DISUSUN OLEH :
RISKA IKRAYANTY, S.Kep
17. 04 021
CI LAHAN CI INSTITUSI
A. MASALAH UTAMA
Sensori Persepsi : Halusinasi
B. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Definisi Halusinasi
Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana klien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu pencerapan
panca indera tanpa ada rangsangan dari luar (Maramis, 1998). Suatu
penghayatan yang dialami seperti melalui panca indera tanpa stimulus
eksternal; persepsi palsu. Berbeda dengan ilusi dimana klien mengalami
persepsi yang salah terhadap stimulus, salah persepsi pada halusinasi
terjadi tanpa adanya stimulus eskternal yang terjadi. Stimulus internal
sipersepsikan sebagai suatu yang nyata ada leh klien (Marami, 1998).
2. Dimensi Halusinasi
Masalah halusinasi berlandaskan atas hakikat keberadaan seorang
individu sebagai mahkluk yang dibangun atas dasar unsure – unsure bio-
psiko-sosio-spiritual sehingga halusiansi dapat dilihat dari lima dimensi
(Stuart dan Laraia, 2005) yaitu:
1) Dimensi Fisik, manusia dibangun oleh indera untuk menanggapi
rangsangan eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi
ini dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan
yang luar biasa, penggunaan obat – obatan, demam hingga delirium,
intoksikasi alkohol, dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
2) Dimensi Emosional, perasaan cemas yeng berlebihan atas dasar
problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu
terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan
menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut
hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap
ketakutan terebut.
3) Dimensi Intelektual, dalam dimensi intelektual ini menerangkan
bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya
penurunan fungsi ego. Pada awalnya, halusinasi merupakan usaha dari
ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan
suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil
seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku
klien.
4) Dimensi Social, dimensi social pada individu dengan halusinasi
menunjukkan adanya kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik
dengan halusinasinya, seolah – olah ia merupakan tenpat untuk
memenuhi kebutuhan akan interkasi social, kontorl diri, dan harga diri
yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan
sistem kontrol oleh individu tersebut sehingga jika perintah halusinasi
berupa ancaman, maka individu tersebut bisa membahayakan orang
lain. Oleh karena itui, aspek penting dalam melaksanakan intervensi
keperawatan klien dengan menguoayakan suatu proses interaksi yang
menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan serta
mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu
berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.
5) Dimensi spiritual, manusia diciptakan Tuhan sebagai mahkluk social
sehingga interaksi dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang
mendasar. Individu yang mengalami halusinasi cenderung menyendiri
hingga proses diatas tidak terjadi, individu tidak sadar dengan
keberadaannya sehingga halusinasi menjadi sistem kontrol dalam
individu tersebut. Saat halusinasi menguasai diri, individu kehilangan
kontrol kehidupan dirinya (Stuart dan Laraia, 2005).
3. Rentang Respon Halusinasi
Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptive individu yang
berada dalam rentang respon neurobiologist (Stuart dan Laraia, 2005).
Respon Adaptif Respon Maladaptif
7. Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi
(Stuart dan Laraia, 2005) meliputi:
1) Regresi: menjadi malas beraktivitas sehari-hari
2) Proyeksi: mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain atau sesuatu benda.
3) Menarik diri: sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus
interna.
4) Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien.
8. Validasi Informasi Tentang Halusinasi
Validasi informasi tentang halusinasi yang diperlukan meliputi:
1) Isi halusinasi yang dialami oleh klien. Ini dapat dikaji dengan
menanyakan suara siapa yang didengar dan apa yang dikatakan jika
halusinasi yang dialami adalah halusinasi pendengaran. Bentuk
bayangan bagaimana yang dilihat klien bila halusinasinasinya adalah
halusinasi penglihatan, bau apa yang tercium bila halusinasinya adalah
halusinasi penghidu, rasa apa yang dikecap untuk halusinasi
pengecapan, atau merasakan apa dipermukaan tubuh bila mengalami
halusinasi perabaan.
2) Waktu dan frekuensi halusinasi. Ini dapat dikaji dengan menanyakan
kepada klien kapan pengalaman halusinasi muncul, berapa hari sekali,
seminggu atau bulan pengalaman halusinasi itu muncul. Informasi ini
penting untuk mengidentifikasi pencetus halusinasi dan menentukan
bilamana klien perlu diperhatikan saat mengalami halusinasi.
3) Situasi pencetus halusinasi. Perawat perlu mengidentifikasi situasi
yang dialami klien sebelum mengalami halusinasi. Ini dapat dikaji
dengan menanyakan kepada klien perisitiwa atau kejadian yang
dialami sebelum halusinasi ini muncul. Selain itu perawat juga bisa
mnengobservasi apa yang dialami klien menjelang muncul halusinasi
untuk memvalidasi penyataan klien.
4) Respon klien. Untuk menentukan sejauhmana halusinasinya telah
mempengaruhi klien, bisa dikaji dengan menanyakan apayang
dilakukan klien saat mengalami pengalaman halusinasi. Apakah klien
masih bisa mengontrol stimulus halusinasi atau sudah tidak berdaya
lagi terhadap halusinasi (Stuart dan Laraia, 2005).
9. Penatalaksanaan Secara Medis Pada Halusinasi
Penatalaksanaan klien schizofernia yang mengalami halusinasi
adalah dengan pemberian obat – batan dan tindakan lain, (Stuart dan
Laraia, 2005) yaitu:
1) Psikofarmakologis, obat yang lazim digunakan pada gejala halusinasi
pendengaran yang merupakan gejala psikosis pada klien schizofernia
adalah obat anti psikosis. Adapun kelompok yang umum digunakan
adalah Fenotiazin Asetofenazin (Tindal), Klorpromazin (Thorazine),
Flufenazine (Prolixine, Permetil), Mesoridazin (Serentil), Perfenazin
(Trifalon), Prokolorperazin (Compazine), Promazin (Sparine),
Tioridazin (Mellaril), Trifluoperazin (Stelazine), Trifluopromazin
(Vesprin) 60-120 mg, Tioksanten Klorprotiksen (Taractan), Tiotiksen
(Navane) 75-600 mg, Butirofenon Haloperidol (Haloperidol) 1-100
mg, Dibenzoadiazepin Klozapin (Clorazil) 300-900 mg,
Dibenzokasazepin Loksapin (Loxitane) 20-150 mg, Dihidroindolon
Molindone (Moban) 15-225 mg
2) Terapi kejang listrik/Electro Compulsive Therapy (ECT)
3) Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
C. POHON MASALAH
Efek:
Resiko mencederai diri sendiri, orang lain
dan lingkungan
Core problem:
Perubahan sensori persepsi: Halusinasi
Pendengaran
Causa:
Isolasi sosial : Menarik
diri
D. ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN HALUSINASI
Standar asuhan keperawatan atau standar praktik keperawatan mengacu
pada standar praktik professional dan standar kinerja professional. Standar
praktik profesional di Indonesia telah dijabarkan oleh PPNI (2009). Standar
praktik professional tersebut juga mengacu pada proses keperawatan jiwa
yang terdiri dari lima tahap standar yaitu: 1) pengkajian, 2) diagnosis, 3)
perencanaan, 4) pelaksanaan, dan 5) evaluasi (PPNI, 2009).
1. Pengkajian
Menurut Stuart dan Laraia (2005), pengkajian merupakan tahapan
awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri
atas pengumpulan data meliputi data biologis, psikologis, sosial dan
spiritual. Data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat dikelompokkam
menjadi faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stressor,
sumber koping dan kemampuan koping yang dimiliki klien. Berbagai
aspek pengkajian sesuai dengan pedoman pengkajian umum, pada
formulir pengkajian proses keperawatan. Pengkajian menurut Keliat
(2006) meliputi beberapa faktor antara lain:
a. Identitas klien dan penanggung
Yang perlu dikaji yaitu: nama, umur, jenis kelamin, agama, suku,
status, pendidikan, pekerjaan, dan alamat.
b. Alasan masuk rumah sakit
Umumnya klien halusinasi di bawa ke rumah sakit karena keluarga
merasa tidak mampu merawat, terganggu karena perilaku klien dan
hal lain, gejala yang dinampakkan di rumah sehingga klien dibawa ke
rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.
c. Faktor predisposisi
1) Faktor perkembangan terlambat
a) Usia bayi tidak terpenuhi kebutuhan makanan, minum dan
rasa aman.
b) Usia balita, tidak terpenuhi kebutuhan otonomi.
c) Usia sekolah mengalami peristiwa yang tidak terselesaikan.
2) Faktor komunikasi dalam keluarga
a) Komunikasi peran ganda.
b) Tidak ada komunikasi.
c) Tidak ada kehangatan.
d) Komunikasi dengan emosi berlebihan.
e) Komunikasi tertutup.
f) Orang tua yang membandingkan anak – anaknya, orang tua
yang otoritas dan komplik orang tua.
3) Faktor sosial budaya
Isolasi sosial pada yang usia lanjut, cacat, sakit kronis, tuntutan
lingkungan yang terlalu tinggi.
4) Faktor psikologis
Mudah kecewa, mudah putus asa, kecemasan tinggi, menutup diri,
ideal diri tinggi, harga diri rendah, identitas diri tidak jelas, krisis
peran, gambaran diri negatif dan koping destruktif.
5) Faktor biologis
Adanya kejadian terhadap fisik, berupa : atrofi otak, pembesaran
vertikel, perubahan besar dan bentuk sel korteks dan limbik.
6) Faktor genetic
Telah diketahui bahwa genetik schizofrenia diturunkan melalui
kromoson tertentu. Namun demikian kromoson yang keberapa
yang menjadi faktor penentu gangguan ini sampai sekarang masih
dalam tahap penelitian. Diduga letak gen skizofrenia adalah
kromoson nomor enam, dengan kontribusi genetik tambahan
nomor 4,8,5 dan 22. Anak kembar identik memiliki kemungkinan
mengalami skizofrenia sebesar 50% jika salah satunya mengalami
skizofrenia, sementara jika di zygote peluangnya sebesar 15 %,
seorang anak yang salah satu orang tuanya mengalami skizofrenia
berpeluang 15% mengalami skizofrenia, sementara bila kedua
orang tuanya skizofrenia maka peluangnya menjadi 35 %.
d. Faktor presipitasi
1) Kesehatan : Nutrisi dan tidur kurang, ketidaksembangan irama
sirkardian, kelelahan dan infeksi, obat-obatan system syaraf pusat,
kurangnya latihan dan hambatan untuk menjangkau pelayanan
kesehatan.
2) Lingkungan sekitar yang memusuhi, masalah dalam rumah
tangga, kehilangan kebebasan hidup dalam melaksanakan pola
aktivitas sehari-hari, sukar dalam berhubungan dengan orang lain,
isoalsi social, kurangnya dukungan social, tekanan kerja (kurang
terampil dalam bekerja), stigmasasi, kemiskinan, kurangnya alat
transportasi dan ketidakmamapuan mendapat pekerjaan.
3) Sikap : Merasa tidak mampu (harga diri rendah), putus asa (tidak
percaya diri), merasa gagal (kehilangan motivasi menggunakan
keterampilan diri), kehilangan kendali diri (demoralisasi), merasa
punya kekuatan berlebihan, merasa malang (tidak mampu
memenuhi kebutuhan spiritual), bertindak tidak seperti orang lain
dari segi usia maupun kebudayaan, rendahnya kemampuan
sosialisasi, perilaku agresif, perilaku kekerasan, ketidakadekuatan
pengobatan dan ketidak adekuatan penanganan gejala.
4) Perilaku : Respon perilaku klien terhadap halusinasi dapat berupa
curiga, ketakutan, rasa tidak aman, gelisah, bingung, perilaku
merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil
keputusan, bicara inkoheren, bicara sendiri, tidak membedakan
yang nyata dengan yang tidak nyata.
5) Perilaku klien yang mengalami halusinasi sangat tergantung pada
jenis halusinasinya. Apabila perawat mengidentifikasi adanya
tanda –tanda dan perilaku halusinasi maka pengkajian selanjutnya
harus dilakukan tidak hanya sekedar mengetahui jenis halusinasi
saja.
e. Jenis – jenis halusinasi
Keliat Budi Ana, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC,
1999
Keliat BA dan Akemat. 2009. Model praktik Kpeerawatan Profesional Jiwa.
Jakarta. EGC.
Keliat BA. Proses kesehatan jiwa. Edisi 1. Jakarta : EGC. 1999
Maramis, W.F. 1998. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Jakarta : EGC.
Maramis, W.F. 2006. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Ed 9. Surabaya: Airlangga
Unversity Press.
Muhith, A. 2015. Pendidikan Keoerawatan Jiwa (Teori dan aplikasi).Yogyakarta :
ANDI.
Stuart GW, Sundeen, 1995. Buku Saku Keperawatan Jiwa, Jakarta : EGC.
Stuart GW, and Laraia, 12005. Principles and Practice of PsychiatricNursing,
8ed.philadelphia : Elsevier Mosby.