Anda di halaman 1dari 23

Departemen Keperawatan Jiwa

Program Pendidikan Profesi Ners


Stikeses Panakkukang Makassar

LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN Tn.W DENGAN


GANGGUAN SENSORI PERSEPSI : HALUSINASI PENDENGARAN

DISUSUN OLEH :
RISKA IKRAYANTY, S.Kep
17. 04 021

CI LAHAN CI INSTITUSI

( ) (Ns.Muh. Zukri Malik, S.Kep.,M.Kep)

YAYASAN PERAWAT SULAWESI SELATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PANAKKUKANG MAKASSAR
2017/2018
LAPORAN PENDAHULUAN
SENSORI PERSEPSI : HALUSINASI

A. MASALAH UTAMA
Sensori Persepsi : Halusinasi
B. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Definisi Halusinasi
Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana klien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu pencerapan
panca indera tanpa ada rangsangan dari luar (Maramis, 1998). Suatu
penghayatan yang dialami seperti melalui panca indera tanpa stimulus
eksternal; persepsi palsu. Berbeda dengan ilusi dimana klien mengalami
persepsi yang salah terhadap stimulus, salah persepsi pada halusinasi
terjadi tanpa adanya stimulus eskternal yang terjadi. Stimulus internal
sipersepsikan sebagai suatu yang nyata ada leh klien (Marami, 1998).
2. Dimensi Halusinasi
Masalah halusinasi berlandaskan atas hakikat keberadaan seorang
individu sebagai mahkluk yang dibangun atas dasar unsure – unsure bio-
psiko-sosio-spiritual sehingga halusiansi dapat dilihat dari lima dimensi
(Stuart dan Laraia, 2005) yaitu:
1) Dimensi Fisik, manusia dibangun oleh indera untuk menanggapi
rangsangan eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi
ini dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan
yang luar biasa, penggunaan obat – obatan, demam hingga delirium,
intoksikasi alkohol, dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
2) Dimensi Emosional, perasaan cemas yeng berlebihan atas dasar
problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu
terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan
menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut
hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap
ketakutan terebut.
3) Dimensi Intelektual, dalam dimensi intelektual ini menerangkan
bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya
penurunan fungsi ego. Pada awalnya, halusinasi merupakan usaha dari
ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan
suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil
seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku
klien.
4) Dimensi Social, dimensi social pada individu dengan halusinasi
menunjukkan adanya kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik
dengan halusinasinya, seolah – olah ia merupakan tenpat untuk
memenuhi kebutuhan akan interkasi social, kontorl diri, dan harga diri
yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan
sistem kontrol oleh individu tersebut sehingga jika perintah halusinasi
berupa ancaman, maka individu tersebut bisa membahayakan orang
lain. Oleh karena itui, aspek penting dalam melaksanakan intervensi
keperawatan klien dengan menguoayakan suatu proses interaksi yang
menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan serta
mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu
berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.
5) Dimensi spiritual, manusia diciptakan Tuhan sebagai mahkluk social
sehingga interaksi dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang
mendasar. Individu yang mengalami halusinasi cenderung menyendiri
hingga proses diatas tidak terjadi, individu tidak sadar dengan
keberadaannya sehingga halusinasi menjadi sistem kontrol dalam
individu tersebut. Saat halusinasi menguasai diri, individu kehilangan
kontrol kehidupan dirinya (Stuart dan Laraia, 2005).
3. Rentang Respon Halusinasi
Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptive individu yang
berada dalam rentang respon neurobiologist (Stuart dan Laraia, 2005).
Respon Adaptif Respon Maladaptif

1. Pikiran logis 1. Distorsi pikiran 1. Gangguan pikir/


2. Persepsi akurat ilusi delusi
3. Emosi konsisten 2. Reaksi emosi 2. Halusinasi
dengan pengalaman berlebihan 3. Sulit merespon emosi
4. Perilaku sesuai 3. Perilaku aneh 4. Perilaku disorganisasi
5. Berhubungan sosial atau tidak biasa 5. Isolasi social tidak
4. Menarik diri
Gambar : Rentang respon neurologist halusinasi
(Stuart dan Laraia, 2005)

4. Jenis – Jenis Halusinasi


Stuart dan Laraia (2005) membagi halusinasi menjadi 7 jenis
halusinasi yang meliputi : halusinasi pendengaran (auditory), halusinasi
penglihatan (visual), halusinasi penghidu (olfactory), halusinasi
pengecapan (gustatory), halusinasi perabaan (tactile), halusinasi
cenesthetic, halusinasi kinesthetic.
Halusinasi yang paling banyak diderita adalah halusinasi
pendengaran yang mencapai lebih kurang 70%, sedangkan halusinasi
penglihatan menduduki peringkat kedua dengan rata – rata 20%.
Sementara jenis halusinasi yang lain yaitu halusinasi pengecapan,
penghidu, perabaan, kinesthetic, dan cenesthetic hanya meliputi 10%.
1. Pendengaran yaitu Mendengar suara – suara atau kebisingan, paling
sering suara orang. Suara berbentuk kebisingan yang kurang keras
sampai kata – kata yang jelas berbicara tentang klien, bahkan sampai
percakapan lengkap antara dua orang atau lebih. Pikiran yang didengar
klien dimana klien disuruh untuk melakukan sesuatu yang kadang –
kadang membahayakan.
2. Penglihatan yaitu Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya,
gambaran geometris, gambaran kartun, bayangan yang rumit dan
kompleks. Bayangan bisa menyenangkan atau menakutkan seperti
melihat monster.
3. Penghidu yaitu Mencium bau – bau tertentu seperti bau darah, urin,
atau feses, umumnya bau – bauan yang tidak menyenangkan.
Halusinasi penghidu sering akibat stroke,tumor, kejang, atau dimensia.
4. Pengecapan yaitu Merasa mengecap rasa seperti darah, urin atau feses.
5. Perabaan yaitu Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus
yang jelas. Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati
atau orang lain.
6. Cenesthetic yaitu Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah dari
vena atau arteri, pencernaan makanan atau pembentukan urine.
7. Kinesthetic yaitu Merasakan pergerakan saat berdiri tanpa bergerak.
5. Fase – Fase Halusinasi
Stuart dan Laraia (2005) membagi fase halusinasi dalam 4 fase
berdasarkan tingkat ansietas yang dialami dan kemampuan klien
mengendalikan dirinya. Semakin berat mengalamai ansietas dan makin
dikendalikan oleh halusinasinya.
1. Fase I Comforting (Non Psikotik)
Karaterisitik: Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas,
kesepian, rasa salah, takut sehingga mencoba untuk berfokus pada
pikiran menyenangkan untuk meredakan halusinasi. Individu
mengenali bahwa pikiran – pikiran dan pengalaman sensori berada
dalam kendali kesadaran jika ansietas dapat ditangani.
Perilaku Klien: Tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai,
Menggerakan bibir tanpa suara, Pergerakan mata yang cepat, Respon
verbal yang lambat jika sedang asyik, Diam dan asyik sendiri.
2. Fase II Condeming (Psikotik Ringan)
Karakteristik:
1) Pengalaman sensori yang menjijikkan dan menakutkan
2) Klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil
jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan.
3) Klien mungkin mengalami dipermalukan oleh pengalaman sensori
dan menarik idir dari orang lain.
4) Mulai merasa kehilangan kontrol.
5) Tingkat kecemasan berat, secara umum halusinasi menyebabkan
perasaan antipasti.
Perilaku klien:
1) Meningkatnya tanda-tanda sistem saraf otonom akibat ansietas
seperti peningkatan denyut jantung, pernapasan, dan tekanan
darah.
2) Rentang perhatian menyempit
3) Asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan
membedakan halusinasi dan realita.
4) Menyalahkan
5) Menarik diri dari orang lain
6) Konsentrasi terhadap pengalaman sensori kerja
3. Fase III Controlling (Psikotik)
Karakterisitik:
1) Klien berhenti melakukan perlawanan terhadap halusinasi dan
menyerah pada halusinasi tersebut.
2) Isi halusinasi menjadi menarik
3) Klien mungkin mengalami penglaman kesepian jika sensori
halusinasi berhenti
Perilaku klien:
1) Kemauan yang dikendalikan akan lebih diikuti
2) Kesukaran berhubungan dengan orang lain
3) Rentang perhatian hanya beberapa detik atau menit
4) Adanya tanda-tanda fisik ansietas berat: berkeringat, tremor, dan
tidak mampu mematuhi perintah.
5) Isi halusinasi menjadi atraktif
6) Perintah halusinasi ditaati
7) Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat, tremor dan
berkeringat.
4. Fase IV Conquering (Psikotik Berat)
Karateristik:
1) Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti
perintah halusinasinya.
2) Halusinasi berakhir dari beberapa jam atau hari jika tidak ada
intervensi teraupetik
Perilaku klien:
1) Perilaku eror akibat panic
2) Potensi kuat suicide atau homicide
3) Aktivitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti perilaku
kekerasan agitasi, menarik diri, atau katatonik.
4) Tidak mampu merespon perintah yang kompleks
5) Tidak mampu merespon lebih dari satu orang
6) Agitasi atau kataton

6. Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Halusinasi


Halusinasi merupakan salah satu gejala dalam menentukan
diagnosis klien yang mengalami psikotik, khususnya Schizofernia.
Halusinasi dipengaruhi oleh faktor (Stuart dan Laraian, 2005), dibawah ini
antara lain:
1) Faktor Predisposisi, adalah faktor risiko yang mempengaruhi jenis dan
jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi
stress. Diperoleh baik dari klien maupun keluarganya, mengenai faktor
perekmbangan sosial cultural, biokimia, psikologis dan genetic yaitu
faktor risiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat
dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Beberapa faktor
predisposisi yang berkontribusi pada munculnya respon neurobiology
seperti halusinasi antara lain:
a. Faktor Genetik, telah diketahui bahwa secara genetic schizofernia
diturunkan melalui kromoso – kromosom tertentu. Namun
demikian, kromosom yang keberapa yang menjadi faktor penentu
gangguan iin sampai sekarang masih dalam tahap penelitian. Anak
kembar identik memiliki kemungkinan mengalami schizofernia
sebesar 50% jika salah satunya mengalami schizofernia, sementara
jika dizygote peluangnya sebesar 15%. Seorang anak yang salah
satu orang tuanya mengalami schizofernia berpeluang 15%
mengalami schizofernia, sementara bila kedua orang tuanya
schizofernia maka peluangnya menjadi 35%.
b. Faktor Perkembangan, jika tugas perkembangan mengalami
hambatan dan hubungan interpersonal terganggu, maka individu
akan mengalami stress dan kecemasan.
c. Faktor Neurobiologi, ditemukan bahwa kortex pre frontal dan
kortex limbic pada klien dengan schizofernia tidak pernah
berkembang penuh. Ditemukan juga pada klien schizofernia terjadi
penurunan volume dan fungsi otak yang abnormal.
Neurotransmitter juga tidak ditemukan tidak normal, khususnya
dopamine, serotonin dan glutamate.
d. Study Neurotransmitter, schizofernia diduga juga disebabkan oleh
adanya ketidakseimbangan neurotransmitter serta dopamine
berlebihan, tidak seimbang dengan kadar serotonin.
e. Faktor Biokimia, mempunyai pengaruh terhadap terjadinya
gangguan jiwa. Dengan adanya stress yang berlebihan yang dialami
seseorang, maka tubuh akan mengahasilkan suatu zat yang dapat
bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan
Dimetytranferase (DMP).
f. Psikologi, beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor
predisposisi schizofernia, antara lain anak yang diperlakukan oleh
ibu yang pencemas, terlalu melindungi, dingin, dan tidak
berperasaan, sementara ayah yang mengalami jarak dengan
anaknya. Sementara itu hubungan interpersonal yang tidak
harmonis serta adanya peran ganda yang bertentangan dan sering
diterima oleh anak akan mengakibatkan stress dan kecemasan yang
tinggi dan berakhir dengan gangguan orientas realita.
g. Faktor Sosiokultural, berbagai faktor di masyarakat dapat
menyebabkan seorangmerasa disingkirkan oleh kesepian terhadap
lingkungan tempat klien dibesarkan.
2) Faktor Presipitasi, yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu
sebagai tantangan, ancaman/tuntutan yang memerlukan energy ekstra
untuk koping. Adanya rangsangan lingkungan yang sering yaitu seperti
partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama diajak komunikasi dan
suasan sepi/isolasi sering sebagai pencetus terjadinya halusinasi karena
hal itu dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang
tubuh mengeluarkan zat halusinogenik.

7. Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi
(Stuart dan Laraia, 2005) meliputi:
1) Regresi: menjadi malas beraktivitas sehari-hari
2) Proyeksi: mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain atau sesuatu benda.
3) Menarik diri: sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus
interna.
4) Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien.
8. Validasi Informasi Tentang Halusinasi
Validasi informasi tentang halusinasi yang diperlukan meliputi:
1) Isi halusinasi yang dialami oleh klien. Ini dapat dikaji dengan
menanyakan suara siapa yang didengar dan apa yang dikatakan jika
halusinasi yang dialami adalah halusinasi pendengaran. Bentuk
bayangan bagaimana yang dilihat klien bila halusinasinasinya adalah
halusinasi penglihatan, bau apa yang tercium bila halusinasinya adalah
halusinasi penghidu, rasa apa yang dikecap untuk halusinasi
pengecapan, atau merasakan apa dipermukaan tubuh bila mengalami
halusinasi perabaan.
2) Waktu dan frekuensi halusinasi. Ini dapat dikaji dengan menanyakan
kepada klien kapan pengalaman halusinasi muncul, berapa hari sekali,
seminggu atau bulan pengalaman halusinasi itu muncul. Informasi ini
penting untuk mengidentifikasi pencetus halusinasi dan menentukan
bilamana klien perlu diperhatikan saat mengalami halusinasi.
3) Situasi pencetus halusinasi. Perawat perlu mengidentifikasi situasi
yang dialami klien sebelum mengalami halusinasi. Ini dapat dikaji
dengan menanyakan kepada klien perisitiwa atau kejadian yang
dialami sebelum halusinasi ini muncul. Selain itu perawat juga bisa
mnengobservasi apa yang dialami klien menjelang muncul halusinasi
untuk memvalidasi penyataan klien.
4) Respon klien. Untuk menentukan sejauhmana halusinasinya telah
mempengaruhi klien, bisa dikaji dengan menanyakan apayang
dilakukan klien saat mengalami pengalaman halusinasi. Apakah klien
masih bisa mengontrol stimulus halusinasi atau sudah tidak berdaya
lagi terhadap halusinasi (Stuart dan Laraia, 2005).
9. Penatalaksanaan Secara Medis Pada Halusinasi
Penatalaksanaan klien schizofernia yang mengalami halusinasi
adalah dengan pemberian obat – batan dan tindakan lain, (Stuart dan
Laraia, 2005) yaitu:
1) Psikofarmakologis, obat yang lazim digunakan pada gejala halusinasi
pendengaran yang merupakan gejala psikosis pada klien schizofernia
adalah obat anti psikosis. Adapun kelompok yang umum digunakan
adalah Fenotiazin Asetofenazin (Tindal), Klorpromazin (Thorazine),
Flufenazine (Prolixine, Permetil), Mesoridazin (Serentil), Perfenazin
(Trifalon), Prokolorperazin (Compazine), Promazin (Sparine),
Tioridazin (Mellaril), Trifluoperazin (Stelazine), Trifluopromazin
(Vesprin) 60-120 mg, Tioksanten Klorprotiksen (Taractan), Tiotiksen
(Navane) 75-600 mg, Butirofenon Haloperidol (Haloperidol) 1-100
mg, Dibenzoadiazepin Klozapin (Clorazil) 300-900 mg,
Dibenzokasazepin Loksapin (Loxitane) 20-150 mg, Dihidroindolon
Molindone (Moban) 15-225 mg
2) Terapi kejang listrik/Electro Compulsive Therapy (ECT)
3) Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)

C. POHON MASALAH

Efek:
Resiko mencederai diri sendiri, orang lain
dan lingkungan

Core problem:
Perubahan sensori persepsi: Halusinasi
Pendengaran

Causa:
Isolasi sosial : Menarik
diri
D. ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN HALUSINASI
Standar asuhan keperawatan atau standar praktik keperawatan mengacu
pada standar praktik professional dan standar kinerja professional. Standar
praktik profesional di Indonesia telah dijabarkan oleh PPNI (2009). Standar
praktik professional tersebut juga mengacu pada proses keperawatan jiwa
yang terdiri dari lima tahap standar yaitu: 1) pengkajian, 2) diagnosis, 3)
perencanaan, 4) pelaksanaan, dan 5) evaluasi (PPNI, 2009).
1. Pengkajian
Menurut Stuart dan Laraia (2005), pengkajian merupakan tahapan
awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri
atas pengumpulan data meliputi data biologis, psikologis, sosial dan
spiritual. Data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat dikelompokkam
menjadi faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stressor,
sumber koping dan kemampuan koping yang dimiliki klien. Berbagai
aspek pengkajian sesuai dengan pedoman pengkajian umum, pada
formulir pengkajian proses keperawatan. Pengkajian menurut Keliat
(2006) meliputi beberapa faktor antara lain:
a. Identitas klien dan penanggung
Yang perlu dikaji yaitu: nama, umur, jenis kelamin, agama, suku,
status, pendidikan, pekerjaan, dan alamat.
b. Alasan  masuk rumah sakit
Umumnya klien halusinasi di bawa ke rumah sakit karena keluarga
merasa tidak mampu merawat, terganggu karena perilaku klien dan
hal lain, gejala yang dinampakkan di rumah sehingga klien dibawa ke
rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.
c. Faktor predisposisi
1) Faktor perkembangan terlambat
a) Usia bayi tidak terpenuhi kebutuhan makanan, minum dan
rasa aman.
b) Usia balita, tidak terpenuhi kebutuhan otonomi.
c) Usia sekolah mengalami peristiwa yang tidak terselesaikan.
2) Faktor komunikasi dalam keluarga
a) Komunikasi peran ganda.
b) Tidak ada komunikasi.
c) Tidak ada kehangatan.
d) Komunikasi dengan emosi berlebihan.
e) Komunikasi tertutup.
f) Orang tua yang membandingkan anak – anaknya, orang tua
yang otoritas dan komplik orang  tua.
3) Faktor sosial budaya
Isolasi sosial pada yang usia lanjut, cacat, sakit kronis, tuntutan
lingkungan yang terlalu tinggi.
4) Faktor psikologis
Mudah kecewa, mudah putus asa, kecemasan tinggi, menutup diri,
ideal diri tinggi, harga diri rendah, identitas diri tidak jelas, krisis
peran, gambaran diri negatif dan koping destruktif.
5) Faktor biologis
Adanya kejadian terhadap fisik, berupa : atrofi otak, pembesaran
vertikel, perubahan besar dan bentuk sel korteks dan limbik.
6) Faktor genetic
Telah diketahui bahwa genetik schizofrenia diturunkan melalui
kromoson tertentu. Namun demikian kromoson yang keberapa
yang menjadi faktor penentu gangguan ini sampai sekarang masih
dalam tahap penelitian. Diduga letak gen skizofrenia adalah
kromoson nomor enam, dengan kontribusi genetik tambahan
nomor 4,8,5 dan 22. Anak kembar identik memiliki kemungkinan
mengalami skizofrenia sebesar 50% jika salah satunya mengalami
skizofrenia, sementara jika di zygote peluangnya sebesar 15 %,
seorang anak yang salah satu orang tuanya mengalami skizofrenia
berpeluang 15% mengalami skizofrenia, sementara bila kedua
orang tuanya skizofrenia maka peluangnya menjadi 35 %.
d. Faktor presipitasi
1) Kesehatan : Nutrisi dan tidur kurang, ketidaksembangan irama
sirkardian, kelelahan dan infeksi, obat-obatan system syaraf pusat,
kurangnya latihan dan hambatan untuk menjangkau pelayanan
kesehatan.
2) Lingkungan sekitar yang memusuhi, masalah dalam rumah
tangga, kehilangan kebebasan hidup dalam melaksanakan pola
aktivitas sehari-hari, sukar dalam berhubungan dengan orang lain,
isoalsi social, kurangnya dukungan social, tekanan kerja (kurang
terampil dalam bekerja), stigmasasi, kemiskinan, kurangnya alat
transportasi dan ketidakmamapuan mendapat pekerjaan.
3) Sikap : Merasa tidak mampu (harga diri rendah), putus asa (tidak
percaya diri), merasa gagal (kehilangan motivasi menggunakan
keterampilan diri), kehilangan kendali diri (demoralisasi), merasa
punya kekuatan berlebihan, merasa malang (tidak mampu
memenuhi kebutuhan spiritual), bertindak tidak seperti orang lain
dari segi usia maupun kebudayaan, rendahnya kemampuan
sosialisasi, perilaku agresif, perilaku kekerasan, ketidakadekuatan
pengobatan dan ketidak adekuatan penanganan gejala.
4) Perilaku : Respon perilaku klien terhadap halusinasi dapat berupa
curiga, ketakutan, rasa tidak aman, gelisah, bingung, perilaku
merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil
keputusan, bicara inkoheren, bicara sendiri, tidak membedakan
yang nyata dengan yang tidak nyata.
5) Perilaku klien yang mengalami halusinasi sangat tergantung pada
jenis halusinasinya. Apabila perawat mengidentifikasi adanya
tanda –tanda dan perilaku halusinasi maka pengkajian selanjutnya
harus dilakukan tidak hanya sekedar mengetahui jenis halusinasi
saja.
e. Jenis – jenis halusinasi

Jenis Halusinasi Data Objektif Data Subjektif


Halusinasi 1. Bicara atau tertawa 1. Mendengar suara-suara
Pendengar sendiri sendiri atau kegaduhan
2. Marah – marah tanpa 2. Mendengar suara yang
sebab mengajak bercakap-
3. Menyedengkan telinga cakap
kearah tertentu 3. Mendengar suara
4. Menutup telingga menyuruh melakukan
sesuatu yang berbahaya
Halusinasi 1. Menunjuk-nunjuk kea rah Melihat bayangan, sinar,
penglihatan tertentu bentuk geometri, bentuk
2. Ketakutan pada sesuatu kartun, melihat hantu
yang tidak jelas atau monster.
Halusinasi 1. Menghidu seperti sedang Membaui bau-bauan
penghidu membaui bau-bauan seperti bau darah, urin,
tertentu feses, kadang-kadang bau
2. Menutup hidung itu menyenangkan
Halusinasi Sering meludah dan Merasakan rasa seperti
pengecapan muntah darah, urin, atau feses
Halusinasi Menggaruk-garuk 1. Mengatakan ada serangga
perabaan permukaan kulit di permukaan kulit
2. Merasa seperti tersengat
listrik

f. Validasi informasi tentang halusinasi yang diperlukan meliputi:


1) Isi halusinasi
Data tentang isi halusinasi dapat dilihat dari hasil pengkajian
tentang jenis halusinasi.
2) Waktu dan frekuensi.
Perawat perlu mengkaji waktu, frekuensi, dan situasi munculnya
halusinasi yang dialami oleh klien. Kapan halusinasi terjadi?
Apakah pagi, siang, sore atau malam? Jika mungkin berapa?
Frekuensi terjadinya apakah terus-menerus atau hanya sekali-kali?
Situasi terjadinya apakah kalau sendiri atau setelah terjadi
kejadian tertentu. Hal ini dilakukan untuk menentukan intervensi
khusus pada waktu terjadinya halusinasi, menghindari situasi yang
menyebabkan munculnya halusinasi sehingga pasien tidak larut
dengan halusinasinya. Dengan mengetahui frekuensi tarjadinya
halusinasi dapat direncakan frekuensi tindakan untuk mencegah
terjadinya halusinasi.
3) Respon Klien
Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi
klien bisa dikaji dengan apa yang dilakukan oleh klien saat
mengalami pengalaman halusinasi. Apakah klien masih bisa
mengontrol stimulus halusinasinya atau sudah tidak berdaya
terhadap halusinasinya.
g. Pemeriksaan fisik
Yang dikaji adalah tanda-tanda vital (suhu, nadi, pernafasan dan
tekanan darah), berat badan, tinggi badan serta keluhan fisik yang
dirasakan klien.
h. Status Mental
Pengkajian pada status mental meliputi:
1) Penampilan: tidak rapi, tidak serasi dan cara berpakaian.
2) Pembicaraan: terorganisir atau berbelit-belit.
3) Aktivitas motorik: meningkat atau menurun.
4) Alam perasaan: suasana hati dan emosi.
5) Afek: sesuai atau maladaptif seperti tumpul, datar, labil dan
ambivalen
6) Interaksi selama wawancara: respon verbal dan nonverbal.
7) Persepsi : ketidakmampuan menginterpretasikan stimulus yang
ada sesuai dengan informasi.
8) Proses pikir: proses informasi yang diterima tidak berfungsi
dengan baik dan dapat mempengaruhi proses pikir.
9) Isi pikir: berisikan keyakinan berdasarkan penilaian realistis.
10) Tingkat kesadaran: orientasi waktu, tempat dan orang.
11) Memori
a) Memori jangka panjang: mengingat peristiwa setelah lebih
setahun berlalu.
b) Memori jangka pendek: mengingat peristiwa seminggu yang
lalu dan pada saat  dikaji.
12) Kemampuan konsentrasi dan berhitung: kemampuan
menyelesaikan tugas dan berhitung sederhana.
13) Kemampuan penilaian: apakah terdapay masalah ringan sampai
berat.
14) Daya tilik diri: kemampuan dalam mengambil keputusan tentang
diri.
i. Kebutuhan persiapan pulang
Yaitu pola aktifitas sehari-hari termasuk makan dan minum, BAB dan
BAK, istirahat tidur, perawatan diri, pengobatan dan pemeliharaan
kesehatan sera aktifitas dalam dan luar ruangan.
j. Mekanisme koping
1) Regresi: menjadi malas beraktifitas sehari-hari.
2) Proyeksi: menjelaskan prubahan suatu persepsi dengan berusaha
untuk mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain.
3) Menarik diri: sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan
stimulus internal.
k. Masalah psikososial dan lingkungan: masalah berkenaan dengan
ekonomi, pekerjaan, pendidikan dan perumahan atau pemukiman.
l. Aspek medik: diagnosa medik dan terapi medik.
2. Diagnosis Keperawatan
Diagnosa yang mungkin muncul pada klien halusinasi (Stuart dan
Laraia,2005) yaitu:
1. Resiko mencederai diri sendiri orang lain dan lingkungan berhubungan
dengan halusinasi
2. Perubahan sesnsori persepsi halusinasi berhubungan menarik diri
3. Isolasi sosial menarik diri berhubungan diri rendah.
Rencana Tindakan Keperawatan Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran

Diagnosa Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Rasional


Keperawatan
Gangguan sensori Klien mampu: Setelah …x pertemuan klien dapat SP1P 1. Dengan klien mengenal halusinasinya
persepsi: Halusinasi 1. Membina hubungan saling menyebutkan: 1. Identifikasi halusinasi : isi, frekuensi, diharapkan klien menyadari yang
Pendengaran percaya 1. Isi, waktu, frekuensi, situasi, waktu terjadi, situasi pencetus, perasaan didengar atau dilihat adalah
2. Mengenal halusinasi yang pencetus, perasaan dan respon dan respon. bohong/tidak ada dan mengarahkan
dialami 2. Mampu memperagakkan cara klien ke hal yang lebih nyata.
3. Mengontrol halusinasi dalam mengontrol halusinasi. 2. Jelaskan cara mengontrol halusinasi: 2. Dengan menjelaskan cara-cara
4. Mengikuti pengobatan Hardik, obat, bercakap-cakap, melakukan mengontrol halusinasi klien lebih dapat
secara optimal kegiatan. terarah dalam melakukannya.
3. Latih cara mengontrol halusinasi dengan 3. Dengan melatih klien mengontrol
menghardik. halusinasi dengan menghardik dapat
memutus halusinasinya.
4. Masukkan dalam jadwal kegiatan untuk 4. Dengan memasukkan kegiatan klien
latihan menghardik. diharapkan dapat mengurangi
datangnya halusinasi dan melatih klien

Setelah …x pertemuan klien dapat SP2P 1. Dengan mengevakuasi kegiatan di SP1


mampu: 1. Evaluasi kegiatan menghardik. Berikan dapat mengetahui apakah klien sudah
1. Menyebutkan kegiatan yang pijian mampu mengontrol halusinasi dengan
sudah dilakukan dan menghardik
2. Memperagakkan cara 6 benar 2. Latih cara mengontrol halusinasi dengan 2. Agar klien mengetahui cara
minum obat dengan benar obat (jelaskan 6 benar : Jenis, guna, menggunakan obat dengan benar.
dosis, frekuensi, cara, kontinuitas minum
obat)
3. Masukkan pada jadwal kegiatan untuk 3. Dengan memasukkan kegiatan klien
latihan menghardik dan minum obat diharapkan klie dapat meminum obat
secara teratur dan tepat waktu.
Setelah …x pertemuan klien dapat 1. Dengan mengevaluasi kegiatan pada
mampu: 1. Evaluasi kegiatan latihan menghardik, SP1 dan SP2 yang sudah dilakukan
1. Menyebutkan kegiatan yang minum obat. Beri pujian dapat mengetahui apakah klien sudah
sudah dilakukan dan paham dan suka melakukannya supaya
2. Memperagakkan cara bisa lanjut ke tahap berikutnya.
bercakap-cakap dengan orang 2. Latih cara mengontrol halusinasi dengan 2. Dengan melatih klien mengontrol
lain bercakap-cakap saat terjadi halusinasi halusinasi dengan bercakap-cakap
dengan orang lainpada saat muncul
halusinasi, perhatian klien dapat
teralihkan dan halusinasi akan hilang.
3. Masukkan padajadwal kegiatan untuk 3. Dengan memasukkan kegiatan klien
latihan menghardik, minum obat dan diharapkan klie dapat mengingat dan
bercakap-cakap mengatur kegiatan secara continue

Setelah …x pertemuan klien dapat SP4P


mampu: 1. Evaluasi kegiatan latihan mengahardik, 1. Dengan mengevaluasi kegiatan pada
1. Menyebutkan kegiatan yang minum obat, bercakap-cakap. Berikan SP1, SP2, dan SP3 yang sudah
sudah dilakukan dan pujian dilakukan dapat mengetahui apakah
2. Membuat jadwal sehari-hari klien sudah paham dan suka
dan mampu melakukannya melakukannya supaya bisa lanjut ke
(minimal dua kegiatan) tahap berikutnya.
2. Latih cara mengontrol halusinasi dengan 2. Dengan melatih kegiatan diharapkan
melakukan kegiatan harian (mulai 2 dapat membantu klien
kegiatan) menyibukkandirinya dengan aktivitas
teratur sehingga klien tidak akan
mengalami banyak waktu luang
sendiri yang seringkali mencetuskan
halusinasi
3. Masukkan pada jadwal kegiatan untuk 3. Dengan memasukkan dalam jadwal
latihan menghardik, minum, bercakap- kegiatan harian dapat mengetahui
cakap dan kegiatan harian. apakah kegiatan yang telah
dijadwalkan telah terlaksana dengan
baik.

Setelah …x pertemuan klien dapat SP5P


mampu: 1. Evaluasi kegiatan latihan mengahardik, 1. Dengan mengevaluasi kegiatan pada
1. Menyebutkan kegiatan yang minum obat, bercakap-cakap. Berikan SP1, SP2, SP3, SP4 yang sudah
sudah dilakukan yaitu pujian dilakukan dapat mengetahui apakah
menghardik, minum obat, klien sudah paham dan suka
bercakap-cakap dan kegiatan melakukannya supaya bisa lanjut ke
harian. tahap berikutnya.
2. Mendemonstrasikan cara 2. Latih kegiatan harian 2. Dengan melatih kegiatan diharapkan
mengontrol halusinasi dengan dapat membantu klien mengalami
baik banyak waktu luang sendiri yang
seringkali mencetuskan halusinasi
3. Nilai kemampuan yang telah mandiri 3. Kemampuan mandiri yang telah
sebagai acauan keberhasilan dalam
mengontrol halusinasi
4. Nilai apakah halusinasi terkontrol
DAFTAR PUSTAKAN

Keliat Budi Ana, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC,
1999
Keliat BA dan Akemat. 2009. Model praktik Kpeerawatan Profesional Jiwa.
Jakarta. EGC.
Keliat BA. Proses kesehatan jiwa. Edisi 1. Jakarta : EGC. 1999
Maramis, W.F. 1998. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Jakarta : EGC.
Maramis, W.F. 2006. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Ed 9. Surabaya: Airlangga
Unversity Press.
Muhith, A. 2015. Pendidikan Keoerawatan Jiwa (Teori dan aplikasi).Yogyakarta :
ANDI.
Stuart GW, Sundeen, 1995. Buku Saku Keperawatan Jiwa, Jakarta : EGC.
Stuart GW, and Laraia, 12005. Principles and Practice of PsychiatricNursing,
8ed.philadelphia : Elsevier Mosby.

Anda mungkin juga menyukai