Laporan Pendahuluan Tavb Cvcu Rima Merlina

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS DENGAN DIAGNOSA TAVB (TOTAL ATRIO


VENTRICULAR BLOCK) DI RUANG CVCU RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

Disusun Oleh

RIMA MERLINA
090STYJ21

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGARA BARAT

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN YARSI MATARAM

PROGRAM STUDI NERS JENJANG PROFESI

MATARAM

2021/2022
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan “Asuhan Keperawatan Kritis” Di Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi


Nusa Tenggara Barat Telah Disetujui Dan Disahkan Pada:

Ruangan :

Hari :

Tanggal :

Tahun : 202

Mengesahkan :

Pembimbing Pendidikan Pembimbing Lahan

() ()
A. Definisi
Gangguan konduksi jantung adalah ganguan yang terjadi pada
jaringan konduksi (jalur listrik) jantung sehingga listrik jantung tidak berjalan
lancar atau terhenti ditengah jalan (Budi Yuli, 2009). AV Blok merupakan salah
satu kondisi gangguan konduksi jantung yang terjadi bila jalur SA Node ke AV
Node (yang membentuk interval PR pada EKG) terhambat, maka Interval PR
menjadi lebih panjang. Ibarat jalan tol macet, maka jarak tempuh ke tempat tujuan
menjadi lebih lama. AV Blok dibagi menjadi 3 derajat sesuai tengan tingkat k
eparahan. ( Lippincot, Will iam, 201 1).
Total AV blok merupakan keadaan darurat jantung yang membutuhkan
penanganan segera. Blok biasanya berkembang dari blok derajat I dan II, tetapi
total AV blok dapat juga terjadi tanpa blok parsial sebelumnya atau interval PR
yang bisa normal segera setelah terjadi periode blok total. Letak blok total sering
diperkirakan dengan lebar kompleks QRS dan kecepatan ventrikel. Jika terjadi
distal dari His Bundle kompleks QRS biasanya melebar dan kecepatan ventrikel
biasanya > 50x/ menit.(Hidayat, 2010 ).
Hambatan Atrioventrikuler (Atrioventricular block) adalah kelainan
pada sistem koduksi jantung dimana depolarisasi atrium gagal untuk mencapai
ventrikel atau depoilarisasi atrial yang terkonduksikan dengan terlambat.
Hambatan Atrioventrikuler (Blok AV) kerap menjadi penyebab bradikardia
meskipun lebih jarang dibandingkan dengan kelainan fungsi nodus SA yang juga
menyebabkan gejala bradikardia. Blok AV tingkat III. Disebut juga blok jantung
komplit atau total av blok. Pada blok ini impuls dari atrium tidak pernah sampai di
ventrikel. Denyut berasal dari stimulasi oleh fokus pada simpul AV atau fokus di
ventrikel sendiri sehingga ventrikel berdenyut sendiri tidak ada hubungan dengan
denyut atrium. Gambaran EKG menunjukan adanya gelombang P teratur dengan
rate 60-90x / menit, sedangkan kompleks QRS mempunyai rate 40-60x /menit.
Blok ini disebabkan proses degenerasi, peradangan, intoksikasi digitalis dan infark
miokard akut. Bila blok tingkat III ini menetap sebaiknya dipasang pacu jantung
menetap.
B. Klasifikasi

AV Blok terbagi menjadi :


1. Blok AV derajat satu

Blok AV derajat satu merupakan derajat yang paling ringan.


Pada jenis ini, impuls yang dibentuk disimpul SA mengalami
perlambatan disimpul AV. Karena itu, istilah blok AV pada kondisi ini
sebenarnya kurang tepat, karena yang terjadi adalah perlambatan
(delay), bukan blok. Pada derajat satu, blok biasanya terjadi di simpul
AV. Pada umumnya durasi kompleks QRS yang mengikuti masih
sempit kecuali bila terjadi aberansi. Interval PR tampak konstan tanpa
episode dropped beat. Karena itu interval RR juga tampak teratur.
Pemanjangan interval ini antara lain disebabkan konsumsi obat-
obatan (seperti penyekat reseptor beta, antagonis kalsium, amiodaron
dan digoksin), penyakit jantung koroner. Meskipun jarang,
pemanjangan interval PR (0,21-0,22 det) kadang masih akan
ditemukan pada individu tanpa kelainan struktural apa- apa di jantung.
Pasien sering kali tidak menunjukkan gejala (asimtomatik). Blok AV
derajat satu biasanya tdak memerlukan tindakan apa-apa.
Kriteria diagnostiknya adalah :
a. Setiap gelombang P di ikuti oleh QRS (tidak ada episode dropped beat).
b. Interval PR > 0,2 detik. Pemanjangan interval ini konstan dari beat ke beat.

2. Blok AV derajat dua


Tahun 1899, karel frederik Wenckebach, menjelaskan sebuah fenomena
timbulnya sebuah ketidakteraturan denyut nadi karena blok parsial di atrium
ventrikular junction. Akibat blok parsial ini, terjadi pemanjangan progresif waktu
konduksi di jantung. Fenomena ini kemudian disebut sebagai fenomena
Wenckebach. Pada bulan juli 1923 woldemar mobitz untuk pertama kali
membagi blok AV derajat dua menjadi dua tipe yaitu :
a. Tipe I (mobitz tipe I atau Wenckebach phenomenon)

Pada mobitz tipe I impuls yang datang dari atrium lebih sulit melawati
simpul AV. Pada EKG tampak pada interval PR memanjang progresif hingga
suatu saat gelombang P tidak diteruskan menjadi kompleks QRS karena
simpul AV masih refrakter (Wenckebach phenomenon). Dengan demikian,
depolarisasi dari atrium tidak lagi diteruskan ke ventrikel atau dropped beat.
Setelah dropped beat ini terjadi, masa refrakter simpul AV telah selesai.
Dengan kata lain simpul AV telah siap untuk menerima dan meneruskan
impuls yang baru dari atrium. Karena itu saat ada impuls yang baru datang,
simpul AV kembali dapat meneruskannya ke distal dengan interval PR lebih
pendek dibanding sebelum terjadinya dropped beat. Siklus baru akan di mulai
kembali interval PR perlahan-lahan kembali memanjang hingga suatu saat
kembali terjadi dropped beat demikian seterusnya. Interval PR perlahan-lahan
akan tampak memendek hingga terjadinya blok. Karena adanya fenomena ini
kompleks QRS akan tampak seperti mengelompok seperti adanya blok. Bila
menemukan fenomena seperti ini kita dapat mencurigai terjadinya blok
wenckebach sebelum menyelidiki hubungan antara gelombang P dan
kompleks QRS.
Tidak semua blok derajat ini memperlihatkan pemanjangan interval PR
yang jelas. Pada sebagian kasus pemanjangan interval ini terjadi perlahan
hingga terjadinya dropped beat. Meskipun demikian , kita akan selalu
melihat bahwa interval PR setelah dropped beat akan selalu lebih pendek
dibanding sebelum episode blok.
Pada blok AV derajat dua tipe I lokasi blok biasanya masih berada
disimpul AV atau bagian atas regio junctional atau supra his. Biasanya
kompleks QRS juga akan normal (sempit). Hemodinamik masih akan
normal. Pasien-pasien seperti ini akan tetap asimtomatik bertahun-tahun
tanpa mengalami perburukan derajat.
Pada kasus blok wenckebach terdapat kriteria sebagai berikut :
1) Interval PR memanjang progresif hingga suatu saat mengalami blok.
2) Interval RR memendek hingga gelombang P mengalami blok.
3) Interval RR diantara gelombang P yang mengalami blok lebih pendek
dari jumlah dua interval PP.
Mobitz tipe satu dapat timbul karena konsumsi obat-obat tertentu seperti
digoksin atau penyakat reseptor beta. Blok ini cukup sering terjadi pada
infark miokard inferior akibat gangguan suplai darah ke simpul AV. Selain
itu,  juga dapat terjadi pada miokarditis, proses sklerodegeneratif yang
melibatkan nodus AV dan tonus vagal yang tinggi (seperti saat tidur,
muntah, atlet terlatih).
b. Tipe II (mobitz tipe II)

Tipe ini mengindikasikan terjadinya kerusakan struktural


permanen berkas cabang akibat infark miokardium anterior luas atau
proses degeneratif luas sistem konduksi. Lokasi blok biasanya terdapat
dibawah bekas his atau infra his. Lokasi blok di simpul AV sangatlah
jarang karena itu sebagian besar akan disertai oleh blok berkas cabang.
Pada mobitz tipe II tidak di dapatkan pemanjangan progresif
interval PR yang membedakannya dari mobitz tipe I. Interval PR akan
konstan, bisa memanjang atau normal. Yang khas adalah terdapat blok
intermiten gelombang P dengan rasio yang bervariasi (3:2,4:3,dll).
Durasi QRS sering kali lebar yang menandakan lokasi blok di distal
berkas his.
Kriteria diagnosa mobitz tipe II yaitu :
1) Blok intermiten gelombang P
2) Pada gelombang P yang diteruskan menjadi kompleks QRS (conducted),
interval PR akan konstan (bisa normal atau memanjang).
3) Pada umumnya morfologi QRS merupakan blok berkas cabang. Gambar AV
blok mobitz tipe II

3. Blok AV 2:1
Blok AV 2:1 merupakan kondisi yang khusus. Pada blok AV rasio 2:1 ( 2
gelombang P dengan 1 QRS), sangat sulit ditentukan apakah termasuk blok
mobitz tipe I atau tipe II. Pada tipe I harus ada pemanjangan proresif interval PR
sedangkan pada tipe II harus ada bukti bahwa interval PR konstan.
4. Blok AV derajat tiga (Blok AV total)
Pada blok AV total seluruh impuls dari supraventrikel gagal diteruskan
ke ventrikel akibat adanya blok di AV junction. Akibatnya aktifitas ventrikel
tidak lagi distimulasi oleh pacu jantung(pace maker) normal yaitu simpul SA,
melainkan dari sumber atau fokus yang berada distal terhadap lokasi blok, bisa
di AV jantung atau lebih distal seperti berkas cabang. Fokus ini disebut
subsidiary pacemaker. Karena itu baik aktifitas atrium dan ventrikel akan tampak
berjalan sendiri-sendiri. Tidak ada hubungan konstan atau koordinasi antara
gelombang P dan kompleks QRS ( independent satu sama lain). Interval PP dan
RR tampak teratur, kecuali ekstra sistol. Pada pasien dengan irama dasar fibrilasi
atrium atau kepak atrium (atrial flutter), terjadinya blok AV Total dapat dikenali
jika respon ventrikel menjadi teratur.
Dalam interpretasi perlun disebutkan irama yang mengambil alih. Dengan
demikian , kriteria blok AV total adalah :
a. Tidak terdapat hubungan antara aktifitas atrium (gelombang P) dan ventrikel
(komplek QRS).
b. Laju gelombang P biasanya lebih cepat dari laju QRS.
c. Irama ventrikel dipertahankan oleh irama junctional atau idioventrikular.
Bundle Branch Blok
Jika gelombang depolarisasi mencapai septum interventrikular secara normal,
interval antara permulaan gelombang P dan defleksi pertama pada kompleks QRS
(interval PR) akan normal pula. Namun, jika terdapat kondisi abnormal melalui
cabang-cabang berkas kanan atau kiri (blok cabang berkas), akan timbul
perlambatan depolarisasi pada sebagian otot ventrikel. Penambahan waktu yang
diperlukan untuk mendepolarisasikan seluruh otot ventrikel menyebabkan kompleks
QRS melebar.
Jika durasi QRS lebih besar dari 0,12 detik , pasti kondusi ventrikel melewati
jalur yang abnormal dan lambat. Walaupun komplek QRS yang lebar dapat
menunjukkan BBB, pelebaran jika terjadi jika depolarisasi dimulai di dalam otot
ventrikel itu sendiri. Bundle branch blok dibagi menjadi dua yaitu :
a. Right Bundle Branch Blok (RBBB)
RBBB merupakan gambaran EKG yang terjadi akibat adanya hambatan
atau blok implus pada tingkat berkas cabang kanan. Tidak serta merta berarti
kelainan jantung. Banyak individu normal menunjukkan RBBB (pre-existing
RBBB).
Dalam keadaan normal gelombang depolarisasi dari nodus AV akan
diteruskan ke berkas HIS lalu ke berkas cabang kanan dan kiri pada waktu yang
bersamaan. Karena adanya blok diberkas cabang kanan, depolarisasi ventrikel
kanan kiri tidak terjadi simultan. Impuls akan di teruskan ke distal lebih dahulu
secara normal melalui berkas cabang kiri. Karena itu proses awal (aktifasi
septum) tetap berlangsung normal dari sisi kiri septum ke kanan. Proses eksitasi
berlanjut ke ventrikel kiri melalui fasikulus anterior dan posterior lalu terakhir
ke ventrikel kanan. Dengan demikian terjadi perubahan urutan aktifasi ventrikel.
Fase awal aktifasi ventrikel pada RBBB adalah aktifasi septum yang
tetap berlangsung normal dari sisi kiri septum ke kanan. Proses ini tidak
terganggu karena seperti halnya dalam keadaan normal septum memang di
aktifasi oleh cabang-cabang septal yang berasal dari berkas cabang kiri. Karena
itu, RBBB tidak menimbulkan perubahan pada bagian awal kompleks QRS, lain
halnya dengan LBBB. Karena arah vektornya adalah dari kiri belakang ke kanan
depan, pada EKG proses ini akan terekam sebagai defleksi R di V1 dan Q di V6.
Setelah aktifasi septum, fase berikutnya adalah aktifasi ventrikel kiri.
Proses ini juga berjalan seperti dalam keadaan normal, hanya saja dalam
keadaan normal proses ini stimultan dengan eksitasi ventrikel kanan melalui
berkas cabang kanan. Vektornya menuju ventrikel kiri. Pada EKG akan terekam
gelombang S di V1 dan R di V6, masih sama dengan EKG normal.
Masalahnya terletak pada fase terakhir aktifasi ventrikel. Fase terakhir
adalah depolarisasi ventrikel kanan yan terlambat. Pada EKG proses ini terekam
sebagai R di V1 dan sebaliknya, S di V6. Gelombang R tampak lebar, biasanya
lebih tinggi dari r. Gelombang S juga tampak lebar (slurred). Proses terakhir
inilah yang membedakan aktifasi ventrikel pada RBBB dibanding keadaan
normal.
Akibatnya adalah perubahan arah vektor terminal QRS ke kanan
depan dengan gambaran S lebar (slurred) di sadapan precordial kiri, menuju
ventrikel kanan.
Kriteria diagnosis RBBB yaitu:
1) Durasi QRS > 0,12 detik
2) Kompleks QRS berbentuk trifasik (rSR’) di sandapan prekardial kanan (V1 -
V3). Biasanya disertai depresi segmen ST dan gelombang T terbalik.
3) Gelombang S lebar di sandapan prekordial lateral (V5,V6) dan I.
4) Onset intrinsicoid deflection di V6 normal.
b. RBBB inkomplit
RBBB inkomplit memiliki durasi QRS yang normal. Pada RBBB
inkomplit, terjadi blok parsial atau perlambatan konduksi di berkas cabang
kanan, dengan demikian masih ada implus yang dapat melewatinya untuk
mengaktifasi ventrikel kanan secara normal.
c. Left Bundle Branch Blok (LBBB)
LBBB terjadi akibat adanya hambatan atau blok implus pada tingkat
berkas cabang kiri. Karena blok ada diberkas cabang kiri dengan
sendirinya fase awal aktifasi ventrikel (aktifasi septum) pasti berubah.
Artinya, aktifasi septum tidak lagi berlangsung dari sisi kiri ke kanan,
melainkan sebaliknya. Aktifasi septum pada LBBB berlangsung sangat
lambat dari otot ke otot. Karena itu waktu yang diperlukan lebih lama
tidak heran jika durasi QRS pun akan menjadi lebih lebar.
Pada LBBB urutan aktifasi ventrikel menjadi abnormal, baik dalam
vektor awal maupun vektor akhir kompleks QRS. Akibat blok, eksitasi
ventrikel akan di mulai oleh implus yang dihantarkan melalui berkas
cabang kanan. Berkas cabang kanan berjalan dari atas septum ke distal
(di sisi kanan septum interventrikel) menuju apex ventrikel kanan
sebagai sebuah serabut tanpa memberikan cabang apa-apa. Daerah
yang di eksitasi lebih awal adalah sisi kanan septum ventrikel, apex dan
dinding bebas ventrikel kanan. Proses eksitasi septum selanjutnya
berlangsung dari sisi kanan ke kiri. Pada LBBB, gelombang q septal
ini akan hilang akibat perubahan arah vektor awal QRS.
Selanjutnya eksitasi diteruskan ke ventrikel kiri yang ada di kiri
belakang. Dengan demikian depolarisasi dan rerata vektor QRS juga
berubah ke arah kiri dan posterior. Karena depolarisasi dihantarkan
tidak melalui sistem konduksi normal, maka defleksi yang timbul
tampak lebar. Selain itu hjuga terdapat perubahan arah repolarisai,
vektor segmen ST dan T menjadi berlawanan arah dengan vektor
QRS. Akibatnya, terekam gambaran ST depresi dan infersi
gelomabang T di sadapan precordial kiri, Sadapan 1 dan AVL.
Kriteria diagnosis LBBB :
1) Durasi QRS > 0,12det
2) Gelombang R tampak lebar , bertakik, disandapan prekordial kiri , I dan aVL.
c) Gelombang q menghilang di sadapan prekordial kiri
3) Onset intrisicoid deflection terlambat di V6 namun masih normal di V1.
4) Depresi segmen ST dan inversi gelombang T berlawanan arah dengan arah
defleksi kompleks QRS (discordan).
LBBB sering kali merupakan petunjuk adanya kelainan struktural
dijantung. Konduksi patologis yang sering berhubungan adalah hipertensi
lama, stenosis aorta, kardiomiopati dilatasi, infrak miokard, PJK , dan kelainan
sistem konduksi listrik jantung. LBBB sering timbul pada PJK dengan fungsi
ventrikel kiri yang rendah.
C. Etiologi
Blok AV dapat disebabkan oleh iskemia miokard akut atau infark. Infark
miokard inferior dapat menyebabkan blok derajat 3, biasanya di tingkat AVN, hal
ini dapat terjadi melalui mekanisme lain melalui Bezold - Jarisch refleks . Infark
miokard anterior biasanya dikaitkan dengan blok AV derajat 3 akibat iskemia atau
infark cabang bundel hiss.
Perubahan degeneratif di AVN atau cabang bundel hiss ( misalnya ,
fibrosis, kalsifikasi , atau infiltrasi ) adalah penyebab paling umum dari
nonischemic AV blok . Sindrom Lenegre - Lev adalah mengakuisisi blok
jantung lengkap karena fibrosis idiopatik dan kalsifikasi dari sistem konduksi
listrik jantung. Hal ini paling sering terlihat pada orang tua dan sering
digambarkan sebagai degenerasi dari sistem konduksi dan dapat menyebabkan
blok AV derajat 3.
Perubahan degeneratif pada sistem konduksi AV dikaitkan dengan mutasi
gen SCN5A natrium channel ( mutasi dari gen yang sama dapat menyebabkan QT
panjang secara kongenital ) . Penyakit miokard infiltratif mengakibatkan blok AV
termasuk sarkoidosis , myxedema , hemochromatosis , dan kalsifikasi progresif
katup mitral, katup aorta, dan kalsifikasi annulus . Endokarditis dan infeksi lain
dari miokardium , seperti penyakit Lyme dengan infiltrasi aktif dari sistem
konduksi AV, dapat mengakibatkan berbagai tingkat blok AV.Penyakit sistemik,
seperti ankylosing spondylitis dan sindrom Reiter , dapat mempengaruhi jaringan
konduksi nodus AV.
Prosedur bedah ( misalnya , penggantian katup aorta dan perbaikan
cacat bawaan ) dapat menyebabkan blok AV , seperti prosedur terapi lain
(misalnya , nodus AV ablasi dan alkohol ablasi septum pada pasien dengan
obstruktif kardiomiopati hipertrofik).
Berbagai obat dapat mempengaruhi konduksi AV . yang paling
umum ini termasuk glikosida digitalis , beta - blocker , calcium channel blockers ,
adenosin , dan agen antiarrhythmic lainnya .
D. Faktor Resiko
1. Umur
Umur berpengaruh terhadap kejadian gagal jantung walaupun gagal
jantung dapat dialami orang dari berbagai golongan umur tetapi semakin tua
seseorang maka akan semakin besar kemungkinan menderita gagal jantung
karena kekuatan pembuluh darah tidak seelastis saat muda dan juga timbulnya
penyakit jantung yang lain pada usia lanjut yang merupakan faktor resiko gagal
jantung. 27 Menurut penelitian Siagian di Rumah Sakit Haji Adam Malik
(2009) proporsi penderita gagal jantung semakin meningkat sesuai dengan
bertambahnya usia yaitu 9,6% pada usia≤ 15 tahun, 14,8% pada usia 16-40
tahun dan 75,6% pada usia >40 tahun.
2. Jenis kelamin
Pada umumnya laki-laki lebih beresiko terkena gagal jantung dari pada
perempuan. Hal ini disebabkan karena perempuan mempunyai hormon estrogen
yang berpengaruh terhadap bagaimana tubuh menghadapi lemak dan kolesterol.
Menurut menurut panelitian Whelton dkk di Amerika (2001) laki-laki mamiliki
resiko relatif sebesar 1,24 kali (P=0,001) dibandingkan dengan perempuan untuk
terjadinya gagal jantung.
3. Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner dalam Framingham study dikatakan sebagai
penyebab gagal jantung 46% pada laki-laki dan 27% pada wanita. Faktor risiko
koroner seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat
berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung. Selain itu berat badan serta
tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL juga dikatakan sebagai faktor
risiko independen perkembangan gagal jantung. Menurut Whelton dkk di amerika
(2001) penyakit jantung koroner memiliki resiko reatif sebesar 8,11 (P=0,001) untuk
terjadinya gagal jantung.
4. Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan tekanan darah yang
tinggi terus-menerus. Ketika tekanan darah terus di atas 140/80, jantung akan
semakin kesulitan memompa darah dengan efektif dan setelah waktu yang lama,
risiko berkembangnya penyakit jantung meningkat. Penurunan berat badan,
pembatasan konsumsi garam, dan pengurangan alkohol dapat membantu
memperoleh tekanan darah yang menyehatkan. Hipertensi dapat menyebabkan gagal
jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi
ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan
meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk terjadinya
aritmia baik itu aritmia atrial maupun aritmia ventrikel. Ekokardiografi yang
menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan perkembangan
gagal jantung. Menurut Whelton dkk di amerika (2001) hipertensi memiliki resiko
reatif sebesar 1,4 (P=0,001) untuk terjadinya gagal jantung.
5. Penyakit katup jantung
Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik. Penyebab
utama terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta.
Regurgitasi mitral dan regurgitasi aorta menyebabkan kelebihan beban volume
(peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan
(peningkatan afterload). Menurut Whelton dkk di amerika (2001) penyakit katup
jantung memiliki risiko relatif sebesar 1,46 (P=0,001) untuk terjadinya gagal
jantung.
6. Penyakit Jantung Bawaan
Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah penyakit dengan kelainan pada
struktur jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa dari lahir yang terjadi
akibat adanya gangguan atau kegagalan perkembangan struktur  jantung pada fase
awal perkembangan janin. Penyakit jantung bawaan bisa terdiagnosis sebelum
kelahiran atau sesaat setelah lahir, selama masa anakanak, atau setelah dewasa.
Penyakit jantung bawaan dengan adanya kelainan otot jantung akan mengarah pada
gagal jantung.
7. Penyakit Jantung Rematik
Penyakit Jantung Rematik (PJR) atau Rheumatic Heart Disease (RHD) adalah
suatu kondisi dimana terjadi kerusakan pada katup jantung yang bisa berupa
penyempitan, atau kebocoran, terutama katup mitral (stenosis katup mitral) sebagai
akibat adanya gejala sisa dari Demam Rematik. Demam rematik akut dapat
mneyebabkan peradangan pada semua lapisan jantung. Peradangan endokardium
biasanya mengenai endotel katup, dan erosi pinggir daun katup Bila miokardium
terserang akan timbul nodular yang khas pada dinding jantung sehingga dapat
menyebabkan pembasaran jantung yang berakhir pada gagal jantung.
8. Aritmia  
Aritmia adalah berkurangnya efisiensi jantung yang terjadi bila kontraksi
atrium hilang (fibrilasi atrium, AF). Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan
gagal jantung dan dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi
ventrikel kiri pada penderita hipertensi.

9. Kardiomiopati
Kardiomiopati merupakan penyakit pada otot jantung yang bukan disebabkan
oleh penyakit jantung koroner, hipertensi, penyakit jantung kongenital, ataupun
penyakit katup jantung. Kardiomiopati ditandai dengan kekakuan otot jantung dan
tidak membesar sehingga terjadi kelainan fungsi diastolik (relaksasi) dan
menghambat fungsi ventrikel.  
10. Merokok dan Konsumsi Alkohol
Kebiasaan merokok merupakan faktor risiko penyakit jantung. Merokok
mempercepat denyut jantung, merendahkan kemampuan jantung dalam membawa
dan mengirimkan oksigen,menurunkan level HDL-C (kolesterol baik) di dalam
darah, serta menyebabkan pengaktifan platelet, yaitu sel-sel penggumpalan darah.
Pengumpalan cenderung terjadi pada arteri jantung, terutama jika sudah ada endapan
kolesterol di dalam arteri. Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung,
menimbulkan gagal jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering
atrial fibrilasi). Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan
kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung alkoholik). Alkohol menyebabkan
gagal jantung 2  – 3% dari kasus. Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan nutrisi
dan defi1siensi tiamin. Obat-obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung. Obat
kemoterapi seperti doxorubicin dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat
menyebabkan gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot  jantung.
E. MANIFESTASI KLINIS
- AV blok sering menyebabkan bradikardia, meskipun lebih jarang dibandingkan
dengan kelainan fungsi nodus SA.
- Seperti gejala bradikardia yaitu pusing, lemas, sinkop, dan dapat menyebabkan
kematian mendadak
AV blok derajat I
- Sulit dideteksi secara klinis - Bunyi jantung pertama bisa lemah
- Gambaran EKG : PR yang memanjang lebih dari 0,2 detik
AV blok derajat II
- Denyut jantung < 40x/menit –
- Pada Mobitz I tampak adanya pemanjangan interval PR hingga kompleks QRS
menghilang.
- Blok Mobitz tipe II merupakan aritmia yang lebih serius karena lebih sering
menyebabkan kompleks QRS menghilang. Penderita blok Mobitz tipe II sering
menderita gejala penurunan curah jantung dan akan memerlukan atropine dalam
dosis yang telah disebutkan sebelumnya.
AV blok derajat III (komplit)
- Atrium yang berdenyut terpisah dari ventrikel, kadang-kadang kontraksi saat katup
tricuspid sedang menutup. Darah tidak bisa keluar dari atrium dan malah terdorong
kembali ke vena leher, sehingga denyut tekanan vena  jugularis (JVP) nampak jelas
seperti gelombang “meriam (cannon)”
- Tampak tanda-tanda curah jantung yang buruk seperti hipotensi dan perfusi
serebrum yang buruk.
Cara membaca gelombang EKG :
No Gelombang Gambaran Normal
1. Gelombang P Depolarisasi atrium < 0.12 s dan , 0.3 mV
2. QRS kompleks Waktu depolarisasi ventrikel 0.06 – 0.12 s Gel. Q =
< 0.04 s &<1/3R
3. Gelombang T Repolarisasi ventrikel
4. Segmen ST Akhir depolarisasi ventrikel – awal Isoelektris
repolarisasi ventrikel
5. PR Interval Awal depolarisasi atrium – awal 0.12 – 0.20 s
depolarisasi ventrikel
6. 0.12 – 0.20 s Awal depolarisasi ventrikel  – akhir 0.38 – 0.42 s
repolarisasi ventrikel
Menghitung HR :
Metode Cara menghitung
KOTAK BESAR 300 / ?? KOTAK BESAR R – R
KOTAK KECIL 1500 / ?? KOTAK KECIL R – R
IRAMA IREGULER ?? QRS X 10 selama 6 detik

F. Phatway
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. EKG
Pada EKG akan ditemukan adanya Blok AV sesuai dengan derajatnya
2. Foto dada
Dapat ditunjukkan adanya pembesaran bayangan jantung sehubungan dengan
disfungsi ventrikel dan katup
3. Elektrolit
Peningkatakn atau penurunan kalium, kalsium dan magnesium dapat menyebabkan
disritmia.
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan total AV blok dilakukan dengan obat obatan dan pemasangan pacu
jantung. Obat-obatan yang diberikan berupa sulfas atropin 0,5 mg intravena dengan
dosis maksimal 2 mg merupakan obat pilihan, dan sebagai alternatif adalah
isoproterenol. Bila obat tidak menolong, dipasang alat pacu  jantung temporer. Biasanya
jarang diperlukan alat pacu jantung permanen. Sangat perlu diperhatikan kondisi
hemodinamik pasien. American Heart  Association/ American College of Cardiology
membagi indikasi pemasangan pacu jantung ke dalam 3 kelas: kelas I,II,III. Yang
dimaksud kelas I adalah keadaan dimana pacu jantung harus dipasang, kelas II keadaan
dimana masih terdapat perbedaan mengenai kepentingannya, dan kelas III keadaan
dimana tidak diperlukan pacu jantung. Khusus untuk indikasi kelas I pemasangan pacu
jantung pada blok AV adalah sebagai berikut:
1. AV blok derajat III pada setiap tingkatan anatomik yang dihubungkan dengan salah
satu komplikasi berikut:
a. Bradikardia simtomatik.
b. Aritmia dan kondisi medis lain yang membutuhkan obat-obat yang
menimbulkan bradikardia simtomatik.
c. Periode asistol yang terekam > 3 detik atau setiap kecepatan yang hilang < 40
denyut/menit pada pasien yang bebas dari gejala.
d. Setelah ablasi kateter AV junction.
e. Blok AV pasca operasi yang tidak diharapkan terjadi.
f. Penyakit neuromuskular dengan blok AV seperti: distrofi miotonik muskular,
Kearns-Sayre syndrome, Erb's dystrophy dan atrofi muskular peroneal.
2. Blok AV derajat II tidak memandang jenis atau letak blok dengan bradikardia
simtomatik. Pemasangan pacu jantung sebagai sumber energi eksternal yang
digunakan untuk menstimuli jantung jika gangguan pembentukan impuls dan/ atau
transmisi menimbulkan bradiaritmia diharapkan dengan pacu jantung
mengembalikan hemodinamik ke tingkat normal atau mendekati nomal pada saat
istirahat dan aktivitas. Pemasangan pacu jantung temporer biasanya untuk
memberikan stabilisasi segera sebelum pemasangan pacu jantung permanen. Insersi
biasanya dilakukan transvena ke apeks ventrikel kanan. Sedang pacu  jantung
permanen insersinya dilakukan melalui vena subklavia atau sefalika dengan sadapan
yang diletakkan dalam aurikula kanan untuk pemasangan atrium dan apeks ventrikel
kanan untuk pemasangan pacu jantung ventrikel. Pada kasus ini mula-mula
diberikan Alupent (isoproterenol) 2 x 10 mg kemudian diberikan injeksi sulfas
atropin 0,5 mg-1 mg IV, total 0,04 mg/kgBB, namun tidak terjadi perbaikan
sehingga pasien dipasang alat pacu jantung temporer melalui vena femoralis kanan.
Pada akhirnya pasien harus membutuhkan pacu jantung permanen melalui vena
subklavia dengan keadaan hemodinamik pasien yang membaik.
I. Komplikasi
1. Kerusakan atau kegagalan ginja
Gagal jantung dapat mengurangi aliran darah ke ginjal, yang akhirnya
dapat menyebabkan gagal ginjal jika tidak di tangani. Kerusakan ginjal dari
gagal jantung dapat membutuhkan dialysis untuk pengobatan.
2. Masalah katup jantung
Gagal jantung menyebabkan penumpukan cairan sehingga dapat
terjadi kerusakan pada katup jantung.
3. Kerusakan hati
Gagal jantung dapat menyebabkan penumpukan cairan yang
menempatkan terlalu banyak tekanan pada hati. Cairan ini dapat menyebabkab
jaringan parut yang mengakibatkan hati tidak dapat berfungsi dengan baik.
4. Serangan jantung dan stroke.
Karena aliran darah melalui jantung lebih lambat pada gagal jantung
daripada di jantung yang normal, maka semakin besar kemungkinan akan
mengembangkan pembekuan darah, yang dapat meningkatkan risiko terkena
serangan jantung atau stroke
5. Trombus ventrikel kiri
Pembesaran ventrikel kiri dan penurunan curah jantung
meningkatkan kemungkinan pembentukan trombus
J. Asuhan Keperwatan
1. Pengkajian
Gagal serambi kiri/kanan dari jantung mengakibtkan ketidakmampuan
memberikan keluaran yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan dan
menyebabkan terjadinya kongesti pulmonal dan sistemik . Karenanya diagnostik dan
teraupetik berlnjut. GJK selanjutnya dihubungkan dengan morbiditas dan mortalitas.
a. Aktivitas/istirahat
1) Gejala : Keletihan/kelelahan terus menerus sepanjang hari, insomnia, nyeri
dada dengan aktivitas, dispnea pada saat istirahat.
2) Tanda : Gelisah, perubahan status mental mis : letargi, tanda vital berubah
pad aktivitas.
b. Sirkulasi
1) Gejala : Riwayat HT, IM baru/akut, episode GJK sebelumnya, penyakit
jantung , bedah jantung , endokarditis, anemia, syok septic, bengkak pada
kaki, telapak kaki, abdomen.
2) Tanda :
- TD ; mungkin rendah (gagal pemompaan).
- Tekanan Nadi ; mungkin sempit.
- Irama Jantung ; Disritmia.
- Frekuensi jantung ; Takikardia.
- Nadi apical ; PMI mungkin menyebar dan merubah
- posisi secara inferior ke kiri.
- Bunyi jantung ; S3 (gallop) adalah diagnostik, S4 dapat terjadi, S1 dan S2 mungkin
melemah.
- Murmur sistolik dan diastolic.
- Warna ; kebiruan, pucat abu-abu, sianotik.
- Punggung kuku ; pucat atau sianotik dengan pengisian - kapiler lambat. - Hepar ;
pembesaran/dapat teraba.
- Bunyi napas ; krekels, ronkhi.
- Edema ; mungkin dependen, umum atau pitting - khususnya pada ekstremitas.
c. Integritas ego
1) Gejala : Ansietas, kuatir dan takut. Stres yang berhubungan dengan
penyakit/keperihatinan finansial (pekerjaan/biaya perawatan medis)
2) Tanda : Berbagai manifestasi perilaku, mis : ansietas, marah, ketakutan dan
mudah tersinggung.
d. Eliminasi
1) Gejala : Bising usus mungkin meningkat atau juga normal.
e. Makanan/cairan
1) Gejala : Kehilangan nafsu makan, mual/muntah, penambahan berat badan
signifikan, pembengkakan pada ekstremitas bawah, pakaian/sepatu terasa
sesak, diet tinggi garam/makanan yang telah diproses dan penggunaan
diuretic.
2) Tanda : Penambahan berat badan cepat dan distensi abdomen (asites) serta
edema (umum, dependen, tekanan dn pitting).
f. Higiene
1) Gejala : Keletihan/kelemahan, kelelahan selama aktivitas Perawatan diri.
2) Tanda : Penampilan menandakan kelalaian perawatan personal.
g. Neurosensori
1) Gejala : Kelemahan, pening, episode pingsan.
2) Tanda: Letargi, perubahan perilaku dan mudah tersinggung.
h. Nyeri/Kenyamanan
1) Gejala : Nyeri dada, angina akut atau kronis, nyeri abdomen kanan atas dan
sakit pada otot.
2) Tanda : Tidak tenang, gelisah, focus menyempit danperilaku melindungi diri.
i. Pernapasan
1) Gejala : Dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk atau dengan beberapa
bantal, batuk dengn/tanpa pembentukan sputum, riwayat penyakit kronis,
penggunaan bantuan pernapasan.
2) Tanda :
- Pernapasan; takipnea, napas dangkal, penggunaan otot asesori pernpasan.
- Batuk : Kering/nyaring/non produktif atau mungkin batuk terus menerus
dengan/tanpa pemebentukan sputum.
- Sputum :Merah muda/berbuih (edema pulmonal)
- Bunyi napas : Mungkin tidak terdengar.
- Fungsi mental: Mungkin menurun, kegelisahan, letargi.
- Warna kulit : Pucat dan sianosis. 10. Keamanan Gejala : Perubahan dalam fungsi
mental, kehilangan kekuatan/tonus otot.
j. Interaksi sosial
1) Gejala : Penurunan keikutsertaan dalam aktivitas sosial yang biasa
dilakukan.
k. Pembelajaran/pengajaran
1) Gejala : menggunakan/lupa menggunakan obat-obat jantung, misalnya
penyekat saluran kalsium.
2) Tanda : Bukti tentang ketidak berhasilan untuk meningkatkan.
K. Diagnosa Keperawatan
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas
miokardial/perubahan inotropik.
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan reflek batuk,
penumpukan secret.
3. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan edema paru
4. Gangguan pola nafas berhubungan dengan sesak nafas
5. Penurunan perfusi jaringan behubungan dngan penurunan O2 ke organ
6. Nyeri berhubungan dengan hepatomegali, nyeri abdomen.
7. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya laju filtrasi glomerulus,
meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium/air.
8. Gangguan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia &
mual.
9. Intoleran aktivitas berhubungan dengan fatigue
10. Sindrom deficit perawatan diri berhubungan dengan sesak nafas
11. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pitting edema.
12. Cemas berhubungan dengan sesak nafas, asites

L. Intervens Keperawatan
No Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
1 Penurunan curah Diharapakan dengan kriteria Perawatan jantung
jantung hasil:
1. Identifikasi tanda/gejala primer
1. Palpitasi menurun penurunan curah jantung
(meliputi dispnea, kelelahan,
2. Bradikardi menurun
edema, ortopnea)
3. Takikardi membaik 2. Identifikasi tanda/gejala
sekunder penurunan curah
4. Lelah menurun
jantung (meliputi peningkatan
5. Edema menurun berat badan, palpitasi, oliguria,
batuk, kulit pucat)
6. Batuk menurun
3. Monitor tekanan darah
7. Pucat/ sianosis menurun 4. Monitor intake output cairan
5. Monitor berat badan setiap hari
8. Nyeri dada menurun
pada waktu yang sama
9. Tekanan darah membaik 6. Monitor keluhan nyeri dada
(mis. Itensitas, lokasi, radiasi,
durasi, presivitasi yang
mnegurangi nyeri)
7. Posisikan pasien semi fowler
atau fowler dengan kaki
kebawah atau posisi nyaman
8. Fasilitasi pasien dan keluarga
untuk modifikasi gaya hidup
sehat
9. Berikan dukungan emosional
dan spiritual
2 Intoleransi Diharapkan dengan kriteria Manajemen energi
aktivitas hasil:
1. Identifikasi gangguan fungsi
tubuh yang mengakibatkan
1. Frekuensi nadi meningkat
kelelahan
2. Kemudahan dalam
2. Monitor kelelahan fisik dan
melakukan aktivitas
emosional
sehari-hari meningkat
3. Monitor pola dan jam tidur
3. Keluuhan lelah menurun
4. Monitor lokasi dan
4. Dispnea saat aktivitas
ketidaknyamanan selama
menurun
melakukan aktivitas
5. Dispnea stelah aktivitas
5. Sediakan lingkungan yang
menurun
nyaman dan rendah stimulus
6. Frekuensi nafas mmebaik
(mis. Cahaya, suara,
kunjungan)
6. Lakukan latihan rentang gerak
pasif dan aktif
7. Fasilitasi duduk di sisi tempat
tidur, jika tidak dapat berpindah
atau berjalan
8. Anjurkan melakukan aktivitas
secara bertahap
9. Anjurkan tirah baring
3. Bersihan jalan Diharapkan dengan kriteria 1. Indentifikasi kemampuan batuk
napas tidak hasil: 2. Monitor adanya rentesi
efektifitas spuntum
1. Batuk efektif
3. Monitor input dan autput cairan
meningkat
4. Atur posisi semi fowler atau
2. Produksi spuntum
fowler
menurun
5. Jelaskan tujuan dan prosedur
3. Pola napas membaik
batk efektif
4. Frekuensi napas
6. Kolaborasi pemberian
membaik
mukolitik atau ekspektoran
5. Wheezing menurun
6. Dyspnea menurun
7. Ortopnea menurun
8. Sulit bicara menurun
9. Sianosis menurun
10. Gelisah menurun

M. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status
kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Gordon,
1994 dalam Potter & Perry, 2011).
Beberapa pedoman atau prinsip dalam pelaksanaan implementasi keperawatan
(kozier et al,. 1995) adalah sebagai berikut :
1. Berdasarkan respon klien
Berdasarkan ilmu pengetahuan, hasil penelitian keperawatan, standar pelayanan
professional, hukum dan kode etik keperawatan.
2. Berdasarkan penggunaan sumber-sumber yang tersedia.
Sesuai dengan tanggung jawab dan tanggung gugat profesi keperawatan.
Mengerti dengan jelas pesanan-pesanan yang ada dalam rencana intervensi
keperawatan. Harus dapat menciptakan adaptasi dengan klien sebagai individu
dalam upaya meningkatkan pesan serta untuk merawat diri sendiri (self care).
Menekankan pada aspek pencegahan dan upaya peningkatkan status kesehatan.
Dapat menjaga rasa aman, harga diri, dan melindungi klien. Memberi pendidikan,
dukungan dan bantuan. Bersifat holistic. Kerjasama dengan profesi lain. Melakukan
dokumentasi.

N. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah proses keperawatan yang memungkinkan
pearawat untuk menentukan apakah intervensi keperawatan telah berhasil meningkatkan
kondisi klien. (Potter & Perry,2009. Fundamental of Nursing 7 th Edition).
Meskipun tahap evaluasi di letakkan pada akhir proses keperawatan, evaluasi
merupakan bagian integral pada setiap tahap proses keperawatan. Pengumpulan data
perlu direvisi untuk menentukan apakah informasi yang telah dikumpulkan sudah
mencukupi dan apakah perilaku yang diobservasi sudah sesuai. Diagnose juga perlu
dievaluasi dalam hal keakuratan dan kelengkapannya. Tujuan dan intervensi dievaluasi
adalah untuk menentukan apakah tujuan tersebut, dapat dicapai secara efektif.
Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan klien dalam mencapai tujuan.
Hal ini bisa dilaksanakan dengan mengadakan hubungan dengan klien berdasarkan
respon klien terhadap tindakan keperawatan yang diberikan, sehingga perawat dapat
mengambil keputusan :
1. Mengakhiri rencana tindakan keperawatan (klien telah mencapai tujuan yang
ditetapkan).
2. Memodifikasi rencana tindakan keperawatan (klien mengalami kesulitan untuk
mencapai tujuan).
3. Meneruskan rencana tindakan keperawatan (klien memerlukan waktu yang lebih
lama untuk mencapai tujuan) (Iyer et al., 1996).
Salah satu format catatan perkembangan yang diorientasikan kearah proses
keperawatan adalah metode SOAPIER (Fischbach, 1991). Hal ini meliputi sebagai
berikut :

S Subjective data (data subyektif) Pernyataan atau


interaksi klien
O Objective data (data obyektif) Pengamatan dan
penilaian perawat
A Analysis (analisis) Status diagnosa
keperawatan
P PlanOf Care ( rencana asuhan) Hasil dan tindakan yang
direncanakan
I Implementation (implementasi) Tindakan yang
diimplementasikan
E Evaluation (evaluasi) Respon klien terhadap
tindakan /hasil
R Revision (revisi) Perubahan rencana saat
diperlukan
Evaluasi ditulis setiap kali setelah semua tindakan dilakuakan
terhadap pasien. Pada tahap evaluasi dibagi menjadi 4 yaitu SOAPIER atau
SOAP :
S Subyektif Hasil pemeriksaan terahir yang dikelukan oleh
pasien biasanya biasanya data ini berubungan
dengan kriteria hasil
O Obyektif Hasil pemerikasaan terakhir yang dilakukan
oleh perawat biasanya data ini juga
berhubungan dengan kriteria hasil
A Analisia Pada tahap ini dijelaskan apakah masalah
kebutuhan pasien telah telah terpenuhi atau
tidak
P Rencana asuhan Dijelaskan rencana tindakan lanjut yang akan
dilakukan terhadap pasien
I Intervensi Tindakan prawat untuk mengatasi masalah
yang ada
E Evaluasi Evaluasi terhadap tindakan keperawatan
R Revisi
Untuk penentuan masalah teratasi, teratasi sebagian,atau tidak teratasi
adalah dengan cara membandingkan antara SOAP dengan tujuan dan criteria
hasil yang telah ditetapkan. Formaat evaluasi menggunakan :

S Subjektif adalah informasi berupa ungkapan yang didapat dari


klien setelah tindakan diberikan
O Objektif adalah informasi yang didapat berupa hasil pengamatan,
penilaian, pengukuran yang dilakukan oleh perawat setelah
tindakan dilakukan
A Analisis adalah membandingkan antara informasi subjective
dan objective dengan tujuan dan kriteria hasil, kemudian diambil
kesimpulan bahwa masalah teratasi, teratasi sebagian atau tidak
teratasi.
P Planning adalah rencana keperawatan lanjutan yang akan
dilakukan berdasarkan hasil analisa
DAFTAR PUSTAKA

Ammons MA, Moore EE, Moore FA. Intraaor! c balloon pump for combined myocardial
contusion and thoracic aortic rupture. J Trauma. 1993;30:1606 .

Anwar A, Mooney MR, Sterzer SH. Intra-aortic balloon counterpulsation support for elective
coronary angioplasty in the seing of poor left ventricular function: A two center
experience. J.Invas.Cardiol . 1990;4:175.

Baradero, M, dkk., 2008. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Kardiovaskuler.


Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Bruner & Suddart. 2001. Buku Ajar keperawatan Medical Bedah . Edisi 8. Jakarta

Bolooki H. Emergency cardiac procedures in patients in cardiogenic shock due to complica!


ons of coronary artery disease. Circulation. 1989;79:1-13 Caplan L.R.200.

Caplan’s Stroke : A Cliniacl Approach 3rd ed Boston : Butterworth - Heinemann ; 2000

Christenson JT. Intra aortic balloon counterpulsation in coronary artery disease: indica! ons,
complications and current prac! ce. Kuwait Medical Journal . 2002;34:183-94.

Darovic GO. Intraaor! c balloon pumping counter pulsation. Handbook of Hemodinamik


Monitoring. 2004;14:194-208.

Gottlieb DJ, et al. Prospective study of obstructive sleep apnea and incident coronary heart
disease and heart failure: The Sleep Heart Health Study . Circulation. 2010;122:352.

Jessup M, et al. 2009 Focused update:  ACCF/AHA guidelines for the diagnosis and
management of heart failure in adults . Circulation. 2009;119:1977.

Junadi, Purnawan. (1982). Kapita Selekta Kedokteran. Media aesculapius Universitas


Indonesia. Jakarta.

Khir AW, Price S, Henein MY, Parker KH, Pepper JR. Intra-aorti c balloon pumping: effects
on left ventricular diastolic function. Eur J Cardiothorac Surg . 2003;24:277-82.

Markum, AH, dkk. Editor . Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak . Jilid I. Jakarta: Balai penerbit
FKUI; 2002. hal. 628-635

Anda mungkin juga menyukai