mentransaksikan keinginan dan
kepentingannya sehingga kedua belah pihak mendapatkan keuntungan.
Mengingat seluruh isi alam ini sebenarnya merupakan satu kesatuan
energi. Masing-masing pihak tidak boleh saling mengeksploitasi. Justru
mereka harus saling memberi. Jika salah satu pihak tidak bisa menangkap
keinginan dan kepentingan, maka hampir pasti jawabannya adalah celaka.
Disinilah gagasan Habermas tersebut penting untuk kembali dipraktikkan
dalam konteks kesigapan bencana. Sebagai satu kesatuan, semua pada
dasarnya dalam posisi equilibrium dan harmoni. Ini adalah jalan awal
untuk bisa keluar dari bencana yang terus mendera negeri ini.
Jika hal ini sudah bisa dilakukan, saatnya ditingkatkan lagi menjadi
komunikasi kuantum. Bencana sedahsyat apa pun akan membawa hikmah
besar pada negeri ini. Yang ada, kita tidak akan saling menyalahkan dan
terus memperbaiki komunikasi antarsubjek. Warga dan pemimpinnya
akan memiliki ketahanan menghadapi bencana karena sudah mampu
menangkap sinyal dan bahasa alam dalam bentuk deteksi dini.

KOMUNIKASI QUANTUM
Kemampuan untuk saling memahami warga, negara, alam akan
membawa pada percepatan komunikasi yang dahsyat yang bisa membawa
energi positif berlipat-lipat bagi negeri ini untuk bangkit kembali.
Kolaborasi komunikasi energi paling dalam akan membawa pada level
memahami (being) dan bukan sekadar melakukan (doing). Komunikasi
kuantum dibangun atas dasar kesadaran hakiki (hati bicara). Pola ini
bisa mendialogkan dan mendamaikan teknologi dan spiritualisme.
Kewaspadaan yang hakiki bisa dicapai mengingat energi komunikasi ini
akan membawa kepekaan dan cinta warga, negara kepada alam. Bahasa
energi yang bisa menghantarkan pada keihlasan, ketabahan menjauhkan
kepongahan dan kesombongan.
164 Mentradisikan dan Memperkuat Komunikasi Quantum Bencana dalam ...

Barangkali, penting bagi kita untuk belajar dari pesan para pendaki
gunung yakni jangan meninggalkan sesuatu di alam kecuali jejak tapak
kaki, jangan mengambil sesuatu kecuali gambar keindahan, dan jangan
mengumpat kecuali bertasbih atas kebesarannya. Komunikasi kuantum ini
tidak hanya bisa membawa kita melakukan interpretatif secara rasional,
tetapi juga interpretatif spiritual. Ini adalah jalan agar warga, negara, dan
alam mampu membangun hubungan simbiosis mutualism.
Masyarakat akan memeroleh pelajaran dari kebencian,
ketidakpedulian, keacuhan, menjadi imaginasi yang indah tentang
kesatuan dalam perbedaan (unity in diversity). Selanjutnya warga akan
kembali merajut mimpi indah tentang Indonesia. Percayalah, bencana
ini akan menghasilkan solidarity, ketulusan, empati, dan simpati yang
sejatinya jika kita mampu menerapkan komunikasi kuantum.
Marilah kita kembangkan komunikasi kuantum dan memilih jalan
damai dengan alam. Kita kembangkan komunikasi hakiki baik melalui
jalan rasional maupun spiritual yang tidak saling menegasikan apalagi
mempertentangkannya. Akhirnya, mari kita songsong bencana sebagai
wahana untuk memeroleh solidaritas, emphati, dan soliditas, persatuan
bathin warga dan pemimpinya, dan jalan adiluhung untuk bersahabat
dengan alam. ***
14
Tradisi dan
Budaya Lokal Madura
SEBUAH RETROPEKSI DAN PROMOSI VITRUE
ADILUHUNG MADURA

PERTUMBUHAN ORANG MADURA


Menurut Catatan Wiyata (2012) dengan mendasarkan
kepada data statistik sensus penduduk tahun 2000 penduduk
Indonesia etnis Madura di seluruh Indonesia sebanyak
6.771.727 jiwa atau 3,02% dari total penduduk Indonesia
(201.092.238jiwa). Dari jumlah tersebut yang tinggal di
pulau Madura sebanyak 3.230.300 jiwa. Sebagian besar
berada di Jawa timur yakni hampir 80%. Dari data ini juga
terlihat bahwa orang Madura juga banyak yang keluar dari
Madura. Mereka yang merantau ke luar Madura hampir
52,29% yang tersebar di Jawa Timur wilayah tapal kuda
(86,14%) dan selebihnya tersebar di provinsi lain (13,86%).
Pertumbuhan etnis Madura selama 10 tahun
terakhir jumah itu meningkat pesat. Sekarang (2020,
pen) etnis Madura menuju jumlah 12juta. Ini merupakan
perkembangan yang menarik setelah angka statistik

165
166 Tradisi dan Budaya Lokal Madura ...

sebelumnya etnis Madura hanya tumbuh sebanyak 0,65%. Paling tidak


sekarang kurang lebih terdapat 4juta masy Madura yang ada di pulau
Madura ditambah dengan mereka yang tinggal diluar Madura sekitar 8
juta sehingga suku Madura saat ini kurang lebih menuju jumlah 12juta
di Indonesia.
Jumlah tersebut sebenarnya cukup strategis baik dalam konteks
sosial, budaya, maupun politik. Jumlah tersebut bisa menjadi modal sosial
strategis yang bisa mengantarkan etnis Madura menjadi kekuatan yang
diperhitungkan dalam kancah nasional.

PANDANGAN HIDUP DAN JATI DIRI


Pandangan hidup orang Madura menurut Wiyata (2013) tidak bisa
dilepaskan dari nilai nilai agama islam yang dianut. Fakta sosiologis
memang memperlihatkan mayoritas dan sebagian besar masyarakat
Madura adalah penganut islam yang taat. Ketaatan ini menjadi
penjatidirian yang penting bagi orang Madura. Hal ini terwujud tidak
hanya dalam budaya fisik tetapi juga perilaku. Pakaian orang Madura
seperti samper (kain panjang, kebaya, burgo (kerudung) bagi perempuan,
sarong (sarung) dan songko’ (peci atau kopiah) bagi kaum laki laki sudah
dikenal sejak lama dan menjadi lambang keislaman orang Madura. Hal
ini menurut Wiyata (2013) menjadikan pandangan hidup orang Madura
menuntut untuk menjalani kehidupan demi pencapaian kebahagiaan
dunia dan akhirat. Orang madura tambah Wiyata (2013) sangat sadar
bahwa hidup itu tidak hanya berlangsung di dunia sekarang, tetapi juga
diteruskan kelak di akhirat. Itu artinya orang Madura sangat yakin bahwa
amal mereka di dunia akan didjadikan sebagai bekal buat kehidupan kelak
mereka di akhirat. Ibadah agama dilaksanakan dengan penuh ketekunan
dan keaatan karena dilandasi kesadaran dan keyakinan bahwa ngajhi
bandhana akherat (mengaji adalah bekal kehdupan di akherat).
Wiyata (2013) juga mengungkapkan bahwa hidup didunia bagi orang
madura tidak ada artinya jika orang Madura dipermalukan atau harus
menanggung malu (malo) terutama yang menyangkut harga diri. Hal ini
sesuai pepatah ango’an apoteya tolang etembang poteya mata (lebih baik mati
berkelang tanah daripada harus hidup menanggung malu). Oleh karena
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 167

itu menurut Wiyata (2013) orang Madura pada dasarnya tidak akan
mempermalukan orang lain selama mereka juga diperlakukan dengan
baik (ajjha nobian oreng mon aba’na ta’ enda’etobi’)
Pencarian jati diri masyarakat itu sesungguhnya tidak mudah butuh
waktu lama dan juga proses pendalaman yang tidak instant memahami
konteks dan kontennya. Kita harus bisa menelurus sejarah panjang dan
konteks sebelum mengenal bentuk kontens yang nampak dalam budaya
dan materi seseorang, khususnya manusia Madura.

STEREOTYPE DAN PRASANGKA


Tidak dimungkiri sejauh ini pandangan orang luar Madura terhadap
etnis ini belum banyak yang positif. Kesan orang Madura yang keras
masih mendominasi persepsi orang luar Madura terhadap etnis ini.
Apalagi hal ini juga dilanggengkan melalui medium budaya baik folkloor
maupun candaan yang berlangsung terus menerus terkait dengan sifat
negatif etnis Madura.
Bisa jadi ini berlangsung turun temurun dan tidak ada yang berusaha
meluruskan hingga kemudian menjadi steteotype. Benarkah orang Madura
keras dan temperamen? Mungkin hal ini yang selalu mengemuka dalam
setiap pembahasan mengenai orang madura. Selama ini kesan itu yang
muncul dari luar. Namun jika didalami sebenarnya masyarakat madura
juga memiliki perangai sikap dan perialaku sopan santu menghargai orang
lain. Bahkan kualitas persaudaraannya sangat tinggi. Jadi sebenarya yang
lebih tepat orang Madura itu tegas bukan keras. Tegas dalam pengertian
bahwa orang Madura memegang teguh kuat prinsip-prinsip yang
diyakini sehingga tdiak mudah terombang ambing oleh kondisi dan situasi
sekelilingnya. Hal ini juga terlihat dari pemilihan warna yang selalu tegas
dan jarang memilih warna yang lembut. Hal ini juga terlihat dari rasa
terhadap masakan yang juga tegas yakni asin, manis, dan pedas. Hal ini
yang membuat tingkat kepatuhan orang Madura relatif tinggi terhadap
aturan dan norma-norma. Orang Madura juga dikenal lugas dan tidak
basa basi. Petuah madura yang luhur seperti bekerja haruslah dengan cara
cara yang benar dan tidak menyimpang dari aturan dan norma).
168 Tradisi dan Budaya Lokal Madura ...

Orang Madura memang lugas tidak basa basi cenderung ekspresif


dan spontan. Pergeseran terjadi tegas kadang bisa menjadi keras jika
ada hal yang dirasa melecehakan harga diri sehingga merasa tidak ada
gunanya (tada’ ajhina). Etos kerja orang Madura termasuk tinggi karena
menganggap kerja sebagai bagian dari ibadah sesuai dengan ajaran
agama islam yang dianutnya. Kerja dan ikhtiar yang diarahkan kepada
perolehan ridho Allah. Etos kerja dibarengi dengan keuletan yang juga
tinggi. Orang madura juga rajin dan dikenal efisien terhadap pengelolaan
waktu. Orang Madura juga meyakini hasil tidak akan lepas dari iktiarnya.
Orang Madura dikenal memiliki sensitifitas tinggi terkait dengan malu
dan harga diri. Terhina (Malo) berkaitan dengan pelecehan harga diri oleh
orang lain dan tidak tahu malu (todus) melanggar etika diri sendiri.
Rifai (2007: 479) juga mengatakan bahwa manusia Madura ditempa
oleh lingkungan alam yang kurang bersahabat sehingga membentuk
pembawaan, watak, sikap, perilku dan tindak tanduk berikut etos kerja,
penampilan, pandangan dunai, dan perjuangan hdup serta keseluruhan
kepribadian khas kemaduraan. Problem kebodohan dan keterbelakangan
menurut Rifai perlu membekali diri dengan modal pendidikan agar bis
maju dan bersaing dalam kancah pembangunan.

PERSPEKTIF MADURA
Melihat keyakinan masyarakat Madura yang selalu menghubungkan
aktivitas duniawi dengan aktivitas ibadah ukhrowi tersebut menunjukkan
adanya keselarasan dan harmonisasi kehidupan orang Madura. Orang
Madura sebagai penganut islam tradisional yang taat senantiasa patuh
dan teguh terhadap adat istiadat masyarakat Madura yang sudah turun
temurun. Respek orang Madura terjadap orang tua, guru dan juga
pemimpin menjadikan orang Madura memiliki bekal kesetiaan dan juga
penghormatan terhadap para tetua dan yang memiliki jasa terhadap
kehidupan mereka. Sejauh ini berbagai bentuk konflik yang muncul bisa
dimediasi dan diselesaikan melalui pendekatan adat.
Prinsip Abantal Omba’, Asapo’, Angen. patotor falsafah Madura ini
sangat kental bagi masysrakat Madura untuk menunujukkan karakteristik
Masyasrakat Madura yang gigih, ulet, tidak pantang menyerah meskipun
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 169

juga dikenal dengan stereotyp negative. Karakteristik masyarakat Madura


ini dipengaruhi juga oleh letak geogafis pulau Madura yang dikelilingi
lautan. Rifai ( 2007) menulis dengan rinci bagaimana manusia madura
secara komprehensif mulai dari pembawaan, etos kerja, penampilan, dan
pandangan hidupnya orang madura termasuk sisi sosial, ekonomi, dan
politiknya yang selama ini dikenal sebagai pemberani, pekerja ulet, dan
tentu gemar merantau. Kebiasaan, stereotipe, dan karakteristik orang
madura yang ditulis para ahli sebagai informasi mengenai orang Madura
dan memperbaiki citra orang Madura yang sleama ini masih distigma
negatif.
Kriyantono (2019) melihat bahwa perspektif timur lebih menekankan
pada keselarasan dan harmonisasi. Masyarakat timur lebih melihat hasil
komunikasi sebagai sesuatu yang tidak direncanakan dan merupakan
konsekuensi alami dari suatu peristiwa; Menekankan pada harmonisasi
dengan lingkungan/situasi; Dunia dianggap sebagai sebuah unit tunggal,
yang saling terkoneksi dan saling tergantung sebagai keseluruhan serta
cenderung memfokuskan pada keseluruhan dan kesatuan; Waktu bersifat
tidak terbatas (infinite time); Lambang-lambang verbal, khususnya
ujaran, tidak cukup mendapat perhatian dan dipandang secara skeptis; dan
Hubungan bersifat lebih rumit, karena melibatkan posisi sosial tentang
peran, status dan kekuasaan.
Sungguh banyak kearifan lokal yang bisa diambil dalam masyarakat
Madura yang tumbuh dan berkembang menjadi kebiasaan dan tradisi.
Sebagai masyaakat penanut islam tradisional yang kental dan juga budaya
timur yang khas masyarakat Madura memilii tradisi dan makna yang bisa
menjadi benteng pertahanan atas berbagai pengaruh bidaya mutakhir.

TRADISI SELAMATAN DAN MAKNANYA BAGI


ORANG MADURA
Tradisi yang berlaku dalam masyarakat Madura sebenarnya cukup
banyak, beragam, dan lengkap mulai dari kelahiran hingga kematian.
Tradisi tradisi tersebut mencerminkan ketaatan orang Madura terhadap
agama dan tradisi yang dianutnya. Tradisi kelahiran dimulai dari
tradisi bayi ada namanya Copla’ bujel Slamedan 40 hari. Ritual ini selain
170 Tradisi dan Budaya Lokal Madura ...

berisi pengajian juga ada tradisi menghantar makanan untuk berbagi


kebahagiaan atas nikmat yang diberikan oleh Allah. Adapun tujuan dari
selamatan ini adalah agar anaknya selamat, sehat, & bermanfaat bagi
agama dan masyarakat.
Tradisi selamatan mendominasi ekspresi budaya masyarakat Madura
sebagai bentuk rasa terima kasih dan berbagi dalam semua proses tahapan
kehidupan mulai dari bayi hingga meninggal dunia. Tradisi selamatan
berikutnya adalah selamatan 7 bulan dan tradisi Toron Tana. Belajar jalan
biasanya slametan ini dilakukan bagi anak pertama yang didalamnya ada
pernak pernik ornamen yg punya simbol. Selametan belajar jalan ini agar
anak anak dapat berjalan mengarungi kehidupan dengan memilih sesuai
cita-cita masing dengan didampingi ortunya. Setelah tradisi pemberian
nama, berikutnya ada tradisi menghitankan anak laki-laki sebagai sunnah
untuk memenuhi kewajiban agama. Untuk tradisi menuju dewasa dimulai
dengan abakalan (tunangan). Hal ini memang tidak wajib dan menjadi
pendahulu pelaksanaan nikah (akabin). Tujuan dari tradisi ini memasuki
dunia baru akan mandiri (hidup berpasangan) & lepas dari orang tua.
Selanjutnya menuju tahapan toa toa omorra, toa pamekkeranna dan toa...
tengkana. Untuk tradisi yang slametan meninggal ada selamatan mulai
dari 1hari hingga 7 hari yang dikenal dengan settong are, duwa’ are, tello’
are, empa’ are, lema’ are, ennem are, to’ petto’ are. Dilanjut berikutnya dengan
tahlilan Pa’ polo are. Tahlilan satos are. Tahlilan setaon (1 thn) dan Tahlilan
nyebu. (1000 hr/3 thn).
Adapun nilai-nilai yang dipegang orang Madura 1) Andhap ashor
(sopan santun), 2) Toro’ oca’ da’ reng seppona, 3) Abakte ban ngormadi
guru, kyai, se lebbi toa, 4) Ajaga silaturahim, 5) Abantal omba’ asapo’ angen,
6) Lebbi becce’ potè tolang ètembang potè mata. (Lebih baik mati daripada
malu harga diri terinjak).

RETROPEKSI
Budaya dan tradisi yang berkembang tentu akan berhadapan dengan
pengaruh lingkungan luar yang kuat. Pengaruh tersebut bisa positif dan
juga bisa negatif. Jika positif hal itu bisa saling menguatkan dan akan
terjadi kolaborasi dan adaptasi yang saling melengkapi. Namun, jika
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 171

negatif tentu hal itu bisa saling meniadakan. Nilai nilai luhur yang ada
dalam tradisi Masyarakat madura sebenarnya adalah bentuk adaptasi
masyarakat terhadap lingkungan dan kepercayaan kepada tuhan YME.
Seiring kemajuan sarana komunikasi dan transportasi juga
memengaruhi budaya Madura dan manusia Madura juga terus bergerak
mengikuti dinamika. Orang Madura sejak awal dilukiskan sebagai orang
yang berwatak kasar, arogan, ekstrover, keras bicara dan blak-blakan
menyuarakan pendapatanya serta tidak tahu sopan santun. Orang Madura
juga banyak di sorot dari sisi negative seperti kecepatan tersinggung,
penuh curiga, pemarah, berdarah panas, beringas dan suka berkelahi.
(Rifai, 2007: 456). Pelukisan stereotype itu yang dominan mengkahar ke
masyarakat luas. Sementara gambarang lain seperti orang pekerja keras,
toleran, ulet, berani, kepetuangan, kesetiaan, kesungguhan, kerajianan,
dan kehematan serta ceria humoris masih relative jarang terkabarkan.
Jarang juga terekspos berbagai prestasi orang Madura sehingga yang
selalu tergambar adalah orang Madura yang inferior, terbelakang dan
keras.
Bagaimana menjaga dan menguatkan budaya tersebut? Hal inilah
yang menjadi tantangan sekaligus peluang bagi masyarakat Madura
khususnya didalam menghadapi tekanan budaya luar dan mutakhir yang
amat terbuka saat ini. Masyarakat Madura harus kian terliterasi secara
budaya sehingga bisa menimbang dan memfilter bagaimana pengaruh
budaya luar yang masuk ke Madura dan menjadikan budaya budaya itu
menjadi penguat atas bangunan tradisi asli masyarakat sebagaimana
sudah bisa dipraktikkan oleh masyarakat bali yang kuat kendati mendapat
tekanan budaya dari luar. Harmonisasi menjadi modernisasi berbalut
budaya lokal terjadi amat harmonis dan selaras dilakukan di Bali dan
beberapa kawasan yang lain yang menunjukkan bahwa budaya lokal
tidak harus di gusur dan dihilangkan, tetapi justru menjadi penguat dan
pemberi ciri pembeda.
Kita berhadap ke depan budaya budaya adiluhung ini bisa lestari
melalui jalan budaya alami tanpa rekayasa dan juga paksaan dan bisa
menjawab berbagai hal termasuk liberalisasi budaya dan ekonomi yang
menjadi sumber pengerus utama budaya lokal selama ini. Budaya itu bisa
172 Tradisi dan Budaya Lokal Madura ...

bertahan dan dilestarikan dari generasi ke generasi sebagai sebuah modal


sosial.
Tradisi sejatinya bisa menjadi modal sosial bagi masyarakat untuk
menguatkan peran sosial. Namun tradisi masyarakat timur tidak semata
mata adalah komunikasi horizontal tetapi juga komunikasi transendental
ada nuansa komunikasi batin dengan lingkungan dan Tuhan YME. Hal
itu yang membuat ritual masyarakat timur selalu memiliki makna khusus
dan tambahan yang unik sekaligus ada unsur transendentalnya. Hal ini
pula yang membat budaya dan tradisi itu kadang bisa berlaku puluhan
bahkan ratusan tahun bisa bertahan dari berbagai pengaruh lingkungan.
Budaya dan tradisi madura dalam pandangan saya akan senantiasa
lestari karena ia melekat tidak anya dalam aspek sosial budaya, tetapi
juga melekat dalam dan sebagai tradisi agama islam yang mayoritas
dipeluk warga. Melalui tradisi untuk menguatkan jamiiyaah dan ritual
ibadah islam budaya budaya itu insyaallah akan bisa terjaga dengan baik.
Wallahualam bishawab.
15
Epilog:
Perspektif Lokal
Menjadi yang Utama,
Bukan Sekadar
Pelengkap

M
encermati dan memahami rangkaian tulisan
yang dipaparkan penulis didepan bisa menjadi
mozaik budaya yang tengah berkembang
dalam masyarakat Madura saat ini. Ada banyak hal nilai
(virtue) yang bisa di jadikan sebagai jalan pertahanan akan
suatu peradaban dan jika hal itu bisa dipelihara dan terus
dikembangkan akan menjadi kekuatan budaya masyarakat
lokal. Berbagai nilai nilai itu menjadi kearifan lokal yang
bisa dijadikan modal budaya sekaligus best practice
dalam menghadapi perubahan lingkungan. Sungguh
mengembirakan dan seolah ada secercah cerah untuk bisa
mengembalikan khittah pengembangan ilmu pengetahuan
berdiri diatas kemandirian dan potensi lokal. Hal ini
penting untuk menumbuhkan kembali kepercayaan diri dan
mengikis mental menjadi follower dan munculnya harapan

173
174 Epilog: Perspektif Lokal Menjadi Yang Utama, Bukan Sekadar Pelengkap

dan keyakinan untuk berusaha serius menjadi creator dan innovator dalam
pengembangan ilmu pengetahuan.
Ikhtiar ini juga bisa dibaca sebagai upaya serius untuk mengenalkan
potret dan potensi local yang kemudian bisa memunculkan konsep
lokal dan kearifan Lokal dalam diskursus ilmu pengetahuan social yang
diharapkan dapat dijadikan sebagai sebagai perspektif utama untuk
mengurangi dominasi perspektif barat. Mengingat selama ini perspektif
local hanya menjadi pelengkap dan banyak ditempatkan sebagai perspektif
alternative an sich.
Analisis yang mendasarkan kepada data local ternyata bisa membuka
wacana bahwa ilmu pengetahuan local kita sesungguhnya teramat kaya dan
belum banyak yang dieksplorasi lebih jauh. Tersedia cukup banyak tema
tema dan realitas social yang bisa diekplore menjadi rangkaian mozaik
ilmu pengetahuan yang utuh yang bisa mengambarkan fenomena yang
sesungguhnya terjadi di masyarakat kita. Tak heran jika banyak ilmuwan
mengatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu laboratorium social
yang lengkap dan beragam.
Mempromosikan konsep local dalam khazanah pengetahuan saat ini
tentu bukan pekerjaan yang mudah. Banyak hal berkelindan baik secara
social politik, budaya maupun kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dibutuhkan tekad dan kerjasama semua pihak, khususnya mulai dari
tingkat local untuk terintegrasi dan bertkesinambungan mempromosikan
kajian kajian dan juga dalam distribusi publikasi ilmiah yang bisa dibaca
oleh banyak kalangan sehingga bisa mendesakkan konsep itu dalam
diskursus mondial. Diharapkan dengan upaya terpadu maka akan
diperoleh banggunan yang lebih lengkap dan komprehensif mengenai
perspektif local dalam pengembangan ilmu pengetahuan khas Jawa
Timur, Indonesia, dan juga Asia.
Selama ini harus diakui bahwa ilmu pengetahuan masih sangat
didominasi oleh perspektif barat sehingga ukuran barat yang selama
ini dijadikan sebagai ukuran utama dalam ilmu pengetahuan. Dominasi
ini telah berlangsung lama dan semakin mengukuhkan kedigdayaan
ilmu pengatahuan barat. Jika kesadaran ini sudah tumbuh maka sudah
selayaknya digugat dan dipertanyakan karena senyataanya masih butuh
banyak proses adaptasi dan elaborasi khususnya terkait dengan konteks
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 175

budaya masyarakat local. Selain itu juga terdapat perbedaan sistem alam
dan lingkungan. Hal ini membuat pengetahuan social tidak mudah untuk
berlaku universal. Ia selalu butuh proses adaptasi dan elaborasi agar cocok
dengan situasi dimana ilmu itu tengah dikembangkan.
Konsep komunikasi barat yang selalu dianggap universal berlaku
dalam berbagai konteks sudah semestinya dipertanyaakan dan juga
dikritisi. Hal ini penting disadari mengingat jika hal ini berlangsung terus
menerus akan bisa menjadi tirani dan hegemoni ilmu pengetahuan. Efek
serius adalah inferior muatan local hingga bisa menjadi persepektif utama
dalam pengembangan pengetahuan. Apalagi factor perbedaan geografis,
budaya, ideology, norma masyarakat juga penting diperhatikan dalam
keberlakuan suatu konsep (Kriantono, 2014:344). Bisa jadi teori yang
sama akan menjadi berbeda aplikasinya antar wilayah. Selain itu menurut
Kriantono (2014) juga tergantung dari filsafat ilmu yang berkembang.
Setiap masyarakat memiliki keyakinan dan juga nilai yang berbeda beda.
Otomatis ilmu pengetahuan juga tergantung atas lokus dan tempus
dimana ilmu itu tengah dikaji.
Sebagai bahan evaluasi ada beberapa hal yang selayaknya patut
untuk direnungkan kembali guna menggugah tekad akademisi Indonesia
sebagaimana dipaparkan Kriantono (2014: 345) yakni 1) ketertinggalan
pendidikan akibat praktik imperialism, 2) Sistem politik otoriter yang
membelenggu kebebasan akademis, 3) lemahnya publikasi ilmiah
dilevel internasional, 4) penguasaan teknologi komunikasi dan bahasa
internasional sebagai alat diseminasi kajian keilmuan, dan 5) dominasi
cendekiawan yang berpendidikan barat. Hal hal itu layak untuk dijadikan
sebagai faktor pendorong agar kita memiliki kesadaran untuk kembali
mengejar ketertinggalan dan melakukan upaya upaya percepatan untuk
mengejar ketertinggalan tersebut.
Perspektif tunggal jelas akan membuat totaliter ilmu pengetahuan.
Menjadikan perspektif barat sebagai satu satunya sumber kebenaran
dalam pengetahuan adalah sikap totaliter yang perlu disadari. Sudah
saatnya kita mendesakkan persepektif local tidak saja sebagai perspektif
alternatif, tetapi juga sebagai persepektif utama dalam ranah kajian
keilmuan kita. Kriantono (2014) menambahkan bahwa perspektif local
sangat diperlukan untuk kajian komunikasi karena 1) demi pembahasan
176 Epilog: Perspektif Lokal Menjadi Yang Utama, Bukan Sekadar Pelengkap

yang komprehensif dan insigh yang lebih mendalam untuk mengkaji


fenomena dengan berbagai perspektif, 2) perlu penyesuaian dengan nilai
budaya local dan tidak lepas dari konteks local seperti budaya, system
social, politik, ekonomi, dan falsafah masyarakat 3) karakteristik local
masyarakat timur juga menarik perhatian ilmuwan barat.
Perkembangan muatan dan kearifan local sejauh ini masih belum
mengembirakan dan masih dianggap sebagai sesuatu yang tidak mutakhir.
Padahal kalau kita simak justru kemutakhiran itu jika ilmu pengetahuan
senantiasa selaras dengan kondisi dan realitas dimana ilmu itu tengah
dikembangkan. Kearifan local adalah bagian dari realitas sumber
pengetahuan. Ia merupakan tradisi mengandung kebenaran yang diyakini
oleh masyarakat secara turun temurun dan menjadi nilai luhur (adiluhung)
masyarakat yang berfungsi sebagai landasan filsafat perilaku yang baik
menuju harmonisasi. Selama ini nilai adiluhung itu dideseminasikan melalui
media komunikasi tradisonal masyarakat setempat. Dalam masyarakat
Jawa medium itu bisa melalui dongeng, getok tular, cangkrukan, seni
(ludruk, ketoprak, wayang), tembangtembang, peribahasa, sanepa atau
sinoman dan belum mendapat tempat dideseminasikan melalui media
publikasi cetak kepada publik. (Kriantono, 2014:346)
Tantangan sesungguhnya kini adalah mengkomunikasikan
dan mendeseminasikan pengetahuan local tersebut kedalam kancah
pengetahuan internasional. Melalui eksplorasi kearifan local maka ilmu
pengetahuan yang digali menjadi lebih empiris, membumi, dan mentradisi
dalam perilaku masyarakat karena terkontruksi dari perpaduan sistem
kepercayaan, budaya, atau olah rasa masyarakat setempat. Kearifan local
juga bersifat pragmatis yakni sebagai pedoman perilaku dan menjadi
sarana memecahkan masalah yang muncul dari interaksi social. Dengan
demikian ia implementable dan selalu sesuai dengan apa yang tengah
dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Demikian pula keberagaman hukum adat, hukum daerah, dan hukum
nasional merupakan bentuk represenstasi kearifan local yang berlaku
positif di masyarakat Indonesia. Ia merupakan perpaduan olahrasa,
budaya masyarakat, budaya, nilai kepercayaan dan juga aspek geografis
yang menjadi salah satu kekayaan pengetahuan di Indonesia. Budaya local
bisa terwujud dalam benda artefak fisik, system kepercayaan (misal mitos),
SUROKIM, S.Sos, SH, M.Si., MIPR, CIQaR 177

aktivitas social maupun norma-norma yang bisa diekplorasi lebih dalam


guna melahirkan berbegai bentuk pengetahuan baru bagi masyarakat.
Kearifan local ini harus diakui akan turut mewarnai tradisi keilmuan
kita. Pengetahuan yang dihasilakan adalah kontekstual sesuai budaya dan
system kepercayaan setempat. Dengan demikian ilmu komunikasi sudah
semestinya dikontruksi dengan mengelaborasi kearifan local sebagai
representasi karakteristik budaya dan kepercayaan. Pengembangan teori
juga akan lebih dinamis. Teori tidak bebas nilai, ia akan sangat terikat
dengan latar, keyakinan dan juga lingkungan dimana itu membangun
pemikiran dan perspektif diri. Tradisi berbeda-beda, apa yang berlaku di
masyarakat satu belum tentu sama dengan masyarakat yang lain.
Urgensi mengembangkan perspektif lokal ini penting guna
mengembangkan ilmu komunikasi khas berperspektif Indonesia dan Asia
yang merupakan ciri khas masyarakat timur yang memiliki perbedaan
agak jauh dengan masyarakat barat. Kini saatnya membumikan perspektif
local. Cukup banyak potensi dan kearifan local yang bisa kita kembangkan
dan eksplorasi lebih dalam. Apalagi jika ini dikombinasikan dengan
kontekstualisasi ajaran islam yang diselaraskan dengan pengembangan
demokrasi kewargaan maka akan melahirkan banyak elaborasi dan adops
pengetahuan baru dalam ilmu social, khususnya komunikasi. Hal yang
lebih strategis jika dihubungkan dengan upaya untuk menuju masyarakat
masyarakat madani yang memiliki nilai nilai utama masyarakat yang
menjunjung tinggi adab dan kebaikan bersama.
Masyarakat Madura Jawa Timur selama ini dikenal sebagai
masyarakat relegius dan memiliki akar yang kuat dengan tradisi. Sebagai
masyarakat peguyuban selama ini masyarakat memiliki solidaritas public
dan semangat kolektif yang kuat dalam kehidupan sehari-hari. Mereka
hidup selaras dan jarang berkonflik karena identitas yang berbeda-beda.
Masyarakat Madura sebagai bagian dari masyarakat Jawa Timur mengenal
ungah ungguh dan respek kepada orang lain. Toleransi kepada umat
lain juga terpelihara termasuk kepada kelompok marginal. Kehidupan
masyarakat di wilayah ini bisa dikatakan harmonis dan kondusif berbasis
kepada kepentingan dan kebaikan bersama.
Letak geografis Madura Jawa Timur juga melahirkan perbedaan
adat dan tradisi yang senantiasa hidup dan berkembang. Budaya lokal
178 Epilog: Perspektif Lokal Menjadi Yang Utama, Bukan Sekadar Pelengkap

ini membuat identitas masyarakat juga berkembang dan dinamis. Selalu


ada upaya untuk menguatkan ikatan alamiah dengan tanah air dan
budaya lokalnya. Dalam beberapa hal solusi atas berbagai persoalan di
dalam masyarakat Madura Jawa Timur sebagaimana diulas penulis dapat
ditempuh melalui jalan kebudayaan, guna memperkukuh kebudayaan
lokal sebagai penjaga identitas berdasarkan sosiologis dan antropologis.
Tantangan serius saat ini di dalam masyarakat Madura Jawa Timur
adalah memelihara identitas lokal dalam tekanan budaya kontemporer
dan memelihara ruang public yang saling menghormati dengan kelompok
lain sekaligus memantapkan ukhuwah watoniah, ukhuwah islamiah, dan
kebaikan bersama. Kita harus mampu melanjutkan ikhtiar membumikan
komunikasi esesial dalam masyarakat dengan memperluas ruang saling
menghormati dan menengang satu sama lain serta memikirkan kebaikan
bersama diatas kepentingan diri dan golongan.
Mari kita lanjutkan ihktiar ini dengan bersungguh sungguh
melakukan ekplorasi ilmu pengetahuan lokal sebagai bagian dari cara
kita membumikan ilmu pengetahuan local dan mengangkat derajakt
kehormatan kita sebagai masyarakat akademis local ditengah hegemoni
masyarakat barat. Semoga.

Wassalam
Kampus Telang Sore Hari

Surokim
Tentang Penulis

SUROKIM, S.Sos,
SH, M.Si., MIPR,
CIQaR adalah dosen
di Program Studi
Ilmu Komunikasi,
Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Budaya
(FISIB), Universitas
Trunojoyo Madura
(UTM). Penulis
aktif meneliti media
dan politik di Puskakom Publik dan Surabaya Survey
Center (SSC). Saat ini sebagai wakil ketua Aspikom
Korwil Jatim dan Dekan FISIB UTM dan mengajar mata
kuliah ekonomi politik media, hukum komunikasi dan
komunikasi politik. Selain itu penulis dan kelompok dosen
di puskakom juga memberi training dan konsultasi di
bidang media komunikasi publik dan komunikasi politik.
Penulis dapat dihubungi melalui email: surochiem@gmail.
com., surokim@trunojoyo.ac.id

179

Anda mungkin juga menyukai