Kaidah Kaidah Ushuliyyah
Kaidah Kaidah Ushuliyyah
KAIDAH-KAIDAH USHULIYYAH
OLEH:
WAWAN SETIAWAN ( 120 630 5404 )
FIRDAUS HERTA PRADANA ( 120 630 5240 )
MATA KULIAH :
USHUL FIQIH DAN FIQIH MUAMMALAH
DOSEN:
Dra. Munifah Syanwani, M.Si
PENDAHULUAN
Kaidah ushuliyyah merupakan gambaran umum yang lazimnya mencakup
metode istinbathiyah dari sudut pemaknaan, baik dari tinjauan lughawi
(kebahasaan) maupun tarkib (susunan), dan uslub-uslub-nya (gaya bahasanya).
Karena itu semua model-model istinbath harus mengacu pada kaidah yang telah
ditetapkan dan disepakati bersama.[1]
Kaidah lughawiyyah atau kaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk
menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu). Menguasai
kaidah ushuliyyah dapat mempermudah faqih untuk menguasai hukum Allah
dalam setiap persitiwa hukum yang dihadapinya.[2]
Dapat dikatakan bahwa pada dasarnya kaidah ushuliyyah merupakan
pijakan utama tempat kerangka pemikiran mujtahid dalam melakukan proses
ijtihad untuk mengeluarkan dan menetapkan hukum yang terdapat dalam nash. ia
bagaikan suatu pola dalam pakaian sehingga dengan pola suatu pakaian dapat
dijahit. Bilamana ijtihad merupakan suatu metode yang menjadi dinamisator
hukum Islam, maka kaidah-kaidah ushuliyyah merupakan katalisator bagi
dinamika hukum Islam.[3]
KAIDAH USHULIYYAH
Untuk dapat memahami kaidah ushuliyyah maka perlu kita pahami
pengertian, pembagian, metode perolehan, dan objek dari kaidah ushuliyyah.
[1] Asep Ridwan H, SHI., Kaidah Bahasa Hukum, Kaidah Qiyas Dan Kaidah Istshlah, hal. 13.
[2] Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal 147.
[3] Asep Ridwan H, SHI., Op. Cit., hal. 13.
1
kedua kata tersebut.
[4] Muhlis Utsman, Kaidah-kaidah Ushuliyyah dan Fiqihiyyah,(Jakarta : Rajawali Press, 2002),
hal 3.
[5] Rachmat Syafei, Op. Cit., hal. 251.
2
“Ketentuan universal yang bisa bersesuaian dengan bagian-bagiannya serta
bisa dipahami hukumnya dari perkara tersebut.” [Al-Subki: I]
Selain definisi menurut para ulama ushul di atas, ada beberapa definisi lain
terkait kata kaidah, seperti:[6]
o Menurut Dr. Ahmad Muhammad asy-Syafi’i dalam bukunya “Ushul Fiqh
Islam”, 1983:4 menyatakan bahwa kaidah adalah:
“Hukum yang bersifat kulli (general law) yang meliputi semua bagian-
bagiannya. ”
o Menurut Hasbi ash-Shidiqi[7] mengidentikkan makna kaidah dengan asas atau
fondasi, pengertian itu dinukil dari QS. al Baqarah (2):127:
3
Mustafa az-Zarqa dalambukunya “al-Fiqh fi Tsaubihil Jadid”, 1976:442
sebagai berikut:
“Hukum yang aghlabi (berlaku sebagian besar) yang meliputi sebagian besar
bagian-bagiannya”
Dari beberapa definisi di atas dan definisi dari berbagai literatur lain, tidak
semuanya sama, karena sebagaimana menurut Rahmat Syafei[8] bila diteliti secara
seksama terdapat perbedaan yang esensi diantara definisi-definisi yang ada.
Misalkan yang menyatakan bahwa qaidah adalah “Sesuatu yang masih umum
yang mencakup sejumlah bagian-bagiannya, yang kata-kata di dalamnya bisa
mengandung arti lain”. Dengan kata lain, definisi tersebut mengandung arti bahwa
qaidah fikih itu mengandung berbagai macam pengecualian yang menjadi
lawannya. Padahal qaidah fikih itu lebih umum dari pada kulliah (sesuatu yang
mencakup bagian-bagian di bawahnya) dan dari aktsariyyah (kebanyakannya).
Sebagian definisi menyebutkan bahwa kaidah itu berlaku bagi semua
cabangnya, padahal seharusnya berlaku pada sebagian besar cabang. Oleh karena
itu definisi yang lebih baik sebagaimana pemikiran Rahmat Syafei adalah yang
disebutkan oleh Prof. Mustafa az-Zarqa karena pada dasarnya keberlakuan kaidah,
baik kaidah ushuliyah maupun kaidah fiqhiyyah itu bersifat sebagian besar bukan
keseluruhan, dengan alasan sebagai berikut :
1. Kaidah merupakan hasil ijtihad ulama, dan masing-masing ulama mempunyai
kaidah istinbath sendiri-sendiri sehingga hasil konklusinya berbeda juga.
2. Perumusan kaidah berasal dari dalil, sedang dalil itu sendiri ada yang bersifat
qath’i dan ada yang bersifat dhanni, para mujtahid belum sepakat sepenuhnya
mana dalil yang bersifat qath’i dan mana yang dhanni.
3. Setiap rumusan hukum fikih selalu ada pengecualian, sehingga dalam kondisi
pengecualian itu tidak mengaitkan dengan keberlakuan kaidah.
4
2. Pengertian Kata Ushuliyyah
Pengertian Ushuliyah secara etimologi diambil dari kata ashal dalam
bahasa Arab yang diberi Ya Nisbah[9]. Sedangkan secara etimologi kata ashal
tersebut mempunyai makna sebagai berikut:[10]
2. Ashal berarti yang lebih kuat (Rajih); Misalnya kalimat “al-Ashlu fil Kalami
al-Haqiqah” (Ashal yang lebih kuat dari suatu ungkapan adalah makna
sebenarnya bukan makna simbolik).
3. Ashal berarti hukum ashal (Mustashhab); Misalnya ungkapan “al-Ashlu
Baqou ma kana” (Hukum ashal/ istishhab adalah tetapnya apa yang telah ada
atas apa yang telah ada), sebagai contoh misalnya keraguan terhadap wudlu
masih sah atau sedah batal, maka hal tersebut dianggap masih sah.
4. Ashal berarti Maqis ’alaih (dalam bab Qiyas); Misal keberlakuan hokum riba
bagi beras dan gandum. Beras merupakan maqis (yang diserupakan) yang
dikatakan furu’, sedangkan Gandum merupakan maqis ‘alayh (yang diserupai)
yang dikatakan ashal.
5. Ashal berarti dalil; Misal ungkapan “Ashal masalah ini adalah al-Qur-an dan
as-Sunnah” yakni dalilnya. [Abdul Hamid Hakim, 1983:3]
Sepintas terlihat bahwa makna kaidah dengan makna ashal itu sama,
padahal sebenarnya berbeda. Hasbi ash-Shiddiqi dalam bukunya “Pengantar …
[9] Ya Nisbah adalah huruf Ya yang terletak di akhir sebuah kata benda (isim) dan berfungsi
sebagai pembangsaan atau mensejeniskan. Contoh: Arabiyyun yang berarti sebangsa/ sejenis
dengan Arab.
[10] Muhlis Utsman, Op. Cit., hal. 5.
5
Hukum Islam” menegaskan bahwa “ashal itu jalan istinbath kepada cabang, ia
mendahului cabang dalam wujudnya walaupun kebanyakan ashal yang dipegang
para imam dilahirkan dari furu’”. Sedangkan kaidah merupakan pengekang furu’
yang bermacam-macam dan meletakkan furu’-furu’ tersebut dalam satu
kandungan umum yang lengkap. Oleh sebab itu kaidah datang setelah furu’ pada
wujudnya dan dia memudahkan jalan furu’. [Hasbi ash-Shaddiqi, 1975:135] [11]
Setelah kita mengetahui arti kata Kaidah dan Ushuliyyah maka kita dapat
memahami pengertian dari “Kaidah Ushuliyyah”, yaitu suatu “Hukum Kulli yang
dapat dijadikan standar hukum bagi juz’i yang diambil dari dasar kulli yakni al-
Qur-an dan as-Sunnah”. Karena itu Kaidah Ushuliyyah dapat dikatakan sebagai
istinbathiyyah ataupun Kaidah Lughawiyyah.[12] Dengan demikian kaidah
ushuliyyah adalah kaidah-kaidah yang berkaitan dengan metode penggalian
hukum dengan memperhatiakan unsur kebahasaan, baik ushlub-ushlub-nya
maupun tarkib-nya. Ia adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum, yang
umumnya berkaitan dengan ketentuan dilalah lafadz atau kebahasan.[13]
B. Pembagian Kaidah
Pada umumnya kitab Ushul Fiqh membagi kaidah menjadi dua macam,
yaitu Kaidah Ushuliyyah dan Kaidah Fiqhiyyah. Kedua kaidah tersebut tidak
dapat berdiri sendiri tetapi saling terkait.
1. Kaidah Ushuliyyah/ Kaidah Istinbathiyyah/ Kaidah Lughawiyyah; merupakan
kaidah yang digunakan berdasarkan makna dan tujuan ungkapan-ungkapan
dari bahasa Arab setelah dilakukan penelitian oleh para ulama dari ciri-ciri
suatu lafazh ushlub (gaya bahasa). Untuk mengetahui makna yang tepat dari
lafadz atau ushlub itu sendiri maka dapat didasarkan kepada:[14]
a) Pengertian orang banyak yang mutawatir dan secara terbiasa pengertian itu
dipakai dalam percakapan sehari-hari. Seperti kata al ma’ adalah air.
b) Berdasarkan pengertian para ahli bahasa. Menurut imam as Syafi’i disebut
6
ilmu khashah. Dan pengertian lafal atau ushlub ini hanya dimengerti oleh
orang tertentu saja (ahbarul ahad) yang tidak diketahui oleh kelompok
lain. Hal ini hanya didapat dari istilah-istilah ilmiah.
c) Berdasarkan hasil pemikiran akal atau nalar. Salah satunya dengan
menggunakan metode qiyas. Seperti kata al khamr yang tidak diartikan
sebagai perasan anggur saja, akan tetapi setiap minuman yang
memabukan.
Kaidah Ushuliyyah berfungsi sebagai alat dalam menggali hukum yang
terdapat dalam syara’ (al Qur-an dan Hadits). Nash-nash adalah berbahasa
Arab dan oleh karenanya itu kaidah-kaidah bahasa menjadi patokan dalam
memperoleh hukum daripada nash tersebut. Dengan menguasai kaidah
ushuliyyah maka akan dapat mempermudah faqih untuk melakukan ijtihad dan
menetapkan suatu hukum daripada yang terdapat dalam nash secara jelas
maupun yang tersembunyi. Sebagai contoh, ketika terdapat perintah Rasul
untuk berziarah setelah adanya larangan, maka kita dapat menyimpulkan
perintah itu sebagai suatu kebolehan. Kita dapat berpijak pada kaidah:
“Adanya perintah setelah adanya larangan
menunjukan suatu kebolehan”[15]
[15] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996) hal 179.
[16] Abdul Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih (al-Qowaidul al-Fiqhiyyah), Kalam Mulia : Jakarta.
7
1. Metode Mutakallimin
Metode mutakallimin sering disebut sebagai metode Syafi’iyyah. Metode
ini banyak dikembangkan oleh golongan Muktazilah Asy’ariyah, Imam Syafi’i,
Malik bin Anas, Ahmad bin Hambal dan para pengikut madzhab-nya. Ciri
utamanya adalah lebih mengorientasikan kepada kajian hukum terhadap ayat- ayat
al Qur-an dan as Sunnah sebagai implikasi dari dasar pemikiran bahwa syar’i itu
hanyalah Allah dan Rasul-Nya[17]. Metode mutakalilimin dilakukan dengan cara
pola berfikir deduktif. Mereka menggali suatu makna secara rasional dari suatu
nash atau dalil berdasarkan nalar dan nash yang berpetunjuk. Kemudian dari
makna dalil itu ditarik suatu kaidah yang logis dan umum didasarkan atas
pemikiran nalar yang rasional. Oleh karena itu dalam melahirkan kaidah
ushuliyyah proposisi-proposisi dalam logika (mantiq) dipandang sebagai bagian
dasar dari ilmu ushul fiqh seperti; ilmu, penalaran (nadhar) dan dilalah lafadz atas
makna, definisi suatu istilah dan demonstrasi (burhan). Selain itu karena kajian
kaidah ushul difokuskan kepada nash, maka propesi-propesi yang berhubungan
dengan dalil-dalil syara’ seperti kehujahan khabar ahad dan hadits mursal
menjadi bagian penting dalam metode mutakalilimin.
Untuk dapat lebih memahaminya berikut adalah contoh dari metode
mutakallimin:
Dalam al Qur-an terdapat nash yang lafadz-nya ber-sighat amar (perintah)
seperti perintah melaksanakan sholat. Maka timbulah suatu pertanyaan;
“Apa hukumnya melaksanakan sholat ?”[18]. Apakah harus/ mesti
dilaksanakan (wajib), atau dianjurkan (sunnah)?
Untuk menjawab hal itu maka ulama harus dapat menentukan hukum yang
terdapat dalam perintah sholat yang lafadznya ber-sighat amar. Metode deduktif
itu secara sederhana dapat saya uraikan sebagai berikut:
Pernyataan I : Shalat diperintahkan oleh Allah SWT kepada manusia;
[17] Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta : Raja Grafindo Perkasa, 1999),
hal 108.
[18] Sholat yang dimaksud di sini adalah shalat wajib.
8
Islam, sebagai amal yang pertama dihisab, dan lain
sebagainya[19];
Pernyataan III : Seorang hamba atau abdi akan hina jika tidak menunaikan
perintah-Nya, dan hal itu dipandang sebagai suatu
kemaksiatan. Sebagaimana firman Allah:
9
Adapun unsur-unsur pokok metode mutakallimin adalah sebagai berikut:[23]
a) Adanya hukum-hukum aqliyyah dan hukum-hukum kalamiyyah yang
berhubungan dengan metode tersebut.
b) Adanya hukum-hukum logika (mantiq) yang berkaitan dengan ilmu ushul,
seperti masalah ilmu, penalaran, dalil-dalil lafal dan makna, batasan-
batasan serta bukti-bukti (burhan).
c) Dalil-dalil lafaliyyah dan segala macam masalahnya. Seperti masalah lafal
umum, perintah, larangan, makna huruf, mushtarak, dan sebagainya.
d) Pengertian mushthalah ushuliyyah serta penjelasannya sehingga diketahui
pengertian, hokum dan sebagainya.
e) Adanya hukum-hukum syara’ yang dibuat sebagai hujah, seperti hadits
ahad, hadits mursal, qiyas, istishhab syar’i qablana, dan sebagainya.
2. Metode Ahnaf
Metode Ahnaf (hanafiyyah) dicetuskan oleh Imam Abu Hanifah dengan
jalan istiqra (induksi) terhadap pendapat-pendapat imam sebelumnya dan
mengumpulkan pengertian makna dan batasan-batasan yang mereka pergunakan
sehingga metode ini mengambil konklusi darinya[24].
Metode Hanafiyah ditempuh melalui sistem penyusuran kaidah-kaidah
dan bahasan-bahasan ushuliyah yang telah diyakininya bahwa para imamnya telah
menyandarkan ijtihad-nya pada kaidah-kaidah atau bahasan-bahasan ushuliyyah
tersebut. Jadi mereka tidak menetapkan kaidah-kaidah amaliyah sebagai cabang
dari kaidah-kaidah itu, hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh imamnya.
Sedangkan yang memberi motivasi dan dorongan kepada mereka dalam
membuktikan kaidah-kaidah tersebut adalah beberapa hukum yang telah di-
istinbath-kan oleh para imamnya dengan bersandar kepadanya, bukan hanya dalil
yang bersifat teoritis.
Perhatian mereka semata-mata tertuju kepada ushul fiqh para imam yang
diambil dari masalah furu’ dalam melakukan istinbath[25]. Oleh karena itu aliran…
10
Ahnaf lebih banyak menghasilkan kaidah fiqhiyyah daripada kaidah ushuliyyah.
Salah satu contoh kaidah ushuliyyah yang dianut oleh Hanafiyah adalah
kaidah mengenai amar dan perintah meninggalkan kebalikannya yang diperoleh
secara istqra (induktif) sebagai berikut:
Pernyataan AI : Manusia diperintahkan untuk beriman,
Pernyataan AII : Manusia dilarang untuk kufur,
Pernyataan AIII : Iman merupakan kebalikan dari kufur.
Pernyataan BI : Jujur itu diperintahkan,
Pernyataan BII : Berbohong itu dilarang,
Pernyataan BIII : Jujur adalah lawan bohong.
Konklusi dari pernyataan-pernytaaan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
setiap adanya perintah untuk melakukan sesuatu berarti melarang atas
kebalikannya, maka lahirlah suatu kaidah:
“Sesungguhnya perintah pada sesuatu
berarti melarang atas kebalikannya”.
3. Metode Campuran
Metode campuran biasa disebut juga dengan metode konvergensi atau
thariqat al-jam’an, yaitu metode penggabungan antara metode mutakallimin dan
metode hanafiyah dengan cara memperhatikan kaidah-kaidah ushuliyyah dan
mengemukakan dalil-dalil atas kaidah-kaidah itu. Serta memperhatikan
aplikasinya terhadap masalah fiqh far’iyyah dan relevansinya terhadap
kaidahkaidah tersebut.[26]
Cara perolehan kaidah bahasa hukum melalui metode ini digabungkan
antara pola deduktif dan induktif, sehingga menghasilkan suatu susunan kaidah-
kaidah yang harmonis sejalan dan menjadi utuh. Metode konvergensi adalah
metode yang digunakan oleh ulama-ulama kontemporer, terutama dalam meng-
istinbath-kan hukum dimana mereka menggunakan kaidah ushul yang telah ada
serta mengambil suatu kesimpulan umum dari berbagai furu’ yang ada. Salah satu
contohnya adalah kaidah yang dicetuskan oleh imam al-Khathabiy yaitu:[27]
11
“Perintah yang ditetapkan dengan sesuatu yang diketahui tidak dapat
ditinggalkan dengan perintah yang dzanni”
Kaidah ini secara deduksi diperoleh dengan mempertimbangkan kaidah
bahwa pada lafadz yang dhahir atau jelas tidak perlu mencari makna lain selama
ia masih dapat diartikan sesuai dengan teksnya. Adapun secara induksi diperoleh
dari:
Pernyataan I : Keyakinanan tidak dapat dikalahkan oleh suatu keraguan,
Pernyataan II : Lafadz dhahir lebih kuat daripada lafadz dhanni.
Dari dua kaidah di atas menunjukan bahwa sesuatu yang jelas itu lebih kuat
daripada yang samar. Maka kesimpulan dari dua kaidah diatas adalah bahwa
perintah yang didasari atas sesuatu yang diketahui tidak dapat ditinggalkan
dengan perintah yang masih dhanni.
12
METODE
NO
MUTAKALLIMIN HANAFIYYAH
e. Membagi kejelasan dilalah dengan Membagi kejelasan dilalah dzahir,
nash dan dhohir. nash, mufassar dan muhkam.
f. Membagi pemahaman dilalah Membagi pemahaman makna
dengan mujmal dan mutasyabbih. dilalah dengan khafi, musykil,
mujmal dan mutsyabih.
g. Membagi petunjuk hukum dengan Membagi petunjuk hukum dilalah
manthuq dan mafhum. ibarah, dilalah isyarah, dilalah
nash dan dilalah iqtidha.
i. Dilalah ‘am (umum) yang telah Dilalah ‘am yang telah disebutkan
disebutkan satuannya dinyatakan satuan-satuannya dianggap qath’i
sebagai dalil dzanni. dilalah.
j. Pemahaman makna muthlaq Tidak membawa makna muthlaq
diikutkan pada makna muqayyad, pada muqayyad.
misalnya mewajibkan zakat bagi
budak non muslim.
k. Membuang hadits mursal sebagai Menggunakan hadits mursal bila
hujjah bila hal itu diperlukan. diperlukan.
l. Menerima hadits ahad sebagai Menolak hadits Ahad.[30]
hujjah jika sanad-nya shahih.[29]
[29] Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman, Op. Cit., hal. 456-462.
[30] ibid.
[31] Abdul Hamid Hakim, al Bayan, (Jakarta : Sa’diyah Putra, 1983), hal 5 sebagaimana dikutip
oleh Muchlis Utsman, Op. Cit., hal 13.
[32] Islamic Science, Kaedah Ushul Fiqhi dalam Penafsiran al Qur-an,
http://sanadthkhusus.blogspot.com/2011/11/kaedah-ushul-fiqhi-dalam-penafsiran-al.html.
13
makna hukum yang terdapat dalam nash melalui pendekatan bahasa, maka
objeknya menjadi luas. Ia tidak hanya berkutat kepada kaidah lima yang pokok
(qawa’id al asasiyyah), akan tetapi seluruh hukum yang ter-istikhraj-kan dari
nash-nash yang ada. Berbeda dengan kaidah fiqh, ia merupakan perluasan dan
turunan dari panca kaidah yang pokok.
1. Lafazh ‘Amm
Pengertian Lafazh ‘Amm
Secara bahasa, ‘Amm berarti umum, merata, dan menyeluruh. Sedangkan
secara istilah adalah lafazh yang menunjukkan satu makna yang mencakup
seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.[32]
“Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun makna”
“Satu lafazh yang dari satu segi menunjukkan dua makna atau lebih”
14
Contoh, kata al-Insan yang artinya manusia, berati termasuk setiap jenis
manusia tanpa terkecuali.
15
“Dan tidak ada dosa bagimu meminang wanita-wanita dengan sindiran
yang baik…” [QS al Baqarah (2):235]
Dalalah ‘Amm
Terdapat perbedaan pendapat mengenai karakteristik dalalah ‘amm yang
tidak mengkhususkan semua satuannya, apakah pasti atau dugaan. Menurut
sebagian ulama ushul (diantaranya Malikiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah)
dalalah ’amm tersebut menunjukkan keumuman dan bersifat dugaan,
apabila dikhususkan maka sisa satuan ‘amm juga dalalahnya dugaan. Ulama
ushul lain, termasuk di dalamnya Hanafiyyah berpendapat bahwa ‘amm
yang tidak dikhususkan bersifat pasti sedangkan sisa satuan setelah
pengkhususan adalah zhanni (bersifat dugaan).
Pembagian ‘Amm
Melalui pengkajian terhadap nash-nash, ‘amm dibagi menjadi tiga macam:
a) ‘Amm yang secara pasti bermaksud keumuman.
“Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah pasti
memberi rizkinya.” [QS Huud (11):6]
b) ‘Amm yang secara pasti dimaksudkan sebagai kekhususan.
16
“Menunaikan haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap
Allah.” [QS al Imran (3):97]
c) ‘Amm yang dikhususkan, yaitu al-‘amm al-muthlaq yang tidak disertai
qarinah yang meniadakan kemungkinan pengkhususannya atau
ditiadakan dalalah-nya, seperti nash yang di dalamnya terdapat lafazh-
lafazh ‘amm dan tidak ada qorinah lafazh, akal atau kebiasaan yang bias
menentukan kekhususan ataupun keumumannya sehingga
keumumannya menjadi khusus sampai ada dalil yang
mengkhususkannya, contoh:
17
“dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik
(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,
Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,
dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.
dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. kecuali orang-orang
yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Maka
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
[QS an Nuur (24):4-5]
b. Sifat, contohnya:
18
[QS al Baqarah (2):180]
Kalimat “jika ia meninggalkan harta yang banyak” adalah syarat,
maka bila seseorang tidak meninggalkan harta yang banyak, maka
tidak wajib berwasiat.
d. Batas, contoh:
19
Mukhashshish kedua,
20
Ayat tersebut dikecualikan secara ijma’ bagi laki-laki yang berstatus
budak.
d. Qiyas (men-takhsis al Qur-an dengan Qiyas), contohnya:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” [QS an Nuur (24):2]
Ayat tersebut dikecualikan bagi budak dengan dasar analogi
terhadap perempuan yang berstatus budak yang dikecualikan dari
ketentuan hukum dera bagi perempuan-perempuan yang berbuat
fahisyah sebagaimana tersebut dalam QS an Nisaa’ (4):25, sbb:
21
g. Siyaq (Mentakshis Al-Qur’an dengan siyaq), adalah keterangan yang
mendahului suatu kalam dan yang datang sesudahnya. Contohnya:
1. Lafazh Amr
Pengertian Lafazh ‘Amr
Menurut Prof. Muhammad Abu Zhahrah di dalam bukunya menyebutkan
bahwa amr ialah perintah dari pihak yang lebih tinggi tingkatannya, kepada
pihak yang lebih rendah. Dalam bahasa Arab, bentuk amr adalah dengan
menggunakan shighat if’al yang berarti ‘kerjakan’ dan litaf’al yang berarti
‘hendaklah engkau mengerjakan’. Menurut aslinya, bentuk (shighat) amr
tersebut dipergunakan untuk menunjukkan selain perintah. Sedangkan jika
bentuk (shighat) amr tersebut dipergunakan untuk menunjukkan selain
perintah, seperti untuk membimbing (irsyad), menakut-nakuti (tahdid), dan
untuk do’a atau penghinaan yang bersifat kiasan (majaz).[33]
Bentuk-bentuk Lafzh Amr
Amr itu mempunyai ketentuan-ketentuan yang menjadi dasar pengambilan
atau penetapan hukum. Ketentuan-ketentuan itu kemudian kita kenal dengan
istilah kaidah. Amr mempunyai beberapa kaidah:
a) Kaidah pertama adalah al ashlu fil amar lil wujub, artinya yaitu pada
dasarnya amr itu menunjukkan wajib. Setiap amr atau perintah itu
menunjukkan hukum wajib atau perintah yang pasti, kecuali ada dalil
atau petunjuk yang menunjukkan arti selain wajib (kebalikannya).
[33] www.dzikrullah.com/bpm_23_shalawat.htm.
22
b) Al ashlu fil amar li an Nadb, artinya yaitu pada dasarnya amr itu
menunjukkan arti sunnah atau nadb, seperti firman Allah:
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam yaitu fajar.” [QS al Baqarah (2):187]
e) Amr menunjukkan arti tahdid (ancaman).
f) Amr menunjuk pada arti ikram (memuliakan).
g) Amr menunjukkan pada arti taskhir (penghinaan), sepeti firman Allah:
23
“Ya Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan
kebaikan di akhirat serta peliharalah kami dari siksa neraka.”
[QS al Baqarah (2):201]
k) Terakhir ada amr yang menunjukkan kepada arti iltimas, yaitu ajakan
seperti kata-kata kepada kawan-kawan sebaya ‘kerjakanlah’. Sebagai
contoh: tolong ambilkan baju itu, datang lah ke pestaku, …, dll.
Pada hakekatnya, amr adalah lafazh yang mutlak yang tidak diberi batas
(qayd), kecuali jika terdapat dalil yang menunjukkan adanya qayd tersebut.
Demikian juga dengan cepat atau lambatnya hanya bisa ditetapkan jika ada
dalil yang lain.
Selain itu, sighat amr an-sich tidaklah menunjukkan atas berulang-ulangnya
kewajiban yang diperintahkan, juga tidak mengharuskan mengerjakan
kewajiban tersebut secepat mungkin. Berulang-ulangnya kewajiban tersebut
adalah karena berulang-ulangnya sebab yang mewajibkan. Begitupun
sebaliknya, jika tida ada sebab yang demikian maka kewajiban tersebut
tidak berulang-ulang.
Yang harus diperhatikan juga yaitu, sebagian dari ketetapan fiqh ialah
bahwa suatu kewajiban itu mempunyai sarana-sarana vital yang ada untuk
membantu (kelancaran) terlaksananya kewajiban tersebut. Sebagian fuqaha
membagi sarana-sarana vital bagi terealisasinya suatu kewajiban ini menjadi
dua macam, yaitu:
a. Sarana yang ditetapkan oleh syara’ sebagai suatu syarat yang wajib
dikerjakan berdasarkan nash yang berdiri sendiri, bukan berdasarkan
pada kewajiban yang asal.
b. Sarana-sarana vital dimana suatu kewajiban tidak akan terealisir tanpa
adanya sarana tersebut. Sarana ini disebut ’sebab’ yang berupa
perbuatan yang dapat dijangkau manusia untuk merealisir kewajiban
tersebut. Jadi, hal itu menjadi wajib bukan didasarkan kepada nash
tertentu, akan tetapi mengikuti pada kewajiban yang asal.
24
2. Lafazh Nahyi
Pengertian Lafazh Nahyi
An-Nahyu (nahi) ialah tuntutan dari Allah SWT kepada manusia yang
mukallaf untuk meninggalkan suatu perbuatan (larangan). Para ulama
berpendapat bahwa nahi merupakan larangan, baik yang harus ditinggalkan
(yang haram), atau yang sebaiknya ditinggalkan (yang makruh). Yang
menentukan apakah nahi tersebut menunjukkan hukum haram atau makruh
sesuai dengan yang dikehendaki syara’, yaitu qarinah-qarinah yang
menjelaskan.
Sighat nahi, sebagaimana juga dengan amr, tidak menunjukkan bilangan
dari suatu larangan, apakah berlaku sekali, berulang kali atau bahkan
selama-lamanya. Sighat nahi juga tidak dibatasi oleh waktu.
Sebagian ulama ushul fiqh berpendapat bahwa nahi berlaku sepanjang masa
sejak diungkapkannya untuk yang pertama kali, kecuali jika terdapat qayd.
Jadi, perbuatan yang dilarang tersebut harus sesegera mungkin untuk
ditinggalkan, karena tidak hanya mencegah terjadinya perbuatan yang
dilarang.
Dalil-dalil Nahi
Larangan (nahi) dalam beribadah menyebabkan batalnya ibadah tersebut
ditunjukkan oleh dalil bahwa menjalankan ibadah bertujuan untuk
mendekatkan diri kepada Allah swt. Sedangkan menjadi mustahil untuk
mendekati Allah apabila dengan suatu cara yang dilarang oleh-Nya. Selain
itu, ibadah adalah perintah agama yang datang langsung dari perintah Allah,
maka jika Allah melarang suatu perbuatan itu berarti perbuatan tersebut
bukan merupakan ibadah dan menjadi ibadah untuk meninggalkannya. Bila
perbuatan yang dilarang itu dikerjakan, berarti sama saja dengan
mengerjakan suatu perbuatan yang bukan merupakan termasuk dalam
ibadah menurut kacamata syara’.
Sedangkan dalil yang menunjukkan bahwa larangan (nahi) dalam
mua’malah tidak menimbulkan batalnya aqad, selama larangan tersebut
tidak menyangkut syarat dan rukun mua’malah yang telah ditetapkan oleh
syara’, ialah:
25
a) Hukum wadh’i yang menetapkan sah atau tidaknya suatu aqad dalam
mua’malah yang dimana sangat tergantung pada syarat dan rukun yang
telah ditetapkan oleh syara’. Jadi, selama terpenuhinya seluruh syarat
dan rukun yang ada, maka aqad tersebut menjadi sah.
b) Aqad dan sejenisnya termasuk dalam kategori adat kebiasaan manusia
yang bertujuan untuk mendekatkan diri manusia dan kehidupan mereka
kepada dunia, bukan kepada Allah (taqarrub ilallah). Oleh karena itu,
larangan syara’ dalam bermua’malah pada waktu tertentu tidaklah
mempengaruhi hasil dari mua’malah tersebut.
c) Larangan tidak dapat membatalkan suatu perbuatan, baik dalam ibadah
maupun dalam mua’malah. Hal ini dikarenakan bahwa suatu larangan
tidak berhubungan dengan sah atau tidaknya suatu perbuatan, tetapi
hanya mengandung beberapa maksud dan tujuan. Sedangkan maksud
dan tujuan tersebut tidak memiliki hubungan langsung dengan
mua’malah.
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barang siapa membunuh
seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada-
[34] Shiddiq, Sapiudin. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2011. Hal. 186.
26
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)
bersedekah.” [QS an Nisa’ (4):92]
“fatahriiru roqobah” yang berarti “memerdekakan seorang hamba sahaya”.
Pada kata roqobah yang dimaksud adalah hamba sahaya (budak) secara
mutlak, tidak terbatas pada satu atau lebih maupun mukmin atau kafir.
Pengertian Muqayyad
Muqayyad adalah lafazh yang menunjukkan sesuatu yang telah dibatasi baik
oleh sifat, syarat dan ghoyah (tujuan). Mengambil contoh di atas, lanjutan
ayatnya adalah “fatahriiru roqobah mu’minah” yang berarti “hamba sahaya
yang mukmin”. Kata hamba sahaya tidak lagi mutlak karena telah dibatasi
oleh kata mukmin.
27
Kuasa (wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin.
Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah
hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.”
Sedangkan untuk lafazh mutlaq tidak boleh lagi dikatakan mutlaq jika
telah ada yang membatasinya. Seperti contoh lafazh mutlaq di atas bahwa ketika
telah ada keterangan yang dimerdekakan adalah hamba sahay yang mukmin, maka
tidak boleh dinyatakan cukup hamba sahaya, baik mukmin maupun kafir.
Adapun lafazh muqayyad dapat dihapuskan hokum mmuqayyad-nya
apabila dihapuskan batasannya yang biasanya karena dihadapkan kepada dalil
lain. Sebagai contoh, keharaman menikahi anak tiri dengan alasan, pertama, anak
tiri dalam peliharaan bapak tirinya dan kedua, ibu yang dinikahi oleh bapak
tirinya telah dicampuri. Alasan kedua meupakan batasannya, maka apabila bapak
tiri belum mencampuri ibunya, diperbolehkan menikahi anak tirinya.
Dalam dalil syara’ sering ditemui dalil yang memiliki hukum ganda, di
satu tempat menunjukkan mutlaq dan di tempat lain menunjukkan muqayyad.
Maka, apakah harus dihukumi dengan mutlaq atau muqayyad atau bahkan
masing-masing berdiri sendiri. Untuk menjawabnya, terdapat empat kaidah dalam
hal ini, yaitu:
1. Mutlaq dibawa ke muqayyad jika sebab dan hukumnya sama. Contoh:
“Haram bagi kamu makan bangkai dan darah…” [QS al Ma’idah (5):3], dan
28
Sebagai contoh, antara kafarat membunuh dengan tidak sengaja dengan
kafarat zhihar adalah sama, yaitu memerdekakan hamba sahaya. Namun,
untuk kafarat zhihar tidak dijelaskan apakah hamba sahaya mukmin atau tidak
sedangkan untuk kafarat membunuh tanpa sengaja dijelaskan hamba sahaya
mukmin. Maka, menurut ulama Syafi’iyah hamba sahaya untuk kafarat zhihar
juga harus mukmin, sedangkan menurut ulama Hanafiyah cukup hamba
sahaya, baik mukmin maupun non-mukmin.
3. Mutlaq tidak dibawa ke muqayyad jika yang berbeda hanya hukumnya.
Contoh:
29
D. Lafazh Musytarak Dan Mu-awwal
“Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di
langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon, binatang yang melata
dan sebagian besar daripada manusia.” [QS al Hajj (22):18]
Terdapat dua makna sujud, yaitu menghadapkan wajah ke tanah dan kepatuhan
(inqiyad). Penggunaan kedua makna (musytarak) ini diperbolehkan sesuai dengan
porsinya.
[35] Usman, Muchlis. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
1996. hal.64.
[36] Ibid, hal. 67.
30
Jumhur ulama sepakat bahwa masalah furu’iyah dapat ditakwilkan.
2. Masalah Aqoid, Ushuluddin, atau Ketuhanan dan Takwil
Dalam kaidah masalah yang esensi ini, para ulama berbeda pendapat dalam
penakwilan, antara lain:
a. Golongan Musyabbahah tidak mengkhendaki adanyatakwil pada masalah
aqoid. Contoh:
KESIMPULAN
Kaidah bahasa hukum merupakan istilah lain dari qawaa’id al lughah al
ahkaam. Kaidah bahasa atau kaidah lughawiyyah merupakan istilah lain bagi
kaidah ushuliyyah atau kaidah istinbathiyah. Kaidah ushuliyyah adalah kaidah-
kaidah yang berkaitan dengan metode penggalian hukum dengan memperhatikan
unsur kebahasaan, baik ushlub-ushlub-nya maupun tarkib-nya.. Ia adalah
sejumlah peraturan untuk menggali hukum, yang umumnya berkaitan dengan
ketentuan dilalah lafadz atau kebahasan.
Metode perolehan kaidah ushuliyyah dapat kita bagi menjadi tiga, yaitu
metode mutakallilim, Ahnaf dan konvergensi. Perbedaan metode perolehan
31
menjadi batasan adanya aliran-aliran dalam ushul fiqh. Metode mutakallimin
adalah metode yang dilakukan secara deduktif, sedanagkan metode Ahnaf
(Hanafiyah) ditempuh melalui sistem penyusuran kaidah-kaidah dan bahasan-
bahasan ushuliyah yang telah diyakininya bahwa para imamnya telah
menyandarkan ijtihadnya pada kaidah-kaidah atau bahasan-bahasan ushuliyyah
tersebut. Metode Ahnaf bercorak induktif. Metode campuran biasa disebut juga
dengan metode konvergensi atau thariqat al jam’an. Yaitu metode penggabungan
antara metode mutakallimin dan metode hanafiyah, yakni dengan cara
memperhatikan kaidah-kaidah ushuliyyah dan mengemukakan dalil-dalil atas
kaidah-kaidah itu. Juga memperhatikan aplikasinya terhadap masalah fiqh
far’iyyah dan relevansinya terhadap kaidah-kaidah tersebut.
Dalam mempergunakan kaidah-kaidah Ushuliyyah tidak yang terikat
kepada unsur kebahasaan, maka perlu diketahui pula tentang Kaidah Peletakkan
Lafazh untuk mendapatkan Makna. Misalnya sebuah lafazh dapat dilihat apakah
bersifat ‘Amm (umum) atau Khas (khusus), apakah termasuk Amr (perintah) atau
Nahyi (larangan), apakah maknanya mutlaq atau terbatas, apakah memiliki lebih
dari satu makna atau sudah memiliki makna khusus.
32
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur-an al Kariim.
Abdul Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih (al-Qowa’idul al-Fiqhiyyah), Kalam
Mulia, Jakarta.
Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman, 1983, al Fikr al Ushuliy, Daar al Syrq ,
Mekkah.
Ali Ahmad al Nadzawy, Al Qawaa’id Al fiqhiyyah, (Damasyq : Daar al Qalam).
Asep Ridwan H, SHI., Kaidah Bahasa Hukum, Kaidah Qiyas Dan Kaidah
Istishlah.
Asrie Alawi, 2008, Kaidah Hukum, Kaidah Qiyas dan Kaidah Istishlah,
http://asridplanet.blogspot.com/2008/01/f1-kaidah-hukum-qiyas-dan-
istishlah.html
Dede Rosyada, 1999, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Raja Grafindo Perkasa,
Jakarta.
Hasbie ash-Shidiqi, 1976, Filsafat Hukum Islam, Cetakan II, Bulan Bintang,
Jakarta.
Khallaf, Syekh Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005.
Cet. Ke-5.
Nazar Bakry, 1996, Fiqh dan Ushul Fiqh, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Shidiq Sapiudin, 2011, Ushul Fiqh. Kencana, Jakarta.
Syafe’i. Rachmat, 1999, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV. Pustaka Setia.
Usman. Muchlis, 1996, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah: Pedoman Dasar
Dalam Istimbath Hukum Islam. Jakarta: PT. RajaGafindo Persada, 1996.
Zhahrah, M. Abu. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus.1994.
33