GAMBUT
DAN METODE PERBAIKANNYA
DIAH AFFANDI, ST.MT
Diterbitkan oleh :
Bekerjasama dengan
NO ISBN : 978-602-53411-7-5
Penulis:
Diah Affandi,ST.MT
Dicetak Oleh :
CV Cinemart House
Diterbitkan oleh :
Bekerjasama dengan
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi tanpa izin tertulis dari Penerbit
ii
KATA PENGANTAR
Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik
(C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun
tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna
karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya, lahan gambut
banyak dijumpai di daerah rawa , atau lapisan organik dalam kondisi banjir selama
ribuan tahun.
Buku ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak, terutama yang
berkecimpung dalam pembangunan sarana infrastruktur di Indonesia.
Penulis
iii
iv
DAFTAR ISI
vi
5.4.5 Sistem Tiang AuGeo........................................................................ 98
5.4.6 Tiang Gesek/Mengapung ................................................................ 99
5.5 Stabilisasi Kimia .................................................................................... 101
5.5.1 Kimia dan Sementasi Grouts ......................................................... 101
5.5.2 Sistem Sodium Silika ..................................................................... 101
5.5.3 Sistem Amida Klorida Silikat .......................................................... 102
5.6 Memilih Grouting ................................................................................... 102
5.7 Metode Konstruksi Lainnya ................................................................... 102
5.7.1 Geocell .......................................................................................... 102
5.7.2 Pra Kompresi Thermal ................................................................... 102
5.7.3 Metode Celah (Gap) ...................................................................... 103
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
Gambar 26 Pengaruh pH pada permeabilitas (Asadi et al., 2011) .......................... 76
Gambar 27 Alur Penentuan Alternatif Fondasi Di Tanah Gambut ........................... 79
Gambar 28 (a) kegagalan daya dukung dalam gambut (b) keretakan
tanggul(Sumber : Bujang B.K. Huat, 2014, Geotechnics of Organic Soil and Peat,
CRC Press). ............................................................................................................ 80
Gambar 29 Teknik penghindaran ............................................................................ 81
Gambar 30 Penggalian dan penggantian ................................................................ 82
Gambar 31 Matras geotekstil .................................................................................. 83
Gambar 32 Pra muatan (preloading) dan saluran vertical ....................................... 84
Gambar 33 Pengaturan khusus untuk metode konsolidasi vakum .......................... 85
Gambar 34 Peningkatan kuat geser (28 hari) berbagai jenis tanah ....................... 86
Gambar 35 (a) Skema yang menunjukkan kolom pemasangan mesin DSM kering;
(b) foto yang menunjukkan pengeluaran pengikat dari alat pencampur dalam bentuk
kering; (c) skema yang menunjukkan operasi pencampuran dalam proses DSM
kering (Sumber: LCM Marktecnick) ......................................................................... 87
Gambar 36 System dalam jet grouting (setelah Keller Holding, 2005; Kazemian and
Huat, 2009b) ........................................................................................................... 88
Gambar 37 Tahapan dalam system Ras-Column ................................................... 89
Gambar 38 Mortar semen memberikan kekuatan pada CDM dan tanah lunak
menjadi padat .......................................................................................................... 90
Gambar 39 Proses dan peralatan vacuum grouting injection. ................................. 91
Gambar 40 Dynamic replacement untuk membentuk kolom pasir .......................... 92
Gambar 41 ketidaksempurnaan karena perilaku geologi (after Poulos, 2005) ........ 94
Gambar 42 Ketidaksempurnaan karena investigasi lapangan yang buruk.............. 95
Gambar 43 Tiang dengan cacat struktural dan geologis ......................................... 96
Gambar 44 Metode rakit dan tiang pancang (tampilan isometrik tiang rakit (terbuat
dari mesin penuai), penuai samping dan bara pengikat) ......................................... 97
Gambar 45 Sistem JHS dan komponennya ............................................................ 98
Gambar 46 Tiang AuGeo ........................................................................................ 99
Gambar 47 Konsep dari MRSC ............................................................................. 100
Gambar 48 Konstruksi MRSC ............................................................................... 101
ix
DAFTAR TABEL
x
BAB I
PENDAHULUAN
Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik
(C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun
tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna
karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya, lahan gambut
banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan
yang drainasenya buruk, sedangkan hutan gambut merupakan ekosistem hutan
yang unik tumbuh di lahan gambut atau lapisan organik dalam kondisi banjir selama
ribuan tahun.
1
1.2 Pengelompokan Tanah Gambut
Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikenal sebagai Organosol
atau Histosols yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan berat jenis
(BD) dalam keadaan lembab < 0,1 g cm-3 dengan tebal > 60 cm atau lapisan
organik dengan BD > 0,1 g cm-3 dengan tebal > 40 cm (Soil Survey Staff, 2003).
Gambut diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai sudut pandang yang berbeda;
dari tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi pembentukannya.
Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi:
Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan
bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila
diremas kandungan seratnya < 15%.
Gambut hemik (setengah matang) adalah gambut setengah lapuk, sebagian
bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat, dan bila diremas
bahan seratnya 15 – 75%.
Gambut fibrik (mentah) adalah gambut yang belum melapuk, bahan asalnya
masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas >75% seratnya
masih tersisa.
2
BAB II
Bagian gambut yang tumbuh mengisi danau dangkal tersebut disebut dengan
gambut topogen karena proses pembentukannya disebabkan oleh topografi daerah
cekungan. Gambut topogen biasanya relatif subur (eutrofik) karena adanya
pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu tertentu, misalnya jika ada banjir
besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah kesuburan gambut tersebut.
Tanaman tertentu masih dapat tumbuh subur di atas gambut topogen. Hasil
pelapukannya membentuk lapisan gambut baru yang lama kelamaan membentuk
kubah (dome) gambut yang permukaannya cembung (Agus dan Subiksa, 2008).
3
Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang
sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi
terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang
menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan
tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang
disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses
pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik
(Hardjowigeno, 1986).
5
Tanah gambut tropika mempunyai karakteristik yang khas dan spesifik, terkait
dengan kandungan bahan penyusun, ketebalan, kematangan, dan lingkungan
sekitarnya yang berbeda. Karakterisitik spesifik dari tanah gambut yang
membedakan dengan tanah mineral umumnya, antara lain : (1) mudah mengalami
kering tak balik (irreversible drying), (2) mudah ambles (subsidence), (3) rendahnya
daya dukung (bearing capacity) lahan terhadap tekanan, (4) rendahnya kandungan
hara kimia dan kesuburannya (nutrient), dan (5) terbatasnya jumlah
mikroorganisme.
Gambut yang mengalami kering tak balik berubah sifat menjadi gambut yang
tidak lagi mempunyai kemampuan dalam menyerap air seperti semula dan sifat
gambut berubah dari suka air (hidrofilik) menjadi menolak air (hidrofobik). Misalnya,
gambut yang terbakar hanya dapat menyerap air sekitar 50% dari semula sebelum
terbakar karena sebagian berubah menjadi hidrofobik. Sifat hidrofobik pada gambut
muncul akibat (1) kandungan asam humat berupa selaput lilin, dan (2) adanya
gugus non-polar seperti etil, metil dan senyawa aromatik (Valat et al., 1991).
6
Gambut di Indonesia umumnya dikategorikan pada tingkat kesuburan
oligotrofik, yaitu gambut dengan tingkat kesuburan yang rendah, yang banyak
dijumpai pada gambut ombrogenoes yaitu gambut pedalaman seperti gambut
Kalimantan yang tebal dan miskin unsur hara. Sedangkan gambut pantai termasuk
ke dalam gambut eutrofik karena adanya pengaruh air pasang surut dengan tingkat
kesuburan tinggi. Pada beberapa tempat gambut mempunyai tingkat kesuburan
yang baik karena adanya pengaruh sisa-sisa vulkanik seperti di Lunang, Sumatera
Barat (Taher dan Zaini, 1989).
Karakteristik tanah gambut sangat berbeda dengan tanah mineral (Tan, 1994;
Soil Survey Staff, 2003). Perbedaan tersebut terletak pada sifat kimia, fisika, dan
biologi tanah. Oleh karena itu, pemanfaatan gambut untuk pertanian secara umum
lebih problematik” dibanding tanah mineral, antara lain memerlukan input yang lebih
banyak dan model pengelolaan yang lebih kompleks. Karakteristik gambut alami
dapat berubah setelah pembukaan atau penggunaan, sehingga disebut bersifat
rapuh (fragile). Pemanfaatan dan pengelolaan lahan gambut memerlukan teknologi
inovatif untuk meningkatkan produktivitas sekaligus mencegah kerusakan atau
kemerosotan akibat penggunaannya.
8
Identifikasi tingkat kematangan tanah gambut bisa dilakukan secara
langsung di lapangan, dengan cara meremas gambut dengan menggunakan tangan
(Gambar 1). Jika setelah diremas kurang dari sepertiga gambut yang tertinggal
dalam tangan (lebih dari dua pertiga yang lolos) maka gambut digolongkan sebagai
gambut saprik, sebaliknya jika yang tertinggal lebih dari dua pertiga maka gambut
tergolong sebagai gambut fibrik. Gambut digolongkan sebagai gambut hemik, jika
yang tertinggal atau yang lolos sekitar 50% . Pada gambut saprik, bagian gambut
yang lolos relatif tinggi karena strukturnya relatif lebih halus, sebaliknya gambut
mentah masih didominasi oleh serat kasar.
BD tanah gambut yang sangat rendah yaitu 0,2 g /cm-3 (Tie and Lin, 1991)
karena adanya pengaruh bahan mineral, namun masih jauh dibanding BD tanah
mineral yang berkisar 0,7-1,4 g/ cm-3 . Hasil penelitian Dariah et al. (2012)
menunjukkan besarnya pengaruh tingkat kematangan gambut terhadap besarnya
BD gambut (Gambar 1), semakin matang gambut, rata-rata BD gambut menjadi
lebih tinggi.
10
2.3.1.3 Subsiden
Subsiden (subsidence) atau penurunan permukaan lahan merupakan
kondisi fisik yang sering dialami lahan gambut yang telah didrainase. Proses
drainase menyebabkan air yang berada di antara massa gambut mengalir keluar
(utamanya bagian air yang bisa mengalir dengan kekuatan gravitasi), akibat proses
ini gambut mengempis atau mengalami penyusutan. Subsiden juga bisa terjadi
akibat massa gambut mengalami pengerutan akibat berkurangnya air yang
terkandung dalam bahan gambut. Proses lainnya yang menyebabkan penurunan
permukaan gambut adalah proses pelapukan (dekomposisi).
11
Gambar 2 Perakaran yang muncul di atas permukaan lahan sebagai indikasi
terjadinya subsiden di lahan gambut (kiri) dan tingkat subsiden selama 2 tahun
(kanan) (Foto:Ai Dariah dan Maswar)
12
Gambar 3 Kondisi tanaman yang doyong/miring dan roboh akibat rendahnya daya
menahan beban tanah gambut (Foto: Maswar, Maftuah)
Terjadinya kondisi kering tidak balik juga menunjukkan bahwa bagian aktif
dari tanah gambut berada fase cairnya. Menurut Sabiham (2000), penurunan
kemampuan gambut menyerap air berkaitan dengan penurunan ketersediaan gugus
karboksilat dan OH-fenolat dalam bahan gambut. Kedua komponen organik ini
merupakan senyawa yang bersifat hidrofilik, sehingga jika fase cair telah hilang
maka gambut yang pada mulanya bersifat hidrofilik berubah menjadi bersifat
hidrofobik (menolak air).
Gambar 4 Kondisi tanah gambut yang telah mengalami kering tak balik membentuk
pasir semu yang tidak mampu lagi menyerap air (Foto: Dariah, Maftuah)
14
1. Eutropik : kandungan mineral tinggi, pH gambut netral atau alkalin.
Secara umum keasaman tanah gambut berkisar antara 3-5 dan semakin
tebal bahan organik maka keasaman gambut meningkat. Gambut pantai memiliki
keasaman lebih rendah dari gambut pedalaman. Kondisi tanah gambut yang sangat
asam menyebabkan kahat hara N, P, K, Ca, Mg, B, dan Mo (Yuleli, 2009).
15
Kemasaman tanah gambut cenderung makin tinggi jika gambut makin tebal.
Tingkat kemasaman gambut (pH 3,3) di sekitar kubah lebih rendah dibandingkan
gambut yang berada di pinggir atau mendekati sungai dengan pH rata-rata 4,3
(Andriesse, 1988). Gambut mentah (fibrik) yang belum terurai mengandung kadar
asam-asam organik lebih tinggi, sedangkan gambut saprik umumnya mengandung
abu yang lebih banyak sebagai sumber basa-basa (Masganti, 2003; Kurnain et al.,
2005).
16
Sabiham (1997) dan Mario dan Sabiham (2002) melaporkan lima derifat
asamasam fenolat yang sangat penting dalam tanah gambut di Jambi dan
Kalimantan Tengah, yaitu asam ferulat, sinapat, p-kumarat, vanilat, siringat, dan
asam p-hidroksibenzoat (Asam-asam fenolat tersebut mempunyai pengaruh
langsung terhadap proses biokimia dan fisiologi tanaman, serta tersedianya unsur
hara dalam tanaman. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa asam-asam fenolat
bersifat toksik bagi tanaman dan menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi
terhambat (Driessen, 1978).
Kejenuhan basa (Ca, Mg, K, Na) dalam tanah gambut tergolong rendah
antara 5- 10%, padahal secara umum kejenuhan basa yang baik agar tanaman
dapat menyerap basabasa dengan mudah adalah sekitar 30% (Soepardi dan
Surowinoto, 1982). Hal ini disebabkan lahan gambut Indonesia terbentuk di atas
tanah miskin hara dan atau hanya mendapatkan hara dari air hujan (ombrogen).
Kejenuhan basa tanah gambut di Kalimantan Tengah rata-rata lebih kecil dari 10%
(Dohong, 1999; Sitorus et al., 1999; Masganti, 2003). Meskipun lahan gambut
memiliki kapasitas tukar kation (KTK) yang sangat tinggi (90-200 me 100g-1 ),
namun kejenuhan basa (KB) sangat rendah, yang berakibat terhadap rendahnya
ketersediaan hara terutama K, Ca, dan Mg.
20
Tabel 2 Karakteristik kimia tanah bergambut dan gambut pada lahan pasang surut
Dataran pasang surut (tidal flat), yaitu daerah rawa atau daerah berlumpur yang
dipengaruhi oleh pasang surut air laut, merupakan landform yang banyak ditempati
oleh tanah gambut. Pada landform ini, daerah yang paling banyak diisi oleh tanah
gambut adalah rawa belakang pasang surut (tidal back swamp). Menurut Ritung et
al. (2013), penyebaran tanah gambut sering mengikuti landform yang terbentuk di
23
antara dua sungai besar, yaitu berupa landform dataran pasang surut, dataran
gambut, dan kubah gambut (dome).
Landform lainnya yang sering menjadi daerah penyebaran tanah gambut adalah
grup Fluvio-Marin (Fluvio-Marine landforms) atau subgrup Dataran Estuarin
Sepanjang Sungai Besar (Estuarine Flat Along Major Rivers). Landform ini berada di
sekitar muara sungai besar yang dipengaruhi oleh air sungai dan pasang surut air
laut, dan terdapat aluralur jalan air (Estuarin). Tanah gambut yang dijumpai
umumnya relatif dangkal dan tergolong topogen.
Secara garis besar, penyebaran tanah gambut di Indonesia cukup luas dan
sudah mulai dikenal sejak tahun 1865. Para peneliti dari negeri Belanda dalam
ekspedisi Ijzerman yang dipimpin oleh Koorders menyatakan bahwa di Sumatera
terdapat tanah gambut sekitar 1/5 bagian dari luas pulau ini, terutama di pantai
timur. Sementara itu, hasil eksplorasi geologi di KalimantanTengah dan Kalimantan
Timur (Molengraff) serta di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur (Schwaner)
menunjukkan adanya penyebaran tanah gambut di sepanjang daratan pantai barat
dan selatan Kalimantan (Soepraptohardjo dan Driessen, 1976).
Peta sebaran lahan gambut di Indonesia yang paling mutakhir secara spasial
digambarkan dalam bentuk Altas Peta Lahan Gambut Indonesia, Skala 1:250.000
(Ritung et al., 2011). Luas gambut di Sumatera, Kalimantan, dan Papua adalah 14,9
juta ha. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang dikemukakan
Soepraptohardjo dan Diessen (1976) yang menyatakan bahwa luas lahan gambut di
Indonesia diperkirakan sekitar 17 juta ha. Dalam Tabel 1 disajikan luas lahan
gambut di Indonesia per pulau berdasarkan Atlas Peta Lahan Indonesia, Skala
1:250.000.
Tabel 3 Luas lahan gambut per pulau utama di Indonesia berdasarkan ketebalan
24
Berdasarkan pulau, lahan gambut paling luas terdapat di Sumatera seluas
6.436.649 ha atau 43,18% dari luas lahan gambut di Indonesia. Sedangkan yang
paling sedikit terdapat di Papua seluas 3.690.921 ha atau 24,76% dari luas lahan
gambut Indonesia. Secara keseluruhan, lahan gambut tipis atau kurang dari 100 cm
paling luas penyebarannya, yaitu 5.241.438 ha, disusul oleh lahan gambut sedang
(ketebalan 100-200 cm) seluas 3.915.291 ha.
25
Berdasarkan hasil kajian BBSDLP (2013) melalui interpretasi citra satelit landsat
TM 7 pada tahun 2010-2011 yang ditumpangtepatkan (overlayed) dengan peta
sebaran lahan gambut, menunjukkan sekitar 8,3 juta ha lahan gambut tidak
terdegradasi dan masih berupa hutan alami dan hutan primer. Sisanya seluas 6,6
juta ha telah dibuka dan dimanfaatkan untuk pertanian berupa perkebunan sawit
seluas 1,5 juta ha, pertanian tanaman pangan 0,7 juta ha, 4,4 juta ha termasuk
lahan gambut terdegradasi berupa semak belukar seluas 3,8 juta ha dan bekas
pertambangan 0,6 juta ha.
Tumpang tepat data spasial lahan gambut (Ritung et al., 2011) dan data
penggunaan/penutupan lahan (Kementerian Kehutanan, 2011) menghasilkan jenis-
jenis penggunaan/penutupan lahan gambut. (Tabel 2). Hutan rawa gambut alami
menunjukkan bahwa lahan di kawasan tersebut belum terdegradasi. Kawasan hutan
gambut yang telah terganggu antara lain ditandai oleh pengurangan kerapatan
vegetasi dan tegakan pohon, dan telah didrainase, telah mengalami penurunan
muka air tanah atau gambutnya sudah kering/tidak tergenang.
26
Tabel 4 Penggunaan lahan dan penutupan vegetasi di lahan gambut tahun 2011
Pada tahun 2011, luas lahan gambut terdegradasi sekitar 3,74 juta ha (25,6%
dari lahan gambut di Indonesia) yang ditumbuhi semak belukar 2,7%, belukar rawa
19,0%, dan rerumputan semak/lahan terbuka 3,9%. Lahan ini merupakan salah satu
sumber utama emisi CO2 yang berasal dari (a) emisi dekomposisi gambut dan
umumnya terpengaruh oleh saluran drainase, dan (b) emisi akibat kebakaran lahan.
Lahan gambut terdegradasi di Indonesia cukup luas, 55,7% dari seluruh gambut
yang ada atau 8,3 juta ha.
27
Lahan gambut terdegradasi ini selain tidak produktif juga merupakan sumber
emisi GRK. Dalam berbagai pertemuan ilmiah, diantaranya Seminar Nasional dan
Network Meeting Penelitian Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut
Terdegradasi untuk Mitigasi Emisi GRK dan Peningkatan Nilai Ekonomi di Jakarta,
pada 18-19 Agustus 2014 dan Focus Group Discussion (FGD) di Sentul Bogor pada
22 Agustus 2014, dihasilkan beberapa rekomendasi, diantaranya lahan gambut
terdegradasi, terutama yang ditumbuhi semak belukar, tidak dapat dibiarkan tetapi
harus dimitigasi agar tidak menjadi sumber emisi GRK.
Ada tiga alternatif pemanfaatan lahan gambut terdegradasi agar tidak menjadi
sumber emisi GRK, yaitu: (a) mengembalikannya menjadi hutan melalui konservasi
dan restorasi, (b) memulihkan (recovery) secara alami, dan (c) memanfaatkannya
sebagai lahan pertanian dan/atau hutan tanaman industri, sesuai dengan potensi
dan karakteristiknya. Berbagai analisis menunjukkan bahwa ketiga alternatif
tersebut bisa ditempuh, namun alternatif ketiga yaitu merehabilitasinya menjadi
lahan pertanian merupakan alternatif yang paling prospektif secara ekonomis.
28
Untuk penyusunan peta gambut, transek dibuat tegak lurus sungai kearah
pusat kubah (center peat dome) dengan asumsi dapat dijumpai variasi ketebalan
gambut, tingkat kematangan dan sifat-sifat fisik lainnya. Pengamatan tanah
dilakukan dengan cara pemboran tanah gambut sampai kedalaman tanah mineral
(substratum). Parameter yang diamati adalah ciri-ciri morfologi tanah gambut antara
lain ketebalan, kematangan, warna, sisipan tanah mineral, konsistensi, pH, muka air
tanah, substratum, keberadaan bahan sulfidik dan gejala lainnya. Untuk substratum
tanah mineral diamati warna, tekstur, konsistensi, pH, dan gejala kemungkinan
adanya bahan sulfidik. Semua parameter tersebut dicatat dalam formulir
pengamatan untuk disimpan dalam suatu data base tanah.
29
print out/citra cetak atau data digital pada hasil rekaman data inderaja/citra satelit.
Dengan analisis data penginderaan jauh (citra foto atau citra satelit) dapat
diidentifikasi dan diinventarisasi keadaan: topografi/relief, beberapa ciri khas litologi
dan tanahnya, tingkat erosi/degradasi lahan yang telah terjadi, kondisi
hidrologi/drainase permukaan, keadaan vegetasi penutup dan penggunaan
tanahnya. Lain dari itu penentuan batas berbagai obyek suatu wilayah dapat
dilakukan dan ditarik garis batasnya dengan lebih teliti berdasarkan analisis data
penginderaan jauh dari pada di lapangan (Lillesand etal., 2004).
30
Pada kenyataannya, untuk menyadap informasi fisiografis misalnya dataran
rawa pasang surut, rawa belakang sungai, rawa lebak, dataran banjir, kubah
gambut, pegunungan lipatan, kerucut volkan, dataran jalur aliran sungai dan
seterusnya, cara analisis manual merupakan cara terbaik. Karena sampai saat ini,
paket program komputer belum mampu menirukan kompleksitas cara berpikir
manusia yang didukung oleh pengalaman empiris, dalam mengenali dan
mengelompokkan fenomena yang ada terutama tentang bentuk lahan/landform dan
fisiografi. Namun untuk menyadap informasi penutup lahan/vegetasi dan fenomena
terkait seperti hutan rawa, tanaman perkebunan, umur tanaman, jenis tanaman,
kandungan klorofil, tingkat kelembaban tanah dan lain sebagainya,
pemrosesan/analisis citra satelit secara digital justru lebih unggul, karena dapat
membedakan sinyal spektral obyek secara rinci yang berasal dari berbagai jenis
penutupan vegetasi/pengunaan lahan. Mulai tahun 2000-an informasi lereng yang
dibangkitkan dari data Shuttle Radar Topographic Mapping (SRTM) dapat diolah
secara digital menjadi data Digital Elevation Model (DEM), sehingga informasi
lereng dan penyebarannya dapat diklasifikasikan secara digital. Hasil analisis
secara manual maupun secara digital, perlu dilakukan validasi/pengamatan
lapangan pada tempat-tempat yang mewakili (key areas), agar penyimpangan yang
terjadi pada tahap analisis dapat diperbaiki, dikoreksi, dan disesuaikan dengan
kondisi aktual lapangan. Baik analisis manual maupun digital setelah dipadukan,
mampu menurunkan informasi baru yang disebut peta tematik, seperti peta satuan
lahan/landform, peta penggunaan lahan dan peta tanah termasuk peta lahan
gambut.
Pada saat ini pemetaan lahan gambut, diawali dengan analisis citra satelit
dan datadata pendukungnya. Citra satelit resolusi tinggi antara lain ALOS dan
SPOT diintegrasikan dengan data kontur dari peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) atau
data olahan rekaman “Shuttle Radar Topographic Mapping-SRTM” dapat digunakan
untuk menggali informasi bentang lahan/terrain secara tiga dimensi (DEM) dan
mempermudah untuk mengenali unit lahan (landform/fisiografi) atau kawasan yang
diindikasikan terdapat gambut. Selain itu, informasi spasial yang bersumber dari
peta geologi di-overlay-kan dengan peta tanah dan peta gambut (bila ada) akan
didapat informasi tentang indikasi tentang jenis bahan mineral yang terdapat di
bawah lapisan gambut (sub-stratum) dan ketebalan gambut. Overlay antara “data
DEM yang berisi informasi unit lahan” dan data/ informasi “indikasi ketebalan
gambut dan jenis substratum” dapat diturunkan menjadi “peta interpretasi sebaran
31
lahan gambut”. Dasar analisis untuk mengenali/identifikasi dan inventarisasi lahan
rawa gambut, kriteria yang digunakan dalam analisis untuk pengelompokan bentuk
lahan/landform antara lain: relief/topografi, drainase permukaan, kondisi
geologi/litologi. Umumnya terdapat hubungan antara bentuk lahan (landform/grup
fisiografi) dan penyebaran sifat-sifat sumberdaya lahan/tanah (Sutanto, 2002).
Satuan bentuk lahan/landform tersebut digunakan sebagai wadah satuan peta
(mapping unit) lahan gambut.
32
Gambar 5 Diagram alir pembaharuan dan penyusunan peta lahan gambut Indonesia
33
Kegiatan pengamatan dan validasi lapangan (ground truth) ditekankan pada
pengecekan atau pengamatan satuan bentuk lahan/landform dari hasil interpretasi
citra, termasuk mengamati sifat-sifat tanah gambut dan penyebarannya pada setiap
komponen geomorfik/satuan bentuk lahan serta pengambilan contoh tanah pewakil.
Semua hasil pengamatan lapangan dicatat dalam format komputer (digital file),
sedangkan lokasi pengamatan dan jalur tracking posisi geografis yang diukur
dengan peralatan Geographic Positioning System (GPS) diplot dalam peta dasar
yang akan digunakan untuk penyajian peta final/akhir tentang sebaran lahan (rawa)
gambut dan karakteristiknya. Pencatatan hasil pengamatan tanah dan satuan lahan
mengikuti “Buku Petunjuk Pengamatan Tanah di Lapangan” yang telah dibakukan
(Balai Penelitian Tanah, 2007). Penjelajahan dan pengamatan sifat-sifat tanah
dilakukan semaksimal mungkin sesuai dengan aksesibilitas setempat dan lebih
diutamakan pada daerah-daerah berpotensi untuk pengembangan pertanian,
dengan pendekatan sistem Transek berdasarkan variasi topografi (toposekuent)
atau variasi litologi (litosekuen).
Nugroho et al. (1992) memplotkan sebaran lahan pasang surut, rawa dan
pantai pada peta dasar Tactical Piloteage Chart (Joint Operation Graphic-JOG)
skala 1:500.000. Sebagai sumber utama adalah peta-peta hasil survey Euroconsults
35
(1984), peta Land Unit and Soil Map LREP-1 seluruh lembar Sumatera (LREP-1,
1987-1991) dan peta-peta Landsystem Re PPProT (1990-1991) untuk Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Sebagai tambahan adalah peta-peta tanah
berbagai skala yang tersedia di Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Hasil
perkiraan luas gambut di Indonesia menurut Nugroho et al. (1992) adalah 15,433
juta ha.
Data luas lahan gambut terakhir yang diterbitkan oleh Wetland International
Indonesia Program (Wahyunto et al., 2004 dan 2005) menyajikan luas total lahan
gambut di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua 20,94 juta ha. Data ini diperoleh
dari hasil analisis citra satelit Landsat TM tahun 2001-2002 dan data kompilasi peta-
peta tanah Proyek RePPProT (1988), Proyek LREP-I (1991), dan Proyek P4S. Balai
Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (Ritung et al., 2011), melakukan
updating peta lahan gambut terbitan Wetland International dengan menggunakan
data warisan tanah (legacy soil data), data-data hasil survey dan pemetaan tanah
sampai dengan tahun 2011 serta analisis citra satelit (Landsat TM, ALOS, SPOT),
luas lahan gambut terhitung 14,91 juta ha. Data lahan gambut versi terakhir ini
digunakan untuk mendukung pelaksanaan Inpres No. 10 tahun 2011 dan No. 6
tahun 2013, tentang penundaan ijin baru pembukaan hutan alam/primer dan lahan
gambut. Pada kedua Inpres tersebut dilampirkan Peta Indikatif Penundaan Ijin Baru
(PIPIB) yang petanya disusun dengan menggunakan: 1) peta penutupan lahan dan
kawasan hutan, 2) peta lahan gambut, dan peta ijin konsesi perkebunan.
36
Tabel 5 Luas lahan gambut di Indonesia dari berbagai sumber dan tahun pemetaan
37
3.4.3 Perkiraan terkini sebaran dan luas lahan gambut Indonesia
Sumber data utama yang digunakan untuk menyusun dan memperbaharui
(up-dating) data/informasi spasial lahan gambut antara lain: (i) Peta-peta tingkat
tinjau (1:250.000) maupun yang lebih rinci (skala 1:100.000; 1:50.000) hasil
kegiatan pemetaan terdahulu seperti: peta-peta sumberdaya lahan dan tanah
kegiatan Proyek LREP I, peta-peta tanah tingkat tinjau Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Peta PLG (ABCD) dan peta-peta Agro
Ecological Zone (AEZ) seluruh daerah Papua dan Papua Barat; (ii) Data digital citra
Landsat 7 ETM, dari seluruh Indonesia rekaman tahun 2010- 2011; (iii) Peta dasar
digital dari peta Rupabumi skala 1:250.000 yang diterbitkan BAKOSURTANAL-BIG
dan (iv) Peta-peta geologi skala 1:250.000 yang diterbitkan Direktorat
Geologi/Puslitbang Geologi Bandung. Metode penyusunan peta lahan gambut skala
1:250.000 mengacu pada metode pemetaan lahan gambut yang dimutakhirkan
(Gambar 7).
38
Tabel 6 Lahan gambut di Sumatera, Kalimantan, dan Papua, tahun 2011
39
Gambar 6 Peta sebaran lahan gambut Pulau Sumatera
40
Gambar 7 Peta sebaran lahan gambut Pulau Kalimantan
41
Gambar 8 Peta sebaran lahan gambut Pulau Papua
42
BAB IV
Analisis balik bisa dilakukan menggunakan data pengukuran tekanan air pori
dan pengukuran settlement langsung di lapangan.
43
Gambar 9 Cs vs LL (Al-Raziqi et al., 2003)
2. Koefisien Konsolidasi, Cv
44
Farrel et al., (1994) mencatat bahwa koefisien konsolidasi menurun sejalan dengan
meningkatnya tegangan efektif di atas tegangan pra konsolidasi dan nilai tersebut
semakin kecil bila kadar organik tanah semakin besar (Gambar 12).
Oikawa dan Igarashi, (1997) mengajukan persamaan untuk menghitung Cv dari nilai
kadar air sebagai berikut:
dimana ef dan e0 merupakan angka pori final dan awal, wn merupakan kadar air,
dan p merupakan tekanan pra konsolidasi dalam satuan kg/cm2 . Cv dalam satuan
cm/s.
45
3. Pemampatan Sekunder
Pemampatan sekunder atau creep yang ditentukan seperti untuk
pemampatan satu dimensi dari tanah adalah pemampatan volumetric yang berlanjut
dibawah tegangan efektif vertikal yang konstan. Komponen yang bergantung pada
waktu dari settlement total terjadi setelah seluruh tekanan air pori berlebih
terdisipasi, suatu tahap yang dianggap terjadi setelah konsolidasi primer berakhir.
Estimasi konsolidasi sekunder sering disederhanakan dengan asumsi
penurunan sekunder bervariasi secara linier dengan logaritma waktu. Holtz dan
Kovacs, (1981) mendefinisikan koefisien konsolidasi sekunder Cα sebagai berikut:
48
Gambar 12 Hubungan voids ration-log effective pressure-time, Bjerrum (1967)
49
Kazemian dan Huat (2009) menyatakan konsolidasi primer dari fibrous peat
terjadi dengan sangat cepat, pemampatan sekunder besar, bahkan pemampatan
tersier, juga terjadi.
Mesri dan Ajlouni (2007) menjelaskan tentang faktor dominan yang
mengatur sifat pemampatan tanah organik antara lain, kadar serat, kadar air alami,
angka pori, permeabilitas awal, susunan partikel tanah dan ikatan kimia antar
partikel. Penentuan pemampatan fibrous peat biasanya didasarkan pada uji
konsolidasi standar.
Angka pori in situ fibrous peat sangat tinggi karena fibrous peat berupa
serat seluler berongga yang membentuk sebuah jaringan partikel berkaitan serta
terbuka, sehingga kadar air awal tinggi. Saat pemampatan primer ataupun
sekunder, air dikeluarkan secara bersamaan dari dalam dan di antara partikel
gambut. Maka dari itu kurva e-log p menunjukkan sebuah kemiringan curam yang
menunjukkan nilai indeks pemampatan yang tinggi.
Indeks pemampatan tanah organik berkisar antara 2-15. Selain itu ada
kemungkinan bahwa pemampatan sekunder dimulai sebelum disipasi tekanan air
pori berlebih selesai.
Berat volume tanah organik nilainya mirip dengan berat volume air sehingga
tegangan efektif in situ sangat kecil dan terkadang tidak dapat dideteksi dari hasil uji
konsolidasi. Penentuan awal pemampatan sekunder (tp) dari kurva konsolidasi
sangat sulit karena konsolidasi yang mendahului terjadi sangat cepat. (Yulindasari,
2006).
Pemampatan fibrous peat berlanjut dengan kecepatan yang berangsur-
angsur berkurang dan tegangan efektif yang konstan. Hal ini disebut pemampatan
sekunder. Pemampatan sekunder tanah organik karena penguraian lebih lanjut dari
serat yang diasumsikan berjalan dengan laju yang lebih lambat setelah konsolidasi
primer berakhir. Kemiringan bagian akhir kurva angka pori vs log waktu (C)
didefinisikan sebagai laju pemampatan sekunder. Perkiraan ini didasarkan atas
asumsi bahwa C tidak terikat oleh waktu, ketebalan lapisan yang dapat
dimampatkan, dan tekanan yang diaplikasikan. Rasio C/Cc sudah digunakan secara
luas untuk mempelajari sifat tanah organik dan besarnya berkisar antara 0.05-0.07
diteliti oleh Mesri et al. (1997).
Meskipun laju konsolidasi primer dari fibrous peat sangat tinggi, hal ini
berkurang dengan aplikasi tekanan konsolidasi menurut Lea dan Brawner (1963)
laju koefisien konsolidasi akan mengalami penurunan signifikan pada saat aplikasi
50
tekanan dari 10-100kPa. Faktor reduksi signifikan sebesar 5-100 dikenakan
terhadap reduksi permeabilitas yang disebabkan oleh peningkatan tekanan.
Pada beberapa jenis gambut dan tanah organik, parameter settlement nya
dapat ditentukan memakai uji oedometer standar. Bentuk umum kurva konsolidasi
akan tampak serupa dengan kurva tanah anorganik. Tetapi terdapat tanah berkadar
organik dan material serat dengan penghumusan tingkat rendah, yang tidak
mengikuti konsep pemampatan lempung konvensional . Hal ini disebabkan karena
perbedaan sifat fase padat dan mikrostruktur tanah tersebut. Bila tanah organik ini
tetap di analisa memakai metode konvensional, maka kemiripan dengan kurva
tanah anorganik sangat sedikit. Perbedaan ini akan sangat jelas terlihat pada
tegangan vertikal rendah (peningkatan beban awal di laboratorium). Material seperti
itu juga rawan terhadap penguraian selama uji oedometer. Kadar gas dan produksi
gas lain juga dapat memperumit interpretasi dari uji oedometer. Perilaku tanah
organik dan perumusan perilaku tanah tersebut diteliti oleh Edil (1997) dan Haan
(1997).
4. Pemampatan Tersier
Proses konsolidasi, pemampatan dan settlement tanah organik dapat terdiri
dari tiga fase yaitu: settlement secara instan/pemampatan awal, konsolidasi primer,
dan pemempatan sekunder. Oleh beberapa sumber disebut pula adanya tahapan ke
empat yaitu settlement tersier seperti terlihat pada Gambar 2.5.
Edil dan Dhowian, (1979) melaporkan kurva kompresi pada uji oedometer
untuk gambut Wisconsin memperlihatkan terdapat bagian yang curam bila diplot
terhadap skala logaritma waktu. Bagian tersebut didefinisikan sebagai fase
pemampatan tersier yang terjadi setelah fase pemampatan sekunder. Pada tahun
1980 keduanya mendefinisikan ulang pemampatan tersier sebagai bagian yang
curam dari kurva logaritma regangan natural. Pemampatan tersier diperkenalkan
pula sebagai alat yang ditujukan untuk mengingkatkan Cα terhadap waktu.
51
Gambar 13 Pemampatan primer, sekunder dan tersier (Huat et al., 2014)
52
Nilai OCR hasil interpretasi semua metode di atas lebih kecil dari 1. Hal ini
mengindikasikan proses konsolidasi tanah gambut di Pelintung masih berjalan
(under consolidated). Secara umum nilai Kd lebih kecil dari 2 menghasilkan nilai
OCR lebih kecil dari 1.
Rahardjo, et al. (2006) menjelaskan dan menggunakan uji disipasi pada uji
Piezocone untuk memonitor besarnya derajat konsolidasi pada satu waktu tertentu
dan menentukan koefisien konsolidasi arah horizontal, ch. Pada saat melakukan uji
piezocone di tanah lunak, penetrasi konus akan menghasilkan tekanan air pori
ekses yang terbaca pada sensor tekanan air pori. Besar koefisien konsolidasi dapat
diketahui dengan melakukan tes disipasi, dimana tekanan air pori ekses dibiarkan
terdisipasi sampai dengan tekanan air pori ekses yang terukur mendekati nilai
tekanan hidrostatisnya. Karena arah aliran tekanan air pori ekses dalam pengujian
ini radial maka nilai koefisien konsolidasi yang didapatkan merupakan koefisien
konsolidasi dalam arah horizontal.
Pertama, tekanan air pori ekses diplot mengikuti metode Asaoka dengan
sumbu ut dan ut+∆t dimana ut adalah tekanan air pori ekses pada suatu waktu.
Dengan menggunakan kurva pada metode Asaoka dapat ditentukan nilai uf dan
u50.
Kedua, tekanan air pori ekses selama disipasi diplot dalam grafik terhadap
log waktu, menggunakan nilai u50 yang di dapat dari langkah 1, dapat ditentukan
t50. Nilai koefisien konsolidasi arah horizontal, ch ditentukan menggunakan chart
dari Robertson et al. (1992) berdasarkan waktu yang diperlukan untuk mencapai
50% disipasi.
Anastasia, As win, Andy (2012) melakukan studi korelasi tahanan ujung
sondir terhadap sifat kemampatan lempung di Bandung. Korelasi qc dengan
kompresibilitas menggunakan formula Mitchell dan Gardner (1975) yakni:
α = 1 / (mv. qc)
dimana:
α = koefisien yang bergantung pada nilai qc
mv = Koefisien pemampatan volume (cm2 /kg)
qc = Tahanan ujung sondir (kg/cm2 )
Hasil uji untuk tanah organik Gedebage menghasilkan nilai qc berkisar 4.1-
14.5 kg/cm2 , koefisien pemampatan mv antara 0.048-0.137cm2 /kg, dan nilai α
berkisar pada 0.26-11.1.
53
4.1.3 Back Analysis
Memprediksi besar dan waktu settlement memainkan peran utama di dalam
proyek-proyek perbaikan tanah yang menggunakan metode pre-loading. Prediksi
yang akurat tergantung pada pemilihan parameter tanah dan keputusan engineer.
Engineer harus memverifikasi kelayakan tanah dengan menggunakan metode
monitoring instrumen selama proses konsolidasi dan sesudahnya.
Instrumen sederhana yang dapat menilai derajat konsolidasi adalah
settlement plate dan piezometer. Bo et al (1997).
1. Settlement gauge
Derajat Konsolidasi rata-rata dapat ditentukan secara sederhana
berdasarkan settlement. Derajat konsolidasi rata-rata pada suatu waktu (t)
sesudah pembebanan dapat ditentukan dengan rumus berikut.
Ū (%) = St/S
dimana :
St adalah settlement pada waktu (t)
S adalah settlement konsolidasi primer ultimate Ū(%) adalah derajat
konsolidasi
Prediksi settlement ultimate dari hasil monitoring lapangan yang lebih akurat
dapat dilakukan dengan menganalisa hasil monitoring settlement. Sridharan
dan Seepada (1981) Menyarankan metode hiperbolik dapat digunanakan
untuk memprediksi settlement ultimate. Tan (1993) Melaporkan bahwa
metode hiperbolik valid untuk memprediksi settlement ultimate pada
perbaikan tanah menggunakan vertical drained hanya bila digunakan faktor
kemiringan koreksi yang berhubungan dengan rasio drainase dan
ketebalan. Asaoka (1978) mengajukan metode prediksi settlement
menggunakan hasil monitoring settlement dan fitting curve.
Suatu perbandingan dilakukan pada hasil monitoring Changi East,
Singapore menggunakan tiga metode diatas. Terlihat bahwa derajat
konsolidasi dari ketiga metode hasilnya mendekati. Jika digunakan
ekstensometer yang dipasang pada sublapisan maka derajat konsolidasi
dari sub lapisan dapat diperkirakan dengan mengaplikasikan metode yang
sama.
2. Piezometer
54
Piezometer digunakan untuk mengukur tekanan pori dari tanah.
Jika monitoring yang teratur dilakukan untuk mengukur piezometric head
bersamaan dengan ketinggian air statik maka disipasi tekanan air pori
berlebih dapat dideteksi dan derajat konsolidasi dapat dihitung. Tekanan air
pori berlebih rata-rata dapat ditentukan dengan rumus berikut.
U(%) = 1 – (ut / ui)
Dimana :
ut adalah tekanan pori berlebih pada waktu (t) dan
ui adalah tekanan pori berlebih initial, besarnya sama dengan pertambahan
beban (’).
Jika Piezometer dipasang dalam elevasi yang berbeda-beda derajat
konsolidasi rata-rata untuk seluruh ketebalan tanah dapat dihitung seperti
halnya derajat konsolidasi rata-rata dari sub lapisan tanah. Bo et al., 2003
membandingkan derajat konsolidasi dari hasil monitoring piezometer
terhadap hasil monitoring deep settlement gauge dan menemukan bahwa
derajat konsolidasi yang dihasilkan sesuai.
55
Dimana C adalah factor koreksi . untuk temperature 450 ˚C nilai C= 1.0 (Arman,
1971). Di Eropa temperature lebih tinggi dari 550 ˚C digunakan untuk pembakaran
gambut dan nilai C=1.04 digunakan sebagai factor koreksi. Perbedaan tersebut
biasanya bernilai kecil dan tidak signifikan untuk pertimbangan praktis. Berikut tabel
variasi kandungan organic pada tanah gambut yang ditemukan di berbagai negara.
Kadar air adalah salah satu yang paling umum dalam parameter tanah , terutama
dalam hal menentukan massa atau berat.
W = W w /Ws x 100%
Dimana
w= kadar air
ww= berat dari air
ws = berat dari tanah kering
jika nilai w kecil mengindikasikan tanah yang kering, tetapi jika nilai w besar maka
mengindikasi bahwa tanah tersebut lembab (basah).
Untuk tanah gambut terdapat ketakutan secara umum dalam standar pengeringan
tanah pada suhu 105˚C selama 24 jam akan mengakibatkan hangus komponen
organik pada gambut, sehingga menghasilkan angka kadar air yang terlalu besar.
Oleh karena itu beberapa menyarankan suhu yang lebih rendah diantara 50˚C dan
95˚C.
56
Praktik standar adalah mengeringkan pada suhu 105˚C. Setelah periode
pengeringan 24 jam, kadar air kemudian dihitung menggunakan rumus
Dimana :
W1 = berat kontainer
Persentase nilai kandungan air alami dari berbagai gambut ditunjukan oleh tabel di
bawah ini
Untuk tanah ekspansif, batas cair (LL) tergantung dengan jenis dari detritus
tanaman yang terkandung, derajat humifikasi dan proporsi tanah liat (clay) yang
ada. Untuk suhu gambut, batas cair dari gambut basah berkisar 200-600% dan
untuk gambut rawa berkisar 800-1500% (Hobbs, 1986). Bagaimanapun juga,
menurut Hobbs (1986) tidak ada gunanya melakukan uji batas plastis pada tanah
gambut karena sifat plastisitasnya tidak banyak menunjukkan karakternya.
57
Gambar 14 Batas Atterberg
(Sumber : Bujang B.K. Huat, 2014, Geotechnics of Organic Soil and Peat, CRC
Press).
Tabel 9 dibawah ini menunjukan batas atterberg untuk beberapa jenis endapan
tanah yang tersebar di beberapa wilayah
Densitas (ρ) secara sederhana didefinisikan sebagai massa total (M) dari total
volume (V) :
ρ = M/V
58
Berat isi gambut tergolong rendah dan bervariasi dibandingkan dengan tanah
mineral, terkait dengan kandungan organik, kandungan mineral, kadar air dan
derajat kejenuhan. Berat isi rata-rata gambut biasanya sedikit lebih tinggi daripada
air. Gambut amorf memiliki kerapatan curah (Bulk density) yang lebih tinggi
daripada gambut berserat.
Dry density, ρd (berat isi kering ᵞ d) adalah massa, Ms (atau berat dari partikel padat)
dari total volume (V) :
ρd = Ms /V
Berat isi kering lebih penting dalam engineering properties dari gambut,
mempengaruhi perilakunya di bawah beban. Berat isi kering itu sendiri dipengaruhi
oleh beban efektif yang menjadi beban simpanan gambut. Tabel 10 menunjukkan
tipikal berat unit untuk beberapa jenis tanah yang tersebar di berbagai wilayah.
Spesifik gravity dari berbagai material adalah rasio massa jenisnya dengan air.
Untuk tanah itu dihitung hanya untuk fase padatnya saja . berikut merupakan rumus
untuk mendapatkan nilai berat jenis .
Gs = Ms / Vs * ρw
59
Dimana
Berat Jenis (spesifik gravity ) dari tanah padat dapat diuji di laboratorium
menggunakan metode botol spesifik gravity atau metode tabung gas (ASTM D854,
BS1377:1990). Untuk kebanyakan mineral tanah (pasir, lanau dan lempung) rentang
nilai spesifik gravitynya dari 2.60-2.80.
Tabel 11 menunjukkan nilai berat jenis pada beberapa tipikal jenis tanah dan juga
mineral yang tersebar di berbagai wilayah.
60
Gambar 15 Kandungan organic vs CEC (after Asadi et al., 2009d)
(Sumber : Bujang B.K. Huat, 2014, Geotechnics of Organic Soil and Peat, CRC
Press).
Gambar 16 menunjukkan kapasitas tukar kation berbagai tanah organik. CEC tanah
organik dan gambut umumnya membeku dengan meningkatnya kandungan organik.
Potensi adsorpsi air pada tanah organik umumnya meningkat dengan meningkatnya
CEC
Rentang CEC dari tanah dengan kandungan tinggi serat biasanya kurang dari
rentang CEC dari tanah dnegan kandungan serat yang rendah . Ggambut berserat
sebagian besar tidak terurai dan memiliki kelembaban rendah serta memiliki struktur
tanaman yang berbeda, tingkat humifikasi yang lebih tinggi menghasilkanCEC yang
lebih tinggi.
62
Gambar 18 menunjukkan zeta potensial . dimana ζ diukur menggunakan zeta meter
yang berfungsi sebagai nilai pH. Zeta meter adalah instrument dasar
mikropreosesor. Pengukuran zeta potensial sangat penting dalam pemahaman
karakteristik muatan listrik partikel sampel. Sifat muatan listrik mengontrol interaksi
antar partikel dan oleh karena itu menentukan perilaku partikel tanah.
Dimana
ζ= zeta potensial
EM = mobilitas eletroforetik pada suhu sebenarnya
Vt = Viskositas dari cairan suspending
Dt = konstanta dielektrik
Lebih disukai menghitung zeta dalam milivolt daripada satuan elektrostatis, maka
rumusnya menjadi
Potensi zeta pada tanah organik dan gambut dipengaruhi oleh jenis kation, valensi
kation, konsentrasi kation dan pH. potensi zeta gambut menurun seiring dengan
peningkatan pH atau konsentrasi kation (Tabel 12 dan Tabel 13)
Tabel 12 potensi zeta dari gambut yang sedikit terurai
63
Tabel 13 potensi zeta dari gambut yang sangat terurai
dimana
Sel resistivitas dapat digunakan untuk mengukur resistivitas dari tanah organic dan
tanah gambut. Untuk meningkatkan tingkat akurasi, potensial listrik konstan 40,70
dan 90 V yang berbeda dapat diterapkan di seluruh spesimen. Resistivitas tanah
organik dipengaruhi oleh kadar air dan suhu seperti yang digambarkan pada tabel
14 dan 15 resistivitas menurun dengan meningkatnya kadar air atau suhu. Tingkat
humifikasi gambut yang lebih tinggi menghasilkan resistivitas gambut yang lebih
rendah.
64
Tabel 14 Resistivitas sampel yang sulit terurai
65
4.7 Rangkuman Engineering Properties dari Gambut
Kadar Air
Kadar air gambut bisa berkisar dari 500% hingga 2000% bahkan mencapai
setinggi 2.500 untuk beberapa gambut berserat. Nilai kadar air kurang dari
500% biasanya merupakan indikator tingginya fraksi mineral dalam sampel
gambut.
Kadar Abu
In situ bulk density dari rawa gambut sangat bergantung pada kadar airnya.
Gambut dengan granular amorf dapat memiliki in situ bulk density undrained
hingga 1200 kg/m3 sedangkan gambut berserat sangat berkayu dapat memiliki
kerapatan in situ serendah 900 kg/m3 dalam kondisi tak jenuh.
Spesifik Gravity
Nilai spesifik gravity dari gambut bervariasi mulai dari 1.4 hingga 1.8 dengan
kisaran yang lebih tinggi mencerminkan kandungan mineral yang lebih tinggi.
Void Ratio
Void ratio awal gambut bervariasi bergantung dari jenis gambut dan kadar air,
berkisar antara 7 sampai 25
Permeabilitas
66
Tabel 16 dan 17 dibawah ini menujukan property dari gambut dan dilihat dari aspek
fisika juga kimianya
Tabel 16 Properti fisika dan kimia dari gambut (after Kazemian et al., 2011b)
67
semakin tinggi derajat humifikasi maka semakin rendah kekuatan gesernya dan
semakin tinggi kandungan mineralnya semakin tinggi pula kekuatan gesernya.
Parameter kekuatan geser selalu memainkan peran penting ketika keputusan teknis
harus dibuat tentang tanah yang termasuk gambut. kekuatan geser menjadi
perhatian baik selama konstruksi maupun pada akhir konstruksi. kuat geser yang
rendah dan kompresibilitas tinggi dari lahan gambut membatasi mereka pada
kategori bermasalah. ketepatan dalam menentukan kuat geser tanah dikaitkan
dengan beberapa variabel.
68
Gambar 18 Sudut gesek dari fibrous, hemic dan gambut sapric (after Kazemian et
al. 2012(a))
Gambar 19 Kohesi dari fibrous, hemic dan gambut sapric (after Kazemian et al.
2012(b))
69
4.8.3 Parameter kekuatan geser vane
Tabel 18 menunjukan kuat geser dari variasi gambut tropical dari Malaysia Barat
menggunakan kuat geser vane di lapangan yang kecil. Dimana kuat geser
undrained dari tanah gambut (Su) dalam rentang nilai 3-15 kPa yang umumnya jauh
lebih rendah daripada tanah mineral (lempung lunak)
Tabel 18 Kuat geser vane dari tanah gambut (after Al-Raziqi et al., 2003)
70
Gambar 20 (a) tata letak drainase untuk perumahan (konstruksi baru
selesai)
(b) beberapa tahun setelah konstruksi selesai
(Sumber : Bujang B.K. Huat, 2014, Geotechnics of Organic Soil and Peat, CRC
Press).
71
4.9.1 Parameter Kompresibilitas dari Gambut
Gambut dapat mengkonsolidasi, memampatkan, dan mengendap dengan dua cara
saat dimuat
Perlahan, dengan konsolidasi dan kompresi bertahap memberikan waktu
bagi massa gambut untuk merespon beban. ini adalah metode yang
diinginkan untuk membangun jalan di atas gambut dan memberikan waktu
bagi gambut untuk meningkatkan kekuatan dan daya dukungnya.
Cepat, tanpa perubahan volume, dengan cepatnya penyebaran dan geser
gambut menyebabkan keruntuhan. gambut sangat rentan terhadap
"tegangan berlebihan geser" dan beban harus dikontrol dengan cermat
untuk menjaga tekanan dalam kekuatan yang tersedia.
72
BAB V
Kuat geser tanah gambut termasuk rendah, nilainya berkisar 5 - 18 kPa. Hasil
penelitian Asadi tahun 2011, kuat geser tanah gambut selain dipengaruhi oleh jenis
gambut juga dipengaruhi oleh pH (Gambar 16). Meskipun kuat geser tanah gambut
termasuk rendah, pada kenyataanya hasil penilitian Edil tahun 2003 menghasilkan
nilai kuat geser efektif gambut termasuk tinggi yaitu berkisar 39°- 67° dengan nilai
rata-rata 53° (Gambar 17).
Sumber :Puslitbang Sumber Daya Air, 2014 Teknologi pondasi diatas tanah gambut
73
Gambar 23 Sudut geser efektif vs kandungan organic (Edil, 2003)
Sumber :Puslitbang Sumber Daya Air, 2014 Teknologi pondasi diatas tanah gambut
lndeks kompresi pada tanah gambut relatif besar dibandingkan tanah lunak lainnya,
penggunaan persamaan empirik untuk tanah lunak akan menghasilkan nilai yang
tidak konservatif, nilai Cc tanah gambut lebih besar dari rumus empirik untuk tanah
lunak biasa. Nilai Cc gambut dapat mencapai 5 - 10 dimana pada lempung hanya
berkisar 0.2 - 0.8. Azzouzet al (1976) memberikan hubungan indeks kompresi
terhadap kadar air dalam persen untuk tanah organik dan gambut adalah sebagai
berikut.
Cc = 0.0115 w
74
Ca = 0.00018 wn
Gambar 24 Koefisien konsolidasi sekunder (Cα) vs Kadar air awal (Farrel et al.,
1994)
Sumber :Puslitbang Sumber Daya Air, 2014 Teknologi pondasi diatas tanah gambut
Angka pori gambut dapat berkisar 9 untuk gambut amorphous sampai 25 untuk
gambut fibrous. Dengan angka pori tinggi berdampak dengan tingginya kadar air.
Sebagai perbandingan, lempung marine di malaysia memiliki angka pori berkisar
1.5- 2.5. Tingginya angka pori alami gambut menunjukan tingginya kapasitas
kompresi.
Susunan partikel seperti serat dan butiran kasar, pada tanah gambut sangat
berpengaruh besar terhadap ukuran dan kemenerusan pori, hal ini mengakibatkan
permeabilitas gambut memiliki rentang yang besar. Gambut amorpous dengan sifat
koloid yang tinggi cenderung memiliki permeabilitas yang rendah dibanding gambut
fibrous. Faktor dominan, selain factor yang telah disebutkan sebelumnya adalah
tingkat kepadatan (derajat konsolidasi) dan tingkat pembusukan. Faktor ini dapat
berubah seiring waktu dan menghasilkan perubahan terhadap permeabilitas. Pada
kondisi alami, gambut dapat memiliki permebailitas setinggi pasir yaitu berkisar 10·3
sampai 10·2 cm/s. Permeabilitas turun drastis ketika diberi beban, turun hingga ke
levellanau atau lempung yaitu 10-6 - 10·7 cm/s atau bahkan lebih rendah. Pada
umumnya, khususnya gambut fibrous, permeabilitas horizontal lebih besar dari arah
vertikal dalam 1 orde atau lebih (Dhowian dan Edil, 1980). Asadi et al. (2011)
investigasi pengaruh pH terhadap permebilitas pada tanah gambut tropis dalam
kondisi laboratorium. Hasil penelitiannya menemukan bahwa baik pada gambut
amorphous dan fibrous, permeabilitas meningkat berbanding terbalik dengan pH
(Gambar 28).
Sumber :Puslitbang Sumber Daya Air, 2014 Teknologi pondasi diatas tanah gambut
76
Lima metode solusi fondasi pada gambut yang telah diterima dan diterapkan di
Indonesia adalah:
Tabel 19 Jenis perbaikan tanah yang sering diterapkan pada lahan gambut
Solusi yang telah disebutkan di atas dapat kombinasikan dengan metode perbaikan
tanah seperti:
77
Banyak tipe bangunan air yang mungkin dibangun di tanah gambut, seperti
bangunan sadap, tanggul banjir, tembok penahan, dll. Dari sekian banyak tipe
bangunan air, terkait risikonya yang tinggi, bendungan merupakan satu-satunya
yang tidak diperbolehkan berdiri diatas tanah organik atau gambut. Umur rencana
bangunan air selain bendungan umumnya berkisar 20 tahun- 50 tahun, bangunan
air dengan met ode desain yang umum kemungkinan akan sulit untuk mencapai
umur terse but terkait sifat gambut yang viscous dan sisi ekonomik dari bangunan
tersebut. Oleh karena itu perlu bertemu antara persyaratan teknis dan ekonomik.
Pertemuan tersebut dapat diterjemahkan dalam kriteria performa, kriteria performa
seperti faktor keamanan, dan deformasi. Berikut persyaratan faktor keamanan
stabilitas tanggul yang umum digunakan:
Sumber :Puslitbang Sumber Daya Air, 2014 Teknologi pondasi diatas tanah gambut
78
Gambar 27 Alur Penentuan Alternatif Fondasi Di Tanah Gambut
Sumber :Puslitbang Sumber Daya Air, 2014 Teknologi pondasi diatas tanah gambut
79
Gambar 28 (a) kegagalan daya dukung dalam gambut (b) keretakan
tanggul(Sumber : Bujang B.K. Huat, 2014, Geotechnics of Organic Soil and Peat,
CRC Press).
80
Gambar 29 Teknik penghindaran
(Sumber : Bujang B.K. Huat, 2014, Geotechnics of Organic Soil and Peat, CRC
Press).
(Sumber : Bujang B.K. Huat, 2014, Geotechnics of Organic Soil and Peat, CRC
Press).
82
Gambar 31 Matras geotekstil
(Sumber : Bujang B.K. Huat, 2014, Geotechnics of Organic Soil and Peat, CRC
Press).
83
Gambar 32 Pra muatan (preloading) dan saluran vertical
(Sumber : Bujang B.K. Huat, 2014, Geotechnics of Organic Soil and Peat, CRC
Press).
Ada dua alasan dasar untuk menginginkan pembuangan cepat tekanan air pori,
dalam konstruksi panggung, di mana penguatan kekuatan lapisan tanah di setiap
tahap diperlukan untuk memastikan stabilitas tahap berikutnya, pembuangan yang
lebih cepat memungkinkan konstruksi yang lebih cepat, sementara dalam pra
pemuatan, ini mengurangi waktu yang diperlukan untuk pengisian pramuat untuk
tetap di tempatnya.
84
drainase dan tutup yang menghubungkan PVD dan selang, dan yang dikenal
sebagai cap-drain (CPVD). konsolidasi vakum adalah metode yang efektif untuk
stabilisasi tanah pada khususnya. Tanah seperti gambut memiliki permeabilitas
horizontal muka air tanah yang tinggi yang jauh lebih besar dari permeabilitas
vertikalnya
(Sumber : Bujang B.K. Huat, 2014, Geotechnics of Organic Soil and Peat, CRC
Press).
85
Gambar 34 Peningkatan kuat geser (28 hari) berbagai jenis tanah
(Sumber : Bujang B.K. Huat, 2014, Geotechnics of Organic Soil and Peat, CRC
Press).
Pencampuran tanah dalam kering (DSM) juga disebut sebagai metode kolom
semen kapur atau hanya kolom semen, adalah varian dari teknik stabilisasi dalam
yang ditemukan oleh Kjeld Paus hampir 30 tahun yang lalu. Ini adalah bentuk
perbaikan tanah yang melibatkan pengenalan dan pencampuran mekanis tanah
lunak dan lemah in situ dengan senyawa yang mengandung semen seperti kapur,
semen atau kombinasi keduanya dalam proporsi yang berbeda. Campuran tersebut
sering disebut sebagai bahan pengikat. bahan pengikat disuntikkan ke dalam tanah
dalam bentuk kering. Kelembaban dalam tanah digunakan untuk proses pengikatan,
menghasilkan tanah yang lebih baik dengan kekuatan geser yang lebih tinggi dan
kompresibilitas yang lebih rendah. penghilangan kelembaban dari tanah juga
menghasilkan perbaikan pada tanah lunak di sekitar tanah campuran.
86
Gambar 35 (a) Skema yang menunjukkan kolom pemasangan mesin DSM kering;
(b) foto yang menunjukkan pengeluaran pengikat dari alat pencampur dalam bentuk
kering; (c) skema yang menunjukkan operasi pencampuran dalam proses DSM
kering (Sumber: LCM Marktecnick)
(Sumber : Bujang B.K. Huat, 2014, Geotechnics of Organic Soil and Peat, CRC
Press).
Menurut sebagian besar peneliti, ada empat sistem jet grouting dasar yang banyak
digunakan saat ini (Keller Holding, 2005);
1. fase tunggal (hanya injeksi grout)
2. fase ganda (grout + injeksi udara)
87
Gambar 36 System dalam jet grouting (setelah Keller Holding, 2005; Kazemian and
Huat, 2009b)
(Sumber : Bujang B.K. Huat, 2014, Geotechnics of Organic Soil and Peat, CRC
Press).
Tabel 21 Metode yang digunakan dalam DMM (setelah Kenneth and Andromalos,
2003; Kazemian and Huat, 2009b)
3. fase tiga (injeksi air + udara dan diikuti dengan injeksi grout)
4. grouting super jet (injeksi udara + cairan pengeboran dengan injeksi grout)
Perlu diketahui bahwa DMM terbagi menjadi tiga jenis yaitu SSM (Shallow Soil
Mixing), DSM (Deep Soil Mixing) dan JGS (Jet Grouting System).
88
mengarah pada material yang memiliki sifat keteknikan yang lebih baik daripada
tanah asli (Hebib dan Farrelll, 2003)
(Sumber : Bujang B.K. Huat, 2014, Geotechnics of Organic Soil and Peat, CRC
Press).
89
Gambar 38 Mortar semen memberikan kekuatan pada CDM dan tanah lunak
menjadi padat
(Sumber : Bujang B.K. Huat, 2014, Geotechnics of Organic Soil and Peat, CRC
Press).
90
Gambar 39 Proses dan peralatan vacuum grouting injection.
(Sumber : Bujang B.K. Huat, 2014, Geotechnics of Organic Soil and Peat, CRC
Press).
91
Gambar 40 Dynamic replacement untuk membentuk kolom pasir
(Sumber : Bujang B.K. Huat, 2014, Geotechnics of Organic Soil and Peat, CRC
Press).
92
5.4.1 Tipe dari tiang
End bearing piles: ini diakhiri dengan material yang keras dan relatif tidak
bisa ditembus seperti batu atau pasir dan kerikil yang sangat padat. Mereka
memperoleh sebagian besar daya dukungnya dari hambatan lapisan di
ujung tiang.
Friction piles: ini mendapatkan sebagian besar daya dukungnya dengan
gesekan atau adhesi kulit. Hal ini cenderung terjadi jika tiang tidak
mencapai lapisan yang tidak dapat ditembus tetapi didorong agak jauh ke
dalam tanah yang dapat ditembus. Daya dukungnya sebagian berasal dari
bantalan ujung dan terutama dari gesekan kulit antara permukaan tertanam
tanah dan tanah sekitarnya.
Settlement reducing piles: ini biasanya digabungkan di bawah bagian
tengah pondasi rakit untuk mengurangi penurunan diferensial ke tingkat
yang dapat diterima. Tiang semacam itu berfungsi untuk memperkuat tanah
di bawah rakit dan membantu mencegah runtuhnya rakit di tengahnya.
Tension piles: struktur seperti cerobong asap tinggi, menara transmisi, dan
dermaga dapat mengalami momen terbalik yang besar, sehingga tiang
sering digunakan untuk menahan gaya angkat yang dihasilkan pada
fondasi. Dalam kasus seperti itu, gaya yang dihasilkan ditransmisikan ke
tanah di sepanjang panjang ile yang tertanam. Gaya tahan dapat
ditingkatkan dalam kasus tiang bor dengan reaming yang kurang.
Laterally loaded piles: hampir semua pondasi tiang dikenakan setidaknya
beberapa derajat pembebanan horizontal. Besarnya beban dalam kaitannya
dengan pembebanan aksial vertikal yang diterapkan umumnya akan kecil
dan biasanya tidak diperlukan perhitungan desain tambahan. Namun dalam
kasus dermaga dan dermaga yang membawa kekuatan tumbukan kapal
berlabuh, pondasi tiang ke tiang jembatan, tiang penyangga ke atas crane,
cerobong asap tinggi dan dinding penahan, komponen horizontal relatif
besar dan mungkin terbukti penting dalam desain.
Piles in fills : tiang yang melewati lapisan isi yang agak padat hingga kurang
padat akan dipengaruhi oleh gesekan kulit negatif, yang menghasilkan
tarikan ke bawah sepanjang poros tiang dan oleh karena itu beban
tambahan pada tiang. Ini terjadi saat isian terkonsolidasi di bawah bobotnya
sendiri.
93
5.4.2 Perilaku Tiang
Perilaku tiang selama konstruksi / instalasi menggambarkan ancaman yang
signifikan terhadap desain pondasi yang perlu dipertimbangkan dengan tujuan untuk
memberikan solusi yang memadai sebelum konstruksi. Perilaku tersebut mungkin
termasuk yang berikut ini.
(Sumber : Bujang B.K. Huat, 2014, Geotechnics of Organic Soil and Peat, CRC
Press).
94
5.4.2.2 Investigasi Tanah yang Tidak Memadai
Ketidaksempurnaan ini umumnya terkait dengan yang muncul dari sumber alam,
tetapi diperburuk karena situs tersebut tidak memiliki ciri yang tepat. Kekurangan
biasanya terkait dengan jumlah atau kedalaman lubang bor yang tidak mencukupi
atau probe untuk mengidentifikasi variasi stratigrafi di seluruh lokasi, atau pengujian
yang tidak memadai untuk mengukur parameter geoteknik yang relevan. Gambar 44
mengilustrasikan contoh khas dari ketidaksempurnaan tersebut.
(Sumber : Bujang B.K. Huat, 2014, Geotechnics of Organic Soil and Peat, CRC
Press).
95
5.4.2.3 Perilaku Konstruksi
Ketidaksempurnaan ini, sebagaimana disoroti oleh Poulos (2005), muncul dari
proses-proses yang berkaitan dengan konstruksi tiang, baik dari pengendalian
konstruksi yang tidak memadai maupun dari konsekuensi kegiatan konstruksi yang
tidak dapat dihindari. Mereka mungkin termasuk
Ujung kaki lembut di tiang bor karena pembersihan dasar yang tidak
memadai (dapat dihindari) '
Cacat di dalam batang tiang bor (dapat dihindari);
Kondisi pendirian yang tidak memadai (dapat dihindari);
Pergerakan tanah berkembang karena pengeboran selama proses
konstruksi (umumnya tidak dapat dihindari);
Efek penggalian dan pengeringan, terutama dengan proyek penumpukan
perbaikan (umumnya tidak dapat dihindari, tetapi dapat dikontrol);
Penggerak yang berlebihan dari tiang yang dilakukan (dapat dihindari)
(Sumber : Bujang B.K. Huat, 2014, Geotechnics of Organic Soil and Peat, CRC
Press).
96
5.4.3 Pondasi Tiang Rakit
Pondasi tiang rakit dapat digambarkan sebagai struktur komposit yang terdiri dari
tiang yang terhubung ke rakit dari bawah, melaksanakan berbagai tanggung jawab
secara bersama-sama dan independen dalam memberikan transfer tekanan
bantalan yang aman ke struktur bawah permukaan atau sub-dasar yang
mendasarinya. Metode rakit dan tiang adalah teknik perbaikan tanah ekonomis yang
memiliki keunggulan teknis yang ditentukan dari pondasi rakit dan tiang. Rakit
membawa beban tanggul dengan mendistribusikannya sebagian ke permukaan
tanah dan sebagian lagi ke tiang. Tiang kemudian akan mentransfer beban ke
lapisan tanah yang lebih dalam dan lebih kuat.
Gambar 44 Metode rakit dan tiang pancang (tampilan isometrik tiang rakit (terbuat
dari mesin penuai), penuai samping dan bara pengikat)
(Sumber : Bujang B.K. Huat, 2014, Geotechnics of Organic Soil and Peat, CRC
Press).
(Sumber : Bujang B.K. Huat, 2014, Geotechnics of Organic Soil and Peat, CRC
Press).
Tiang terdiri dari alas, casing plastik berisi mortar semen, selimut pasir, kasur
granular pile cap dan lapisan geogrid.
98
Gambar 46 Tiang AuGeo
(Sumber : Bujang B.K. Huat, 2014, Geotechnics of Organic Soil and Peat, CRC
Press).
99
Gambar 47 Konsep dari MRSC
(Sumber : Bujang B.K. Huat, 2014, Geotechnics of Organic Soil and Peat, CRC
Press).
Kolom-kolom ini dapat dibangun dalam proses lima langkah yang ditunjukkan pada
gambar 49 lubang dengan diameter 0,5 m hingga 1 m dibor dengan kedalaman
yang biasanya bervariasi dari sekitar 2m hingga 10m di bawah permukaan tanah.
Selubung sementara harus digunakan untuk memisahkan mortar dan pasir yang
dipadatkan. Menabrak lapisan pasir dengan perusak berenergi tinggi untuk
membentuk pasir bergelombang yang sangat padat menstabilkan lapisan bawah
pasir. Prosesnya harus dilakukan lapis demi lapis untuk menghindari kesulitan
dalam menarik casing. Langkah selanjutnya adalah preloading, dan durasi waktu
tunggu didasarkan pada perhitungan parameter tanah dan kinerja yang ditentukan.
Preloading selanjutnya melakukan prategang dan prategang pada kolom dan
matriks tanah sekitarnya untuk meningkatkan kekokohan dan kekuatan sistem
pondasi ini.
100
Gambar 48 Konstruksi MRSC
(Sumber : Bujang B.K. Huat, 2014, Geotechnics of Organic Soil and Peat, CRC
Press).
Banyak grout kimia didasarkan pada kombinasi natrium silikat dan reagen untuk
membentuk gel. nat kimia disuntikkan ke dalam rongga sebagai larutan, berbeda
dengan grout sementit, yang merupakan suspensi partikel dalam media fluida.
Perbedaan antara grout kimiawi dan grout sementit adalah grout kimiawi dapat
digunakan untuk mengisi rongga halus partikel tanah dengan diameter hingga 10
sampai 15 um. Dengan kata lain memiliki kemampuan penetrasi yang lebih baik dari
pada semen grout.
101
membentuk koloid yang berpolimerisasi lebih lanjut untuk membentuk gel yang
mengikat partikel tanah.
Konsentrasi larutan silikat yang dapat digunakan dalam grouting berkisar 10-70%
volume, tergantung pada bahan yang di-grouting dan hasil yang diinginkan.
103
104
DAFTAR PUSTAKA
Berry, P.L. dan Vickers, B. (1975), Consolidation of Fibrous Peat, Journal of the
Geotechnical Engineering Division, vol. 101, no. GT8, pp.741-753.
Bujang B.K. Huat, 2014, Geotechnics of Organic Soil and Peat, CRC Press.
Lucas, R.E. 1982. Organic Soils (Histosol), formation, physical and chemical
properties and management for crop production. Res. Report. 435 Farm Science,
June 1982. P 77.
Puslitbang Sumber Daya Air, 2014 Teknologi pondasi diatas tanah gambut
Subagyo, H. 2006. Lahan Rawa Pasang Surut. Hal 23-98. Dalam. Karakteristik dan
Pengelolaan Lahan Rawa. (Eds.). Didi Ardi S., Undang Kurnia, Mamat H.S., Wiwik
Hartatik, dan Diah Setyorini. Bogor. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian.
Tan, K.H. 1997. Degradasi mineral tanah oleh asam organik. Dalam P.M. Huang
dan M. Schniffer (Eds.). Interaksi Mineral Tanah dengan Organik Alami dan
Mikroba. Gadjah Mada Univ. Press. Yogyakarta. Hlm. 1-40.
105
106