Anda di halaman 1dari 4

1000 GURU MOTIVATOR LITERASI

Tema : Menerapkan Strategi Mengajar Inspiratif di Kelas

Melalui Penilaian Objektif, siswa Kritis

oleh Euis Rahma Fujiani, S.Pd.


SMA NEGERI 1 Panggarangan

Sejak SMA bercita-cita menjadi seorang guru, tepat di tahun ini tahun kelima
saya mengabdikan diri di salah satu SMA Negeri di Banten, yang tidak lain tempat saya
dulu sekolah. Menjadi guru bahasa Indonesia seringkali dipandang sebelah mata bagi
sebagian peserta didik. Ironisnya, mereka beralasan “bahasa Indonesia kan mudah bu,
tinggal baca aja, lagian kami sudah bisa bahasa Indonesia bu.” Ujar salah satu siswa.
Mendengar pernyataan tersebut ditahun pertama saya mengajar sontak membuat saya
tersenyum getir. Pasalnya, betapa rumit hingga semalaman suntuk ketika saya dulu
mempelajari tugas-tugas kuliah bahasa Indonesia, sintaksis, pragmatik, semiotik dan
segudang ilmu kebahasaan lainnya, sedangkan siswa dengan tanpa berdosa
menyampaikan pernyataan tersebut.
Bagi mereka, menjadi juara olimpiade matematika atau fisika jauh lebih
bergengsi, itu salah satu alasan menyepelekan bahasa Indonesia. Menjadi juara
olimpiade matematika atau fisika memang membanggakan, namun akan lebih
membanggakan apabila menguasai keterampilan berbahasa Indonesia, sebab hanya
dengan mengkomunikasikan melalui keterampilan linguistik, kecerdasan seseorang
akan terlihat sempurna. Seseorang dinilai cerdas dilihat dari bagaimana berkomunikasi
menggunakan keterampilan berbahasa, tutur saya kepada seluruh siswa di kelas
tersebut, suasana hening, tertegun. Melalui pendekatan secara personal terhadap peserta
didik, saya banyak menilai bahwa mereka tumbuh dan berkembang semestinya
dibarengi dengan motivasi yang seimbang.
Keesokan harinya, masih mengajar di kelas yang sama, saya membagikan hasil
penilaian tugas sebelumnya, membuat proposal. Beberapa siswa tercengang saat melihat
lembar tugas mereka dipenuhi banyak coretan balpoin merah yang bertuliskan komentar
panjang juga nilai yang jauh dari harapan mereka. Semua siswa kembali ke tempat
duduk setelah dipanggil satu persatu, lanjut saya mengajukan pertanyaan kepada seluruh
peserta didik di kelas XI MIPA 3, “Untuk apa kalian mempelajari bahasa Indonesia?
Sedangkan kalian sudah mampu berkomunikasi dengan bahasa Indoensia bahkan
menjadi bahasa keseharian, dan selalu ada pada setiap jenjang sekolah.” Semua siswa
riuh menjawab, namun ada satu jawaban siswa yang membuat telinga saya terfokus
pada salah satu jawaban tersebut. Sambil mengacungkan tangan terlebih dahulu,
kemudian kedua matanya menatap saya dengan pasti “sebab yang kami pelajari adalah
ilmunya, banyak sekali orang mengetahui bahasa Indonesia tapi belum pahami
ilmunya, terbukti dengan masih banyaknya kesalahan dalam media cetak bahkan tugas
kami, miris bu apabila kita berbahasa tanpa implentasikan ilmunya, itu sebabnya kami
butuhkan pembelajaran bahasa Indoensia pada setiap jenjang.” Hening.
Lanjut saya mengajukan pertanyaan. “Berapa nilai paling besar penugasan
yang baru saja kalian terima?” siswa menjawab “80 bu.” Mari kita pikirkan baik-baik.
Dengan bahasa Indonesia yang kita gunakan dalam keseharian semestinya setiap
penugasan maupun ujian mendapat nilai rentang 90 – 100. Itu berarti bahasa Indonesia
sudah kita abaikan. Kita gampangkan.
Berlanjut ulangan-ulangan berikutnya, nilai bahasa Indonesia masih belum
mencapai 100, sebut saja Wita memeroleh nilai tertinggi 93 di materi ketiga semester 1.
Melihat kondisi semacam itu, tentu saja beberapa anak bertanya dan beberapa
diantaranya memprotes saya, masih menyoal nilai. “Semua jawaban saya dari nomor 1
sampai 10 sudah sesuai dengan materi yang dipelajari, lantas mengapa saya tidak
memeroleh nilai 100 bu?” Tanya salah satu siswa. Dengan lugas saya menjawab
dengan coretan-coretan balpoin merah pada lembar ulangan siswa dengan menandai
tanda baca. “Sampai sini paham nak?” Tanyaku. Siswa tersebut lantas tersenyum dan
mengangguk.
Murid bernama Wita, yang memeroleh nilai ulangan bahasa Indonesia paling
tinggi diantara teman sekelasnya. Dia mulai mendekati saya usai lembar ulangan
dibagikan, dengan suara pelan. “Bu, saya ingin belajar bahasa Indonesia, saya
memulainya harus darimana? Tanyanya. “Tentu kamu harus memulai dengan
membaca terlebih dahulu,” jawabku. Selera membaca seseorang adalah gaya seseorang
menulis. Melalui membaca, akan ada banyak ilmu yang betapa kita sadari selama ini
belum kita ketahui. Sungguh dengan membaca akan terlahir pikiran-pikiran kritis.
“Bukankah buku adalah jendela ilmu?” Tanyaku. Hampir setiap sore atau dijam-jam
istirahat, Wita menemui saya dengan keceriaan yang nampak diraut wajahnya, tidak
lepas dari buku dan balpoin ditangannya. Dalam diskusi yang sesekali saya selipkan
gelak tawa, Wita aktif mencatat hal-hal penting setiap kali diskusi sederhana di sore
hari. Terkadang kami lupa ketika waktu sudah menunjukkan petang, sebab bagi kami
berdiskusi dan mempelajari bahasa Indonesia tidak pernah ada habisnya.
Satu bulan berlalu, Wita memberanikan diri mengirim puisi-puisinya dalam
kegiatan menulis secara online. Hingga puisi-puisi tersebut berhasil mendapat apresiasi
dan menjadi sajian hangat bagi para pembaca. Karyanya mengudara, hingga saat ini
pelajar yang seringkali menggendong tas dengan beban besar, bertubuh mungil tapi
memiliki keinginan yang tinggi dan mental pejuang, dia mampukan diri menjadi
seorang penulis, dia berhasil membukukan deretan aksaranya dalam karya-karyanya
yang tentu sudah dikenal banyak orang. Tidak hanya itu, selain bergelut dalam kiprah
kepenulisan, Wita sedang mencoba unjuk kreativitas dalam panggung pertunjukkan.
Semangatnya mampu ia tularkan kepada teman sebayanya, bahwa melalui bahasa
Indonesia, akan ada banyak keuntungan yang dimiliki, dengan menguasai bahasa
Indonesia, akan terlahir pembicara yang hebat dan penulis yang luar biasa. Terbukti,
tidak hanya mahir menulis, Wita juga mahir berbicara pandai dalam ruang diskusi.
Berawal dari penilaian yang objektif, menilai dengan jujur, saya sebagai guru
menemukan strategi terbaik mengajar di kelas. Melalui penilaian objektif, peserta didik
dituntut lebih kritis dan mampukan diri. Satu tahun berlalu saya mengajar di sekolah
tersebut, melihat nilai ujian nasional mata pelajaran bahasa Indonesia, tentu mendapat
nilai rata-rata terbaik. Sejak saat itu, ditahun pertama mengajar hingga saat ini saya
berdiri ditahun kelima, mata pelajaran bahasa Indonesia menjadi mata pelajaran
primadona, betapa tidak, bagi siswa mempelajari bahasa Indonesia tentu sangat
menyenangkan. Tidak hanya Wita yang bertengger gagah ditahun pertama saya
mengajar bahasa Indonesia, tapi sudah terlahir banyak Wita yang lain dengan
kemampuan bahasa Indonesia yang mengudara.
Di pojok ruangan saya seringkali mengamati aktivitas siswa melalui gawainya
masing-masing, tidak sedikit mereka sedang melakukan aktivitas membaca.
Kemampuan melek teknologi memudahkan siswa mengenali literasi digital, mereka
betul-betul mengagumkan. Tidak jarang saya dibuat terkagum ketika saya mengajar di
kelas, ada banyak peserta didik yang mengacungkan tangan meminta dirinya
mempresentasikan materi pembelajaran bahasa Indonesia untuk memeroleh nilai pada
pertemuan hari itu. Semua siswa berlomba, riuh dengan suara lantang meminta diri
lebih dulu maju kedepan kelas. Sebagai guru, tentu saja itu sangat memudahkan saya
pada pencapaian tujuan belajar. Menjadikan siswa penggerak. Siswa lebih aktif dan
responsif.
Usai presentasi setiap individu, riuh tepuk tangan sebagai bentuk apresiasi saya
berikan kepada siswa yang telah dengan hebat memaparkan segala ide dan gagasannya.
Pembelajaran seperti itu berulang saya lakukan dengan menjadikan siswa sebagai pusat
pembelajaran. Siswa lebih senang, siswa menjadi cerdas, guru berhasil mencapai tujuan
pembelajaran. Siswa dituntut lebih kreatif dan kritis dalam proses pembelajaran, akan
lebih bekerja keras dalam setiap pencapaian. Saat di kelas, mereka sudah sangat siap
melaporkan hasil belajar diwaktu sebelumnya, sangat siap untuk uji kompetensi.
Strategi mengajar seperti ini sangat mudah dilakukan, sebab menjadikan siswa sebagai
penggerak tentu lebih efektif, guru bukan satu-satunya sumber belajar. Dengan
kelincahan peserta didik menjelajahi akses internet dari berbagai media, maka disitulah
peran guru memanfaatkan kemampuan siswa, akan terlahir siswa luar biasa.
Ditahun kelima, saya mengajar bahasa Indonesia di kelas X dan XI. Hari itu
pertemuan pertama pembelajaran bahasa Indonesia di kelas XI MIPA 2. Saya berdiri
diantara seluruh siswa dengan mengajukan pertanyaan. “Untuk apa belajar bahasa
Indonesia?” Seluruh siswa riuh dengan jawaban masing-masing yang berhasil membuat
saya menarik kedua garis ujung bibir. Sekali lagi, jadilah guru yang mampu menilai
objektif untuk siswa mampu lebih kritis. Jadi, sampai kapan akan mempelajari bahasa
Indonesia? Tentu saya akan menjawab, seumur hidup saya!

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi bapak/ibu peserta Guru Motivator Literasi.
Bersama guru, mengubah dunia!
TENTANG PENULIS

Euis Rahma Fujiani, dilahirkan di Lebak – Banten diakhir tahun 90-an.


Perempuan yang kerap disapa Euis ini merasa dirinya sangat muda dan berjiwa muda
tapi enggan menyebutkan angka. Saat ini tercatat sebagai guru bahasa Indonesia di
SMA Negeri 1 Panggarangan. Selain mencurahkan jiwa dan raga untuk anak didik
tercinta, dalam keseharian seringkali menghabiskan pena untuk menulis puisi-puisi atau
cerita fiktif lainnya. Buku pertamanya yaitu Masihkah Kau Ingat, saat ini sedang
berkutat dengan buku kedua. Mengikuti kegiatan 1000 Guru Motivator Literasi baginya
adalah wadah yang tepat untuk menggali ilmu dan pengalaman, berharap tulisannya
lulus dan menjadi bagian dari 1000 Guru Motivator Literasi, bersama guru mengubah
dunia. Salam literasi!

Anda mungkin juga menyukai