Anda di halaman 1dari 26

KOMUNIKASI DALAM KEPERAWATAN I

KOMUNIKASI PADA KLIEN DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS


(GANGGUAN PENGLIHATAN)
Dosen Pengampu : Ns. Feri Fernandes,S.Kep

OLEH :

KELOMPOK 2
1. WERISKA OKTRIVANI (1711311023)
2. LILIAN MEUTIA (1711311027)
3. VINNY DARMA FAJRI (1711312019)
4. NOVA SAFITRI (1711312049)
5. INDAH MARDIANI (1711313045)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
JURUSAN ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2018

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami kirimkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa , karena
atas rahmat dan karunia-Nya kami dapat membuat dan menyelesaikan makalah kami
yang berjudul “Komunikasi Pada Pasien Dengan Kebutuhan Khusus (Gangguan
Penglihatan)”.
Pada makalah ini kami tampilkan hasil diskusi kami, kami juga mengambil
beberapa kesimpulan dari hasil diskusi yang kami lakukan.

Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu
kami dalam menyelesaikan laporan ini, diantaranya:
1.    Yang terhormat Ibu Ns.Feri Fernandes,S.Kep selaku dosen mata kuliah Komunikasi
dalam Keperawatan I
2.    Pihak-pihak lain yang ikut membantu dalam pelaksanaan maupun proses
penyelesaian makalah ini.
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan bagi
para pembaca dan dapat digunakan sebagai salah satu pedoman dalam proses
pembelajaran. Namun, kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penulisan maupun pembahasan dalam makalah ini, sehingga belum begitu sempurna.
Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar kami
dapat memperbaiki kekurangan- kekurangan tersebut sehingga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Padang, April 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii
BAB I : PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
2.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
2.2 Rumusan Masalah...................................................................................... 2
2.3 Tujuan Penulisan ...................................................................................... 2
2.4 Manfaat .................................................................................................. 2
BAB II : KAJIAN TEORI ...................................................................................... 4
2.1 Komunikasi Terapeutik .......................................................................... 4
2.2 Kebutaan ................................................................................................ 12
2.3 Roleplay ................................................................................................... 20
BAB III: PENUTUP .................................................................................... 24
3.1 Kesimpulan .................................................................................... 24
3.2 Saran ................................................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 25

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tunanetra merupakan suatu kondisi tidak berfungsinya indera penglihatan
pada seseorang secara sebagian (low vision) atau secara keseluruhan (totally blind).
Hal ini dapat terjadi sebelum lahir, saat lahir dan setelah lahir.
Keberadaan tunanetra di tengah-tengah masyarakat saat ini belum bisa
diterima dengan baik. Fenomena ini muncul pada kehidupan tunanetra ketika
bersosialisasi dengan masyarakat secara luas atau di lingkungan non-disabel. Hal itu
akhirnya menimbulkan permasalahan yang ada di tengah-tengah masyarakat umum.
Permasalahan yang muncul di tengah-tengah masyarakat itu disebabkan oleh dua
faktor. Hal itu nampak pada lingkungan masyarakat non-disabel maupun kehidupan
tunanetra tersebut.
Salah satu masalah yang ada di tengah-tengah masyarakat, penyandang
tunanetra belum bisa menempatkan diri di tengah-tengah masyarakat dengan baik,
misalnya: masih ada penyandang tunanetra yang tergantung kepada masyarakat non-
disabel. Di sisi lain, masyarakat non-disabel itu bertujuan untuk memperhatikan dan
membantu para penyandang tunanetra, tetapi akhirnya menjadi suatu ketergantungan
yang terus menerus. Sehingga para penyandang tunanetra yang mempunyai
ketergantungan kepada masyarakat non disabel tersebut, pada akhirnya menjadi suatu
kemalasan bagi para penyandang tunanetra untuk berusaha memperjuangkan
hidupnya.
Fenomena tersebut sampai saat ini masih menjadi pemikiran semua khalayak.
Karena hal itu menjadi masalah yang ada di Indonesia yang harus dicari solusinya
supaya bisa terlepas dari pandangan negative masyarakat terhadap tunanetra. Dengan
melihat keadaan yang digambarkan diatas, permasalahan yang muncul tersebut dapat
disimpulkan bahwa pandangan-pandangan negative dari masyarakat, itu disebabkan
oleh penyandang tunanetra itu sendiri.
Gangguan penglihatan dapat terjadi baik karena kerusakan organ, misal.,
kornea, lensa mata, kekeruhan humor viterius, maupun kerusakan kornea, serta

iv
kerusakan saraf penghantar impuls menuju otak. Kerusakan di tingkat persepsi antara
lain dialami klien dengan kerusakan otak. Semua ini mengakibatkan penurunan visus
hingga dapat menyebabkan kebutaan, baik parsial maupun total. Akibat kerusakan
visual, kemampuan menangkap rangsang ketika berkomunikasi sangat bergantung
pada pendengaran dan sentuhan.
Oleh karena itu, komunikasi yang dilakukan harus mengoptimalkan fungsi
pendengaran dan sentuhan karena fungsi penglihatan sedapat mungkin harus
digantikan oleh informasi yang dapat ditransfer melalui indra yang lain.
1.2 Rumusan Masalah
1) Apakah yang dimaksud dengan komunikasi terapeutik ?
2) Bagaimanakah teknik dalam berkomunikasi dengan pasien gangguan
penglihatan ?

1.3 Tujuan
1) Untuk mengetahui pengertian dari komunikasi terapeutik.
2) Untuk mengetahui teknik dalam berkomunikasi dengan pasien gangguan
penglihatan.
3) Untuk memahami teknik dalam berkomunikasi dengan pasien gangguan
penglihatan melalui sebuah roleplay.

1.4 Manfaat
Bagi Penulis
Makalah yang berjudul teknik komunikasi pada pasien dengan gangguan
penglihatan ini dapat bermanfaat bagi penulis untuk menambah pengetahuan dan
wawasan terkait dengan teknik dalam berkomunikasi pada pasien yang memiliki
gangguan penglihatan. Hal tersebut juga bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
ataupun dapat digunakan pada saat menghadapi terapi sebenarnya di pelayanan
kesehatan nantinya.
Bagi Pembaca
Makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang teknik
berkomunikasi dengan pasien gangguan penglihatan serta dapat memahami hal terkait

v
melalui roleplay.

vi
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Komunikasi Terapeutik
A. Definisi Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang mendorong proses
penyembuhan klien (Depkes RI, 1997). Dalam pengertian lain mengatakan bahwa
komunikasi terapeutik adalah proses yang digunakan oleh perawat memakai
pendekatan yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan
pada klien.
Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal dengan titik tolak
saling memberikan pengertian antara perawat dengan klien. Persoalan yang mendasar
dari komunikasi ini adalah adanya saling membutuhkan antara perawat dan klien,
sehingga dapat dikategorikan ke dalam komunikasi pribadi di antara perawat dan
klien, perawat membantu dan klien menerima bantuan.
Menurut Stuart dan Sundeen (dalam Hamid, 1996), tujuan hubungan
terapeutik diarahkan pada pertumbuhan klien meliputi :
a. Realisasi diri, penerimaan diri dan peningkatan penghormatan terhadap diri.
b. Rasa identitas personal yang jelas dan peningkatan integritas diri.
c. Kemampuan untuk membina hubungan interpersonal yang intim dan saling
tergantung dengan kapasitas untuk mencintai dan dicintai.
d. Peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta mencapai
tujuan personal yang realistik.
Tujuan komunikasi terapeutik adalah :
1. Membantu klien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan
pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila
klien pecaya pada hal yang diperlukan.
2. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan
mempertahankan kekuatan egonya.
3. Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri.

vii
Tujuan terapeutik akan tercapai bila perawat memiliki karakteristik sebagai berikut
(Hamid,1998) :
1. Kesadaran diri.
2. Klarifikasi nilai.
3. Eksplorasi perasaan.
4. Kemampuan untuk menjadi model peran.
5. Motivasi altruistik.
6. Rasa tanggung jawab dan etik.

B. Komponen Komunikasi Terapeutik


Model struktural dari komunikasi mengidentifikasi lima komponen fungsional
berikut (Hamid,1998) :
a. Pengirim : yang menjadi asal dari pesan.
b. Pesan : suatu unit informasi yang dipindahkan dari pengirim kepada penerima.
c. Penerima : yang mempersepsikan pesan, yang perilakunya dipengaruhi oleh
pesan.
d. Umpan balik : respon dari penerima pesan kepada pengirim pesan.
e. Konteks : tatanan di mana komunikasi terjadi.

Jika perawat mengevaluasi proses komunikasi dengan menggunakan lima


elemen struktur ini maka masalah-masalah yang spesifik atau kesalahan yang
potensial dapat diidentifikasi.
Menurur Roger, terdapat beberapa karakteristik dari seorang perawat yang
dapat memfasilitasi tumbuhnya hubungan yang terapeutik.Karakteristik tersebut
antara lain : (Suryani,2005).
1. Kejujuran (trustworthy). Kejujuran merupakan modal utama agar dapat melakukan
komunikasi yang bernilai terapeutik, tanpa kejujuran mustahil dapat membina
hubungan saling percaya. Klien hanya akan terbuka dan jujur pula dalam
memberikan informasi yang benar hanya bila yakin bahwa perawat dapat
dipercaya.

viii
2. Tidak membingungkan dan cukup ekspresif. Dalam berkomunikasi hendaknya
perawat menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti oleh klien.
Komunikasi nonverbal harus mendukung komunikasi verbal yang
disampaikan. Ketidaksesuaian dapat menyebabkan klien menjadi bingung.
3. Bersikap positif. Bersikap positif dapat ditunjukkan dengan sikap yang hangat,
penuh perhatian dan penghargaan terhadap klien. Roger menyatakan inti dari
hubungan terapeutik adalah kehangatan, ketulusan, pemahaman yang empati dan
sikap positif.
4. Empati bukan simpati. Sikap empati sangat diperlukan dalam asuhan
keperawatan, karena dengan sikap ini perawat akan mampu merasakan dan
memikirkan permasalahan klien seperti yang dirasakan dan dipikirkan oleh
klien. Dengan empati seorang perawat dapat memberikan alternatif pemecahan
masalah bagi klien, karena meskipun dia turut merasakan permasalahan yang
dirasakan kliennya, tetapi tidak larut dalam masalah tersebut sehingga perawat
dapat memikirkan masalah yang dihadapi klien secara objektif. Sikap simpati
membuat perawat tidak mampu melihat permasalahan secara objektif karena dia
terlibat secara emosional dan terlarut didalamnya.
5. Mampu melihat permasalahan klien dari kacamata klien.Dalam memberikan
asuhan keperawatan perawat harus berorientasi pada klien, (Taylor, dkk ,1997)
dalam Suryani 2005. Untuk itu agar dapat membantu memecahkan masalah
klien perawat harus memandang permasalahan tersebut dari sudut pandang
klien. Untuk itu perawat harus menggunakan terkhnik active listening dan
kesabaran dalam mendengarkan ungkapan klien. Jika perawat menyimpulkan
secara tergesa-gesa dengan tidak menyimak secara keseluruhan ungkapan klien
akibatnya dapat fatal, karena dapat saja diagnosa yang dirumuskan perawat
tidak sesuai dengan masalah klien dan akibatnya tindakan yang diberikan dapat
tidak membantu bahkan merusak klien.
6. Menerima klien apa adanya.Jika seseorang diterima dengan tulus, seseorang
akan merasa nyaman dan aman dalam menjalin hubungan intim terapeutik.
Memberikan penilaian atau mengkritik klien berdasarkan nilai-nilai yang

ix
diyakini perawat menunjukkan bahwa perawat tidak menerima klien apa adanya.
7. Sensitif terhadap perasaan klien. Tanpa kemampuan ini hubungan yang terapeutik
sulit terjalin dengan baik, karena jika tidak sensitif perawat dapat saja melakukan
pelanggaran batas, privasi dan menyinggung perasaan klien.
8. Tidak mudah terpengaruh oleh masa lalu klien ataupun diri perawat sendiri.
Seseorang yang selalu menyesali tentang apa yang telah terjadi pada masa
lalunya tidak akan mampu berbuat yang terbaik hari ini. Sangat sulit bagi
perawat untuk membantu klien, jika ia sendiri memiliki segudang masalah dan
ketidakpuasan dalam hidupnya.

C. Fase Hubungan Komunikasi Terapeutik.


Struktur dalam komunikasi terapeutik, menurut Stuart,G.W.,1998, terdiri dari
empat fase yaitu: (1) fase preinteraksi; (2) fase perkenalan atau orientasi; (3) fase
kerja; dan (4) fase terminasi (Suryani,2005). Dalam setiap fase terdapat tugas atau
kegiatan perawat yang harus terselesaikan.

a. Fase preinteraksi
Tahap ini adalah masa persiapan sebelum memulai berhubungan dengan klien.
Tugas perawat pada fase ini yaitu :
1. Mengeksplorasi perasaan,harapan dan kecemasannya;
2. Menganalisa kekuatan dan kelemahan diri, dengan analisa diri ia akan terlatih
untuk memaksimalkan dirinya agar bernilai tera[eutik bagi klien, jika merasa
tidak siap maka perlu belajar kembali, diskusi teman kelompok;
3. Mengumpulkan data tentang klien, sebagai dasar dalam membuat rencana
interaksi;
4. Membuat rencana pertemuan secara tertulis, yang akan di implementasikan saat
bertemu dengan klien.
b. Fase orientasi
Fase ini dimulai pada saat bertemu pertama kali dengan klien. Pada saat
pertama kali bertemu dengan klien fase ini digunakan perawat untuk berkenalan

x
dengan klien dan merupakan langkah awal dalam membina hubungan saling percaya.
Tugas utama perawat pada tahap ini adalah memberikan situasi lingkungan yang peka
dan menunjukkan penerimaan, serta membantu klien dalam mengekspresikan
perasaan dan pikirannya.
Tugas-tugas perawat pada tahap ini antara lain :
1. Membina hubungan saling percaya, menunjukkan sikap penerimaan dan
komunikasi terbuka. Untuk membina hubungan saling percaya perawat harus
bersikap terbuka, jujur, ihklas, menerima klien apa danya, menepati janji, dan
menghargai klien.
2. Merumuskan kontrak bersama klien. Kontrak penting untuk menjaga
kelangsungan sebuah interaksi.Kontrak yang harus disetujui bersama dengan
klien yaitu, tempat, waktu dan topik pertemuan.
3. Menggali perasaan dan pikiran serta mengidentifikasi masalah klien. Untuk
mendorong klien mengekspresikan perasaannya, maka tekhnik yang digunakan
adalah pertanyaan terbuka.
4. Merumuskan tujuan dengan klien. Tujuan dirumuskan setelah masalah klien
teridentifikasi. Bila tahap ini gagal dicapai akan menimbulkan kegagalan pada
keseluruhan interaksi (Stuart,G.W,1998 dikutip dari Suryani,2005)
Hal yang perlu diperhatikan pada fase ini antara lain :
1. Memberikan salam terapeutik disertai mengulurkan tangan jabatan tangan
2. Memperkenalkan diri perawat
3. Menyepakati kontrak. Kesepakatan berkaitan dengan kesediaan klien untuk
berkomunikasi, topik, tempat, dan lamanya pertemuan.
4. Melengkapi kontrak. Pada pertemuan pertama perawat perlu melengkapi
penjelasan tentang identitas serta tujuan interaksi agar klien percaya kepada
perawat.
5. Evaluasi dan validasi. Berisikan pengkajian keluhan utama, alasan atau kejadian
yang membuat klien meminta bantuan. Evaluasi ini juga digunakan untuk
mendapatkan fokus pengkajian lebih lanjut, kemudian dilanjutkan dengan hal-hal
yang terkait dengan keluhan utama. Pada pertemuan lanjutan evaluasi/validasi

xi
digunakan untuk mengetahui kondisi dan kemajuan klien hasil interaksi
sebelumnya.
6. Menyepakati masalah. Dengan tekhnik memfokuskan perawat bersama klien
mengidentifikasi masalah dan kebutuhan klien.
Selanjutnya setiap awal pertemuan lanjutan dengan klien lakukan orientasi.
Tujuan orientasi adalah memvalidasi keakuratan data, rencana yang telah dibuat
dengan keadaan klien saat ini dan mengevaluasi tindakan pertemuan sebelumnya.

c. Fase kerja.
Tahap ini merupakan inti dari keseluruhan proses komunikasi teraeutik.Tahap
ini perawat bersama klien mengatasi masalah yang dihadapi klien.Perawat dan klien
mengeksplorasi stressor dan mendorong perkembangan kesadaran diri dengan
menghubungkan persepsi, perasaan dan perilaku klien.Tahap ini berkaitan dengan
pelaksanaan rencana asuhan yang telah ditetapkan.Tekhnik komunikasi terapeutik
yang sering digunakan perawat antara lain mengeksplorasi, mendengarkan dengan
aktif, refleksi, berbagai persepsi, memfokuskan dan menyimpulkan (Geldard,D,1996,
dikutip dari Suryani, 2005).

d. Fase terminasi
Fase ini merupakan fase yang sulit dan penting, karena hubungan saling
percaya sudah terbina dan berada pada tingkat optimal. Perawat dan klien keduanya
merasa kehilangan. Terminasi dapat terjadi pada saat perawat mengakhiri tugas pada
unit tertentu atau saat klien akan pulang. Perawat dan klien bersama-sama meninjau
kembali proses keperawatan yang telah dilalui dan pencapaian tujuan. Untuk melalui
fase ini dengan sukses dan bernilai terapeutik, perawat menggunakan konsep
kehilangan. Terminasi merupakan akhir dari pertemuan perawat, yang dibagi dua
yaitu:
1) Terminasi sementara, berarti masih ada pertemuan lanjutan;
2) Terminasi akhir, terjadi jika perawat telah menyelesaikan proses keperawatan
secara menyeluruh.

xii
Tugas perawat pada fase ini yaitu :
a. Mengevaluasi pencapaian tujuan interaksi yang telah dilakukan, evaluasi ini
disebut evaluasi objektif. Brammer & Mc Donald (1996) menyatakan bahwa
meminta klien menyimpulkan tentang apa yang telah didiskusikan atau respon
objektif setelah tindakan dilakukan sangat berguna pada tahap terminasi
(Suryani,2005).
b. Melakukan evaluasi subjektif, dilakukan dengan menanyakan perasaan klien
setalah berinteraksi atau setelah melakukan tindakan tertentu.
c. Menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan. Hal ini
sering disebut pekerjaan rumah (planning klien). Tindak lanjut yang diberikan
harus relevan dengan interaksi yang baru dilakukan atau yang akan dilakukan
pada pertemuan berikutnya. Dengan tindak lanjut klien tidak akan pernah
kosong menerima proses keperawatan dalam 24 jam.
d. Membuat kontrak untuk pertemuan berikutnya, kontrak yang perlu disepakati
adalah topik, waktu dan tempat pertemuan. Perbedaan antara terminasi sementara
dan terminasi akhir, adalah bahwa pada terminasi akhir yaitu mencakup
keseluruhan hasil yang telah dicapai selama interaksi.

D. Sikap Komunikasi Terapeutik.


Lima sikap atau cara untuk menghadirkan diri secara fisik yang dapat
memfasilitasi komunikasi yang terapeutik menurut Egan, yaitu :
a. Berhadapan. Artinya dari posisi ini adalah “Saya siap untuk anda”.
b. Mempertahankan kontak mata. Kontak mata pada level yang sama berarti
menghargai klien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi.
c. Membungkuk ke arah klien. Posisi ini menunjukkan keinginan untuk
mengatakan atau mendengar sesuatu.
d. Mempertahankan sikap terbuka, tidak melipat kaki atau tangan menunjukkan
keterbukaan untuk berkomunikasi
e. Tetap rileks. Tetap dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan
relaksasi dalam memberi respon kepada klien.

xiii
Selain hal-hal di atas sikap terapeutik juga dapat teridentifikasi melalui
perilaku non verbal. Stuart dan Sundeen (1998) mengatakan ada lima kategori
komunikasi non verbal, yaitu :
1) Isyarat vokal, yaitu isyarat paralingustik termasuk semua kualitas bicara non
verbal misalnya tekanan suara, kualitas suara, tertawa, irama dan kecepatan
bicara.
2) Isyarat tindakan, yaitu semua gerakan tubuh termasuk ekspresi wajah dan sikap
tubuh.
3) Isyarat obyek, yaitu obyek yang digunakan secara sengaja atau tidak sengaja
oleh seseorang seperti pakaian dan benda pribadi lainnya.
4) Ruang memberikan isyarat tentang kedekatan hubungan antara dua orang. Hal ini
didasarkan pada norma-norma social budaya yang dimiliki.
5) Sentuhan, yaitu fisik antara dua orang dan merupakan komunikasi non verbal
yang paling personal. Respon seseorang terhadap tindakan ini sangat
dipengaruhi oleh tatanan dan latar belakang budaya, jenis hubungan, jenis
kelamin, usia dan harapan.
2.2 Kebutaan (Gangguan Penglihatan)
A. Definisi Kebutaan
Kebutaan adalah merupakan suatu jenis penyakit yang yang menyerang mata
dan menyebabkan seseorang tidak bisa melihat. Sedangkan pengertian kebutaan
menurut WHO sebagi badan kesehatan dunia adalah ketidakmampuan mata untuk
melihat dalam jarak 3 meter atau kurang.

B. Komunikasi Dengan Orang Buta


Teknik Komunikasi Pada Pasien Gangguan Penglihatan (Buta)
1. Klien dengan Gangguan Penglihatan

xiv
Gangguan penglihatan dapat terjadi baik karena kerusakan organ, misal.,
kornea, lensa mata, kekeruhan humor viterius, maupun kerusakan kornea, serta
kerusakan saraf penghantar impuls menuju otak. Kerusakan di tingkat persepsi antara
lain dialami klien dengan kerusakan otak. Semua ini mengakibatkan penurunan visus
hingga dapat menyebabkan kebutaan, baik parsial maupun total. Akibat kerusakan
visual, kemampuan menangkap rangsang ketika berkomunikasi sangat bergantung
pada pendengaran dan sentuhan.
Oleh karena itu, komunikasi yang dilakukan harus mengoptimalkan fungsi
pendengaran dan sentuhan karena fungsi penglihatan sedapat mungkin harus
digantikan oleh informasi yang dapat ditransfer melalui indra yang lain.
2. Teknik Komunikasi
Berikut adalah teknik-teknik yang diperhatikan selama berkomunikasi dengan
klien yang mengalami gangguan penglihatan:
a. Sedapat mungkin ambil posisi yang dapat dilihat klien bila ia mengalami
kebutaan parsial atau sampaikan secara verbal keberadaan / kehadiran perawat
ketika anda berada didekatnya
b. Identifikasi diri anda dengan menyebutkan nama (dan peran) anda
c. Berbicara menggunakan nada suara normal karena kondisi klien tidak
memungkinkanya menerima pesan verbal secara visual. Nada suara anda
memegang peranan besar dan bermakna bagi klien
d. Terangkan alasan anda menyentuh atau mengucapkan kata – kata sebelum
melakukan sentuhan pada klien
e. Informasikan kepada klien ketika anda akan meninggalkanya / memutus
komunikasi
f. Orientasikan klien dengan suara – suara yang terdengar disekitarnya
g. Orientasikan klien pada lingkunganya bila klien dipindah ke lingkungan /
ruangan yang baru.
i. Buta warna :
Orang yang menderita buta warna tidak mampu membedakan warna dengan
baik. Bagi seorang penderita buta warna, yang nampak hanya warna hitam, putih ,

xv
abu abu. Buta warna pada umumnya merupakan penyakit keturunan.
ii. Rabun jauh :
Orang yang menderita rabun jauh dapat melihat dengan baik benda benda
yang jaraknya jauh, tetapi tidak dapat melihat dengan baik benda benda yang
jaraknya dekat. Penderita rabun jauh dapat ditolong dengan mempergunakan
kacamata dengan lensa cembung.
iii. Rabun dekat :
Orang yang menderita rabun dekat, dapat melihat dengan baik benda benda
yang jaraknya dekat, tetapi tidak dapat melihat dengan baik benda benda yang
jaraknya jauh. Penderita rabun dekat, dapat ditolong dengan mempergunakan
kacamata dengan lensa cekung. Perlu diingat, kebiasaan membaca terlalu dekat pada
anak anak dapat mempercepat terjadinya penyakit rabun dekat.
iv. Rabun senja (Xeroptalmia) :
Orang yang menderita rabun senja, tidak dapat melihat dengan jelas mulai
pada waktu senja. Penderita rabun senja banyak menimpa anak anak balita. Pada era
tahun 1960 -1970 banyak anak anak yang menderita rabun senja. penyebabnya karena
kekurangan vitamin A .
v. Astigmatis :
Orang yang menderita astigmatis, tidak dapat melihat benda dengan jelas.
Semua benda yang dilihat akan nampak kabur seperti photo yang tidak tepat
fokusnya. Penyakit ini disebabkan oleh kelainan/kerusakan dari kornea.
vi. Juling :
Orang yang menderita penyakit ini mudah dikenal, karena biasanya penderita
sulit mengarahkan kedua biji matanya kesatu arah.
vii. Retinopatia diabetes :
Tajam penglihatan perlahan-lahan menurun. Pada retina terlihat eksudat
berwarna kekuning-kuningan yang memperlihatkan tanda-tanda akan bergabung
menjadi satu yang besar-besar dan irregular.
viii. Katarak :
Penglihatan kabur/tidak jelas.

xvi
Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan.
tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (Blind) dan
low vision. Definisi Tunanetra menurut Kaufman & Hallahan adalah individu yang
memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah
dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan. Karena tunanetra memiliki
keterbataan dalam indra penglihatan maka proses pembelajaran menekankan pada
alat indra yang lain yaitu indra peraba dan indra pendengaran. Oleh karena itu prinsip
yang harus diperhatikan dalam memberikan pengajaran kepada individu tunanetra
adalah media yang digunakan harus bersifat taktualdan bersuara, contohnya adalah
penggunaan tulisan braille, gambar timbul, benda model dan benda nyata. sedangkan
media yang bersuara adalah tape recorder dan peranti lunak JAWS. Untuk membantu
tunanetra beraktivitas di sekolah luar biasa mereka belajar mengenai Orientasi dan
Mobilitas. Orientasi dan Mobilitas diantaranya mempelajari bagaimana tunanetra
mengetahui tempat dan arah serta bagaimana menggunakan tongkat putih (tongkat
khusus tunanetra yang terbuat dari alumunium).
Hambatan Komunikasi Pada Klien Yang Buta
a. Kesulitan melakukan komunikasi secara visual dengan bahasa tubuh
b. Klien kesulitan menangkap atau memahami informasi dalam bahasa visual.
c. Klien tidak dapat melihat dan mengetahui tindakan apasaja yang dilakukan
padanya, dan klien hanya dapat merasakannya saja.

C. Syarat-Syarat Komunikasi Pada Klien Dengan Gangguan Penglihatan


Dalam melakukan komunikasi terapeutik dengan pasien dengan gangguan
sensori penglihatan, perawat dituntut untuk menjadi komunikator yang baik sehingga
terjalin hubungan terapeutik yang efektif antara perawat dan klien, untuk itu syarat
yang harus dimiliki oleh perawat dalam berkomunikasi dengan pasien dengan
gangguan sensori penglihatan adalah :
1. Adanya kesiapan artinya pesan atau informasi, cara penyampaian, dan salurannya
harus dipersiapkan terlebih dahulu secara matang.
2. Kesungguhan artinya apapun ujud dari pesan atau informasi tersebut tetap harus

xvii
disampaikan secara sungguh-sungguh atau serius.
3. Ketulusan artinya sebelum individu memberikan informasi atau pesan kepada
individu lain pemberi informasi harus merasa yakin bahwa apa yang
disampaikan itu merupakan sesuatu yang baik dan memang perlu serta berguna
untuk pasien.
4. Kepercayaan diri artinya jika perawat mempunyai kepercayaan diri maka hal ini
akan sangat berpengaruh pada cara penyampaiannya kepada pasien.
5. Ketenangan artinya sebaik apapun dan sejelek apapun yang akan disampaikan,
perawat harus bersifat tenang, tidak emosi maupun memancing emosi pasien,
karena dengan adanya ketenangan maka iinformasi akan lebih jelas baik dan
lancar.
6. Keramahan artinya bahwa keramahan ini merupakan kunci sukses dari kegiatan
komunikasi, karena dengan keramahan yang tulus tanpa dibuat-buat akan
menimbulkan perasaan tenang, senang dan aman bagi penerima.
7. Kesederhanaan artinya di dalam penyampaian informasi, sebaiknya dibuat
sederhana baik bahasa, pengungkapan dan penyampaiannya. Meskipun informasi
itu panjang dan rumit akan tetapi kalau diberikan secara sederhana, berurutan
dan jelas maka akan memberikan kejelasan informasi dengan baik.
Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Komunikasi Pada Klien Gangguan
Penglihatan
Agar komunikasi dengan orang dengan gangguan sensori penglihatan dapat
berjalan lancar dan mencapai sasarannya, maka perlu juga diperhatikan hal-hal
sebagai berikut :
1. Dalam berkomunikasi pertimbangkan isi dan nada suara
2. Periksa lingkungan fisik
3. Perlu adanya ide yang jelas sebelum berkomunikasi
4. Komunikasikan pesan secara singkat
5. Komunikasikan hal-hal yang berharga saja.
6. Dalam merencanakan komunikasi, berkonsultasilah dengan pihak lain agar -
memperoleh dukungan.

xviii
D. Teknik Komunikasi Terapeutik Pada Klien Gangguan Penglihatan
Tiap klien tidak sama oleh karena itu diperlukan penerapan tehnik berkomunikasi
yang berbeda pula, diantaranya adalah :
1. Mendengarkan dengan penuh perhatian
Berusaha mendengarkan klien menyampaikan pesan non-verbal bahwa
perawat perhatian terhadap kebutuhan dan masalah klien. Mendengarkan dengan
penuh perhatian merupakan upaya untuk mengerti seluruh pesan verbal dan non-
verbal yang sedang dikomunikasikan. Ketrampilan mendengarkan sepenuh perhatian
adalah dengan:
a) Pandang klien ketika sedang bicara
b) Pertahankan kontak mata yang memancarkan keinginan untuk mendengarkan
c) Tubuh yang menunjukkan perhatian dengan tidak menyilangkan kaki atau
tangan
d) Hindarkan gerakan yang tidak perlu
e) Anggukan kepala jika klien membicarakan hal penting atau memerlukan
umpan balik
f) Condongkan tubuh ke arah lawan bicara.

2. Menunjukkan penerimaan
Menerima tidak berarti menyetujui. Menerima berarti bersedia untuk
mendengarkan orang lain tanpa menunjukkan keraguan atau tidak setuju. Berikut ini
menunjukkan sikap perawat yang menerima :
a. Mendengarkan tanpa memutuskan pembicaraan
b. Memberikan umpan balik verbal yang menapakkan pengertian
c. Memastikan bahwa isyarat non-verbal cocok dengan komunikasi verbal
d. Menghindarkan untuk berdebat, mengekspresikan keraguan, atau mencoba
untuk mengubah pikiran klien.

3. Menanyakan pertanyaan yang berkaitan

xix
Tujuan perawat bertanya adalah untuk mendapatkan informasi yang spesifik
mengenai klien. Paling baik jika pertanyaan dikaitkan dengan topik yang dibicarakan
dan gunakan kata-kata dalam konteks sosial budaya klien. Selama pengkajian ajukan
pertanyaan secara berurutan.
4. Mengulang ucapan klien dengan menggunakan kata-kata sendiri.
Dengan mengulang kembali ucapan klien, perawat memberikan umpan balik
sehingga klien mengetahui bahwa pesannya dimengerti dan mengharapkan
komunikasi berlanjut.
5. Klarifikasi
Apabila terjadi kesalah pahaman, perawat perlu menghentikan pembicaraan
untuk mengklarifikasi dengan menyamakan pengertian, karena informasi sangat
penting dalam memberikan pelayanan keperawatan. Agar pesan dapat sampai dengan
benar, perawat perlu memberikan contoh yang konkrit dan mudah dimengerti klien.
6. Memfokuskan
Metode ini dilakukan dengan tujuan membatasi bahan pembicaraan sehingga
lebih spesifik dan dimengerti. Perawat tidak seharusnya memutus pembicaraan klien
ketika menyampaikan masalah yang penting, kecuali jika pembicaraan berlanjut
tanpa informasi yang baru.
7. Menawarkan informasi
Tambahan informasi ini memungkinkan penghayatan yang lebih baik bagi
klien terhadap keadaanya. Memberikan tambahan informasi merupakan pendidikan
kesehatan bagi klien. Selain ini akan menambah rasa percaya klien terhadap perawat.
Apabila ada informasi yang ditutupi oleh dokter, perawat perlu mengklarifikasi
alasannya. Perawat tidak boleh memberikan nasehat kepada klien ketika memberikan
informasi, tetapi memfasilitasi klien untuk membuat keputusan.
8. Diam
Diam memberikan kesempatan kepada perawat dan klien untuk mengorganisir
pikirannya. Penggunaan metode diam memrlukan ketrampilan dan ketetapan waktu,
jika tidak maka akan menimbulkan perasaan tidak enak. Diam memungkinkan klien
untuk berkomunikasi terhadap dirinya sendiri, mengorganisir pikirannya, dan

xx
memproses informasi. Diam terutama berguna pada saat klien harus mengambil
keputusan .
9. Meringkas
Meringkas adalah pengulangan ide utama yang telah dikomunikasikan secara
singkat. Metode ini bermanfaat untuk membantu topik yang telah dibahas sebelum
meneruskan pada pembicaraan berikutnya. Meringkas pembicaraan membantu
perawat mengulang aspek penting dalam interaksinya, sehingga dapat melanjutkan
pembicaraan dengan topik yang berkaitan.
10. Memberikan penghargaan
Memberi salam pada klien dengan menyebut namanya, menunjukkan
kesadaran tentang perubahan yang terjadi menghargai klien sebagai manusia
seutuhnya yang mempunyai hak dan tanggung jawab atas dirinya sendiri sebagai
individu.
11. Menawarkan diri
Klien mungkin belum siap untuk berkomunikasi secara verbal dengan orang
lain atau klien tidak mampu untuk membuat dirinya dimengerti. Seringkali perawat
hanya menawarkan kehadirannya, rasa tertarik, tehnik komunikasi ini harus dilakukan
tanpa pamrih.
12. Menganjurkan klien untuk menguraikan persepsinya
Apabila perawat ingin mengerti klien, maka ia harus melihat segala
sesungguhnya dari perspektif klien. Klien harus merasa bebas untuk menguraikan
persepsinya kepada perawat. Ketika menceritakan pengalamannya, perawat harus
waspada akan timbulnya gejala ansietas.
2.3 Roleplay
ROLE PLAY
Komunikasi terapeutik pada pasien lansia gangguan penglihatan
Perawat 1 : Lilian Meutia
Perawat 2 : Nova Savitri
Pasien : Indah Mardiani
Keluarga pasien : Weriska Oktrivani

xxi
Karu : Vinny Darma Fajri
Disebuah rumah sakit swasta terdapat seorang pasien lansia yang sudah
berumur 75 tahun. Pasien tersebut mengalami gangguan penglihatan (buta) dan
mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-sehari.
Diruangan perawat
Karu : Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu. Baik bagi para perawat yang
telah ditugaskan untuk merawat pasien A diruangan nomor 5, sebaiknya terlebih
dahulu menanyakan kepada keluarga pasien mengenai kebiasaan pasien tersebut agar
memudahkan saat proses perawatan.
Perawat 1 : Maaf Buk, sebelumnya saya sudah menanyakan kepada keluarga
mengenai kebiaasaan pasien. Pasien tersebut orangnya sangat suka berbicara dan
menyukai orang yang ramah dan memberitahu apa yang ada dan terjadi disekitarya.
Perawat 2 : Iya Bu, keluarga juga mengatakan hal-hal penting lainnya yang bisa
membantu memudahkan dalam melakukan perawatan.
Karu : Baiklah kalau begitu. Selamat bekerja ya suster.
Perawat 1 dan 2 : Iya Buk
Menuju ruangan pasien :
Perawat 1 dan 2 : Assalamualaikum buk.
Pasien dan keluarga : Waalaikumuussalam
Perawat 2: Selamat pagi Ibu
Pasien : Pagi, siapa disana?
Perawat 1 : Perkenalkan saya perawat Mutia dan ini teman kerja saya perawat Nova.
Kali ini kami bertugas untuk merawat ibuk. Baik ibu sebelumnya coba sebutkan nama
dan tempat tanggal lahir ibu.
Pasien : Nama saya Indah, saya lahir tahun 1956
Keluarga : Nama ibu saya Indah Mardiani, lahir tanggal 25 April 1956 suster.
Perawat 2 : (Tersenyum dan menatap kearah keluarga pasien) makasih tambahannya
Ibu Ani.
Perawat 1: Baik ibu, sekarang kami akan melakukan tindakan perawatan pada kedua
mata ibu, apakah ibu Indah bersedia ?

xxii
Pasien : Tindakan seperti apa? Apa saja yang ada disekitar saya suster?
Perawat 1: Iya ada bu, disini kami akan melakukan terapi pada mata ibu agar mata
ibu bisa rileks dan tidak sakit jika bangun tidur, kami juga akan melakukan sedikit
pijatan pada mata ibu, kami membawa baskom berisi air hangat, dan handuk kecil, ini
juga bisa dilakukan pada saat ibu di rumah nanti, bisa dibantu dengan keluarga  
Pasien : Baiklah sus
Perawat 2 : Baiklah, kalau begitu ibu ingin posisi yang bagaimana, ibu suka berbaring
atau duduk?
Pasien : Berbaring saja suster

Pasienpun berbaring dengan bantuan keluarga pasien


Perawat 2 : Baiklah ibu saya akan memulai kompres air hangat pada mata ibu
Pasien : Baik suster
Perawat pun melakukan kompres pada mata pasien selama limamenit dan dilakukan
sebanyak tiga kali
Perawat 2  : Selanjutnya ibu saya akan melakukan pijatan kecil pada mata ibu agar
mata ibu tidak kaku jika dibuka atau digerakkan
Pasien : Baik sus

Perawat pun melakukan pijatan pada mata pasien selama 2 menit mengikuti
daerah kelopak mata pasien
Perawat 1: Nah ibu sekarang kami sudah melakukan terapi pada ibu, bagaimana
sekarang perasaan ibu?
Pasien : Mata saya sudah terasa segar dari yang kemarin sus
Keluarga: Suster saya mau bertanya, nanti kalau di rumah setiap jam berapa di
kompres itu sus?
Perawat : Oh iya bu kalau di rumah kalau mau di kompres itu, kalau bisa setiap pagi
hari saja bu, karena kalau keseringan juga tidak bagus untuk mata nya ibu
Keluarga : Oh begitu sus tidak boleh terlalu sering dilakukan ya sus?
Perawat 2 : Tidak bu, karena mata juga butuh istirahat

xxiii
Keluarga : oo begitu. Baik suster
Perawat 2 :Bagaimana ibu masih ada yang mau ditanyakan?
Keluarga : Tidak ada sus
Perawat 1 : Jika ibu butuh bantuan, tekan saja bel yang ada di dinding itu ya buk.
Nanti perawat akan segera datang keruangan untuk membantu ibu.
Keluarga : Oke suster
Perawat 1  : Kalau begitu kami permisi ya bu
Keluarga: Iya sus sama-sama

xxiv
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Komunikasi terapeutik adalah proses yang digunakan oleh perawat memakai
pendekatan yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan
pada klien dan mendorong klien untuk sembuh. Sedangkan kebutaan adalah
merupakan suatu jenis penyakit yang menyerang mata dan menyebabkan seseorang
tidak bisa melihat.
Dalam berkomunikasi dengan seseorang yang memiliki gangguan penglihatan
terdapat beberapa teknik yang bisa digunakan seperti, mendengarkan dengan penuh
perhatian, menunjukkan penerimaan, menanyakan pertanyaan yang
berkaitan,mengulang ucapan klien dengan kata-kata sendiri, klarifikasi,
memfokuskan, menawarkan informasi, diam, meringkas, memberikan penghargaan,
menawarkan diri, dan menganjurkan klien untuk menguraikan persepsinya.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalm berkomunikasi dengan klien dengan
gangguan penglihatan adalah pertimbangkan isi dan nada suara, periksa lingkungan
fisik, perlu adanya ide yang jelas sebelum berkomunikasi, komunikasikan pesan
secara singkat, komunikasikan hal-hal yang penting saja, dalam merencanakan
komunikasi, berkonsultasilah dengan pihak lain agar memperoleh dukungan.
3.2 Saran
Dalam berkomunikasi pada klien dengan gangguan penglihatan sebaiknya
perawat berkomunikasi dengan syarat-syarat yang telah dipaparkan di atas serta
memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan komunikasi pada klien dengan
gangguan penglihatan.

xxv
DAFTAR PUSTAKA

Daimayanti, Mukhripah.2008. Komunikasi Terapeutik dalam Praktik Keperawatan.


Bandung. PT Refika Aditama.
Mundakir. 2006. Komunikasi Keperawatan Aplikasi dalam Pelayanan. Yogyakarta.
Graha Ilmu.
https://flloraliwu.wordpress.com/2015/01/15/penerapan-komunikasi-terapeutik-pada-
pasien-dengan-gangguan-penglihatan/, diakses pada tanggal 13 April 2018
Pearce, Evelyn C. 2008. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama
http://nursinghomesindonesia.blogspot.co.id/2016/10/makalah-tehnik-komunikasi-
pada-pasien.html?m=1, diakses pada tanggal 13 April 2018
http://portalkesehatanku.blogspot.co.id/2013/06/penyebab-kebutaan.html?m=1,
diakses pada tanggal 13 April 2018

xxvi

Anda mungkin juga menyukai