Anda di halaman 1dari 3

Menikmati Tulisan Liar Ala Paraenom

Orang bijak berkata, jika engkau berkomunikasi dengan bahasa yang dimengerti oleh
sekelompok orang, engkau akan menguasai otak mereka. Namun jika engkau
berkomunikasi dengan bahasa mereka, engkau bakal menguasai hatinya. Anggoro Haris—
berikutnya saya sapa Angga—yang merupakan penulis dari buku ini, menjatuhkan hati
pembacanya lewat bahasa tulis yang khas. Ini lumayan berhasil. Dilihat dari banyaknya
komentar positif dari tulisan-tulisan Angga yang diwarta oleh media cerita: BaubauPedia.
Kebetulan saya Pimrednya. Cita rasa humor yang dibalut dalam gaya tutur milenial anak
muda Buton, menjadi pembeda dalam tiap tulisannya. Tak heran pilihan diksi seperti
Ngerkun, winto, hega, simpuru lalo, pondo-pondo, tolo, cecerita, tabe-tabe,dll dapat
ditemukan dalam buah pikiran acaknya. “Wkwkwk, tulisannya lucu. Humornya Buton
sekali,” tulis salah satu pembacanya.

Buah pikiran acak yang menjadi subjudul, sepertinya tak selalu acak. Buah-buah ini
terkadang cukup jelas menunjukan wacana rasanya. Ada yang bercitarasa politik, sosial,
cinta, keluarga, pendidikan, lingkungan, dan lain sebagainya. Ditambah lagi, buah pikiran
ini dilengkapi dengan aksesoris foto yang maknanya cukup mendalam. Cerita visual
memang menjadi keahlian penulis sebagai jurnalis foto di salah satu media terbesar di
Sulawesi Tenggara. “Cerita tanpa foto hanya menyisakkan sebuah aksara yang patah,” tulis
Angga dalam buku ini. Saya sepakat dengan itu. Hingga kadang saya susah membedakan,
apakah foto atau malah tulisannya yang justru menjadi aksesoris. Keduanya sama-sama
tedas berbicara lantang. Mengisi, saling melengkapi. Analogi yang tepat menurut saya
untuk menggambarkan kumpulan buah ini adalah es buah sirup pisang Ambon. Teracik
dari ragam buah pikiran segar, dan disiram oleh sirup visual. Es buah ini bercitarasa
human interest.

Hal menarik dari buku ini juga dimulai dari pemilihan judul. Apa itu Paraenom? Diksi ini
kemudian saya potong menjadi “Para” dan “Enom”. Berhubung kata utuhnya, tak saya
temukan di KBBI. Secara etimologi, “Para” berarti kata penyerta yang menyatakan
pengacuan ke kelompok. Adapun “Enom”, berarti muda dalam bahasa Jawa. Singkatnya,
secara terminologi buku ini bakal berbicara tentang para anak muda. Benarkah seperti itu?
Ternyata saya keliru. Paraenom diciduk dari tuturan kuno Cia-cia—salah satu suku di
Kepulauan Buton—yaitu “Paraenomo”. Bermakna “apa”, bisa juga bermakna “apa lagi, ada-
ada saja atau apa-apaan”.

Saya memaknainya sebagai gaya menulis bebas. Pokoknya, apa mi juga yang ada di kepala,
tuliskan saja. Paraenom orientend. Tak ayal, anggitanya begitu random. Hasilnya membuat
pembaca terhenyak, “Ini apa lagi” atau “Ah…ada-ada saja yang ditulis. Seseorang hanya
akan berekpresi paraenom, manakala ia menemui sesuatu yang baru, unik, ganjil, aneh, liar,
nakal, panas, anarkis, atau jauh dari sesuatu yang ia bayangkan atau imani selama ini.

Nah, paraenom menjadi kata yang pas untuk mewakili isi buku. Membaca buku ini serasa
memasuki hutan liar Lambusango. Saya selalu dibuat penasaran, entah tumbuhan atau
hewan “bajingan” apalagi yang saya temui di depan. Misterius. Awalnya berbincang tentang
lika-liku hidup, menertawainya, lalu menukik ke film, kemudian menggelinjang panas ke
persoalan serius semisal politik dan pendidikan. Pada beberapa bagian juga kita harus
berhenti di sisi remang suatu fenomena, untuk melihat satu potongan makna yang berbeda.
Aih, susah ditebak. Saya pun yang didaulat untuk menulis pengantar, dibuat njilemet dalam
menarik benang merah buku ini, dari mana dan mau ke mana arahnya?

Lamun keliaran yang dikumpulkan dari jejak rekam digital, membuat buku ini jadi unik.
Punya sensasi yang berbeda. Parenom oriented saya rasa membuat penulisnya lebih otentik
di tengah hidup yang sedemikian latah. Setiap kita punya pengetahuan dan pengalaman
yang khas, tak perlu takut dan malu untuk menumpahkannya dengan paraenom adanya.
Paraenom adalah keberanian untuk menerabas sekat-sekat yang kaku dan organis guna
menunjukan kejujuran dan keaslian diri. Arvan Pradiansyah, punya pendapat yang menarik
terkait ini: “Menulis sesungguhnya adalah ekspresi hati dan curahan jiwa kita yang
terdalam. Karena itu, keaslian sesungguhnya merupakan kata kunci di sini. Bagi seorang
penulis sejati, perasaan otentik sangat penting dan keotentikan itulah sesungguhnya yang
hendak dikomunikasikan seorang penulis kepada setiap pembacanya.”

Sebagai seseorang yang telah membaca semua buku penulis—termasuk buku pertama
yang berjudul “Muhane Kampurege”—saya cukup terhibur dengan gaya bercerita (story
telling) ala Angga. Saya bisa merasakan luapan emosional yang meletup-letup dari setiap
inci pengalaman hidup yang ia ceritakan. Banyak hal waras ia preteli, kemudian dicampur
dengan potongan-potongan liar yang uniknya jutru membentuk puzzle cerita yang
mengesankan. Sebut saja beberapa: Hubungan Jin dan Perpustakaan Bertaraf
Internasional, Genosida Thanos dan Cuci Tangan Sebelum Makan, Mencintai Lingkungan
Layaknya Kumbakarna dan Bisma, Inrijden Kawasaki hingga Mantra Penakluk Ombak, dan
lain seliarnya. Simpulan saya, dalam pembagian kerja otak kiri atau otak kanan, tulisan-
tulisan Angga mengambil jalur zigzagnya sendiri.

Oke, mungkin kata pengantar ini akan saya cukupkan di sini. Tak paraenom jika saya kupas
lagi. Saya ingin Anda merasakan sendiri bagaimana sensasinya. Biarlah buku ini dimasuki
dalam suasana gelap penuh misteri. Dengan pembaca yang membawa obor kecil sembari
meraba-raba gulita. “Paraenom”.

Selamat memasuki belantara liar pemikiran penulis.

Suhardiyanto

Anda mungkin juga menyukai