Anda di halaman 1dari 5

BAB II

PEMBAHASAN
A. Bagian injhar
B. Contoh Kasus Patient Safety

Akibat Salah Transfusi Darah, Rizky Cuci


Darah Setiap Pekan
detikNews
Rabu, 20 Apr 2011 00:35 WIB

Palembang - Akibat golongan darah yang ditransfusi salah, selama hampir 10


bulan seorang remaja di Lahat Muhammad Rizky (16) cuci darah dua kali tiap pekan.
Pihak Rumah Sakit Umumum Daerah (RSUD) Lahat, Sumatera Selatan, tempat Rizky
salah ditransfusi darah, meskipun sudah dilaporkan ke polisi belum memberikan
pertanggung jawabannya.
Demikian dikatakan  Muhammad Fadli dari Kantor Bantuan Hukum
Sumatera, di Jalan Kapten A Rivai, Palembang, selaku kuasa hukum Rizky dan kedua
orangtuanya, kepada detikcom, Selasa (189/04/2011).
Diceritakan Fadli, pada 26 Mei 2010, Rizky diantar orangtuanya ke RSUD
Lahat. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium RSUD Lahat, HB milik korban hanya
5,9 g/dl. Hasil laboratorium itu kemudian ditindak lanjuti Dr Rahadian untuk
ditransfusi darah karena didiagnosa Rizky terkena anemia.
Lalu kedua orangtua Rizky mendatangi PMI Cabang  Lahat. Secara jelas
disebutkan bahwa darah yang dibutuhkan korban adalah darah AB. Mereka
mendapatkan dua kantong darah golongan AB.
Kemudian dilakukan transfusi darah kepada Rizky, namun baru setengah
kantong darah yang ditransfusi Rizky mengigil dan susah bernapas. Orang tua korban
meminta menghentikan transfusi yang sedang berjalan kepada tenaga medis yang
sedang melakukan transfusi tersebut.
Pada 27 Mei 2010 pihak RSUD Lahat akan melakukan transfusi darah
kembali, namun orang tua Rizky menolak karena korban dalam kondisinya dalam
keadaan lemah dan masih sulit bernapas.
Pada 3 Juni 2010 korban kembali ditransfusi darah, namun baru seperempat
kantong darah yang ditransfusi Rizky kembali mengigil dan susah bernapas,
kemudian orang tua Rizky meminta tim medis menghentikannya.
Bahwa karena kondisi korban yang lemah dan terkadang sulit bernapas,
korban dirawat di RSUD Lahat hingga 6 Juni 2010. Setelah  keluar dari RSUD Lahat,
dua kali Rizky mengalami pingsan.
Rizky kemudian dibawa berobat di RSUP Dr. Muhammad Hoesin Palembang
pada bulan Juli 2010. Setelah dilakukan pemeriksaan golongan darah di Unit
Transfusi Darah Cabang PMI Kota Palembang golongan darah korban adalah B+,
bukan AB seperti hasil pemeriksaaan di laboratorium RSUD Lahat.
“Nah, hasil pemeriksaan dokter di rumah sakit Muhammad Hoesin, Rizky
diharuskan cuci darah. Awalnya tiga kali seminggu, setelah itu 2 kali seminggu
hingga saat ini,” kata Fadli.
Orangtua korban mencoba meminta pertanggungjawaban dari RSUD Lahat.
Berdasarkan beberapa kali pertemuan, bukanlah penyelesaian yang diterima. Bahkan
salah satu dokter yang menjelaskan kepada orangtua Rizky peristiwa ini tidak akan
berdampak apa-apa bagi si korban.
“Klien kami kemudian melaporkan persoalan tersebut Polres Lahat. Tapi
hingga saat ini prosesnya belum berjalan. Menurut kepolisian, pihaknya kekurangan
saksi,” kata Fadli.
Berdasarkan kondisi ini, Fadli mengharapkan kepolisian segera memproses
cepat kasus tersebut, “Dan kami juga berharap pihak instansi yang berwenang untuk
turut serta dalam menyikapi kejadian ini, khususnya bagi pemerintah daerah Lahat
dan DPRD Lahat,” ujarnya.
“Kini Rizky sudah tidak sekolah lagi,” kata Fadli yang didampingi rekannya
Agus Mirantawan.

C. Sejarah Patient Safety


Diskursus mengenai sejarah patient safety biasanya dikaitkan dengan laporan
Institute of Medicine (IOM) Amerika Serikat yang dirilis pada tahun 2000 dengan
judul ‘To Err is Human: Building a Safer Health Sistem’ dan data WHO (World
Alliance for Patient Safety, Forward Program, 2004) tentang pelayanan pasien rawat
inap di berbagai negara (Ibid).
Laporan IOM mengemukakan hasil penelitian di rumah sakit di Utah dan
Colorado serta New York. Di Utah dan Colorado ditemukan KTD (Adverse Event)
sebesar 2,9 %, dimana 6,6 % diantaranya meninggal. Sedangkan di New York KTD
adalah sebesar 3,7 % dengan angka kematian 13,6 %. Angka kematian akibat KTD
pada pasien rawat inap di seluruh Amerika yang berjumlah 33,6 juta per tahun
berkisar 44.000 ± 98.000 per tahun (Ibid: hal 4).
Publikasi WHO pada tahun 2004, mengumpulkan angka-angka penelitian
rumah sakit di berbagai Negara : Amerika, Inggris, Denmark, dan Australia,
ditemukan KTD dengan rentang 3,2 ± 16,6 %. Dengan data-data tersebut, berbagai
negara segera melakukan penelitian dan mengembangkan Sistem Keselamatan Pasien
(Ibid).
Dalam World Health Assembly pada tanggal 18 Januari 2002, WHO Executive
Board yang terdiri dari 32 wakil dari 191 negara anggota mengeluarkan satu resolusi
yang disponsori oleh pemerintah Inggris, Belgia, Italia dan Jepang untuk membentuk
program patient safety (WHO,2010)
Doktrin keselamatan pasien (patient safety) menjadi referensi dalam
pengembangan sistem penyelenggaraan kesehatan nasional, terutama semenjak
mencuatnya kasus-kasus dugaan malpraktik medis di Indonesia. Dalam
perkembanganya, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menginstruksikan agar
setiap penyelenggara pelayanan kesehatan sungguh-sungguh memberikan perhatian
terhadap isu patient safety ini dalam tataran praktis.
Pada Tahun 1900 Institusi rumah sakit selalu meningkatkan mutu pada 3
elemen, yaitu struktur, proses dan outcome dengan bermacam-macam konsep dasar,
seperti standar pelayanan rumah sakit, penerapan Quality Assurance, Total Quality
Management, Countinuos Quality Improvement, Perizinan, Akreditasi, Kreensialing,
Audit Medis, Indikator Klinis, ISO dan lain sebagainya. Program tersebut telah
meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit baik pada aspek struktur, proses maupun
outcome.
Namun, harus diakui pada pelayanan yang berkualitas tersebut masih sering
terjadi KTD tidak jarang berujung dengan tuntutan hukum. Oleh karena itu perlu
program untuk lebih memperbaiki proses pelayanan, karena KTD Sebagian dapat
merupakan kesalahan dalam proses pelayanan yang komprehensif dengan melibatkan
pasien berdasarkan hak-nya. Program tersebut yang kemudian ikenal dengan
keselamatan pasien (patient safety).[ CITATION Ism19 \l 1033 ]
Pada tahun 2005 diterbitkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
496/Menkes/SK/IV/2005 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit, yang tujuan
utamanya adalah untuk tercapainya pelayanan medis prima di rumah sakit yang jauh
dari medical error dan memberikan keselamatan bagi pasien. Perkembangan ini
diikuti oleh Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) yang berinisiatif
melakukan pertemuan dan mengajak semua stakeholder rumah sakit untuk lebih
memperhatian keselamatan pasien di rumah sakit. Mempertimbangkan betapa
pentingnya misi rumah sakit untuk mampu memberikan pelayanan kesehatan yang
terbaik terhadap pasien mengharuskan rumah sakit untuk berusaha mengurangi
medical error sebagai bagian dari penghargaannya terhadap kemanusiaan, maka
dikembangkan sistem patient safety yang dirancang mampu menjawab permasalahan
yang ada (Rhudy Marseno: 2011)
Selanjutnya patient safety menjadi sebuah gerakan nasional sejak tahun 2005.
Gerakan ini pertama kali dicanangkan oleh di Menteri Kesehatan bersama
Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) dan Komite Keselamatan Pasien
Rumah Sakit (KKPRS) dalam forum Seminar Nasional PERSI yang diselenggarakan
pada tanggal 21 Agustus 2005 di Jakarta Convention Centre.[ CITATION Sus17 \l 1033 ]

D. Budaya Menyalahkan dalam Keselamatan Pasien


Budaya keselamatan pasien adalah nilainilai, sikap, persepsi kompetensi dan
pola perilaku dari individu yang menentukan komitmen dan gaya kemampuan
manajemen rumah sakit dalam meminimalkan pajanan yang membahayakan atau
mencelakakan karyawan, manajemen pasien, atau anggota masyarakat lainnya.
Budaya keselamatan pasien di suatu rumah sakit dapat diketahui dengan melakukan
kajian evaluasi yaitu untuk mengetahui seberapa jauh budaya keselamatan pasien di
suatu rumah sakit.[ CITATION Ult17 \l 1033 ]
Menurut Agency of Healthcare Research and Quality (2004) dalam menilai
budaya keselamatan pasien di rumah sakit terdapat beberapa aspek dimensi yang
perlu diperhatikan yaitu harapan dan tindakan supervisor atau manajer dalam
mempromosikan keselamatan pasien, pembelajaran, peningkatan bekerlanjutan,
kerjasama tim dalam unit, keterbukaan komunikasi, umpan balik terhadap error,
respon tidak menyalahkan, staf yang adekuat, persepsi secara keseluruhan, dukungan
manajamenen rumah sakit, kerja sama tim antar unit,penyerahan dan pemindahan
pasien dan frekuensi pelaporan kejadian (AHRQ, 2004)
Hospital Survey on Patient Safety Culture (HSOPSC), terdiri dari 10 dimensi
budaya keselamatan pasien dan 4 dimensi outcome. 10 dimensi budaya keselamatan
AHRQ yaitu: Kerjasama tim dalam satu unit, Pembelajaran organisasi dan
pengembangan berkelanjutan, Umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan,
Dukungan manajemen, Sikap supervisor dalam mendukung keselamatan pasien,
Kerjasama antar tim, Ketenagaan, Serah terima, Komunikasi, Budaya tidak
menyalahkan (Respon non punitive). 4 Dimensi Out Come dari AHRQ
yaitu :Perceptions of Safety (Persepsi terhadap Keselamatan Pasien RS), Frequency
of Event Reporting (FrekuensiPelaporan), Patient Safety Grade of the Hospital Unit
(Keselamatan Pasien Tingkat Unit Di RS), Number of Events Reported (Jumlah
Insiden yang Dilaporkan).[ CITATION Yas18 \l 1033 ]
E. Kasus(bagian injhar)
F. Pembahasan kasus (bagian weza)

Anda mungkin juga menyukai