Anda di halaman 1dari 91

IDEOLOGI PENDIDIKAN

Studi Penguatan Pancasila Pasca Orde Baru


Melalui Pendidikan Agama Islam di Sekolah

Mahnan Marbawi
IDEOLOGI PENDIDIKAN
Studi Penguatan Pancasila Pasca Orde Baru Melalui Pendidikan Agama Islam
di Sekolah

Penyunting : Mahnan Marbawi


Editor : Zahrul Athriah
Desain Sampul : Numay
Layout : Imam Zafu

ISBN: 978-623-7331-06-3

Penerbit
Cinta Buku Media

Redaksi:
Alamat : Jl. Musyawarah, Komplek Pratama A1 No.8
Kp. Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan
Hotline CBMedia 0858 1413 1928
e_mail: cintabuku_media@yahoo.com

Cetakan: Ke-1 Desember 2019

All rights reserverd


Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini
dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit.

2
“Dengan adanya budi pekerti, tiap-tiap manusia berdiri sebagai
manusia merdeka (berpribadi), yang dapat memerintah atau
menguasai diri sendiri. Inilah manusia beradab dan itulah maksud dan
tujuan pendidikan dalam garis besarnya”

-Ki Hajar Dewantoro

“Pendidikan merupakan rekayasa sosial untuk melahirkan manusia-


manusia Indonesia yang memiliki karakter nasionalis, religious,
beradab dan humanis serta mampu menjawab tantangan global”

-Mahnan Marbawi

iii
iv
Kata Pengantar

M ainstreaming kembali Ideologi Pancasila menjadi


keharusan bagi bangsa ini. Ditengah arus globalisasi
yang membawa pengaruh kapitalisme dalam sendi kehidupan.
Pengaruh tersebut juga merambah dunia Pendidikan di Indonesia
dengan model privatisasi dan komersialisasi serta komodifikasi
Pendidikan. Pengaruh paling terasa adalah berkembangnya
“penyakit” diploma desease dimana masyarakat menyekolahkan anak
dengan tujuan agar mereka bisa bekerja di tempat tertentu. Tujuan
sekolah atau Pendidikan agar lulusannya bisa bekerja di perusahaan
tertentu yang tentu saja adalah bekerja sesuai dengan tuntutan multi
national corporate (MNC) menunjukkan sekolah hanya menjadi
pelayan dari kepentingan kapitalisme. Sehingga tujuan Pendidikan
nasional yang bercita-cita ingin melahirkan generasi yang bertaqwa,
cakap, mandiri, kreatif dan berkepribadian menjadi terabaikan.
Pendidikan nasional saat ini kehilangan elat vital untuk
menguatkan ideologi dan jati diri bangsa. Pendidikan nasional saat ini
melupakan funding fathers Pendidikan nasional Ki Hajar Dewantoro
yang merumuskan pedagogik kritis genuine Indonesia dengan teori
TRIKON dan kearifan lokalnya. Pendidikan nasional yang seharusnya
menjadi alat untuk menguatkan ideologi Pancasila bergeser hanya
menjadi penyedia tenaga terampil (bukan melahirkan enterpreuner)
bagi MNC. Disertasi ini ingin kembali menguatkan ideologi
Pancasila melalui PAI. Compatibilitas nilai Pancasila dengan PAI
melahirkan pedagogik kritis Pancasila melalui nalar pikir dan nalar
nilai.
Penguatan nilai-nilai Pancasila salah satunya dilakukan dengan
diinternalisasikan melalui pendidikan. Nilai Pancasila yang dihayati
oleh setiap individu bangsa Indonesiadan terimplementasikan
(tercermin) dalam keadaban perilaku individu bangsa Indonesia. Nilai
Pancasila yang menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia dalam

v
bernegara, berbangsa dan untuk menguatkan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) wajib menjadi fondasi kepercayaan
masyarakat Indonesai sebagai ideologi negara. Yaitu masyarakat
yang berketuhanan Yang Maha Esa, individu Indonsia yang memiliki
rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, utuhnya Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), sistem sosial masyarakat yang
demokratis dan berkeadilan sosial yang mensejahterakan. Pendidikan
seharusnya menghasilkan keadaban manusia dan penolakan terhadap
kekerasan terhadap sesama atas nama apapun. Inilah revolusi mental
yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia. Revolusi mental adalah
melakukan reinterpretasi kembali strategi budaya yang dilakukan
negara dalam menguatkan pendidikan berdasarkan budaya nasional
dan Pancasila. Hal inilah yang menjadi salah satu bahasan dalam
Disertasi ini.
Karena itu puji syukur kehadirat Allah yang telah memberikan
rahmat, inayah dan berkah-Nya kepada penulis khususnya.Sehingga
tanpa inayah – Nya sulit penulis menyelesaikan Disertasi yang
berjudul: IDEOLOGI PENDIDIKAN: STUDI KASUS
PENGUATAN PANCASILA PASCA ORDE BARU MELALUI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH.
Selesainya Disertasi ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan
dari Prof. Azyumardi Azra, dan Prof. Dede Rosyada sebagai
pembimbing yang meluangkan waktunya untuk memberikan
masukan-masukan yang berharga terkait substansi penulisan
Disertasi ini. Untuk itu penulis haturkan banyak terimakasih kepada
kedua Profesor yang telah memberikan bimbingan akademis kepada
penulis. Juga kepada Prof Abudin Nata, Prof Masykuri Abdillah, Prof
Didin S, Pak J.M. Pak Suparto Ph. D, Prof Suwito dan Prof Jamhari
yang bersedia meluangkan waktu untuk mendiskusikan Disertasi
saya. Serta KH. DR. Syafiid Mufid yang memberikan masukan lewat
diskusi menariknya di Purwakarta. Dan seluruh Profesor yang
memberikan wawasan selama kuliah di pasca UIN Jakarta. Tak lupa
kepada Prof Hafidz Abbas yang mengajak peneliti untuk

vi
mendiskusikan terkait relasi Islam dan wacana konspirasi politik dan
radikalisme.
Yang tidak bisa terhapus dalam sejarah penulisan dan
penyelesaian studi S3 peneliti adalah PROF. DR. H.A.R TILAAR
beserta Ibu Martha Tilaar, yang memberikan bantuan moral dan
finansial kepada peneliti. Sejak tahun 2012, beliau intens mengajak
diskusi penulis dan beberapa pakar dalam foruk Jakarta Education
Forum (JEF). Sebuah forum yang mendiskusikan berbagai isu aktual
pendidikan dan bagaimana mengembangkan pendidikan untuk
Indonesia ke depan. Forum ini telah melahirkan beberapa
rekomendasi dan buku putih terkait pendidikan dan memoar
pendidikan dari beberapa tokoh pendidikan. H.A.R. Tilaar adalah
guru dan keteladanan konsistensi dalam penguatan ideologi
Pendidikan dalam Pendidikan. Pemikiran Beliau terkait pentingnya
praksis Pancasila dalam dunia pendidikan menjadi salah satu dasar
penulisan Disertasi ini. Semoga beliau tetap sehat selalu.1 Sayangnya
setelah Disertasi ini selesai, Beliau dipanggil Tuhan Yang Maha Esa.
Semoga Beliau mendapat tempat yang Mulia di sisi-Nya. Penulis
ingat betul, pesan Beliau untuk terus mengembangkan praksis
pendidikan Pancasila dan tentu penulis sendiri ingin menguatkan
teori pendidikan Tilaarisme yang berbasis Pancasila.
Penulis juga ucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Yudi
Latief P.Hd yang telah bersedia membaca ulang Disertasi ini. Juga

1
Pasca menjadi penguji dalam ujian tertutup Disertasi ini pada
tanggal 19 April 2019, beliau mengalami sakit yang berkepanjangan. Hingga
menjalani perawatan di Singapura satu minggu, di Bangkok satu minggu dan
di New York satu minggu dan ahirnya disarankan kembali ke RSAD Gatot
Subroto yang lebih lengkap peralatannya oleh doktor di New York. Ketika
peneliti temui pada tanggal 26 Juli 2019 jam 13, beliau menceritakan hal
tersebut dengan semangat. Dan masih fasih membicarakan soal pendidikan
di usianya yang ke 87. Beliau menyarankan kepada penulis untuk terus
menulis di jurnal internasional serta mengukuti kegiatan internasional dan
mendorong peneliti meraih gelar profesor. Tulisan ini sengaja penulis
sampaikan untuk mengenang dukungan beliau yang tiada ahir. Semoga
beliau sehat selalu.

vii
diskusinya ketika sarapan pagi di Hotel Haris Surabaya memberikan
penguatan pada presentasi penulis ketika Ujian Promosi. “Tata Nilai,
Tata Kelola dan Tata Sejahjera” tiga kalimat sakti ini akan menjadi
pijakan implementasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Terimakasih juga untuk Bapak Pendeta Yasin (Pastor
Yasin) dari Yayasan Indonesia Sejahtera Barokah dengan Program
Terang Surabayanya. Terang Surabaya (TS) adalah implementator
genuin dari nilai-nilai Pancasila. Mempertemuakan mahasiswa dari
etnis tertentu di salah satu perguruan tinggi di Surabaya dengan
siswa-siswi SD dan MI swasta yang ada di Surabaya dalam program
Bimbingan Belajar TS. TS juga memberikan perubahan besar dan
nyata terkait bagaimana meningkatkan mutu pendidikan dan
menanamkan karakter kepada sekolah binaan. Program Bimbel TS
bisa menjadi contoh baik untuk perubahan mutu pendidikan yang
lebih maju. Terimakasih TS, terimakasih Pastor Yasin.
Selesainya Disertasi ini juga tidak lepas dari keihlasan dan
dukungan dari Kepala Sekolah SMPN 280 Jakarta, Ibu Yayuk Sri
Widayanti dan Pak Lukman,. Terimkasih banyak untuk Ibu Yayuk
yang telah ihlas dan sangat pengertian member kebebasan kepada
penulis untuk menyelesaikan studi di UIN Jakarta. Yang kadang
harus meninggalkan ruang kelas di sekolah. Terimakaasih juga untuk
sahabat-sahabat saya yang selalu menghibur saya di sekolah, Pak
Bakri dan Pak Ayi Mumuh Suhendar serta Pak Safirin, wakil kepala
SMPN 280 yang memberikan dukungan penuh serta menghibur
penulis ketika di sekolah. Mereka juga menjadi teman diskusi yang
“renyah” untuk mentertawakan kesulitan yang penulis alami sebagai
motivasi dan hiburan. Tak ketinggalan guru-guru SMPN 280 yang
sangat mendukung dan penuh pengertian kepada seluruh aktivitas
penulis dan rela menggantikan tugas di ruang kelas. Mereka adalah
Teh Purna (Guru IPA), Bu Hamdah (Guru IPS), Bu Hj. Erni Bu Delfi
(Guru Bahasa Indonesia), Teh Ros dan Pak Regut (Guru Bahasa
Inggris), Bu Viola (Guru IPA), Bu Ulfa (Guru PAI), Bu Rovia (Bu
Mince Rovia Saraswati Guru PKn), Bu Ida Farida (Guru BK), Bu
Nike (Guru TIK), Pak Daud (Guru Agama Kristen), Pak Togar (Guru

viii
Olahraga),Pa Zulkarnaen, Pa Agus, Pa Sutowo dan Bu Neneng (Guru
Prakarya). Juga Pak Drs. Lukma Kepala SMPN 280 pengganti Bu
Yayuk yang pindah tugas. Beliau hadir ketika Peneliti
mempertahankan Disertasinya di Ujian Promosi. Termakasih juga
penulis sampaikan kepada seluruh staf Tata Usaha yang selalu
memberikan bantuan kepada penulis. Pa Rasum, Pak Lilik, Pak
Daram, Bu Lia Marliani, Pak Amir, Pak Asep, Pak Mamur dan Pak
Wiwid. Tanpa pengertian dan bantuan mereka semua, sulit penulis
menempuh pendidikan S2 dan S3 di UIN Jakarta.
Ucapan terimakasih juga kepada teman-teman di group media
sosial (whats up group) Folindo (Forum Lintas Indonesia) sebuah
WAG teman mahasiswa S2 dan S3 di UIN Jakarta yang saling
memberi motivasi dan berdiskusi. Dengan penuh kehangatan dalam
canda cerdas dan diskusi “panas-panas sedap” yang mendorong untuk
segera menyelesaikan Disertasi ini. Terutama kepada Bang Zia
Ulhaq, yang kami juluki sebagai “mursyid” jalan lurus menyelesaikan
Disertasi. Juga Kang Mas Heru Cahyono yang selalu memotivasi
untuk menyelesaikan Disertasi ini. Dan mas Dr. Ari Purbo Jati yang
memberikan dukungan penuh spiritual kepada penulis ketika
mempertahankan Disertasi.
Terimakasih juga khusus dan sangat sepesial untuk istri penulis
Komariah yang telah setia dan penuh pengertian mendampingi
penulis. Sosok yang memberikan kekuatan kepada penulis untuk
menyelesaikan semua tugas dan segala hal yang menjadi
tanggungjawab penulis baik di sekolah atau diorganisasi. Dukungan
dan dorongan dari “bidadariku”, menjadikan cahaya dan motivasi
penulis dalam menyelesaikan Disertasi dan tugas lainnya. Walau
kadang waktu untuk bersamanya menjadi berkurang. Juga untuk buah
hati penulis, “anugerah terindah” dari yang Maha Kuasa, Ishfahani
Qotrunnada, Nur Ainun Nufus dan Moh. Zidan Apriansyah. Karena
engkaulah penulis ingin menjadi ushwah bagi kalian dalam menuntut
ilmu. “maafkan Abi yang kurang banyak memberikan waktu untuk
kalian, menemani kalian menyelesaikan tugas-tugas sekoalah,

ix
mendengarkan celoteh ceritamu di sekolah dan mendengar keluh-
kesahmu”. Kalian menjadi permata bagi kami berdua.
Terakhir Disertasi ini dihaturkan penulis sebagai bagian dari
kecintaan penulis kepada bangsa ini, kepada Negara ini, kepada rayat
yang majemuk dan kepada ideologi Pancasila. Semoga Disertasi
sederhana ini bisa memberikan manfaat bagi dunia pendidikan
khususnya. Masih banyak kekurangan dari Disertasi ini, semoga para
akademisi yang akan datang bisa menyempurnakannya.ً

Bekasi, 31 Mei 2019

Mahnan Marbawi

x
Kontestasi Identitas dan Rejuvenasi Pancasila
Prof. Azyumardi Azra, MA, CBE.

K egalauan identitas merupakan salah satu gejala paling


jelas dalam masyarakat Indonesia pada masa Pasca
Soeharto. Akar-akar kegalauan identitas itu tidak hanya terkait
dengan perubahan-perubahan politik, sosial, ekonomi, budaya dan
agama secara internal lokal, tetapi juga dengan ekspansi dan
penetrasi perubahan dan globalisasi. Karena itu, terjadi akumulasi
akar-akar kegalauan yang kemudian mewujudkan dirinya dalam
berbagai bentuk.
Dari berbagai kecenderungan ini, orang bisa menyaksikan
kemunculan identitas yang majemuk dan kultur hybrid di Indonesia
dewasa ini. Pada satu segi, kemunculan berbagai macam identitas diri
dan budaya hybrid nampaknya tidak terelakkan. Tetapi pada segi
lain, identitas diri dan budaya hybrid—apalagi yang bersumber dari
dan didominasi budaya luar, karena dominasi dan hegemoni politik,
ekonomi dan informasi mereka—dapat mengakibatkan krisis budaya
nasional dan lokal lebih jauh. Tidak hanya itu, budaya hybrid dapat
mengakibatkan lenyapnya identitas kultural nasional dan lokal;
padahal identitas nasional sangat krusial bagi integrasi sosial,
kultural dan politik masyarakat dan negarabangsa.
Di tengah akumulasi itu, identitas warga baik secara personal
maupun komunal mengalami kekacauan—yang di atas telah saya
sebut sebagai ‘identitas hybrid’. Identitas hybrid ini bukan tidak
mengandung kontradiksi satu sama lain, dan bahkan melibatkan
kontestasi dalam diri maupun masyarakat. Dari berbagai
kecenderungan ini, orang bisa menyaksikan kemunculan identitas
yang majemuk dan kultur hybrid di Indonesia dewasa ini. Pada satu
segi, kemunculan berbagai macam identitas diri dan budaya hybrid
nampaknya tidak terelakkan. Tetapi pada segi lain, identitas diri dan
budaya hybrid—apalagi yang bersumber dari dan didominasi budaya
luar, karena dominasi dan hegemoni politik, ekonomi dan informasi

xi
mereka—dapat mengakibatkan krisis budaya nasional dan lokal lebih
jauh. Tidak hanya itu, budaya hybrid dapat mengakibatkan lenyapnya
identitas kultural nasional dan lokal; padahal identitas nasional
sangat krusial bagi integrasi sosial, kultural dan politik masyarakat
dan negarabangsa.
Seorang pribadi kini bisa memiliki identitas yang lebih
daripada ganda (multiple identities, bukan hanya double identities);
bisa juga berbagai identitas itu saling melengkapi, seperti
dikemukakan Von Benda-Beckman. Seperti banyak orang lainnya
yang berakar dari etnis tertentu; saya lahir sebagai orang suku/etnis
Minang dan beragama Islam, warga Indonesia, tapi juga dikenal pada
tingkat internasional dengan identitas kosmopolit—sering dijuluki
kawan-kawan di luar negeri sebagai ‘Ibn Bathutah’, atau ‘globe-
trotter” karena begitu seringnya mengadakan perjalanan melintasi
benua untuk presentasi makalah atau meeting dari satu tempat di luar
negeri. Di sini berbagai identitas lokal, nasional dan global bisa jalan
beriringan—ditambah lagi identitas etnis dan keagamaan.
Dengan demikian berbagai identitas bisa berdampingan dengan
damai—seperti saya rasakan. Tetapi bukan tidak mungkin dalam diri
seseorang, sering identitas kesukuan dalam hal tertentu tidak
kompatibel dengan identitas keagamaan, dan bahkan dengan identitas
nasional dan internasional. Dalam konteks agama, terdapat kalangan
Muslim Indonesia yang lebih menonjolkan identitas Islam
transnasionalnya, karena ia mendukung gagasan dan gerakan Islam
transnasional. Implikasinya jelas, orang atau kelompok yang
bersangkutan menganggap Muslim yang lebih menonjolkan identitas
Islam Indonesia sebagai orang yang ‘tidak sempurna’ keislamannya.
Lebih jauh penonjolan identitas Islam transnasional dengan segera
mengalami kontestasi dan konfl ik dengan identitas nasional
keindonesiaan. Gejala yang sama adalah penguatan identitas
kekristenan seperti terlihat dari rencana mengeluarkan Perda yang
menetapkan Manokwari, Papua Barat sebagai ‘Kota Injil’. Rencana
ini bahkan disebut sebagai pertanda meningkatkan ‘kelompok Kristen
ekstrim’, tidak hanya di Papua Barat, tetapi juga di Minahasa.

xii
Berbagai denominasi Kristen yang bersifat transnasional ini juga
menekankan Kristen ‘yang murni’, yang bebas dari tradisi dan praktik
lokal seperti penggunaan jimat. Kontestasi identitas nasional
keindonesiaan juga kian sering terlibat dalam kontestasi dan konfl ik
dengan identitas etnis-kesukuan. Memang, identitas etnis mengalami
peningkatan dengan penerapam otonomi daerah sejak 1999 dan
kemudian disusul dengan penerapan Pilkada sejak 2005. Isu dan
bahkan kemunculan Perda tentang seratus persen ‘putra daerah’
sebagai calon yang bisa diterima bermunculan di berbagai daerah.
Dan ini jelas bertentangan dengan ketentuan NKRI yang menetapkan
kesamaan dan kesetaraan setiap warganegara tanpa membedakan
mana ‘putra daerah’ atau ‘putra asli’, ‘pribumi’ dan semacamnya.
Peningkatan identitas etnis ini juga sangat kompleks. Di NTB
misalnya terjadi kontestasi antara etnis Sasak dengan etnis Bima.
Pertarungan di antara kedua kelompok etnis ini meningkat pada
musim-musim Pilkada. Bahkan sentimen etnis dapat tumpang tindih
dengan semangat keagamaan, seperti muncul di Bali dalam bentuk
keinginan kuat membentuk ‘pengadilan adat-agama (Hindu)’.
Kebangkitan berbagai identitas yang bisa terlibat dalam kontestasi
dan konfl ik itu jelas menimbulkan banyak dampak negatif dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara dalam berbagai bentuk kekerasan
sosial dan bahkan terorisme. Semua gejala yang tidak kondusif ini
jelas bisa mengancam kesatuan dan persatuan bangsa, yang pada
gilirannya dapat menimbulkan disintegrasi. Multikulturalisme:
Bhinneka Tunggal Ika Di tengah disorientasi identitas tersebut,
Indonesia memiliki realitas pluralisme atau kemajemukan
(multikultural), yang pada dasarnya memberikan tempat bagi
multiple identities tersebut. Pluralisme kultural atau realitas
multikultural di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, seperti
dikemukakan Hefner (2001:4) sangat mencolok; terdapat hanya
beberapa wilayah lain di dunia yang memiliki pluralisme kultural
seperti itu. Karena itu dalam teori politik Barat sepanjang dasawarsa
1930-an dan 1940-an, wilayah ini—khususnya Indonesia—dipandang
sebagai “lokus klasik” bagi konsep “masyarakat majemuk/plural”

xiii
(plural society) yang diperkenalkan ke dunia Barat oleh JS Furnivall
(1944, 1948).
Pandangan dunia “multikultural” secara substantif sebenarnya
tidaklah baru di Indonesia. Prinsip Indonesia sebagai negara
“bhinneka tunggal ika” mencerminkan bahwa meskipun Indonesia
adalah multikultural, tetapi tetap terintegrasi dalam keikaan,
kesatuan, yang menjadi dasar bagi wawasan kebangsaan dan integrasi
nasional NKRI. Harus diakui, tidak banyak pembicaraan publik
dalam masa pasca-Soeharto, 1998 sampai sekarang ini, tentang empat
konsensus dasar: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka
Tunggal Ika—yang terakhir ini merupakan landasan dan prinsip
multikulturalisme Indonesia.
Pembentukan masyarakat multi-kultural Indonesia yang
berbasiskan keempat konsensus dasar tadi tidak bisa diperlakukan
secara taken for granted atau trial and error. Sebaliknya harus
diupayakan secara sistematis, programatis, integrated dan
berkesinambungan, dan bahkan perlu percepatan (akselerasi). Salah
satu strategi penting akselerasinya adalah pendidikan multi-kultural
melalui lembaga pendidikan, baik formal maupun non-formal, dan
bahkan informal dalam masyarakat luas. Kebutuhan, urgensi, dan
akselerasi pendidikan multi-kultural telah lama dirasakan mendesak
bagi negara-bangsa majemuk lainnya. Di beberapa negara seperti
Kanada, Inggris, Amerika Serikat dan lain-lain, yang sejak usaia
Perang Dunia II semakin “multikultural” karena proses migrasi
penduduk luar ke negara-negara tersebut (Hefner, 2001: 2-3),
pendidikan multi-kultural menemukan momentumnya sejak
dasawarsa 1970an. Sebelumnya di AS telah dikembangkan
“pendidikan inter-kultural”. Berhadapan dengan meningkatnya
“multi-kulturalisme” di negara-negara tersebut, paradigma, konsep
dan praktik pendidikan “multi-kultural” semakin relevan dan timely.
Pada pihak lain, gagasan pendidikan multikultural merupakan suatu
hal baru di Indonesia. Meski belakangan ini sudah mulai muncul
suara yang mengusulkan pendidikan multi-kultural di tanah air, tidak
berkembang wacana publik tentang subyek ini. Pembahasan dan

xiv
literatur mengenai subyek ini sangat terbatas. Padahal, realitas
kultural dan perkembangan terakhir kondisi sosial, politik, dan
budaya bangsa, dalam masa Pasca Soeharto yang penuh dengan
gejolak sosial-politik dan konflik dalam berbagai level masyarakat,
membuat pendidikan multi-kultural terasa semakin dibutuhkan.

Rejuvenasi Pancasila
Hemat saya, negara-bangsa Indonesia dan Pancasila adalah
bentuk, esensi, dan prinsip dasar identitas, jati diri dan wawasan
kebangsaan negara-bangsa Indonesia. Keduanya menghasilkan
‘supra-identity’ yang mengatasi tidak hanya identitas lokal, etnis dan
daerah, tapi juga bahkan identitas global. Tetapi, harus diakui, dalam
masa Pasca-Soeharto, negara-bangsa Indonesia dan Pancasila menjadi
goyah.
Pada satu sisi, negara mengalami ‘decentering of authority’—
pemencaran otoritas, bukan hanya karena adopsi sistem demokrasi
yang memberikan otoritas lebih besar kepada lembaga legislatif,
parpol, civil society dan sebagainya, tetapi juga pada saat bersamaan
pada daerah melalui desentralisasi dan otonomisasi. Akibatnya,
negara bangsa Indonesia sebagai salah satu dari sedikit sumber dan
rujukan identitas, ‘jatidiri’ dan wawasan kebangsaan Indonesia
mengalami kemerosotan otoritas secara signifikan.
Hal yang sama juga terjadi pada Pancasila. Presiden BJ Habibie
dalam interregnumnya tidak hanya menerapkan demokrasi multi-
partai dan otonomi, tapi juga menghapus kewajiban asas tunggal
Pancasila, BP7 dan sekaligus Penataran P4. Pancasila seolah tidak
lagi relevan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara; bahkan para
pejabat publik enggan berbicara tentang Pancasila.
Karena itu, dalam restropeksi saya setelah Reformasi
berlangsung lebih lima tahun, sejak 2003 saya mulai menggagas
tentang perlunya ‘rejuvenasi Pancasila’. Gagasan saya tentang
rejuvenasi Pancasila agaknya merupakan artikel pertama tentang
Pancasila yang dimuat dalam Harian Kompas, media nasional paling
banyak dibaca publik. Memang, sejak jatuhnya pemerintah Soeharto,

xv
para pejabat publik enggan berbicara tentang Pancasila, karena
khawatir dituduh sebagai ‘agen’ atau bahkan ‘antek’ Orde Baru’.
Tetapi secara retrospektif, saya kian yakin tentang urgensi
Pancasila sebagai salah satu faktor pemersatu. Dalam konteks itu,
serangkaian tulisan saya tentang ‘Rejuvenasi Pancasila’ sebagai
faktor integratif dan salah satu fundamen identitas dan jati diri
negarabangsa Indonesia mendapat pengayaan penting dari berbagai
kalangan publik, khususnya melalui Tajuk Rencana Kompas maupun
artikel Prof. Musa Asy’arie (Kompas 9, 11, 12 Juni 2004). Saya
sendiri meresponi tanggapan publik tersebut dalam Harian Kompas
17 Juni 2004. Gagasan untuk rejuvenasi dan revitasasi itu hilang-
hilang timbul.
Saya perlu mengelaborasi sedikit tentang relevansi Pancasila
sebagai dasar jatidiri bangsa dan identitas nasional Indonesia di
tengah keragaman dan masih banyaknya tantangan yang dihadapi
negara-bangsa Indonesia dan kepemimpinan nasional sekarang ini.
Tidak kurang pentingnya, saya juga melihat Pancasila dalam kaitan
dengan tantangan krisis identitas budaya, dan akhirnya membahas
indentitas nasional dalam perspektif multikulturalisme dan
pendidikan multikultural. Saya berpandangan, rejuvenasi Pancasila
harus pula ditempatkan dalam perspektif multikulturalisme, yang bisa
disosialisasikan dan ditanamkan melalui lembaga-lembaga
pendidikan dengan pendidikan multikultural.
Gelombang demokratisasi yang juga melanda Indonesia ber-
ikut-an dengan krisis moneter, ekonomi dan politik sejak akhir 1997.
Sementara itu membuat Pancasila sebagai basis ideologis, common
platform dan identitas nasional bagi negara-bangsa Indonesia yang
plural seolah semakin kehilangan relevansinya. Terdapat setidaknya
tiga faktor yang membuat Pancasila semakin sulit dan marjinal dalam
semua perkembangan yang terjadi.
Pertama, Pancasila terlanjur tercemar karena kebijakan rezim
Soeharto yang menjadikan Pancasila sebagai alat politik untuk
mempertahankan status-quo kekuasaannya. Rezim Soeharto juga

xvi
mendominasi pemaknaan Pancasila yang selanjutnya diindoktrinasi
secara paksa melalui Penataran P4.
Kedua, liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan oleh
Presiden BJ Habibie tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas
setiap organisasi. Penghapusan ini memberikan peluang bagi adopsi
asas-asas ideologi lain, khususnya yang berbasiskan agama (religious-
based ideology). Pancasila jadinya cenderung tidak lagi menjadi
common platform dalam kehidupan politik.
Ketiga, desentralisasi dan otonomisasi daerah yang sedikit
banyak mendorong penguatan sentimen kedaerahan, yang jika tidak
diantisasipasi bukan tidak bisa menumbuhkan sentimen local-
nationalism yang dapat tumpang tindih dengan ethno-nationalism.
Dalam proses ini, Pancasila baik sengaja maupun by-implication kian
kehilangan posisi sentralnya. Kecenderungan bahwa posisi Pancasila
semakin sulit, hemat saya, cukup alarming, lampu kuning bagi masa
depan Indonesia yang tetap terintegrasi.
Dalam pandangan saya, Pancasila—meski menghadapi ketiga
masalah tadi—tetap merupakan kekuatan pemersatu (integrating
force) yang relatif masih utuh sebagai common platform bagi negara-
bangsa Indonesia. Kekuatan-kekuatan pemersatu lainnya, utamanya
birokrasi kepemerintahan Indonesia, telah mengalami kemerosotan
signifi kan. Pemerintah pusat di Jakarta, kini tidak lagi sekuat dan
seefektif dulu.
Pada saat yang sama, liberalisasi politik yang menghasilkan
fragmentasi elit politik yang terus berlanjut, menghalangi
kemunculan kepemimpinan nasional pemersatu; corak kepemimpinan
solidarity maker yang dapat mencegah disintegrasi tetap belum
tampil secara meyakinkan. Bahkan, para elit politik baik di tingkat
nasional maupun lokal, masih terus terlibat dalam pertengkaran dan
saling kecurigaan; pada tingkat lokal, kecenderungan ini bukan tidak
sering berujung dengan kekerasan dan anarki di antara para
pendukung masing-masing elit politik. Saya percaya tidak ada yang
salah dengan Pancasila as such.

xvii
Yang keliru adalah membuat pemaknaan tunggal atas Pancasila
yang kemudian dipaksakan sebagai alat politik untuk
mempertahankan status-quo kekuasaan. Karena itu tidak ada masalah
dengan Pancasila itu sendiri, dan sebab itu, tidak pada tempatnya
mengesampingkan Pancasila atas dasar perlakuan pemerintah Orde
Baru. Lebih jauh, hemat saya, Pancasila telah terbukti sebagai
common platform ideologis negara-bangsa Indonesia yang paling
feasible dan sebab itu lebih viable bagi kehidupan bangsa hari ini dan
di masa datang. Sampai saat ini—dan juga di masa depan—saya
belum melihat alternatif common platform ideologis lain, yang tidak
hanya akseptabel bagi bangsa, tetapi juga viable dalam perjalanan
negara-bangsa Indonesia di masa-masa selanjutnya.
Karena posisi Pancasila yang krusial seperti ini, saya melihat
urgensi mendesak rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila. Jika tidak,
ada kemungkinan bangkitnya ideologi ideologi lain, termasuk yang
berbasiskan keagamaan. Gejala meningkatnya pencarian dan upaya-
upaya untuk penerimaan religious-based ideologies ini merupakan
salah satu tendensi yang terlihat jelas di Indonesia pada masa pasca
Soeharto. Kini bayang-bayang religiousbased ideology (ies) itu
diwujudkan antara lain dengan menetapkan dan memberlakukan
berbagai peraturan daerah (Perda) yang dalam satu dan lain hal
‘berwarna Syari`ah’.
Rejuvenasi Pancasila dapat dimulai dengan menjadikan
Pancasila kembali sebagai public discourse (wacana publik). Dengan
menjadikan Pancasila sebagai wacana publik, sekaligus dapat
dilakukan reassessment, penilaian kembali atas pemaknaan Pancasila
selama ini, untuk kemudian menghasilkan pemikiran dan pemaknaan
baru. Dengan demikian, menjadikan Pancasila sebagai wacana publik
merupakan tahap awal krusial untuk pengembangan kembali
Pancasila sebagai ideologi terbuka, yang dapat dimaknai secara terus
menerus, sehingga tetap relevan dalam kehidupan bangsa dan negara
Indonesia. Rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila memerlukan
keberanian moral kepemimpinan nasional. Kepemimpinan nasional
pasca Soeharto, sejak dari Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman

xviii
Wahid, Presiden Megawati Soekarnoputri, sampai Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono gagal membawa Pancasila kembali ke dalam
wacana dan kesadaran publik. Ada kesan traumatik untuk kembali
membicarakan Pancasila. Sudah waktunya kepemimpinan nasional
memberikan perhatian khusus kepada ideologi pemersatu ini, jika
mereka betulbetul peduli pada identitas nasional dan integrasi
negara-bangsa Indonesia.

Penutup - Islam Ethic


Dengan memiliki modal Pancasila sebagai common platform,
Bangsa Indonesia diprediksi pada tahun 2045 akan menjadi negara
yang memiliki kekuatan ekonomi ke empat atau ke-lima di dunia. Hal
tersebut hanya bisa terjadi manakala yang telah memiliki dasar
ideologi Pancasila memiliki Islamic Ethic. Sebagaimana Protestan
Ethic mampu melahirkan the spirit of capitalisme. Atau
confusionisme Ethic yang dianut Asia Timur.
Indonesia akan menjadi negara maju dan diprediksi menjadi
negara dengan kekuatan ekonomi terkuat dunia tersebut karena saat
ini Indonesia dianggap memiliki dasar ideologi Pancasila dan
wawasan keagamaan yang wasyatiah. Negara-negara muslim di Asia
Tengah mulai dari Maroko, Yaman hingga Pakistan, Bangladesh,
yang mayoritas penduduknya Muslim, tidak bisa diharapkan untuk
memajukan peradaban dunia. Negara-negara di Timur Tengah saat ini
terkena “kutukan” Oil Curse”. Dimana hasil kekayaan minyaknya
justru melahirkan malapetaka kemanusiaan, sebagaimana konflik di
Timur Tengah yang terjadi saat ini.
Harapan satu-satunya hanya pada Indonesia yang aman dan
berkembang. Selain itu masa depan Indonesia maju hanya bisa
dicapai jika Indonesia memiliki Islamic Ethic yang compatible
dengan nilai-nilai Pancasila. Masa depan Indonesia itu hanya dengan
Islam yang wasyatiah. Bukan dengan model ideologi yang dibawa
oleh kelompok-kelompok radikal teroris seperti ISIS, JAD atau
kelompok radikal lainnya.

xix
Dalam konteks menguatkan Islamic Ethic dan Islam wasyatiah
peran Guru Pendidikan Agama Islam yang tergabung dalam Asosiasi
Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII) ini menjadi
sangat penting. GPAI menjadi front liner terdepan dalam
mengembangkan dan menguatkan model Islam wasyatiah, yang
tawasuth, tawazun, I’tidal, dan tasamuh.
Buku yang ditulis oleh Saudara Mahnan Marbawi ini memiliki
relevansi dalam menguatkan Pancasila sebagai ideologi bangsa
Indonesia dan sekaligus mendorong GPAI untuk menguatkan ajar
Islam yang wasyatiah. Sekaligus menjadi model Pendidikan Agama
Islam yang menguatkan nilai-nilai Pancasila dalam proses
pembelajarannya.

xx
Praksis Pendidikan Pancasila
Prof. H.A.R. Tilaar (Alm)

P endidikan saat ini sudah jauh dari cita-cita para pendiri


Bangsa. Cita-cita pendiri bangsa yang menginginkan
pendidikan yang dilaksanakan melahirkan generasi yang memahami
akar budaya bangsanya, memiliki budi pekerti, menguatkan ideologi
bangsa dan mampu menjawab tantangan zaman. Praksis pendidikan
saat ini hanya melahirkan generasi yang menjadi kosumen dan
penyedia dari kebutuhan Multinational Corporation (MNC).
Pancasila semestinya menjadi dasar filosofi dari praksis
pendidikan. Praksis pendidikan yang menguatkan ideologi Pancasila
menjadi sebuah keharusan. Sebab praksis pendidikan manyangkut
berbagai macam eksosistem pendidikan yang bekerja di dalamnya.
Mulai dari kebijakan pendidikan, kurikulum, pendidi dan tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, proses pembelajaran di kelas,
hingga penanaman nilai dan evalusinya.
Disinilah Disertasi yang ditulis oleh Saudara Mahnan
Marbawi, menemukan relevansinya. Disertasi yang mengupas cukup
dalam terkait praksis pendidikan Pancasila di sekolah ini menawarkan
sebuah formulasi genuine dan implementatif terkait bagaimana
Pancasila diajarkan dan ditanamkan di sekolah. Disertasi yang juga
memberikan alternatif dari reinterpretasi kembali nilai Pancasila
dalam dunia pendidikan.
Praksi Pendidikan Pancasila adalah bagaimana nilai-nilai
Pancasila mampu ditanamkan secara efektif dan masif dalam proses
pendidikan secara terus menerus dan di semua jenjang pendidikan
(TK/Paud, SD, SMP, SMA dan SMK). Praksis pendidikan Pancasila
menjadi penting kembali di pahami dan dipraktekkan dalam proses
pembelajaran dan pengelolaan pendidikan. Sebab Pancasila harus
menjadi landasan filosofi pendidikan di Indonesia sesaui dengan
amanah Undang-Undang Dasar 1945.

xxi
Praksis pendidikan Pancasila juga berarti bagaimana Pancasila
sebagai ideologi bangsa dan negara tertanam kuat dalam proses
pendidikan. Hal ini bisa dilakukan dengan selalu melakukan kajian
serius dan terus-menerus menggali nilai-nilai Pancasila sebagai
sebuah Ideologi dan tata nilai dalam berbangsa dan bernegara.
Nilai-nilai Pancasila harus menjadi landasan dan praksis dalam
proses pendidikan di Indonesia. Pendidikan yang tidak memiliki
ideologi hanya akan menjadi “babu” dari kapitalisme dan globalisasi.
Pendidikan saat ini memiliki muatan ideologis yang kuat dan
tantangan besar. Pancasila adalah jawaban yang tepat dan visioner
untuk menghadapi tantangan tersebut. Pancasila memiliki nilai yang
universale sehingga Pancasila memiliki sifat yang akan selalu aktual
dan up to date untuk semua zaman. Namun itu semua tergantung,
bagaimana pendidikan mampu menjadikan Pancila sebagai landasan
yang mendasari praksis pendidikan.
Ahirnya, Saya berikan apresiasi kepada saudara Mahnan
Marbawi yang telah menyelesaikan Disertasi tentang Pancasila ini.
Semoga Disertasi ini memberikan manfaat dan perubahan nyata.
Sekaligus menjadi penguatan bagi ideologi Pancasila itu sendiri
sebagai landasan praksis pendidikan.

Jakarta, 27 Agustus 2019

Prof. Henry Aalexis Rudolf Tilaar, M.Sc, Ed

xxii
Daftar Isi

Kata pengantar
Penulis ................................................................................ v
Prof. H.A.R. Tilaar ............................................................. xi
Prof. Azyumardi Azra, MA, CBE. ..................................... xxi
Daftar Isi ...................................................................................... xxiii
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Merumuskan Gagasan ........................................................ 32
C. Fakta Perjalanan Ideologi Pancasila ................................. 36
D. Merangkai Fakta Menemukan Makna ............................... 60
E. Sistematika Penulisan ........................................................ 65

Bab II Ideologi-Ideologi dalam Pendidikan


A. Ideologi dalam Pendidikan................................................. 67
B. Ideologi Kapitalisme dalam Pendidikan ........................... 88
C. Ideologi Marxisme dalam Pendidikan ............................... 106
D. Ideologi Islam dalam Pendidikan ....................................... 112
E. Ideologi Kihajar Dewantara dalam Pendidikan ................. 129
F. Ideologi Pancasila dalam Pendidikan ................................ 136

Bab III Sejarah Pancasila Sejak Orde Lama Hingga Orde Baru..
A. Sejarah Kelahiran Pancasila .............................................. 151
B. Pancasila masa Orde Lama ................................................ 169
B.1. Diskursus Piagam Jakarta .................................................. 169
B.2. Pertarungan Ideologi pada Sidang Konstituante ............... 177
B.3. Penyimpangan Pancasila pada masa Demokrasi Terpimpin 186
C. Pancasila masa Orde Baru.................................................. 196
C.1. Strategi Budaya Orde Baru dalam Penguatan Pancasila ... 198
C.2. Penguatan Pancasila Melalui Penetapan P4 ..................... 204
D. Pancasila di Awal Era Reformasi....................................... 212

xxiii
Bab IV Strategi Budaya Penguatan Pancasila
Melalui Pendidikan Agama Islam
A. Pendidikan Agama di Sekolah ........................................... 231
B. Strategi Budaya Penguatan Pancasila ............................... 238
B. 1. Pengutan Pancasila dalam PAI ......................................... 239
B. 2. Inklusifitas PAI: Basis Konsitusional
dan Ideologis Ajaran Toleransi .......................................... 246
B. 3. Basis Ideologis Kurikulum 2013 ....................................... 260
C. Pancasila Hadir di Kelas: Membangun Budaya Kelas
dan Budaya Sekolah .......................................................... 266
C. 1. Membangun Budaya Kelas ............................................... 275
C. 2. Membangun Budaya Sekolah ........................................... 276

Bab V Penguatan Pendidikan Agama Islam di Sekolah


A. Ideologi Keagamaan dalam Pendidikan............................. 280
B. Sekolah: Pertarungan Ideologi Pancasila
dan Ideologi Keagamaan .................................................... 286
C. Kontrol Negara Terhadap Ideologi Keagamaan
di Lembaga Pendidikan` ...................................................... 292
D. PAI: Rujukan Etik-Nilai .................................................... 303
E. Identitas PAI di Indonesia: Moderat/Wasaṭiyah ............... 307
F. PAI di Era Digital .............................................................. 316
G. Tafsir Ulang Pendidikan Agama Islam .............................. 321

Bab VI Peadogogi Kritis Pancasila: Studi Pancasila


dalam Kurikulum Pendidikan Agama Islam
A. Pancasila dalam Kurikulum Tahun 2013 (PAI) ................ 331
B. Pedagogi Kritis Pancasila dalam PAI ................................ 344
C. Tafsir Ulang Pancasila ....................................................... 356
D. Integrasi dan Internalisasi Nilai Pancasila dalam PAI ...... 368
E. Membumikan Pancasila: Membangun Ekosistem ............ 434

xxiv
Bab VII Penutup
A. Kesimpulan ........................................................................ 445
B. Saran dan Rekomendasi ..................................................... 454

Daftar Pustaka .............................................................................. 455


Glosarium ..................................................................................... 471
Indeks ........................................................................................... 481

xxv
xxvi
BAGIAN I : PENDAHULUAN
Pendidikan Antara Komodifikasi dan Ideologi

P endidikan merupakan sektor yang memiliki peran strategis.


Peran strategis pendidikan tersebut adalah penentu model
generasi yang akan terlahir bagi suatu bangsa. Sebab bangsa yang
maju salah satunya ditentukan oleh masyarakat yang terdidik dan
berkiprah secara maksimal dalam berbagai bidang dengan modal
potensi intelektual dan kompetensi tertentu. Startegisnya sektor
pedidikan akan terlihat dari seberapa besar negara mengalokasikan
anggaran untuk sektor pendidikan. Selain anggaran, keseriusan
negara juga terlihat dari road map pengelolaan pendidikan yang
matang dan visioner.
Selain itu peran strategis pendidikan juga terlihat dari persepsi
masyarakat bahwa melalui pendidikan akan merubah kehidupan
sosial ekonomi individu itu sendiri. Persepsi ini dibuktikan dengan
pemilihan sekolah atau pendidikan oleh masyarakat atau orang tua
untuk anak-anaknya. Dimana orang tua memilih pendidikan yang
menawarkan perspektif pekerjaan yang lebih mudah dan menjanjikan
bagi anaknya. Bab ini akan menjelaskan bagaimana sektor pendidikan
memiliki peran strategis, baik dari perspektif negara, dan orang tua
serta aktualitas perkembangan zaman dalam memandang pendidikan
itu sendiri sebagai bagian dari penguatan nilai dan ideologi.

A. Pandangan Masyarakat Tentang Pendidikan


Film India berjudul “3 Idiots” yang menceritakan tiga
mahasiswa desa Raju, Farhan dan Raccho yang memiliki latar
belakang obsesi berbeda. Film yang dibintangi oleh Amir Khan dan
Kareena Kapoor, seolah menjadi sindiran yang manis namun telak
terhadap praktek pendidikan kita. Latar belakang Film yang
menceritakan tiga mahasiswa dari latar belakang yang berbeda,
kuliah di sebuah perguruan tinggi teknik terkenal di India, Imperial

1
College of Engineering (ICE) . Perguruan tinggi ini melahirkan
insiyur-insiyur yang diahir tahun kuliahnya mendapat tawaran kerja
di berbagai perusahaan.
Dengan model pembelajaran yang mengutamakan prestasi
akademik, dan hafalan, sang Direktur ICE, Dr. Viru Sahastrabudhhi
menggenjot para mahasiswanya untuk bisa berprestasi dengan baik.
Sang direktur berprinsip, prestasi akademik akan menghasilkan
kesuksesan dengan indikator diterima di perusahaan besar. Hal yang
menarik lainnya peran utama Rachhodas Shyamaldas Chanchad yang
di perankan oleh Amir Khan ternyata hanya menggantikan Racchodas
asli.1
Dalam film tersebut, peran Amir Khan atau Phunckh Wangsu
menggantikan Ranchhodas asli untuk kuliah di ICE tersebut, ternyata
sudah sejak mereka bersekolah di sekolah dasar hingga masuk ICE.
Kita akan abaikan peran Amir Khan yang menggantikan Ranchhodas
asli dalam menempuh pendidikan dimana hal tersebut tidak mungkin
dilakukan saat ini. Namun yang perlu mendapat perhatian adalah
kenapa Amir Khan atau Phunckh Wangdu menggantikan peran
Racchho. Ternyata hal tersebut Karena keinginan dari ayah Raccho
yang hanya berpikir bahwa dia dan Rachho sebagai orang kaya hanya
membutuhkan IJAZAH saja. Bukan proses pendidikan yang harus
dilalui. Karena menurut ayah Rachho, dengan Ijazah dari ICE
anaknya bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan bergaji tinggi.
Film “3 Idiots” ini memberikan kritikan terhadap beberapa hal.
Paling tidak dalam kaca mata penulis ada tiga hal yang perlu
mendapat perhatian. Yang pertama film ini mengkritik rezin
kompetensi atau rezim prestasi akademik yang mengabaikan bakat
dan potensi siswa. Kedua sistem pendidikan yang mengedepankan

1
Dalam Carita film tersebut Amir Khan memerankan anak dari
majikannya bernama Rachhodas Shyamaldas Chanchad yang malas untuk
kuliah di perguruan tinggi terkenal Imperial College of Engineering (ICE).
Amir khan sendiri yang dalam film”3 Idiots” tersebut memiliki nama asli
Phunskh Wangdu, anak dari pembantu ayah Rachhodas Shyamaldas
Chanchad

2 Ideologi Pendidikan
pencapaian kompetensi yang harus di miliki siswa tanpa
mengembangkan sisi manusia atau humanisme, sisi bakat siswa. Atau
sistem pendidikan yang tidak menguatkan sisi humanisme. Ketiga
adalah kecendrungan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya
karena tujuan mendapatkan ijazah atau diploma disease, agar anaknya
mudah untuk mendapatkan pekerjaan.
Perguruan tinggi ICE dalam film tersebut hanya menjadi
penyedia tenaga terampil yang dibutuhkan perusahaan-perusahaan.
Dimana setiap ahir tahun, mahasiswa ICE mengikuti test wawancara
dari berbagai perusahaan yang datang ke ICE untuk merekrut
karyawan. Sehingga sekolah hanya menjadi komodifikasi dari
kebutuhan industri dalam menyediakan kebutuhan tenaga pekerja.
Sekolah dalam pandangan kapitalis tidak lebih dari jasa penyedia
calon tenaga kerja yang memiliki kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan industri. Model Pendidikan yang diselenggarakan ICE
tersebut membenarkan tesis, Carlo Fanelli dan Bryan Evans,
mengutip As Kumar: “Pendidikan lebih dari sekedar struktur institusi
formal dan transaksi di ruang kelas. Ruang kelas akan didominasi
oleh kepentingan sosial yang melingkupinya”.2
Pandangan Carlo Fanelli dan Bryan Evans ini menguatkan
bahwa Pendidikan sebagai komodifikasi atau barang dagangan yang
dapat diperjual-belikan dengan orientasi keuntungan. Maka kemudian
Undang-Undang Perdagangan pasal 7 menyebutkan Pendidikan
bagian dari “jasa” pendidikan yang dapat di perjual belikan. Carlo
Fanelli dan Bryan Evans, menggambarkan sistem sekolah umum
(public) harus berlari (melayani dengan sigap) seperti rumah makan
yang menyiapkan standard minimum. 3
Pendidikan dalam pandangan “age of capitalism” ini tidak
hanya menyediakan lulusan dengan kemampuan atau keahlian tetapi
juga mengajak siswa untuk memahami dan memasuki aturan disiplin
seorang pekerja (dunia kerja /dunia industri). Saat ini menjadi era

2
Fabelli dan Evans, Capitalism in the Classroom”, 16.
3
Fabelli dan Evans, Capitalism in the Classroom”, 13.

Pendahuluan 3
Golden Age of Capitalism, yaitu masa dimana meningkatnya
produktivitas dan akumulasi kapital dalam berbagai aspek kehidupan
sosial, politik dan tujuan ekonomi termasuk pendidikan.4 Ini artinya
pendidikan dalam sistem kapitalis sudah diarahkan untuk kebutuhan
industri kapitalis.
Sehingga yang terjadi adalah dunia pendidikan menjadi sebuah
industri. Saat ini pendidikan di Indonesia menganut sistem fungsional
dan matrialisme. Dimana pendidikan dijalankan untuk memenuhi
dunia kerja. Sekolah-sekolah tersebut menawarkan alumnusnya siap
diterima di dunia kerja ini menjanjikan sebuah sistem pendidikan siap
pakai dan siap kerja5. Tengok saja bermunculan berbagai sekolah-
sekolah yang dikelola oleh swasta yang menawarkan berbagai
kualitas tertentu dimana konsumennya adalah kelas masyarakat
tertentu, dan kalangan professional dengan penghasilan yang tinggi.
Model pendidikan sekolah-sekolah yang eksklusif ini bisa dibilang
menganut paham pendidikan mekanis-marxis6.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
belum melakukan pendidikan untuk masyarakat Indonesia.

4
Carlo Fanelli dan Bryan Evan, “Capitalism in the Classroom: The
Commodification of Education”, Alternative Routes: A Journal of Critical
Social Research, vol 26, 2015, 11. Pendidikan untuk memahami dunia kerja
atau dunia industri dalam sistem pendidikan di Indonesia dikenal dengan
istilah Prakarya atau prakerin (praktek kerja industri) yang biasa dilakukan
oleh siswa-siswi kelas sebelas (XI) pada Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) yaitu orientasi kerja para siswa untuk magang di perusahaan-
perusahaan. Mereka dikenalkan dengan berbagai macam aturan kerja dalam
industri sekaligus mengukur kompetensi siswa yang memang dibutuhkan
oleh industri tersebut. Program ini sudah lama dilakukan oleh pemerintah
dalam kerangka menghubungkan antara sekolah dengan dunia kerja.
Sayangnya program prakarya atau prakerin ini hanya menghasilkan tenaga
lulusan setingkat operator yang tidak memiliki kompetensi yang mampu
bersaing dengan kompetensi yang dibutuhkan dunia industri.
5
Pendidikan vokasi atau kejuruan saat ini menjadi prioritas
kementerian dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
6
Jean Anyon, Marx and Education (Routledge: Taylor & Francis,
2011), 65

4 Ideologi Pendidikan
Kemendikbud baru melakukan menyekolahkan masyarakat
Indonesia7. Jika Kemendikbud dan Kementerian Riset dan Teknologi
(Kemenristek) berorientasi menghasilkan masyarakat terdidik, maka
salah satu fokusnya adalah bagaimana menguatkan peran Pancasila
sebagai landasan filosofi dalam perencanaan Pendidikan dan
Kebudayaan. Saat ini kondisi kebudayaan kita seolah-oleh terpisah
dari pendidikan. Seperti yang pemisahan kebudayaan dari perguruan
tinggi, hanya akan menghasilkan intelektual yang nir budaya8.
Disisi lain, pendidikan merupakan rekayasa sosial untuk
melahirkan manusia-manusia Indonesia yang memiliki karakter
nasionalis, religious dan beradab serta mampu menjawab tantangan
global. Pendidikan adalah alat negara untuk memajukan kehidupan
bangsa yang beradab dan berdaya saing. Pendidikan adalah alat
negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa9. Pendidikan juga
dimaksudkan sebagai bagian untuk menguatkan budaya dan
pewarisan budaya. Pendidikan juga dimaksudkan untuk menguatkan
identitas manusia Indonesia yang berbudaya dan beradab. Pendidikan
juga dimaksudkan sebagai upaya untuk menguatkan ideologi negara
yaitu Pancasila. Praksis pendidikan menjadi alat dari penguatan
ideologi. Pendidikan bisa dijadikan alat negara untuk melanggengkan
ideologi, eksistensi dan identitias bangsa. Pendidikan adalah alat
negara untuk mensejahterakan rakyatnya. Pendidikan adalah alat
negara untuk melakukan revolusi mental.
Film “3 Idiots” menunjukkan pendidikan menjadi sarana bagi
penggunannya untuk mencapai tujuan. Ada yang memiliki tujuan
untuk menguatkan ekonomi, ada yang memiliki tujuan untuk
mendapat pekerjaan dan juga ada yang betul-betul untuk

7
Mahnan Marbawi, Jakarta Education and Kultur Forum (JEF), 2016,
35.
8
Tilaar, “Perguruan Tinggi dan Kebudayaan”, Mahnan Marbawi, ed.,
Penguatan Pendidikan Nasional Berbasis Pendidikan Multikultur dan
Pancasila, Jakarta: Education and Kultur Forum, 2016, 35.
9
Pendidikan sebagai alat politik Negara untuk melanggengkan
kekuasaan, mensejahterakan dan mencapai tujuan Negara.

Pendahuluan 5
pengembangan diri. Peran pengelola pendidikan sangat menentukan,
warna dari tujuan yang ada dalam lembaga pendidikan tersebut. Dan
saat ini ideologi kapitalis cukup dominan dalam praksis pendidikan di
tanah air. Komersialisasi pendidikan yang terjadi lebih banyak
mementingkan pendidikan dengan biaya tinggi dibandingkan dengan
peningkatan kualitas dan mutu pendidikan,10
Pendidikan memiliki muatan ideologis. Dan praksis pendidikan
di Indonesia saat ini, tidak menguatkan ideologi Pancasila. Padahal
menjadi keharusan, penguatan ideologi Pancasila dalam praksis
Pendidikan. Internalisasi nilai Pancasila yang dihayati oleh setiap
individu bangsa Indonesia dan terimplementasikan (tercermin) dalam
keadaban perilaku individu bangsa Indonesia. Mengembalikan
kembali nilai-nilai luhur Pancasila sebagai pemersatu bangsa (sense
of unity) adalah bagian dari revolusi mental. Inilah revolusi mental
yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia. Revolusi mental adalah
melakukan reinterpretasi kembali strategi budaya yang dilakukan
negara dalam menguatkan pendidikan berdasarkan budaya nasional
dan Pancasila. Nilai Pancasila yang menjadi pandangan hidup bangsa
Indonesia dalam bernegara, berbangsa dan untuk menguatkan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) wajib menjadi fondasi
kepercayaan masyarakat Indonesai sebagai ideologi negara.
Penguatan nilai-nilai Pancasila salah satunya dilakukan dengan
diinternalisasikan melalui pendidikan.
Janji yang harus ditunaikan tersebut menjadi sebuah kebijakan
pemerintah dalam hal pendidikan. Kebijakan tersebut seharusnya
merujuk kepada substansi yang diinginkan oleh preaumbule Undang-

10
M. Yunus Abu Bakar, “Pengaruh Paham Liberalisme dan
Neoliberalisme Terhadap Pendidikan Islam di Indonesia”, Jurnal Tsaqofah,
vol 8, 2012, 150. Dalam makalahnya Yunus menjelaskan bahwa ada dua,
pertama, komersialisasi pendidikan dengan lembaga pendidikan yang
memiliki ciri program dan sarana yang mahal. Model yang pertama ini
merupakan jasa pendidikan yang bisa jadi hanya bisa dinikmati oleh
sekelompok masyarakat dengan ekonomi kuat. Kedua, mengacu kepada
lembaga pendidikan yang hanya mementingkan biaya pendaftaran dan uang
kuliah tinggi tanpa memperhatikan peningkatan kualitas.

6 Ideologi Pendidikan
Undang Dasar 1945. Visi pendidikan yang terkandung dalam
preaumbule Undang-Undang Dasar 1945 adalah untuk memajukan
dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang beradab dan berdaya saing.
Keadaban bangsa ini harusnya tercermin dalam implementasi nilai-
nilai Pancasila yang merujuk kepada lima sila-silanya. Yaitu
masyarakat yang berketuhanan Yang Maha Esa, individu manusia
Indonesia yang memiliki rasa kemanusiaan yang adil dan beradab,
utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sistem sosial
masyarakat yang demokratis dan berkeadilan sosial yang
mensejahterakan. Pendidikan seharusnya menghasilkan keadaban
manusia dan penolakan terhadap kekerasan terhadap sesama atas
nama apapun.
Tag line di atas sejalan dengan cita-cita para pendiri bangsa.
Sejalan dengan preamble Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45).
Selain itu tag line di atas adalah janji yang harus ditunaikan oleh
pemerintah. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tujuan utama.
Janji yang direalisasikan dalam kebijakan peningkatan mutu, akses
dan relevansi pendidikan dengan startegi pembangunan bangsa11.
Pancasila seharusnya menjadi identitas bangsa Indonesia yang
bineka. Dalam sebuah dunia yang saling terhubung, identitas sebagai
sebuah bangsa akan mengalami berbagai benturan dengan arus
globalisasi. Pancasila adalah ideologi genuine bangsa yang digali dari
sejarah panjang dan budaya asli Indonesia. Namun Pancasila
menghadapi tantangan yang cukup besar. Salah satunya adalah
globalisasi yang membawa perubahan dan ideologi baru dalam
kehidupan masarakat. Perubahan global yang serba cepat ditandai
dengan kemajuan teknologi, terutama teknologi komunikasi
memberikan dampak yang sangat besar.
Terjadi percaturan global antara earth incorporated dan the
global mind. Earth incorporated yang ditandai dengan kemunculan

11
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Pendahuluan 7
multi national corporation12 meningkatkan eksploitasi sumber daya
alam serta melahirkan konsumerisme yang didasarkan pada ekonomi
pasar. Sementara the global mind13 yang ditunjang oleh kemajuan
komunikasi menjadikan dunia tanpa batas, terbuka lebar dan
melahirkan world brain yang kemudian melahirkan kesatuan manusia
dalam pengakuan hak-haknya. Multi national corporation14 telah
melahirkan kekuasaan modal-modal besar dan ekonomi pasar.
Merekalah yang melahirkan kebudayaan tanpa jiwa, sebab orientasi
keuntungan (profit) menjadi tujuan dari kapitalisme. Pengaruh earth
incorporated dan the global mind ini melupakan identitas diri sebuah
bangsa. Padahal, identitas sebuah bangsa adalah budaya bangsa itu
sendiri.
Modal budaya yang majemuk tersebut tersebut menjadi
identitas bangsa, sebab Indonesia adalah bangsa yang majemuk.
Modal budaya sebuah bangsa merupakan dasar dari ketahanan
nasional suatu bangsa. Kemajemukan ini tampil dalam simbol
budaya, bahasa, agama dan keyakinan, pulau, etnis dan berbagai hal
yang terkandung di dalamnya. Suatu bangsa yang tidak memiliki
modal budaya tidak mempunyai ketahanan nasional. Tanpa
ketahanan nasional, tanpa ketahanan budaya, bangsa itu tidak akan
eksis. Dengan kata lain, bangsa tersebut akan mudah dijajah oleh
bangsa lain. Padahal modal budaya adalah modal sosial yang sangat
besar untuk menggerakkan masyarakat mewujudkan cita-cita bangsa.
Modal budaya adalah kohesi yang paling kuat yang mengikat

12
Tilaar, Kaledoskop Pendidikan Indonesia-Kumpulan Karangan,
Jakarta: Kompas Gramedia, 2012, 224, 308
13
Penulis mengartikan global maind adalah isu-isu global seperti
lingkungan hidup, hak asas manusia, kemanusiaan, demokrasi yang sudah
menjadi isu bersama dan mempengaruhi kebijakan di setiap negara dalam
bentuk ratifikasi kebijakan atau undang-undang. Sehingga isu-isu itu
menjadi bagian dari pemikiran bersama di seluruh dunia. Walaupun pada
kenyataannya, isu-isu global tersebut dalam praktek di setiap Negara ada
distorsi dan perbedaan. Isu-isu tersebut menjadi bagian dari isu global
karena ditunjang oleh perkembangan teknologi yang sangat pesat.
14
Tilaar, Kaledoskop Pendidikan, 308.

8 Ideologi Pendidikan
masyarakatnya. Kesadaran akan identitas dirinya yang kuat dan
terpatri dalam setiap pribadi anak bangsa itulah yang akan
menumbuhkan nasionalisme.
Konstruk budaya bangsa tersebut akan melahirkan basic
personality15 bagi masyarakat suatu bangsa. Dan penguatan basic
personality masyarakat Indonesia hanya bisa dilakukan melalui
pendidikan16. Ini adalah imperatif (sifat memaksa) karena peserta
didik dalam abad 21 ini akan menghadapi tantangan baru yang
semakin kuat, yaitu rangsangan kemajuan teknologi dan kebudayaan
global yang tanpa jiwa17. Pancasila merupakan suatu konstruk budaya
yang digali dari sejarah bangsa ini yang multikultur. Ke-idealan
Pancasila sebagai sebuah konstruk budaya sekaligus identitas bangsa
perlu dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tujuan pendidikan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan
bangsa belum mendapatkan momen yang kuat dalam kerangka
melahirkan masyarakat terdidik. Pendidikan kita minus filosofi
pendidikan. Cita-cita mewujudkan pendidikan yang merata dan
bermutu ini masih jauh. Salah satu buktinya adalah kenyataan bahwa
pendidikan di Indonesia menempati peringkat terendah dalam survey
terkait sistem pendidikan yang diadakan oleh lembaga di luar
pemerintah. Sebagai contoh, Indonesia juga menempati posisi rendah
dalam hal budaya membaca buku/literasi (terendah di kawasan Asia

15
Tilaar, Mengindonesia: Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia,
Jakarta: Rineka Cipta, 2007, 44, 142-143.
16
Nilai-nilai kultural penting diejawantahkan dalam pendidikan,
sebab pendidikan adalah alat untuk mendesiminasikan nilai-nilai kultural.
Nilai-nilai kultural tersebut hanya bisa ditransformasikan melalui
pendidikan. Nyoman Dantes, “Perspektif Kebijakan Pendidikan Dalam
Menghadapi Tantangan Global”, Makalah, Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja, 2006.
17
Tilaar menyebutnya juga sebagai budaya yang inhuman. Tilaar,
Mengindonesia..., xxv.

Pendahuluan 9
Timur). Melihat hal ini, mewujudkan masyarakat terdidik kiranya
masih jauh dari kenyataan.18
Keterpurukan pendidikan Indonesia disinyalir karena sejak
proklamasi hingga saat ini, strategi kebijakan pendidikan Indonesia
tidak pernah mantap19. Inilah yang menyebabkan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia selalu rendah di bandingkan
negara-negara tetangga. Sebab kualitas manusia dihasilkan dari
proses pendidikan yang diselenggarakan di negara tersebut. Kualitas
pendidikan juga bisa dilihat dari indek HDI (Human Development
Indexs) suatu negara. Data di survey OECD menunjukkan kualitas
pendidikan jauh tertinggal dibanding negara-negara tetangga apalagi
negara maju. Bahkan harian Kompas sering kali menurunkan opini
ataupun berita terkait rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia,
seperti terkait rendahnya literasi yang menyebabkan kualitas orang
Indonesia (IPM, indeks pembangunan manusia) rendah.20, atau hasil
laporan Organization for Economic Cooperation and Development
atau OECD yang menunjukkan kondisi pendidikan di Indonesia jauh
di bawah dalam berbagai variable survey.
Pertanyaan besarnya, kenapa pendidikan di Indonesia begitu
terpuruk kualitasnya di bandingkan negara-negara tetangga?
Sementara pada era tahun 1970-an, Indonesia menjadi tujuan belajar
bagi negara-negara tetangga. Apakah hal ini karena kebijakan
pendidikan Indonesia yang salah atau kurang tepat?
Erat keterkaitan pendidikan dan ideologi Pancasila. Secara
garis besar disebutkan bahwa pendidikan semestinya menguatkan
Pancasila sebagai ideologi negara dan Bangsa Indonesia. Pendidikan
menjadi alat negara untuk menguatkan identitas, dan alat

18
Survei OECD pada penelitian PISA (Programme for International
Student Assessment ) tahun 2012
19
Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan: Sebuah
Refleksi Sejarah, Jakarta: Maarif Institute, 2009, 225.
20
Fictoria Fanggidae, “Sinyal, Tanda Bahaya IPM Indonesia’,
Kompas, 2/09/2016, dan masih banyak lagi tulisan lainnya yang menyoroti
soal pendidikan.

10 Ideologi Pendidikan
mencerdaskan bangsa. Pendidikan adalah rekayasa sosial bagi negara
untuk melanggengkan doktrin bernegara dan ideologi. Dimana
pendidikan memerlukan keberlangsungan dalam kurun waktu yang
lama dalam interaksi face to face antara guru dan siswa. Pendidikan
juga menjadi alat dari proses pembudayaan dan sekaligus pewarisan
budaya dalam sebuah masyarakat21.

Gambar 1: Pendidikan Sebagai Rekayasa Sosial


dan Tantangan Disrupsi Budaya

Sementara saat ini masyyarakat menghadapi disrupsi22 budaya


yaitu suatu kondisi yang dialami masyarakat akibat perubahan dan

21
Mahmud Arief, Pendidikan Islam Transformatif ,Yogyakarta: LKiS,
2008, 18.
22
Istilah disrupsi merujuk kepada perubahan yang mendasar atau
fundamental. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Clayton M.
Christensen, profesor Administrasi Bisnis dari Universitas Harvard.
Christensen menyebut disrupsi sebagai sebuah perubahan besar yang
membuat industri tidak berjalan seperti biasa, umumnya karena penemuan
teknologi. Perubahan itu memunculkan pemain-pemain baru dan membuat
pemain bisnis lama harus memikirkan ulang strategi berhadapan dengan era
baru ini. Rhenald Kasali dalam bukunya Disruption (2014), menjelaskan
bahwa perubahan yang terjadi yang dilakukan oleh sekelompok orang
awalnya sangat kecil dan terabaikan oleh pemain besar. Perubahan yang

Pendahuluan 11
kegamangan identitias budaya baik iniduvidu dan masyarakat itu
sendiri. Kegamangan tersebut menyebabkan disorientasi budaya,
yaitu individu kehilangan arah tujuan hidup, dependensi budaya, atau
tidak berkembangnya budaya masayarakat atau individu. Ketidak
berkembangnya budaya ini disebabkan karena ketergantungan
masyarakat atau individu terhadap budaya dari luar yang
menyebabkan minimnya kreativitas dan inovasi budaya genuine.
Disruosi budaya sendiri menyebabkan dismotivasi budaya, yaitu
hilangnya budaya kearifan lokal. Dan menyebabkan disfung
sionalisasi budaya, yaitu terjadinya penyempitan makna budaya yang
diartikan kepada budaya yang sifat kebendaan atau tangible.
Disrupsi budaya salah satunya disebabkan tuntutan
keterbuakaan ekonomi dan teknologi informasi yang bersifat global.
Masuknya modal multinasional jelas akan mempengaruhi kehidupan
bangsa. Sebagai negara yang termasuk dalam kelompok middle
income trap,23 Indonesia menghadapi ancaman multinational
corporate, akibat keikutsertaan Indonesia dengan berbagai perjanjian
perdagangan dan ekonomi dunia. Dimana mau tidak mau Indonesia
harus siap bersaing di kancah global dan menerima intervensi modal
multinasional untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan
keuntungan dari Indonesia. Jika tidak mampu berhadapan dan
merespon perubahan ekonomi global tersebut, Indonesia akan
terjebak menjadi negara berkembang bahkan akan turun level

terjadi tersebut ditunjang oleh teknologi dan menghasilkan sebuah


perubahan yang besar, cepatm mengejutkan dan memindahkan. Inilah
karakter perubahan abad ke 21. Clayton M Christensen menjelaskan
Disrupsi adalah konsep dari disrupsi adalah tentang respon terhadap
kompetisi. Disrupsi bukan soal teory pertumbuhan. Ini berkaitan dengan
pertumbuhan tetapi juga tidak hanya soal pertumbuhan itu sendiri. Majalah
IMAGZ, PT Asuransi Tugu Pratama Indonesia, Vol 07 April-Juli 2018, 6.
23
Yaitu Negara yang tersandera dengan pendapatan yang tak kunjung
naik atau merangkak maju. Disebabkan karena persoalan penataan kebijakan
ekonomi, jumlah penduduk, sistem politik dan kekuatan pengaruh global.
Faisal Basri, Menemukan Konsensus Kebangsaan Baru, Negara, Pasar, dan
Cita-Cita Kebangsaan, Jakarta: Pusad Paramadina, 2013,161, Tilaar, Guru
Kita: Artis Karakter & Kecerdasan, Jakarta: Lamalera, 2016, 230.

12 Ideologi Pendidikan
menjadi negara gagal ketika gagal memanfaatkan momentum
ekonomi. Pertanyaannya adalah bagaimana kita mampu mengahadapi
modal multinasional yang disalurkan melalui multinational corporate
dengan kepribadian bangsa yang kuat.
Selain persoalan tersebut Indonesia berhadapan dengan
identitas bangsa dan nasionalisme yang semakin menipis.24 Ini
dibuktikan dari memudarnya rasa sebangsa dan setanah air. Dimana
seseorang akan lebih nyaman dan menjawab secara otomatis ketika
ditanya soal identitas diri. Kebanyakan mereka menyebut
identitasnya dengan identitas agama atau suku. Bukan identitas
sebagai orang Indonesia. Indonesia adalah bangsa yang majemuk.
Kemajemukan yang sudah menjadi anugerah Tuhan Yang Maha Esa
(given). Kemajemukan dalam simbol budaya, bahasa, agama dan
keyakinan, pulau, etnis dan berbagai hal yang terkandung di
dalamnya. Itulah Indonesia Raya.
Pendidikan seharusnya menguatkan kemajemukan yang
menjadi modal budaya Bangsa Indonesia. Karena dasar dari Bangsa
Indonesia adalah kemajemukan dan budaya yang multikultur.
Pancasila adalah digali dari akar budaya yang majemuk. Praksis
Pendidikan menjadi salah satu alat untuk menguatkan budaya yang
majemuk tersebut.
Sayangnya praksis Pendidikan saat ini kurang optimal
menguatkan kemajemukan. Ada enam aspek dimana pendidikan
gagal mengotimalkan nilai-nilai Pancasila. Pertama praksis
pendidikan -baca sekolah, gagal untuk menghadirkan perbedaan di
kelas dan di lingkungan sekolah. Realitas sosial masyarakat Indonesia
yang majemuk, memungkinkan latar belakang budaya juga hadir di
sekolah. Sayangnya hal ini tidak dikelola dan tidak dimunculkan
sebagai sebuah wahana untuk saling berjumpa. Menghadirkan
perbedaan di lingkungan sekolah dan kelas, akan melahirkan sikap

24
Yang salah satunya disebabkan oleh arus globalisasi dan isme-isme
baru yang lebih mengedepankan model bounded system atau sistem yang
mendorong orang untuk mengelompok berdasarkan kesamaan suku, agama,
paham dan status sosial lainnya.

Pendahuluan 13
siswa yang tidak gagap dengan perbedaa. Perbedaan ini kemudian
disikapi secara positif untuk kemudian di kelola dengan optimal
untuk kebaikan kemanusiaan. Siswa akan lebih siap menghadapi
perbedaan, Karena mereka sadar bahwa perbedaan adalah merupakan
sunnatullah.
Kedua, praksis pendidikan kita gagal menguatkan perjumpaan
di lingkungan sekolah dan Kelas, serta mengajak siswa untuk
berjumpa dengan orang yang dianggap liyan. Perjumpaan dengan
orang liyan memungkin siswa belajar dari perbedaan dan dari
perjumpaan tersebut. Perjumpaan atau dalam bahasa agama
silaturahim akan melahirkan kesaling pengertian dan penguatan
kebersamaan. Sekolah belum pada tataran bagaimana mendorong
siswa untuk melakukan sesering mungkin perjumpaan.
Ketiga, praksis pendidikan kita lebih menguatkan prasangka
atau prejudice kepada pihak yang dianggap berbeda atau liyan. Hal
ini menyebabkan segregasi di ranah sosial semakin kuat. Masyarakat
semakin terkotak-kotak dengan kelompoknya saja. Pembauran sosial
yang sehat. setara, adil dan nyaman menjadi terkendala dengan
adanya prasangka. Orang akan cenderung mengelompok dengan
kelompoknya masing-masking. Prasangka menimbulkan kecurigaan
dan ketakutan. Dan pada akhirnya akan memicu konflik sosial.
Keempat, praksis pendidikan kita tidak atau kurang
menguatkan literasi. Kegagalan masyarakat memahami
kemajemukan dan mudahnya tersulut prasangka yang melahirkan
kecurigaan dan berakhir dengan konflik adalah karena praksis
Pendidikan tidak menguatkan budaya literasi. Budaya literasi
khususnya literasi baca buku, sangat rendah.25 Hal ini menyebabkan
masyarakat kita mudah sekali terkena sindrom berita bohong atau
hoaks. Perkembangan teknologi komunikasi terutama media sosial
mengakibatkan tsunami informasi. Pengguna media sosial disuguhi
jutaan informasi yang tak terferifikasi kebenarannya. Mereka secara
tidak langsung menjadi korban dan kadang menjadi penghantar dari

25
Lihat hasil survey OECD.

14 Ideologi Pendidikan
berita bohong yang banyak memenuhi media sosial. Bahkan sebagian
mampu menjadi produsen dari berita bohong.
Kelima, praksis pendidikan kita gagal menanamkan critical
thinking, berpikir kritis. Kegagala tersebut salah satunya disebabkan
karena rendahnya daya baca yang dibangun di sekolah. Sekolah
kurang optimal dalam menanamkan budaya baca. Bisa jadi hal
tersebut disebabkan model kurikulum berbasis kompetensi yang pada
ahirnya mengejar prestasi akademik dengan ukuran tinggi/rendahnya
nilai ahir. Bisa jadi juga hal tersebut disebab budaya media sosial
yang sudah menjadi candu. Dimana masyarakat mengalami
monophobia yaitu penyakit ketergantungan kepada gadget.
Keenam, praksis pendidikan gagal mengajarkan metodologi
critical thinking Tabayyun. Yaitu daya kritis untuk mengkonfirmasi
semua informasi yang diterima dengan melakukan crosscheck.
Dengan melakukan pendalaman atas informasi yang diterima. Hal
tersebut bisa dilakukan dengan mencari sumber informasi yang valid,
bertanya langsung kepada yang bersangkutan terkait isu tertentu
(informasi tertentu) dan melakukan dialog. Era disrupsi budaya
terutama karena perkembangan teknologi informasi yang
memberikan layanan serba cepat dan instan ini menyebabkan,
masyarakat enggan melakukan tabayun atas informasi yang di
dapatnya. Sehingga budaya HOAXs menjadi virus ditengah sunami
informasi yang terjadi saat ini di jagat media sosial.
Kegagalan tersebut menyebabkan kegagalan pendidikan dalam
identitas budaya dalam pendidikan. Globalisasi dan perkembangan
teknologi yang tidak ditangani atau disikapi dengan bijak akan
menyebabkan Ancaman. Ancaman yang datang dari gemuruhnya arus
budaya global yang menggerus identitas nasional. Sebagai bangsa
yang besar, identitas pribadi masyarakat Indonesia masih kabur.
Identitas kebangsaan masyarakat Indonesia tidak muncul. Proses
pembentukan identitas nasional suatu bangsa berjalan dalam proses
kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik, agama dan geografis
sejak jaman dahulu hingga sekarang. Dan ternyata pembentukan
proses identitas bangsa tersebut belum selesai. Sebagai contoh

Pendahuluan 15
perkembangan budaya lokal/daerah belum dikembangkan secara
kreatif dan maksimal. Bahkan cendrung budaya lokal ditinggalkan
oleh generasi muda. Jika ini terjadi, maka kita belum selesai menjadi
bangsa Indonesia.
Identitas kebangsaan masyarakat Indonesia sebagai
kepribadian bangsa belum terbentuk dari sistem budaya masyarakat
Indonesia. Padahal nasionalisme Indonesia dikembangkan dari
identitas dan budaya lokal/etnis dan puncaknya adalah identitas
Bangsa Indonesia. Kemunculan identitas budaya lokal/daerah sebagai
unsur penting dalam membangun budaya bangsa adalah fondasi
identitas dan nasionalisme26. Sehingga nasionalisme Indonesia adalah
bukan gaya Jawa, Sunda, Batak, Bali, Menado atau lainnya. Tapi
nasionalisme Indonesia adalah Bineka Tunggal Ika
Yang dimaksud identitas kebangsaan meminjam penjelasan
Margareth Mead yang dikutip Ramzy Same, identitas kebangsaan
bisa diartikan “National Character” atau “National Identity”27. Yaitu
upaya untuk menyusun suatu kerangka pikiran tentang sifat-sifat dan
karakter suatu bangsa yang dibawa sejak kelahirannya dan unsur-
unsur asli yang dipengaruhi oleh lingkungan budayanya pada tiap-
taip manusia yang dilahirkan. Pengalaman yang sama karena individu
tersebut hidup dan bergaul dalam lingkungan budaya yang sama
inilah yang melahirkan identitas nasional dan menjadi kepribadian
suatu bangsa28. Unsur-unsur tersebut dalam proses pendewasaannya
terintegrasi dalam tradisi sosial suatu bangsa dan kemudian menjadi
sifat-sifat kebudayaan yang sama, serta menonjol. Sifat kebudayaan
yang sama dan kuat tersebut menjadi ciri khas suatu bangsa tersebut.
Nasionalisme dan identitas bangsa Indonesia seharusnya
merujuk kepada Pancasila. Saat ini kondisi ideologi negara tersebut

26
Tilaar, Mengindonesia..., 43-47.
27
Tilaar, Kaledoskop Pendidikan Indonesia: Kumpulan Karangan,
Jakarta, Kompas Gramedia, 2012, 56 dan 66.
28
Sidarto Danusubroto, et.al., Kajian Ilmiah Masalah Perbedaan
Pendapat 4 Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Yogyakarta, PSP
UGM, 2013, 16.

16 Ideologi Pendidikan
tercabut dan terpisah dari kehidupan masyarakat. Interpretasi
Pancasila sejak dikenalkan oleh Sukarno hingga saat ini mengalami
metamorphosis yang berubah-rubah. Pancasila pada zaman Sukarno
diidentikkan dengan sikap gotong royong, pada zaman Suharto
dengan interpretasi 36 butir Pancasila dan jargon Pancasilais atau
Anti Pancasila. Dan saat ini Pancasila tidak diintrepretasikan dengan
cerdas oleh pemerintah29. Pancasila tidak menjadi ideologi yang
kuat dalam praktek kehidupan bernegara, berbangsa dan
bermasyarakat. Justru ideologi agama dan kelompok yang muncul
dan menguatkan identitas masyarakat Indonesia, bukan Pancasila.
Seharus Pancasila adalah landasan sikap dan identitas nasionalisme
dalam praksis kehidupan masyarakat kita.
Ancaman terhadap nasionalisme dan identitas bangsa juga
datang dari sikap penolakan terhadap perbedaan berbasis simbol
agama, etnis, budaya dan kepercayaan dari kelompok lain30. Yang
sebenarnya simbol budaya, agama, etnis atau lainnya adalah identitas
kebinekaan bangsa Indonesia. Berkembangnya prejudice atau
prasangka terhadap kelompok atau orang lain dan sikap pembenaran
primordial atas nama kelompok, atau agama semakin besar31. Sikap
penolakan atas nama agama tersebut disebabkan oleh sikap
konservatif dalam memahami agama. Sementara sikap konservatif
menjadi bagian dari apa yang disebut bounded system.
Dalam kajian antropologi dikenal istilah bounded system, yaitu
sebuah proses yang menunjukkan teritorialisasi masyarakat
berdasarkan sifat tertentu (bagian daerah tertentu yang telah

29
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencanangkan Empat
Pilar Bangsa yang kemdian di rubah menjadi Empak Konsensus Nasional
yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bineka Tunggal Ika.
30
Baca Sugiyarto, “Tantangan Terhadap Eksistensi Negara Bangsa
dan Pemaknaan Kembali Nasionalisme”, Humanika, vol 16, no 9, 2012, 1-8.
31
Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Prasangka Orang Indonesia:
Kumpulan Studi Empirik Prasangka dalam Berbagai Aspek Kehidupan
Orang Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006, 73, 173.

Pendahuluan 17
dibatasi oleh wilayah geografis atau nilai-nilai budaya).32 Dalam
konteks bounded system, masyarakat memiliki kecendrungan
mempertahankan batas-batas wilayah dan nilai-nilai budaya termasuk
dalam soal pemahaman agama. Sehingga pandangan masyarakat
terbelah menjadi dua yaitu in-group dan out-group33. Bentuk dari
pandangan in-out- group ini biasanya dalam bentuk pelabelan atau
stereotype terhadap orang atau masyarakat atau kelompok yang

32
Contoh paling sederhana dari bounded sistem adalah munculnya
penamaan Pecinan, Kampung Jawa, atau dalam skala internasional, seperti
masyarakat Jawa di Suriname atau daerah Pecinan di seluruh dunia.
Penyebutan tersebut menunjukkan adanya ikatan yang sama berdasarkan
teritorial tertentu dan atas dasar kesamaan budaya, dan model sistem sosial
yang bisa menjadi alat pengelompokan masyarakat. Namun demikian model
masyarakat yang terikat oleh bounded system mengalami perubahan karena
faktor komodifikasi pasar, integrasi pasar dan ekspansi pasar. Pada
masyarakat tradisional ketika budaya dan produksi lokal menjadi
komodifikasi yang bisa dijual, maka merubah orientasi dan jariangan
masyarakat menjadi lebih luas. Orientasi pasar dan jaringan masyarakat
tradisional ini juga dipengaruhi oleh saling keterhubungan sistem pasar itu
sendiri seperti hukum permintaan dan persediaan (supply and demands).
Dimana sistem perluasan jaringan sosial tersebut menyangkut juga dalam
hal perkawinan campuran antar etnis yang melahirkan anak dengan orientasi
yang lebih kaya budaya. Dan terakhir adalah ekspansi pasar dimana
kekuasaan teknologi informasi, transportasi dan modal melampaui etnisitas
dan identitas individu. Perkampungan yang semula didasarkan atas
persamaan etnis atau budaya seperti Kampung Jawa, Pecinan, Batak atau
didasarkan agama sebagai identifikasi budaya dan pemosisian diri berubah
menjadi identifikasi berdasarkan pola organisasi atau identifikasi diri yang
didasarkan atas kekuatan ekonomi dan modal. Contoh konkrit dari
perubahan bounded sistem berdasarkan budaya sebagai alat identifikasi diri
atau kelompok (sosial) telah berubah ke model identifikasi sosial
berdasarkan kekuatan ekonomi adalah munculnya perumahan-perumahan
baru yang didasarkan atas kemampuan ekonomi pembeli. Siapapun boleh
berdiam dan mendapatkan tempat di perumahan atas dasar besarnya
kemampuan ekonomi yang dimilikinya. Walapun akhirnya terjadi integrasi
sosial dan kelompok sosial baru dalam perubahan tersebut. Irwan Abdullah,
“Dari Bounded Sistem ke Borderless Society: Krisis metode antropologi
dalam Memahami Masyarakat Masa Kini”, Jurnal Antropologi Indonesia,
vol 30, no 2, 2006, 186-188.
33
Abdullah, “Dari Bounded...”, 185.

18 Ideologi Pendidikan
diluar kelompoknya. Pelabelan tersebut bisa dalam arti (konotatif)
positif dan negatif.
Pandangan terhadap kelompok sendiri selalu dalam posisi
kelompok unggul dan superior. Perasaan unggul ini melahirkan
kemauan dan sikap untuk rela berkorban serta berjuang demi
kelompoknya (willingness to fight and die for in-group). Sedang
terhadap kelompok luar, memandang sebaliknya : yaitu dianggap
sebagai kelompok rendah dan inferior (as contemptible, immoral,
and inferior), yang melahirkan sikap ketidak percayaan terhadap
kelompok lain dan takut keluar dari kelompok (distrust and fear of
the out-group).34
Yang kedua adalah jarak sosial. Jarak sosial merupakan
paradox kedua dalam hubungan in-group dan out-group. Jarak sosial
muncul dari stereotip dalam pandangan dimensi kemutlakan dan
kebenaran ajaran agama. Pandangan (kemutlakan dan kebenaran
ajaran agama) ini melahirkan truth claim. Truth claim atau klaim
kebenaran yang menegasikan kebenaran lainnya. Karena pencitraan
(image) negatif terhadap kelompok atau kepercayaan, kebenaran
agama lain. Klaim kebenaran menghasilkan suatu sikap teritorialisasi
secara rigid (baca, kaku) antara pemahaman yang benar dan yang
salah. Dan untuk memasuki dan diakui sebagai sebuah pemahaman
yang “benar” harus melalui persyaratan yang ketat. Sikap ini yang
kemudian di sebut sikap konservatisme yang ditandai dengan
kecendrungan mempersempit basis teologis dalam mendefinisikan
iman, islam dan memperluas basis bagi kufur.
Ketika basis konservatisme makin sempit, maka semakin
sedikit yang dianggap beriman (hanya yang mengikuti klaim
kebenarannya saja yang dianggap beriman) dan semakin lebar atau
banyak yang dianggap salah bahkan dianggap kafir. Dari sini dapat
ditarik sebuah benang merah, bahwa pemahaman atau cara pandang
kebenaran suatu kelompok akan melahirkan jarak sosial dengan

34
Syamsul Arifin, Studi Islam Kontemporer : Arus Radikalisasi dan
Multikulturalisme di Indonesia, Malang, Intrans Publishing, 2015, 9.

Pendahuluan 19
kelompok lainnya. Inilah yang mendasari dan digunakan oleh
kelompok-kelompok radikal teroris dalam menyebarkan, merekrut
dan mendasari aksi-aksi teror mereka.
Jelas sekali bahwa sikap konservatif akan menggerogoti
identitas dan nasionalisme suatu bangsa. Kunci penguatan identitas
dan nasionalisme bangsa tersebut ada pada pendidikan. Berkaca pada
Negara China, Jepang, dan Korea Selatan,35 tiga negara yang
tergolong negara maju tersebut, tidak kehilangan identitas dan
budaya nasionalnya. Bahkan identitas serta budaya nasional negara
tersebut justru diekspor ke luar. Bagaimana kita melihat budaya K-
Pop menjadi sangat familiar di seluruh belahan bumi36. Bagaimana
semangat BUSHIDO menjadi model dalam pengelolaan manajemen
dan perusahaan-perusahaan besar37. China hanya membutuhkan
waktu 30 tahun untuk menjadi negara maju untuk bersaing dengan
Amerika. Jepang butuh 40 tahun untuk menjadi negara maju dan
diperhitungkan dunia. Dan negara-negara tersebut maju dengan tidak
meninggalkan identitas dan nasionalismenya.
Adanya political will yang kuat dalam membangun pendidikan
dicontohkan oleh Finlandia. Negara yang memiliki ratting tertinggi
tingkat PISA (Programme for International Student Assessment) dan
kesejahteraan rakyatnya tersebut, tidak mencampuradukan kebijakan
pendidikannya dengan politik. Di Finlandia, kebijakan pendidikan
tidak terpengaruh oleh politik penguasa. Kebijakan pendidikan di
Finlandia dipegang tersendiri oleh badan otonom. Dan sudah 40
tahun kebijakan di Finlandia tidak berubah secara drastis.

35
Disebut juga serbuan “gelombang Korea” atau hallyu. Aan
Rukmana dan Edi Lembong, Penyerbukan Silang Antarbudaya, Membangun
Manusia Indonesia (Jakarta: Elekmedia Komputindo, 2015), iii.
36
Mahnan Marbawi, Penguatan Pendidikan Nasional Berbasis
Pendidikan Multkultur, Pancasila dan Peguatan Jati Diri Bangsa: Sebuah
Catatan Diskusi, Jakarta: Education and Kultur Forum (JEF), 2016, 28.
37
Inazo Nitobe, Bushido The Soul of Japan, New York: Putman’s
Sons, 2015.

20 Ideologi Pendidikan
Lalu bagaimana kebijakan pendidikan di Indonesia…? Ukuran
yang paling mudah untuk melihat pendidikan di Indonesia adalah
hasil test PISA. PISA mengukur tiga kecakapan siswa : pemahaman
literasi, kemampuan logika melalui matematika dan penggunaan
teknologi dan sains. Hasil dari test PISA tersebut menempatkan
Indonesia pada jajaran negara papan bawah. Hasil survey PISA
khususnya pada bidang matematikan dan membaca tahun 2012,
Indonesia berada di peringkat ke-64 dari 65 negara di dunia yang
disurvey PISA38.
Berkaca pada Jepang, Korea Selatan dan Finlandia yang
mampu menguatkan struktur dan sistem pendidikannya dan kuat
dalam identitas kebangsaannya, pengelolaan tenaga pengajar menjadi
faktor utama. Dinegara-negara tersebut, persyaratan untuk menjadi
seorang guru adalah sangat ketat dan memiliki kriteria tersendiri. Hal
ini berkaitan dengan posisi guru sebagai sebuah profesi yang sangat
menentukan. Memang apa yang dilakukan oleh Finlandia tidak semua
bisa dilakukan di Indonesia. Sebab kondisi, budaya dan political will
dalam soal pendidikan di Indonesia sangat bergantung pada
perkembangan dan kemauan politik para penguasanya.
Namun demikian, kita sepakat bahwa kunci untuk memperkuat
identitas bangsa serta kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh
seberapa profesional gurunya. Faktanya guru kita tidak atau belum
menjadi guru yang betul-betul memiliki kemampuan profesional
dalam profesinya39. Hal ini sering kali terlihat dalam praktek

38
HU Kompas 5/12, 2015.
39
Guru yang baik dan akan menjadi profesional adalah guru yang
memiliki ruh sebagai guru yaitu sebuah tanggungjawab yang tidak berbatas
terhadap pendidikan anak-anak didiknya, terhadap peningkatan kualitas
akhlak dan pengetahuan anak-anak didiknya. Guru yang memiliki ruh
sebagai guru akan tercermin dalam sikap dan tangungjawabnya dalam
melaksanakan tugas tidak hanya asal gugur kewajiban. Rasa memiliki yang
tinggi kepada anak didik dan tugas pendidikannya. Dalam istilah pesantren
disebutkan al-tariqah ahhammu min al-maddah (kurikulum), wa al-mudaris
ahhammu min al-tariqah (metodologi), wa ruh al-mudaris ahhammu min
nafsih--- ruh guru atau spirit pendidik adalah menanamkan nilai, daya semai

Pendahuluan 21
pembelajaran yang berlangsung hanya pada transfer knowledge atau
pengetahuan. Padahal dalam konteks pendidikan, semestinya yang
dilakukan di sekolah dan di ruang kelas adalah penanaman nilai dan
mendorong siswa merefleksikan pengalaman hidupnya. Refleksi
pengalaman hidup tersebut akan tergambar dalam skill yang dimiliki
siswa serta kemampuan logiknya dalam menyelesaikan persoalan.
Inilah yang belum terlihat dalam sistem Pendidikan di Indonesia yang
sangat bergantung dari fluktuasi politik penguasa40.
Guru sebagai objek dari kebijakan pendidikan seolah tidak
berdaya dari apa yang diberikan penguasa. Kurikulum yang ada,
menjadi “kitab suci” bagi guru dalam proses pembelajaran di kelas.
Guru sendiri tidak dibekali bagaimana dia mengelola proses
pendidikan dan kurikulum tersebut. Akibat dari ketidakmapanan
sistem pendidikan di Indonesia ini adalah politisasi pendidikan dan
guru. Politisasi pendidikan dan guru yang di topang pelaksanaan
sistem otonomi daerah menyebabkan guru selalu menjadi objek dan
sasaran intimidasi pada setiap prosesi politik pemilihan kepala daerah
(pilkada)41.
Penguatan identitas, nasionalisme dan kebudayaan bangsa
menjadi penting diperhatikan oleh dunia pendidikan berkaitan dengan
pengaruh globalisasi. Globalisasi yang diartikan Anthony Giddens
sebagai intensifikasi dari hubungan sosial di dunia yang
menghubungkan berbagai lokalitas dan saling keterpengaruhan antar
peristiwa di berbagai tempat terpisah. Globalisasi juga diartikan
Frederic Jameson adalah suatu refleksi dari meluasnya komunikasi di
dunia, berkembangnya pasar bebas. David Held mendefinisikan

guru, inspirasi utk siswa. Ruh guru lebih utama dari pada metodologi
ataupun kurikulum itu sendiri. Ruh Guru adalah kekuatan daya semai guru
untuk menanamkan nilai-nilai kepada anak didiknya. Mahnan Marbawi,
“Daya Semai Guru Lemah”, Media Indonesia, 2015.
40
Tilaar, Kuasaan dan Pendidikan, Magelang, IndonesiaTera, 2003,
69, 140.
41
Tilaar, Pendidikan dan Kekuasaan, 150-151, Tilaar, Guru Kita:
Artis Karakter & Kecerdasan, Jakarta, Lamalera, 2016), 224.

22 Ideologi Pendidikan
globalisasi adalah proses transformasi dalam berbagai organisasi
spasial yang terhubung dalam hubungan sosial serta berbagai
transaksi yang terjadi di dalamnya42.
Globalisasi adalah liberalisasi dan integrasi dari pasar bebas.
Globalisasi adalah proses yang tidak bisa dihindari dan tidak dapat
ditangguhkan. Interkonektivitas yang diakibatkan kemajuan
teknologi informasi menjadi ciri dari globalisasi. Penguatan pasar
bebas dan budaya global menjadi medium penyebaran paham
globalisme yang diprakarsai oleh multi national corporate.
Globalisasi hakekatnya adalah mengumpulkan kekuatan
material oleh multinational corporate untuk menguasai cara berfikir,
bersikap dan berperilaku serta mempengaruhi budaya masyarakat.
Globalisasi akan melahirkan manusia tanpa jiwa. Sebab mereka
hanya akan mendendangkan budaya kosmopolitan yang tidak berakar
pada budaya lokal. Menurut George Ritzer globalisasi sebenarnya
merupakan suatu arus perubahan tanpa jiwa (globalization for
nothing)43. Tilaar menyebutnya globalisasi yang inhuman44. Pancasila
adalah jawaban dari arus perubahan yang tanpa jiwa tersebut.
Pancasila adalah basic personality dari bangsa Indonesia yang harus
dikuatkan.
Pendidikan seharusnya menguatkan kembali akar budaya dan
jati diri bangsa Indonesia. Pengaruh globalisasi dalam pendidikan
adalah adanya pendidikan yang hanya melayani kelas kapitalis. Atau
justru sebaliknya pendidikan diadakan untuk melayani kebutuhan
tenaga-tenaga yang dibutuhkan oleh multinational corporate. Dimana
para siswa yang dihasilkan tidak memiliki daya tawar kuat

42
Tilaar, Pengembangan Kreativitas dan Entrepreneurship dalam
Pendidikan Nasional, Jakarta, Kompas Gramedia, 2012, 18.
43
Tilaar, Pengembangan Kreativitas, 38.
44
Tilaar, Mengindonesia, xxv.

Pendahuluan 23
berhadapan sistem fleksibilitas pasar kerja atau out shourching yang
menjadi ideologi multinational corporate45.
Pendidikan di era globalisasi seharusnya menekankan pada
tumbuhnya pribadi yang terikat kepada norma-norma etnisitas atau
kearifan lokal yang berkembang sesuai perkembangan zaman dan
pribadi yang mempunyai identitas sebagai kelompok bangsa tertentu.
Untuk menumbuhkan pribadi yang memiliki identitas budaya dalam
menghadapi globalisasi tersebut dibutuhkan pendidikan yang
trasformatif. Yaitu pendidikan yang mampu mengembangkan
kemampuan pribadi dalam memilih secara personal berbagai
pengaruh di era globalisasi saat ini. Dan tidak hanyut dalam arus
globalisasi46. Dan dasar-dasar local wisdom yang utama tersebut
adalah nilai-nilai Pancasila.
Ditengah kemajemukan bangsa Indonesia dengan 740 suku
bangsa dan terpaan gelombang globalisasi yang tanpa jiwa tersebut
serta terpaan ideologi trans nasional, Pancasila harus menunjukkan
watak keabadiannya. Watak keabadian Pancasila adalah kemampuan
untuk bertahan, menjawab dan diimplementasikan semua nilai-nilai
yang ada di dalamnya ketika berhadapan dengan arus budaya global
dan ideologi trans nasional.
Karl Marx yang melahirkan teori besar terkait kelas sosial
berjouis dan proletar melahirkan ideologi politik komunis. Sementara
kapitalisme melahirkan liberalisme dan konsep pasar bebas. Yang
mengagungkan laissez faire yaitu biarkan pasar bergerak
sekehendaknya dimana pemerintah tidak boleh melakukan campur
tangan.
Konsep Marxisme dan Kapitalisme tersebut tercermin dalam
setiap aspek kehidupan politik, ekonomi dan sosial negara yang
menganutnya. Sebagai contoh dinegara-negara barat yang menganut

45
Indrasari Tjandraningsih, “Pasar Kerja Fleksibel dan Keadilan bagi
Kaum Pekerja”, Faisal Basri, Menemukan Konsensus Kebangsaan Baru,
Negara Pasar, Dan Cita-Cita Keadilan, Jakarta, Pusat Paramadina, 2014, 93-
108.
46
Tilaar, Mengindonesia, xxv.

24 Ideologi Pendidikan
model kapitalis pasar bebas, melahirkan konsep penghargaan yang
tinggi terhadap kebebasan dan hak-hak individu. Kapitalisme pasar
bebas juga ditunjang oleh kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi yang melahirkan berbagai perusahaan berskala global
atau multinational corporate seperti yang telah disebutkan di atas.
Maka kemudian, ideologi-ideologi tersebut memiliki
kepanjangan tangan dan basis implementasi dalam kehidupan sosial,
politik dan ekonomi. Bahkan ideologi-ideologi tersebut mampu
melahirkan model struktur keilmuan baru dalam setiap sistem yang
menggunakannya47. Kemampuan menurunkan teori yang aplikatif
dan ditunjang oleh struktur keilmuan yang sahih menjadikan ideologi
kapitalis memiliki watak keabadian.
Sebagai idologi, Pancasila digali dari khazanah kebudayaan,
sejarah kehidupan masyarakat Indonesia sejak dahulu kala. Dan nilai-
nilai yang terkandung dalam Pancasila, masih tetap aktual dan
relevan dengan kehidupan saat ini dan yang akan datang. Lalu kenapa
justru saat ini Pancasila seolah kehilangan watak kebadiannya? Hal
yang sama semestinya dimiliki oleh Pancasila. Watak keabadian
mutlak harus dimiliki oleh Pancasila sebagai ideologi dengan cara
melahirkan teori sosial, politik dan ekonomi baru yang berbasis
Pancasila. Ini watak keabadian yang pertama Pancasila, yaitu
menurunkan turunan teoritik Pancasila dalam semua aspek kehidupan
sosial, politik dan ekonomi.
Selain persoalan Orde Baru Phobia48, pelaksanaan Pancasila
secara murni dan konsekuen tidak terjadi atau tidak dilakukan oleh
seluruh masyarakat dalam hal ini pemegang kekuasaan. Pancasila
tidak diterjemahkan dan tidak diturunkan menjadi teori-teori sosial
ekonomi dan politik yang mampu diimplementasikan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.

47
Sebagai contoh, Kapitalisme melahirkan liberalisme dan pasar
bebas. Marxisme melahirkan sosialis-komunis.
48
Pasca Seoharto lengser, segala yang berbau Orde Baru termasuk
asas tunggal Pancasila, P4, BP7 semua diberangus atau dicabut. Inilah yang
penulis maksud Orde Baru phobia.

Pendahuluan 25
Sebenarnya Mohammad Hatta telah mencoba menurunkan
teori baru sebagai ejawantah dari Pancasila yaitu ekonomi kerakyatan
atau ekonomi Pancasila49. Sayangnya teori ekonomi kerakyatan yang
berbasis kepada sistem ekonomi Koperasi50 Mohammad Hatta ini,
tidak mendapat respon kuat dari para pakar ekonomi Indonesia
sendiri. Ekonomi kerakyatan Hatta “hangus” oleh ekonomi kapitalis
dan pasar bebas yang digadang-gadang beberapa ekonom Indonesia
ketika awal mula era reformasi.
Watak keabadian Pancasila juga mutlak diperlukan manakala
melihat rapuhnya ideologi Pancasila berhadapan dengan
kemungkinan munculnya konflik dalam masyarakat majemuk. Hal
tersebut didasarkan atas penelitian Berghe yang mengemukakan
enam karakteristik dasar masyarakat majemuk: 1) Adanya kelompok-
kelompok yang tersegmentasi dalam sub kebudayaan yang berbeda
satu sama lain 2) Adanya lembaga-lembaga yang bersifat non
komplementer sebagai bagian dari struktur sosial 3) Tidak adanya
konsensus bersama terhadap nilai-nilai dasar 4) Konflik antar
kelompok 5) Ketergantungan di bidang ekonomi dan paksaan
menjadi alat untuk integrasi sosial 6) Dominasi politik oleh satu
kelompok atas kelompok lain51. Teori Berghe terkait masyarakat
majemuk ini menguatkan distorsi dan rapuhnya Pancasila sebagai
ideologi. Tidak adanya pengembangan konsensus terhadap nilai-nilai
Pancasila menyebabkan Pancasila di era reformasi kehilangan elan
vitalnya. Sebaliknya pada era Orde Baru Pancasila dijadikan alat
penekan untuk menjadi alat integrasi dan dominasi politik dengan
jargon Pancasilais dan Anti Pancasila. Padahal adanya pengembangan
konsensus terhadap nilai-nilai Pancasila merupakan syarat kedua
watak keabadian Pancasila.

49
Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam: Menangkap Makna
Maqashid al-Syariah , Jakarta, Kompas Gramedia, 2010, xiii, xiv, 345
50
Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam, 218.
51
Syamsul Arifin, Studi Islam Kontemporer (Malang : Intrans
Publishing, 2015), 13.

26 Ideologi Pendidikan
Dalam konteks menjaga watak keabadian Pancasila sebagai
ideologi yang ketiga adalah membangun framing baru Pancasila
sebagai ideologi. Framing baru yang dimaksud adalah setara dengan
teorisasi Pancasila dalam bidang sosial, ekonomi dan politik. Namun
dalam framing lebih operasional dan diturunkan dari teorisasi yang
telah dihasilkan. Sebagai contoh bagaimana Pancasila dimaknai
dalam konteks kehidupan generasi muda saat ini yang sangat
terpengaruh oleh teknologi informasi. Atau bagaimana kelas
menengah Indonesia memaknai Pancasila sebagai ideologi negara
yang tetap up to date pada zamannya. Inilah yang penulis maksud
Pancasila di interpretasikan dan diimplementasikan secara
fashionable.
Kemandirian sebagai bangsa dengan menguatkan Ideologi
Pancasila adalah martabat bangsa. Melaksanakannya Pancasila secara
murni dan konsekuen adalah menjadi muru’ah (kehormatan) bangsa.
Sebab jika menilik kehidupan generasi muda saat ini, mereka sudah
tercabut dari akar budaya Pancasila dan lebih familiar dengan budaya
global. Inilah pentingnya framing untuk kalangan generasi muda saat
ini.
Framing Pancasila juga berarti bagaimana Pancasila
diterjemahkan ke dalam sebuah sistem sosio-cutural yang menjadi
added value, untuk melawan globalisasi yang berwatak individualis,
liberal dan kapitalistik. Mengartikulasikan sila-sila dalam Pancasila
kedalam peri kehidupan dan mental masyarakat. Karena itu
dibutuhkan strategi budaya untuk mengimplementasikan Pancasila
dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia. Dan salah satunya
melalui strategi penguatan wawasan ke-Indonesiaan baik secara
geografis, sosial dan budaya52.
Watak keabadian yang keempat Pancasila juga harus ditunjang
dengan filsafat Pancasila. Dimana filsafat Pancasila adalah
argumentasi intelektual dan sosial serta politik terhadap pentingnya

52
Sri Edi Swasono, Keindonesiaan Keberdaulatan dan Kemandirian
(Yogyakarta : Univ Sarjana Wiyata Press, 2015), 101, 138, 200, 206.

Pendahuluan 27
pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen oleh seluruh
elemen bangsa ini. Kenyataannya filsafat Pancasila yang seharusnya
menjadi ilmu tersendiri, terkungkung oleh sebuah mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan ditingkat sekolah dasar hingga sekolah
menengah atas bahkan perguruan tinggi.
Salah satu pilar yang akan menguatkan Pancasila adalah kelas
menengah53 yang memahami Pancasila. Inilah momentum yang
sangat baik untuk menguatkan Indonesia ditengah bonus demografi
yang rapuh.54 Kelas menengah yang memahami ideologi Pancasila
yang ditunjang kemampuan teknologi informasi yang tinggi akan
mampu menginterpretasikan Pancasila secara aktual dan
fashionable55. Dalam arti sesuai dengan perkembangan budaya namun
tetap merujuk kepada inti dasar nilai Pancasila56.

53
Kelas menengah diartikan sebagai sekelompok masyarakat yang
berusia antara 25-40 tahun dengan income percapita mencapai 3,600 U$,
memahami teknologi dan pada tahun 2020 mencapai angka 85 juta dan pada
tahun 2030 mencapai angka 135 juta. Syaiful Afif, “The Rising of Middle
Class in Indonesia: Opportunity and Challenge”, Perencanaan Pembangunan,
vol 2, no 1, 2015, 14-25.
54
Victoria Fanggidae, “Sinyal Tanda Bahaya.”, 7. Dalam tulisannya
Victoria menunjukkan angka-angka yang sangat memprihatinkan terkait
tingkat literasi, pemahaman terhada struktur kalimat yang sederhana dan
beberapa hal lainnya, dimana level masyarakat dewasa yang menjadi subyek
penelitian berada di level<1 untuk survey PIAAC atau survey kompetensi
dewasa. Dan ini terjadi untuk masyarakat dewasa Jakarta, atau 78,99 Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) Jakarta. Jika IPM Jakarta saja berada di level
78,99 dengan PIAAC dibawal level 1 (level<1) bagaimana kondisi IPM
Indonesia secara keseluruhan? Bagaimana kualitas manusia Indonesia jika
demografi Indonesia menurut beberapa penelitian akan mengalami
pertumbuhan penduduk yang sangat besar di tahun 2025 dan 2030?
Mengerikan.
55
Penulis mengartikan fashionable adalah sesuai dengan gaya dan
kehidupan kelas menengah yang sangat teknologi mainded.
56
Perlu dicari Strategi budaya yang sesuai dengan sosial budaya kelas
menengah yang memiliki tingkat literasi teknologi informasi dan ekonomi
yang cukup mapan.

28 Ideologi Pendidikan
Keabadian Pancasila yang kelima manakala Bangsa Indonesia
mampu merumuskan pelaksanaan nilai-nilai Pancasila secara murni
dan konsekuen57. Dalam mengukur pelaksanaan sila-sila Pancasila
beberapa alat ukur yang banyak digunakan oleh berbagai lembaga
bisa dijadikan rujukan. Seperti untuk mengukur Sila Pertama
Ketuhanan Yang Maha Esa menggunakan model Economic
Islamicity Index (EII). Untuk mengukur sila pertama juga bisa
menggunakan indeks kebebasan beragama. Sila Kedua Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab bisa menggunakan Sosial Progress Index
(SPI). Sila Keempat menggunakan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI)
dan Sila Kelima menggunakan Rasio Gini58. Adapun untuk Sila
Ketiga bisa dilihat dari confort zone (zona nyaman) masyarakat
Indonesia yang lebih nyaman menyebut seumat, seagama sedaerah.
Tidak atau belum nyaman menyebut diri sebangsa, dan setanah air.
Sebab memang menjadi sebangsa adalah proses yang terus menerus
untuk menjadi Indonesia59. Perasaan nyaman yang masih bersifat
etnisitas atau tribalisme60 ini juga diperkuat dengan sistem otonomi
yang mengedepankan putra daerah, agama atau etnis tertentu dalam
sistem pemerintahan otonomi.
Pancasila sebagai landasan pendidikan di Indonesia juga
melandasi pendidikan Islam. Di awal telah dijelaskan bahwa nilai-
nilai Islam adalah compatible dengan nilai-nilai Islam, namun

57
Nugroho Noto Susanto, Tercapainya Konsensus Nasional 1966-
1969 (Jakarta Balai Pustaka, 1985), Sunoto, Mengenal FIlsafat Pancasila
Pendekatan Melalui Sejarah dan Pelaksanaannya (Yogyakata: Fak Ekonomi
UII Yogyakarta, 1982), Moh Hatta, et.al., Uraian Pancasila (Jakarrta:
Mutiara, 1980), Sri Edi Swasono, Pancasila Eksistensialisme Bangsa
Indonesia (Jakarta: Lemhanas, 2016).
58
Emil Salim, “Bangun Bangsa Pancasila”, Kompas, 25/08/2016,7,
“Negara Pancasila”, Kompas, 18/09/2016, 7.
59
Yonky Karman, “Pancasila Cita-Cita Indonesia”, Kompas,
01/10/2016, 6, Mahnan Marbawi, Kita Belum Menjadi Indonesia : Catatan
Diskusi (Jakarta Education and Kultur Forum (JEF), 2015, 3.
60
Tilaar, Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia,
Jakarta Rineka Cipta, 2007, xxv.

Pendahuluan 29
Pancasila tidak bisa substitusi atau menjadi pengganti dari pada
agama. Dalam konteks ini perlu strategi budaya untuk menguatkan
Pancasila melalui Pendidikan Agama Islam61.
Strategi budaya yang dimaksud adalah upaya yang dilakukan
oleh pemerintah dalam menguatkan ideologi Pancasila dalam
pendidikan sesuai kondisi dan perkembangan teknologi informasi dan
perkembangan masyarakat serta kondisi peserta didik. Disini
ditekankan bahwa bagaimana nilai-nilai Pancasila menjadi salah satu
“nalar berfikir dan nalar nilai” 62yang digunakan dalam Pendidikan
Agama Islam selain “nalar agama63”.
Keduanya saling berinteraksi satu sama lain dengan ideal tanpa
harus berseberangan. Dalam konteks ini, “nalar fikir dan nalar nilai
Pancasila” bisa jadi adalah bagian dari buah “nalar agama” yaitu

61
Di atas telah dijelaskan bahwa nilai-nilai Pancasila adalah
compatible dengan nilai-nilai Islam namun nilai Pancasila tidak bisa menjadi
substitusi terhadap nilai-nilai Islam. Walau pun demikian, dalam konteks
kehidupan, setiap orang bisa mengambil rumusan ata rujukan nilai dari
berbagai filsafat. Bisa dari Pancasila, bisa dari agama atau kearifan lokal.
Dan semua nilai-nilai rujukan yang diambil tersebut tidak saling
bertentangan secara substansi. Sebagai contoh: seorang melakukan kebaikan
menjaga lingkungan bisa jadi didorong oleh ajaran agamanya, atau memang
kearifan lokal yang dianutnya dan juga bisa dari nilai-nilai Pancasila.
Landasan perbuatan baiknya didasarkan atas pilihan rujuakn nilai yang dia
yakini, namun rujukan nilai tersebut kesemuanya memiliki substansi yang
baik dan tidak saling bertentangan.
62
Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif (Yogyakata: LKiS,
2008), 103. Nalar nilai adalah argumentasi atas nilai-nilai Pancasila yang
seharusya menjadi ejawantah dari sila-sila Pancasila. Nalar pikir adalah
argumentasi pentingnya Pancasila menjadi bagian integral dalam seluruh
aspek pendidikan.
63
Istilah penggunaan nalar dimaksudkan sebagai adanya argumentasi
yang sahih atas istilah tersebut. Nalar agama yang dimaksud adalah dalam
sistem pengajaran pendidikan Islam selama ini bersifat dogmatis yang
sangat dipengaruhi oleh nalar bayani yang dibangun oleh al-Ghazālī dalam
teologi dan al-Syāfi‘ī dalam fikih. Nalar agama adalah mengembalikan
kembali nalar pikir yang menyeimbangkan antara nalar bayanī, nalar ‘irfanī
dan burhanī. Arief, Pendidikan Islam, 37-65.

30 Ideologi Pendidikan
afeksi berupa perilaku mulia atau akhlak (nalar akhlak64). Bagaimana
Pendidikan Agama Islam memandang Pancasila sebagai satu
kesatuan utuh dalam proses pendidikan untuk saling menguatkan dan
menegaskan pentingnya nalar fikir dan nalar nilai yang selaras
dengan nalar agama/akhlak.
Nalar agama yang lebih kepada nalar akhlak sebagai hasil dari
sebuah proses pendidikan dalam Islam merupakan pemikiran
dominan dalam pendidikan Islam saat ini, Pendidikan Agama Islam
adalah pendidikan akhlak yang berorientasi kepada keluhuran morak-
etik65. Dalam konteks ini pendidikan dalam Islam adalah proses
pembentukan dan pembinaan akhlak. Sehingga pendidikan dalam
konsep nalar akhlak, hanya sebagai pewarisan budaya.
Faktanya pendidikan agama dalam konteks nalar akhlak
tersebut belum terbukti keandalannya dalam membangun moral
bangsa. Kejujuran, kedisiplinan dan sikap positif lainnya belum
terlihat kuat sebagai hasil dari pendidikan agama66. Selain itu model
pembelajaran yang bertumpu pada metode ceramah (monolog)
menjadi budaya praksis pendidikan di Indonesia termasuk pendidikan
agama. Hal mana yang disebut oleh Tilaar sebagai budaya
intelektualisme verbalis.67
Model pendidikan monolog dalam pendidikan menyebabkan
pendidikan termasuk pendidikan agama lepas konteks dari
“keindonesiaan yang bineka” sebagai sebuah realitas. Nuansa
keindonesiaan yang bineka tersebut seharusnya hadir di dalam kelas-

64
Sementara nalar akhlak adalah argumentasi atas sikap afektif yang
seharusnya menjadi bagian hasil dari pendidikan selain nalar pikir itu sendiri
atau knowledge, yang menjadi tujuan dari pendidikan agama.
65
Arief, Pendidikan Islam,115.
66
Arief, Pendidikan Islam, 210.
67
Yakni proses pembelajaran yang monolog, tidak membuka ruang
pengembangan analisis berpikir, materi disodorkan sebagai fakta yang harus
dihafakan. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani
Indonesia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), 105-107.

Pendahuluan 31
kelas dan proses pembelajaran pendidikan agama. Nuansa
keindonesiaan yang bineka adalah salah satu sari pati dari Pancasila.
Tantangan untuk Pendidikan Agama Islam mengartikulasikan
nilai-nilai keindonesiaan yang bineka dalam praksis pembelajarannya.
Sekaligus mengartikulasikan nilai-nilai Pancasila sebagai bagian dari
nalar akhlak Pendidikan Agama Islam68. Pendidikan Agama Islam
juga harus mampu memberikan jawaban atas tantangan reformasi dan
globalisme yang melahirkan generasi tanpa jiwa, menjadi generasi
yang memiliki karakter positif, memiliki kesadaran religious yang
kuat, mampu bersaing di era global serta mampu menentukan
pilihannya sendiri dengan tepat dan benar69.
Inilah yang ingin digali dalam buku yang berawal dari disertasi
ini, yaitu Pancasila pasca Orde Baru70 yang mengalami fase
kemunduran atau tidak menjadi mainstream lagi dalam praksis
kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu buku ini juga
bertujuan menguatkan Pancasila melalui pendidikan.

B. Merumuskan Gagasan
Dari latar belakang di atas, beberapa permasalahan yang
muncul terkait Pancasila di Era Reformasi sebagai berikut: Pertama,
terkait kondisi Pancasila pasca Orde Baru, dimana Pancasila sebagai
ideologi negara yang tidak lagi menjadi mainstream atau arus utama
dalam diskursus kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat

68
Ibn Miskwayh menyebutkan potensi pendidikan secara psikologis
membentuk kualifikasi hikmah, iffah, shaja’ah, dan adalah. Hikmah adalah
kemampuan mengetahui, berpikir, menalar, dan memilah; iffah adalah
kemampuan mengendalikan keinginan sesuai pertimbangan akal sehat;
shaja’ah adalah kesanggupan mengarahkan semangat/keberanian selaras
pertimbangan akal sehat; adalah adalah keseimbangan antar berbagai potensi
diri. Ibn Miskawayh, Tahzib al-Akhlaq fī al-Tarbiyah (Beirut: Dār al-Kutb
al-‘Ilmiah, 1985), 12-17.
69
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi
Menuju Milenium Baru (Jakarta : Logos, Jakarta, 2002), 43.
70
Istilah reformasi yang dimaksud adalah pasca lengsernya Soeharto
pada tahun 1998 hingga saat ini.

32 Ideologi Pendidikan
termasuk dalam dunia pendidikan. Pancasila tidak diajarkan lagi di
ruang-ruang kelas sekolah. Kedua, terkait tantangan yang dihadapi
Pancasila sebagai ideologi dalam menghadapi perubahan global.
Bagaimana Pancasila sebagai ideologi merespon globalisasi yang
menjadi fakta empiris dalam diskursus kehidupan masyarakat.
Ketiga, bagaimana Pendidikan Agama Islam memandang Pancasila
sebagai satu kesatuan utuh dalam proses pendidikan untuk saling
menguatkan dan menegaskan pentingnya nalar pikir dan nalar nilai
yang selaras dengan nalar agama/nalar akhlak.
Dari identifikasi masalah di atas, penelitian ini akan dibatasi
pada tiga hal yaitu: Pertama, konsep ideologi Pancasila, konsep
watak keabadian Pancasila dan konsep strategi budaya. Pada tataran
konsep, Pancasila adalah ideologi yang digali dari akar budaya
Bangsa Indonesia sejak zaman pra kolonial, hingga zaman
kemerdekaan dan digali oleh Soekarno. Pada tataran konsep ini,
kesejarahan Pancasila sebagai konstruk ideologi atau dasar negara
yang ditemukan dan digali oleh Soekarno. Sementara konstruk dasar
negara yang disampaikan oleh Moh Yamin dan Supomo pada sidang
BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) menjadi runutan sejarah kelahiran Pancasila. Konsep dasar
Negara yang diambil adalah berdasarkan pidato Soekarno pada
tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI.
Adapun yang dimaksud strategi kebudayaan adalah lebih luas
dari sekedar menyusun sebuah kebijakan. Strategi budaya yang
dimaksud adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam
menguatkan ideologi Pancasila dalam pendidikan sesuai kondisi dan
perkembangan teknologi informasi dan perkembangan masyarakat
serta kondisi peserta didik. Strategi kebudayaan71 berkaitan dengan
berbagai faktor dan elemen terkait penguatan Pancasila melalui
pendidikan. Seperti aspek kebijakan pendidikan, kurikulum,
penguatan kapasitas guru, membangun kultur sekolah, materi ajar,
mata pelajaran, perubahan perilaku yang diharapkan, manajerial

71
Van Peursen, Strategi Kebudayaan (Jakarta: Kanisius, 1999), 35.

Pendahuluan 33
kepala sekolah dan berbagai hal lainnya. Semua hal tersebut bagian
dari strategi kebudayaan yang seharusnya menjadi perhatian penuh
dari pengambil kebijakan dalam menguatkan ideologi Pancasila. Dan
dalam penelitian ini strategi kebudayan melalui pendidikan dalam
penguatan Pancasila akan dibatasi pada era Soharto dan era
reformasi.
Sementara watak keabadian Pancasila adalah kemampuan
Pancasila menjawab tantangan globalisasi dan menjawab berbagai
problematika kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat
dalam lapangan kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya,
menjadi sebuah model turunan teori baru. Seperti teori sosial
Pancasila, Teori ekonomi kerakyatan Pancasila, teori politik
Pancasila. Artinya kemampuan Pancasila menjadi sebuah sumber
lapangan penelitian yang mengembangan kajian ilmiah keilmuan
dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan budaya serta tentu kajian
filsafat Pancasila.
Yang kedua Penguatan Pancasila sebagai paradigma dalam
Pendidikan Agama Islam. Yang ketiga adalah waktu atau periodisasi
yang menjadi perhatian atau menjadi fokus adalah kondisi Pancasila
pasca Orde Baru sampai tahun 2018, dengan tetap melihat perjalanan
sejarah pelaksanaan Pancasila di era Orde Lama dan Orde Baru.
Buku ini dimaksudkan sebagai upaya untuk memperkuat
ideologi Pancasila dalam pendidikan di tengah arus globalisasi yang
tidak bisa dibendung. Selain itu penelitian ini dimaksudkan untuk
memperkuat watak keabadian Pancasila sebagai sebuah ideologi yang
terbuka72 dan mampu menghasilkan turunan teoritisasi baru terkait

72
Menurut Alfian setiap ideologi terbuka memiliki fleksibilitas. Unsur
fleksibilitas ini mencerminkan terhadap adanya kemampuan ideologi
Pancasila untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan dan pertumbuhan
masyaraatnya. Pancasila sebagai ideologi terbuka ini tidak bersifat tertutup
dan kaku pada pemikiran dan perkembangan zaman, teknologi dan ilmu
pengetahuan serta perkebangan masyarakat. Ideologi Pancasila sebagai
ideologi terbuka bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar yang terdapat di
dalamnya. Melainkan mengeksplesitkan wawasannya secara lebih konkret
sehingga bisa beradabtasi dengan realitas yang dinamis dan aktual. Diambil

34 Ideologi Pendidikan
berbagai aspek. Khususnya pada aspek filsafat Pancasila dalam
Pendidikan Islam.
Buku ini juga mengidentifikasi pengaruh ideologis dalam
proses pendidikan yang selama ini dilaksanakan di Indonesia.
Sekaligus melakukan refleksi terhadap Pendidikan Agama Islam
selama ini dan bagaimana Pendidikan Agama Islam merespon
perubahan global.
Buku ini menjadi penting ditengah lesunya diskursus ideologi
Pancasila di ruang publik pasca Orde Baru. Buku ini juga
dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh ideologi
Kapitalis dan atau Marxis mempengaruhi pendidikan di Indonesia.
Selain ini buku ini untuk mengetahui seberapa besar tantangan yang
harus dihadapi Pancasila sebagai ideologi negara ketika berhadapan
dengan berbagai ideologi transnasional, radikalisme, dan globalisasi
yang memberikan pengaruh sangat besar terhadap peri kehidupan
masyarakat. Arus globalisasi dan ideologi transnasional juga
memberikan pengaruh terhadap proses pendidikan.
Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi dan
memperkaya khazanah keilmuan terkait Pancasila sebagai sebuah
ideologi yang terbuka. Sekaligus bagaimana pendidikan Islam
merespon Pancasila dalam praksis pendidikan. Penelitian ini
menyeruak hadir untuk menawarkan gagasan penguatan watak
keabadian Pancasila itu sendiri.

dari http://pengayaan.com/3-bentuk-visi-ideologi-pancasila-menurut-dr-
alfian/ diakses tanggal 24 Januari 2017. Adapun perspektif lainnya terkait
ideologi terbuka adalah ideologi yang nilainya tidak dipaksakan dari luar,
bukan pula pemberian negara, tetapi merupakan realitas masyarakat itu
sendiri. Ciri ideologi terbuka adalah: a) merupakan kekayaan rohani, budaya
masyarakat b) nilainya yang terkandung di dalamnya meruapakn nilai yang
digali dari kehidupan masyarakat c) fleksibilitas nilai-nilai yang terkandung
di dalamnya memungkinkan nilai-nilai tersebut actual dan ditafsirkan sesuai
zamannya. d) menjadi inspirasi masyarakat untuk bertanggungjawab
mengamalkannya e) nilainya bersifat menghargai pluralitas sehingga bisa
diterima oleh semua kalangan. http://munirah-amran.blogspot.co.id/ 2013/
03/pancasila-sebagai-ideologi-terbuka.html diakses tanggal 5 Februari 2017.

Pendahuluan 35
C. Fakta Perjalanan Ideologi Pancasila
Ada banyak tulisan, atau buku yang membahas terkait
Pancasila sejak Pancasila lahir. Dari sekian banyak tulisan tersebut
menurut Pranarka, bisa dikatagorikan dalam tulisan dengan
pendekatan filosofis, pendekatan ideologis atau interpretasi
teologis73. Bahkan ada juga tulisan dengan pendekatan ilmiah popular
seperti yang banyak ditulis di media massa.
Seperti yang disampaikan oleh Notonagoro yang banyak
mengulas Pancasila dari sisi pendekatan filsafat. Dalam bukunya
Pancasila Dasar Falsafah Negara74. Notonagoro menyebutkan bahwa
Pancasila merupakan hasil perenungan jiwa yang dalam di atas basis
pengetahuan yang luas, Pancasila bukan suatu konsepsi politik. Lebih
lanjut Notonagoro menjelaskan bahwa Pancasila menjelaskan serta
menegaskan corak dan watak bangsa Indonesia yang beradab, bangsa
yang berkebudayaan, bangsa yang menginsafi keluhuran dan
kehalusan hidup manusia dan sanggup menyesuaikan kehidupan
kebangsaannya dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal75.
Notonagoro juga membahas secara mendalam terkait kronologi
dan suasana kebatinan dari pencetusan Pancasila serta diskursus yang
terjadi ketika penyusunan Undang-Undang Dasar 1945 terutama pada
penyusunan Pembukaan UUD 1945. Dalam ulasannya Notonegoro
menjelaskan makna dan suasana perdebatan dari setiap alinea dari
Pembukaan UUD 1945. Tidak hanya memaknai setiap alinea dari
Pembukaan UUD 1945, Notonagoro juga memberikan penjelasan atas
makna dari setiap sila-sila dalam Pancasila. Menurutnya Pancasila

73
A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila (Jakarta:
Yayasan Prokalamasi CSIS, 1985), 17.
74
Bukunya tersebut merupakan pidato Netonagoro ketika pengukuhan
gelar doctor honoris causa kepada P.Y.M Soekarno (Paduka Yang Mulia)
dari Universitas Gajah Mada pada tanggal 19 September 1951 dan Pidato
Dies Natalis Universitas Airlangga Yang Pertama tanggal 10 Nopember
1955.
75
Notonagoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara (Jakarta: Bina
Aksara, 1984), 10,12.

36 Ideologi Pendidikan
adalah suatu susunan hirarkis dan pyramidal yang menyatu dan tidak
terpisah dari sila-silanya. Menurut Notonagoro sila “Ketoehanan Jang
Maha Esa76” adalah sila yang paling sulit dan banyak menjadi
persoalan. Karena memiliki interpretasi yang beragam sesuai dengan
agama yang dianut pemeluknya. Namun demikian, sila ini memberi
ruang yang cukup luas untuk semua agama dan kepercayaan di dalam
sila pertama ini.
Sila kedua “Kemanoesiaan Yang Adil dan Beradab”, adalah
hakekat manusia yang memiliki dorongan kehendak, berdasarkan atas
putusan akal dan kebutuhan-kebutuhannya baik sebagai manusia
individu atau sosial yang berujud kebijaksanaan, keadilan,
kesederhanaan untuk mencapai tujuan hidup manusia yang sempurna
yaitu keadil dan keberadaban.
Sila ketiga, “Persatoean Indonesia”, memberikan makna
historis sebagai kunci perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dalam
ranah budaya “Persatoean” digambarkan kehidupan gotong royong
yang telah mengakar dalam masyarakat Indonesia. Persatoean juga
menjadi perekat dari perbedaan etnis, agama dan budaya yang ada
dalam masyarakat Indonesia. Adanya perekat “Persatoean” tersebut
menurut Notonagoro karena adanya kesadaran bersama akan
kebijaksanaan dan nilai-nilai hidup yang tumbuh dalam masyarakat.
Yang menyatu dalam suatu resultan atau sintesa yang memperkaya
masyarakat. Sila “Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan” menunjukkan
prinsip kebebasan dan kekuasaan rakyat dalam lapangan kenegaraan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyaratan/perwakilan atas dasar “Negara dari rakyat, bagi rakyat
dan oleh rakyat”.
Adapun sila ke lima,” Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia”, mengandung suatu prinsip bahwa dalam lapangan
kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat baik dalam soal
sosial dan ekonomi ada kesamaan untuk semua golongan. Sila kelima

76
Menggunakan ejaan lama sesuai buku Notonagoro.

Pendahuluan 37
memberikan ruang untuk kebebasan individu dengan tetap
memperhatikan keseimbangan dengan individu lainnya dalam
kehidupan sosial ekonomi dan politik.77
Notonagoro juga menulis buku Pancasila lainnya. Sebut saja
buku yang berjudul Pancasila Secara Ilmiah Populer, menjelaskan
Pancasila sebagai filsafat Negara. Dalam buku tersebut, Notonagoro
menjelaskan makna dari setiap sila dari Pancasila, menjelaskan
Pancasila sebagai pemersatu bangsa, dan pelaksanaan dari sila-sila
Pancasila.78
Selain Notonagoro, Nugroho Notosusanto menulis terkait
konsensus yang terjadi pasca peristiwa Pemberontakan Partai
Komunis Indonesi (PKI) tahun 1965. Buku tersebut merupakan
pandangan terkait Pancasila sebagai argumentasi politik pada awal
pemerintahan Orde Baru. Pasca peristiwa pemberontakan PKI,
pemerintah melakukan upaya-upaya pembersihan atas anasir-anasir
komunis di seluruh wilayah Indonesia79. Selain itu setelah peristiwa
pemberontakan PKI, hampir semua kalangan akademisi dan angkatan
darat80 melakukan upaya-upaya penguatan terhadap ideologi
Pancasila secara ilmiah dan argumentative melalui berbagai seminar
nasional. Yang kemudian menjadi konsensus bersama untuk
melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen.

77
Notonagoro, Pancasila Dasar, 66.
78
Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, (Djakarta; Pantjuran
Tudjuh, 1975).
79
Selain upaya penumpasan secara fisik terhadap PKI dan juga
menjadi tragedy kemanusiaan karena terbunuhnya ribuan orang yang
mungkin tak bersalah (tidak terkait PKI secara langsung) hanya karena
stigma antek-antek PKI.
80
Pada saat itu Angkatan Darat mengadakan seminar-seminar terkait
peristiwa pemberontakan PKI dan penguatan Pancasila. Salah satunya
Seminar II Angkatan Darat pada bulan Agustus 1966. Nugroho Notosusanto,
Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969 (Jakarta: Balai Pustaka, 1985),
28-32.

38 Ideologi Pendidikan
Konsensus tersebut adalah kebulatan tekad untuk
melaksanakan secara murni dan konsekuen Pancasila dan UUD 1945
adalah landasan ideologi, landasan ketatanegaraan dan sikap mental
yang menjadi landasan perjuangan Orde Baru sebagai kemurnian
pengabdian kepada kepentingan rakyat banyak. Konsensus kedua
adalah mengenai cara-cara melaksanakan konsensus pertama yang
merupakan bagian tak terpisahkan dari konsensus pertama dan tidak
bisa ditawar-tawar lagi. Konsensus tersebut merupakan pemufakatan
yang tidak bisa diubah-ubah lagi.81
Masih dalam model pendekatan Filsafat Pancasila, adalah
Sunoto yang menulis Mengenal Filsafat Pancasila Pendekatan
Melalui Sejarah dan Pelaksanaannya. Dalam bukunya Sunoto
menjelaskan Pancasila sebagai kepribadian Bangsa Indonesia.
Pancasila yang digali dari kesejarahan pra kolonial atau masa
kerajaan nusantara hingga zaman perjuangan kemerdekaan 1945.
Sunoto membagi perjuangan sebelum tahun 1900, perjuangan sejak
tahun 1908-1927, perjuangan antara tahun 1927-1938, perjuangan
antara tahun 1938-1942, perjuangan antara tahun 1942-1945.82
Dalam bukunya tersebut, Sunoto juga menjelaskan terkait
sejarah perumusan Pembukaan UUD 1945 baik yang dirumuskan oleh
Moh. Yamin83 yang kemudian di sempurnakan oleh tim Sembilan
yang diketuai Soekarno dan Moh Hatta84. Terkait rumusan
pembukaan UUD 1945 dan lahirnya Pancasila, Mohammad Hatta

81
Notosusanto, Tercapainya Konsensus, 33.
82
Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila Pendekatan Melalui Sejarah
dan Pelaksanaannya (Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UII, 1981), 17-25.
83
Teks lengkap rumusan pembukaan UUD 1945 yang dirumsukan
Moh. Yamin menjelaskan situasi politik, sejarah kolonial dan perang Asia
Timur Raya. Termasuk, empat alinea yang sekarang kita kenal dalam
pembukaan UUD 1945. Sunoto, Mengenal Filsafat, 40-43.
84
Mohammad Hatta, et.al., Uraian Pancasila Dilengkapi Dengan
Dokumen Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 (Jakarta: Mutiara, 1977),20-28.
Pembukaan yang dirumuskan panitia Sembilan ini kemudian dikenal dengan
Piagam Jakarta.

Pendahuluan 39
bersama panitia lima yang terdiri atas Ahmad Subardjo
Djojoadisurjo, A.A. Maramis, Sunario dan A.G. Pringodigdo
menuliskan sebuah buku yang merupakan notulensi rapat panitia lima
dalam menjelaskan kronologi kelahiran Pancasila dan Pembukaan
UUD 1945. Buku tersebut adalah Uraian Pancasila Dilengkapi
Dengan Dokumen Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, diterbitkan oleh
penerbit Mutiara pada tahun 1977.
Buku tersebut merupakan notulensi rapat-rapat panitia lima
dalam merumuskan sejarah kelahiran Pancasila dan UUD 1945
berikut pembukaannya. Sidang-sidang tersebut dilaksanakan
sebanyak tiga kali yaitu pada tangga 10 Januari 1975 pukul 09.15, 28
Januari 1975 pukul 09.15 dan 11 Februari 1975 pukul 10.00 yang
kesemuanya dilaksanakan di dikediaman Bung Hatta Jl. Dipenogoro
Jakarta.85
Yang menarik dari buku ini adalah disertakannya SURAT
WASIAT Bung Hatta kepada Guntur Soekarno Putra86 yang ditulis
pada tanggal 16 Juni 1978. Surat wasiat itu menjelaskan bahwa
Soekarno adalah penemu atau yang melahirkan Pancasila dalam
pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 di hadapan sidang BPUPKI.
Selain itu surat wasiat ini menjelaskan terkait Pembukaan UUD 1945
yang awalnya disebut “Piagam Jakarta” dan penghapusan tujuh kata
yang sebelumnya ada dalam “Piagam Jakarta”. Karena otentitas dan
nilai sejarahnya tersebut, penulis akan menuliskan secara utuh surat
wasiat Bung Hatta tersebut.

85
Hatta, Uraian Pancasila, 57-100.
86
Putra tertua Presiden Soekarno.

40 Ideologi Pendidikan
Berikut adalah surat wasiat Bung Hatta:87

Anakda Goentoer Sukarno Putra


Cempaka Putih Barat ½
JAKARTA PUSAT

PANCASILA
Dekat pada akhir bulan Mei 1945 dr. Radjiman, ketua
Panitia Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia,
membuka sidang Panitia itu dengan mengemukakan
pertanyaan kepada rapat: “Negara Indonesia Merdeka yang
akan kita bangun itu, apa dasarnya? Kebanyakan anggota tidak
mau menjawab pertanyaan itu, karena takut pertanyaan itu
akan menimbulkan persoalan filosofi yang akan berpanjang-
panjang. Mereka langsung membicarakan soal Undang-Undang
Dasar. Salah seorang dari pada anggota menjawab pertanyaan
itu ialah Bung Karno, yang mengucapkan lima sila, yang
lamanya kira-kira satu jam. Pidato itu menarik perhatian
anggota panitia dan disambut dengan tepuk tangan yang riuh.
Sesudah itu sidang mengangkat suatu panitia kecil untuk
merumuskan kembali Pancasila yang diucapkan Bung Karno
itu. Di antara panitia kecil itu dipilih lagi 9 orang yang akan
melaksanakan tugas itu, yaitu :
Ir. Soekarno H.A. Salim
Mohammad Hatta Mr. Ahmad Seobardjo
Mr. A.A. Maramis Wahid Hasjim
Abikusno Tjokrosoejoso Mr. Muhammad Yamin
Abdulkahar Muzakir

Orang Sembilan ini mengubah susunan 5 sila itu dan


meletakkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa di atas. Sila kedua,
yang dalam rumusan Soekarno disebut Internasionalisme atau

87
Hatta, Uraian Pancasila,101.

Pendahuluan 41
peri-kemanusiaan diganti sila kemanusiaan yang adil dan
beradab, sila ketiga disebut Persatuan Indonesia pengganti sila
kebangsaan Indonesia, yang dalam rumusan Bung Karno dia
ditaroh di atas jadi sila pertama. Sila ke empat disebut
Kerakyatan, yang dalam rumusan Bung Karno sebagai sila
ketiga disebut Mufakat atau Demokrasi. Sila kelima disebut
Kesejahteraan Sosial, yang dalam rumusan Bung Karno disebut
Sila ke-4 Keadilan Sosial. Seperti dikatakan tadi Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, yang dalam rumusan Bung Karno
menjadi Sila kelima dijadikan Sila pertama.
Pada tanggal 22 Juni 1945 pembaruan rumusan
Panitia 9 itu diserahkan kepada Panitia Penyelidik Usaha-usaha
Kemerdekaan Indonesia dan diberi nama “Piagam Jakarta”.
Kemudian seluruh “Piagam Jakarta” itu dijadikan “Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, sehingga “Pancasila dan Undang-
Undang Dasar ” menjadi “Dokumen Negara Pokok”.
Pancasila dan Undang-Undang Dasar yang sudah
menjadi Satu Dokumen Negara itu diterima oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus
1945 dengan sedikit perubahan. Yang dicoret ialah 7 perkataan
dibelakang Ketuhanan, yaitu “dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi penduduknya”. Sungguhpun 7 perkataan itu
hanya mengenai penduduk yang beragama Islam saja,
pemimpin-pemimpin umat Kristen di Indonesia Timur
berkeberatan, kalau 7 kata itu dibiarkan saja, sebab tertulis
dalam pokok dari pada pokok dasar Negara kita, sehingga
menumbulkan kesan, seolah-olah dibedakan warga Negara
yang beragama Islam dan bukan Islam.
Pada tanggal 29 Agustus 1945 Komite Nasional dalam
rapatnya yang pertama sudah mensahkan Undang-Undang
Dasar yang diterima oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia dan sekarang sudah menjadi UUD Negara kita lagi.
Jakarta, 16 Juni 1978
Ttd

42 Ideologi Pendidikan
(Mohammad Hatta)88

Diskursus Pancasila sebagai filsafat tentu tidak sah jika tidak


merujuk kepada penemu Pancasila itu sendiri yaitu Bung Karno.
Dalam bukunya berjudul FILSAFAT PANCASILA Menurut BUNG
KARNO, Soekarno menjelaskan semua dasar kesejarahan, budaya,
politik dan sosial dari semua sila-sila dari Pancasila. Dan ketika kita
membaca uraian Soekarno tentang Pancasila dalam berbagai
kesempatan seperti peringatan Hari Lahir Pancasila, atau disampikan
ketika kursus tentang Pancasila, maka kita seolah mendengar sendiri
uraian cerdas dan berapi-api pidatonya Soekarno89.
Menurut Soekarno, Pancasila adalah dasar statis dan leitstar
dinamis. Yang dimaksud dasar statis menurut Soekarno adalah basis
atau fondasi dari bangunan Negara Bangsa Indonesia yang berasal
dari jiwa Bangsa Indonesia. Sehingga bangunan apapun yang akan di
bangun di atas tanah Indonesia akan kokoh berdiri karena berdiri di
atas dasar statis yang berasal dari jiwa Indonesia. Soekarno juga
mendefinisikan dasar statis seperti meja statis yang kokoh.

88
Hatta, Uraian Pancasila, 102. Tanda Bold dari penulis untuk
menunjukkan dalam bukunya tertulis dalam bentuk Italic. Karena itu
kutipan langsung yang harus dalam bentuk italic maka penulis membuat
penanda bold di kata tersebut. Terkait penghapusan tujuh kata dalam
“Piagam Jakarta” merupakan kompromi kaum nasionalis kebangsaan yang
diwakili oleh Bung Hatta bersama Tengku Moh. Hasan berhasil meyakinkan
(“melunakkan”) pihak Islam Abdoel Kahar Muzakir dan Ki Bagoes
Hadikoesoemo untuk menerima penghapusan tersebut. Keyakinan Ki
Bagoes ini juga setelah beliau memperoleh petunjuk dari Allah dengan tujuh
kali melakukan sholat istikharah, maka teguhlah keputusan mereka
menetapkan sila pertama Pancasila sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa. Sri
Edi Swasono, “Pancasila Eksistensi Bangsa Indonesia”, Makalah,
Lemhannas Jakarta, 26 Mei 2016, Catatan kaki no 16, 16.
89
Soekarno memang seorang orator yang mampu menghimpun dan
menata kata-kata menjadi kalimat yang hidup dan mampu membawa emosi
pendengarnya untuk mengikuti apa yang diucapkannya. Penulis dalam
konteks ini memiliki apresiasi yang tinggi terhadap visi dari pidato-pidato
Soekarno dan memberikan inspirasi atas kekinian.

Pendahuluan 43
Sementara Pancasila juga bisa menjadi leitstar (bintang yang
memimpin) dinamis adalah bahwa Pancasila sekaligus menjadi
pedoman yang appeal dengan jiwa kita. Yang mampu mengajak dan
memanggil rakyat untuk mengikuti Pancasila dan bisa di ajak
berjalan bersama. Yang bisa menggerakkan rakyat, supaya mau
berkorban, mau berjuang, mau membanting tulang. Hal yang
ditegaskan oleh Bung Karno dalam bukunya tersebut adalah bahwa
Pancasila adalah dasar filsafat Negara Republik Indonesia. Pancasila
juga yang mempersatukan Bangsa Indonesia serta revolusi yang
dijalankan adalah berdasarkan Pancasila90. Bung Karno juga
menegaskan makna dari setiap sila dalam Pancasila. Seperti
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Perikemanusiaan,
Kedaulatan Rakyat dan Keadilan Sosial dalam Pancasila91.
Buku ini menggambarkan pandangan yang luas dan dalam dari
seorang Soekarno atas Pancasila yang digali dari akar sejarah dan
budaya Bangsa Indonesia sendiri serta membandingkan dengan
sejarah dan pemikiran folosofis dari tokoh-tokoh utama dunia yang
ada pada masa itu.92 Tidak hanya itu saja, buku ini juga memiliki
pandangan futuristic untuk generasi yang akan datang terkait
pentingnya kesadaran akan ideologi Pancasila sebagai dasar dan
pandangan hidup Bangsa Indonesia sampai akhir masa93.
Soekarno juga menjelaskan berbagai ideologi dunia seperti
ideologi marxis yang berakar pada historis matrialisme dan
pertentangan kelas antara kelas proletar atau buruh melawan kelas
berjouis-kapitalis. Kaum proletar yang mengorganisir diri dengan

90
Soekarno, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno (Jakarta: Media
Presindo, 2016), 328.
91
Soekarno, Filsafat Pancasila,281.
92
Soekarno sering kali menyebut tokoh-tokoh besar dunia pada masa
itu, seperti : Stalin, Karel Marx, Angels, Trotsky, Leon Bronstain, Mahatma
Ghandi, Nabi Muhammad SAW dan tokoh-tokoh besar dunia lainnya dalam
lapang filsafat atau politik serta negarawan. Soekarno, Filsafat
Pancasila,221-223.
93
Soekarno, Filsafat Pancasila, 200.

44 Ideologi Pendidikan
menggunakan semboyan “proletariers allervlanden, verenigt U” untuk
merebut kekuasaan dari kaum berjouis-kapitalis. Dan ketika mereka
berhasil menumbangkan kelas berjouis mereka menjadi penguasa,
yang kemudian mereka sendiri menjadi dictatuur-proletariaat94.
Pemikiran sosialisnya Marxisme oleh Soekarno diterjemahkan
dengan ajaran Marhaenisme-nya. Ajaran Marhaen yang diambil dari
perjumpaannya dengan seorang petani di Bandung Jawa Barat
bernama Marhaen yang hanya mempunyai sebidang tanah sempit, dia
mengerjakan sendiri dan hasilnya di makan sendiri tanpa bisa
melakukan difersifikasi atau pengembangan usaha95. Hal sama juga
diungkapkan oleh Soekarno terkait perlunya Kaum Marhaen memiliki
kekuasaan untuk mencapai cita-citnya. Karena itu Soekarno
menganjurkan persatuan Kaum Marhaen96.
Jika disimpulkan selama periode kepemimpinan Soekarno,
Pancasila, praktis hanya dijelaskan Soekarno sendiri sebagai penggali
dan penemu Pancasila. Sementara Notonagoro hanya
menginterpreatasikan Pancasila dalam kerangka filsafat namun tidak
sedalam Soekarno. Selama periode kepemimpinan Soekarno,
Pancasila belum menjadi bagian dalam diskusi-diskusi di ranah
akademis. Termasuk Universitas Gajah Mada yang memberika gelar
Honoris Causa kepada Soekarno. Jika pun ada, itu dilakukan dalam
kursus Kader Pancasila yang diadakan Soekarno untuk para pemuda-
pemuda.
Pasca kejatuhan Soekarno, Pancasila tetap dijadikan ideologi.
Bahkan oleh Soeharto, Pancasila menjadi alat utama untuk
mengokohkan kedudukannya. Pada masa Orde Baru, interpreter
tunggal Pancasila adalah Soeharto sendiri. Soeharto berhasil
membangun filsafat Pancasilanya melalui penafsiran tunggal atas

94
Soekarno, Filsafat Pancasila, 116.
95
Cindy Adams, Soekarno Penyambung Lidah Rakyat (Jakarta:
Yayasan Bung Karno dan Media Pressindo, 2011).
96
Soekarno, di Bawah Bendera Revolusi: Maklumat Bung Karno
Kepada Kaum Marhaen Indonesia (Jakarta: Yayasan Bung Karno, 2005),
180-184.

Pendahuluan 45
Pancasila yang kemudian di terjemahkan menjadi P4 atau Pedoman
Pelaksanaan dan Pengamalan Pancasila beserta 36 butir-butir
Pancasilanya. Sebagai interpreter tunggal Pancasila, Soeharto
menyampaikan pandangannya tentang Pancasila dalam setiap
kesempatan. Baik dalam pidato kenegaraan, atau dies natalis di
perguruan tinggi atau pun dalam memberikan sambutan pembukaan
seminar atau pengarahan pengusaha. Sayangya walau menggunakan
Pancasila sebagai alat untuk mengukuhkan Ideologi Negara dan
kekuasaannya, Soeharto dalam setiap pernyataannya tidak pernah
menyebut sekalipun nama Soekarno, penemu dan penggali Pancasila
itu sendiri.
Soeharto paham betul tentang pentingnya landasan ideologi
bagi Indonesia di awal berdirinya untuk menyatukan bangsa.
Peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun
1965, menjadikan momentum analisis dan pemikirannya tentang
perlunya falsafah hidup dam pandangan hidup dalam berbangsa dan
bernegara. Seperti di sampaikannya ketika Peringatan Hari Lahir
Pancasila pada tanggal 1 Juni 1967 di Jakarta:
“Tanpa pegangan hidup yang kuat dan tepat, sesuatu bangsa
akan goyang. Pegangan hidup itu sangat perlu, buat masa kini
maupun masa depan, lebih-lebih bagi Bangsa Indonesia yang dalam
pertumbuhannya selalu mengalami cobaan-cobaan yang berat”.
Pandangan Soeharto terkait pentingnya sebuah ideologi bangsa itu
dipertegas pada tahun berikutnya, ketika upacara peringatan hari
lahir Pancasila pada tahun 1968. “Suatu bangsa memang harus
mempuyai suatu pandangan hidup, satu falsafah hidup, agar dengan
demikian bangsa itu melihat dengan jelas semua persoalan yang
dihadapinya dan ke arah mana tujuan hidup yang akan dicapainya.
Tanpa pegangan hidup itu suatu Negara akan terombang-ambing oleh
berbagai masalah-masalah besar yang dihadapinya, baik masalah-
masalah dalam negeri maupun masalah-masalah luar negeri”.
Soeharto memahami betul arti penting Pancasila sebagai falsafah
Negara. Karena itu Soeharto menekankan betul penghayatan dan
pengamalan Pancasila secara murni dan konsekuen. Soeharto

46 Ideologi Pendidikan
mengatakan dalam Pidato Kenegaraan tanggal 16 Agustus 1975:
“Penghayatan dan pengamalan Pancasila serta memberi wujud yang
nyata dalam kehidupan sehari-hari itu bukan hanya masalah kita di
masa sekarang, melainkan merupakan masalah besar bagi kehidupan
kita di masa datang”. Dalam setiap pidato-pidatonya, Soeharto
menekankan kepada pentingnya menjaga kepribadian bangsa yang
berakar pada nilai-nilai budaya bangsa dan nilai-nilai semangat
Perjuangan 45. Soeharto mencita-citakan masyarakat Indonesia
adalah masyarakat Pancasilais yaitu masyarakat yang berasakan
kekeluargaan dan religious. Atau masyarakat sosialis religious
dengan ciri pokok 1) Tidak membenarkan adanya kemiskinan,
ketertinggalan, keterbelakangan ekonomi dan pendidikan, konflik
perpecahan, pemerasan, kapitalisme dan feodalisme. 2) Menghayati
hidup dengan berkewajiban bertaqwa, cinta tanah air, kasih sayang
pada sesama manusia, suka bekerja keras dan rela berkorban untuk
kepentingan rakyat. Dalam menafsirkan Pancasila, Soeharto
menghimbau agar masyarakat untuk mengusahakan rumusan-
rumusan penjabaran Pancasila secara sederhana dan mudah
dimengerti. Ini terkait dengan penghayatan Pancasila secara murni
dan konsekuen melalui pengamalan 36 butir-butir Pancasila.
Walaupun Soeharto sendiri mengakui hal tersebut belum bisa
terwujud.97
Soeharto menggunakan Pancasila sebagai alat untuk
mengukuhkan ideologi negara dan menginterpretasikan Pancasila
sebagai alat untuk mewujudkan stabilitas politik, keamanan dan
sosial. Perwujudan dari stabilitas sebagai bagian dari ideologi
pembangunan tersebut, meneguhkan apa yang kemudian disebut
tindakan represif terhadap apa yang dianggap membahayakan

97
CSIS, Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila (Jakarta:
Yayasan Proklamasi, 1976), 24.

Pendahuluan 47
eksistensi dan kepentingan negara oleh kelompok yang dianggapnya
sebagai oposisi.98
Penafsir Pancasila di era Orde Baru lainnya masih bersifat
akademis kritis99. Seperti yang disampaikan oleh Nahdlatul Ulama
dengan Tokohnya KH Ahmad Sidiq Roisy Aam yang terpilih pada
Muktamar NU pada tahun 1981, terkait pemberlakukan asas tunggal.
Sikap yang kemudian di kembangkan oleh Abdurahman Wahid
semasa menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU). NU merupakan organisasi yang pertama kali menerima
dengan argumentatif diberlakukannya asas tunggal Pancasila.
Dalam menafsirkan Pancasila sebagai falsafat bernegara, KH
Ahmad Sidiq menjelaskan argumentasi terkait Pancasila yang
dielaborasikan dengan kaidah-kaidah Fiqh. Menurut KH Ahmad
Sidiq, Pancasila merupakan ideologi dan bukan agama. Argumentasi
yang dikemukakannya bahwa Islam dan Pancasila adalah sesuatu

98
Taufik Adi Susilo, Soeharto Biografi Singkat 1921-192008
(Jakarta: Garasi, 2008), 44-53.
99
Ketika Presiden Soeharto memaksakan Asas tunggal secara resmi
pada Agustus 1983 merupakan klimaks dari diskursus Ideologi Pancasil
sejak tahun 1966. Dimana pemerintahan Orde Baru menginginkan Asas
tunggal sudah diterima semua partai dan organisasi kemasyarakatan sejak
tahun 1966 pada Seminar Anggakatan Darat. Selain itu keharusan asas
tunggal bagi partai-partai sudah dilakukan sejak tahun 1975, namun partai-
partai menolaknya. Bulan Maret 1980 Soeharto lagi-lagi mengemukakan
rencana asas tunggalnya yang disahkan secara resmi pada bulan Agustus
1983. Para ulama memandang bahwa penerapan Asas tunggal Pancasila
adalah sekulerasisasi yang berakibat pada peran Islam dalam Negara.
Namun hal ini kemudian dijawab oleh KH Ahmad Sidiq, Roisy Am
Nahdlatul Ulama, yang merupakan tokoh Khittah NU, memberikan
formulasi terkait hubungan Pancasila dan Islam yang menguntungkan kedua
belah pihak (pemerintah dan dengan tetap mengakomodir kepentingan
islam/NU). Maka pada Musyawarah Nasional Alim Ulama di Situbondo
pada Desember 1983. Munas Situbondo ini merupakan suatu perdamaian
dengan pemerintah dan kembali mendukung Negara non Islam. Andree
Feillard, “Nahdlatul Ulama dan Negara: Fleksibelitas, Legitimasi dan
Pembaharuan”, Ellyasa KH. Dharwis, Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil
(Yogyakarta: LKIS, Yogyakarta, 2010), 14.

48 Ideologi Pendidikan
yang berbeda. Pancasila merupakan hasil pemikiran manusia
sementara Islam adalah berdasarkan wahyu yang tidak bisa
diperbandingkan. KH Ahmad Sidiq menegaskan bahwa dasar
Republik Indonesia sudah final dengan UUD 1945100. Pernyataan
diterimanya Pancasila dan UUD 1945 ini juga merupakan serupa
dengan penerimaan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta.
Dengan demikian, penerimaan Asas tunggal adalah mendorong
integrasi NU dan masyarakat muslim dengan negara sekaligus
mendamaikan antara pemikiran dikotomi Islam dan negara. Strategi
argumentasi dalam memaknai Pancasila ini juga menurunkan tensi
ketegangan antara NU dan pemerintah. Pemikiran KH Ahmad Sidiq
juga menunjukkan kecerdasan dalam menempatkan fleksibilibitas
syari’ah dalam diskursus ideologi Pancasila. Sebuah pemaknaan yang
cerdas dan argumentative serta politis dalam menghadapi kekuasaan
dan keinginan penguasa terkait asas tunggal. Pengakuannya akan asas
tunggal ini juga menunjukkan komitmen kebangsaan dan
nasionalisme NU atas keutuhan NKRI.
Lebih jauh penafsiran Pancasila dikalangan NU menegaskan
bahwa pertama, nilai-nilai dan sila-sila dari Pancasila tidak
bertentangan dengan Islam sehingga Pancasila bisa mengembangkan
Islam. Kedua, konsep Ketuhanan Yang Maha Esa adalah
mencerminkan ketauhidan dalam konsepsi keimanan Islam. Dengan
demikian sila pertama ini menjadi garansi negara tidak menuju arah
sekuler. Selain itu sila pertama juga menunjukkan wawasan
keberagamaan masyarakat yang ada menjadi dasar dari kehidupan
berbangsa dan bernegara. Ketiga, ulama-ulama NU turut andil dalam
mendirikan Negara Indonesia, karena itu segala upaya untuk
menegakkan NKRI demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat
adalah sah sesuai dengan ajaran Islam. Termasuk dalam menjalankan
wawasan keagamaan yang dianut oleh masyarakat. Nu menerima asas
tunggal Pancasila dengan tetap beraqidah Islam Ahlus Sunnah

100
Andree Feillard, “Nahdlatul Ulama...”, 15

Pendahuluan 49
Waljamaah. Karena itu penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal
adalah sah dan logis.101
Pemikiran terkait Pancasila dari tokoh NU KH Ahmad Sidiq
merupakan tonggak utama penafsiran atas Pancasila selain Soeharto.
Pemikiran tersebut kemudian dilanjutkan dan dikuatkan oleh
Abdurahman Wahid atau lebih dikenal Gus Dur terkait Pancasila.
Beberapa pernyataan Gus Dur yang menurut penulis sangat penting
adalah sebagai berikut : “Tanpa Pancasila, Negara RI tidak pernah
ada” pernyataan ini disampaikan Gus Dur pada tanggal 18 Juni 1992.
Pernyataan lainnya adalah "Pancasila adalah serangkaian prinsip-
prisip yang bersifat lestari. Ia memuat ide yang baik tentang hidup
bernegara yang mutlak diperjuangkan. Saya akan mempertahankan
Pancasila yang murni dengan jiwa-raga saya, terlepas dari kenyataan
bahwa ia tidak jarang dikebiri atau dimanipulasi, baik oleh segelintir
tentara maupun sekelompok umat Islam".
Penegasan terkait penafsiran Gus Dur terhadap Pancasila
adalah ketika pada tanggal 1 Maret 1992, Gus Dur bersama 150 ribu
warga nahdliyin mengadakan penegasan terkait komitmennya
terhadap Pancasila sebagai ideologi Negara dan falsafah hidup bangsa
Indonesia. Gus Dur berhasil dengan cerdas menggunakan Pancasila
sebagai bahasa kekuasaan yang selama ini menjadi monopoli
penguasa, menjadi legitimasi politik bagi organisasi NU khususnya.
Selain itu Gus Dur menggunakan Pancasila untuk menjadikan alat
kritik dan koreksi terhadap masalah mendasar terkait kesejahteraan
masyarakat dan persatuan nasional. Gus Dur berhasil
menginterpretasikan Pancasila sesuai kebutuhan organisasi tanpa
harus berhadapan dengan penguasa dan sekaligus menjadi model
interpretasi yang keluar dari model penafsiran ritual yang sering
digunakan oleh para penguasa atau birokrasi.

101
Einar M. Sitompul, “NU, Asas Tunggal Pancasila dan Komitmen
Kebangsaan: Refleksi Kiprah NU Paska Khittah”, Ellyasa KH. Dharwis, Gus
Dur, NU dan Masyarakat Sipil (Yogyakarta: LKIS, Yogyakarta, 2010), 34-
35.

50 Ideologi Pendidikan
Bagi Gus Dur, Pancasila adalah kesepakatan politik yang
memberi peluang bagi bangsa Indonesia untuk mengembangkan
model interaksi sosial politik dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pansila
dalam perspektif Gus Dur adalah prasyarat demokratisasi dan
pembangunan semangat keislaman yang sehat di tengah dikotomi
Islam dan Pancasila.102 Pemikiran NU yang diwakili oleh KH Ahmad
Sidik dan Abdurahman Wahid terkait Pancasila mengawali diskursus
Pancasila yang dilakukan oleh masyarakat selain oleh penguasa.
Sekaligus meruntuhkan dominasi interpretasi Pancasila yang selama
ini di dominasi oleh penguasa.
Masih dalam masa Orde Baru, A.M.W. Pranarka menulis
disertasi yang cukup menarik dan komprehensif terkait Sejarah
Pancasila. Sejarah Pemikiran Penafsiran Tentang Pancasila yang
ditulis Pranarka menjelaskan sejarah Pancasila berdasarkan metode
Heuristik dan interpretasi. Pendekatan Heursitik menjelaskan terkait
inventarisasi sumber-sumber baik yang tertulis dan tidak tertulis
terkait Pancasila. Dimana naskah atau sumber-sumber tersebut
menurut Pranarka didudukan dalam historical contexnya.103
Pranarka membagi pemikiran Pancasila ke dalam lima periode :
Periode pertama adalah pemikiran-pemikiran tentang Pancasila
selama masa sidang BPUPKI (29 Mei-17 Juli 1945). Periode kedua,
pemikiran-pemikiran tentang Pancasila selama masa berlakunya
UUD 1945 yang pertama (18 Agustus 1945-26 Desember 1949).
Periode ketiga, pemikiran-pemikiran tentang Pancasila selama masa
berlakunya Konstitusi RIS (27 Desember 1949-16 Agustus 1950).
Periode keempat: pemikiran-pemikiran tentang Pancasila selama
masa berlakunya UUDS 1950 (17 Agustus 1950- Juli 1959). Periode

102
Douglas E. Ramage, “Pemahaman Abdurrahman Wahid Tentang
Pancasila Dan Penerapannya Dalam Era Paska Asas Tunggal”, Ellyasa KH.
Dharwis, Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil (Yogyakarta: LKIS,
Yogyakarta, 2010), 39-41.
103
Pranarka, Sejarah Pemikiran tentang Pancasila (Jakarta: Yayasan
Proklamasi CSIS, 1985), 11-12.

Pendahuluan 51
kelima : pemikiran-pemikiran tentang Pancasila selama masa
berlakunya UUD 1945 yang kedua kalinya (5 Juli 1959-sekarang).104
Dalam disertasinya Pranarka menjelaskan dalam sidang Badan
Penyelidikan Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ada
tiga ideologi besar yang disampaikan para peserta : Ideologi
kebangsaan, ideologi islam dan ideologi barat modern sekuler105.
Dimana terjadi diskursus argumentative dari masing-masing
pengusung hingga disepakatinya rumusan dasar Negara yang
disampaikan oleh Soekarno pada tanggal 1 Juli 1945. Pranarka juga
menjelaskan historis kemunculan Piagam Jakarta yang
mencantumkan kata: “dengan melaksanakan syariat Islam bagi
pemeluknya” setelah sila pertama.
Pranarka juga menjelaskan Pancasila pada masa orde baru.
Pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen menjadi isu utama
dalam era orde baru. Hal ini dikuatkan dengan keluarnya Ketetapan
MPR no II/MPR-RI/1978 tentang P-4 atau Eka Prasetia Pancakarsa.
Perkembangan pemikiran Pancasila pada masa ini menampilkan
masalah-masalah sebagai berikut : 1) Masala sumber Pancasila murni
2) Masalah tafsir Pancasila murni 3) Masalah pelaksanaan Pancasila
murni 4) Masalah Pancasila “subject to change” 5) Masalah Pancasila

104
Pranarka, Sejarah Pemikiran, 23. Namun penulis menambahkan
periodisasi pemikiran terkait Pancasila sebagai berikut: periode kelima
Pranarka, pemikiran Pancasila selama masa berlakunya UUD 1945 dari 5
Juli 1959 hingga sekarang. Frase “sekarang” yang ditulis Pranarka, penulis
artikan adalah tahun 1985 dimana Pranarka menjelaskan pemikirannya
terkait Pancasila dari sisi sejarah. Jadi periode kelima adalah mulai 5 Juli
1959 hingga 1985. Penulis menambahkan lagi periodisasi yang keenam
adalah era 1985 hingga 1998. Walaupun bisa juga periodisasi tersebut bisa
langsung ditarik hingga tahun 1998. Tahun 1998 adalah batas pemikiran
Pancasila yang mengalami pasang surut dan penafsiran tunggal oleh
penguasa Orde Baru. Penulis juga menambahkan periodisasi pemikiran
Pancasila yang ketujuh adalah pemikiran Pancasila dari tahun 1998 sampai
sekarang atau era reformasi. Penulis juga ingin menegaskan terkait
penafsiran Pancasila di era BP 7 sebagai lembaga penafsir ulang Pancasila
yang dibentuk oleh Soeharto.
105
Pranarka, Sejarah Pemikiran, 47.

52 Ideologi Pendidikan
sebagai ideologi pembangunan dibandingkan dengan ideologi-
ideologi lain mengenai pembangunan masyarakat. Masalah-masalah
tersebut menunjukkan Pancasila di buka secara luas untuk ditafsirkan
dan dikritisi namun dalam kerangka menguatkan Pancasila dan
menuangkannya dalam sebuah sistem pengkajian argumentative.
Termasuk dalam konteks pengkajian sistem hukum dimana Pancasila
sebagai salah satu dasarnya.106
Di era reformasi, Pancasila sebenarnya banyak di bahas dalam
berbagai media dan seminar. Salah satu tokoh pendidikan yang selalu
mengaitkan Pancasila dalam setiap tulisan (buku-buku karangannya)
adalah Prof H.A.R. Tilaar. Tokoh pendidikan Indonesia ini secara
konsisten menyuarakan pentingnya Pancasila dalam pendidikan. Di
semua buku-buku pendidikan yang ditulis oleh Tilaar, selalu
mengaitkan dengan Ideologi Pancasila. Boleh dikata, di era
reformasi, pemikir Filsafat Pendidikan Pancasila salah satunya adalah
H.A.R Tilaar.107
Selain Tilaar, pemikiran Pancasila lainnya adalah Yudi Latief
yang telah melahirkan banyak buku terkait Pancasila. Beberapa
diantaranya : “Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Akuntabilitas Pancasila ” dan buku “Mata Air Keteladanan: Pancasila
dalam Perbuatan”. Dalam buku “Negara Paripurna” Yudi
menjelaskan rasionalitas sila-sila dari Pancasila. Seperti dalam sila
pertama rasionalitas adalah teori kontemporer tentang “public
religion” yang menolak tesis “separation” dan “privatization”, dan
mendukung tesis “differentiation”. Menurut teori ini peran agama

106
Pranarka, Sejarah Pemikiran, 305-307.
107
Beberapa buku Tilaar yang di dalamnya membahas Pancasila
adalah “Kekuasaan dan Pendidikan”; “Mengindonesia, Etnisitas dan
Identitas Bangsa Indonesia”; “Guru Kita: Artis Karakter dan Kecerdasan”;
‘Pendidikan arah ke mana”, “Pedagogik Teoritis Untuk Indonesia”;
“Kaledoskop Pendidikan Nasional”, dan masih banyak lagi buku-buku
Tilaar. Tilaar memberikan perhatian yang sangat besar terhadap posisi
Pancasila dalam kaitannya dengan ideologi dan identitas Bangsa. Boleh
dikata pemikir Pancasila yang konsisten tentang Pancasila di era reformasi
adalah Tilaar.

Pendahuluan 53
dan negara tidak perlu di pusahkan melainkan di bedakan. Dengan
syarat keduanya saling mengerti batasan-batasan otoritas masing-
masing. Ini yang kemudian di sebut “toleransi kembar” (twin
tolerations).108
Sementara dalam buku Mata Air Keteladanan, Yudi banyak
menyingkap potret real keteladanan nilai-nilai dari semua sila-sila
Pancasila yang dilakukan oleh para founding fathers Indonesia.
Seperti sikap hidup Bung Hatta yang sederhana, jujur, dan berprinsip
bahwa taqwa harus memancar dalam tindakan.109 Dalam buku ini
Yudi ingin menunjukkan contoh terbaik (best practices) yang
sebenarnya dari pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen
dari para tokoh yang diangkatnya.
Azyumardi Azra menyebut Pancasila sebagai supra identity
yaitu bentuk esensi dan prinsip dasar jati diri negara-bangsa
Indonesia yang mengatasi tidak hanya identitas lokal, etnis dan
daerah, tetapi juga mengatasi identitas global110. Pemikiran
Azyumardi ini sejalan dengan pemikiran H.A.R. Tilaar yang
menyebutkan Pancasila adalah jati diri bangsa Indonesia111.
Lebih jauh Azyumardi menjelaskan, kesakralan Pancasila
sebagai idologi tersebut ternyata mengalami desakralisasi dan
deideologisasi pasca kejatuhan rezim Orde Baru dan munculnya orde
reformasi. Dimana pada masa reformasi, menurut Azra negara
mengalami decentering of authority yaitu pemencaran otoritas yang
sebelumnya terpusat pada eksekutif, sistem demokrasi di era
reformasi memberikan otoritsa lebih besar kepada legislative, parpol

108
Yudi Latief, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Kompas, 2014), 43.
109
Latief, Negara Paripurna, 103-105.
110
Azyumardi Azra, “Jati Diri Indonesia: Pancasila dan
Multikulturalisme”, Jusuf Sutanto, ed., The Dancing Leader (Jakarta:
Kompas Gramedia, Jakarta, 2011), 24.
111
Tilaar, Mengindonesia, iv, 38.

54 Ideologi Pendidikan
dan civil society dan pada saat yang bersamaan terjadi distribusi
kekuasaan melalui sistem desentralisasi dan otonomisasi.
Desakraslisasi dan deideologisasi Pancasila dimulai manakala
Presiden B.J. Habibie dalam interregnum-nya, tidak hanya
menerapkan demokrasi multi partai, B.J. Habibie juga menghapus
kewajiban asas tunggal Pancasila dan Penataran P4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Di awal era reformasi,
Pancasila seolah tidak relevan dengan kehidupan berbangsa dan
bernegara; bahkan para pejabat publik pada awal reformasi enggan
berbicara tentang Pancasila.112 Apa yang oleh penulis disebut
mengalami “Orde Baru Phobia”, segala yang berbau Orde Baru
dianggap tabu.
Melihat hal ini, Azyumardi dalam retropeksinya terkait
Pancasila, menawarkan rejuvenasi Pancasila113 yaitu, menjadikan
Pancasila sebagai faktor integrative dan salah satu fundamen jati diri
atau identitas nasional negar-bangsa Indonesia. Pancasila sebagai
faktor utama pemersatu bangsa Indonesia yang oleh Sri Edi Swasono
Pancasila dianggap sebagai common denominator114 atau penyebut
yang sama untuk bangsa Indonesia yang multi etnis, multi budaya
dan multi agama. Tidak ada satu pun alat ideologi yang bisa
menyatukan bangsa yang multi etnis ini selain dengan Pancasila.
Pancasila juga dilihat sebagai jalan spiritual. Spiritualisasi
Pancasila ini bertujuan untuk membentuk jiwa bangsa Indonesia atau
The Pancasila way by a spiritual way. Spiritualisasi Pancasila yang
digagas Guruh Soekarno Putra ini dimaksudkan untuk mencapai cita-
cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yaitu membangun jiwa

112
Azra, Jati Diri Indonesia..”, 24.
113
Azra, Jati Diri Indonesia..”, 24.
114
Sri Edi Swasono, Pendidikan Demi Ibu Pertiwi (Yogyakarta: UST-
Press, 2016), 10.

Pendahuluan 55
manusia Indonesia menuju kedamaian, kesejahteraan, dan
persaudaraan dalam kebinekaan115.
Shigeo Nishimura melihat Pancasila sebagai dasar filsafat
untuk fondasi kemerdekaan Indonesia. Lebih jauh Shigeo
menjelaskan selain sebagai dasar Negara, Pancasila juga menjadi
dasar filsafat pendidikan formal di Indonesia. Tanpa memahami
Pancasila dengan benar, tidak mungkin memahami pendidikan
nasional di Indonesia116. Catatan Shigeo ini menunjukkan bagaimana
pentingnya Pancasila sebagai landasan filosofis dalam Pendidikan di
Indonesia.
Shigeo mencermati pasang surut pendidikan dan nasionalisme
di Indonesia. Dalam tulisannya Shigeo mengamati model pendidikan
yang diterapkan Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah. Juga perjuangan
pendidikan yang dilakukan oleh R.A. Kartini dan Dewi Sartika.
Shigeo juga mengamati perkembangan ideologi pendidikan Ki Hajar
Dewantoro, dan Mohmmad Syafei. Dalam bacaan Shigeo, Ideologi
Pendidikan Ki Hajar Dewantoro adalah nasionalisme dan genuine
Indonesia. Sistem among adalah model student center yang
diterapkan Ki Hajar Dewantoro untuk mengembangkan bakat dan
minat siswa yang betul-betul model pembelajaran genuine Indonesia.
Ki Hajar Dewantoro menurut Shigeo mengembangkan pedagogi
kritis ala Indonesia yang berprinsip pada nilai-nilai kebudayaan asli
Indonesia. Taman siswa yang dirintis Ki Hajar Dewantoro adalah
lembaga pendidikan yang menekankan prinsip pendidikan nasional
Indonesia yang mengusung nasionalisme dan prinsip budaya
bangsa.117
Shigeo juga menyoroti Pancasila dalam pendidikan nasional di
Indonesia. Hal ini dilihat dari sistem perundang-undangan pendidikan

115
Guruh Soekarno Putra, “Sekali Pancasila tetap Pancasila”,
Kompas, 1 Juni 2006.
116
Shigeo Nishimura, “The Development of Pancasila Moral
Education in Indonesia”, Jurnal Southeast Asian Studies, vol 33, no. 3, 1995,
21.
117
Nishimura, “The Development of Pancasila, 22-25.

56 Ideologi Pendidikan
di Indonesia sejak awal. Dalam pandangannya perundangan-undangan
tentang pendidikan di Indonesia sejak 27 Desember 1945 Komite
Nasional Pendidikan Indonesia menegaskan Pancasila sebagai spirit
pendidikan di Indonesia. Hal ini juga ditegaskan kembali dalam
Undang-Undang Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah tahun
1950 yang menegaskan Pancasila sebagai dasar pendidikan nasional
di Indonesia. Pada masa Orde Baru Soeharto meneguhkan kembali
Pancasila sebagai dasar dalam sistem pendidikan nasional. Melalui
formalisasi Pendidikan Moral Pancasila sebagai mata pelajaran wajib
di semua jenjang sekolah, menegaskan Pancasila sebagai dasar dalam
pendidikan nasional dan dikuatkan dalam formulasi Penataran P4.118
Michael Morfit menjelaskan tentang Pancasila bagaimana
Soeharto menggunakan Pancasila sebagai strategi pembangunan dan
politik ideologi pemerintah melalui program dan formulasi Penataran
P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalam Pancasila). Menurut
Michael Morfit, Pancasila dijadikan basis legitimasi pemerintahan
Soeharto dalam menjalankan politik pemerintahannya. Selain soal
politisasi Pancasila, Michael melihat Pancasila sebagai sebuah
ideologi yang sangat panjang retorikanya namun memiliki
kekurangan persepsi yang spesifik dimana Pancasila hanya digunakan
untuk basis ideologi politik saja.119
Diskursus Pancasila juga menjadi perhatian International
Conflict Analysis and Transformation Reserch Group (ICAT).
Melalui dua orang penelitinya, Marcus Marktanner dan Maureen
Wilson, memperhatikan Pancasila sebagai pendekatan dalam bidang
teori ekonomi. Marcus Marktanner dan Maureen Wilson mengamati
tiga fase politik Pancasila di Indonesia mulai era Soekarno, Soeharto
dan Post Soeharto. Soekarno mengenalkan Pancasila sebagai dasar
filsafat dan ideologi bagi bangsa Indonesia. Pancasila memiliki
universalitas dan inklusifitas nilai serta menjadi jalan tengah dari

118
Nishimura, “The Development of Pancasila, 26-29.
119
Michael Morfit, “Pancasila: The Indonesian State Ideology
According to The New Order Giverment”, Asian Survey, vol 21, no 8, 1981.

Pendahuluan 57
konflik ideologi dan politik yang terjadi diawal berdirinya
Indonesia.120
Pada era Soeharto, Pancasila menjadi alat bagi Soeharto untuk
membangun masyarakat dan pemerintahannya berdasarka ideologi
Pancasila. Soeharto sukses membangun stabilitas politik dan
kemudian membangun stabilitas ekonomi dengan mengandalkan
Pancasila sebagai basis legitimasi. Pendidikan Pancasila di
pendidikan formal dan Formulasi Penataran P4 menjadi salah satu
strategi yang digunakan Soeharto untuk membangun kekuasaannya.
Walau pada masa Soeharto, Pancasila tidak betul-betul dilaksanakan
secara murni dan konsekuen, hanya menjadi retorika belaka. Pada
masa post Soeharto, Pancasila betul-betul mengalami masa suram.
Pancasila menjadi hanya tinggal memori yang dilupakan dan menjadi
kosa kata kotor dalam kosa kata politik. Setelah kejatuhan Orde
Baru, banyak politisi menghubungkan Pancasila dengan rezim
otoriter masa lalu121. Dan ini kemudian diperkuat dengan keputusan
B.J. Habibie untuk menghapus asas tunggal Pancasila.122
Marcus Marktanner dan Maureen Wilson menilai Ekonomi
Pancasila yang ditawarkan Soeharto adalah system ekonomi terbuka
yang sesuai degan nasionalisme ekonomi bagi Negara berkembang
seperti Indonesia. Teori ekonomi Pancasila tersebut dikuatkan oleh
tenaga ahli disekeliling Soeharto yaitu Mubyarto yang mendesign
proteksi terhadap industri dalam negeri.123
Dari sisi filosofis, Pancasila menurut Harjoko Sangganagara,
secara material memuat nilai-nilai dasar manusiawi yaitu nilai yang
pada dasarnya dimiliki oleh semua manusia sesuai kodratnya.
Harjoko menjelaskan bahwa Pancasila merupakan suatu bonum

120
Marcus Marktanner and Maureen Wilson, “Pancasila: Roadblock or
Pathway to Economic Development?”, ICAT Working Paper Series,
2015,11-13.
121
Marktanner and Wilson, “Pancasila: Roadblock...”, 13-15.
122
Azra, “Jati Diri Indonesia...”, 24.
123
Marktanner and Wilson, “Pancasila: Roadblock...”, 8-9.

58 Ideologi Pendidikan
honestum yaitu nilai yang patut dikejar dan dihormati karena dirinya
sendiri, bukan yang sekedar bonum utile atau nilai kegunaan atau
juga bukan sekedar bonum delectable atau nilai yang menyenangkan
keinginan dan dapat dinikmati. Sebagai bonum honestum Pancasila
merupakan suatu nilai moral yang bersifat total, tidak seperti nilai-
nilai yang bersifat particular. Nilai moral menyampaikan suatu
tuntutan kepada person sebagai totalitas, maka wajin diberi prioritas
di atas semua nilai particular. Tindakan yang dilakukan untuk
mewujudkan nilai moral tersebut dapat disebut bernilai.124
Dari berbagai tulisan dan kajian terkait Pancasila inilah penulis
mencoba mencari ceruk yang ingin di ungkap terkait strategi budaya
yang harus dilakukan oleh negara dalam menguatkan ideologi
Pancasila di tengah arus globalisasi dan perkembangan pesat
teknologi informasi. Selain itu sebagai sebuah ideologi yang lahir dari
khazanah budaya dan pemikiran Bangsa Indonesia sendiri, Pancasila
harus menjadi ideologi terbuka dan mengilhami lahirnya teori-teori
baru terkait berbagai aspek. Hal inilah yang akan menjadi watak
keabadian Pancasila.
Sumber etik yang digunakan oleh masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari tidak hanya dari satu sumber. Sumber etik tersebut bisa
berasal dari agama, local wisdom, dan termasuk bisa berasal dari
Pancasila. Pancasila seharusnya menjadi sumber konsensus bersama
untuk semua masyarakat dalam kehidupan berangsa, bernegara dan
bermasyarakat. Pancasila merupakan hasil konsensus atau hasil
kompromi politik ditengah diskursus ideologi Islam, dan sekuler di
awal pembentukan Negara kebangsaan Indonesia, sekaligus sebagai
alat untuk mempersatukan bangsa. Pancasila menjadi common
denominator (penyebut yang sama) untuk bangsa Indonesia yang
multikultur.

124
Harjoko Sangganagara, “Pancasila di Tengah Globalisasi”,
Makalah, 2010.

Pendahuluan 59
D. Merangkai Fakta Menemukan Makna
Buku yang dikembangkan dari Disertasi penulis ini akan
membahas atau akan meneliti kondisi Pancasila pasca Orde Baru
yang tidak menjadi mainstream dalam semua aspek kehidupan bangsa
ini sebagai objek penelitian. Kondisi Pancasila pasca Orde Baru
adalah sebuah realitas yang akan diteliti dan disandingkan dengan
mainstreaming Pancasila dalam Pendidikan secara umum dan dalam
Pendidikan Islam khususnya.
Pancasila sebagai sebuah realitas yang aktual dan esensial,
menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia. Sebagai sebuah ideologi
Pancasila memiliki “nalar nilai” sekaligus sebagai “nalai pikir” bagi
bangsa Indonesia dalam aplikasinya di setiap aspek kehidupan.
Pancasila secara esensial merupakan perwujudan Pancasila pada ciri
hakiki dari sesuatu dan menjadi ada selama sesuatu memang ada125.
Karena itu buku ini termasuk penelitian kepustakaan (kajian
kepustakaan) yang menggunakan pendekatan metodologi kualitatif
postposivistik rasionalistic. Menurut aliran positivisme semua ilmu
berasal dari empirik sensual. Sedang menurut rasionalisme semua
ilmu itu berasal dari pemahaman intelektual kita yang dibangun atas
kemampuan argumentasi secara logik, bukan dibangun atas
pengalaman empirik. Jadi dalam postposivitisme rasionalistic adalah
merupakan perpaduan empirik dan argumentasi logik. Proses
analisis sintesa dan proses induksi-deduksi yang dibangun
berlangsung terus-menerus, terjadi secara reflektif dalam penulisan
penelitian ini. Karena masih berkaitan dengan hipotesa pelaksanaan
Pancasila di era globalisasi, maka penelitian ini juga menggunakan
pola pikir antisipatif126 terkait Pancasila sebagai ideologi harus
dilaksanakan secara murni dan konsekuen127 dan menguatkan watak

125
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta:
Rake Sarasin, Yogyakarta, 2000), 94.
126
Muhadjir, Metodologi Penelitian, 101.
127
Pancasila sebagai sebuah nalar nilai yang dijadikan rujukan harus
diimplementasikan secara murni dan konsekuen. Nalar nilai dari Pancasila

60 Ideologi Pendidikan
keabadian Pancasila sebagai ideologi terbuka dimasa yang akan
datang. Inilah grand concept128 dari disertasi ini.
Kerangka teori atau grand concept yang dibangun dalam
penelitian ini adalah nalar nilai yang ada dalam Pancasila sama dan
sebangun (compatible) dengan nalar akhlak atau nalar moral dari
Pendidikan Agama Islam. Yang kedua adalah sebagai ideologi
terbuka, Pancasila akan terus bertahan dalam menghadapi ideologi
transnasional dan arus globalisasi yang tanpa jiwa jika Pancasila
mampu mempertahankan watak keabadiannya. Penelitian ini
merupakan penelitian studi kepustakaan atau kualitatif dengan
metodologi postposivistik rasionalistic dan menggunakan pendekatan
heuristic sebagai salah satu metode penelitian sejarah.129 Pendekatan
heuristic adalah penyelidikan sumber-sumber sejarah, yang kemudian
diinventarisasi baik yang primer atau yang sekunder terkait
pemikiran Pancasila dari masa ke masa. Kemudian diinterpretasikan
dalam kerangka mencari makna dari setiap fakta sejarah
perkembangan dan pelaksanaan Pancasila tersebut.
Yang kedua penelitian terkait Pancasila ini merupakan
pembuktian akan teori kebenaran performatif130. Yaitu kebenaran
Pancasila bagi pelaksananya yang harus dilaksanakan secara murni
dan konsekuen tersebut harus selaras antara apa yang disampaikan
dengan apa yang dilakukan atau tindakannya sesuai dengan
kewenangannya.
Pancasila dan UUD 1945 adalah filosofi yang menjadi dasar
bagi seluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia sampai kapanpun.
Karena itu penelitian ini juga bersifat prediktif131 terkait watak

adalah merupakan pola pikir substansial. Muhadjir, Metodologi Penelitian,


94.
128
Muhadjir, Metodologi Penelitian, 107.
129
Helius Sjamsudin, Metodologi Sejarah (Jakarta: Proyek Tenaga
Pendidik, 1996), 11.
130
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu dari Klasik hingga Kontemporer
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016), 55.
131
Lubis, Filsafat Ilmu, 47.

Pendahuluan 61
keabadian Pancasila sebagai sebuah ideologi terbuka menghadapi
gencarnya arus globalisasi dan teknologi informasi. Sekaligus
mencari strategi budaya dalam penguatan Pancasila melalui
pendidikan termasuk pendidikan islam.
Penelitian ini juga menggunakan pendekatan analisis isi.
Analisis isi (content analysis) secara sederhana diartikan sebagai
metode untuk mengunpulkan dan menganalisis muatan dari sebuah
“teks”. Teks dapat berupa kata-kata, makna gambar, simbol, gagasan,
tema dan bermacam bentuk pesan yang dapat dikomunikasikan.
Analisis isi berusaha memahami data bukan sebagai kumpulan
peristiwa fisik, tetapi sebagai gejala simbolik untuk mengungkap
makna yang terkadang dalam sebuah teks, dan memperoleh
pemahaman terhadap pesan yang direpresentasikan.132
Penelitian ini juga menggunakan ideological criticism. Peneliti
dalam melakukan analisis teks secara kritis terkait realitas yang ada
diungkap dalam teks yang dianalisis.133 Oleh karena itu beberapa hal
oleh peneliti mendapat perhatian secara ketat adalah sebagai berikut:
1. Memperhatikan situasi sosial yang ada dalam pesan teks
(dokumen) yang diambil sebagai bahan penelitian. Misalnya,
peneliti harus mempertimbangkan faktor politik dan ideologi
yang menjadi perdebatan atau yang melingkupi ideologi
Pancasila dalam pendidikan yang digunakan oleh penguasa
sejak jaman Orde lama, Orde Baru dan Pasca Orde Baru,
termasuk respon masyarakat terhadap ideologi Pancasila.
2. Bagaimana isi pesan teks terseut diproses dan diorganisasikan
bersama dan aktual. Sebagai mana ideologi Pancasila
digunakan oleh para penguasa dalam menyusun kebijakan
pendidikan, politik atau ekonomi pembangunannya.

132
Philip Bell, “Content Analysis of Visual Images”, Jewit Carey dan
Van Leewen, Theo, Handbook of Visual Analysis (London: Sage
Publications, 2007), 113.
133
Kasiyanto, “Analisis Wacana dan Teoritis Penafsiran Teks, Burhan
Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif (Jakarta: Raja Grafindo, Jakarta,
2003), 249.

62 Ideologi Pendidikan
3. Bagaimana isi pesan dari sebuah teks di bentuk secara
gradual/bertahap agar bisa di interpretasikan dan dipahami
(emergence). Dokuemn atau teks menjadi salah satu
instrument untuk memahmi proses pembentukan makna dari
aktivitas-aktivitas sosial terkait Ideologi Pancasila. Dalam
proses ini peneliti akan mengetahui apa dan bagaimana si
pembuat pesan (dalam hal ini penguasa atau pemerintah) di
pengaruhi oleh lingkungan sosialnya atau bagaimana si
pembuat pesan mendefinisikan sebuah situasi.134

Ada lima jenis sumber data yang biasa digunakan dalam


penelitian kualitatif, yaitu: narasumber atau informan, peristiwa,
aktivitas, dan perilaku, tempat atau lokasi, benda, gambar, rekaman,
serta dokumen dan arsip.135 Sumber data dalam penelitian adalah
subyek dari mana data dapat diperoleh. Sumber data dari penelitian
ini adalah menggunakan dokumentasi dari berbagai dokumen, buku
dan catatan yang menjadi sumber data.136
Sumber data dari penelitian ini adalah semua buku, jurnal,
artikel terkait ideologi Pancasila, kebijakan pendidikan di Indonesia,
ideologi-ideologi pendidikan, sebagai data primer. Seperti buku yang
di tulis Pranarka, H.A.R. Tilaar, Sri Edi Swasono, Seung Won Song,
Ahmad Syafi’i Maarif dan tentu buku yang ditulis Yudi Latief.
Sementara untuk data sekunder adalah tulisan terkait Pancasila dan

134
Bell, Content Analysis..”, 249.
135
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif
dan Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2006), 310.
136
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2002, Cet.XII), 107. Apabila
menggunakan wawancara dalam mengumpulkan datanya maka sumber
datanya disebut informan, yaitu orang yang merespon atau menjawab
pertanyaan-pertanyaan baik secara tertulis maupun lisan. Apabila
menggunakan observasi maka sumber datanya adalah berupa benda, gerak,
atau proses sesuatu. Apabila menggunakan dokumentasi, maka dokumen
atau catatanlah yang menjadi sumber datanya.

Pendahuluan 63
Pendidikan dari berbagai jurnal ilmiah, opini di media massa dan
buku yang terkait lainnya.
Dokumen yang berupa berbagai buku, jurnal, makalah, opini
dan berbagai dokumen tersebut dianalisis berdasarakan kebutuhan
penelitian dan di petakan menjadi isu-isu yang mendiskusikan terkait
ideologi dalam pendidikan, ideologi keagamaan, sejarah Pancasila,
dampak dari ideologi yang dilaksanakan di lembaga pendidikan, isu
terkait ajaran Islam yang wasyatiah dan lain sebagainya.137
Data tersebut dianalisis, dikomparasikan dan dikontraskan
dengan kata kunci yang menjadi objek penelitian yaitu ideologi
Pancasila dan Pendidikan.138 Penulis juga melakukan pencatatan
terhadap setiap kesimpulan penting dari setiap teks untuk kemudian
dikombinaskan dengan data dan aktual realitas kemudian
diinterpretasikan dengan perspektif yang berbeda.
Studi ini berupaya merekonstruksi dan mereinterpretasi atas
data yang terpencar di berbagai sumber primer dan sekunder dalam
kerangka kerja (framework) studi penelitian ini. Mengenai data
primer, beberapa bahan dikumpulkan melalui penggunaan teknik
survei dokumen dan pengamatan langsung atas teks sosial yang ada.
Survei dokumen dimaksudkan terutama untuk menemukan kode-kode
spesifik, terbitan-terbitan, isu-isu utama, dan polemik-polemik dari
generasi-generasi tertentu serta makna spesifiknya pada rentang
historis tertentu (masa Orde Lama, Orde Baru dan Post Soeharto).
Rekonstruksi dan reinterpretasi atas teks atau data ini untuk
menemukan alienasi Pancasila dalam proses pendidikan dan
kehidupan berbangsa dan bernegara post Soeharto. Sekaligus
menunjukkan dialektika yang terjadi dalam proses penguatan
Pancasila sebagai sebuah ideologi negara. Pendekatan dialektika dan

137
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek, 149.
138
Lexy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya, 2002), 248.

64 Ideologi Pendidikan
alienasi139 ini untuk menunjukkan teori kebenaran performatif
Pancasila sebagai sebuah ideologi.

E. Sistematika Pembahasan
Dalam Bab I di jelaskan terkait latar belakang masalah
bagaimana Pancasila pascara era reformasi. Latar belakang
dimaksudkan untuk mencari das zein dan das zolen terkait
pelaksanaan dan kondisi Pancasila dari masa ke masa. Bab II
menjelaskan perdebatan akademik terkait diskursus ideologi dalam
pendidikan. Mulai ideologi kapitalisme dalam pendidikan, ideologi
marxis dalam pendidikan, ideologi agama (Islam), ideologi Pancasila,
serta ideologi Ki Hajar Dewantara dalam pendidikan.
Bab III menjelaskan strategi budaya pelaksanaan Pancasila
pada masa Orde Lama, Orde Baru, dan bagaimana strategi penguasa
Orde Baru dalam menguatkan ideologi Pancasila melalui berbagai
instrument seperti Penataran P4, pembentukan BP 7 dan melalui
pendidikan. Termasuk analisis sejarah kelahiran Pancasila sebagai
alat politik Orde Lama dan kemudian menjadi alat politik Orde Baru.
Bab IV juga menjelaskan Strategi penguatan Pancasila melalui
Pendidikan Agama Islam. Pada Bab V menjelaskan adanya ideologi
keagamaan yang berkembang di sekolah dan bagaimana penguatan
Pendidikan Agama Islam dan Pancasila. Bab ini menjelaskan
pentingnya menafsir ulang PAI di Sekolah. Juga menjelaskan PAI
sebagai salah satu sumber rujukan etika dan agama, serta PAI yang
wasathiyah. Bab ini juga menjelaskan maraknya ideologi keagamaan
di sekolah. Bab VI menjelaskan bagaimana Penguatan Pancasila
dalam Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Termasuk di dalamnya
tafsir ulang Pancasila. Sekaligus bagaimana membumikan Pancasila
dalam PAI. Bab VII adalah penutup.

139
George Ritzer dan Dauglas J Goodman, Teori Sosiologi (Bantul:
Kreasi Wacana, 2012), 47-54.

Pendahuluan 65

Anda mungkin juga menyukai