FG 1
FG 1
KELAS B.302
KELOMPOK I
Adiansyah, 1106053325
Annisa Azwar, 1106053382
FX Cindyanawati, 1106053035
Juwita Mannawi, 1106053445
Lidya Destanti, 1106012565
Lina Iffata Fauziya, 1106000022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunainya sehingga
kelompok Focus Group 1 dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Perspektif dan Prinsip
Transkultural dalam Keperawatan Beserta Aplikasinya dengan baik dan tepat pada waktu yang
telah ditentukan. Terimakasih kami ucapkan kepada Ibu Enie Noviestari S.Kp., MSN yang telah
membimbing dan memotivasi kelompok kami dalam menyelesaikan makalah ini. Kami juga
berterima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa FIK UI yang telah memberikan kritik maupun
saran untuk menulis makalah ini sesuai dengan yang diharapkan.
Penyusun
(Kelompok Focus Group 1)
ii
DAFTAR ISI
Abstrak............................................................................................................................................iii
BAB I : PENDAHULUAN
BAB II : PEMBAHASAN
2.2 Aplikasi Konsep dan Prinsip Transkultural Sepanjang Daur Kehidupan Manusia.......8
3.1 Kesimpulan............................................................................................................13
ABSTRAK
Transkultural nursing adalah suatu area/wilayah keilmuan budaya pada proses belajar dan praktek
keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan kesamaan diantara budaya dengan menghargai
asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini
digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya kepada
manusia, yang dalam penggunaannya bertujuan untuk mengembangkan sains dan pohon keilmuan yang
humanis sehingga tercipta praktik keperawatan pada kultur yang spesifik dan universal kultur dengan
nilai-nilai dan norma-norma yang diyakini dan dilakukan hampir semua kultur (Leininger, 2002). Proses
keperawatan transkultural diaplikasikan untuk mengurangi konflik perbedaan budaya atau lintas budaya
antara perawat sebagai profesional dan pasien karena perilaku budaya terkait sehat sakit masyarakat
secara umum masih banyak dilakukan pada keluarga secara turun temurun. Proses keperawatan
transkultural terdiri dari tahap pengkajian keperawatan transkultural, diagnosa keperawatan
transkultural, rencana tindakan keperawatan transkultural, tindakan keperawatan transkultural dan
evaluasi tindakan keperawatan transkultural. Budaya yang telah menjadi kebiasaan tersebut diterapkan
dalam asuhan keperawatan transkultural berdasarkan kerangka kerja keperawatan transkultural yang
dikenal dengan Leininger Sunrise Model (Leininger, 2002) berupa cultural care, world view, culture and
social culture dimention, generic care system, proffesional system, culture care preservation, culture care
accomodation, culture care repattering, culture congruent serta tiga strategi utama intervensi Leininger,
yaitu pemeliharan terhadap budaya, negosiasi budaya dan merestrukturisasi budaya.
BAB I
PENDAHULUAN
Seiring berkembangnya zaman di era globalisasi saat ini, terjadi peningkatan jumlah
penduduk baik populasi maupun variasinya. Keadaan ini memungkinkan adanya multikultural
atau variasi kultur pada setiap wilayah. Tuntutan kebutuhan masyarakat akan pelayanan
kesehatan yang berkualitas pun semakin tinggi. Hal ini menuntut setiap tenaga kesehatan
profesional termasuk perawat untuk mengetahui dan bertindak setepat mungkin dengan
prespektif global dan medis bagaimana merawat pasien dengan berbagai macam latar belakang
kultur atau budaya yang berbeda dari berbagai tempat di dunia dengan memperhatikan namun
tetap pada tujuan utama yaitu memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas. Penanganan
pasien dengan latar belakang budaya disebut dengan transkultural nursing. Tanskultural nursing
adalah suatu daerah/wilayah keilmuan budaya pada proses belajar dan praktek keperawatan yang
fokusnya memandang perbedaan dan kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan,
sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini
digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya
kepda manusia (Leininger, 2002). Proses keperawatan transkultural diaplikasikan untuk
mengurangi konflik perbedaan budaya atau lintas budaya antara perawat sebagai profesional dan
pasien.
1.2 Tujuan
PEMBAHASAN
Dunia saat ini sedang mengalami era globalisasi. Globalisasi memungkinkan adanya
perpindahan penduduk (imigrasi) antar negara atau daerah yang menyebabkan peningkatan
jumlah penduduk dalam negara, baik populasi maupun variasinya. Menurut United Nations
Population Fund (2011), pada akhir bulan oktober tahun 2011 jumlah penduduk dunia akan
mencapai tujuh miliar penduduk. Ini memungkinkan adanya multikultural atau variasi kultur
pada suatu wilayah. Berdasar pada hal tersebut, penting bagi setiap tenaga kesehatan profesional
termasuk perawat untuk mengetahui dan bertindak dengan perspektif global bagaimana merawat
pasien dengan berbagai macam latar belakang kultur atau budaya yang berbeda dari berbagai
tempat di dunia saat ini. Penanganan pasien dengan perbedaan latar belakang budaya disebut
dengan transkultural nursing.
Menurut Leininger (2002), transkultural nursing adalah suatu area/wilayah keilmuan budaya
pada proses belajar dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan kesamaan
diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya
manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan
keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya kepada manusia, yang dalam
penggunaannya bertujuan untuk mengembangkan sains dan pohon keilmuan yang humanis
sehingga tercipta praktik keperawatan pada kultur yang spesifik dan universal kultur dengan
nilai-nilai dan norma-norma yang diyakini dan dilakukan hampir semua kultur, misalnya seperti
budaya minum the yang dapat membuat tubuh sehat.
Berdasarkan definisi Leininger diatas, dalam melaksanakan praktik keperawatan yang
bersifat humanis, perawat perlu memahami landasan teori dan praktik keperawatan yang
berdasarkan budaya. Budaya yang telah menjadi kebiasaan tersebut diterapkan dalam asuhan
keperawatan transkultural berdasarkan kerangka kerja keperawatan transkultural yang dikenal
dengan Leininger Sunrise Model (Leininger, 2002) dan tiga strategi utama intervensi Leininger,
yaitu pemeliharan terhadap budaya, negosiasi budaya dan merestrukturisasi budaya.
3
Bila seorang perawat mengabaikan landasan teori dan praktik keperawatan yang berdasarkan
budaya atau keperawatan transkultural, perawat akan mengalami cultural shock. Cultural shock
akan dialami oleh klien pada suatu kondisi dimana perawat tidak mampu beradaptasi dengan
perbedaan nilai budaya dan kepercayaan. hal ini dapat menyebabkan munculnya rasa
ketidaknyamanan, ketidakberdayaan, dan beberapa akan mengalami disorientasi. salah satu
contoh yang sering ditemukan adalah ketika klien sedang mengalami nyeri. pada beberapa
daerah atau negara diperbolehkan seseorang untuk mengungkapkan rasa nyeri dengan berteriak
atau menangis. tetapi bila seandainya perawat terbiasa dengan hanya meringis jika merasa nyeri,
ia akan menganggap sikap pasien mengganggu dan tidak sopan. maka perawat pun akan
meminta pasien bersuara pelan, bahkan tak jarang akan memarahinya karena dianggap
mengganggu pasien lainnya. kebutaan budaya yang dialami oleh perawat ini akan berakibat pada
perununan kualitas keperawatan yang diberikan.
Penting bagi perawat untuk memahami cultural sendiri sebelum memahami keperawatan
transkultural. Konsep tentang budaya dan gambaran perilaku dan sikap yang mencerminkan
budaya tertuang dalam ilmu antropologi kesehatan. Dalam menerapkan keperawatann
transkultural, tak hanya budaya yang harus diperhatikan, namun paradigma keperawatan pun
perlu diingat agar dapat diaplikasikan dalam keperawatan transkultural. Leoninger (1985)
mengartikan paradigma keperawatan transkultural sebagai cara pandang, keyakinan, nilai-nilai,
konsep-konsep dalam terlaksananya asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang
budaya terhadap empat konsep sentral keperawatan, yaitu: manusia, komponen sehat sakit,
lingkungan serta keperawatan (Andrew and Boyle, 1995)
Tuntutan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan pada saat ini, termasuk tuntutan
terhadap asuhan keperawatan yang berkualitas akan semakin tinggi. Dengan adanya globalisasi,
dimana perpindahan penduduk antar negara menyebabkan adanya pergeseran terhadap tuntutan
asuhan keperawatan. Sehingga, perawat tidak hanya dituntut untuk bisa berkembang pada masa
kini tapi perawat pun harus berkembang dari masa lalu, seperti kebudayaan klien, latar belakag
klien, dan lain sebagainya.
4
Menurut J.N Giger dan Davidhizar konsep dan prinsip dalam asuhan keperawatan ada
beberapa, antara lain:
1. Budaya
Norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok yang
dipelajari, dan dibagi serta memberi petunjuk dalam berfikir, bertindak dan
mengambil keputusan.
2. Cultural
Seseorang yang memiliki pertentanan antara dua individu dari budaya, gaya hidup, dan
hukum hidup. Contohnya, Didin adalah anak yang dilahirkan dari pasangan suku sunda dan
batak.
3. Diversity
Diversity atau keragaman budaya adalah suatu bentuk yang ideal dari asuhan keperawatan
yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan budaya individu, kepercayaan, dan tindakan.
4. Etnosentris
Prsepsi yang dimiliki oleh individu yang menganggap bahwa budayanya adalah yang terbaik
diantara budaya-budaya yang dimiliki oleh orang lain.
5. Ras
6. Cultural shock
Suatu keadaan yang dialami klien pada suatu kondisi dimana perawat
tidak mampu beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan kepercayaan. Hal ini
dapat menyebabkan munculnya rasa ketidaknyamanan, ketidakberdayaan dan
beberapa mengalami disorientasi.
7. Diskriminasi
5
Perbedaan perlakuan individu atau kelompok berdasarkan ras, etnik, jenis kelamin, sosial,
dan lain sebagainya.
8. Sterotyping
Anggapan suatu individu atau kelompok bahwa semua anggota dari kelompok budaya adalah
sama. Seperti, perawat beranggapan bahwa semua orang Indonesia menyukai nasi.
9. Assimilation
10. Perjudice
Adalah prasangka buruk atau beranggapan bahwa para pemimpin lebih suka untuk menghukum
terlebih dahulu suatu anggota.
Perawat dalam menjalankan tugasnya sering menghadapi klien yang memiliki latar belakang
etnik, budaya, dan agama yang berbeda. Untuk menghadapi situasi ini penting bagi perawat
untuk memahami bahwa klien memiliki pendangan dan interpretasi mengenai penyakit dan
kesehatan yang berbeda. Pandangan tersebut didasarkan pada keyakinan sosial-budaya klien.
Perawat harus sensitif dan waspada terhadap keunikan warisan budaya dan tradisi kesehatan
klien dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien dari latar belakang kebudayaan yang
berbeda. Perawat harus mengkaji dan mendengarkan dengan cermat tentang konsistensi warisan
budaya klien. Pengakajian tentang budaya klien merupakan pengkajian yang sisrematik dan
komprehensif dari nilai-nilai pelayanan budaya, kepercayaan, dan praktik individual, keluarga,
komunitas. Tujuan engkajian budaya adalah untuk mendapatkan informasi yang signifikan dari
klien sehingga perawat dapat menerapkan kesamaan budaya ( Leininger dan MC Farland, 2002).
Perawat dalam melakukan pengkajian terhadap kebudayaan klien dimulai dari menentukan
warisan kultural budaya klien, latar belakang organisasi sosial, dan keterampilan bahasa serta
6
menayakan penyebab penyakit atau masalah untuk mengetahui klien mendapatkan pengobatan
rakyat secaratradisional baik secara ilmiah maupun mesogisoreligus atau kata ramah, suci untuk
mencegah dan mengatasi penyakit. Hal ini dilakukan untuk pemenuhan kompoen pengakajian
budaya untuk menyediakan informasi yang berguna dalam mengumpulkan data kebudayaan
klien.
Tahapan pengkajian budaya dimulai dari mengetahui perubahan demografik populasi pad
lingkungan praktik komunitas yang disebut dengan data sensus. Data sensus didapatkan dari data
sensus lokal dan regional serta laporan pelayanan kesehatan. Langkah berikutnya perawta
menggunakan teknik wawancara yang terbuka, terfokus, dan kntras untuk mendorong klien
menceritakan nilai-ilai, kepercayaan, dan praktik dalam warisan budayanya( Spradley, 1979).
Dalam melaksanakan pengkajian budaya seorang perawt menjalin hubungan dengan klien dan
memiliki keterampilam dalam berkomuknikasi. Pengkajian budaya yang komprehensif
membutuhkan keterampilan, waktu hingga persiapan dan antisipasi sangat diperlukan.
Pada abad ke-21 ini,tuntutan terhadap asuhan keperawatan semakin besar, tak hanya asuhan
keperawatan yang melihat sisi medisnya saja, tetapi juga melihat dari sisi budaya. Jika melihat
dari sisi budaya, ini termasuk ilmu keperawatan yang memasuki level midle theory range, yaitu
teori transkultural nursing.
Tanskultural nursing adalah suatu daerah/wilayah keilmuan budaya pada proses belajar dan
praktek keperawatan yang fokusnya memandang perbadaan dan kesamaan diantara budaya
dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia, kepercayaan
7
dan tindakan, dan ilmu ini digunakanuntuk memberikan asuhankeperawatan khususnya budaya
atau keutuhan budaya kepda manusia (Leininger, 2002). Transkultural nursing mempunyai
tahapan yang sama dengan proses keperawatan; antara lain pengkajian, diagnosis, perencanaan,
implemantasi dan evaluasi. Pengkajian dalam transkultural nursing memiliki instrument atau
komponen tersendiri, antara lain; warisan dan sejarah etnik, variasi biologis, religious dan
kepercayaan, organisasi sosial, komunikasi, waktu, kepercayaan perawatan dan prakteknya, serta
pengalaman sebagai tenaga proposional.
Warisan budaya dan sejarah etnik sering membawa pada nilai-nilai dan norma yang berlaku
pada suatu adat istiadat, ras klien, atau dalam hal ini dapat dikaji tentang persepsin sehat dan
sakit menurut budaya klien, keikutsertaan cara-cara budaya dalam proses perawatan. Relijius dan
kepercayaan ini dalah faktor yang sangat mempengaruhi karena membawa motivasi tersendiri
untuk menempatkan kebenaran di atas segalanya. Kajian religious dapat meliputi agama yang
dianut, sudut pandang pasien terhadap penyeban penyakit, proses penyembuhannya serta sisi
positif agama pasien yang dapat membantu proses kesembuhanya. Variasi biologis, perbedaan
biologis antara anggota kelompok kultur, seperti struktur dan bentuk tubuh, warna kulit, variasi
enzimatik dan genetik, kerentanan terhadap penyakit, variasi nutrisi. Pengkajian organisasi sosial
mengacu pada unit keluarga dan kelompok sosial, dimana di lihat tentang keadaan soal keluarga
seperti ekonomi, pergaulan sosial. Sedangkan pada kelompok sosila klien dapat dilihat sejarah
lingkungan dan kondisi lingkungan.
Komunikasi adalah hal terpenting dalam pelangsanaakn proses asuhan keperawatan, ketidak
berhasilan komunikasi dapat menghambat proses diagnosis dan tindakaan serta dapat membawa
pada hasil yang trgis. Dalam hal ini perawat harus dapat melihat bahasa yang digunakan pasien
secra verbal maupun non verbal. Ruang personal menujukkan sikap klien yang harus ditanggapi
oleh perawat secara sensitive, sehingga kidatk menimbulkkan rasa ketidak nyamanan pasien.
Bukan hanya mengenai ruang personal yang harus menjadi pertimbangan tetapi juga mengenai
waktu ,orientasi waktu berbeda-deada dalam setiap ethic ada yang memprioritaskan pada saat ini
ada juga yang saat mendatang. Perbedaan orientasi waktu ini akan membawa pada perencaan
asuhan jangka panjang. Keyakinan perawtan klien juga menjadi factor kajian, di sini perawat
harus melihat bagai mana keyakinan dan praktik pengobatan tradisional yang dipercai pasien
dlam proses penyembuhannya apakah dapat membantu atau memperparah penyakitnnya. Dan
8
factor kajian terakhir yang mempengaruhi adalh pengalam an propesional perawtan itu sendiri
dalam menangggapi atau dalam member asuhan keperawatan itu.
2.2 Aplikasi Konsep dan Prinsip Transkultural Sepanjang Daur Kehidupan Manusia.
2.2.1 Perawatan Kehamilan dan Kelahiran
Kehamilan dan kelahiran bayi pun dipengaruhi oleh aspek sosial dan budaya dalam suatu
masyarakat. Dalam ukuran-ukuran tertentu, fisiologi kelahiran secara universal sama. Namun
proses kelahiran sering ditanggapi dengan cara-cara yang berbeda oleh aneka kelompok
masyarakat (Jordan, 1993).
Berbagai kelompok yang memiliki penilaian terhadap aspek kultural tentang kehamilan dan
kelahiran menganggap peristiwa itu merupakan tahapan yang harus dijalani didunia. Salah satu
kebudayaan masyarakat kerinci di Provinsi Jambi misalnya, wanita hamil dilarang makan rebung
karena menurut masyarakat setempat jika wanita hamil makan rebung maka bayinya akan
berbulu seperti rebung. Makan jantung pisang juga diyakini menurut keyakinan mereka akan
membuat bayi lahir dengan ukuran yang kecil.
Dalam kebudayaan Batak, wanita hamil yang menginjak usia kehamilan tujuh bulan
diberikan kepada ibunya ulos tondi agar wanita hamil tersebut selamat dalam proses melahirkan.
Ketika sang bayi lahir pun nenek dari pihak ibu memberikan lagi ulos tondi kepada cucunya
sebagai simbol perlindungan. Sang ibu akan menggendong anaknya dengan ulos tersebut agar
anaknya selalu sehat dan cepat besar. Ulos tersebut dinamakan ulos parompa.
Pantangan dan simbol yang terbentuk dari kebudayaan hingga kini masih dipertahankan
dalam komunitas dan masyarakat. Dalam menghadapi situasi ini, pelayanan kompeten secara
budaya diperlukan bagi seorang perawat untuk menghilangkan perbedaan dalam pelayanan,
bekerja sama dengan budaya berbeda, serta berupaya mencapai pelayanan yang optimal bagi
klien dan keluarga
Menurut Meutia Farida Swasono salah satu contoh dari masyarakat yang sering
menitikberatkan perhatian pada aspek krisis kehidupan dari peristiwa kehamilan dan kelahiran
9
adalah orang jawa yang di dalam adat adat istiadat mereka terdapat berbagai upacara adat yang
rinci untuk menyambut kelahiran bayi seperti pada upacara mitoni, procotan, dan brokohan.
Perbedaan yang paling mencolok antara penanganan kehamilan dan kelahiran oleh dunia
medis dengan adat adalah orang yang menanganinya, kesehatan modern penanganan oleh dokter
dibantu oleh perawat, bidan, dan lain sebagainya tapi penangana dengan adat dibantu oleh dukun
bayi. Menurut Meutia Farida Swasono dukun bayi umumnya adalah perempuan, walaupun dari
berbagai kebudayaan tertentu, dukun bayi adalah laki laki seperti pada masyarakat Bali Hindu
yang disebut balian manak dengan usia di atas 50tahun dan profesi ini tidak dapat digantikan
oleh perempuan karena dalam proses menolong persalinan, sang dukun harus membacakan
mantra mantra yang hanya boleh diucapkan oleh laki laki karena sifat sakralnya.
Proses pendidikan atau rekrutmen untuk menjadi dukun bayi bermacam macam. Ada dukun
bayi yang memperoleh keahliannya melalui proses belajar yang diwariskan dari nenek atau
ibunya, namun ada pula yang mempelajari dari seorang guru karena merasa terpanggil. Dari segi
budaya, melahirkan tidak hanya merupakan suatu proses semata mata berkenaan dengan lahirnya
sang bayi saja, namun tempat melahirkan pun harus terhindar dari berbagai kotoran tapi “kotor”
dalam arti keduniawian, sehingga kebudayaan menetapkan bahwa proses mengeluarkan unsur
unsur yang kotor atau keduniawian harus dilangsungkan di tempat yang sesuai keperluan itu.
Jika dokter memiliki obat obat medis maka dukun bayi punya banyak ramuan untuk dapat
menangani ibu dan janin, umumnya ramuan itu diracik dari berbagai jenis tumbuhan, atau bahan
bahan lainnya yang diyakini berkhasiat sebagai penguat tubuh atau pelancar proses persalinan.
Berdasarkan uraian diatas, perawat harus mampu memahami kondisi kliennya yang
memiliki budaya berbeda. Perawat juga dituntut untuk memiliki keterampilan dalam pengkajian
10
budaya yang akurat dan komprehensif sepanjang waktu berdasarkan warisan etnik dan riwayat
etnik, riwayat biokultural, organisasi sosial, agama dan kepercayaan serta pola komunikasi.
Semua budaya mempunyai dimensi lampau, sekarang dan mendatang. Untuk itu penting bagi
perawat memahami orientasi waktu wanita yang mengalami transisi kehidupan dan sensitif
terhadap warisan budaya keluarganya.
Disepanjang daur kehidupannya, manusia akan melewati masa transisi dari awal masa kelahiran
hingga kematiannya. Kebudayaan turut serta mempengaruhi peralihan tersebut. Dalam asuhan
keperawatan budaya, perawat harus paham dan bias mengaplikasikan pengetahuannya pada tiap
daur kehidupan manusia. Salah satu contohnya yaitu aplikasi transkultural pada perawatan dan
pengasuhan anak.
Setiap anak diharapkan dapat berkembang secara sempurna dan simultan, baik
perkembangan fisik, kejiwaan dan juga sosialnya sesuai dengan standar kesehatan, yaitu sehat
jasmani, rohani dan sosial. Untuk itu perlu dipetakan berbagai unsur yang terlibat dalam proses
perkembangan anak sehingga dapat dioptimalkan secara sinergis.Menurut Urie Bronfenbrenner
(1990) setidaknya ada 5 (lima) sistem yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang
anak,yaitu:Pertama,sistem mikro yang terkait dengan setting individual di mana anak tumbuh
dan berkembang yang meliputi:keluarga,teman sebaya,sekolah dan lingkungan sekitar tetangga.
Kedua,sistem meso yang merupakan hubungan di antara mikro sistem,misalnya hubungan
pengalaman-pengalam an yang didapatkan di dalam keluarga dengan pengalaman di sekolah atau
pengalaman dengan teman sebaya. Ketiga,sistem exo yang menggambarkan pengalaman dan
pengaruh dalam setting sosial yang berada di luar kontrol aktif tetapi memiliki pengaruh
langsung terhadap perkembangan anak,seperti,pekerjaan orang tua dan media massa.
Keempat,sistem makro yang merupakan budaya di mana individu hidup
seperti:ideologi,budaya,sub-budaya atau strata sosial masyarakat. Kelima,sistem chrono yang
merupakan gambaran kondisi kritis transisional (kondisi sosio-historik).
Keempat sistem pertama harus mampu dioptimalkan secara sinergis dalam pengembangan
berbagai potensi anak sehingga dibutuhkan pola pengasuhan,pola pembelajaran,pola pergaulan
11
termasuk penggunaan media massa,dan pola kebiasaan (budaya) yang koheren dan saling
mendukung. Proses sosialisasi pada anak secara umum melalui 4 fase, yaitu:
1. Fase Laten (Laten Pattern),pada fase ini proses sosialisasi belum terlihat jelas. Anak
belum merupakan kesatuan individu yang berdiri sendiri dan dapat melakukan kontak
dengan lingkungannya. Pada fase ini anak masih dianggap sebagai bagian dari ibu,dan
anak pada fase ini masih merupakan satu kesatuan yang disebut “two persons system”.
2. Fase Adaptasi (Adaption),pada fase ini anak mulai mengenal lingkungan dan
memberikan reaksi atas rangsangan-rangsang an dari lingkungannya. Orangtua berperan
besar pada fase adaptasi,karena anak hanya dapat belajar dengan baik atas bantuan dan
bimbingan orangtuanya.
3. Fase Pencapaian Tujuan (Goal Attainment),pada fase ini dalam sosialisasinya anak tidak
hanya sekadar memberikan umpan balik atas rangsangan yang diberikan oleh
lingkungannya,tapi sudah memiliki maksud dan tujuan. Anak cenderung mengulangi
tingkah laku tertentu untuk mendapatkan pujian dan penghargaan dari lingkungannya.
4. Fase Integrasi (Integration),pada fase ini tingkah laku anak tidak lagi hanya sekadar
penyesuaian (adaptasi) ataupun untuk mendapatkan penghargaan,tapi sudah menjadi
bagian dari karakter yang menyatu dengan dirinya sendiri.
Interaksi anak dengan lingkungannya secara tidak langsung telah mengenalkan dirinya pada
kultural atau kebudayaan yang ada di sekelilingnya. Lingkungan dan keluarga turut berperan
serta dalam tumbuh kembang anak. Hal ini pun tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh budaya
yang ada di sekitarnya. Sebagai perawat, dalam memberikan pengasuhan dan perawatan perlu
mengarahkan anak pada perilaku perkembangan yang normal, membantu dalam memaksimalkan
kemampuannya dan menggunakan kemampuannya untuk koping dengan membantu mencapai
keseimbangan perkembangan yang penting. Perawat juga harus sangat melibatkan anak dalam
merencanakan proses perkembangan. Karena preadolesens memiliki keterampilan kognitif dan
sosial yang meningkat sehingga dapat merencnakan aktifitas perkembngan.
Dalam lingkungannya, anak diharuskan bekerja dan bermain secara kooperatif dalam
kelompok besar anak-anak dalam berbagai latar belakang budaya. Dalam proses ini, anak
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Proses keperawatan transkultural merupakan salah satu dasar teori untuk memenuhi
asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya pasien.
2. Proses keperawatan transkultural diaplikasikan untuk mengurangi konflik perbedaan
budaya atau lintas budaya antara perawat sebagai profesional dan pasien.
3. Perilaku budaya terkait sehat sakit masyarakat secara umum masih banyak dilakukan
pada keluarga secara turun temurun.
4. Sehat dan sakit atau kesehatan dalam perspektif transkultural nursing diartikan
pandangan masyarakat tentang kesehatan spesifik bergantung pada kelompok
kebudayaannya teknologi dan non-teknologi pelayanan kesehatan yang diterima
bergantung pada budaya nilai dan kepercayaan yang dianutnya.
5. Proses keperawatan transkultural terdiri dari tahap pengkajian keperawatan transkultural,
diagnosa keperawatan transkultural, rencana tindakan keperawatan transkultural,
tindakan keperawatan transkultural dan evaluasi tindakan keperawatan transkultural.
6. Prinsip pengkajian keperawatan transkultural berpedoman pada model konsep dari
Leininger. Konsep utama dari model sunrise berupa cultural care, world view, culture and
social culture dimention, generic care system, proffesional system, culture care
preservation, culture care accomodation, culture care repattering, culture congruent.
7. Rencana tindakan transkultural didasari pada prinsip rencana tindakan dari teori Sunrise
Model yang terdiri dari 3 strategi tindakan, yaitu perlindungan perawatan budaya atau
pemeliharaannya, akomodasi perawatan budaya atau negosiasi budaya, perumusan
kembali dan restrukturasi.
14
DAFTAR PUSTAKA