Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

KAIDAH-KAIDAH USHULIYYAH

OLEH:
WAWAN SETIAWAN ( 120 630 5404 )
FIRDAUS HERTA PRADANA ( 120 630 5240 )

MATA KULIAH :
USHUL FIQIH DAN FIQIH MUAMMALAH

DOSEN:
Dra. Munifah Syanwani, M.Si

PROGRAM PASCA SARJANA


PROGRAM STUDI KAJIAN TIMUR TENGAH DAN ISLAM
JAKARTA
OKTOBER 2012
MAKALAH MATA KULIAH “USHUL FIQIH DAN FIQIH MUAMMALAH”
KAIDAH-KAIDAH USHULIYYAH

PENDAHULUAN
Kaidah ushuliyyah merupakan gambaran umum yang lazimnya mencakup
metode istinbathiyah dari sudut pemaknaan, baik dari tinjauan lughawi
(kebahasaan) maupun tarkib (susunan), dan uslub-uslub-nya (gaya bahasanya).
Karena itu semua model-model istinbath harus mengacu pada kaidah yang telah
ditetapkan dan disepakati bersama.[1]
Kaidah lughawiyyah atau kaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk
menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu). Menguasai
kaidah ushuliyyah dapat mempermudah faqih untuk menguasai hukum Allah
dalam setiap persitiwa hukum yang dihadapinya.[2]
Dapat dikatakan bahwa pada dasarnya kaidah ushuliyyah merupakan
pijakan utama tempat kerangka pemikiran mujtahid dalam melakukan proses
ijtihad untuk mengeluarkan dan menetapkan hukum yang terdapat dalam nash. ia
bagaikan suatu pola dalam pakaian sehingga dengan pola suatu pakaian dapat
dijahit. Bilamana ijtihad merupakan suatu metode yang menjadi dinamisator
hukum Islam, maka kaidah-kaidah ushuliyyah merupakan katalisator bagi
dinamika hukum Islam.[3]

KAIDAH USHULIYYAH
Untuk dapat memahami kaidah ushuliyyah maka perlu kita pahami
pengertian, pembagian, metode perolehan, dan objek dari kaidah ushuliyyah.

A. Pengertian Kaidah Ushuliyyah


Kaidah Ushuliyyah terdiri dari dua suku kata, yaitu Kaidah dan
Ushuliyyah. Dengan demikian maka selanjutnya akan kita bahas pengertian dari…

[1] Asep Ridwan H, SHI., Kaidah Bahasa Hukum, Kaidah Qiyas Dan Kaidah Istshlah, hal. 13.
[2] Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal 147.
[3] Asep Ridwan H, SHI., Op. Cit., hal. 13.

1
kedua kata tersebut.

1. Pengertian Kata Kaidah


Kata kaidah merupakan arti dari qa’idah dalam bahasa Arab yang
merupakan mufrad (bentuk tunggal) dari qawa’id (bentuk jamak) yang artinya
kaidah-kaidah. Dan kata qa’idah tersebut telah diserap menjadi bahasa Indonesia
yaitu menjadi kaidah.[4] Secara etimologi arti kaidah menurut al Asfahani dan al
Zaidy sebagaimana dikutip oleh Rahmat Syafei adalah al asas (dasar), yaitu yang
menjadi dasar berdirinya sesuatu. Bisa juga diartikan sebagai dasar sesuatu dan
fondasinya (pokoknya).[5]
Adapun menurut istilah atau terminologi, ulama ushul membuat beberapa
definisi, sebagaimana ditulis dalam beberapa kitab dibawah ini:[5]
o Dalam Kitab At-Ta’rifat:

“Ketentuan universal yang bersesuaian dengan bidang-bisangnya (juz-


juznya)” [At-Ta’rifat: 171]
o Dalam Kitab Syarah Jamu’ Al-Jawami’:

“Ketentuan pernyataan universalyang memberikan pengetahuan tentang


berbagai hukum dan bagian-bagiannya” [Al-Mahalli: 21]
o Dalam Kitab At-Talwih ‘alaa At-Tawdih:

“Hukum universal (kulli) yang bersesuaian dengan bagiannya, dan bisa


diketahui hukumnya” [At-Taftajani, I: 20]
o Dalam Kitab Al-Ashbah wa An-Nadzair:

[4] Muhlis Utsman, Kaidah-kaidah Ushuliyyah dan Fiqihiyyah,(Jakarta : Rajawali Press, 2002),
hal 3.
[5] Rachmat Syafei, Op. Cit., hal. 251.

2
“Ketentuan universal yang bisa bersesuaian dengan bagian-bagiannya serta
bisa dipahami hukumnya dari perkara tersebut.” [Al-Subki: I]

o Dalam Kitab Syarh Mukhtashar al-Raudah fi Ushul Fiqh:

“Ketentuan universal yang bisa menemukan bagian-bagiannya melalui


penalaran” [At-Taufi Al-Hambali, II: 95]

Selain definisi menurut para ulama ushul di atas, ada beberapa definisi lain
terkait kata kaidah, seperti:[6]
o Menurut Dr. Ahmad Muhammad asy-Syafi’i dalam bukunya “Ushul Fiqh
Islam”, 1983:4 menyatakan bahwa kaidah adalah:

“Hukum-hukum yang bersifat menyeluruh (kulli) yang dijadikan jalan untuk


terciptanya masing-masing hukum juz’i.”
o Menurut Fathi Ridwan dalam bukunya “Min Falsafati at-Tasyri’ al-Islami”,
1969:171-172 menyatakan bahwa kaidah adalah:

“Hukum yang bersifat kulli (general law) yang meliputi semua bagian-
bagiannya. ”
o Menurut Hasbi ash-Shidiqi[7] mengidentikkan makna kaidah dengan asas atau
fondasi, pengertian itu dinukil dari QS. al Baqarah (2):127:

“dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar


Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan Kami terimalah
daripada Kami (amalan kami),…”
Selanjutnya beliau menukil pengertian kaidah yang dikemukakan oleh Prof. ...

[6] Muhlis Utsman, Op. Cit., hal. 3.


[7] Hasbie ash-Sidiqi, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976) II, hal 442.

3
Mustafa az-Zarqa dalambukunya “al-Fiqh fi Tsaubihil Jadid”, 1976:442
sebagai berikut:

“Hukum yang aghlabi (berlaku sebagian besar) yang meliputi sebagian besar
bagian-bagiannya”

Dari beberapa definisi di atas dan definisi dari berbagai literatur lain, tidak
semuanya sama, karena sebagaimana menurut Rahmat Syafei[8] bila diteliti secara
seksama terdapat perbedaan yang esensi diantara definisi-definisi yang ada.
Misalkan yang menyatakan bahwa qaidah adalah “Sesuatu yang masih umum
yang mencakup sejumlah bagian-bagiannya, yang kata-kata di dalamnya bisa
mengandung arti lain”. Dengan kata lain, definisi tersebut mengandung arti bahwa
qaidah fikih itu mengandung berbagai macam pengecualian yang menjadi
lawannya. Padahal qaidah fikih itu lebih umum dari pada kulliah (sesuatu yang
mencakup bagian-bagian di bawahnya) dan dari aktsariyyah (kebanyakannya).
Sebagian definisi menyebutkan bahwa kaidah itu berlaku bagi semua
cabangnya, padahal seharusnya berlaku pada sebagian besar cabang. Oleh karena
itu definisi yang lebih baik sebagaimana pemikiran Rahmat Syafei adalah yang
disebutkan oleh Prof. Mustafa az-Zarqa karena pada dasarnya keberlakuan kaidah,
baik kaidah ushuliyah maupun kaidah fiqhiyyah itu bersifat sebagian besar bukan
keseluruhan, dengan alasan sebagai berikut :
1. Kaidah merupakan hasil ijtihad ulama, dan masing-masing ulama mempunyai
kaidah istinbath sendiri-sendiri sehingga hasil konklusinya berbeda juga.
2. Perumusan kaidah berasal dari dalil, sedang dalil itu sendiri ada yang bersifat
qath’i dan ada yang bersifat dhanni, para mujtahid belum sepakat sepenuhnya
mana dalil yang bersifat qath’i dan mana yang dhanni.
3. Setiap rumusan hukum fikih selalu ada pengecualian, sehingga dalam kondisi
pengecualian itu tidak mengaitkan dengan keberlakuan kaidah.

[8] Rachmat Syafei, Op Cit., hal 253.

4
2. Pengertian Kata Ushuliyyah
Pengertian Ushuliyah secara etimologi diambil dari kata ashal dalam
bahasa Arab yang diberi Ya Nisbah[9]. Sedangkan secara etimologi kata ashal
tersebut mempunyai makna sebagai berikut:[10]

“Sesuatu yang dijadikan dasar sesuatu lainnya” [Muhammad Ma’ruf ad-


Dawalibi, 1965:11]
Dalam arti terminologi kata ashal mempunyai 5 pengertian, yaitu:
1. Ashal berarti kaidah yang bersifat menyeluruh; Misalnya kebolehan memakan
bangkai bagi yang terpaksa itu menyalahi hukum ashal yakni menyalahi
kaidah kulliyyah, yaitu:

“Setiap Bangkai adalah Haram”

2. Ashal berarti yang lebih kuat (Rajih); Misalnya kalimat “al-Ashlu fil Kalami
al-Haqiqah” (Ashal yang lebih kuat dari suatu ungkapan adalah makna
sebenarnya bukan makna simbolik).
3. Ashal berarti hukum ashal (Mustashhab); Misalnya ungkapan “al-Ashlu
Baqou ma kana” (Hukum ashal/ istishhab adalah tetapnya apa yang telah ada
atas apa yang telah ada), sebagai contoh misalnya keraguan terhadap wudlu
masih sah atau sedah batal, maka hal tersebut dianggap masih sah.
4. Ashal berarti Maqis ’alaih (dalam bab Qiyas); Misal keberlakuan hokum riba
bagi beras dan gandum. Beras merupakan maqis (yang diserupakan) yang
dikatakan furu’, sedangkan Gandum merupakan maqis ‘alayh (yang diserupai)
yang dikatakan ashal.
5. Ashal berarti dalil; Misal ungkapan “Ashal masalah ini adalah al-Qur-an dan
as-Sunnah” yakni dalilnya. [Abdul Hamid Hakim, 1983:3]

Sepintas terlihat bahwa makna kaidah dengan makna ashal itu sama,
padahal sebenarnya berbeda. Hasbi ash-Shiddiqi dalam bukunya “Pengantar …

[9] Ya Nisbah adalah huruf Ya yang terletak di akhir sebuah kata benda (isim) dan berfungsi
sebagai pembangsaan atau mensejeniskan. Contoh: Arabiyyun yang berarti sebangsa/ sejenis
dengan Arab.
[10] Muhlis Utsman, Op. Cit., hal. 5.

5
Hukum Islam” menegaskan bahwa “ashal itu jalan istinbath kepada cabang, ia
mendahului cabang dalam wujudnya walaupun kebanyakan ashal yang dipegang
para imam dilahirkan dari furu’”. Sedangkan kaidah merupakan pengekang furu’
yang bermacam-macam dan meletakkan furu’-furu’ tersebut dalam satu
kandungan umum yang lengkap. Oleh sebab itu kaidah datang setelah furu’ pada
wujudnya dan dia memudahkan jalan furu’. [Hasbi ash-Shaddiqi, 1975:135] [11]

Setelah kita mengetahui arti kata Kaidah dan Ushuliyyah maka kita dapat
memahami pengertian dari “Kaidah Ushuliyyah”, yaitu suatu “Hukum Kulli yang
dapat dijadikan standar hukum bagi juz’i yang diambil dari dasar kulli yakni al-
Qur-an dan as-Sunnah”. Karena itu Kaidah Ushuliyyah dapat dikatakan sebagai
istinbathiyyah ataupun Kaidah Lughawiyyah.[12] Dengan demikian kaidah
ushuliyyah adalah kaidah-kaidah yang berkaitan dengan metode penggalian
hukum dengan memperhatiakan unsur kebahasaan, baik ushlub-ushlub-nya
maupun tarkib-nya. Ia adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum, yang
umumnya berkaitan dengan ketentuan dilalah lafadz atau kebahasan.[13]

B. Pembagian Kaidah
Pada umumnya kitab Ushul Fiqh membagi kaidah menjadi dua macam,
yaitu Kaidah Ushuliyyah dan Kaidah Fiqhiyyah. Kedua kaidah tersebut tidak
dapat berdiri sendiri tetapi saling terkait.
1. Kaidah Ushuliyyah/ Kaidah Istinbathiyyah/ Kaidah Lughawiyyah; merupakan
kaidah yang digunakan berdasarkan makna dan tujuan ungkapan-ungkapan
dari bahasa Arab setelah dilakukan penelitian oleh para ulama dari ciri-ciri
suatu lafazh ushlub (gaya bahasa). Untuk mengetahui makna yang tepat dari
lafadz atau ushlub itu sendiri maka dapat didasarkan kepada:[14]
a) Pengertian orang banyak yang mutawatir dan secara terbiasa pengertian itu
dipakai dalam percakapan sehari-hari. Seperti kata al ma’ adalah air.
b) Berdasarkan pengertian para ahli bahasa. Menurut imam as Syafi’i disebut

[11] Muhlis Utsman, Op. Cit., hal. 6.


[12] ibid.
[13] Rahmat Syafei, Op.Cit., hal 147.
[14] Asep Ridwan H, SHI., Op. Cit., hal. 4-5.

6
ilmu khashah. Dan pengertian lafal atau ushlub ini hanya dimengerti oleh
orang tertentu saja (ahbarul ahad) yang tidak diketahui oleh kelompok
lain. Hal ini hanya didapat dari istilah-istilah ilmiah.
c) Berdasarkan hasil pemikiran akal atau nalar. Salah satunya dengan
menggunakan metode qiyas. Seperti kata al khamr yang tidak diartikan
sebagai perasan anggur saja, akan tetapi setiap minuman yang
memabukan.
Kaidah Ushuliyyah berfungsi sebagai alat dalam menggali hukum yang
terdapat dalam syara’ (al Qur-an dan Hadits). Nash-nash adalah berbahasa
Arab dan oleh karenanya itu kaidah-kaidah bahasa menjadi patokan dalam
memperoleh hukum daripada nash tersebut. Dengan menguasai kaidah
ushuliyyah maka akan dapat mempermudah faqih untuk melakukan ijtihad dan
menetapkan suatu hukum daripada yang terdapat dalam nash secara jelas
maupun yang tersembunyi. Sebagai contoh, ketika terdapat perintah Rasul
untuk berziarah setelah adanya larangan, maka kita dapat menyimpulkan
perintah itu sebagai suatu kebolehan. Kita dapat berpijak pada kaidah:
“Adanya perintah setelah adanya larangan
menunjukan suatu kebolehan”[15]

2. Kaidah Fiqhiyyah; para fuqoha pada umumnya memberikan pengertian bahwa


yang dimaksud dengan kaidah fiqhiyyah ialah hukum kulli (kaidah-kaidah
umum) yang berlaku pada semua bagian-bagiannya atau cabang-
cabangnya.[16] Secara detil akan dibahas dalam bab khusus selanjutnya.

C. Metode Perolehan Kaidah Ushuliyyah


Metoda perolehan kaidah ushuliyyah dibagi menjadi tiga metode berbeda
yang dilakukan oleh ulama Ushul Fiqh dalam memperoleh suatu kaidah tersebut,
yaitu metode mutakallilim, ahnaf dan konvergensi. Perbedaan metode perolehan
menjadi batasan adanya aliran-aliran dalam ushul fiqh.

[15] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996) hal 179.
[16] Abdul Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih (al-Qowaidul al-Fiqhiyyah), Kalam Mulia : Jakarta.

7
1. Metode Mutakallimin
Metode mutakallimin sering disebut sebagai metode Syafi’iyyah. Metode
ini banyak dikembangkan oleh golongan Muktazilah Asy’ariyah, Imam Syafi’i,
Malik bin Anas, Ahmad bin Hambal dan para pengikut madzhab-nya. Ciri
utamanya adalah lebih mengorientasikan kepada kajian hukum terhadap ayat- ayat
al Qur-an dan as Sunnah sebagai implikasi dari dasar pemikiran bahwa syar’i itu
hanyalah Allah dan Rasul-Nya[17]. Metode mutakalilimin dilakukan dengan cara
pola berfikir deduktif. Mereka menggali suatu makna secara rasional dari suatu
nash atau dalil berdasarkan nalar dan nash yang berpetunjuk. Kemudian dari
makna dalil itu ditarik suatu kaidah yang logis dan umum didasarkan atas
pemikiran nalar yang rasional. Oleh karena itu dalam melahirkan kaidah
ushuliyyah proposisi-proposisi dalam logika (mantiq) dipandang sebagai bagian
dasar dari ilmu ushul fiqh seperti; ilmu, penalaran (nadhar) dan dilalah lafadz atas
makna, definisi suatu istilah dan demonstrasi (burhan). Selain itu karena kajian
kaidah ushul difokuskan kepada nash, maka propesi-propesi yang berhubungan
dengan dalil-dalil syara’ seperti kehujahan khabar ahad dan hadits mursal
menjadi bagian penting dalam metode mutakalilimin.
Untuk dapat lebih memahaminya berikut adalah contoh dari metode
mutakallimin:
Dalam al Qur-an terdapat nash yang lafadz-nya ber-sighat amar (perintah)
seperti perintah melaksanakan sholat. Maka timbulah suatu pertanyaan;
“Apa hukumnya melaksanakan sholat ?”[18]. Apakah harus/ mesti
dilaksanakan (wajib), atau dianjurkan (sunnah)?
Untuk menjawab hal itu maka ulama harus dapat menentukan hukum yang
terdapat dalam perintah sholat yang lafadznya ber-sighat amar. Metode deduktif
itu secara sederhana dapat saya uraikan sebagai berikut:
Pernyataan I : Shalat diperintahkan oleh Allah SWT kepada manusia;

Pernyataan II : Allah memandang shalat sebagai suatu yang sangat penting


karena ia sebagai tiang agama, salah satu dari lima bangunan…

[17] Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta : Raja Grafindo Perkasa, 1999),
hal 108.
[18] Sholat yang dimaksud di sini adalah shalat wajib.

8
Islam, sebagai amal yang pertama dihisab, dan lain
sebagainya[19];

Pernyataan III : Seorang hamba atau abdi akan hina jika tidak menunaikan
perintah-Nya, dan hal itu dipandang sebagai suatu
kemaksiatan. Sebagaimana firman Allah:

“…,maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-


Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang
pedih.”[20]
Ini pula diperkuat dengan hadits yang menyatakan bahwa
“bilamana meninggalkan sholat akan disiksa”.[21]
Pernyataan IV : Sesuatu perbuatan yang akan disiksa apabila ditinggalkan dan
mendapat pahala bila dikerjakan adalah hal yang wajib dalam
pemikiran fiqh atau hukum taklif.
Pernyataan V : Maka dengan demikian dapat diartikan bahwa shalat
hukumnya wajib.
PernyatanVI : Adanya sholat karena adanya ayat yang ber-sighat amar.
Selama suatu lafadz dapat dipahami secara hakikat, maka ia
tidak perlu dipalingkan kepada makna majaz'i[22]. Nah, bila
hukum shalat itu wajib dan adanya shalat disebabkan adanya
nash dengan lafadz yang bersighat amar, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa asal daripada perintah (amar) adalah
menunjukan suatu kewajiban.
Dari penurunan pernyataan-pernyataan tersebut di atas dapat dibuat suatu kaidah
sebagai berikut:

“Pada dasarnya amr itu menunjukkan


(arti) wajib”

[19] An Nasai, 463.


[20] QS an Nuur (24):63.
[21] Musnad Ahmad Ibn Hambal, 26098.
[22] Muchlis Utsman, Op.Cit, hal. 16.

9
Adapun unsur-unsur pokok metode mutakallimin adalah sebagai berikut:[23]
a) Adanya hukum-hukum aqliyyah dan hukum-hukum kalamiyyah yang
berhubungan dengan metode tersebut.
b) Adanya hukum-hukum logika (mantiq) yang berkaitan dengan ilmu ushul,
seperti masalah ilmu, penalaran, dalil-dalil lafal dan makna, batasan-
batasan serta bukti-bukti (burhan).
c) Dalil-dalil lafaliyyah dan segala macam masalahnya. Seperti masalah lafal
umum, perintah, larangan, makna huruf, mushtarak, dan sebagainya.
d) Pengertian mushthalah ushuliyyah serta penjelasannya sehingga diketahui
pengertian, hokum dan sebagainya.
e) Adanya hukum-hukum syara’ yang dibuat sebagai hujah, seperti hadits
ahad, hadits mursal, qiyas, istishhab syar’i qablana, dan sebagainya.

2. Metode Ahnaf
Metode Ahnaf (hanafiyyah) dicetuskan oleh Imam Abu Hanifah dengan
jalan istiqra (induksi) terhadap pendapat-pendapat imam sebelumnya dan
mengumpulkan pengertian makna dan batasan-batasan yang mereka pergunakan
sehingga metode ini mengambil konklusi darinya[24].
Metode Hanafiyah ditempuh melalui sistem penyusuran kaidah-kaidah
dan bahasan-bahasan ushuliyah yang telah diyakininya bahwa para imamnya telah
menyandarkan ijtihad-nya pada kaidah-kaidah atau bahasan-bahasan ushuliyyah
tersebut. Jadi mereka tidak menetapkan kaidah-kaidah amaliyah sebagai cabang
dari kaidah-kaidah itu, hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh imamnya.
Sedangkan yang memberi motivasi dan dorongan kepada mereka dalam
membuktikan kaidah-kaidah tersebut adalah beberapa hukum yang telah di-
istinbath-kan oleh para imamnya dengan bersandar kepadanya, bukan hanya dalil
yang bersifat teoritis.
Perhatian mereka semata-mata tertuju kepada ushul fiqh para imam yang
diambil dari masalah furu’ dalam melakukan istinbath[25]. Oleh karena itu aliran…

[23] Muchlis Utsman, Op.Cit, hal. 9.


[24] Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman, al Fikr al Ushuliy, (Mekkah : Daar al Syrq, 1983), hal.
452.
[25] Abdul Wahab Khollaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Iskandar : Al Barsan, 1989), hal 13.

10
Ahnaf lebih banyak menghasilkan kaidah fiqhiyyah daripada kaidah ushuliyyah.

Salah satu contoh kaidah ushuliyyah yang dianut oleh Hanafiyah adalah
kaidah mengenai amar dan perintah meninggalkan kebalikannya yang diperoleh
secara istqra (induktif) sebagai berikut:
Pernyataan AI : Manusia diperintahkan untuk beriman,
Pernyataan AII : Manusia dilarang untuk kufur,
Pernyataan AIII : Iman merupakan kebalikan dari kufur.
Pernyataan BI : Jujur itu diperintahkan,
Pernyataan BII : Berbohong itu dilarang,
Pernyataan BIII : Jujur adalah lawan bohong.
Konklusi dari pernyataan-pernytaaan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
setiap adanya perintah untuk melakukan sesuatu berarti melarang atas
kebalikannya, maka lahirlah suatu kaidah:
“Sesungguhnya perintah pada sesuatu
berarti melarang atas kebalikannya”.

3. Metode Campuran
Metode campuran biasa disebut juga dengan metode konvergensi atau
thariqat al-jam’an, yaitu metode penggabungan antara metode mutakallimin dan
metode hanafiyah dengan cara memperhatikan kaidah-kaidah ushuliyyah dan
mengemukakan dalil-dalil atas kaidah-kaidah itu. Serta memperhatikan
aplikasinya terhadap masalah fiqh far’iyyah dan relevansinya terhadap
kaidahkaidah tersebut.[26]
Cara perolehan kaidah bahasa hukum melalui metode ini digabungkan
antara pola deduktif dan induktif, sehingga menghasilkan suatu susunan kaidah-
kaidah yang harmonis sejalan dan menjadi utuh. Metode konvergensi adalah
metode yang digunakan oleh ulama-ulama kontemporer, terutama dalam meng-
istinbath-kan hukum dimana mereka menggunakan kaidah ushul yang telah ada
serta mengambil suatu kesimpulan umum dari berbagai furu’ yang ada. Salah satu
contohnya adalah kaidah yang dicetuskan oleh imam al-Khathabiy yaitu:[27]

[26] Abdul Wahab Khollaf, Op.Cit., hal 13-14.


[27] Ali Ahmad al Nadzawy, Al Qawaa’id Al fiqhiyyah, (Damasyq : Daar al Qalam), hal. 112.

11
“Perintah yang ditetapkan dengan sesuatu yang diketahui tidak dapat
ditinggalkan dengan perintah yang dzanni”
Kaidah ini secara deduksi diperoleh dengan mempertimbangkan kaidah
bahwa pada lafadz yang dhahir atau jelas tidak perlu mencari makna lain selama
ia masih dapat diartikan sesuai dengan teksnya. Adapun secara induksi diperoleh
dari:
Pernyataan I : Keyakinanan tidak dapat dikalahkan oleh suatu keraguan,
Pernyataan II : Lafadz dhahir lebih kuat daripada lafadz dhanni.
Dari dua kaidah di atas menunjukan bahwa sesuatu yang jelas itu lebih kuat
daripada yang samar. Maka kesimpulan dari dua kaidah diatas adalah bahwa
perintah yang didasari atas sesuatu yang diketahui tidak dapat ditinggalkan
dengan perintah yang masih dhanni.

Setelah kita ketahui metode-metode dari kaidah ushuliyyah, berikut adalah


penjelasan perbedaan karakteristik dari metode mutakallimin dengan metode
ahnaf seperti yang dijelaskan oleh Muchlis Utsman dalam buku “Kaidah-kaidah
Ushuliyyah dan Fiqihiyyah”[28]:
METODE
NO
MUTAKALLIMIN HANAFIYYAH
a. Metodenya hanya dari cara Kaidah yang disusun hanya untuk
istinbath-nya sendiri. memperkuat madzhabnya.
b. Kaidahnya dari pemahaman makna Kaidah yang disusun bukan
lughawy dan ushlub-ushlub-nya. merupakan penentu terhadap hukum
far’iyyah (cabang);
Kaidah tersusun tidak
memperhatikan pemahaman makna
lughawy melainkan meriwayatkan
yang dinukil dari pemasalahan
far’iyah dari imam madzhab-nya.
c. Disesuaikan dengan hukum fikir Kaidah ushuliyyah hanya diambil
atau logika. dari pendapat imam-nya
d. Terdapat relevansi dengan kaidah Tidak menerima kaidah-kaidah ilmu
ilmu kalam. kalam.

[28] Muchlis Utsman, Op.Cit., hal 12.

12
METODE
NO
MUTAKALLIMIN HANAFIYYAH
e. Membagi kejelasan dilalah dengan Membagi kejelasan dilalah dzahir,
nash dan dhohir. nash, mufassar dan muhkam.
f. Membagi pemahaman dilalah Membagi pemahaman makna
dengan mujmal dan mutasyabbih. dilalah dengan khafi, musykil,
mujmal dan mutsyabih.
g. Membagi petunjuk hukum dengan Membagi petunjuk hukum dilalah
manthuq dan mafhum. ibarah, dilalah isyarah, dilalah
nash dan dilalah iqtidha.
i. Dilalah ‘am (umum) yang telah Dilalah ‘am yang telah disebutkan
disebutkan satuannya dinyatakan satuan-satuannya dianggap qath’i
sebagai dalil dzanni. dilalah.
j. Pemahaman makna muthlaq Tidak membawa makna muthlaq
diikutkan pada makna muqayyad, pada muqayyad.
misalnya mewajibkan zakat bagi
budak non muslim.
k. Membuang hadits mursal sebagai Menggunakan hadits mursal bila
hujjah bila hal itu diperlukan. diperlukan.
l. Menerima hadits ahad sebagai Menolak hadits Ahad.[30]
hujjah jika sanad-nya shahih.[29]

D. Objek Kaidah-Kaidah Ushuliyyah


Penggunaan kaidah-kaidah lughawiyyah atau kaidah ushuliyyah hanya
dipakai sebagai jalan untuk memperoleh dalil hukum dan hasil hukumnya.
Misalnya penetapan hukum amar, nahi dan sebagainya serta penerimaan atau
penggalian dalil-dalil dhanniyah seperti qiyas, istishhab, istihsan dan
sebagainya.[31] Dengan kata lain objek kaidah-kaidah ushul adalah ushul fiqh itu
sendiri dari segi keakuratannya, serta membahas nilai-nilai ushul fiqh untuk di
undang-undangkan.[32]
Oleh karena kaidah-kaidah lughawiyyah berkutat kepada penggalian …

[29] Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman, Op. Cit., hal. 456-462.
[30] ibid.
[31] Abdul Hamid Hakim, al Bayan, (Jakarta : Sa’diyah Putra, 1983), hal 5 sebagaimana dikutip
oleh Muchlis Utsman, Op. Cit., hal 13.
[32] Islamic Science, Kaedah Ushul Fiqhi dalam Penafsiran al Qur-an,
http://sanadthkhusus.blogspot.com/2011/11/kaedah-ushul-fiqhi-dalam-penafsiran-al.html.

13
makna hukum yang terdapat dalam nash melalui pendekatan bahasa, maka
objeknya menjadi luas. Ia tidak hanya berkutat kepada kaidah lima yang pokok
(qawa’id al asasiyyah), akan tetapi seluruh hukum yang ter-istikhraj-kan dari
nash-nash yang ada. Berbeda dengan kaidah fiqh, ia merupakan perluasan dan
turunan dari panca kaidah yang pokok.

KAIDAH PELETAKKAN LAFAZH UNTUK MAKNA


Seperti dalam pembahasan di atas, bahwa kaidah ushuliyyah adalah
kaidah-kaidah yang berkaitan dengan metode penggalian hukum dengan
memperhatiakan unsur kebahasaan, baik ushlub-ushlub-nya maupun tarkib-nya.
Berbicara persoalan kebahasaan (ushlub dan tarkib) maka diperlukan mengetahui
kaidah-kaidah yang terkait dengan peletakkan lafazh untuk mendapatkan makna,
seperti Lafazh ‘Amm dan Khas, Amar dan Nahyi, kaidah yang berkaitan dengan
Muthlaq dan Muqayyad, serta Musytarak dan Mu-awwal.

A. Lafazh ‘Amm Dan Khas

1. Lafazh ‘Amm
 Pengertian Lafazh ‘Amm
Secara bahasa, ‘Amm berarti umum, merata, dan menyeluruh. Sedangkan
secara istilah adalah lafazh yang menunjukkan satu makna yang mencakup
seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.[32]

Definisi ‘Amm menurut ulama Hanafiyyah:

“Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun makna”

Definisi ‘Amm menurut ulama Syafi’iyyah:

“Satu lafazh yang dari satu segi menunjukkan dua makna atau lebih”

[32] Rahmat Syafei, Op.Cit., hal. 193.

14
Contoh, kata al-Insan yang artinya manusia, berati termasuk setiap jenis
manusia tanpa terkecuali.

 Lafazh-lafaz Yang Menunjukkan Arti ‘Amm


Berdasarkan hasil penelitian terhadap mufradat dan ungkapan (gaya
bahasa), dalam bahasa Arab ditemukan bahwa lafazh-lafazh yang
menunjukkan arti ‘Amm adalah sebagai berikut:
a) Lafazh Kullu dan Jami’un

“Setiap pemimpin dimintakan pertanggung jawaban tentang yang


dipimpinnya.”

“Allah menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kamu…”

Penjelasan: Siapa saja yang menjadi pemimpin akan dimintai


pertanggungjawaban oleh Allah dan apa saja semua yang
ada di bumi dijadikan Allah untuk kepentingan manusia.
b) Lafazh mufrad yang di-ma’rifat-kan dengan al-Jinsiyyah atau idhafah,
berikut masing-masing contohnya:

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah


tangan keduanya…” [QS al Maidah (5):38]

“Perempuan yang berzina dan lelaki yang berzina deralah tiap-tiap


seorang dari keduanya seratus kali dera.” [QS an Nuur (24):2]

Penjelasan: Semua yang berzina baik perempuan maupun lelaki wajib


didera dan semua yang mencuri baik laki-laki maupun
perempuan wajib dipotong tangannya.
c) Isim nakirah sesudah ‫( ﻻﺍﻧﺎﻓﻴﺔ‬yang dinafikkan) contoh:

15
“Dan tidak ada dosa bagimu meminang wanita-wanita dengan sindiran
yang baik…” [QS al Baqarah (2):235]

Penjelasan: Bahwasanya tidak berdosa seseorang meminang wanita


dengan sindiran yang baik.
d) Isim istifham seperti ‫ﻣﺘﻰ‬, ,‫ ﻦﻳﺍ‬,.‫ ﻦﻣ‬allA namriF ‫ﺎﻣ‬h:

“Bilakah datangnya pertolongan Allah ingatlah sesungguhnya


pertolongan Allah itu amatlah dekat.” [QS al Baqarah (2):214]

Penjelasan: Bahwasanya pertolongan Alloh itu bersifat umum kapan


saja dapat diberikan.

 Dalalah ‘Amm
Terdapat perbedaan pendapat mengenai karakteristik dalalah ‘amm yang
tidak mengkhususkan semua satuannya, apakah pasti atau dugaan. Menurut
sebagian ulama ushul (diantaranya Malikiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah)
dalalah ’amm tersebut menunjukkan keumuman dan bersifat dugaan,
apabila dikhususkan maka sisa satuan ‘amm juga dalalahnya dugaan. Ulama
ushul lain, termasuk di dalamnya Hanafiyyah berpendapat bahwa ‘amm
yang tidak dikhususkan bersifat pasti sedangkan sisa satuan setelah
pengkhususan adalah zhanni (bersifat dugaan).

 Pembagian ‘Amm
Melalui pengkajian terhadap nash-nash, ‘amm dibagi menjadi tiga macam:
a) ‘Amm yang secara pasti bermaksud keumuman.

“Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah pasti
memberi rizkinya.” [QS Huud (11):6]
b) ‘Amm yang secara pasti dimaksudkan sebagai kekhususan.

16
“Menunaikan haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap
Allah.” [QS al Imran (3):97]
c) ‘Amm yang dikhususkan, yaitu al-‘amm al-muthlaq yang tidak disertai
qarinah yang meniadakan kemungkinan pengkhususannya atau
ditiadakan dalalah-nya, seperti nash yang di dalamnya terdapat lafazh-
lafazh ‘amm dan tidak ada qorinah lafazh, akal atau kebiasaan yang bias
menentukan kekhususan ataupun keumumannya sehingga
keumumannya menjadi khusus sampai ada dalil yang
mengkhususkannya, contoh:

“Perempuan-perempuan yang dithalaq itu menunggu.”


Menurut imam Asy-Syaukani, ‘amm yang dimaksudkan sebagai
kekhususan adalah ‘amm yang ketika diucapkan disertai qorinah yang
dapat menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan ‘amm itu ialah
khusus bukan umum.

2. Lafzh Khas Dan Takhsis (Pengkhususan)


 Pengertian Lafazh Khas dan Takhsis
Khas merupakan kebalikan dari ‘Amm, yaitu lafazh yang hanya
mengandung satu satuan (juz’iyyah) makna. Takhsis adalah mengeluarkan
sebagian kandungan yang dicakup oleh makna lafazh yang umum.
 Macam-macam Mukhashshis (Penghususan)
Jumhur ulama sepakat bahwa mentakhsis (mengkhususkan) atau
mukhashshis (pengkhusus) lafazh yang umum itu boleh, karena pada
dasarnya semua ayat-ayat al Qur-an mengandung kebolehan mentakhsis.
Beikut macam-macam pengkhususan (mukhashshis), yaitu:
1) Mukhashshish Muttashil (pengkhusus yang bersambung)
a. Istitsna (pengecualian), contohnya:

17
“dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik
(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,
Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,
dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.
dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. kecuali orang-orang
yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Maka
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
[QS an Nuur (24):4-5]
b. Sifat, contohnya:

“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin


(yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barang
siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh
itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah….”
[QS an Nisa’ (4):92]
c. Syarat, contoh;

“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu


kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat secara ma’ruf,
(ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.”

18
[QS al Baqarah (2):180]
Kalimat “jika ia meninggalkan harta yang banyak” adalah syarat,
maka bila seseorang tidak meninggalkan harta yang banyak, maka
tidak wajib berwasiat.
d. Batas, contoh:

“Dan janganlah kamu mencukur kepalamu, sebelum kurban sampai


di tempat penyembelihannya.” [QS al Baqarah (2):196]
Kalimat “sebelum kurban sampai di tempat penyembelihan”
merupakan batas larangan mencukur rambut kepala saat haji.
e. Mengganti sebagian dari keseluruhannya, contoh:

“Melaksanakan ibadah haji adalah kewajiban manusia yang sanggup


mengadakan perjalanan kepadanya.” [QS al Baqarah (2):97]

2) Mukhashshish Munfashil , yaitu pengkhusus yang berada di tempat lain.


a. Ayat Al-Qur’an yang lain.

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (ber‘iddah)


tiga kali quru’.” [QS al Baqarah (2): 228]
Ayat tersebut bersifat umum, berlaku bagi setiap wanita yang
dicerai, baik yang sedang hamil maupun tidak dan yang telah
dicampuri. Kemudian ayat ini di-takhsis oleh dua ayat
(mukhashshish) yang lain:

“Dan perempuan-perempuan yang sedang hamil, waktu ‘iddah


mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.”
[QS ath Thalaaq (65): 4]

19
Mukhashshish kedua,

“Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman,


kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya,
maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu
minta menyempurnakannya.” [QS al Ahzab (33):49]
b. Hadits (men-takhsis al Qur-an dengan hadits), contohnya:

“Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.”


[QS al Baqarah (2):275]
Dikecualikan dari jual-beli adalah jual-beli yang buruk seperti
tersebut pada hadits berikut:
“Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang mengambil
upah dari persetubuhan binatang jantan dengan binatang yang
lain.” [HR. Bukhari].
Dalam riwayat lain disebutkan:
“Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang jual-beli
(binatang) yang akan dikandung oleh yang (sekarang masih) di
dalam kandungan. Yang demikian itu adalah jual-beli yang
dilakukan oleh kaum jahiliyyah, yaitu seseorang membeli binatang
sembelihan (dengan bayar tempo) sampai unta itu beranak dan anak
onta itu beranak pula.” [HR. Muttafaqun ‘alaihi].
c. Ijma’ (men-takhsis al Qur-an dengan Ijma’), contohnya:

“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)


anak- anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan
bagian dua anak perempuan.” [QS an Nisa’ (4):11]

20
Ayat tersebut dikecualikan secara ijma’ bagi laki-laki yang berstatus
budak.
d. Qiyas (men-takhsis al Qur-an dengan Qiyas), contohnya:

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” [QS an Nuur (24):2]
Ayat tersebut dikecualikan bagi budak dengan dasar analogi
terhadap perempuan yang berstatus budak yang dikecualikan dari
ketentuan hukum dera bagi perempuan-perempuan yang berbuat
fahisyah sebagaimana tersebut dalam QS an Nisaa’ (4):25, sbb:

“Jika mereka mengerjakan perbuatan keji, maka atas mereka setengah


hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.”
e. Akal (men-takhsis al Qur-an dengan akal), contohnya:

“Allah menciptakan segala sesuatu, dan Dia mengetahui segala


sesuatu.” [QS al An’am (6):101]
Akal menetapkan bahwa Allah bukan pencipta bagi diri-Nya sendiri.
f. Indera (men-takhsis al Qur-an dengan indera), contohnya:

“Sesungguhnya aku menjumpai seseorang wanita yang memerintah


mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu, serta mempunyai
singgasana yang besar.” [QS an Naml (27):23]
Indera kita menetapakan segala sesuatu yang dianugerahkan kepada
wanita (Ratu Balqis) tidak seperti yang dianugerahkan kepada Nabi
Sulaiman.”

21
g. Siyaq (Mentakshis Al-Qur’an dengan siyaq), adalah keterangan yang
mendahului suatu kalam dan yang datang sesudahnya. Contohnya:

“Dan tanyakanlah kepada mereka (Bani Israil) tentang kampung


yang terletak di dekat laut …?” [QS al A’raaf (7):163]
Dalam ayat tersebut, dilukiskan bahwa yang dipertanyakan adalah
tentang suatu kampung/desa, Menurut siyaqul kalam bahwa yang
dimaksud dengan desa itu adalah penduduknya.

B. Lafazh Amr Dan Nahyi

1. Lafazh Amr
 Pengertian Lafazh ‘Amr
Menurut Prof. Muhammad Abu Zhahrah di dalam bukunya menyebutkan
bahwa amr ialah perintah dari pihak yang lebih tinggi tingkatannya, kepada
pihak yang lebih rendah. Dalam bahasa Arab, bentuk amr adalah dengan
menggunakan shighat if’al yang berarti ‘kerjakan’ dan litaf’al yang berarti
‘hendaklah engkau mengerjakan’. Menurut aslinya, bentuk (shighat) amr
tersebut dipergunakan untuk menunjukkan selain perintah. Sedangkan jika
bentuk (shighat) amr tersebut dipergunakan untuk menunjukkan selain
perintah, seperti untuk membimbing (irsyad), menakut-nakuti (tahdid), dan
untuk do’a atau penghinaan yang bersifat kiasan (majaz).[33]
 Bentuk-bentuk Lafzh Amr
Amr itu mempunyai ketentuan-ketentuan yang menjadi dasar pengambilan
atau penetapan hukum. Ketentuan-ketentuan itu kemudian kita kenal dengan
istilah kaidah. Amr mempunyai beberapa kaidah:
a) Kaidah pertama adalah al ashlu fil amar lil wujub, artinya yaitu pada
dasarnya amr itu menunjukkan wajib. Setiap amr atau perintah itu
menunjukkan hukum wajib atau perintah yang pasti, kecuali ada dalil
atau petunjuk yang menunjukkan arti selain wajib (kebalikannya).

[33] www.dzikrullah.com/bpm_23_shalawat.htm.

22
b) Al ashlu fil amar li an Nadb, artinya yaitu pada dasarnya amr itu
menunjukkan arti sunnah atau nadb, seperti firman Allah:

“…hendaklah kamu buat perjanjian (menebus diri) dengan mereka


(hamba sahaya), jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka…”
[QS an Nuur (24):33].
Ketentuan ini bergantung kepada qarinah yang menentukannya.
Pendapat ini berdasarkan pada pengertian secara bahasa (lughawi).
c) Al ashlu fil amar lil irsyad, artinya yaitu pada dasarnya amr itu
menunjukkan arti (petunjuk), seperti firman Allah:

“Apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai (hutang) untuk waktu


yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya.”
[QS al Baqarah (2):282]
d) Al ashlu fil amar lil ibahah, artinya pada dasarnya amr itu menunjukkan
arti ibahah (mubah), seperti firman Allah:

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam yaitu fajar.” [QS al Baqarah (2):187]
e) Amr menunjukkan arti tahdid (ancaman).
f) Amr menunjuk pada arti ikram (memuliakan).
g) Amr menunjukkan pada arti taskhir (penghinaan), sepeti firman Allah:

“Kami berfirman kepada mereka ‘jadilah kamu kera yang hina’.”


[QS al Baqaarah (2):65]
h) Amr menunjukkan pada ta'jiz (melemahkan).
i) Amr menunjukkan pada arti taswiyah (mempersamakan).
j) Amr menunjukkan pada arti doa, atau permohonan seperti firman Allah:

23
“Ya Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan
kebaikan di akhirat serta peliharalah kami dari siksa neraka.”
[QS al Baqarah (2):201]
k) Terakhir ada amr yang menunjukkan kepada arti iltimas, yaitu ajakan
seperti kata-kata kepada kawan-kawan sebaya ‘kerjakanlah’. Sebagai
contoh: tolong ambilkan baju itu, datang lah ke pestaku, …, dll.
Pada hakekatnya, amr adalah lafazh yang mutlak yang tidak diberi batas
(qayd), kecuali jika terdapat dalil yang menunjukkan adanya qayd tersebut.
Demikian juga dengan cepat atau lambatnya hanya bisa ditetapkan jika ada
dalil yang lain.
Selain itu, sighat amr an-sich tidaklah menunjukkan atas berulang-ulangnya
kewajiban yang diperintahkan, juga tidak mengharuskan mengerjakan
kewajiban tersebut secepat mungkin. Berulang-ulangnya kewajiban tersebut
adalah karena berulang-ulangnya sebab yang mewajibkan. Begitupun
sebaliknya, jika tida ada sebab yang demikian maka kewajiban tersebut
tidak berulang-ulang.
Yang harus diperhatikan juga yaitu, sebagian dari ketetapan fiqh ialah
bahwa suatu kewajiban itu mempunyai sarana-sarana vital yang ada untuk
membantu (kelancaran) terlaksananya kewajiban tersebut. Sebagian fuqaha
membagi sarana-sarana vital bagi terealisasinya suatu kewajiban ini menjadi
dua macam, yaitu:
a. Sarana yang ditetapkan oleh syara’ sebagai suatu syarat yang wajib
dikerjakan berdasarkan nash yang berdiri sendiri, bukan berdasarkan
pada kewajiban yang asal.
b. Sarana-sarana vital dimana suatu kewajiban tidak akan terealisir tanpa
adanya sarana tersebut. Sarana ini disebut ’sebab’ yang berupa
perbuatan yang dapat dijangkau manusia untuk merealisir kewajiban
tersebut. Jadi, hal itu menjadi wajib bukan didasarkan kepada nash
tertentu, akan tetapi mengikuti pada kewajiban yang asal.

24
2. Lafazh Nahyi
 Pengertian Lafazh Nahyi
An-Nahyu (nahi) ialah tuntutan dari Allah SWT kepada manusia yang
mukallaf untuk meninggalkan suatu perbuatan (larangan). Para ulama
berpendapat bahwa nahi merupakan larangan, baik yang harus ditinggalkan
(yang haram), atau yang sebaiknya ditinggalkan (yang makruh). Yang
menentukan apakah nahi tersebut menunjukkan hukum haram atau makruh
sesuai dengan yang dikehendaki syara’, yaitu qarinah-qarinah yang
menjelaskan.
Sighat nahi, sebagaimana juga dengan amr, tidak menunjukkan bilangan
dari suatu larangan, apakah berlaku sekali, berulang kali atau bahkan
selama-lamanya. Sighat nahi juga tidak dibatasi oleh waktu.
Sebagian ulama ushul fiqh berpendapat bahwa nahi berlaku sepanjang masa
sejak diungkapkannya untuk yang pertama kali, kecuali jika terdapat qayd.
Jadi, perbuatan yang dilarang tersebut harus sesegera mungkin untuk
ditinggalkan, karena tidak hanya mencegah terjadinya perbuatan yang
dilarang.
 Dalil-dalil Nahi
Larangan (nahi) dalam beribadah menyebabkan batalnya ibadah tersebut
ditunjukkan oleh dalil bahwa menjalankan ibadah bertujuan untuk
mendekatkan diri kepada Allah swt. Sedangkan menjadi mustahil untuk
mendekati Allah apabila dengan suatu cara yang dilarang oleh-Nya. Selain
itu, ibadah adalah perintah agama yang datang langsung dari perintah Allah,
maka jika Allah melarang suatu perbuatan itu berarti perbuatan tersebut
bukan merupakan ibadah dan menjadi ibadah untuk meninggalkannya. Bila
perbuatan yang dilarang itu dikerjakan, berarti sama saja dengan
mengerjakan suatu perbuatan yang bukan merupakan termasuk dalam
ibadah menurut kacamata syara’.
Sedangkan dalil yang menunjukkan bahwa larangan (nahi) dalam
mua’malah tidak menimbulkan batalnya aqad, selama larangan tersebut
tidak menyangkut syarat dan rukun mua’malah yang telah ditetapkan oleh
syara’, ialah:

25
a) Hukum wadh’i yang menetapkan sah atau tidaknya suatu aqad dalam
mua’malah yang dimana sangat tergantung pada syarat dan rukun yang
telah ditetapkan oleh syara’. Jadi, selama terpenuhinya seluruh syarat
dan rukun yang ada, maka aqad tersebut menjadi sah.
b) Aqad dan sejenisnya termasuk dalam kategori adat kebiasaan manusia
yang bertujuan untuk mendekatkan diri manusia dan kehidupan mereka
kepada dunia, bukan kepada Allah (taqarrub ilallah). Oleh karena itu,
larangan syara’ dalam bermua’malah pada waktu tertentu tidaklah
mempengaruhi hasil dari mua’malah tersebut.
c) Larangan tidak dapat membatalkan suatu perbuatan, baik dalam ibadah
maupun dalam mua’malah. Hal ini dikarenakan bahwa suatu larangan
tidak berhubungan dengan sah atau tidaknya suatu perbuatan, tetapi
hanya mengandung beberapa maksud dan tujuan. Sedangkan maksud
dan tujuan tersebut tidak memiliki hubungan langsung dengan
mua’malah.

C. Lafazh Muthlaq Dan Muqayyad

1. Pengertian Muthlaq dan Muqayyad


 Pengertian Muthlaq
Mutlaq adalah lafazh yang menunjukkan sesuatu yang tidak dibatasi oleh
suatu batasan yang akan mengurangi jangkauan maknanya secara
keseluruhan.[34] Contohnya:

“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barang siapa membunuh
seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada-

[34] Shiddiq, Sapiudin. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2011. Hal. 186.

26
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)
bersedekah.” [QS an Nisa’ (4):92]
“fatahriiru roqobah” yang berarti “memerdekakan seorang hamba sahaya”.
Pada kata roqobah yang dimaksud adalah hamba sahaya (budak) secara
mutlak, tidak terbatas pada satu atau lebih maupun mukmin atau kafir.

 Pengertian Muqayyad
Muqayyad adalah lafazh yang menunjukkan sesuatu yang telah dibatasi baik
oleh sifat, syarat dan ghoyah (tujuan). Mengambil contoh di atas, lanjutan
ayatnya adalah “fatahriiru roqobah mu’minah” yang berarti “hamba sahaya
yang mukmin”. Kata hamba sahaya tidak lagi mutlak karena telah dibatasi
oleh kata mukmin.

2. Hukum Muqayyad dan Mutlaq


Pada dasarnya, hukum muqayyad tetap dihukumi muqayyad sebelum ada
bukti yang memutlakkannya. Sebagai contoh adalah kafarat zhihar (perkataan
suami kepada istrinya yang menyamakan istrinya dengan ibunya) yaitu
memerdekakan hamba sahaya atau puasa dua bulan berturut-turut atau kalau dia
tidak mampu maka harus member makan 60 orang miskin sebagaimana yang
tertuang dalam QS al Mujaadalah (58):3-4.

“orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik


kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang
budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan
kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
“Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa
dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak

27
Kuasa (wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin.
Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah
hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.”
Sedangkan untuk lafazh mutlaq tidak boleh lagi dikatakan mutlaq jika
telah ada yang membatasinya. Seperti contoh lafazh mutlaq di atas bahwa ketika
telah ada keterangan yang dimerdekakan adalah hamba sahay yang mukmin, maka
tidak boleh dinyatakan cukup hamba sahaya, baik mukmin maupun kafir.
Adapun lafazh muqayyad dapat dihapuskan hokum mmuqayyad-nya
apabila dihapuskan batasannya yang biasanya karena dihadapkan kepada dalil
lain. Sebagai contoh, keharaman menikahi anak tiri dengan alasan, pertama, anak
tiri dalam peliharaan bapak tirinya dan kedua, ibu yang dinikahi oleh bapak
tirinya telah dicampuri. Alasan kedua meupakan batasannya, maka apabila bapak
tiri belum mencampuri ibunya, diperbolehkan menikahi anak tirinya.
Dalam dalil syara’ sering ditemui dalil yang memiliki hukum ganda, di
satu tempat menunjukkan mutlaq dan di tempat lain menunjukkan muqayyad.
Maka, apakah harus dihukumi dengan mutlaq atau muqayyad atau bahkan
masing-masing berdiri sendiri. Untuk menjawabnya, terdapat empat kaidah dalam
hal ini, yaitu:
1. Mutlaq dibawa ke muqayyad jika sebab dan hukumnya sama. Contoh:

“Haram bagi kamu makan bangkai dan darah…” [QS al Ma’idah (5):3], dan

“Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan


kepadaku, sesuatu yang diharamkanbagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir…”
[QS al An’am (6):145]
Dari kedua ayat di atas didapat bahwa terdapat keharaman atas memakan
darah (mutlaq), yaitu darah yang mengalir (muqayyad), sehingga hati atau
limpa (yang tidak mengalir) menjadi halal.
2. Mutlaq dibawa ke muqayyad jika sebabnya berbeda.

28
Sebagai contoh, antara kafarat membunuh dengan tidak sengaja dengan
kafarat zhihar adalah sama, yaitu memerdekakan hamba sahaya. Namun,
untuk kafarat zhihar tidak dijelaskan apakah hamba sahaya mukmin atau tidak
sedangkan untuk kafarat membunuh tanpa sengaja dijelaskan hamba sahaya
mukmin. Maka, menurut ulama Syafi’iyah hamba sahaya untuk kafarat zhihar
juga harus mukmin, sedangkan menurut ulama Hanafiyah cukup hamba
sahaya, baik mukmin maupun non-mukmin.
3. Mutlaq tidak dibawa ke muqayyad jika yang berbeda hanya hukumnya.
Contoh:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,


maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,…”
[QS al Ma’idah (5):6), dan

“Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu


dan tanganmu dengan tanah itu.” [QS an Nisaa’ (4):43]
Sama-sama membasuh tangan saat berwudhu maupun saat bertayamum,
namun untuk wudhu harus membasuh hingga siku. Pengamalan secara
masing-masing karena tidak saling membatasi.
4. Mutlaq tidak dibawa ke muqayyad jika sebab dan hukumnya berbeda.
Kafarat memotong tangan bagi pencuri adalah mutlaq. Sedangkan membasuh
tangan hingga siku saat berwudhu adalah muqayyad. Karena sebab dan
hukumnya berbeda, maka masing-masing ditempatkan pada posisinya masing-
masing.

29
D. Lafazh Musytarak Dan Mu-awwal

1. Pengertian Musytarak dan Mu-awwal


 Pengertian Musytarak
Pengertian Musytarak menurut Muchlis Usman, yang merujuk kepada
Ahmad Muhammad Asy-Syafi’i, yaitu lafazh yang mempunyai dua makna
atau lebih. Lawannya adalah muradif atau lafazh yang memiliki satu
makna.[35]
 Pengertian Musytarak
Muawwal adalah lafazh yang dikeluarkan dari makna dhohir-nya pada
makna lain yang mengkhendakinya berdasarkan bukti yang menunjukkan
demikian, serta memungkinkan adanya rajih.[36]

2. Penggunaan Lafal Musytarak


Jumhur ulama dari golongan Syafi’i memperbolehkan penggunaan
musytarak menurut arti yang dikhendaki atau berbagai makna. Sebagai contoh:

“Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di
langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon, binatang yang melata
dan sebagian besar daripada manusia.” [QS al Hajj (22):18]
Terdapat dua makna sujud, yaitu menghadapkan wajah ke tanah dan kepatuhan
(inqiyad). Penggunaan kedua makna (musytarak) ini diperbolehkan sesuai dengan
porsinya.

3. Kaidah-kaidah yang Berkaitan dengan Mu-awwal


Kaidah-kaidah ayng berkaitan dengan muawwal adalah sebagai berikut:
1. Masalah Furu’iyah dan Takwil

[35] Usman, Muchlis. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
1996. hal.64.
[36] Ibid, hal. 67.

30
Jumhur ulama sepakat bahwa masalah furu’iyah dapat ditakwilkan.
2. Masalah Aqoid, Ushuluddin, atau Ketuhanan dan Takwil
Dalam kaidah masalah yang esensi ini, para ulama berbeda pendapat dalam
penakwilan, antara lain:
a. Golongan Musyabbahah tidak mengkhendaki adanyatakwil pada masalah
aqoid. Contoh:

“Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka…” [QS al Fath (48):10]


Menurut golongan ini, pada ayat tersebut selain makna yang tertulis maka
tidak diperbolehkan.
b. Golongan Salaf (Hanbaliyyah) memperbolehkan adanaya takwil pada
masalah esensi namun pada akhirnya penakwilan itu diserahkan kepada
Allah.
Contoh: Bagi mazhab salaf, kata “tangan” dalam QS Al-Fath ayat 10 tetap
diartikan tangan, namun kriterianya apakah seperti tangan manusia
ataukah tangan khusus dimiliki Allah, semuanya diserahkan kepada Allah.
c. Golongan Mutakallimin memperbolehkan adanya takwil pada masalah
esensi.
Contoh: Makna kata yadun (tangan) di atas adalah kekuasaan, yakni
kekuasaan Allah di atas kekuasaan-kekuasaan mereka.

KESIMPULAN
Kaidah bahasa hukum merupakan istilah lain dari qawaa’id al lughah al
ahkaam. Kaidah bahasa atau kaidah lughawiyyah merupakan istilah lain bagi
kaidah ushuliyyah atau kaidah istinbathiyah. Kaidah ushuliyyah adalah kaidah-
kaidah yang berkaitan dengan metode penggalian hukum dengan memperhatikan
unsur kebahasaan, baik ushlub-ushlub-nya maupun tarkib-nya.. Ia adalah
sejumlah peraturan untuk menggali hukum, yang umumnya berkaitan dengan
ketentuan dilalah lafadz atau kebahasan.
Metode perolehan kaidah ushuliyyah dapat kita bagi menjadi tiga, yaitu
metode mutakallilim, Ahnaf dan konvergensi. Perbedaan metode perolehan

31
menjadi batasan adanya aliran-aliran dalam ushul fiqh. Metode mutakallimin
adalah metode yang dilakukan secara deduktif, sedanagkan metode Ahnaf
(Hanafiyah) ditempuh melalui sistem penyusuran kaidah-kaidah dan bahasan-
bahasan ushuliyah yang telah diyakininya bahwa para imamnya telah
menyandarkan ijtihadnya pada kaidah-kaidah atau bahasan-bahasan ushuliyyah
tersebut. Metode Ahnaf bercorak induktif. Metode campuran biasa disebut juga
dengan metode konvergensi atau thariqat al jam’an. Yaitu metode penggabungan
antara metode mutakallimin dan metode hanafiyah, yakni dengan cara
memperhatikan kaidah-kaidah ushuliyyah dan mengemukakan dalil-dalil atas
kaidah-kaidah itu. Juga memperhatikan aplikasinya terhadap masalah fiqh
far’iyyah dan relevansinya terhadap kaidah-kaidah tersebut.
Dalam mempergunakan kaidah-kaidah Ushuliyyah tidak yang terikat
kepada unsur kebahasaan, maka perlu diketahui pula tentang Kaidah Peletakkan
Lafazh untuk mendapatkan Makna. Misalnya sebuah lafazh dapat dilihat apakah
bersifat ‘Amm (umum) atau Khas (khusus), apakah termasuk Amr (perintah) atau
Nahyi (larangan), apakah maknanya mutlaq atau terbatas, apakah memiliki lebih
dari satu makna atau sudah memiliki makna khusus.

32
DAFTAR PUSTAKA

Al Qur-an al Kariim.
Abdul Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih (al-Qowa’idul al-Fiqhiyyah), Kalam
Mulia, Jakarta.
Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman, 1983, al Fikr al Ushuliy, Daar al Syrq ,
Mekkah.
Ali Ahmad al Nadzawy, Al Qawaa’id Al fiqhiyyah, (Damasyq : Daar al Qalam).
Asep Ridwan H, SHI., Kaidah Bahasa Hukum, Kaidah Qiyas Dan Kaidah
Istishlah.
Asrie Alawi, 2008, Kaidah Hukum, Kaidah Qiyas dan Kaidah Istishlah,
http://asridplanet.blogspot.com/2008/01/f1-kaidah-hukum-qiyas-dan-
istishlah.html
Dede Rosyada, 1999, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Raja Grafindo Perkasa,
Jakarta.
Hasbie ash-Shidiqi, 1976, Filsafat Hukum Islam, Cetakan II, Bulan Bintang,
Jakarta.
Khallaf, Syekh Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005.
Cet. Ke-5.
Nazar Bakry, 1996, Fiqh dan Ushul Fiqh, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Shidiq Sapiudin, 2011, Ushul Fiqh. Kencana, Jakarta.
Syafe’i. Rachmat, 1999, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV. Pustaka Setia.
Usman. Muchlis, 1996, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah: Pedoman Dasar
Dalam Istimbath Hukum Islam. Jakarta: PT. RajaGafindo Persada, 1996.
Zhahrah, M. Abu. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus.1994.

33

Anda mungkin juga menyukai