PENDIDIKAN PANCASILA
Di susun oleh:
SULEMAN TATROMAN
DELA ASTUTI AYUNINGSIH SINAKO
PUPUT PUTRI
APRILIA N. SIRFEFA
MARGARETA KUHWOR
MARCEL JULIUS PENTURY
SRI RAHMATIA RUBIYANTO
i
ANNI ADILAH ZAKIYYAH
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan kenikmatan dan rahmat kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan judul “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”yang merupakan salah
satu syarat dari proses pembelajaran kami.
Kami juga mengucapkan banyak terimakasih kepada Ibu Dosen yang telah
memberikan mata kuliah “pendidikan pancasila” kepada kami.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat kepada teman teman di ruang 2 dan juga kami
mohon maaf apabila ada salah dalam penulisan makalah kami.
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN………………………………….…………………………………1
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………………
3
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Nilai-nilai dasar dari pancasila tersebut adalah nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Nilai
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, nilai Persatuan Indonesia, nilai Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan nilai Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Dengan pernyataan secara singkat bahwa nilai dasar
Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan
nilai keadilan. sila-sila dari Pancasila itu terdiri dari nilai-nilai dan norma-norma yang positif
sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Sila kedua pancasila telah mengakui persamaan derajat, kewajiban antara sesama
manusia sebagai asas kebersamaan bangsa Indonesia, dan hak. Nilai yang terkandung
didalamnya yaitu nilai kemanusiaan. Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung
arti kesadaran sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama atas
dasar tuntutan hati nurani dengan memperlakukan sesuatu hal sebagaimana mestinya.
Dengan demikian sila kedua pancasila yang mengandung nilai kemanusiaan harus
diketahui oleh seluruh warga negara Indonesia agar mampu menegakkan dan juga
memelihara kebersamaan yang dinamis dan selalu mengarah pada kemantapan yang telah
disempurnakan. Merupakan bentuk kesadaran manusia terhadap potensi budi nurani manusia
dalam hubungan dengan norma-norma kebudayaan pada umumnya.
B. RUMUSAN MASALAH
1
1. Bagaimana pengamalan nilai pancasila yang terkandung di dalam sila kedua?
2. Apa contoh kasus yang menyimpang dari nilai pancasila di dalam sila kedua?
3. Apa hukuman bagi pelaku yang melanggar nilai kemanusiaan?
4. Apa dampak dari kekerasan terhadap anak yang merupakan penyimpangan nilai
kemanusiaan?
C. TUJUAN
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pancasila
2. Untuk mengetahui tentang pengamalan nilai-nilai pancasila
3. Untuk mengetahui contoh masalah di Indonesia yang menyimpang dari nilai pancasila
4. Untuk mengetahui bagaimana pancasila menyikapi masalah yang ada di Indonesia
5. Untuk mengetahui apa dampak dari kekerasan terhadap anak
BAB II
2
PEMBAHASAN
Dari yang dapat kita ketahui diatas pancasila memiliki nilai-nilai yang positif didalamnya.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila:
1. Nilai Ketuhanan, mengandung arti pengakuan dan keyakinan terhadap Tuhan YME
sebagai pencipta alam semesta
2. Nilai Kemanusiaan, mengandung arti kesadaran akan sikap/perilaku sesuai dengan
nilai moral dan penghormatan HAM
3. Nilai Persatuan, mengandung arti kesadaran untuk membina persatuan dengan
semangat Bhinneka Tunggal Ika
4. Nilai Kerakyatan, mengandung arti mengembangkan musyawarah mufakat dan nilai-
nilai demokrasi.
5. Nilai Keadilan, mengandung arti kesadaran bersama mewujudkan keadilan bagi diri
dan sesama manusia.
Maka dari itulah pancasila dijadikan dasar negara supaya Indonesia menjadi negara yang
tertata.
B. NILAI KEMANUSIAAN
3
Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung arti bahwa kesadaran sikap
dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama atas dasar tuntutan hati
nurani dengan memperlakukan sesuatu hal sebagaimana mestinya. Manusia diberlakukan
sesuai harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan yang sama derajatnya, hak, dan
kewajiban asasinya.
Dengan kata lain, ada sikap untuk menjunjung tinggi martabat dan hak-hak asasinya
atau bertindak adil dan beradap terhadapnya. Sila ini menjamin diakui dan diperlakukan
manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, yang
sama derajatnya, yang sama haknya dan kewajiban-kewajiban azasinya, tanpa membeda-
bedakan suku, keturunan, agama, dan keparcayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna
kulit dan sebagainya. Karena itu dikembangkanlah sikap saling ,mencintai sesama manusia,
sikap tenggang rasa serta sikap tidak terhadap orang lain. Kemanusiaan yang adil dan beradab
berarti menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan dan
berani membela kebenaran dan keadilan. Manusia adalah sederajat, maka bangsa Indonesia
merasakan dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap
hormat menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.
Akan tetapi, penyimpangan dan pelanggaran tetap terjadi. Terutama terhadap nilai
kemanusiaan yang dianut pada sila kedua pancasila. Salah satu contoh kasus yang menjadi
polemik di negara Indonesia adalah terjadinya kekerasan pada anak. Ini adalah alarm bahwa
nilai pancasila belum di amalkan dengan matang. Sehingga hal ini terjadi berulang dan
menjadi contoh yang buruk di tanah air.
4
rumah anak itu sendiri dengan jumlah yang lebih kecil terjadi di sekolah, di lingkungan atau
organisasi tempat anak berinteraksi. Menurut Undang-undang Perlindungan anak No 23
Tahun 2002, Kekerasan terhadap anak dalam arti kekerasan dan penelantaran anak adalah
semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik maupun emosional, penyalahgunaan
seksual, penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain yang mengakibatkan cidera
atau kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak,
tumbuh kembang anak, atau martabat anak-anak atau kekuasaan.
Seharusnya kekerasan terhadap anak bukan suatu kultur dan ini yang harus diluruskan
dalam program pencegahan deteksi dini. Serta perlunya pemahaman di sekolah, rumah, dan
anggota keluarga, bahwa memukul anak yang diklaim sebagai suatu proses pembelajaran
agar lebih baik, justru itu merupakan satu bentuk kekerasan kepada anak.
Kasus kekerasan pada anak ini memang miris untuk terdengar oleh telinga kita
sebagai warga Indonesia. Tentu hal ini telah melenceng dari sila kedua Pancasila, yaitu
“Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Karena dalam sila kedua terkandung nilai-nilai
humanistis yang harus kita terapkan pada segala aspek kehidupan, antara lain:
Pengakuan terhadap adanya martabat manusia dengan segala hak asasinya yang harus
dihormati oleh siapapun.
Perlakuan yang adil terhadap sesama manusia.
Pengertian manusia beradab yang memiliki daya cipta, rasa, karsa dan iman, sehingga
nyatalah bedanya dengan makhluk lain.
Nilai-nilai tersebut akan semakin pudar jika kita tidak segera menghentikan
kebiasaan-kebiasaan buruk orang yang mendidik anak dengan menggunakan kekerasan
sebagai alat disiplin yang sebenarnya tidak ada pengaruh positif bagi anak. Untuk lebih
jelasnya, berikut adalah beberapa klasifikasi mendalam mengenai kekerasan pada anak.
1. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah agresi fisik diarahkan pada seorang anak oleh orang dewasa. Hal
ini dapat melibatkan meninju, memukul, menendang, mendorong, menampar, membakar,
membuat memar, menarik telinga atau rambut, menusuk, membuat tersedak atau
menguncang seorang anak. Bentuk kekerasan seperti ini mudah diketahui karena akibatnya
bisa terlihat pada tubuh korban Kasus physical abuse: persentase tertinggi usia 0-5 tahun
(32.3%) dan terendah usia 13-15 tahun (16.2%). Kekerasan biasanya meliputi memukul,
mencekik, menempelkan benda panas ke tubuh korban dan lain-lainnya. Dampak dari
5
kekerasan seperti ini selain menimbulkan luka dan trauma pada korban, juga seringkali
membuat korban meninggal.
Termasuk nama panggilan, ejekan, degradasi, perusakan harta benda, penyiksaan atau
perusakan terhadap hewan peliharaan, kritik yang berlebihan, tuntutan yang tidak pantas atau
berlebihan, pemutusan komunikasi, dan pelabelan sehari-hari atau penghinaan. Bentuk
kekerasan seperti ini sering diabaikan dan dianggap biasa atau bahkan dianggap sebagai
candaan. Dampak dari kekerasaan seperti ini yaitu anak jadi belajar untuk mengucapkan kata-
kata kasar, tidak menghormati orang lain dan juga bisa menyebabkan anak menjadi rendah
diri.
Bentuk kekerasan seperti ini juga sering tidak terlihat, namun dampaknya bisa lebih
besar dari kekerasan secara verbal. Kasus emotional abuse: persentase tertinggi usia 6-12
tahun (28.8%) dan terendah usia 16-18 tahun (0.9%) Kekerasaan seperti ini meliputi
pengabaian orang tua terhadap anak yang membutuhkan perhatian, teror, celaan, maupun
sering membanding-bandingkan hal-hal dalam diri anak tersebut dengan yang lain, bisa
menyebabkan mentalnya menjadi lemah. Dampak kekerasan seperti ini yaitu anak merasa
cemas, menjadi pendiam, belajar rendah diri, hanya bisa iri tanpa mampu untuk bangkit.
4. Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang
dewasa atau pelanggaran yang dilakukan oleh remaja yang lebih tua terhadap seorang anak
untuk mendapatkan stimulasi seksual. Setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan
seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan
orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu. Bentuk pelecehan seksual anak
termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual (terlepas
dari hasilnya), paparan senonoh dari alat kelamin kepada anak, menampilkan pornografi
kepada anak, kontak seksual yang sebenarnya terhadap anak, kontak fisik dengan alat
kelamin anak, melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik, atau menggunakan anak untuk
memproduksi pornografi anak.
Bentuk kekerasan seperti ini biasanya dilakukan oleh orang yang telah dikenal anak,
seperti keluarga, tetangga, guru maupun teman sepermainannya sendiri. Kasus pelecehan
eksual: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (33%) dan terendah usia 0-5 tahun (7,7%).Bentuk
6
kekerasan seperti ini yaitu pelecehan, pencabulan maupun pemerkosaan. Dampak kekerasan
seperti ini selain menimbulkan trauma mendalam, juga seringkali menimbulkan luka secara
fisik.
E.PELAKU KEKERASAN
Justru orang yang memiliki hubungan dekat dengan anak seperti orang tua,
kakak/adik, keluarga, tetangga, teman sepermainan, teman sekolah, guru pembimbing di
lingkungan rumah dan guru disekolah. Ada perbuatan, sikap sehari-hari dan kata-kata yang
justru mencederai emosi anak dan hal ini disebut kekerasan psikis.
Ada fakta menarik akan keterkaitan antara cedera emosi yang dialami seseorang saat
ia masih anak-anak dengan perilakunya saat dewasa. Berdasarkan latar belakang para pelaku
pedofilia di Amerika Serikat, 80% dari pelaku mengalami kekerasan terhadap anak secara
fisik, verbal dan seksual. Para pakar kejiwaan menyimpulkan bahwa ada ‘pertarungan’ emosi
yang terbawa sejak kecil saat anak mengalami kekerasan.
Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orang tuanya dan ketika tumbuh menjadi
dewasa mereka melakuakan tindakan kekerasan kepada anaknya.
1. Stres Sosial
Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko kekerasan
terhadap anak dalam keluarga.
Orang tua dan pengganti orang tua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak
cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orang tua yang bertindak keras ikut serta
7
dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan yang sedikit
dengan teman atau kerabat.
1. Struktur Keluarga
Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko yang meningkat untuk melakukan tindakan
kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orang tua tunggal lebih memungkinkan
melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan orang tua utuh.
Pasangan suami Utomo Permono (45) dan istri Nur Indriasari (42)
yang menelantarkan kelima anak mereka resmi menyandang status tersangka. Penetapan
status itu diputuskan setelah penyidik menerima hasil analisis psikologi Utomo dan Nuri yang
menunjukkan keduanya menentarkan anaknya dengan kesadaran penuh.
Kelima anak yang ditelantarkan itu berinisial D (8) serta 4 saudarinya, C dan L (10),
D (8), Al (5), dan DA (3). Nasib D sangatlah malang. Dia mondar mandir mengendarai
sepeda selama sebulan di Perumahan Citra Gran Cibubur. Pada siang hari D mondar-mandir
di perumahan tersebut, ke rumah tetangga dan ke tempat-tempat lainnya selain rumah.
Kemudian malam harinya, D tidur di pos jaga. Selain tidak diperbolehkan masuk rumah,
Dani juga sudah tidak bersekolah sejak sebulan lalu.
memang bukan anak jalanan. Tapi hidupnya sama terlantarnya dengan mereka yang di
jalanan. Entah apa yang terjadi padanya, hingga bocah tersebut mulai berani mencuri. Dari
sandal, sepatu, hingga makanan milik warga pernah diambil bocah tersebut.
Krishna Murti mengatakan, selain hasil kejiwaan pelaku, polisi juga mengantongi 2
alat bukti, yaitu hasil visum fisik anak dan keterangan saksi ahli tentang kondisi psikis anak.
Dari hasil visum et repecentrum, kondisi fisik kelima anak yang ditelantarkan mengalami gizi
buruk. Selain itu ada bekas luka di kaki anak D (8) yang menunjukkan masa penyembuhan
lukanya lama akibat pukulan benda tumpul. 2 Hal tersebut dianggap sebagai kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT) oleh penyidik.
Dengan ditetapkannya Tomo dan Nuri sebagai tersangka, maka keduanya dijerat pasal
berlapis yaitu Pasal 76B juncto 77B dan Pasal 80 juncto 76C Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan atau Pasal 44 atau Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang KDRT. “Pasal-pasal tersebut karena kedua pelaku terbukti
melakukan penelantaran dan kekerasan terhadap anak mereka dalam kurun waktu 2014-
2015,” jelas Krishna.
8
Saat menggeledah rumah milik pasangan suami istri UP alias T dan NS, kondisi
rumah 2 lantai itu sangat memprihatinkan, berantakan dan banyak sampah. Polisi mendapati
4 anak perempuan dalam kondisi fisik yang buruk. Mereka seperti kekurangan gizi dan
tertekan. Saat polisi dan KPAI hendak mengamankan anak-anak malang tersebut, sang ayah
mencoba menghalau dan bersikeras ia berhak melakukan perbuatan itu karena ia ayah
kandung kelima anak.Keduanya pun digelandang ke Polda Metro Jaya untuk diperiksa
sebagai saksi. Saat pengembangan kasus, polisi menemukan paket sabu di dalam kamar tidur
kedua pelaku. Keduanya lalu ditetapkan sebagai tersangka atas kasus kepemilikan narkoba
dan diserahkan ke Direktorat Narkotika, sembari menjalani pemeriksaan kejiwaan. (Sumber:
liputan6.com)
Anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan menjadi sangat agresif,
dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua agresif
melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang
menjadi agresif. Semua jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk
yang diterima manusia ketika dia masih kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-
ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap anak,
meninggalkan bekas luka secara fisik hingga menyebabkan korban meninggal dunia.
Unicef (1986) mengemukakan, anak yang sering dimarahi orang tuanya, apalagi
diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk (coping mechanism). Kekerasan
psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang nyata
seperti penyiksaan fisik. Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang
termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan
membina persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat
dan alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri.
Eksploitasi seksual yang dialami semasa masih anak-anak banyak ditengarai sebagai
penyebab keterlibatan dalam prostitusi. Jika kekerasan seksual terjadi pada anak yang masih
kecil pengaruh buruk yang ditimbulkan antara lain dari yang biasanya tidak mengompol jadi
mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak beralasan, atau
bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya masalah kulit. Hal ini tentu sangat tidak
manusiawi, terutama pada anak.
9
Pengaruh yang paling terlihat jika anak mengalami hal ini adalah kurangnya perhatian
dan kasih sayang orang tua terhadap anak. Jika anak kurang kasih sayang dari orang tua
menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku akrab,
dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.
Sebagai bentuk penegakan hukum di Indonesia, kekerasan terhadap anak sudah melanggar
sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Dan itu tertulis pula dalam Undang-undang yang
menyinggung tentang perlindungan anak. Hukuman kepada pelaku sangat penting untuk
membuat efek jera dan takut untuk mengulangi tindak kekerasan yang sama. Kekerasan
terhadap anak memiliki dampak sangat dalam sehingga pelaku haruslah dihukum. Semua
sanksi dari bentuk kekerasan sudah tercantum di dalam undang-undang, hanya saja
penerapannya masih perlu pendalaman lebih jauh tentang kasusnya. Namun, kekerasan
tersebut dapat di minimalisir atau dicegah.
Secara preventif, yaitu hak atas rasa aman, hak atas kebebasan pribadi, sosialisasi
hak-hak korban dan akses terhadap APH/keadilan. Hal ini dapat dilakukan dengan
pemberian sanksi pidana terhadap pelaku sebaiknya diberikan hukuman seberat-
beratnya. Pemberian sanksi berat tersebut harus diperhatikan pada motif pelaku,
tujuan pelaku melakukan tindak pidana, cara pelaku melakukan tindak pidana
dan motif
Pasal 81 (1) UU No. 23 Tahun 2002 mengatur ketentuan pidana bagi pelaku yang
melakukan persetubuhan di luar perkawinan dengan pidana minimum 3 tahun
dan maksimum 15 Adanya pidana tambahan berupa ganti kerugian. Menuntut
ganti rugi akibat suatu tindak pidana/kejahatan yang menimpa diri korban
melalui cara penggabungan perkara perdata dengan perkara pidana (Pasal 98
sampai dengan Pasal 101 KUHAP).
Secara Represif diperlukan perlindungan hukum berupa pemberian restitusi dan
kompensasi bertujuan mengembalikan kerugian yang dialami oleh korban baik fisik
maupun psikis, sebagaimana diatur dalam pasal 98-101 Konseling diberikan
kepada anak sebagai korban perkosaan yang mengalami trauma berupa
rehabilitasi serta perlindungan identitas dari pemberitaan media massa dan untuk
menghindari labelisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 64 (3) UU Perlindungan
Anak, dan Pasal 90 UU Sistem Peradilan Pidana Anak.
10
Perlindungan Anak juga menetapkan beberapa bentuk perlindungan yang lain
terhadap anak korban kekerasan. Pasal 17 ayat (2) yang berbunyi: “Setiap anak yang
menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum
berhak dirahasiakan”.Kemudian dalam Pasal 18 disebutkan: “Setiap anak yang
menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak memperoleh bantuan hukum dan
bantuan lainnya”.
Berbagai bentuk kekerasan terhadap anak yang ditetapkan sebagai tindak pidana sebagaimana
diatur dalam UU Perlindungan Anak. Seperti dikemukakan di atas, bahwa ada beberapa
bentuk kekerasan terhadap anak, yaitu kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Bentukbentuk
kekerasan terhadap anak tersebut dijabarkan ke dalam berbagai tindak pidana, seperti diatur
dalam Pasal 77 s/d Pasal 89.
Berbagai bentuk tindak pidana kekerasan pada anak dalam UU Perlindungan Anak adalah
sebagai berikut:
(1) diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian materiil
maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya (Pasal 77);
(2) penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan
fisk, mental, maupun social (Pasal 77);
(3) membiarkan anak dalam situasi darurat, seperti dalam pengusian, kerusuhan, bencana
alam, dan/atau dalam situasi konflik bersenjata (Pasal 78);
(4) membiarkan anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan
terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan,
anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkhohol, psikotropika, dan zat adiktif
lainya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, padahal anak tersebut
memrlukan pertolongan dan harus dibantu (Pasal 78);
(5) pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan Pasal 39 (Pasal 79);
(6) melakukan kekejaman, kekerasan atau penganiayaan terhadap anak (Pasal 80);
(7) melakukan kekerasan terhadap anak untuk melakukan persetubuhan (Pasal 81);
(8) melakukan kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan perbuatan cabul (Pasal 82);
(9) memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual
(Pasal 83);
(10) melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, secara melawan hukum (Pasal 84);
11
(11) melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak (Pasal 85);
(12) melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak, tanpa
memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai
objeknya tanpa mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, secara melawan hukum
(Pasal 85);
(13) membujuk anak untuk memilih agama lain dengan menggunakan tipu muslihat atau
serangkaian kebohongan (Pasal 86);
(14) merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer atau penyalahgunaan dalam
kegiatan politik atau pelibatan dalam sengketa bersenjata, kerusuhan social, peristiwa yang
mengnadung kekerasan, atau dalam peperangan, secara melawan hukum (Pasal 87);
(15) mengeksploitasiekonomi dan seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain (Pasal 88);
Perlindungan Anak juga menetapkan beberapa bentuk perlindungan yang lain terhadap anak
korban kekerasan. Pasal 17 ayat (2) yang berbunyi: “Setiap anak yang menjadi korban atau
pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan”.
Kemudian dalam Pasal 18 disebutkan: “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak
pidana berhak memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya”.
Tindakan pencegahan diperlukan untuk menekan tingkat frekuensi kekerasan yang
melanggar keberadabannya sesama manusia. Kiat yang bisa dilakukan untuk itu adalah:
Berikan pemahaman dan ajarkan anak untuk menolak segala perbuatan yang tidak senonoh
dengan segera meninggalkan di mana sentuhan terjadi. Ingatkan anak untuk tidak gampang
12
mempercayai orang asing dan buat anak untuk selalu menceritakan jika terjadi sesuatu pada
dirinya.
bela diri dapat digunakan untuk membela diri sendiri dari ancaman-ancaman yang ada.
Namun tetap harus diberikan pengarahan bahwa ilmu bela diri dipelajari bukan untuk
melakukan kekerasan.
Salah satu solusi untuk mencegah krisis moral yang melanda di kalangan generasi penerus
adalah mengajarkan budi pekerti, baik di rumah maupun di sekolah.
Hal ini bertujuan agar segera diambil tindakan lebih lanjut terhadap tersangka dan
mengurangi angka kejahatan yang sama terjadi.
13
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pancasila memiliki lima nilai dasar yaitu nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai
persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan. Sila-sila dari Pancasila itu terdiri dari nilai-
nilai dan norma-norma yang positif sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Akan tetapi, karena krisis moral di Indonesia maka marak terjadinya kasus yang
melanggar dan menyimpang dari nilai pancasila. Contohnya adalah kasus kekerasan terhadap
anak. Pelaku dari kasus ini bisa disebabkan oleh lingkungan sekitar anak, terutama orang tua.
Dengan terjadinya kekerasan terhadap anak oleh orang tua dalam rumah tangga, maka
di perlukan suatu upaya-upaya untuk menanggulangi terjadinya kekerasan terhadap anak.
Upaya-upaya tersebut dapat berupa tindakan preventif yaitu penguatan keluarga, aspek
spiritual, dan peran serta pemerintah dalam penegakkan hukum. Upaya-upaya tersebut
diharapkan dapat mengurangi jumlah korban kekerasan terhadap anak oleh orang tua dalam
rumah tangga. Sebab anak merupakan generasi penerus bagi keluarga, marga (claim/suku),
bahkan bagi bangsa dan negara ini, apabila hal ini dibiarkan maka bangsa ini akan kehilangan
generasi penerus di masa yang akan datang.
Oleh sebab itulah perlunya kita memahami makna dari sila-sila pancasila. Apa
maksud dan tujuannya sehingga kita dapat mengamalkannya di kehidupan sehari-hari. Dan
Indonesia menjadi tenteram, aman dan damai.
14
DAFTAR PUSTAKA
http://news.liputan6.com/read/2345557/ada-21-juta-kasus-papua-darurat-kekerasan-anak .
Diterbitkan pada 21 Oktober 2015.
https://www.facebook.com/notes/posdaya-kab-solok/bentuk-kekerasan-pada-
anak/536336126482864 . Diterbitkan pada 30 Maret 2014.
15