Anda di halaman 1dari 39

1

REFERAT

Diagnosis Banding Demam dan Patofisiologi


Diajukan untuk Memenuhi Tugas Remedial
Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Oleh:
Andreva Rahmawan Hidayat
(4151171551)

Penguji:
Elly Noer Rochmah, dr., Sp.A., M.Kes

UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI


FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
CIMAHI
2020
BAB I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Pusat regulasi mempertahankan agar suhu di dalam tubuh normal di dalam titik
ambang 37˚C ( 98,6˚F) dan sedikit berkisar antara 1-1,5˚C. Hipotalamus adalah pusat
integrasi utama untuk memelihara keseimbangan energi dan suhu tubuh. Hipotalamus
berfungsi sebagai termostat tubuh. Hipotalamus sebagai pusat integrasi termoregulasi tubuh,
menerima informasi aferen mengenai suhu di berbagai bagian tubuh dan memulai
penyesuaian – penyesuaian terkoordinasi yang sangat rumit dalam mekanisme penambahan
dan pengurangan suhu sesuai dengan keperluan untuk mengoreksi setiap penyimpangan suhu
inti dari patokan normal. Hipotalamus sangat peka sehingga mampu berespon terhadap
perubahan suhu darah sekecil 0.01ºC.
Dalam keadaan demam, keseimbangan suhu tubuh bergeser hingga terjadi peningkatan
suhu dalam tubuh. Demam atau peningkatan suhu tubuh merupakan manifestasi umum
penyakit infeksi, namun dapat juga disebabkan oleh penyakit non-infeksi ataupun keadaan
fisiologis, misalnya setelah latihan fisik atau apabila kita berada di lingkungan yang
sangat panas. Penyebab demam adakalanya sulit ditemukan, sehingga tidak jarang pasien
sembuh tanpa diketahui penyebab penyakitnya. Pada kebanyakan anak demam disebabkan
oleh agen mikrobiologi yang dapat dikenali dan demam menghilang sesudah masa yang
pendek. Demam pada anak dapat digolongkan sebagai (1) demam kurang dari tujuh hari
dengan tanda-tanda yang mengumpul pada satu tempat sehingga diagnosis dapat
ditegakkan melalui riwayat klinis dan pemeriksaan fisik, dengan atau tanpa uji
laboratorium. (2) demam kurang dari tujuh hari tanpa tanda-tanda yang mengumpul pada
satu tempat, sehingga riwayat dan pemeriksaan fisik tidak memberi kesan diagnosis tetapi
uji laboratorium dapat menegakan etiologi dan (3) demam lebih dari tujuh hari dan
demam yang tidak diketahui sebabnya (fever of unknown origin = FUO), serta (4) demam
dengan ruam. Dalam referat ini akan dibahas tentang demam kurang dari 1 minggu
beserta diagnosis bandingnya
BAB II
Tinjauan Pustaka

1.1 Definisi Demam


Demam atau pireksia merupakan kata yang diambil dari bahasa yunani yang berarti api
(pyro). Demam merupakan suatu keadaan peningkatan suhu diatas normal yang disebabkan
perubahan pada pusat pengaturan suhu tubuh. Suhu normal tubuh berbeda tergantung dari
daerah pengukuran. Batasan normal suhu tubuh antara lain sebagai berikut :
1. Temperatur oral berkisar antara 33,2 – 38,20 C
2. Temperatur rektal berkisar antara 34,4 – 37,80 C
3. Temperatur aksila berkisar antara 35,5 – 37,50 C
4. Temperatur membran timpani berkisar pada 35,4 – 37,80 C

Suhu tubuh bervariasi pada setiap individunya, tergantung pada berbagai faktor; antara
lain umur, jenis kelamin, lingkungan, temperatur ruangan, tingkat aktivitas, dan
sebagainya. Peningkatan suhu tubuh tidak selalu mengisyaratkan terjadinya demam.
Sebagai contoh, peningkatan suhu tubuh pada seseorang akan meningkat pada keadaan
peningkatan metabolisme tubuh (latihan fisik), tetapi hal tersebut tidak didefinisikan
sebagai demam, karena pusat pengaturan suhu tubuh di otak berada pada batas normal.

Gambar 1. Derajat Demam4

1.2 Etiologi
Demam dapat disebabkan oleh suatu substansi yang dinamakan pirogen, yaitu
substansi atau zat yang dapat memicu demam. Pirogen terbagi menjadi pirogen endogen dan
pirogen eksogen.
Pirogen endogen antara lain ialah sitokin yaitu molekul yang merupakan bagian dari
sistem imun innate. Pirogen tersebut diproduksi oleh sel fagosit dan menyebabkan
peningkatan pada pusat pengaturan suhu di hipotalamus. Pirogen endogen mayor antara lain;
interleukin-1 (α dan β), interleukin-6, dan tumor nekrosis faktor-α. Pirogen endogen minor
antara lain; interleukin-8, tumor nekrosis faktor-β, protein inflamatorik makrofag, dan
interferon. Sitokin tersebut dilepaskan ke sirkulasi sistemik, dimana substansi tersebut akan
bermigrasi ke organ sirkumventrikular dari otak melalui absorpsi berbantuan melalui sawar
darah otak. Sitokin tersebut akan berikatan dengan reseptor endotelial pada pembuluh darah,
atau berinteraksi dengan sel mikroglia lokal. Ketika sitokin tersebut telah berikatan, jalur
asam arakidonat kemudian diaktifkan, yang pada akhirnya menyebabkan perubahan pada
regulasi termostat hipotalamus.
Pirogen eksogen yang diketahui antara lain komponen dari dinding sel bakteri. Suatu
protein imunologis yang disebut lipopolysaccharide-binding protein (LBP) berikatan dengan
reseptor CD-14 dari makrofag. Hasil ikatan tersebut akan menyebabkan pelepasan berbagai
sitokin endogen, seperti interleukin-1, interleukin-6, dan tumor nekrosis faktor. Dengan kata
lain, faktor pirogen eksogen tersebut akan merangsang pengeluaran pirogen endogen, yang
kemudian pada akhirnya merangsang jalur asam arakidonat.
Berdasarkan kaitan pirogen dengan produk mikroba, maka dapat dibagi menjadi dua
kelompok besar, yaitu pirogen mikrobial dan non-mikrobial, pirogen-pirogen tersebut antara
lain :
1. Pirogen mikrobial
- Bakteri gram positif
Pirogen utama bakteri gram positif (misalnya Stafilokokus) adalah peptidoglikan
dinding sel. Per unit berat, endotoksin lebih aktif daripada peptidoglikan. Hal ini
menerangkan perbedaan prognosis lebih buruk berhubungan dengan infeksi bakteri
gram negatif. Mekanisme yang bertanggung jawab terjadinya demam yang disebabkan
infeksi Pneumokokus diduga proses imunologik. Penyakit yang melibatkan produksi
eksotoksin oleh basil gram positif pada umumnya demam yang ditimbulkan tidak
begitu tinggi dibandingkan dengan gram positif piogenik atau bakteri gram negatif
lainnya.
- Bakteri gram negatif
Pirogenitas bakteri gram negatif (misalnya E.coli dan Salmonela) disebabkan adanya
heat-stable factor yaitu endotoksin, suatu pirogen eksogen yang pertama kali
ditemukan. Komponen aktif endotoksin berupa lapisan luar bakteri yaitu
lipopolisakarida. Endotoksin menyebabkan peningkatan suhu yang progresif
tergantung dari dosis (dose-related). Endotoksin gram negatif tidak selalu merangsang
terjadinya demam; pada bayi dan anak yang lebih kecil, infeksi gram negatif sering
memberikan manifestasi hipotermia.
- Virus
Telah diketahui secara klinis bahwa virus menyebabkan demam. Pada tahun 1958,
dibuktikan adanya pirogen yang beredar dalam serum kelinci yang mengalami demam
setelah disuntikkan virus influenza. Mekanisme virus memproduksi demam antara lain
dengan cara melakukan invasi langsung ke dalam makrofag, reaksi imunologis
terhadap komponen virus termasuk diantaranya pembentukan antibodi, induksi oleh
interferon dan nekrosis sel akibat virus.
- Jamur
Produk jamur baik mati maupun hidup memproduksi pirogen eksogen yang akan
merangsang terjadinya demam. Demam pada umumnya timbul ketika mikroba berada
dalam peredaran darah. Anak yang menderita penyakit keganasan (misalnya leukemia)
disertai demam yang berhubungan dengan neutropenia mempunyai resiko tinggi untuk
terserang infeksi jamur invasif.

2.Pirogen non-mikrobial
- Fagositosis
Fagositosis antigen non-mikrobial kemungkinan sangat bertanggung jawab untuk
terjadinya demam dalam proses transfusi darah dan anemia hemolitik imun. Sel
mononuklear bertanggung jawab terhadap produksi IL-1 dan terjadinya demam.
Granulosit polimorfonuklear tidak lagi diduga sebagai sel yang bertanggung jawab
dalam memproduksi IL-1, oleh karena demam dapat timbul dalam keadaan
agranulositosis. Sel mononuklear selain merupakan monosit yang beredar dalam darah
perifer, juga tersebar dalam organ seperti paru (makrofag alveolar), nodus limfatik,
plasenta, ruang peritoneum, dan jaringan subkutan. Monosit dan makrofag berasal dari
granulocyte-monocyte colonyforming unit (GM-CFU) dalam sumsum tulang,
kemudian memasuki peredaran darah untuk tinggal beberapa hari sebagai monosit
yang beredar atau bermigrasi ke dalam jaringan yang akan berubah fungsi dan
morfologi menjadi makrofag yang berumur beberapa bulan. Sel-sel ini berperan
penting dalam pertahanan tubuh termasuk diantaranya merusak dan memakan
mikroba, mengenal antigen, dan mempresentasikannya untuk menempel pada limfosit,
aktivasi limfosit-T, dan destruksi sel tumor. Keadaan yang berhubungan dengan
perubahan fungsi sistem monosit-makrofag diantaranya bayi baru lahir, kortikosteroid
dan terapi imunosupresif, lupus eritematosus sistemik. Dua produk utama monosit-
makrofag ialah IL-1 dan TNF.
- Kompleks antigen antibodi
Demam yang disebabkan oleh reaksi hipersensitifitas dapat timbul baik sebagai akibat
reaksi antigen terhadap antibodi yang beredar, yang tersensitisasi (immune fever) atau
oleh antigen yang diaktivasi sel-T untuk memproduksi limfokin, yang sebaliknya akan
merangsang monosit dan makrofag untuk melepas IL-1. Contoh demam yang
disebabkan dimediasi oleh reaksi imunologis diantaranya lupus eritematosus sistemik,
dan reaksi obat yang berat. Demam yang berhubungan dengan hipersensitif terhadap
penisilin lebih mungkin disebabkan oleh akibat interaksi kompleks antigen-antibodi
dengan leukosit dibandingkan dengan pelepasan IL-1.
- Steroid
Steroid tertentu bersifat pirogenik bagi manusia. Ethiocholanolon dan metabolik
androgen diketahui sebagai perangsang pelepasan IL-1. Ethiocolanolon memproduksi
demam hanya bila disuntikkan intramuskular (bukan intravena), maka diduga demam
tersebut diakibatkan oleh pelepasan IL-1 oleh jaringan subkutis pada tempat suntikan.
Steroid ini diduga bertanggung jawab terhadap terjadinya demam pada pasien dengan
sindrom adrenogenital dan demam yang tidak diketahui penyebabnya (fever of
unknown origin).

1.3 Patofisiologi

Pengaturan suhu tubuh seluruhnya diatur di hipotalamus. Segala substansi pemicu demam
(pirogen) akan menyebabkan pelepasan mediator demam yaitu prostaglandin E2 (PGE2).
PGE2 kemudian mempengaruhi set-point di hipotalamus, yang menyebabkan perubahan
respon secara sistemik, membentuk efek pembentukan panas tubuh untuk menyesuaikan
dengan level suhu yang telah diatur di hipotalamus.
PGE2 dilepaskan dari jalur sintesis asam arakidonat. Jalur tersebut dimediasi oleh enzim
fosfolipase A2 (PLA2), siklooksigenase (COX-2), dan prostaglandin E2 sintase. Enzim
tersebut seluruhnya menyebabkan sintesis dan pelepasan dari PGE2. PGE2 merupakan
mediator utama dalam respon demam. Pengaturan suhu tubuh akan tetap tinggi sampai
PGE2 hilang dari peredaran sistemik. PGE2 mempengaruhi neuron pada daerah pre-optik
(POA) melalui reseptor-3 prostaglandin E (EP3). Neuron yang mengekspresikan EP3 di
POA akan menginervasi dorsomedial hipotalamus (DMH), nukleus rostral raphe pallidus
di medula oblongata (rRPa), dan nukleus paraventrikular (PVN) dari hipotalamus. Sinyal
demam dikirim ke DMH dan rRPa menyebabkan stimulasi dari sistem simpatis, yang
kemudian akan mencetuskan pembentukan panas tubuh dan vasokontriksi untuk
menurunkan kehilangan panas tubuh melalui kulit. Inervasi dari POA ke PVN 9
akan memediasi efek neuroendokrin dari demam melalui jalur yang melibatkan kelenjar
hipofisis dan organ endokrin lainnya.
Sebagai perumpamaan, hipotalamus di otak berfungsi mirip dengan termostat pada lemari
pendingin. Ketika set-point suhu tubuh ditingkatkan, maka tubuh akan mengkompensasi
peningkatan tersebut dengan secara aktif memproduksi panas dan menahan panas dalam
tubuh agar tidak keluar dari tubuh. Vasokontriksi pembuluh darah akan menurunkan
proses kehilangan panas melalui kulit dan menyebabkan seseorang merasakan dingin
bahkan hingga menggigil. Jika proses penyesuaian tersebut tidak cukup untuk
menyebabkan suhu darah sesuai dengan setingan suhu di hipotalamus, maka proses
menggigil dimulai dengan tujuan menggerakkan otot-otot untuk menghasilkan lebih
banyak panas. Ketika demam berhenti, dan setingan suhu di hipotalamus menjadi lebih
rendah, maka akan terjadi proses kebalikan dari proses sebelumnya, dengan tujuan
menyesuaikan suhu tubuh dengan setingan termostat yang baru. Proses tersebut meliputi
vasodilatasi pembuluh darah untuk meningkatkan pengeluaran panas melalui kulit, dan
berkeringat sebagai upaya pendinginan tubuh dalam menyesuaikan setingan suhu yang
baru.

Gambar 2. Patofisiologi Demam4

1.4 Pendekatan Diagnosis


Pada pasien anak yang memiliki gejala demam, maka perlu diperdalam melalui anamnesis
untuk mendapatkan informasi yang dapat membantu mengarahkan diagnosis.
1. Durasi Demam
Demam terbagi menjadi 2 kelompok yaitu demam dibawah 7 hari dan diatas 7 hari.3
2. Gejala Klinis dan Riwayat Sebelumnya
Setelah mengetahui durasi demam, maka perlu diperdalam gejala yang muncul dan
riwayat sebelumnya.3
- Tempat tinggal atau riwayat berpergian ke area endemic malaria
- Riwayat kontak dengan seseorang yang memiliki penyakit infeksi
- Riwayat vaksin
- Skin Rash
- Nyeri atau kaku pada leher
- Nyeri kepala
- Kejang
- Nyeri saat berkemih
- Nyeri telinga
3. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis merupakan bagian penting dalam menegakkan diagnosis. Sebanyak 80%
penyakit dapat didiagnosis dengan anamnesis yang baik. Anamnesis demam meliputi:
a. Pola demam
Penilaian pola demam meliputi tipe awitan, variasi derajad suhu selama periode 24 jam
dan selama apisode kesakitan, siklus demam, dan respon terapi. Gambaran pola demam klasik
meliputi:
 Demam septik, suhu demam berangsur naik ke tingkat tinggi pada malam hari, dan
kembali ke tingkat di atas normal pada pagi hari.
 Demam kontinu, ditandai dengan peningkatan suhu tubuh yang menetap dengan
fluktuasi maksimal 0,40C selama periode 24 jam. Pola ini dapat ditemukan pada
typhoid (minggu kedua), endokarditis, tuberkuloid
 Demam remiten ditandai oleh penurunan suhu tiap hari tetapi tidak mencapai normal
dengan fluktuasi melebihi 0,50C selama periode 24 jam. Pola ini merupakan tipe
demam yang paling sering ditemukan pada praktek pediatric dan tidak spesifik untuk
penyakit tertentu.
 Demam intermiten, ditandai dengan suhu kembali normal setiap hari, umumnya pada
pagi hari, dan puncak demam pada siang hari. Pola ini merupakan pola kedua
terbanyak yang ditemukan dalam praktek pediatric, dan dapat ditemukan pada
malaria.
 Demam bifasik, menunjukkan satu penyakit dengan 2 episode demam. Dapat
ditemukan pada penderita demam dengue.

b. Tanda infeksi saluran pernafasan


Penyebab utama dari demam pada anak kurang dari tujuh hari adalah infeksi saluran
pernafasan atas. Keluhan paling umum adalah adanya batuk, pilek, sesak. Untuk batuk perlu
ditanyakan jenis batuk (berdahak atau tidak), warna dahak, kekentalan, bau, dan ada tidaknya
darah. Untuk sesak perlu ditanyakan adanya mengi dan kecenderungan timbulnya sesak.
Untuk pilek perlu ditanyakan ada tidaknya rasa gatal pada hidung, warna secret, dan
kekentalan secret.

c. Nyeri saat buang air kecil dan gangguan berkemih lainnya


Penyebab kedua tersering terjadinya demam pada anak adalah ISK. Karena itu perlu
ditanyakan adakah keluhan nyeri saat BAK, tidak bisa menahan kencing, dan berkemih lebih
sering dari biasanya. Gejala khas ISK tersebut hanya dapat digali dari anak berusia >3tahun.
Sedangkan untuk bayi, gejala ISK tersamarkan. Waspadai bayi dengan urosepsis, dan
diagnosis pasti dapat ditegakkan dari hasil pemeriksaan penunjang.

d. Nyeri telinga
Anamnesis mengenai gejala yang menunjukkan gangguan pada telinga peru ditanyakan,
mengingat bahwa otitis media akut merupakan salah satu penyebab demam yang sering
ditemukan pada anak. Adanya demam tinggi yang terus menerus disertai nyeri telinga, keluar
secret dari telinga, tinnitus, dan gangguan kesadaran mengarahkan diagnosis ke otitis media
akut. Hal ini terlihat lebih jelas pada anak berusia >3tahun. Sedangkan pada bayi, manifestasi
lokal dari otitis tersamarkan. Gejala yang timbul justru demam tinggi yang disertai diare,
muntah, dan terkaddang timbul kejang.

e. Tempat tinggal dan Riwayat bepergian dalam 2 minggu terakhir


Pertanyaan mengenai riwayat bepergian dan tempat tinggal dapat dgunakan untuk
menyingkirkan diferensial diagnosis penyakit yang bersifat endemis. Contohnya adalah
malaria. Jika riwayat bepergian ke daerah endemis malaria disangkal, adanya kerabat yang
berasal dari daerah endemis disangkal, maka diagnosis malaria dapat disingkirkan.

f. Gejala perdarahan
Salah satu diferensial diagnosis dari demam kurang dari 7 hari adalah demam akibat
infeksi virus dengue. Karena itu perlu ditanyakan riwayat perdarahan pada pasien. Perlu digali
apakah ada perdarahan gusi, hematemesis ataupun melena pada pasien. Keluhan gejala
perdarahan yang dibuktikan dengan pemeriksaan fisik dan lanjutan yang mengarahkan
diagnosis ke demam akibat infeksi virus dengue.
Jika pasien mengeluhkan BAB yang mengandung darah, maka lanjutkan penggalian data
ke arah infeksi gastrointestinal. Namun pada umumnya, pasien dengan penyakit
gastrointestinal tidak mengeluhkan BAB berdarah sebagai keluhan utama. Infeksi
gastrointestinal umumnya memiliki keluhan utama berupa diare atau muntah.

g. Riwayat imunisasi
Hal ini perluditanyakan untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis demam yang
termasuk dalam KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi). Perlu dipikirkan bahwa 50% dari
anak pasca imunisasi akan menunjukkan gejala demam sebagai reaksi dari tubuhnya.
Imunisasi yang menimbulkan efek demam antara lain:
a. Imunisasi DPT, pada umumnya demam terjadi selama 1-2 hari.
b. Imunisasi campak, pada umumnya demam dapat diikuti dengan timbulnya ruam
setelah 7-12 hari.

Gambar 3. Pemeriksaan fisik.2


4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan:
a. Pemeriksaan darah tepi
 Hasil pemeriksaan darah tepi yang mengarah ke demam berdarah dengue:
1. Trombositopenia (<100.000/mm3)
2. Hemokonsentrasi >20%

b. Apusan darah tepi


Pada penderita malaria dapat ditemukan parasit dalam apusan darah tepi. Ada 2 macam
apusan, yaitu tetes tebal dan tetes tipis. Pada tetes tebal dapat ditentukan ada tidaknya
parasit sedangkan pada tetes tipis dapat ditentukan jenis Plasmodium.
c. Analisis urin
Dilakukan jika ada kecurigaan ke arah ISK. Interpretasi untuk ISK adalah adanya kuman
dalam urin >5/lpb, dan leukosituria >5/lpb. Diagnosis pasti dengan ditemukannya
bakteriuria bermakna pada kultur urin, yang jumlahnya tergantung dari metode
pengambilan sampel urine.
d. Foto thorak
Pemeriksaan foto thorak tidak direkomendasikan secara rutin pada anak dengan infeksi
saluran nafas bawah akut ringan tanpa komplikasi.Pemeriksaan foto thorak
direkomendasikan pada penderita pneumoni yang dirawat di rumah sakit, atau bila tanda
klinis yang ditemukan membingungkan. Foto thorak follow up hanya dilakukan bila
didapatkan adanya kolaps lobus, kecurigaan terjadinya komplikasi, pneumoni berat,
gejala yang menetap atau memburuk, dan tidak berespon terhadap antibiotik.
e. Pungsi lumbal
Pemeriksaan LCS dilakukan untuk menyingkirkan atau menegakkan diagnose meningitis.
Pungsi lumbal sangat dianjurkan pada bayi berusia <12 bulan, dianjurkan pada bayi usia
12-18 bulan, dan tidak rutin dilakukan pada anak usia >18 bulan. Pungsi lumbal sangat
penting untuk menegakkan diagnosis dan menentukan etiologi meningitis. Pada
meningitis bakteri akan ditemukan:
1. Cairan keruh atau opalescence dangna Nonne (-)/(+) dan pandy (+)/(++)
2. Jumlah sel 100-100.000/mm3 dengan hitung jenis predominan polimorfonuklear
3. Protein 200-500mg/dL
4. Glukosa <40mg/dL
1.5 Diagnosis Banding
Tabel 1. Diagnosis banding pada pasien anak dengan gejala demam dibawah 7
hari:3
Demam kurang dari 7 hari
tanpa tanda lokal
Anamnesis Pemeriksaan Pemeriksaan Diagnosis
fisik penunjang
Pasca imunisasi Demam pasca
imunisasi
Riwayat Demam  anemia  Hapusan darah Malaria
bepergian intermiten,  Hepatomegali tepi, tetes tebal
ke daerah anemia,  Splenomegali dan tipis
endemis anoreksia, mual, ditemukan
malaria muntah, nyeri Plasmodium
epigastrik, nyeri  Leukositosis atau
kepala leukopeni
 Trombositopeni
 IgM meningkat
 Komplemen
turun
Disertai  Anemia  Bilirubin serum Malaria berat
gangguan  Ikterus >50mg/dL (karena
kesadaran  Edema pulmo  Hb<7g/dL P.falciparum)
Syok  Tanda DIC  Hiperparasitemia
positif (>5% PE)
 Gangguan asam
basa
Demam Muntah, nyeri  Tes bendung  Trombositopenia Infeksi virus
mendadak kepala, nyeri otot (+) (<100.000/µL) dengue
tinggi dan sendi, tanda  Facial flush  Hemokonsentrasi
perdarahan  Hepatomegali (Htc meningkat
(mimisan, >20%)
hematemesis,dll)  Gold standard:
haemoglobin
inhibition test

Demam kurang dari 7 hari


Dengan tanda local
Anamnesis Pemeriksaan fisik Pemeriksaan Diagnosis
penunjang
batuk Dahak putih, nyeri VURTI
sendi, malaise
Dahak kuning ISPA non
kehijauan pneumoni
Demam subfebris, Hiperemis tonsil, Faringotonsili
Nyeri telan, rhinitis, Pembesaran tonsi tis
Hiperemis tonsil, uji schick (+) Difteri
suara serak
Pembesaran tonsil, DL: leukositosis,
pseudomembran anemia
positif, yang diagnosis pasti:
mudah berdarah biakan kuman
jika diangkat,
Bullneck,
limfadenitis
servical
Sesak, mengi Nafas Retraksi ISPA
cepat negative pneumoni
ringan
Retraksi ISPA
positif pneumoni
berat
Retraksi Foto thoraks Bronkiolitis
positif, tampak paru
wheezing emfisematous,
dan costa mendatar.
ronkhi,
ekspirasi
memanjan
g, paru
hipersonor
Pilek Secret kuning Foto waters Sinusitis
hijau, berbau,nyeri positif
tekan di sinus,
illumination test
positive
Nyeri Gangguan Sekret (+), Otitis media
telinga pendengaran, keluar membran timpani akut
cairan dari telinga, hiperemis
bisa disertai nyeri
kepala
Ganggu - Nyeri ketika - Nyeri Urine lengkap: ISK
an berkemih ketok sudut 1. Bakteri >
berkemi - Berkemih costoverteb 104 pada
h lebih sering ral midstrea (ISK pada
dari biasanya - Nyeri tekan m urine bayi tidak
- Mengompol supra (golden memiliki
(diatas usia 3 simfisis standart) gambaran
tahun) - Bias 2. Leukositu khas. Gejala
- Ketidakmamp terdapat ria yang timbul
uan untuk kelainan (>5/lpb) dapat berupa
menahan genitalia 3. Hematuri panas, malas
kemih pada eksterna a minum,
anak yang 4. proteinuri mencret,
sebelumnya a muntah, berat
bisa badan turun)
melakukannya
diare Feses tidak berdarah Tanda dehidrasi GE non
disentriform
Feses berdarah GE
disentriform
Nyeri Gangguan kesadaran, Tanda Lumbal pungsi Meningitis
kepala muntah, kejang rangsang ditemukan bakterialis
menngeal (+) bakteri positif

Diagnosis banding pada pasien anak dengan gejala demam lebih dari 7 hari: 3

1.5.1 Demam Tifoid


Definisi dan Etiologi
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella Typhi.Bakteri Salmonella Typhi berbentuk batang, Gram negatif, tidak
berspora, motil, berflagel, berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 37C,
bersifat fakultatif anaerob dan hidup subur pada media yang mengandung
empedu.Isolat kuman Salmonella Typhi memiliki sifat-sifat gerak positif, reaksi
fermentasi terhadap manitol dan sorbitol positif, sedangkan hasil negatif pada reaksi
indol, fenilalanin deaminase, urease dan DNase

Patofisiologi

Demam (pireksia) adalah keadaan suhu tubuh di atas normal sebagai akibat
peningkatan pusat pengatur suhu di hipotalamus yang dipengaruhi oleh IL- 1.Pengaturan
suhu pada keadaan sehat atau demam merupakan keseimbangan antara produksi dan
pelepasan panas.Demam merupakan bagian dari respon fase akut terhadap berbagai
rangsangan infeksi, luka atau trauma, seperti halnya letargi, berkurangnya nafsu makan dan
minum yang dapat menyebabkan dehidrasi, sulit tidur, hipozinkemia, sintesis protein fase
akut dan lain-lain.Berbagai laporan penelitian memperlihatkan bahwa peningkatan suhu
tubuh berhubungan langsung dengan tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk mengatasi
berbagai rangsang, terutama infeksi.

Demam dikenal sebagai mekanisme yang boros energi (setiap kenaikan suhu 1C akan
meningkatkan laju metabolisme sekitar 10%).Pirogen adalah suatu zat yang menyebabkan
demam, terdapat dua jenis yaitu pirogen eksogen dan endogen.Rangsangan eksogen seperti
endotoksin dan eksotoksin menginduksi leukosit untuk memproduksi pirogen endogen dan
yang poten diantaranya adalh IL-1 dan TNFα .Pirogen endogen ini bekerja didaerah sistem
syaraf pusat pada tingkat OrganumVasculosum laminae terminalis (OVLT).Sebagai respon
terhadap sitokin tersebut maka pada OVLT terjadi sintesis prostaglandin, terutama
prostaglandin-E2 yang bekerja melalui metabolism asam arakhidonat jalur siklooksigenase 2
(COX-2).

Prostaglandin ini bekerja secara langsung pada sel nuklear preoptik dengan hasil peningkatan
suhu tubuh berupa demam.

Pirogen eksogen biasanya merangsang demam dalam 2 jam setelah terpapar.Umumnya


pirogen berinteraksi dengan sel fagosit, makrofag atau monosit untuk merangsang IL-
1.Pirogenitas bakteri Gram-negatif disebabkan adanya heat- stable factor yaitu endotoksin,
suatu pirogen eksogen yang pertama ditemukan.Komponen aktif endotoksin berupa lapisan
luar bakteri yaitu lipopolisakarida.Endotoksin meyebabkan peningkatan suhu yang progresif
tergantung dari dosis.

Dari suatu penelitian didapatkan bahwa jumlah organisme yang dapat menimbulkan gejala
penyakit adalah sebanyak 10-10 organisme, walaupun jumlah yang diperlukan untuk
menimbulkan gejala klinis pada bayi dan anak mungkin lebih kecil.Semakin besar dosis
Salmonella Typhi yang tertelan semakin banyak pula orang yang menunjukkan gejala klinis,
semakin pendek masa inkubasi tidak merubah sindrom klinik yang timbul.

Gambar 5. Patofisiologi tifoid9

Diagnosis

Gambaran klinis demam tifoid pada anak umur < 5 tahun, khususnya di bawah 1 tahun lebih
sulit diduga karena seringkali tidak khas dan sangat bervariasi.Masa inkubasi demam tifoid
berkisar antara 7-14 hari, namun dapat mencapai 3-30 hari.Selama masa inkubasi mungkin
ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan
tidak bersemangat.Kemudian menyusul gejala dan tanda klinis yang biasa ditemukan.

Gejala

Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit.Demam
berlangsung 3 minggu bersifat febris, remiten dan suhu tidak terlalu tinggi.Pada awalnya
suhu meningkat secara bertahap menyerupai anak tangga selama 2-7 hari, lebih tinggi pada
sore dan malam hari,tetapi demam bisa pula mendadak tinggi.Dalam minggu kedua penderita
akan terus menetap dalam keadaan demam, mulai menurun secara tajam pada minggu ketiga
dan mencapai normal kembali pada minggu keempat.Pada penderita bayi mempunyai pola
demam yang tidak beraturan, sedangkan pada anak seringkali disertai menggigil.Pada
abdomen mungkin ditemukan keadaan nyeri, perut kembung, konstipasi dan diare.Konstipasi
dapat merupakan

gangguan gastrointestinal awal dan kemudian pada minggu kedua timbul diare.Selain gejala –
gejala yang disebutkan diatas, pada penelitian sebelumnya juga didapatkan gejala yang
lainnya seperti sakit kepala , batuk, lemah dan tidak nafsu makan.

Tanda

Tanda klinis yang didapatkan pada anak dengan demam tifoid antara lain adalah pembesaran
beberapa organ yang disertai dengan nyeri perabaan, antara lain hepatomegali dan
splenomegali.Penelitian yang dilakukan di Bangalore didapatkan data teraba pembesaran
pada hepar berkisar antara 4 – 8 cm dibawah arkus kosta.Tetapi adapula penelitian lain yang
menyebutkan dari mulai tidak teraba sampai 7,5 cm di bawah arkus kosta. Penderita demam
tifoid dapat disertai dengan atau tanpa gangguan kesadaran.Umumnya kesadaran penderita
menurun walaupun tidak terlalu dalam, yaitu apatis sampai somnolen.Selain tanda – tanda
klinis yang biasa ditemukan tersebut,mungkin pula ditemukan gejala lain.Pada punggung dan
anggota gerak dapat ditemukan roseola, yaitu bintik kemerahan karena emboli dalam kapiler
kulit.Kadang-kadang ditemukan ensefalopati, relatif bradikardi dan epistaksis pada anak usia
> 5 tahun.Penelitian sebelumnya didapatkan data bahwa tanda organomegali lebih banyak
ditemukan tetapi tanda seperti roseola sangat jarang ditemukan pada anak dengan demam
tifoid
1.5.2 Malaria
Definisi dan Etiologi

Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa obligat intraseluler

dari genus plasmodium. Penyakit ini secara alami ditularkan oleh gigitan nyamuk
Anopheles betina. Penyakit malaria ini dapat menyerang siapa saja terutama
penduduk yang tinggal di daerah dimana tempat tersebut merupakan tempat yang
sesuai dengan kebutuhan nyamuk untuk berkembang.

Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit (Plasmodium) yang
ditularkan oleh gigitan nyamuk yang terinfeksi (vector borne desease). Malaria pada
manusia dapat disebabkan oleh P. malariae, P. vivax, dan P. ovale. Pada tubuh
manusia, parasit membelah diri dan bertambah banyak di dalam hati dan kemudian
menginfeksi sel darah merah.

Patofisiologi

Gejala malaria timbul saat pecahnya eritrosit yang mengandung parasit. Demam
mulai timbul bersamaan pecahnya skizon darah yang mengeluarkan macam-macam
antigen. Antigen ini akan merangsang makrofag, monosit atau limfosit yang
mengeluarkan berbagai macam sitokin, diantaranya Tumor Necrosis Factor (TNF).
TNF akan dibawa aliran darah ke hipothalamus, yang merupakan pusat pengatur suhu
tubuh manusia. Sebagai akibat demam terjadi vasodilasi perifer yang mungkin
disebabkan oleh bahan vasoaktif yang diproduksi oleh parasit. Limpa merupakan
organ retikuloendotelial. Pembesaran limpa disebabkan oleh terjadi peningkatan
jumlah eritrosit yang terinfeksi parasit, teraktifasinya sistem retikuloendotelial untuk
memfagositosis eritrosit yang terinfeksi parasit dan sisa eritrsit akibat hemolisis.

Anemia terutama disebabkan oleh pecahnya eritrosit dan fagositosis oleh sistem
retikuloendotetial. Hebatnya hemolisis tergantung pada jenis plasmodium dan status
imunitas penjamu. Anemia juga disebabkan oleh hemolisis autoimun, sekuentrasi oleh
limpa pada eritrosit yang terinfeksi maupun yang normal dan gangguan eritropoisis.
Hiperglikemi dan hiperbilirubinemia sering terjadi. Hemoglobinuria dan
Hemoglobinemia dijumpai bila hemolisis berat. Kelainan patologik pembuluh darah
kapiler pada malaria tropika, disebabkan kartena sel darah merah terinfeksi menjadi
kaku dan lengket, perjalanannya dalam kapiler terganggu sehingga melekat pada
endotel kapiler karena terdapat penonjolan membran eritrosit. Setelah terjadi
penumpukan sel dan bahan-bahan pecahan sel maka aliran kapiler terhambat dan
timbul hipoksia jaringan, terjadi gangguan pada integritas kapiler dan dapat terjadi
perembesan cairan bukan perdarahan kejaringan sekitarnya dan dapat menimbulkan
malaria cerebral, edema paru, gagal ginjal dan malobsorsi usus

Gambar 6. Siklus hidup malaria

Gejala Klinis
Gejala klinis malaria merupakan petunjuk yang penting dalam diagnosis
malaria. Manifestasi klinis malaria sangat khas dengan adanya serangan demam yang
intermitten, anemia dan splenomegali. Penyakit ini cenderung untuk beralih dari
demam akut ke keadaan menahun. Selama stadium akut terdapat masa demam yang
intermitten. Sedangkan pada infeksi oleh plasmodium vivax, panas bersifat ireguler,
kadang-kadang remiten atau intermiten. Dalam stadium menahun berikutnya terdapat
masa laten yang diselingi kambuh beberapa kali. Kambuhnya penyakit ini sangat
mirip dengan serangan pertama. Sementara itu rekrudensi sering terjadi pada infeksi
yang disebabkan plasmodium malariae. Infeksi malaria uncomplicated memiliki
manifestasi klinis yang tidak spesifik, seperti demam, yang biasa muncul pada
influenza ataupun infeksi virus lainnya. Gejala malaria lainnya juga bervariasi,
menggigil, berkeringat, nyeri kepala, myalgia, batuk. Gejala gastrointestinal dapat
muncul seperti nausea, emesis, diare dan nyeri perut.

Diagnosis
Pada pemeriksaan fisik dapat pucat, takikardia, jaundice, peningkatan respirasi,
hepatosplenomegaly, gangguan status mental. Malaria berpotensi berakibat fatal.
Hapusan darah dan deteksi dengan mikroskop dianggap sebagai standar emas untuk
konfirmasi laboratorium malaria. 12
- Noda Giemsa. Apusan tebal adalah ukuran yang paling sensitif untuk mendeteksi
infeksi dengan kepadatan rendah karena memungkinkan ahli mikroskop untuk
meninjau volume darah yang besar dan membaca untuk mendeteksi infeksi.
Apusan tipis, yang memungkinkan resolusi yang lebih besar dari morfologi sel
darah merah dan parasit, digunakan untuk menentukan spesies Plasmodium dan
mengukur kepadatan parasit tertentu. Fitur selanjutnya penting untuk perawatan
dan pemantauan keputusan. Jika hapusan darah awal negatif tetapi infeksi
Plasmodium tetap berbeda, 2 hapusan darah tambahan harus dilakukan dengan
interval 12 hingga 24 jam.12,14
- Antigen detecting rapid diagnostics tests (RDT) semakin banyak tersedia untuk
diagnosis malaria di rangkaian terbatas sumber daya dan nonendemik. Tes-tes
tersebut biasanya berupa tes imunokromatografi aliran lateral berbasis kaset atau
kartu yang tampak seperti tes kehamilan. Antibodi berlabel mendeteksi 1 dari 3
antigen Plasmodium yang mungkin atau mungkin tidak spesifik spesies
tergantung pada tes. Hanya satu RDT yang disetujui untuk digunakan di
laboratorium komersial dan rumah sakit di Amerika Serikat. Uji BinaxNOW
(Alere Inc, Waltham, MA, USA) mendeteksi satu antigen yang spesifik untuk P
falciparum dan antigen lain yang ditemukan di semua spesies Plasmodium
manusia. RDT negatif tidak boleh menghilangkan pertimbangan malaria, terutama
jika baru-baru ini ada pengobatan atau infeksi karena infeksi kepadatan rendah
atau non-falciparum. Apusan darah harus dilakukan untuk menyingkirkan
diagnosis. 12,14

1.5.3 Kejang demam


Definisi dan Etiologi
Gejala klinis malaria merupakan petunjuk yang penting dalam diagnosis
malaria. Manifestasi klinis malaria sangat khas dengan adanya serangan demam yang
intermitten, anemia dan splenomegali. Penyakit ini cenderung untuk beralih dari
demam akut ke keadaan menahun. Selama stadium akut terdapat masa demam yang
intermitten. Sedangkan pada infeksi oleh plasmodium vivax, panas bersifat ireguler,
kadang-kadang remiten atau intermiten. Dalam stadium menahun berikutnya terdapat
masa laten yang diselingi kambuh beberapa kali. Kambuhnya penyakit ini sangat
mirip dengan serangan pertama. Sementara itu rekrudensi sering terjadi pada infeksi
yang disebabkan plasmodium malariae.

Patofisiologi
Pada keadaan demam, kenaikan suhu sebanyak 1°C akan menyebabkan kenaikan
kebutuhan metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen meningkat sebanyak
20%. Pada seorang anak yang berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari
seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Pada kenaikan
suhu tubuh tertentu dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan dari
membran sel neuron. Dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium
maupun ion Natrium melalui membran tadi, akibatnya terjadinya lepasan muatan
listrik. Lepasan muatan listrik ini dapat meluas ke seluruh sel maupun membran sel
tetangganya dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak
mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung pada tinggi atau rendahnya
ambang kejang seseorang anak pada kenaikan suhu tubuhnya. Kebiasaannya, kejadian
kejang pada suhu 38oC, anak tersebut mempunyai ambang kejang yang rendah,
sedangkan pada suhu 40oC atau lebih anak tersebut mempunyai ambang kejang yang
tinggi. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih
sering terjadi pada ambang kejang yang rendah

Gambar 7. Patofisiologi kejang demam

Gejala klinis

Sebagian besar kejang demam merupakan kejang umum. Bentuk kejang umum yang
sering dijumpai adalah mata mendelik atau terkadang berkedip-kedip, kedua tangan
dan kaki kaku, terkadang diikuti kelojotan, dan saat kejang anak tidak sadar tidak
memberi respons apabila dipanggil atau diperintah. Setelah kejang anak sadar
kembali. Umumnya kejang demam akan berhenti sendiri dalam waktu kurang dari 5
menit dan tidak berulang lebih dari satu kali dalam 24 jam

Diagnosis
Diagnosis kejang demam dibuat jika kejang disebabkan oleh demam, tanpa adanya
penyakit yang menyebabkan kejang pada awal pemeriksaan ataupun memiliki riwayat
penyakit lain yang bermanifestasi kejang. Anak-anak harus segera dievaluasi setelah
kejang awal. Evaluasi awal harus fokus pada penentuan sumber demam. Tanyakan
kepada keluarga tentang riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga, status
imunisasi, penggunaan antibiotik baru-baru ini, durasi kejang, fase posttiktal
berkepanjangan, dan gejala fokal. Pada pemeriksaan fisik, perhatian harus diberikan
pada adanya tanda-tanda meningeal dan tingkat kesadaran anak. Dokter juga harus
mempertimbangkan apakah ada infeksi SSP dalam bentuk meningitis atau ensefalitis,
terutama di bayi yang lebih muda yang tanda-tandanya bisa lebih halus. Karena itu,
masalah penting untuk evaluasi adalah apakah pungsi lumbal diperlukan untuk
menyingkirkan meningitis. Jika meningitis tidak termasuk, langkah selanjutnya adalah
mempertimbangkan tes apa yang diperlukan untuk menentukan penyebab penyakit
demam. Terakhir, pertimbangkan apakah ada kemugnkinan kelainan SSP struktural
yang cenderung dimiliki anak.16

1.5.4 Infeksi saluran kemih


Definisi dan Etiologi

Infeksi saluran kemih (ISK) didefinisikan dengan tumbuh dan berkembang biaknya
bakteri atau mikroba dalam saluran kemih dalam jumlah bermakna.Infeksi saluran
kemih disebabkan oleh berbagai jenis mikroba, seperi bakteri, virus, dan jamur.
Escherichia coli (E.coli) merupakan kuman penyebab tersering (60-80%) pada ISK
serangan pertama.Penelitian di dalam negeri antara lain di RSCM Jakarta juga
menunjukkan hasil yang sama.Kuman lain penyebab ISK. yang sering adalah Proteus
mirabilis, Klebsiella pneumonia, Klebsiella oksitoka, Proteus vulgaris, Pseudomonas
aeroginosa, Enterobakter aerogenes, dan Morganella morganii, Stafilokokus, dan
Enterokokus.

Pada ISK kompleks, sering ditemukan kuman yang virulensinya rendah seperti
Pseudomonas, golongan Streptokokus grup B, Stafilokokus aureus atau
epidermidis.Haemofilus influenzae dan parainfluenza dilaporkan sebagai penyebab
ISK pada anak. Kuman ini tidak dapat tumbuh pada media biakan standar sehingga
sering tidak diperhitungkan sebagai penyebab ISK.Bila penyebabnya Proteus, perlu
dicurigai kemungkinan batu struvit (magnesium- ammonium-fosfat) karena kuman
Proteus menghasilkan enzim urease yang memecah ureum menjadi amonium,
sehingga pH urin meningkat menjadi 8-8,5. Pada urin yang alkalis, beberapa elektrolit
seperti kalsium, magnesium, dan fosfat akan mudah mengendap

Patofisiologi
Patofisiologi infeksi saluran kemih (ISK) umumnya melibatkan infeksi bakteri yang
dapat terjadi melalui jalur ascending atau hematologi dan limfatik.  E.Coli adalah
bakteri yang paling umum untuk menyebabkan infeksi seluran kemih.
Patofisiologi ISK melalui jalur hematogen melibatkan mikroorganisme
seperti Staphylococcus aureus, Candida sp., Salmonella sp. dan Mycobacterium
tuberculosis, yang menyebabkan infeksi primer ditempat lain pada tubuh manusia.
Ginjal merupakan lokasi yang sering ditemukan abses pada pasien dengan bakterimia
atau endokarditis yang disebabkan oleh bakteri gram positif, Staphylococcus Aureus
Patofisiologi ISK melalui jalur limfatik sangat jarang terjadi dengan bukti kejadian
yang sedikit. Sedangkan jalur ascending adalah yang paling sering.

Gambar 8. Patogenesis infeksi saluran kemih.

Diagnosis
Manifestasi klinis ISK pada anak bervariasi, tergantung pada usia, tempat infeksi
dalam saluran kemih, dan beratnya infeksi atau intensitas reaksi peradangan. Sebagian
ISK pada anak merupakan ISK asimtomatik. Pada bayi, gejala klinik ISK juga tidak
spesifik dan dapat berupa demam, nafsu makan berkurang, sering menangis, kolik,
muntah, diare, ikterus, distensi abdomen, penurunan berat badan, dan gagal tumbuh.
Infeksi saluran kemih perlu dipertimbangkan pada semua bayi dan anak berumur 2
bulan hingga 2 tahun dengan demam yang tidak jelas penyebabnya. Infeksi saluran
kemih pada kelompok umur ini terutama yang dengan demam tinggi harus dianggap
sebagai pielonefritis. Pada anak besar gejala klinik biasanya lebih ringan, dapat
berupa gejala lokal saluran kemih berupa polakisuria, disuria, urgency, frequency,
ngompol. Dapat juga ditemukan sakit perut, sakit pinggang, atau demam tinggi.18

1.5.5 Tuberkulosis
Definisi dan Etiologi
Tuberkulosis paru (Tb paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang
penyakit parenkim paru. Nama tuberkulosis berasal dari tuberkel yang berarti tonjolan
kecil dan keras yang terbentuk waktu sistem kekebalan membangun tembok
mengelilingi bakteri dalam paru. Tb paru ini bersifat menahun dan secara khas
ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. Tb paru
dapat menular melalui udara, waktu seseorang dengan Tb aktif pada paru batuk,
bersin atau bicara. Tb Suatu penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
Mycrobacterium Tuberculosis.Sebagian bersar kuman tuberculosis menyerang paru
tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lainnya.

Patofisiologi

M. tuberculosis yang mencapai permukaan alveoli biasanya diinhalasi sebagai


suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil karena gumpalan yang lebih besar
cenderung tertahan di rongga hidung dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada
di ruang alveolus di bagian bawah lobus atau bagian atas lobus bakteri M.
tuberculosis ini membangkitkan reaksi peradangan. Lekosit polimorfonuklear tampak
pada tempat tadi dan mefagosit bakteri tetapi tidak membunuh organisme tersebut.
Sesudah hari pertama maka lekosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang
akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala – gejala pneumonia akut. Pneumonia
seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya tanpa menimbulkan kerusakan jaringan
paru atau biasa dikatakan proses dapat berjalan terus dan bakteri terus difagosit tau
berkembang biak di dalam sel. Bakteri juga menyebar melalui kelenjar limfe regional.
Makrofag yang mengalami infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu
sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini
biasanya berlangsung 10 – 20 hari. Nekrosis bagian sentral lesi memberikan
gambaran yang relative padat seperti keju, lesi nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa.
Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di sekitarnya yang
terdiri dari epilteloid dan fibroblast menimbulkan respon yang berbeda. Jaringan
granulasi menjadi lebih fibrosa, membentuk jaringan parut yang akhirnya membentuk
suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel.

Lesi primer paru – paru disebut focus ghon dan gabungan terserang kelenjar
limfe regional dan lesi primer dinamakan komplek ghon. Komplek ghon yang
mengalami perkapuran ini dapat dilihat pada orang sehat yang mengalami
pemeriksaan radiogram rutin. Respon lain yang terjadi pada daerah nekrosis adalah
pencairan di mana bahan cair lepas ke dalam bronkus dan menimbulkan kavitas.
Materi tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk ke percabangan
treakeobronkial. Proses ini dapat terulang kembali pada bagian lain dari paru atau
bakteri M. tuberculosis dapat terbawa ke laring, telinga tengah atau usus. Kavitas
kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan parut
fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh
jaringan parut yang tedapat dekat dengan perbatasan bronkus. Bahan perkejuan dapat
mengental sehingga tidak mengalir melalui saluran yang ada dan lesi mirip dengan
lesi berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan ini tidak dapat menimbulkan gejala dalam
waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat
peradangan aktif. Penyakit dapat menyebar melalui saluran limfe atau pembuluh
darah ( limfohematogen ). Organisme yang lolos dari kelenjar limfe akan mencapai
aliran darah dalam jumlah lebih kecil yang kadang – kadang dapat menimbulkan lesi
pada berbagai organ lain ( ekstrapulmoner ). Penyebaran hematogen merupakan suatu
fenomena akut yang biasanya menyebabkan tuberkulosis milier. Hal ini terjadi bila
focus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk ke dalam
sistem vaskuler dan tersebar ke dalam sistem vaskuler ke organ – organ tubuh

Gambar 9. Patofisiologi Tuberkulosis

Diagnosis

Diagnosis TB secara teoritis berdasarkan atas

a. Anamnesa

Anamnesa suspek TB dengan keluhan umum ( malaise, anorexia, berat badan turun, cepat
lelah ), keluhan karena infeksi kronik ( keringat pada malam hari), keluhan karena ada proses
patologis di paru ( batuk lebih dari 2 minggu, batuk bercampur darah, sesak nafas, demam
dan nyeridada)

b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan memeriksa fungsi pernafasan antara lain frekuensi
pernafasan, jumlah dan warna dahak, frekuensi batuk serta pengkajian nyeri dada. Pengkajian
paru – paru terhadap konslidasi dengan mengevaluasi bunyi nafas, fremitus serta hasil
pemeriksaan perkusi.

c. Tes Tuberkulin

Tes ini bertujuan untuk memeriksa kemampuan reaksi hipersensivitas tipe lambat yang
mencerminkan potensi sistem imun seseorang khususnya terhadap M. tuberculosis. Pada
seseorang belum terinfeksi M. tuberculosis, sistem imunitas seluler tentunya belum
terangsang untuk melawan M. tuberculosis maka tes tuberkulin hasilnya negatif. Sebaliknya
bila seseorang pernah terinfeksi M. tuberculosis dalam keadaan normal sistem imun ini sudah
terangsang secara efektif 3 – 8 minggu setelah infeksi primer dan tes tuberkulin menjadi
positif.

d. Foto Rontgen Paru


Foto rontgen paru memegang peranan penting karena berdasar letak, bentuk,

luas dan konsistensi kelainan dapat diduga adanya lesi TB. Foto rontgen paru dapat
menggambarkan secara objektif kelainan anatomic paru dan kelainan – kelainan bervariasi
mulai dari bintik kapur, garis fibrotic, bercak infiltrate, penarikan trakea, kavitas. Kelainan ini
dapat berdiri sendiri atau ditemukan bersama – sama.

e. Pemeriksaan Serologi
Berbeda dengan tes tuberkulin, tes serologi menilai Sistem Imunitas Humoral

( SIH ) khususnya kemampuan produksi antibodi dari kelas IgG terhadap sebuah antigen
dalam M. tuberculosis. Bila seseorang belum pernah terinfeksi M. tuberculosis, SIH- nya
belum diaktifkan maka tes serologi negatif. Sebaliknya bila seseorang sudah pernah terinfeksi
M. tuberculosis, SIH- nya sudah membentuk IgG tertentu sehingga hasil tes akan positif.
f. Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi meliputi pemeriksaan dahak, sekret bronkus dan

bahan aspirasi cairan pleura. Pemeriksaan dahak antara lain pemeriksaan mikroskopis, kultur
dan tes resistensi. Tentunya nilai tertinggi pemeriksaan dahak adalah hasil kultur yang positif,
yakni yang tumbuh adalah M. tuberculosis yang sesungguhnya. Namun kultur ini tidak dapat
dilakukan di semua laboratorium di Indonesia dan pemeriksaan ini cukup mahal dan
memakan waktu yang lama sekitar 3 minggu. Oleh sebab itu pemeriksaan dahak secara
mikroskopis sudah dianggap cukup untuk menentukan diagnosis TB dan sudah dibenarkan
pemberian pengobatan dalam rangka penyembuhan penderita TB (Danusantoso, 2012)

Dalam upaya pengendalian TB secara nasional maka diagnosis TB paru untuk orang dewasa
ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis yaitu pemeriksaan mikroskopis
langsung, biakan dan tes cepat. Apabila pemeriksaan secara bakterilogis negatif maka
penegakkan diagnosis TB dengan pemeriksaan foto toraks. Tidak dibenarkan mendiagnosis
TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja karena foto toraks tidak selalu
memberikan gambaran yang spesifik

pada TB paru dan tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan tes tuberkulin saja. Untuk
kepentingan diagnosis dengan cara pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung dari
penderita TB dengan contoh uji dahak SPS atau pada anak menggunakan skoring TB

Gambar 10. Skoring TB .22

1.5.6 Pneumonia
Definisi dan Etiologi

pneumonia menggambarkan keadaan paru apapun, tempat alveolus biasanya terisi


dengan cairan dan sel darah (Gyuton, 1996). Pneumonia adalah penyakit infeksi akut
yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup
bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan
gangguan pertukaran gas setempat . Neonatus berisiko terkena bakteri patogen yang
ada di jalan lahir, dan ini termasuk organisme seperti streptokokus grup B, Klebsiella,
Escherichia coli, dan Listeria monocytogenes. Streptococcus pneumoniae,
Streptococcus pyogenes, dan Staphylococcus aureus dapat diidentifikasi pada
pneumonia neonatal onset lambat. Virus adalah penyebab utama pneumonia pada bayi
dan balita yang berusia antara 30 hari dan 2 tahun. Pada anak-anak berusia 2 hingga 5
tahun, virus pernapasan juga merupakan yang paling umum. Pneumonia mikoplasma
sering terjadi pada anak-anak dalam rentang usia 5 hingga 13 tahun.26,27

Patofisiologi

Pneumonia adalah hasil dari proliferasi patogen mikrobial di alveolar dan respons
tubuh terhadap patogen tersebut. Banyak cara mikroorganisme memasuki saluran
pernapasan bawah. Salah satunya adalah melalui aspirasi orofaring. Aspirasi dapat
terjadi pada kaum geriatri saat tidur atau pada pasien dengan penurunan kesadaran.
Melalui droplet yang teraspirasi banyak patogen masuk. Pneumonia sangat jarang
tersebar secara hematogen.

Faktor mekanis host seperti rambut nares, turbinasi dan arsitektur trakeobronkial yang
bercabang cabang mencegah mikroorganisme dengan mudah memasuki saluran
pernapasan. Faktor lain yang berperan adalah refleks batuk dan refleks tersedak yang
mencegah aspirasi. Flora normal juga mencegah adhesi mikroorganisme di orofaring.

Saat mikroorganisme akhirnya berhasil masuk ke alveolus, tubuh masih memiliki


makrofag alveolar. Pneumonia akan muncul saat kemampuan makrofag membunuh
mikroorganisme lebih rendah dari kemampuan mikroorganisme bertahan hidup.
Makrofag lalu akan menginisiasi repons inflamasi host. Pada saat ini lah manifestasi
klinis pneumonia akan muncul. Respons inflamasi tubuh akan memicu penglepasan
mediator inflamasi seperti IL (interleukin) 1 dan TNF ( Tumor Necrosis Factor) yang
akan menghasilkan demam. Neutrofil akan bermigrasi ke paru paru dan menyebabkan
leukositosis perifer sehingga meningkatkaan sekresi purulen. Mediator inflamasi dan
neutrofil akan menyebabkan kebocoran kapiler alveolar lokal. Bahkan eritrosit dapat
keluar akibat kebocoran ini dan menyebabkan hemoptisis. Kebocoran kapiler ini
menyebabkan penampakan infiltrat pada hasil radiografi dan rales pada auskultasi
serta hipoxemia akibat terisinya alveolar.

Pada keadaan tertentu bakteri patogen dapat menganggu vasokonstriksi hipoksik yang
biasanya muncul pada alveoli yang terisi cairan hal ini akan menyebabkan hipoksemia
berat. Jika proses ini memberat dan menyebabkan perubahan mekanisme paru dan
volume paru dan shunting aliran darah sehingga berujung pada kematian.

Gambar 13. Patofisiologi Pneumonia

Diagnosis
Batuk atau sulit bernafas diikuti dengan minimal 1 dari tanda dibawah ini:
- Nafas cepat:
Usia 2-11 bulan : lebih dari 50x per menit
Usia 1-5 tahun : lebih dari 40x per menit
- Tarikan pada dinding dada bawah
Selain itu, terdapat crackles atau pleural rub yang dapat didengarkan saat auskultasi.
Periksa juga bahwa tidak terdapat tanda dari pneumonia berat yaitu seperti:
- Saturasi oksigen < 90% pada pulse oximetry atau sianosis sentral
- Distress pernapasan berat
- Tidak dapat makan atau minum, atau selalu muntah
- Kejang, letargi atau penurunan kesadaran
- Pada auskultasi ditemukan penurunan suara napas bronkial atau adanya tanda
efusi pleural atau empyema.
Selain itu terdapat juga beberapa pemeriksaan tambahan yang dapat membantu
diagnosis yaitu radiologi dada yang dapat memberikan kesan konsolidasi pada paru.3,28

1.5.7 Campak
Definisi dan Etiologi

Campak disebabkan oleh paramyxovirus, virus dengan rantai tunggal RNA yang
memiliki satu tipe antigen. Manusia merupakan satu-satunya pejamu alami bagi
penyakit ini. Virus campak mengenai traktus respiratorius atas dan kelenjar limfe
regional dan menyebar secara sistemik selama viremia yang berlangsung singkat
dengan titer virus yang rendah

Campak adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh RNA virus genus
Morbillivirus, famili Paramyxoviridae. Virus ini dari famili yang sama dengan virus
gondongan (mumps), virus parainfluenza, virus human metapneumovirus, dan RSV
(Respiratory Syncytial Virus).29

Patofisiologi

Penyebaran infeksi terjadi jika terhirup droplet di udara yang berasal dari penderita. Virus
campak masuk melalui saluran pernapasan dan melekat di sel-sel epitel saluran napas.
Setelah melekat, virus bereplikasi dan diikuti dengan penyebaran ke kelenjar limfe regional.
Setelah penyebaran ini, terjadi viremia primer disusul multiplikasi virus di sistem
retikuloendotelial di limpa, hati, dan kelenjar limfe. Multiplikasi virus juga terjadi di tempat
awal melekatnya virus. Pada hari ke-5 sampai ke-7 infeksi, terjadi viremia sekunder di
seluruh tubuh terutama di kulit dan saluran pernapasan. Pada hari ke-11 sampai hari ke- 14,
virus ada di darah, saluran pernapasan, dan organ-organ tubuh lainnya, 2-3 hari kemudian
virus mulai berkurang. Selama infeksi, virus bereplikasi di sel-sel endotelial, sel-sel epitel,
monosit, dan makrofag

Gambar 14. Patofisiologi campak


Gejala Klinis
Gejala klinis terjadi setelah masa inkubasi, terdiri dari tiga stadium:
1. Stadium prodromal: berlangsung kira- kira 3hari (kisaran2-4hari),ditandai

dengan demam yang dapat mencapai 39,50C ± 1,10C. Selain demam, dapat
timbul gejala berupa malaise, coryza (peradangan akut membran mukosa rongga
hidung), konjungtivitis (mata merah), dan batuk. Gejala-gejala saluran pernapasan
menyerupai gejala infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh virus-virus
lain. Konjungtivitis dapat disertai mata berair dan sensitif terhadap cahaya
(fotofobia). Tanda patognomonik berupa enantema mukosa buccal yang disebut
Koplik spots yang muncul pada hari ke-2 atau ke-3 demam.
berbentuk tidak teratur dan kecil berwarna merah terang, di tengahnya didapatkan
noda putih keabuan. Timbulnya bercak Koplik ini hanya sebentar, kurang lebih 12
jam, sehingga sukar terdeteksi dan biasanya luput saat pemeriksaan klinis.
2. Stadium eksantem: timbul ruam makulopapular dengan penyebaran sentrifugal
yang dimulai dari batas rambut di belakang telinga, kemudian menyebar ke wajah,
leher, dada, ekstremitas atas, bokong, dan akhirnya ekstremitas bawah. Ruam ini

dapat timbul selama 6-7 hari. Demam umumnya memuncak (mencapai 400C)
pada hari ke 2-3 setelah munculnya ruam. Jika demam menetap setelah hari ke-3
atau ke-4 umumnya mengindikasikan adanya komplikasi
3. Stadium penyembuhan (konvalesens): setelah 3-4 hari umumnya ruam
berangsur menghilang sesuai dengan pola timbulnya. Ruam kulit menghilang dan
berubah menjadi kecoklatan yang akan menghilang dalam 7-10 hari.29
Gambar 15. Karakteristik campak.29
Diagnosis
Anamnesis berupa demam, batuk, pilek, mata merah, dan ruam yang mulai timbul dari
belakang telinga sampai ke seluruh tubuh. Pemeriksaan fisik berupa suhu badan tinggi
(>380C), mata merah, dan ruam makulopapular. Pemeriksaan darah berupa leukopenia dan
limfositopenia.imunoglobulin M (IgM) campak juga dapat membantu diagnosis dan biasanya
sudah dapat terdeteksi sejak hari pertama dan ke-2 setelah timbulnya ruam.IgM campak ini
dapat tetap terdeteksi setidaknya sampai 1 bulan sesudah infeksi.

1.5.9 Demam rematik


Definisi dan Etiologi
Demam reumatik adalah sindrom klinis yang menyertai faringitis oleh kuman ß-Steptokokuks
hemolikus grup A. Penyakit jantung reumatik adalah gejala sisa berupa cacat pada katup
akibat demam reumatik sebelumnya.

Patofisiologi

Streptococcus beta hemolyticus grup A dapat menyebabkan penyakit supuratif misalnya


faringitis, impetigo, selulitis, miositis, pneumonia, sepsis nifas dan penyakit non supuratif
misalnya demam rematik, glomerulonefritis akut. Setelah inkubasi 2-4 hari, invasi
Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring menghasilkan respon inflamasi akut yang
berlangsung 3-5 hari ditandai dengan demam, nyeri tenggorok, malaise, pusing dan
leukositosis.4 Pasien masih tetap terinfeksi selama berminggu- minggu setelah gejala
faringitis menghilang, sehingga menjadi reservoir infeksi bagi orang lain. Kontak langsung
per oral atau melalui sekret pernafasan dapat menjadi media trasnmisi penyakit. Hanya
faringitis Streptococcus beta hemolyticus grup A saja yang dapat mengakibatkan atau
mengaktifkan kembali demam rematik.

Penyakit jantung rematik merupakan manifestasi demam rematik berkelanjutan yang


melibatkan kelainan pada katup dan endokardium. Lebih dari 60% penyakit rheumatic fever
akan berkembang menjadi rheumatic heart disease.Adapun kerusakan yang ditimbulkan pada
rheumatic heart disease yakni kerusakan katup jantung akan menyebabkan timbulnya
regurgitasi. Episode yang sering dan berulang penyakit ini akan menyebabkan penebalan
pada katup, pembentukan skar (jaringan parut), kalsifikasi dan dapat berkembang menjadi
valvular stenosis.

Sebagai dasar dari rheumatic heart disease, penyakit rheumatic fever dalam patogenesisnya
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun beberapa faktor yang berperan dalam patogenesis
penyakit rheumatic fever antara lain faktor organisme, faktor host dan faktor sistem imun.

Bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A sebagai organisme penginfeksi memiliki


peran penting dalam patogenesis rheumatic fever. Bakteri ini sering berkolonisasi dan
berproliferasi di daerah tenggorokan, dimana bakteri ini memiliki supra-antigen yang dapat
berikatan dengan major histocompatibility complex kelas 2 (MHC kelas 2) yang akan
berikatan dengan reseptor sel T yang apabila teraktivasi akan melepaskan sitokin dan menjadi
sitotosik. Supra-antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A yang terlibat pada
patogenesis rheumatic fever tersebut adalah protein M yang merupakan eksotoksin pirogenik
Streptococcus. Selain itu, bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A juga menghasilkan
produk ekstraseluler seperti streptolisin, streptokinase, DNA-ase, dan hialuronidase yang
mengaktivasi produksi sejumlah antibodi autoreaktif. Antibodi yang paling sering adalah
antistreptolisin-O (ASTO) yang tujuannya untuk menetralisir toksin bakteri tersebut. Namun
secara simultan upaya proteksi tubuh ini juga menyebabkan kerusakan patologis jaringan
tubuh sendiri. Tubuh memiliki struktur yang mirip dengan antigen bakteri Streptococcus beta
hemolyticus grup A sehingga terjadi reaktivitas silang antara epitop organisme dengan host
yang akan mengarahkan pada kerusakan jaringan tubuh.

Kemiripan atau mimikri antara antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A
dengan jaringan tubuh yang dikenali oleh antibodi adalah: Urutan asam amino yang identik,
Urutan asam amino yang homolog namun tidak identik, Epitop pada molekul yang berbeda
seperti peptida dan karbohidrat atau antara DNA dan peptida. Afinitas antibodi reaksi silang
dapat berbeda dan cukup kuat untuk dapat menyebabkan sitotoksik dan menginduksi sel–sel
antibodi reseptor permukaan.

Epitop yang berada pada dinding sel, membran sel, dan protein M dari streptococcus beta
hemolyticus grup A memiliki struktur imunologi yang sama dengan protein miosin,
tropomiosin, keratin, aktin, laminin, vimentin, dan N- asetilglukosamin pada tubuh manusia.
Molekul yang mirip ini menjadi dasar dari reaksi autoimun yang mengarah pada terjadinya
rheumatic fever. Hubungan lainnya dari laminin yang merupakan protein yang mirip miosin
dan protein M yang terdapat pada endotelium jantung dan dikenali oleh sel T anti miosin dan
anti protein M. Disamping antibodi terhadap N-asetilglukosamin dari karbohidrat,
Streptococcus beta hemolyticus grup A mengalami reaksi silang dengan jaringan katup
jantung yang menyebabkan kerusakan valvular.

Disamping faktor organisme penginfeksi, faktor host sendiri juga memainkan peranan dalam
perjalanan penyakit rheumatic fever. Sekitar 3-6% populasi memiliki potensi terinfeksi
rheumatic fever. Penelitian tentang genetik marker menunjukan bahwa gen human leukocyte-
associated antigen (HLA) kelas II berpotensi dalam perkembangan penyakit rheumatic fever
dan rheumatic heart disease. Gen HLA kelas II yang terletak pada kromosom 6 berperan
dalam kontrol imun respon. Molekul HLA kelas II berperan dalam presentasi antigen pada
reseptor T sel yang nantinya akan memicu respon sistem imun selular dan humoral. Dari alel
gen HLA kelas II, HLA-DR7 yang paling berhubungan dengan rheumatic heart disease pada
lesi-lesi valvular.

Lesi valvular pada rheumatic fever akan dimulai dengan pembentukan verrucae yang disusun
fibrin dan sel darah yang terkumpul di katup jantung. Setelah proses inflamasi mereda,
verurucae akan menghilang dan meninggalkan jaringan parut. Jika serangan terus berulang
veruccae baru akan terbentuk didekat veruccae yang lama dan bagian mural dari
endokardium dan korda tendinea akan ikut mengalami kerusakan.

Kelainan pada valvular yang tersering adalah regurgitasi katup mitral (65- 70%
kasus).Perubahan struktur katup diikuti dengan pemendekan dan penebalan korda tendinea
menyebabkan terjadinya insufesiensi katup mitral. Karena peningkatan volume yang masuk
dan proses inflamasi ventrikel kiri akan membesar akibatnya atrium kiri akan berdilatasi
akibat regurgitasi darah. Peningkatan tekanan atrium kiri ini akan menyebabkan kongesti
paru diikuti dengan gagal jantung kiri. Apabila kelainan pada mitral berat dan berlangsung
lama, gangguan jantung kanan juga dapat terjadi.

Kelainan katup lain yang juga sering ditemukan berupa regurgitasi katup aorta akibat dari
sklerosis katup aorta yang menyebabkan regurgitasi darah ke ventrikel kiri diikuti dengan
dilatasi dan hipertropi dari ventrikel kiri.Di sisi lain, dapat terjadi stenosis dari katup mitral.
Stenosis ini terjadi akibat fibrosis yang terjadi pada cincin katup mitral, kontraktur dari daun
katup, corda dan otot papilari. Stenosis dari katup mitral ini akan menyebabkan peningkatan
tekanan dan hipertropi dari atrium kiri, menyebabkan hipertensi vena pulmonal yang
selanjutnya dapat menimbulkan kelainan jantung kanan.

Gambar 16. Patofisiologi Demam Rematik

Gejala Klinis
Pada umumnya, manifestasi klinis demam rematik pada anak terjadi beberapa minggu
setelah terinfeksi Streptokokus beta hemolitikus grup A (GAS). Manifestasi klinis
bervariasi dan secara garis besar dibagi menjadi gejala mayor dan gejala minor (table
2)

Diagnosis
Tabel 2. Kriteria Diagnosis32

Diagnosis demam rematik pertama ditegakkan bila ditemukan 2 kriteria mayor atau 1
kriteria mayor + 2 kriteria minor. Pada pasien yang mengalami kekambuhan,
diagnosis ditegakkan bila ditemukan 2 kriteria mayor atau 1 mayor + 2 minor atau 3
minor.
Selain itu, untuk diagnosis dan evaluasi demam rematik juga diperlukan
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan fungsi
jantung.32

1.5.10 Demam Berdarah


Definisi dan Etiologi

Demam dengue / DF dan DBD atau DHF adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang
disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik.
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dari kelompok arbovirus B, yaitu
arthropod-born envirus atau virus yang disebarkan oleh artropoda. Vector utama
penyakit DBD adalah nyamuk aedes aegypti

Patofisiologi

Virus dengue yang telah masuk ketubuh penderita akan menimbulkan viremia. Hal
tersebut akan menimbulkan reaksi oleh pusat pengatur suhu di hipotalamus sehingga
menyebabkan ( pelepasan zat bradikinin, serotinin, trombin, Histamin) terjadinya:
peningkatan suhu. Selain itu viremia menyebabkan pelebaran pada dinding pembuluh
darah yang menyebabkan perpindahan cairan dan plasma dari intravascular ke
intersisiel yang menyebabkan hipovolemia. Trombositopenia dapat terjadi akibat dari,
penurunan produksi trombosit sebagai reaksi dari antibodi melawan virus.

Pada pasien dengan trombositopenia terdapat adanya perdarahan baik kulit seperti
petekia atau perdarahan mukosa di mulut. Hal ini mengakibatkan adanya kehilangan
kemampuan tubuh untuk melakukan mekanisme hemostatis secara normal. Hal
tersebut dapat menimbulkan perdarahan dan jika tidak tertangani maka akan
menimbulkan syok. Masa virus dengue inkubasi 3-15 hari, rata-rata 5-8 hari.virus
akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aeygypty. Pertama tama
yang terjadi adalah viremia yang mengakibatkan penderita menalami demam, sakit
kepala, mual, nyeri otot pegal pegal di seluruh tubuh, ruam atau bintik bintik merah
pada kulit, hiperemia tenggorokan dan hal lain yang mungkin terjadi pembesaran
kelenjar getah bening, pembesaran hati (hepatomegali).

Kemudian virus bereaksi dengan antibodi dan terbentuklah kompleks virus antibodi.
Dalam sirkulasi dan akan mengativasi sistem komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5
akan akan di lepas C3a dan C5a dua peptida yang berdaya untuk melepaskan histamin
dan merupakan mediator kuat sebagai faktor meningkatnya permeabilitas dinding
kapiler pembuluh darah yang mengakibtkan terjadinya pembesaran plasma ke ruang
ekstraseluler. Pembesaran plasma ke ruang eksta seluler mengakibatkan kekurangan
volume plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi dan hipoproteinemia serta efusi
dan renjatan (syok). Hemokonsentrasi (peningatan hematokrit >20%) menunjukan
atau menggambarkan adanya kebocoran (perembesan) sehingga nilai hematokrit
menjadi penting untuk patokan pemberian cairan intravena . Adanya kebocoran
plasma ke daerah ekstra vaskuler di buktikan dengan ditemukan cairan yang
tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritonium, pleura, dan pericardium yang
pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus. Setelah pemberian
cairan intravena, peningkatan jumlah trombosit menunjukan kebocoran plasma telah
teratasi, sehingga pemberian cairan intravena harus di kurangi kecepatan dan
jumlahnya untuk mencegah terjadi edema paru dan gagal jantung, sebaliknya jika
tidak mendapat cairan yang cukup, penderita akan mengalami kekurangan cairan yang
akan mengakibatkan kondisi yang buruk bahkan bisa mengalami renjatan. Jika
renjatan atau hipovolemik berlangsung lam akan timbul anoksia jaringan, metabolik
asidosis dan kematian apabila tidak segera diatasi dengan baik

Gambar 17. Imunopatogenesis demam berdarah

Gejala Klinis

Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimptomatik atau dapat berupa
demam yang tidak khas dan manifestasi perdarahan baik yang timbul secara spontan
maupun setelah uji torniquet.

Gejala klinis berupa demam tinggi mendadak yang berlangsung selama 2-7 hari.
Manifestasi perdarahan Uji tourniquet positif , perdarahan spontan berbentuk peteki,
purpura, ekimosis, epitaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena, Hepatomegali,
Renjatan, nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (<20mmHg) atau nadi tak
teraba, kulit dingin, dan anak gelisah.

Diagnosis
Pemeriksaan darah rutin dapat dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam
dengue. Hapusan darah tepi juga dilakukan untuk melihat adanya limfositosis relative
disertai gambaran limfosit plasma biru. Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi
virus ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan Teknik RT-PCR. Namun
karena Teknik ini rumit, tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifikt
erhadap dengue berupa antibody total, IgM maupun IgG lebih banyak digunakan.
Pada demam berdarah, leukosit bias normal atau menurun, trombosit umumnya
menurun pada hari ke 3-8, kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya
peningkatan hematocrit lebih dari 20% dari hematocrit awal. Dapat juga dilakukan
pemeriksaan hemostasis, protein/albumin, SGOT/SGPT, urem kreatinin, dan
elektrolit.34

Daftar Pustaka

1. Barbi E, Marzulllo P, Neri E, Naviglio S, Krauss BS. Fever in children: pearls and
pitfalls. Children. 2017
2. Chusid MJ. Fever of unknown origin in childhood. Pediatr Clin N Am. 2017
3. World Health Organization. Guidelines for the management of common childhood
illnesses. 2013
4. Ogoina D. Fever, fever patterns and diseases called ‘fever’ – a review. J Infect Publ
Health. 2011
5. Hamilton JL, John SP. Evaluation of fever in infants and young children. American
Family Physician. 2014
6. Walter EJ, Hanna S-Jumma, Carraretto M, Furni L. The pathophysiological basis and
consequences of fever. Critical Care. 2016
7. Sherwood, L. 2014. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC
8. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman pengendalian demam tifoid. 2016
9. Kliegman RM, Blum NJ, Shah SS, Geme ST, Tasker RC, Wilson KM, et acl.
Textbook of pediatrics. New York: Elsevier;2020
10. Paul UK, Bandyopadhyay A. Typhoid fecer: a review. Int J Adv Med. 2017
11. Brusch JL. Pediatric typhoid fever. 2019. Available from URL
https://emedicine.medscape.com/article/231135-overview [accessed on Oct, 2nd 2020]
12. Cohee LM, Laufer MK. Malaria in children. Pediatr Clin North Am. 2017
13. Fitriany J, Sabiq A. Malaria. J Averrous. 2018
14. Kafai NM, John AR. Malaria in children. Infect Dis Clin N Am. 2018
15. Leung AKC,Leung TNH.Febrile seizures: an overview. Drugs in Context. 2018
16. Chung S. Febrile seizures. Korean J Pediatr. 2014
17. Goldberg B, Jantausch B. Urinary tract infection. Dalam: Kher KK, Schnaper HM,
Breenbaum LA, penyunting. Clinical pediatric nephrology. Edisi ke-3. New York:
CRC PRESS;2017;h.967-91.
18. Pardede SO. Infeksi pada ginjal dan saluran kemih anak: manifestasi klinis dan
tatalaksana. Sari Pediatri. 2018
19. Fisher DJ. Pediatric urinary tract infection. 2019. Available from URL:
https://emedicine.medscape.com/article/969643-overview#a4 [accessed on Oct, 2nd
2020]
20. Glaziou P, Floyd K, Raviglione MC. Global Epidemiology of Tuberculosis. Semin
Respir Crit Care Med.2018;39:271-85
21. Kemenkes RI. Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB anak. 2016
22. World Health Organization. Guidance for national tuberculosis programmes on the
management of tuberculosis in children. 2nd ed. 2014
23. Thomas TA. Tuberculosis in children. Pediatr Clin North Am. 2017
24. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus diagnosis dan tatalaksana sepsis pada anak.
2016.
25. Gyawali B, Ramakrishna K,Dhamoon AS. Sepsis: the evolution in definition,
pathophysiology and management. SAGE Open Med. 2019
26. Gereige RS, Laufer PB. Pneumonia. Pediatr Rev. 2013
27. Ebeledike C, Ahmad T. Pediatric pneumonia. 2020. Available from URL:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK536940/ [accessed on Oct, 2nd 2020]
28. Wojsyk I-Banaszak, Breborowicz A. Pneumonia in children. Resp Dis Infect. 2013
29. Halim RG. Campak pada anak. CDK. 2016

30. Maldonado YA. Rubeola virus (measles and subacute sclerosing panencephalitis). In:
Long SS, Pickering LK, Prober CG, editors. Principles and practice of pediatric
infectious diseases. 4th ed. Churchill Livingstone: Elsevier Inc.; 2012. p. 1137-44.

31. The American Academy of Pediatrics. Measles. Early release from red book® 2015
Report of the Committee on Infectious Diseases [Internet]. 2015 February 20 [cited
2020 Oct 2]. Available from:
http://redbook.solutions.aap.org/DocumentLibrary/2015RedBookMeasles.pdf
32. Dewi F, Pamela. Diagnosis demam rematik pada anak. CDK. 2019
33. Ulfi L. Penyebab dan dampak penyakit ISPA(Infeksi saluran pernafasan akut). Medika.
2014

34. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit dalam
jilid I. VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014:1132-53.

Anda mungkin juga menyukai