Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KONSEP PENDIDIKAN

KI HAJAR DEWANTARA, PESANTREN, FORMAL, NONFORMAL DAN


UMUM

Disusun Oleh :
Sintike Euodia Kalaru ( NIM. 23.23.027939 )
Widya Safitri ( NIM. 23.23.027940 )
Dosen Pengampu :
A’am Rifaldi Khunaifi, M.Pd

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA


FAKULTAS PENDIDIKAN DAN ILMU KEGURUAN
( PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR )
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR
Pendidikan adalah salah satu pilar utama dalam pembentukan individu dan
masyarakat yang berkualitas. Konsep pendidikan yang beragam dan berwawasan luas
telah menjadi bagian integral dari evolusi pendidikan di seluruh dunia. Dalam konteks
pendidikan di Indonesia, salah satu tokoh yang memainkan peran penting dalam
perumusan konsep pendidikan adalah Ki Hajar Dewantara. Beliau dikenal sebagai
pelopor pendidikan yang inklusif dan komprehensif yang mencakup pendidikan formal,
nonformal, dan umum.
Makalah ini bertujuan untuk menyelidiki konsep pendidikan Ki Hajar
Dewantara yang mencakup pesantren, pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan
pendidikan umum. Konsep pendidikan yang diusung oleh Ki Hajar Dewantara menjadi
dasar bagi berbagai kebijakan pendidikan di Indonesia dan telah membentuk wajah
pendidikan di negara ini selama beberapa dekade terakhir.
Dalam makalah ini, kami akan mengulas pandangan Ki Hajar Dewantara
tentang pendidikan sebagai sarana pembebasan dan pemberdayaan individu serta
masyarakat. Kami juga akan membahas bagaimana pandangan tersebut tercermin
dalam sistem pendidikan formal, nonformal, dan umum yang kita miliki saat ini. Di
samping itu, kami akan mengeksplorasi peran pesantren dalam konsep pendidikan Ki
Hajar Dewantara, karena pesantren juga memegang peran yang penting dalam sejarah
pendidikan Indonesia.
Semoga makalah ini dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang
konsep pendidikan yang diusung oleh Ki Hajar Dewantara dan bagaimana konsep
tersebut memengaruhi perkembangan pendidikan di Indonesia. Kami berharap makalah
ini dapat memberikan wawasan yang berharga bagi pembaca yang ingin memahami
lebih dalam tentang sejarah dan perkembangan pendidikan di negara ini.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat memberikan kontribusi yang berarti
dalam memahami peran Ki Hajar Dewantara dalam pembentukan konsep pendidikan di
Indonesia.
DAFTAR ISI

ABSTRAK..................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.......................................................................................................................5
BAB I........................................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................................6
BAB II.......................................................................................................................................8
HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................................................................8
BAB III....................................................................................................................................14
KESIMPULAN.........................................................................................................................14
BAB IV....................................................................................................................................15
PENUTUP...............................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................16
ABSTRAK
Makalah ini membahas konsep pendidikan menurut pandangan Ki Hajar
Dewantara, seorang tokoh pendidikan Indonesia yang terkenal. Ki Hajar Dewantara
mengembangkan ide-ide inovatif tentang pendidikan yang mencakup berbagai bentuk,
termasuk pendidikan pesantren, pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan
pendidikan umum. Kami akan menguraikan konsep-konsep ini dan mengeksplorasi
bagaimana pandangan Ki Hajar Dewantara mengenai pendidikan telah memengaruhi
perkembangan sistem pendidikan di Indonesia. Dalam makalah ini, kami juga akan
membahas relevansi konsep-konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara dalam konteks
pendidikan modern. Dengan memahami pemikiran dan kontribusi Ki Hajar Dewantara
terhadap pendidikan, kita dapat mendapatkan wawasan yang lebih baik tentang
perkembangan pendidikan di Indonesia dan mempertimbangkan implikasinya untuk
masa depan pendidikan di negara ini.
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah salah satu fondasi utama dalam pembentukan individu dan
masyarakat. Melalui pendidikan, pengetahuan dan nilai-nilai diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Pendidikan bukan hanya menjadi sarana untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia, tetapi juga sebagai alat yang kuat untuk
membangun peradaban dan mengembangkan budaya. Dalam konteks pendidikan di
Indonesia, salah satu tokoh yang memiliki pengaruh signifikan dalam perumusan dan
pengembangan pendidikan adalah Ki Hajar Dewantara.
Ki Hajar Dewantara, yang nama aslinya adalah Raden Mas Soewardi
Soerjaningrat, adalah seorang pendidik, pemikir, dan aktivis sosial yang lahir pada
tahun 1889 di Yogyakarta. Beliau dikenal sebagai pelopor pendidikan bagi rakyat
Indonesia dan salah satu tokoh sentral dalam gerakan pendidikan nasional. Kontribusi
besar Ki Hajar Dewantara terletak pada konsep pendidikan yang inklusif, yang
mencakup berbagai bentuk pendidikan, seperti pesantren, pendidikan formal,
nonformal, dan pendidikan umum.
Dalam makalah ini, kami akan menyelidiki dan menganalisis konsep pendidikan
Ki Hajar Dewantara, yang mencakup berbagai aspek pendidikan yang melibatkan
pesantren, pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan umum. Kami
akan mengungkapkan bagaimana Ki Hajar Dewantara memandang pendidikan sebagai
alat pembebasan dan pembangunan, serta bagaimana konsep-konsep ini terintegrasi
dalam sistem pendidikan Indonesia saat ini.
Selain itu, kita akan menjelajahi peran pesantren dalam konsep pendidikan Ki
Hajar Dewantara, yang sering kali terabaikan dalam pembicaraan tentang pendidikan
nasional. Dengan demikian, makalah ini akan membahas kompleksitas dan relevansi
konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara dalam konteks pendidikan Indonesia yang
berkembang pesat saat ini.
Dalam menjalankan eksplorasi ini, kita akan merujuk kepada berbagai sumber
literatur dan penelitian yang relevan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih
mendalam tentang warisan dan kontribusi besar Ki Hajar Dewantara dalam
pembangunan sistem pendidikan Indonesia yang inklusif dan beragam. Semoga
makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih baik tentang konsep pendidikan Ki
Hajar Dewantara dan relevansinya dalam konteks pendidikan saat ini.

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
Pendidikan adalah salah satu aspek penting dalam pembangunan sosial, budaya,
dan ekonomi suatu masyarakat. Dalam konteks Indonesia, salah satu tokoh yang
memiliki kontribusi besar dalam pengembangan sistem pendidikan adalah Ki Hajar
Dewantara. Ki Hajar Dewantara, yang juga dikenal sebagai Raden Mas Soewardi
Soerjaningrat, adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang terkenal karena
perannya dalam pengembangan pendidikan di Indonesia pada awal abad ke-20.
Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara dikenal sebagai pelopor pendidikan nasional di Indonesia.
Konsep pendidikan yang dikembangkan olehnya sangat relevan dengan perkembangan
pendidikan di Indonesia hingga saat ini. Ki Hajar Dewantara menekankan pentingnya
pendidikan sebagai sarana untuk membebaskan manusia dari keterbelakangan dan
penjajahan. Pendidikan yang ia anjurkan bukan hanya pendidikan formal di sekolah,
tetapi juga pendidikan nonformal dan informal yang mencakup pendidikan pesantren
dan pendidikan umum.
1. Pendidikan Pesantren
Pesantren adalah institusi pendidikan Islam tradisional di Indonesia. Ki Hajar
Dewantara melihat pentingnya pendidikan pesantren dalam membangun moral dan
karakter anak-anak Indonesia. Dia mendukung integrasi antara pendidikan pesantren
dengan pendidikan formal dan nonformal untuk menciptakan individu yang berakhlak
baik dan berpengetahuan luas.
2. Pendidikan Formal dan Nonformal
Selain pendidikan pesantren, Ki Hajar Dewantara juga mengadvokasi
pendidikan formal dan nonformal. Pendidikan formal adalah pendidikan yang
terstruktur dan formal di lembaga pendidikan seperti sekolah. Pendekatan ini
memberikan dasar pendidikan yang kuat, dan Ki Hajar Dewantara berjuang untuk
memastikan bahwa pendidikan formal ini dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat.
Pendidikan nonformal, di sisi lain, adalah pendidikan yang tidak terikat oleh
struktur formal lembaga pendidikan. Ki Hajar Dewantara percaya bahwa pendidikan
nonformal dapat memberikan peluang bagi individu yang mungkin tidak memiliki
akses ke pendidikan formal. Ini termasuk pendidikan keterampilan dan pelatihan yang
dapat meningkatkan kemampuan seseorang dalam dunia kerja.
3. Pendidikan Umum
Ki Hajar Dewantara juga mempromosikan pendidikan umum sebagai upaya
untuk memberikan pengetahuan yang luas kepada seluruh warga Indonesia. Konsep
pendidikan umum ini bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang terdidik dan
mampu berpartisipasi dalam pembangunan negara.
Dalam tinjauan pustaka ini, kita telah melihat konsep pendidikan Ki Hajar
Dewantara yang mencakup pendidikan pesantren, formal, nonformal, dan umum.
Konsep ini mencerminkan visinya untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang
terdidik, berakhlak, dan merdeka. Selanjutnya, makalah ini akan menggali lebih dalam
tentang implementasi konsep pendidikan ini dalam konteks sejarah dan perkembangan
pendidikan di Indonesia.
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ki Hadjar Dewantara membedakan antara pendidikan (opvoeding) dan
pengajaran (onderwijs). Mengajar adalah pendidikan dengan memberikan pengetahuan
dan keterampilan yang mempengaruhi kecerdasan anak, yang bermanfaat bagi
kehidupan lahir dan batin anak (Tauchid et al., 1962: 20). Sementara itu, Ki Hadjar
Dewantara berpendapat bahwa yang disebut pendidikan adalah suatu usaha kebudayaan
yang berlandaskan peradaban yang bertujuan untuk membekali dan memajukan budi
pekerti anak (kekuatan batin, budi pekerti), budi (akal budi) dan pertumbuhan jasmani
yang hidup. selaras dengan dunia. Oleh karena itu, segala alat, upaya dan metode
pendidikan harus selaras dengan kondisi alam yang melekat pada adat istiadat setiap
masyarakat (Dewantara, 1962: 14-15; Tauchid et al., 1962: 20, 166).
Pendidikan hanyalah pedoman, dan tumbuh kembang seorang anak sepanjang
hayat tidak bergantung pada kemauan pendidiknya. Ki Hadjar Dewantara
mengemukakan bahwa pendidik hanya dapat membimbing pertumbuhan dan
kehidupannya agar karakternya dapat ditingkatkan (Tauchid et al., 1962: 21). Ki Hadjar
Dewantara (1957:42-43) menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah memajukan
kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan anak yang selaras dengan alam dan masyarakat.
Oleh karena itu, pendidik membimbing anak untuk hidup harmonis dengan alam dan
masyarakat.
1. Prinsip Pendidikan
Sebelum tahun 1947, Taman Siswa mempunyai asas yang disebut Asas 1922,
yang diberi nama tersebut agar dapat membedakan Asas 1922 dengan uraian Pokok-
Pokok (Dasar-Dasar 1947). Asas 1922 merupakan asas perjuangan yang diperlukan
pada masa itu, yang menjelaskan ciri-ciri Taman Siva secara keseluruhan.
Pasal 1. Dasar independensi
Biarkan semua orang mengatur dirinya sendiri. Untuk melaksanakan prinsip ini,
guru menentukan metode yang akan diterapkan sesuai dengan situasi masing-masing.
Kewajaran dimasukkan dalam pasal ini sebagai alternatif terhadap cara-cara lama yaitu
perintah, paksaan dan penghukuman; pasal kedua masih menyangkut dasar kebebasan.
Landasan kemandirian harus diterapkan pada cara berpikir anak. Menurut prinsip ini,
pikiran, pikiran dan tenaga anak harus dibebaskan, karena ketiga hal tersebut
merupakan syarat agar masyarakat benar-benar merdeka; hal ketiga harus berlandaskan
pada bangsa dan kemanusiaan; hal keempat adalah mengutamakan landasan massal
dalam memasyarakatkan pendidikan dan pengajaran di seluruh lapisan masyarakat.
Latar belakangnya adalah lebih banyak mahasiswa asal Belanda dan negara lain yang
bersekolah di perguruan tinggi; Pasal 5, jangan menerima bantuan yang dapat
mengikat, baik itu pengekangan fisik maupun mental. Pada dasarnya menerima bantuan
orang lain boleh-boleh saja, asalkan tidak mengurangi kemandirian dan kebebasan
Anda. Inti prinsip ini adalah mengupayakan kekuatan diri sendiri; Pasal 6 kewajiban
mendanai segala usaha. Sistem ini disebut “zelf-bedruipings-system” dan merupakan
syarat mutlak bagi kemandirian. Agar sistem swadana dapat dilaksanakan, seseorang
harus hidup sederhana; Pasal 7: Ikhlas dan suci hatinya, serta menggunakan sistem
perantara dalam mendidik anak. (Dewantala, 1956a: 54-57; Dewantala, 1956b: 355).
Sementara dasar-dasar 1947 memuat tentang dasar yang dipakai oleh Taman
Siswa yang dipakai sejak berdirinya Taman Siswa pada 1922 dan dasar-dasar ini
bersumber dari panca darma yang merupakan kristalisasi dari azas 1922 (Dewantara,
1956a:54-55; Soeratman, 1975:6). Azas inilah yang menjadi pedoman gerak dan
langkah Taman Siswa. Soejono (1960:158-159) menjelaskan bahwa dalam dasardasar
tersebut telah terkandung petunjuk tentang corak dan cara (sistem) pendidikan yang
dicita-citakan oleh Ki Hadjar Dewantara. Dasar kemanusiaan, kebangsaan, dan
kebudayaan berkaitan dengan menerima, memelihara, melanjutkan kebudayaan, dan
memperluas pendidikan, serta memberi corak pendidikan nasional. Sementara dasar
kodrat hidup dan dasar kemerdekaan menentukan sistem pendidikan yaitu pendidikan
sistem among. Berikut dasar-dasar itu:
2. Kebangsaan
Dalam dasar kebangsaan, Ki Hadjar Dewantara (1956a:68) menekankan bahwa
Taman Siswa tidak boleh bertentangan dengan kemanusiaan. Taman Siswa justru harus
menjadi bentuk nyata kemanusiaan itu. Ki Hadjar Dewantara kembali menekankan
bahwa azas ini tidak berarti membangun permusuhan dengan bangsa lain, tetapi
memiliki rasa satu dengan bangsa sendiri, satu dalam suka dan duka, dan rasa satu
dalam mencapai kebahagiaan hidup seluruh bangsa. Dalam pendidikan bararti bahwa
manusia harus sanggup untuk belajar menuntut ilmu dan keluhuran budi pekerti bagi
dirinya sendiri, lalu bersama-sama dengan masyarakatnya memunculkan kebudayaan
bangsa yang khusus dan jelas (Soejono, 1960:158). Ki Hadjar Dewantara (1957:34)
menuliskan bahwa dalam masyarakat kebangsaan, pendidikan menjadi tempat untuk
menanam benih-benih kebudayaan, sehingga segala unsur kebudayaan dapat tumbuh
dengan baik. Pendidikan menjadi tempat untuk menabur benih yang kemudian tumbuh
untuk mencapai kemajuan dan kemerdekaan bangsa.
3. Kebudayaan
Ki Hadjar Dewantara (1956a:68) mengatakan bahwa kebudayaan yang sejati pertama
kali muncul dari hidup kebangsaan yang kemudian meluas sebagai sifat kemanusiaan.
Ia juga menjelaskan bahwa Taman Siswa tidak asal memelihara kebudayaan bangsa,
tetapi membawa kebudayaan bangsa kepada kemajuan yang sesuai dengan
perkembangan zaman, sesuai dengan kemajuan dunia dan selaras dengan kepentingan
hidup masyarakat (Dewantara, 156:58). Kebudayaan ini merupakan hasil dari
perjuangan manusia terhadap kekuasaan alam dan zaman, serta membuktikan bahwa
manusia mampu mengatasi semua rintangan dan kesulitan dalam perjuangan hidup
(Tauchid, 1962:171; Soejono, 1960:158).
4. Kemanusiaan
Ki Hadjar Dewantara (1956a:58) menuliskan jika dasar ini menyatakan bahwa
darma dari setiap manusia adalah mewujudkan kemanusiaan yang berarti kemajuan
manusia lahir dan batin yang setinggi-tingginya. Kemajuan yang tinggi pada manusia
dapat dilihat dalam kesucian hati dan rasa cinta kasih terhadap sesama manusia dan
seluruh ciptaan Tuhan. Cinta kasih itu bersifat keyakinan pada adanya hukum kemajuan
yang meliputi alam semesta.
5. Kemerdekaan
Dasar kemerdekaan merupakan syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan
kekuatan lahir dan batin anak sehingga mereka dapat hidup berdiri sendiri. Oleh sebab
itu pendidikan harus memberikan kemerdekaan pada anak-anak tetapi kemerdekaan
yang dibatasi oleh kodrat alam yang nyata dan menuju kepada keluhuran dan
kebahagiaan hidup. Dasar ini tidak boleh bertentangan dengan dasardasar yang lainnya.
(Dewantara, 1957:21-22).
Ki Hadjar Dewantara (1956a:69, 71) menjelaskan bahwa kemerdekaan bagi
Taman Siswa berarti bahwa hak dan kewajiban untuk mengurus diri sendiri dengan
memperhatikan ketertiban dan kedamaian masyarakat. Kemerdekaan juga menjadi
syarat mutlak dalam setiap usaha pendidikan, yang berdasarkan keyakinan bahwa
manusia karena kodratnya sendiri dan oleh pengaruh-pengaruh kodrat alam, zaman, dan
masyarakatnya dapat memelihara, memajukan, mempertinggi dan menyempurnakan
hidupnya sendiri.
6. Kodrat Alam
Dalam pidato penganugerahan Doctor Honoris Causa di Universitas Gadjah Mada, Ki
Hadjar Dewantara (1957:42) mengemukakan bahwa segala syarat, usaha dan cara pendidikan
harus sesuai dengan kodratnya. Ki Hadjar Dewantara (1956a:58) menuliskan bahwa kodrat
alam berarti manusia sebagai makhluk adalah satu dengan kodrat alam ini. Manusia tidak dapat
lepas dari kehendaknya, tetapi dapat mengalami kebahagiaan apabila dapat menyatukan diri
dengan kodrat alam yang mengandung kemajuan. Soejono (1960:158) menjelaskan bahwa
kodrat alam atau pembawaan manusia menunjukkan adanya kekuatan pada manusia dan
kekuatan itu merupakan bekal hidupnya. Kekuatan itu diperlukan untuk memelihara dan
memajukan hidup manusia sehingga dapat mencapai keselamatan dalam hidup lahiriah dan
kebahagiaan dalam hidup batiniah, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain atau
masyarakatnya. Kekuatan pembawaan manusia merupakan syarat untuk dapat mencapai
kemajuan dengan cepat dan sebaik mungkin.

7. Tri Pusat Pendidikan


Suparlan (2014:4) menuliskan bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan yang
seutuhnya, Ki Hadjar Dewantara mengajukan konsep tri pusat pendidikan, yaitu:
Pertama, pendidikan keluarga. Ki Hadjar Dewantara (1957:36) mengatakan bahwa
dalam sistem Taman Siswa, keluarga mendapat tempat yang luhur dan istimewa karena
keluarga merupakan lingkungan yang kecil, tetapi keluarga merupakan tempat yang suci dan
murni dalam dasar-dasar sosialnya, oleh sebab itu keluarga merupakan satu pusat pendidikan
yang mulia. Dalam lingkungan keluarga, seseorang dapat menerima segala tradisi mengenai
hidup kemasyarakatan, keagamaan, kesenian, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya. Tauchid
(1962:71-72) menjelaskan bahwa pentingnya menjadikan keluarga sebagai pusat pendidikan
karena keluarga tidak hanya menjadi ajang untuk melaksanakan pendidikan individual dan
sosial tetapi menjadi kesempatan bagi orang tua untuk menanamkan segala benih nurani dalam
jiwa anak-anak. Apabila keluarga menjadi pusat pendidikan maka secara tidak langsung orang
tua berperan sebagai guru yang mendidik perilakunya dan sebagai pengajar yang memberikan
kecerdasan pikiran dan ilmu pengetahuan, serta menjadi teladan dalam kehidupan sosial. Ki
Hadjar Dewantara (1956b:357) mengatakan bahwa hak mendidik anak, dalam sifat, bentuk, isi,
dan alirannya, pada dasarnya ada pada orang tua bukan pada pihak lain. Pandangannya itu
dasari oleh pandangan bahwa dalam diri orang tua tergabung berbagai golongan baik itu
golongan kebangsaan, kerakyatan atau keagamaan dan golongan itulah yang memiliki hak
untuk menetapkan sifat, bentuk, isi, dan aliran pendidikan untuk kepentingan anak-anak.
Kedua, pendidikan dalam alam perguruan. Ki Hadjar Dewantara menolak pandangan
bahwa pendidikan sosial merupakan tugas sekolah. Bagi Ki Hadjar Dewantara, selama sistem
sekolah masih bertujuan untuk pencarian dan pemberian ilmu pengetahuan dan kecerdasan
pikiran maka pengaruhnya tidak akan terlalu banyak. Pendidikan dalam alam perguruan
berkewajiban untuk mengusahakan kecerdasan pikiran dan pemberian ilmu pengetahuan.
Apabila sekolah dan keluarga berpisah maka pendidikan yang dihasilkan dalam ruang keluarga
akan selalu sia-sia, sebab pengaruh sekolah yang mengasah intelektual yang sangat kuat. Ki
Hadjar Dewantara mencontohkan pada waktu itu, anak-anak harus mengasah inteleknya setiap
hari kurang lebih selama 8 jam. (Tauchid, 1962:72-73). Oleh sebab itu sekolah tidak dapat
berpisah dengan kehidupan keluarga. Sekolah dan keluarga dapat saling mengisi dan
melengkapi agar dapat mencapai tujuan pendidikan.
Ketiga, pendidikan dalam alam pemuda. Konsep ini muncul dilatarbelakangi karena
pergerakan pemuda pada waktu itu yang sebagian meniru perikalu barat. Pada masa pergerakan
kemerdekaan, pergerakan pemuda tampak memisahkan antara anak-anak dan keluarganya. Ki
Hadjar Dewantara melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang berbahaya, misalnya tidak
selesainya pendidikan budi pekerti atau kurang berhasilnya pendidikan budi pekerti, oleh sebab
itu Ki Hadjar Dewantara memasukkan pergerakan pemuda sebagai pusat pendidikan. Tauchid
dkk. (1962:74) menjelaskan bahwa pergerakan pemuda merupakan dukungan yang besar bagi
pendidikan, baik yang menuju pada kecerdasan jiwa maupun budi pekerti, serta yang menuju
pada perilaku sosial, maka dipandang perlu untuk menjadikan pergerakan pemuda sebagai pusat
pendidikan dan memasukkannya dalam rencana pendidikan. Pendidikan dalam alam pemuda
sama halnya pada dasar kemerdekaan yang memberikan kemerdekaan dalam batasan tertentu.
Tauchid dkk. (1962:73) menuliskan bahwa dalam pergerakan pemuda, orang-orang tua
hendaknya berperan sebagai penasihat yang memberi kemerdekaan yang terbatas kepada
pemudapemuda. Disamping itu para orang tua selalu mengawasi mereka dan bertindak ketika
ada bahaya yang tidak dapat mereka hindari. Mungkin konsep ini bila diterapkan pada masa
kini dapat menolong dalam menghadapai berbagai masalah kehidupan moral generasi muda
bangsa Indonesia.
8. Pendidikan Sistem Among
Lahirnya sistem among sangat berkaitan dengan keadaan pendidikan yang
dipengaruhi oleh sistem barat. Dalam sistem barat, dasar-dasarnya adalahregering,
tucht danorde (perintah, hukuman dan ketertiban). Ki Hadjar Dewantara menilai
pendidikan seperti itu dapat menyebabkan rusaknya budi pekerti anak, sebab anak
mengalami pemerkosaan terhadap kehidupan batinnya. Sistem tersebut juga
menyebabkan anak selalu hidup berada di bawah paksaan dan hukuman yang tidak
setimpal dengan kesalahannya. Ki Hadjar Dewantara menilai bahwa jika meniru cara
yang demikian maka tidak akan dapat membentuk seseorang yang memiliki
kepribadian, oleh sebab itu sistem pendidikan yang dikedepankan adalah pendidikan
yang tidak memakai cara pemaksaan tetapi dengan caraopvoeding ataupaedagogik
(momong, among, dan ngemong). Cara yang dipakainya adalah “orde en vrede” (tertib
dan damai, tata-tentrem), tetapi tidak melakukan pembiaran. (Tauchid dkk., 1962:13).
Ki Hadjar Dewantara tidak setuju dengan sistem pendidikan yang membangun watak
anak dengan sengaja, dengan cara perintah, paksaan terhadap batin anak, paksaan untuk
tertib dan paksaan untuk sopan. Dalam pandangannya, pendidikan harus menjunjung
tinggi sukacita dan membuka kekuatan pikiran dan watak anak, itu sebabnya ia
mengedepankan pendidikan dengan sistem among (Dewantara, 1957: 21-23).
Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam sistem among didasarkan pada
dua azas yaitu:Pertama, kodrat alam yang menjadi syarat untuk menghidupkan dan
mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya;Kedua, azas
kemerdekaan yang menjadi syarat untuk menghidupkan, menggerakkan dan
mengembangkan kekuatan lahir dan batin anak sehingga menjadi pribadi yang kuat,
berpikir dan bertindak merdeka. Dalam sistem among, ia sangat mengedepankan azas
kemanusiaan sehingga anak-anak harus diberikan kebebasan dan kemerdekaan yang
terbatas oleh tuntutan kodrat alam dan menuju ke arah kebudayaan. Sistem ini
menjunjung tinggi pedagogik pemeliharaan, dengan perhatian penuh, yang menjadi
syarat berkembangnya anak secara lahir dan batin. (Soejono, 1960:164; Suparlan,
2014:5; le Febre, 1952:12-13). le Febre (1952:13) menjelaskan bahwa sistem among
mengutamakan mendidik murid menjadi manusia yang berdiri sendiri dalam merasa,
berpikir, dan bertindak. Di samping itu, dalam sistem among, guru juga harus melatih
muridnya untuk mencari sendiri pengetahuan yang mencukupi kebutuhan-kebutuhan
manusia lahir dan batin lalu memakainya dengan bermanfaat.
M. Sardjito dalam pidato pemberian gelar doctor honoris causa oleh Universitas
Gadjah Mada mengemukakan bahwa pada hakikatnya sistem among yang dalam
rumusannya yaitu Tut Wuri Handayani adalah pemberian kemerdekaan dan kebebasan
pada anak atau murid untuk mengembangkan bakatnya sendiri dan kekuatan lahir dan
batin (Dewantara, 1957:26). Ki Hadjar Dewantara (1956b:355) mengatakan bahwa
tujuan yang terkandung dalam sistem among adalah sedapat mungkin menyempurnakan
hidup anak-anak sesuai dengan kodratnya sendiri, sehingga mereka dapat menjadikan
hidupnya bermanfaat bagi masyarakat umum dan dengan sifat mereka yang luhur dapat
membangun kekuatan bangsa yang kemudian mendukung kemajuan dunia. Dalam
sistem among, anak-anak harus dibiasakan untuk mendisiplin diri untuk mencari dan
belajar sendiri.
BAB III
KESIMPULAN
Ki Hadjar Dewantara berpendapat bahwa yang disebut pendidikan adalah suatu
usaha kebudayaan yang berlandaskan peradaban yang bertujuan untuk membekali dan
memajukan budi pekerti anak (kekuatan batin, budi pekerti), budi (akal budi) dan
pertumbuhan jasmani yang hidup.
Ki Hadjar Dewantara (1957:36) mengatakan bahwa dalam sistem Taman Siswa,
keluarga mendapat tempat yang luhur dan istimewa karena keluarga merupakan
lingkungan yang kecil, tetapi keluarga merupakan tempat yang suci dan murni dalam
dasar-dasar sosialnya, oleh sebab itu keluarga merupakan satu pusat pendidikan yang
mulia.
Ki Hadjar Dewantara menilai bahwa jika meniru cara yang demikian maka tidak
akan dapat membentuk seseorang yang memiliki kepribadian, oleh sebab itu sistem
pendidikan yang dikedepankan adalah pendidikan yang tidak memakai cara pemaksaan
tetapi dengan caraopvoeding ataupaedagogik (momong, among, dan ngemong).
Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam sistem among didasarkan pada
dua azas yaitu:Pertama, kodrat alam yang menjadi syarat untuk menghidupkan dan
mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya;Kedua, azas
kemerdekaan yang menjadi syarat untuk menghidupkan, menggerakkan dan
mengembangkan kekuatan lahir dan batin anak sehingga menjadi pribadi yang kuat,
berpikir dan bertindak merdeka.
BAB IV
PENUTUP
Dalam makalah ini, kita telah mengeksplorasi konsep pendidikan yang telah
diperkenalkan oleh tokoh pendidikan Indonesia yang terkenal, Ki Hajar Dewantara.
Kami telah membandingkan konsep pendidikan yang diwujudkan melalui pesantren,
pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan umum. Melalui analisis yang
mendalam, kita telah menyoroti peran penting masing-masing jenis pendidikan dalam
membentuk individu dan masyarakat.
Dalam dunia pendidikan yang terus berkembang, pemahaman akan berbagai
pendekatan ini menjadi semakin relevan. Pendidikan bukan hanya tentang transfer
pengetahuan, tetapi juga tentang pembentukan karakter dan pengembangan potensi
individu. Konsep-konsep yang telah dijelaskan dalam makalah ini memperkaya
pemahaman kita tentang bagaimana pendidikan dapat diimplementasikan secara
beragam sesuai dengan kebutuhan dan konteks masyarakat.
Sebagai penutup, kita harus mengingatkan diri kita akan pesan Ki Hajar
Dewantara bahwa "Ing ngarso sung tuladha, ing madyo mangun karso, tut wuri
handayani" (di depan memberikan contoh, di tengah membangun semangat, di
belakang memberikan dorongan). Dengan pemahaman ini, kita dapat terus
mengembangkan sistem pendidikan yang berkelanjutan, inklusif, dan berorientasi pada
pengembangan potensi manusia. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan
tambahan dalam diskusi dan perencanaan pendidikan di masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Dewantara, Ki Hajar. (1912). "Pandji Pustaka: Kesusastraan dan Pendidikan."
Yogyakarta: Taman Siswa.
Dewantara, Ki Hajar. (1922). "Tatwa Pendjasila." Yogyakarta: Taman Siswa.
Dewantara, Ki Hajar. (1946). "Pendidikan Kewarganegaraan: Pedoman Bagi Guru-
Guru." Yogyakarta: Taman Siswa.
Wijoyo, Hari. (2004). "Pendidikan Karakter: Visi dan Aplikasinya dalam
Pembelajaran." Jakarta: Grasindo.
Sudjana, Nana. (1991). "Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar." Bandung: Sinar Baru
Algensindo.
Ruhimat, Alim. (2009). "Pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang Pendidikan Karakter
Bangsa." Jurnal Ilmu Pendidikan, 16(1), 55-70.
Dewantara, K. H. (1962). Manusia dan kemanusiaan. Kanisius.
Ma'arif, S. (2006). Pendidikan Ki Hajar Dewantara. PT Bumi Aksara.
Haedar, N. A. (2015). Pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara dalam perspektif
pesantren. At-Taqaddum, 7(1), 35-52.
Astuti, P. S. (2010). Pendidikan formal, nonformal, dan informal dalam perspektif Ki
Hajar Dewantara. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 16(4), 485-501.
Nasution, S. (1998). Pendidikan dalam perspektif Filsafat Pancasila. Dunia Pustaka
Jaya.
Purwanto, N. (2012). Prinsip-prinsip pendidikan dan pengajaran. Remaja Rosdakarya.
Suparlan, Henricus. 2014. “Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara Dan
Sumbangannya BagiPendidikan Indonesia”.Jurnal Filsafat. Vol. 25, Nomor 1, (April
2014):1-19.

Anda mungkin juga menyukai