Anda di halaman 1dari 37

TUGAS KELOMPOK

Ilmu Sosial dan Perilaku Kesehatan


Dosen : Dr. Ridwan M. Thaha, M.Sc

“TERJEMAHAN DAN KAJIAN BUKU THE SOCIOLOGY OF HEALTH,


HEALING, AND ILLNESS PADA BAB 7”

KELOMPOK 4 :
ANDI MUHAMMAD SHALIHIN (K012202062)
AYU LESTARI (K012202040)
GHEA FRICILLIA SAMBE (K012202079)
IZMI FHADILLA SULEMAN (K012202016)
MUHAMMAD ARINAL SURGAMA YUSUF (K012202023)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
BAB I
TERJEMAHAN BUKU

Bab 7
Mengalami Penyakit dan Disabilitas

Tujuan pembelajaran
 Mengidentifikasi dan mendiskusikan tahapan-tahapan Suchman pada pengalaman
sakit.
 Mengidentifikasi dan mendiskusikan faktor paling penting yang mempengaruhi
penilaian penyakit/gejala penyakit.
 Menjelaskan konsep "medikalisasi" dan “de-medikalisasi” dan faktor-faktor yang
mempengaruhi keduanya
 Mengidentifikasi dan mendiskusikan pengaruh sosial kunci pada keputusan untuk
mencari perawatan medis profesional.
 Mengidentifikasi dan menjelaskan efek primer dari hidup dengan penyakit kronis
dan disabilitas

Sosiolog medis memiliki minat alami tentang bagaimana seseorang menanggapi suatu
penyakit. Konsep perilaku penyakit mengacu pada cara di mana gejala dirasakan,
dievaluasi, dan ditindaklanjuti oleh seseorang yang mengenali beberapa rasa sakit,
ketidaknyamanan atau tanda-tanda malfungsi organik lainnya” (Mechanic dan
Volkart, 1961:52). Pada permukaan, tampaknya sifat dan keparahan penyakit akan
menjadi satu-satunya penentu respons individu, dan untuk penyakit yang sangat
parah, ini sering kali benar. Tapi banyak orang yang tidak menemui dokter atau pun
sangat terlambat memeriksakan penyakitnya meskipun ada gejala yang serius,
sementara banyak orang lain menemui dokter secara rutin meskipun hanya untuk
keluhan yang sangat kecil. Pola-pola ini menunjukkan bahwa perilaku penyakit
dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya di samping (dan kadang-kadang bukan)
kondisi fisiologis.

Tahapan Pengalaman Penyakit

Edward Suchman (1965) merancang sebuah tatanan pendekatan untuk


mempelajari perilaku penyakit dengan penjelasannya tentang lima tahap utama
pengalaman penyakit: (1) pengalaman gejala, (2) asumsi peran sakit, (3) kontak
perawatan medis, (4) peran ketergantungan-pasien, dan (5) pemulihan dan rehabilitasi
(lihat Gambar 7-1).
Setiap tahap melibatkan keputusan besar yang harus dibuat oleh individu yang
menentukan apakah urutan tahapan berlanjut atau proses dihentikan. Sementara
beberapa penjabaran model diperlukan (misalnya, lihat bagian menjelang akhir bab
ini tentang hidup dengan penyakit kronis dan kecacatan), skema Suchman digunakan
untuk mengatur awal bagian dari bab.
Tahap 1: Pengalaman Gejala
Pengalaman sakit dimulai ketika individu pertama kali merasakan ada sesuatu
yang salah—suatu persepsi nyeri, ketidaknyamanan, kegelisahan umum, atau
beberapa gangguan dalam fungsi tubuh. Suchman menyatakan bahwa terdapat tiga
proses berbeda yang terjadi pada saat ini: (1) rasa sakit atau ketidaknyamanan fisik,
(2) pengakuan kognitif bahwa gejala fisik suatu penyakit itu ada, dan (3) respon
emosional dari keprihatinan tentang implikasi sosial dari penyakit, termasuk
kemungkinan gangguan dalam kemampuan untuk berfungsi dengan baik.

Gambar 7. 1 Versi ringkas dari Tahapan Pengalaman Penyakit menurut


Suchman pada Edward A. Suchman “Stages of Illness and Medical Care,”
Journal of Health and Social Behavior, 6:114–128, 1965.

I II III
Pengalaman Gejala Asumsi Peran Sakit Kontak Perawatan Medis
Individu melakukan
kontak dengan penyedia
Individu mungkin
medis dan mengakui
menyerah pada tanggung
Perasaan bahwa ada bahwa seorang ahli
jawab tipikal dan
sesuatu yang salah; diperlukan dalam hal ini
mengambil tanggung
individu dapat mengobati dan mencari legitimasi
jawab "peran sakit" untuk
sendiri (atau mencoba penyakit (tetapi masih
mencoba menjadi lebih
mengabaikan masalahnya) memungkinkan untuk
baik (atau masih dalam
penyangkalan dan
penyangkalan)
mungkin mendapatkan
pendapat kedua)

IV V
Peran Ketergantungan- Pemulihan dan
Pasien Rehabilitasi
Jika pemulihan terjadi,
individu meninggalkan
peran sakit dan kembali ke
Individu tersebut setuju
tanggung jawab seperti
untuk menjalani terapi
biasanya dan kegiatan
medis yang diberikan oleh
yang terkait dengan
para profesional (tetapi
kondisi sehat (walaupun
bisa jadi tidak mengikuti
beberapa individu dapat
saran medis)
menikmati manfaat dari
peran sakit dan berlama-
lama di tahap itu)
Penilaian Gejala
David Mechanic (1968) mengembangkan teori tentang perilaku mencari
bantuan untuk memfasilitasi pemahaman tentang proses penilaian ini dan bagaimana
individu bertindak untuk (atau tidak) mencari penyedia layanan kesehatan. Mechanic
melacak variasi ekstrim dalam cara orang menanggapi penyakit hingga perbedaan
dalam cara mereka mendefinisikan situasi penyakit dan perbedaan dalam kemampuan
mereka untuk mengatasi situasi itu. Proses pendefinisian dan kemampuan
mengatasinya dipenagruhi secara kultural dan sosial. Sebagai individu dewasa yang
telah melalui berbagai tahapan kehidupan, mereka diharuskan secara sosial dalam
keluarga dan masyarakat untuk menanggapi penyakit dengan cara tertentu. Bagian
dari sosialisasi ini adalah mengamati bagaimana orang lain dalam suatu kelompok
menanggapi penyakit dan mencatat reaksi positif atau negatif yang ditimbulkan oleh
perilaku mereka.
Sosiolog menyebut proses ini sebagai proses konstruksi sosial penyakit
(Conrad dan Barker, 2010). Di antara faktor-faktor yang diidentifikasi oleh Mekanik
sebagai penentu bagaimana individu merespons penyakit adalah sebagai berikut:
1. Persepsi dan interpretasi gejala: visibilitas, pengenalan, keseriusan yang
dirasakan, jumlah gangguan yang disebabkan, dan persistensi gejala.
2. Ambang batas toleransi (misalnya, toleransi terhadap nyeri) dan rasa takut
yang dirasakan terhadap penyakit oleh individu.
3. Pengetahuan dan informasi yang tersedia tentang penyakit.
4. Ketersediaan dan aksesibilitas terhadap pengobatan sumber daya, biaya untuk
mengambil tindakan, dan persaingan kebutuhan akan perhatian dan sumber
daya.
Manakah dari faktor-faktor ini yang paling mempengaruhi persepsi kesehatan diri
sendiri? Stewart dkk. (2008) menemukan bahwa itu adalah jumlah rasa sakit yang
dialami, keterbatasan kemampuan untuk melakukan peran sosial yang normal, dan
perasaan memiliki sedikit atau tanpa energi.

Pentingnya Rasa Sakit Sebagai Gejala

Meskipun pentingnya rasa sakit sebagai gejala medis mungkin tampak jelas,
penelitian tentang rasa sakit dan pengobatannya telah meningkat pesat baru di 10
sampai 20 tahun terakhir. Penelitian ini telah menemukan bahwa rasa sakit lebih
sering terjadi pada populasi umum daripada yang diperkirakan sebelumnya. Hampir
60 persen orang dewasa di Amerika Serikat mengalami sakit kronis pada tahun lalu,
dan 40 persen mengatakan mereka kesakitan sepanjang waktu. Kebanyakan dari
mereka mengatakan bahwa nyerinya berada pada intensitas sedang hingga berat. Sakit
punggung merupakan yang paling umum, diikuti oleh arthritis dan nyeri sendi, sakit
kepala dan migrain, dan sakit lutut dan bahu. Yang mengejutkan secara khusus adalah
bahwa orang dewasa usia 18 hingga 34 tahun memiliki kemungkinan yang sama
untuk menderita penyakit kronis seperti mereka yang lebih tua. Hampir setengah dari
yang mengalami sakit kronis tidak menganggapnya di bawah kontrol. Rasa sakit yang
tidak terkendali telah dihubungkan dengan tingkat yang lebih tinggi pada depresi ,
kecemasan, sulit tidur, dan bunuh diri. Sekitar setengah dari orang Amerika kesakitan
pada saat kematian mereka.
Statistik ini sangat mengejutkan karena banyak dokter mengatakan bahwa
kebanyakan rasa sakit dapat dikendalikan dengan aman dan efektif. Baru dalam
beberapa tahun terakhir muncul perawatan paliatif—mengobati rasa sakit dan
penderitaan pasien yang sakit parah—menjadi tersebar luas. Hal ini telah diterima
secara umum untuk penyakit terminal pasien—Amerika Serikat sekarang memiliki
lebih dari 1.600 program perawatan paliatif berbasis rumah sakit dan lebih dari 5.300
program rumah sakit yang menangani orang-orang dalam enam bulan terakhir
kehidupan mereka. Program-program ini telah mencatat keberhasilan yang signifikan
dalam menghilangkan rasa sakit. Tapi perawatan paliatif masih relatif masih lemah
untuk merawat orang dengan penyakit serius, kronis (tetapi tidak terminal), yang
minum obat kuratif bersamaan dengan obat pereda nyeri.

Ada empat kendala utama untuk penggunaan obat pereda nyeri untuk lebih
banyak pasien: (1) Beberapa dokter telah menerima pelatihan tentang manajemen rasa
sakit dan kurang informasi tentang opioid morfin versi sintetis, obat oral yang paling
ampuh untuk penghilang rasa sakit, (2) perusahaan asuransi tidak memberikan
kompensasi yang sama kepada dokter yang dapat menghabiskan banyak waktu
dengan pasien yang sakit, (3) Badan Pemberantasan Narkoba telah secara aktif
menuntut dokter untuk berbagai tindak pidana yang berkaitan dengan peresepan
narkotika obat pereda nyeri, dan (4) banyak pasien takut bahwa obat-obatan narkotika
yang mungkin digunakan akan membuat ketagihan atau memiliki efek samping
negatif yang signifikan. Beberapa obat pereda nyeri telah ditarik dari pasar.
Oksikontin ditemukan menyebabkan kecanduan dan penyalahgunaan dan
produsennya ditemukan telah berbohong tentang risiko ini. Vioxx, yang digunakan
untuk mengontrol rasa sakit bagi banyak pengguna, ternyata menggandakan risiko
dari serangan jantung dan stroke. Celebrex lebih cenderung menyebabkan masalah
jantung daripada Vioxx. Tetapi yang memperumit situasi adalah kenyataan bahwa
risiko yang lebih tinggi diamati hanya dalam jangka panjang pengguna obat dosis
tinggi. Beberapa pasien mengatakan mereka akan rela mengambil risiko secara
berurutan untuk secara efektif mengontrol rasa sakit mereka. Namun demikian,
overdosis obat resep meningkat secara mencolok di Amerika Serikat. Pada dekade
pertama abad ke-21, kematian akibat resep overdosis obat melebihi kematian akibat
heroin dan kokain digabungkan.
Program perawatan paliatif untuk orang sakit non-terminal meningkat di klinik
dokter dan rumah sakit. Program-program tersebut diharapkan berkembang, matang,
dan menjadi komponen yang lebih signifikan pada sistem pelayanan kesehatan.
Penelitian tentang Penilaian Gejala

Ada pengaruh sosial dan budaya yang signifikan pada cara orang menafsirkan
dan merespons terhadap gejala medis seperti nyeri. Sebagai contoh, variasi respons
terhadap nyeri didasarkan pada tingkat toleransi nyeri yang berbeda secara budaya
dan diresepkan dengan cara yang berbeda untuk wanita daripada untuk laki-laki atau
untuk anggota kelompok etnis yang berbeda.
Zborowski (1969) menemukan bahwa Protestan dari Keturunan Inggris
cenderung merespons rasa sakit dengan cara yang sebenarnya, yang memungkinkan
mereka untuk beradaptasi dengan penyakit lebih cepat daripada kelompok lain. Pasien
keturunan Irlandia sering menekan penderitaan mereka dan cenderung menyangkal
rasa sakit. Pasien Yahudi dan Italia sama-sama merespons rasa sakit dengan lebih
banyak emosionalitas terbuka; Namun, pasien Yahudi lebih prihatin tentang
konsekuensi jangka panjang dari penyakit mereka dan tidak banyak terhibur oleh
pemberian obat penghilang rasa sakit, sementara pasien Italia lebih banyak
berorientasi pada rasa sakit saat ini dan setidaknya agak puas ketika rasa sakitnya
berkurang.
Penelitian yang berfokus pada nyeri yang dirasakan ketika menindik telinga
juga menemukan perbedaan yang signifikan pada etnis yang berbeda. Menguji
sukarelawan laki-laki dan wanita berusia antara 15 dan 25, Thomas dan Rose (1991)
menemukan bahwa Orang India Afro-Barat melaporkan secara signifikan lebih sedikit
rasa sakit daripada Anglo-Saxon, yang melaporkan rasa sakit yang jauh lebih sedikit
daripada orang Asia — semuanya dengan prosedur yang sama.
Apa yang menyebabkan pola-pola ini? Baik keteladanan dalam keluarga
maupun pengkondisian sosial merupakan pengaruh yang penting. Saat seseorang
tumbuh dalam keluarga, ada banyak kesempatan untuk mengamati reaksi terhadap
rasa sakit dan alarm yang diungkapkan oleh anggota keluarga. Kecemasan anak-anak
tentang menerima perawatan medis yang menyakitkan telah terbukti berkorelasi kuat
dengan kecemasan orang tua.
Dalam menanggapi penilaian gejala, individu dapat memutuskan untuk
menyangkal bahwa gejala membutuhkan perhatian, menunda pengambilan keputusan
sampai gejala menjadi lebih jelas, atau mengakui adanya suatu penyakit. Ketika suatu
penyakit telah diterima, orang tersebut masuk pada tahap 2—peran sakit.

Tahap 2: Asumsi Peran Orang Sakit; Penyakit sebagai Penyimpangan


Jika individu menerima bahwa gejalanya adalah: tanda penyakit dan cukup
mengkhawatirkan, maka terjadi transisi ke peran sakit, di saat itu, individu mulai
melepaskan beberapa atau semua peran sosial yang normal.

Latar Belakang Konsep Peran Sakit


Peran sakit, salah satu konsep paling mendasar dalam sosiologi medis,
pertama kali diperkenalkan oleh Talcott Parsons dalam artikel jurnal tahun 1948 tetapi
diuraikan dalam bukunya tahun 1951, The Social System. Parsons menekankan
bahwa penyakit bukanlah hanya kondisi biologis atau psikologis, dan itu bukan hanya
keadaan tidak terstruktur yang bebas dari norma dan regulasi sosial. Ketika seseorang
sakit, maka orang tersebut tidak hanya keluar dari peran sosial normal untuk masuk ke
sejenis kekosongan sosial; lebih tepatnya, seseorang mengganti peran baru — peran
sakit — dan melepaskan yang lain, peran normal. Peran sakit adalah “peran sosial,
dicirikan oleh berbagai pengecualian, hak, dan kewajiban, dan dibentuk oleh
masyarakat, kelompok, dan tradisi budaya tempat orang sakit terebut berada” (Fox,
1989:17).
Parsons dan fungsionalis lainnya memandang sakit sebagai jenis perilaku
menyimpang karena itu melanggar harapan peran. Penyakit dinilai sebagai suatu hal
yang disfungsional bagi keluarga karena ketika satu anggota sakit maka ia
melepaskan tanggung jawab normal, anggota lainnya diharuskan untuk memberi
kelonggaran — dan mungkin menjadi terbebani dalam melakukannya. Sebagai
tambahan, penyakit juga disfungsional bagi masyarakat. Keseimbangan yang
dipertahankan masyarakat dapat terganggu ketika anggota individu, karena sakit,
maka akhirnya gagal untuk memenuhi tanggung jawab rutin. "Iming-iming" dari
penyakit—daya tarik untuk melarikan diri dari tanggung jawab—mengharuskan
masyarakat untuk melakukan kontrol atas orang sakit dan peran orang sakit sehingga
gangguan diminimalkan.
Penyakit diakui sebagai hal yang istimewa dari bentuk perilaku menyimpang;
ia tidak setara dengan bentuk-bentuk penyimpangan lainnya seperti kejahatan atau
dosa. Institusi (misalnya, hukum dan kedokteran) diciptakan dalam masyarakat untuk
menangani kedua perilaku tersebut, namun sementara penjahat dihukum, yang sakit
disediakan dengan perawatan terapeutik sehingga mereka menjadi sehat dan kembali
ke peran normal mereka.
Dalam konteks kontrol sosial tanggung jawab kedokteran, masyarakat tidak
hanya memungkinkan dua pengecualian perilaku eksplisit untuk orang sakit tetapi
juga memaksakan duat persyaratan perilaku eksplisit. Pengecualiannya adalah sebagai
berikut:
1. Orang sakit untuk sementara dibebaskan dari peran sosial yang normal.
Tergantung sifatnya dan tingkat keparahan penyakit, seorang dokter dapat
melegitimasi status peran sakit dan mengizinkan pasien untuk melepaskan
tanggung jawab normal. Pengesahan dokter diperlukan agar masyarakat dapat
mempertahankan kontrol dan mencegah orang berlama-lama dalam peran
sakit.
2. Orang yang sakit tidak bertanggung jawab atas penyakitnya. Masyarakat
menerima bahwa penyembuhan akan membutuhkan lebih dari upaya terbaik
dari pasien dan memungkinkan pasien untuk "diurus" oleh profesional
perawatan kesehatan dan lain-lain.
Untuk mendapatkan pengecualian peran ini, pasien harus bersedia menerima dua
kewajiban berikut:
1. Orang sakit harus ingin sembuh. Dua unsur sebelumnya yang melegitimasi
peran sakit tergantung pada persyaratan ini. Pasien tidak boleh terlalu terbiasa
dengan peran sakit atau lebih menikmati terangkatnya tanggung jawab
sehingga motivasi untuk sembuh tidak ada.
2. Orang yang sakit diharapkan mendapat saran medis dan bekerja sama dengan
ahli medis. Persyaratan ini memperkenalkan cara lain dari kontrol sosial.
Pasien yang menolak bertemu dengan seorang profesional perawatan
kesehatan menciptakan kecurigaan bahwa penyakit itu tidak sah. Penolakan
tersebut pastinya akan mengurangi kesabaran dan simpati masyarakat sekitar
terhadap pasien.

Kritik Peran Sakit

Sosiolog saat ini terbagi mengenai nilai peran sakit saat ini sebagai sebuah
konsep yang jelas. Empat kritik utama dari konsep tersebut secara singkat dijelaskan
di sini:
1. Peran sakit tidak memperhitungkan variabilitas yang cukup besar dalam
perilaku di antara orang-orang sakit. Variasi tidak hanya terjadi pada usia,
jenis kelamin, dan etnis tetapi juga oleh kepastian dan tingkat keparahan
prognosis.
2. Peran sakit berlaku dalam menggambarkan pengalaman pasien dengan
penyakit akut saja dan kurang tepat dalam menggambarkan orang dengan
penyakit kronis yang mungkin tidak memiliki gejala yang mudah dikenali
(misalnya, penumpukan plak di arteri koroner) dan mungkin tidak sembuh
tidak peduli seberapa banyak keinginannya untuk sembuh dan seberapa setia
mereka dalam mengikuti instruksi dokter.
3. Peran sakit tidak cukup menjelaskan berbagai kondisi di mana dokter dan
pasien berinteraksi; hal ini paling berlaku untuk hubungan dokter-pasien yang
terjadi di kantor dokter.
4. Peran sakit lebih berlaku untuk pasien kelas menengah dan nilai-nilai kelas
menengah daripada untuk orang-orang dalam kelompok sosial ekonomi
rendah. Tidak semua orang bisa mengikuti cara ini; misalnya, orang
berpenghasilan rendah memiliki lebih sedikit kebebasan untuk membatasi
kebiasaan mereka dari tanggung jawab, terutama pekerjaan mereka sehingga
memiliki waktu yang lebih sulit untuk mematuhi dengan model itu.

Sanggahan terhadap Kritik Peran yang Sakit

Talcott Parsons, dalam artikel jurnal tahun 1975 (dia meninggal pada tahun
1978), dan yang lain telah menyarankan bahwa kritikus telah gagal menangkap
nuansa pada konsep peran sakit dan melihat fleksibilitasnya (Fox, 1989). Misalnya,
Parsons berpendapat bahwa peran sakit dapat berhubungan dengan orang dengan
penyakit kronis— meskipun mereka tidak “dapat disembuhkan”, kondisi mereka
seringkali “dapat dikelola”, dan mereka mampu untuk kembali ke banyak tanggung
jawab pra-peran sakit mereka—dan idealnya, tidak perlu konsep untuk menjelaskan
semua variasi.

Medikalisasi
Sementara Parsons menggambarkan peran kedokteran sebagai instrumen
kontrol sosial, banyak yang percaya bahwa kekuatan institusi medis sekarang
diperluas jauh melampaui bidang keahlian asli. Hal ini telah menyebabkan
medikalisasi, sebuah konsep yang memiliki dua arti utama. Pertama, peningkatan
jumlah perilaku dan kondisi yang sedang ditafsirkan dalam istilah medis, memberikan
profesi medis peningkatan kekuatan dalam menentukan apa yang merupakan perilaku
yang normal dan diinginkan; dan kedua, praktik medis dipahami sebagai mekanisme
yang tepat untuk mengendalikan, memodifikasi, dan menghilangkan perilaku yang
“tidak diinginkan” ini.
Ketika sosiolog mulai memusatkan perhatian pada medisisasi pada 1970-an,
tampak jelas bahwa profesi medis adalah kekuatan utama di balik upaya ini, meskipun
kelompok kepentingan dan gerakan sosial (misalnya, upaya untuk mendefinisikan
alkoholisme sebagai masalah medis) sering memainkan peran penting. Namun saat
ini, menurut Conrad (2005), stimulus menuju medikalisasi datang dari tiga agen lain:
(1) Bioteknologi [misalnya, ketika industri farmasi melobi definisi medis untuk
kondisi (seperti disfungsi ereksi pria) untuk menciptakan pasar bagi obat-
obatan mereka (seperti Viagra)]: konsep baru farmasi—“ proses dimana
kondisi sosial, perilaku, atau tubuh diperlakukan, atau dianggap membutuhkan
pengobatan/intervensi dengan obat-obatan oleh dokter, pasien, atau keduanya”
(Abraham, 2010)—tumpang tindih dengan medisisasi, tetapi terpisah dalam
hal itu. tidak semua kondisi medis memerlukan terapi obat;
(2) Konsumen (misalnya, dalam upaya mendapatkan prosedur seperti bedah
kosmetik yang dibayar oleh asuransi kesehatan); dan
(3) Perawatan terkelola [bertindak baik sebagai insentif untuk prosedur medis
tertentu (seperti kesediaannya untuk membayar obat psikiatri) atau kendala
(seperti keengganannya untuk membayar psikoterapi ekstensif)]. Contoh lain
yang menggambarkan medisisasi adalah meningkatnya jumlah diagnosis
psikiatri, menopause, obesitas, kebotakan, anoreksia, gangguan stres pasca
trauma, gangguan kecemasan sosial, dan gangguan tidur. Intinya bukan bahwa
ini adalah kondisi yang tidak penting. Artinya bahwa kategori medis dan
pengobatan konsekuen mereka telah diperluas untuk membawa lebih banyak
individu dan kondisi kehidupan ke dunia medis (Conrad dan Slodden, 2013).
Freund dan McGuire (1999) berpendapat bahwa dalam masyarakat
kontemporer kekuatan definisi agama tentang penyimpangan telah menurun. Definisi
seperti itu tampaknya kurang rasionalitas dan penerimaan masyarakat luas di negara
pluralistik agama. Selain itu, kekuatan definisi hukum tentang penyimpangan telah
menurun, meskipun tampaknya lebih rasional; mereka sering akhirnya sampai pada
keputusan subjektif dari sejumlah kecil orang di juri. Sebagai gantinya, masyarakat
telah beralih ke definisi medis tentang penyimpangan yang tampak rasional,
berdasarkan ilmiah, dan bergantung pada keahlian teknis daripada penilaian manusia.
Orang-orang mungkin terhibur dengan pengetahuan bahwa perilaku yang "tidak
diinginkan" memiliki penjelasan medis yang bagus dan rapi dan dapat dihilangkan
ketika pengetahuan ilmiah yang memadai terkumpul.
Konsekuensi dari medikalisasi ini dapat diartikan dengan berbagai cara. Fox
(1989) menunjukkan bahwa melabeli perilaku tambahan sebagai penyakit dan
memperluas pengecualian peran sakit kepada lebih banyak orang mungkin kurang
menstigmatisasi dan kurang menghukum daripada mengandalkan definisi agama
tentang dosa atau definisi hukum kejahatan. Membawa perilaku seperti alkoholisme,
kecanduan narkoba, makan berlebihan kompulsif, dan perjudian kompulsif di bawah
rubrik medis memperkenalkan "kualitas belas kasihan terapeutik ke dalam cara
mereka ditangani" (Fox, 1989:29).
Yang lain berpendapat bahwa mendefinisikan seseorang sebagai sakit pada
akhirnya merupakan keputusan moral karena memerlukan definisi tentang apa yang
normal atau diinginkan (Freidson, 1988). Perilaku medikalisasi mengarah pada
stigmatisasi sosial, yang telah terjadi saat ini dengan kondisi seperti kusta, AIDS,
penyakit radang panggul, dan sirosis hati (Freund dan McGuire, 1999). Menurut
pandangan ini, alih-alih menjadi baik, proses medikalisasi menempatkan cap
ketidaksetujuan yang didukung masyarakat atas perilaku tertentu dan memperluas
kekuatan profesi medis atas kehidupan masyarakat. Berikut ini salah satu contohnya:
Attention Deficit Hyperactivity Disorder. Pada tahun 1975, Peter Conrad
menggambarkan medikalisasi perilaku menyimpang karena berkaitan dengan
hiperkinesis (sebuah konsep yang telah berkembang saat ini menjadi attention deficit
hyperactivity disorder atau ADHD). Istilah ini mengacu pada suatu kondisi yang telah
lama diamati pada anak-anak (sekitar tiga kali lebih umum pada laki-laki) dan
ditandai dengan hiperaktif, rentang perhatian yang pendek, kegelisahan, impulsif, dan
perubahan suasana hati-semua biasanya didefinisikan sebagai pelanggaran norma-
norma sosial. Didorong oleh perkembangan farmasi (seperti pengembangan dan
pemasaran Ritalin - obat yang memiliki efek menyedihkan pada mereka dengan
ADHD) dan oleh kelompok orang tua (yang mencari solusi medis), medisisasi ADHD
terjadi. Saat ini, ADHD adalah gangguan psikiatri masa kanak-kanak yang paling
sering didiagnosis - sekitar 8 persen anak-anak dan remaja telah didiagnosis dengan
ADHD.
Pada 1990-an, ADHD semakin dipandang sebagai penyakit orang dewasa.
Individu yang belum pernah didiagnosis dengan ADHD sebagai anak-anak sering
membaca tentang penyakit dalam literatur populer atau profesional, mendiagnosis
sendiri, dan menampilkan diri kepada dokter menginginkan perawatan farmasi
(Conrad, 2007). Saat ini, sebanyak 5 persen dari populasi orang dewasa telah
didiagnosis dengan ADHD, dan lebih dari 4 juta orang dewasa menggunakan obat.
Diperkirakan $ 77 miliar dihabiskan untuk pengobatan pada tahun 2005 (Conrad,
Mackie, dan Mehrotra, 2010).
Conrad mengartikulasikan sisi "atas" dari transisi ini: Anak-anak hiperaktif
dianggap memiliki penyakit dan mereka bukan anak-anak "nakal" (penelitian telah
menemukan beberapa perbedaan biokimia di otak orang-orang dengan ADHD); ada
lebih sedikit kecaman terhadap mereka (itu bukan kesalahan mereka) dan lebih sedikit
stigma sosial; dan perawatan medis mungkin merupakan bentuk kontrol yang lebih
manusiawi daripada sistem peradilan pidana. Selain itu, diagnosis yang tepat
meningkatkan kemungkinan anak-anak ADHD akan memiliki akses ke program
pendidikan yang terfokus dengan tepat.
Namun, di sisi "bawah", mengidentifikasi perilaku dalam istilah medis
membawanya keluar dari domain publik di mana orang biasa dapat mendiskusikan
dan mencoba memahaminya; memungkinkan pengenalan dan penggunaan obat baru
dan kuat (alternatif Ritalin yang mencakup lebih sedikit efek samping negatif
sekarang tersedia dan menjadi lebih umum); berkontribusi pada "individualisasi
masalah sosial" dengan berfokus pada gejala anak dan mengalihkan perhatian dari
keluarga dan sekolah dan aspek lain dari struktur sosial yang mungkin memfasilitasi
masalah; dan mendepolitisasi perilaku menyimpang— mendorong pandangan bahwa
perilaku menyimpang adalah masalah individu daripada hasil atau tantangan terhadap
sistem sosial.

Demedikalisasi

Kekhawatiran bahwa kekuatan kontrol sosial profesi medis telah menjadi


terlalu luas, gerakan balasan menuju demedikalisasi telah terjadi. Ini mencakup
elemen-elemen seperti penghapusan perilaku tertentu (misalnya, homoseksualitas)
dari daftar gangguan mental American Psychiatric Association dan
deinstitusionalisasi pasien kesehatan mental (pasien mental yang dapat bertahan hidup
di luar institusi dan tidak berbahaya diarusutamakan) ke dalam masyarakat).
Ironisnya, baik medikalisasi maupun demedikalisasi dapat terjadi secara bersamaan di
masyarakat

Interaksionisme Simbolik: pendekatan pelabelan untuk Penyakit

Sementara pendekatan biomedis menganggap penyakit sebagai keadaan


objektif, teori pelabelan memandang definisi penyakit sebagai masalah subjektif yang
berhasil dalam konteks budaya tertentu dan dalam pertemuan dokter-pasien tertentu.
Setiap masyarakat memiliki norma-norma khusus untuk mengidentifikasi
perilaku dan kondisi yang didefinisikan dan diperlakukan sebagai penyakit. Definisi
penyakit ini tidak objektif dan tidak ditetapkan secara permanen dalam setidaknya dua
cara penting. Pertama, definisinya berbeda dari budaya ke budaya dan perubahan dari
waktu ke waktu dalam budaya. Di Amerika Serikat, alkoholisme pernah dianggap
sebagai tindakan kriminal sukarela; Sekarang dianggap sebagai penyakit yang dapat
diobati secara medis. Homoseksualitas dulu dianggap sebagai penyakit; Sekarang
lebih sering dianggap telah ditentukan secara biologis.
Kedua, aplikasi label penyakit dipengaruhi oleh status sosial. Banyak orang
mungkin dianggap sakit mental karena terlibat dalam jenis perilaku yang sama di
mana profesor col-lege diberi label "eksentrik." Pecandu kokain, pecandu alkohol,
dan orang-orang yang menyalahgunakan Valium semuanya didefinisikan secara
medis dengan cara yang berbeda meskipun semua mungkin mengalami
penyalahgunaan zat kimia. Stigma (atau kekurangannya) tentu dipengaruhi oleh status
sosial individu.
Penerapan label penyakit sangat penting karena label mempengaruhi
bagaimana seseorang diperlakukan. Individu yang telah menerima perawatan
kesehatan mental selalu dapat dilihat agak berbeda dari orang-orang yang belum
menerima perawatan seperti itu, bahkan setelah perawatan berakhir dan kesehatan
mental dipulihkan. Demikian juga, seseorang yang didiagnosis menderita kanker
selamanya dapat dianggap rapuh bahkan jika kanker berhasil dilawan.

Karya Eliot Freidson

Eliot Freidson (1988) telah menyusun skema untuk menggambarkan (1)


bahwa variasi dalam peran sakit memang ada tergantung pada penyakit seseorang, (2)
bahwa bagaimana orang sakit diperlakukan tergantung pada keseriusan penyakit
mereka yang diperhitungkan dan apakah penyakit itu distigmatisasi dalam masyarakat
atau tidak, dan (3) bahwa label penyakit tidak objektif melainkan refleksi dari norma-
norma sosial dan tradisi budaya. Freidson menegaskan bahwa kondisi tertentu
biasanya dianggap sebagai tanggung jawab orang sakit, dan bahwa masyarakat sering
menanggapi secara negatif terhadap orang-orang ini, sama seperti mereka akan
menanggapi orang yang telah melanggar hukum. Contoh dari kondisi ini akan
mencakup AIDS dan infeksi menular seksual lainnya, penyakit yang berhubungan
dengan alkohol, dan, semakin meningkatnya penyakit yang berhubungan dengan
merokok.
Sebagian, kemungkinan stigma berkaitan dengan keseriusan penyakit yang
dirasakan, yaitu sejauh mana ia menyimpang dari normalitas. Stigma akibat dari
definisi masyarakat; penyakit yang distigma di satu masyarakat mungkin relatif
diterima di masyarakat lain (misalnya, kusta sangat distigmatisasi di India tetapi
terlalu distimatisasi di Sri Lanka dan Nigeria) (Freund dan McGuire, 1999).
Seseorang dengan penyakit yang distigma secara sosial jauh lebih mungkin untuk
dipandang rendah atau menjadi korban diskriminasi daripada orang dengan penyakit
yang tidak diberi label demikian.
Tipologi Freidson (lihat Tabel 7-1) mempertimbangkan baik tingkat
penyimpangan dari normalitas yang diciptakan oleh suatu penyakit ("keseriusan yang
diperhitungkan") dan tingkat stigmatisasi orang-orang dengan penyakit tersebut
("legitimasi yang diperhitungkan"). Keadaan sakit menghasilkan satu dari tiga jenis
legitimasi:
1. Tidak sah (atau stigmatisasi anak haram),yang memberikan beberapa
pengecualian dari tanggung jawab peran tetapi beberapa hak istimewa
tambahan dan dapat membawa stigmatisasi sosial. Freidson menganggap
gagap (Sel 1) sebagai penyimpangan kecil dari norma sosial, dan epilepsi (Sel
4) sebagai penyimpangan serius. Karena stigma yang melekat, keduanya
menghadirkan tantangan bagi orang-orang dengan salah satu kondisi tersebut.
Lihat kotak ”Teori Pelabelan dan Gagap”.
2. Legitimasi bersyarat, yang memberikan pembebasan sementara dari tanggung
jawab peran dengan beberapa hak istimewa baru—asalkan individu tersebut
berusaha untuk sembuh. Sel 2 (pilek) dan Sel 5 (radang paru-paru) adalah
contoh Freidson tentang penyimpangan kecil dan serius dari norma sosial, dan
yang dianggap sah.
3. Legitimasi tak bersyarat, yang memberikan pembebasan permanen dan tanpa
syarat dari tanggung jawab peran karena keputusasaan dari kondisi tersebut.
Sel 3 (bopeng) adalah contoh penyimpangan kecil, dan Sel 6 (kanker)
merupakan contoh penyimpangan serius.

Tabel 7-1. Model freidson tentang jenis Penyakit (Penyimpangan) di mana


Individunya tidak bertanggung jawab
Keseriusan Stigmatisasi Legitimasi Legitimasi
bersyarat tak bersyarat

Penyimpanga Sel 1 Sel 2 Sel 3


n kecil “Gagap” “Flu” “Bopeng”
Penangguhan Penangguhan Tidak ada
sebagian dari sementara perubahan khusus
beberapa beberapa dalam kewajiban
kewajiban biasa; kewajiban biasa; atau hak istimewa.
sedikit atau tidak peningkatan
ada hak istimewa sementara hak-
baru; adopsi hak istimewa
beberapa biasa. Kewajiban
kewajiban baru. untuk sembuh
Penyimpanga Sel 4 Sel 5 Sel 6
n serius “Epilepsi” “Pneumonia” “Kanker”

Tidak Pembebasan Penangguhan


melaksanakan sementara dari permanen dari
beberapa kewajiban biasa; banyak kewajiban
kewajiban biasa; selain hak biasa; ditandai
adopsi kewajiban istimewa biasa. tambahan untuk
baru; sedikit atau Kewajiban untuk hak istimewa
tidak ada hak bekerja sama dan
istimewa baru. mencari bantuan
dalam perawatan

Sumber: Eliot Freidson, The Profession of Medicine: A Study in the Sociology of


Applied Knowledge (Chicago: University of Chicago Press, 1988).
Tahap 3: Kontak perawatan medis/ Perawatan diri

Ketika "tahapan pengalaman penyakit" Suchman dirancang, tahap ketiga diberi


label sebagai "kontak perawatan medis" dan digambarkan sebagai titik di mana
seorang individu mencari perawatan medis profesional. Saat ini, sosiolog medis jauh
lebih sadar akan berbagai pilihan yang tersedia bagi orang-orang yang telah
memasuki peran sakit, praktik perawatan diri yang semakin umum, dan pentingnya
lingkungan sosial dan budaya individu dalam membentuk tindakan yang diambil.
Bagaimana orang memutuskan bagaimana berperilaku dalam menanggapi sakit?
Meminjam dari teori pilihan rasional, satu pendekatan umum adalah memandang
individu yang sakit sebagai orang yang memiliki preferensi dan tujuan dalam hidup,
yang sering menemui kendala dalam memuaskan preferensi ini, dan yang harus
membuat pilihan dari pilihan yang tersedia. Individu yang rasional akan
mengidentifikasi opsi yang memungkinkan, menentukan keuntungan dan kerugian
dari setiap opsi, dan kemudian memilih opsi yang akan memaksimalkan peluang
untuk memuaskan preferensi. Seorang individu yang sakit, misalnya, mungkin
mempertimbangkan biaya, ketersediaan, dan kenyamanan menemui dokter medis dan
mengingat kepuasan atau ketidakpuasan yang dihasilkan pada kunjungan sebelumnya.
Bernice Pescosolido percaya bahwa pendekatan ini terlalu berfokus pada individu
dan gagal untuk memasukkan pengaruh penting dari hubungan sosial. Dia
menganjurkan strategi organisasi sosial (SOS) yang menekankan pentingnya interaksi
sosial dan jejaring sosial sebagai "melalui mekanisme mana individu belajar tentang,
memahami, dan berusaha untuk menangani kesulitan" (1992:1096). Dilihat dengan
cara ini, keputusan tentang bagaimana menanggapi penyakit adalah "dikonstruksi
secara sosial"— hal itu terjadi dalam interaksi dengan dan konsultasi dengan orang
lain dan berpusat pada rutinitas kehidupan sehari-hari.
Pendekatan SOS menekankan bahwa menanggapi penyakit adalah sebuah proses
—daripada membuat satu pilihan, orang sakit terus berbicara dengan orang lain,
meminta nasihat, dan mungkin menggunakan berbagai penasihat profesional,
semiprofesional, dan awam sampai masalah diselesaikan. atau sampai ia kehabisan
opsi. Tabel 7-2, diringkas dari Pescosolido, mengidentifikasi beberapa dari banyak
pilihan perawatan medis yang dipilih orang. Berdasarkan percakapan dengan pasien
di klinik penyakit dalam, klinik disabilitas, dan tempat konseling dan tes HIV,
Maynard (2006) menemukan bukti kuat tentang pentingnya hubungan sosial dalam
menilai makna diagnosis tertentu. Seringkali, dokter atau pasien atau anggota
keluarga/orang penting lainnya dari pasien menyarankan apa arti berita diagnosis bagi
pasien. Kemudian, salah satu peserta lain menerima atau menolak makna tersebut dan
melanjutkan diskusi. Mereka cenderung berdiskusi menuju kesepakatan bersama—
yaitu, kesepakatan tentang efek jangka pendek dan jangka panjang pada pasien.
TEORI PELABELAN DAN GAGAP
Sejak kecil, saya mengalami gagap yang muncul secara teratur dalam interaksi lisan saya dan,
pada satu waktu atau lainnya, telah mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan saya. Orang
tua saya yang frustrasi dan saya mencoba dengan sia-sia untuk menemukan solusi, mereka
berharap terapi wicara selama bertahun-tahun akan membuahkan hasil, saya memimpikan obat
ajaib yang dapat langsung menghilangkan sifat memalukan yang menyakitkan ini. . . Pada akhir
satu tahun ajaran, beberapa anak lain dalam kelompok terapi saya menerima sertifikat prestasi.
Ketika saya menanyai terapis mengapa saya tidak mendapatkannya, dia menjelaskan bahwa,
tidak seperti saya, anak-anak lain telah mencapai tujuan kefasihan dan karena itu diberi hadiah.
Kemungkinan besar, dia menggunakan ini sebagai sarana untuk mendorong kita yang "gagal"
untuk berusaha lebih keras untuk berhasil di tahun berikutnya, tetapi bagi saya ini tampaknya
merupakan indikasi langsung bahwa kegagapan saya adalah kesalahan saya, dan bahwa saya
adalah orang yang kurang memadai. karena itu . . . Ketika seseorang diberi tahu berulang kali
bahwa gagap itu buruk dan bahwa dia harus berusaha menghilangkannya, setiap contoh
ketidaklancaran akan berkontribusi pada rasa putus asa dan keputusasaan individu tersebut. . .
Label definitif yang saya terima dari diri saya dan orang lain hanya berfungsi untuk
menanamkan saya lebih dalam dalam peran "gagap" (Hottle, 1996).

Tabel 7–2 Rentang Pilihan untuk Perawatan dan Anjuran Medis


Opsi Penasehat Contoh
Praktisi medis modern MD, osteopati (dokter Dokter, psikiater, ahli
umum; spesialis), dan penyakit kaki, dokter mata,
profesional kesehatan perawat, bidan, ahli
sekutu kacamata, psikolog,
apoteker, teknisi, dan
ajudannya
Praktisi medis Penyembuh “tradisional” Penyembuh iman,
alternative spiritualis, dukun,
curandero, peramal,
dukun, ahli akupunktur,
ahli tulang, dan dukun
beranak
Profesional nonmedis Pekerja sosial Polisi dan pengacara

Agen hukum
Pendeta
Pengawas Bos dan guru
Penasehat awam Keluarga Pasangan dan orang tua
Tetangga
Teman
Rekan kerja dan teman
sekelas
Lainnya Perawatan diri sendiri Obat-obatan tanpa resep,
prosedur pemeriksaan diri
sendiri, obat tradisional,
dan makanan sehat
bukan dari salah satu di
atas
Sumber: Bernice Pescosolido, “Beyond Rational Choice: The Social Dynamics of
How People Seek Help,”American Journal of Sociology, 97:1096–1138, 1992.

Respon emosional dapat ditunjukkan selama diskusi ini, dan mencakup


berbagai macam: syok, kemarahan, kesedihan, rasa kehilangan, dan ketidakpastian.
Dikatakan bahwa beberapa orang kehilangan kepercayaan mereka dan yang lain dapat
menemukannya. Beberapa lebih fokus pada rasa sakit jangka pendek dan yang lainnya
pada ketakutan akan kematian. Pasien yang telah melalui proses ini mendesak bahwa
penting untuk membiarkan respons emosional ini dan kemudian mengalihkan
perhatian sesegera mungkin ke respons spesifik: mempelajari lebih lanjut tentang
kondisi tersebut, mempertimbangkan kemungkinan perawatan, menghubungi
penyedia medis yang tepat dan sumber daya lainnya, dan mengambil memperhatikan
pertimbangan kehidupan sehari-hari seperti pekerjaan dan tanggung jawab keluarga.
Respons ini sering terjadi dalam hubungan sosial.
Hunt, Jordan, dan Irwin (1989) melakukan wawancara ekstensif dengan 23
wanita tentang riwayat penyakit mereka sebelum menemui dokter dan pada 2, 6, 10,
dan 15 minggu setelah konsultasi, dan mereka juga mewawancarai dokter mereka dan
mengumpulkan informasi dari grafik kesehatan mereka. Semua wanita dalam sampel
melaporkan setidaknya dua gejala nonspesifik seperti pusing dan kelelahan.
Bagaimana pemahaman para wanita ini tentang penyakit mereka berkembang?
Para peneliti menemukan bahwa setiap wanita membawa beberapa sumber informasi
ke dalam proses, termasuk riwayat medis sebelumnya, pengalaman yang sedang
berlangsung, dan interaksi dengan orang lain. Setiap wanita telah mengevaluasi
masalahnya sebelum menemui dokter dan, sebagian, menafsirkan diagnosis dokter
berdasarkan pemahaman dan pemikiran sebelumnya.
Dalam hampir semua kasus, diagnosis dokter tidak hanya diterima atau ditolak
oleh pasien, melainkan diubah dan dimasukkan ke dalam pemahaman penyakit yang
mereka miliki sebelum konsultasi. Diagnosis juga disaring melalui pengamatan
sebelumnya dan saat ini dari orang lain dan komentar dan saran yang ditawarkan oleh
orang-orang di dunia sosial pasien. Selama periode empat bulan, pasien terus
menyesuaikan dan mengerjakan ulang konstruksi penyakit mereka.
Dua bagian berikutnya dalam bab ini membahas dua dari banyak pilihan untuk
menanggapi penyakit: mencari perawatan medis profesional dan perawatan diri.

Keputusan untuk Mencari Perawatan Profesional


Dalam Bab 6, kami menekankan pentingnya mempertimbangkan faktor makro
(struktur sosial) dan mikro (pengambilan keputusan individu) sebagai pengaruh
terhadap partisipasi dalam perilaku kesehatan. Kedua faktor tersebut juga berpengaruh
penting pada keputusan mencari perawatan medis profesional. Ronald Andersen dan
Lu Ann Aday, yang telah membantu memandu pemikiran sosiologis tentang
penggunaan layanan medis, mengembangkan kerangka kerja untuk memeriksa akses
ke perawatan yang mencakup faktor struktural dan individu.

Mereka berpendapat bahwa akses ke perawatan dapat dipahami dengan baik


dengan mempertimbangkan (1) lingkungan fisik, politik, dan ekonomi secara umum,
(2) karakteristik sistem perawatan kesehatan, termasuk kebijakan perawatan
kesehatan dan organisasi serta ketersediaan layanan, dan (3 ) karakteristik populasi
termasuk yang dapat mempengaruhi seseorang untuk menggunakan layanan (usia,
jenis kelamin, dan sikap tentang perawatan kesehatan); yang memungkinkan
seseorang untuk menggunakan layanan kesehatan (pendapatan dan cakupan asuransi
kesehatan); dan kebutuhan akan pelayanan kesehatan (Andersen, Aday, dan Lytle,
1987; Andersen, 1995; Andersen, 2008).

Kemampuan model ini untuk memprediksi penggunaan layanan telah


ditegaskan dalam banyak penelitian. McEwen (2000) telah menggunakan data dari
survei kesehatan nasional untuk menentukan kemampuan prediksi model sehubungan
dengan penundaan perawatan medis yang dibutuhkan dan adanya kebutuhan medis
yang tidak terpenuhi. Dia menemukan bahwa prediksi terbaik dari ukuran dependen
ini terjadi ketika ketiga faktor predisposisi, pendukung, dan kebutuhan
dipertimbangkan.

Berkonsentrasi lebih pada tingkat individu, DiMatteo dan Friedman (1982)


telah menetapkan tiga faktor yang mempengaruhi keputusan untuk mencari
perawatan:

1. Latar belakang pasien.


Kecenderungan untuk menemui dokter dipengaruhi oleh faktor-faktor
seperti usia, jenis kelamin, ras dan etnis, dan kelas sosial. Misalnya, pria
sering kali lebih enggan daripada wanita untuk menemui dokter, dan
banyak pria yang sudah menikah menjadwalkan janji temu hanya ketika
ditekan oleh istri mereka untuk melakukannya (perkiraan adalah bahwa
wanita membuat 70 persen dari semua keputusan perawatan kesehatan).
Banyak (terutama yang lebih tua) pria lebih suka "bersikap keras" dan
malu untuk membahas hal-hal seperti disfungsi seksual, pembesaran
prostat, dan depresi.

2. Persepsi pasien tentang penyakitnya.


Zola (1973:677–689) telah mengidentifikasi lima pemicu sosial yang
mempengaruhi penilaian bahwa gejala memerlukan perawatan kesehatan
profesional: (a) gangguan yang dirasakan dengan aktivitas kejuruan atau
fisik, terutama aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan; (b)
gangguan yang dirasakan dengan hubungan sosial atau pribadi; (c) krisis
antarpribadi; (d) temporalisasi simtomatologi (menetapkan tenggat waktu
—jika saya tidak lebih baik pada hari Senin, saya akan menghubungi
dokter); dan (e) tekanan dari keluarga dan teman.

3. Situasi sosial.
Bahkan untuk rasa sakit yang mungkin berhubungan dengan kondisi
serius, faktor situasional penting. Gejala yang dimulai selama seminggu,
bukan pada akhir pekan, lebih mungkin untuk memotivasi kontak segera
dengan dokter, seperti halnya gejala yang muncul di tempat kerja dan yang
muncul ketika orang lain hadir (DiMatteo dan Friedman, 1982).

Penggunaan Layanan Perawatan Medis

Orang Amerika rata-rata mengunjungi sekitar lima atau enam dokter setiap
tahun. Namun, rata-rata ini menyamarkan perbedaan yang signifikan di antara
subkelompok populasi. Secara keseluruhan, jumlah frekunesi kunjungan meningkat
secara signifikan dengan usia dan lebih tinggi pada perempuan daripada laki-laki, dan
tertinggi di antara orang-orang dalam kategori pendapatan terendah.

Bagian berikut menjelaskan pola pemanfaatan layanan kesehatan di antara


beberapa subkelompok penduduk yang penting.

Orang Miskin dan Orang Miskin Secara Medis.

Orang-orang di bawah tingkat kemiskinan dan mereka yang hanya di atasnya


sering mengalami kesulitan mendapatkan akses ke perawatan medis yang berkualitas.
Sejak akhir 1960-an (dan sebagian besar sebagai akibat dari Medicaid dan Medicare),
orang miskin rata-rata memiliki kontak dokter sebanyak atau lebih setiap tahun
dibandingkan dengan orang tidak miskin. Namun, sehubungan dengan kebutuhan
medis mereka yang lebih besar, masyarakat miskin terus memiliki akses yang lebih
rendah. Dan tingkat pemanfaatan terendah relatif terhadap kebutuhan ditemukan di
antara mereka yang berada tepat di atas tingkat kemiskinan. Orang-orang ini—sering
disebut orang miskin secara medis atau pekerja miskin—menghasilkan cukup uang
untuk gagal memenuhi syarat untuk Medicaid tetapi tidak cukup untuk membayar
perawatan medis swasta. Sebagian besar orang miskin secara medis tidak memiliki
asuransi kesehatan apa pun (sekitar 47 juta orang Amerika tidak memiliki cakupan
perawatan kesehatan pada tahun 2010). Sebagian besar berada di rumah tangga
dengan pencari nafkah yang bekerja di pekerjaan yang tidak menawarkan asuransi
kesehatan sebagai tunjangan. Kelompok terbesar lainnya dari orang-orang tanpa
asuransi adalah orang-orang yang menganggur dan keluarga mereka yang telah
kehilangan asuransi kesehatan mereka bersama dengan pekerjaan mereka dan mereka
yang memiliki masalah kesehatan utama yang tidak mampu membeli polis asuransi
individu (atau yang telah ditolak asuransi sama sekali karena kondisi mereka) .

Penggunaan layanan perawatan kesehatan oleh masyarakat miskin berbeda


dari yang tidak miskin setidaknya dalam tiga hal penting lainnya. Pertama, orang
miskin jauh lebih kecil kemungkinannya untuk memiliki sumber perawatan tetap—
yaitu, seorang dokter yang secara rutin diperiksa untuk masalah atau layanan
perawatan kesehatan. Seringkali, ini karena kurangnya dokter di daerah
berpenghasilan rendah.

Kedua (sebagai konsekuensi dari yang pertama), orang miskin lebih cenderung
menggunakan ruang gawat darurat (UGD) atau departemen rawat jalan sebagai
tempat perawatan rutin. Meskipun ini bukan penggunaan layanan yang efisien
(perawatan di UGD lebih mahal) dan mungkin dibenci oleh staf rumah sakit, ini
mungkin satu-satunya fasilitas yang tersedia dan nyaman (Rust et al., 2008). Rumah
sakit umum dan situs klinik ini cenderung lebih besar, lebih sibuk, lebih dingin, dan
lebih impersonal daripada kantor medis. Waktu menunggu untuk menemui dokter
mungkin sangat lama—terkadang hampir sepanjang hari. Anggota staf sering terlalu
banyak bekerja dan memiliki sedikit waktu untuk pasien. Pertemuan dokter-pasien
yang sebenarnya mungkin terburu-buru dan tiba-tiba, dengan sedikit keramahan dan
sedikit penyelidikan tentang masalah psikososial pasien. Seringkali, pertemuan ini
bukanlah pengalaman yang memuaskan bagi pasien atau dokter. “Penghalang sistem
perawatan kesehatan” ini mengurangi kemungkinan masyarakat miskin menerima
layanan medis.

Ketiga (sebagian sebagai konsekuensi dari dua yang pertama), orang-orang


berpenghasilan rendah jauh lebih sakit ketika mereka dirawat di rumah sakit dan
membutuhkan rawat inap yang lebih lama. Karena tingkat penyakit dan penyakit yang
lebih tinggi di masyarakat miskin, kurangnya akses ke perawatan rawat jalan, dan
kurangnya sumber daya keuangan yang memadai atau cakupan asuransi kesehatan
untuk membayar biaya rumah sakit, orang miskin sering menjadi sangat sakit sebelum
masuk rumah sakit.

Untuk mempelajari pola ini, Epstein, Stern, dan Weissman (1990)


mewawancarai hampir 17.000 pasien yang dirawat di lima rumah sakit Massachusetts.
Mereka mengumpulkan informasi tentang tiga komponen status sosial ekonomi
(pendapatan, pekerjaan, dan pendidikan) dan beberapa aspek dari tinggal di rumah
sakit. Pasien dalam kelompok sosial ekonomi terendah memiliki masa rawat inap 3
sampai 30 persen lebih lama dibandingkan pasien dengan status sosial ekonomi yang
lebih tinggi. Biaya rumah sakit 1 hingga 18 persen lebih tinggi, mencerminkan masa
tinggal yang lebih lama dan jumlah layanan yang lebih banyak. Pola-pola ini bertahan
bahkan ketika usia dan tingkat keparahan penyakit dikendalikan. Sebuah studi
terpisah dari sampel nasional rumah sakit menemukan bahwa pasien yang tidak
diasuransikan pada saat masuk jauh lebih sakit dan 1,2 hingga 3,2 kali lebih mungkin
meninggal saat berada di rumah sakit (Hadley, Steinberg, dan Feder, 1991).

Ketidakmampuan untuk menanggapi masalah kesehatan terjadi di seluruh


spektrum layanan perawatan kesehatan. Misalnya, orang-orang berpenghasilan rendah
dan orang-orang yang tidak mampu secara medis sering kali tidak membutuhkan
layanan gigi. Mereka terhalang oleh pertimbangan biaya untuk melakukan
pemeriksaan rutin, dan seringkali mereka bahkan mencoba bertahan tanpa perawatan
gigi profesional ketika ada masalah gigi yang serius dan menyakitkan. Program yang
menyediakan perawatan gigi gratis seringkali dipaksa untuk berkonsentrasi pada
pencabutan gigi karena masalah yang mendasarinya menjadi sangat menyakitkan.
Beberapa organisasi telah dibentuk untuk menetapkan hari perawatan gigi gratis
berbasis sukarelawan di dalam komunitas. Baru-baru ini, klinik gigi dua hari di
komunitas 225.000 orang menyediakan perawatan gigi yang dibutuhkan untuk lebih
dari 1.000 orang dan harus menolak 1.000 orang lagi karena tidak ada cukup waktu
atau personel. Banyak dari mereka yang menerima perawatan mengantre sepanjang
hari untuk mendapatkan kesempatan menerima perawatan gigi. Dari pasien yang
dilihat, hampir 700 memiliki setidaknya satu gigi yang dicabut, dan jumlah rata-rata
yang dicabut adalah empat.

Untuk perbandingan internasional, lihat kotak, ”Disparitas dalam Pengalaman


Perawatan Primer menurut Pendapatan”.

FOKUS INCOMPARATIVE

DISPARITASDALAM PENGALAMAN PERAWATAN DASAR MENURUT


PENGHASILAN

Pada tahun 2006, Commonwealth Fund, sebuah yayasan swasta yang dihormati yang
berusaha untuk meningkatkan sistem perawatan kesehatan, melaporkan sebuah studi
tahun 2004 tentang penggunaan perawatan primer oleh orang dewasa di lima negara:
Amerika Serikat, Australia, Kanada, Inggris, dan Selandia Baru. Penulis laporan
meringkas:

Mengingat korelasi yang kuat di seluruh dunia antara pendapatan rendah dan
kesehatan yang buruk—termasuk disabilitas, penyakit kronis, dan penyakit akut—
sangat penting bagi orang-orang dengan pendapatan terbatas untuk memiliki akses
siap ke perawatan medis. Ketimpangan dalam akses dapat berkontribusi dan
memperburuk kesenjangan yang ada dalam kesehatan dan kualitas hidup,
menciptakan hambatan bagi kehidupan yang kuat dan produktif. (hal. xiii)

Bagaimana tarif Amerika Serikat dalam perbandingan?


Secara keseluruhan, laporan tersebut menemukan kesenjangan perawatan kesehatan
yang memisahkan AS dari empat negara lainnya. AS menonjol karena disparitas
berbasis pendapatan dalam pengalaman pasien—khususnya untuk pengalaman
perawatan primer yang lebih negatif bagi orang dewasa dengan pendapatan di
bawah rata-rata. (hal. xiii)

Pada 16 dari 30 ukuran khusus pengalaman perawatan primer untuk pasien


berpenghasilan di bawah rata-rata, Amerika Serikat menempati peringkat terakhir.
Pasien AS kemungkinan besar pergi tanpa perawatan karena biaya; kemungkinan
besar mengalami kesulitan mendapatkan perawatan di malam hari, selama akhir
pekan, atau pada hari libur tanpa pergi ke ruang gawat darurat; kemungkinan besar
melaporkan duplikasi layanan medis (karena kurangnya koordinasi perawatan); dan
kemungkinan besar menilai pertemuan mereka dengan dokter hanya adil atau buruk.
Kesenjangan antara pasien berpenghasilan di atas rata-rata dan pasien berpenghasilan
di bawah rata-rata sejauh ini adalah yang terbesar di Amerika Serikat (Huynh et al.,
2006).

Tuna wisma.

Populasi tunawisma di Amerika Serikat sangat membutuhkan layanan


perawatan kesehatan mental dan fisik tetapi tidak menerimanya. Perkiraan prevalensi
gangguan kejiwaan di antara tunawisma berkisar antara 25 hingga 50 persen, dan
perkiraan rawat inap psikiatri sebelumnya berkisar antara 15 hingga 42 persen.
Penelitian secara konsisten menemukan tingkat kebutuhan yang sangat tinggi akan
layanan kesehatan fisik dan mental tetapi sangat sedikit layanan yang diterima (Wood
et al., 2010).

Minoritas Ras dan Etnis.

Dalam beberapa tahun terakhir, disparitas hitam-putih dalam pemanfaatan


layanan kesehatan hampir hilang. Namun, perbedaan signifikan tetap ada dalam aspek
lain dari pola penggunaan. Orang kulit hitam lebih kecil kemungkinannya
dibandingkan orang kulit putih untuk memiliki sumber perawatan kesehatan yang
teratur dan lebih mungkin untuk mendapatkan perawatan di klinik rawat jalan rumah
sakit, UGD, atau pusat kesehatan masyarakat. Penelitian telah mendokumentasikan
bahwa ras dan etnis minoritas mengalami lebih banyak kesulitan dalam mendapatkan
janji awal dan tindak lanjut dengan dokter dan menunggu lebih lama selama janji.
Kesenjangan ini bertahan bahkan setelah status kesehatan dan status sosial ekonomi
dikendalikan (Shi, 1999).

Selain alasan ekonomi, faktor lain yang melatarbelakangi pola tersebut adalah
minimnya pelayanan pada komunitas kulit hitam di wilayah kota-kota besar
metropolitan dan di pedesaan, terutama di Tenggara. Ini adalah dua wilayah negara
yang paling tidak terlayani oleh dokter. Kekurangan ini mempersulit dokter yang
berada di daerah tersebut dan mempersulit upaya pasien untuk menemukan dokter
yang dapat menjalin hubungan berkelanjutan. Karena orang dengan sumber perawatan
reguler cenderung lebih puas dengan dokter mereka, manfaat lain bertambah,
termasuk tingkat kepatuhan yang lebih tinggi.

Meskipun tingkat mortalitas dan morbiditas sangat tinggi, orang Hispanik


memiliki tingkat pemanfaatan layanan medis terendah dari kelompok ras atau etnis
mana pun di Amerika Serikat. Hanya sekitar setengah jumlah orang Hispanik
daripada orang kulit putih yang memiliki sumber perawatan medis yang teratur;
mereka dua kali lebih mungkin menggunakan UGD rumah sakit sebagai sumber
perawatan reguler; mereka lebih mungkin dirawat di rumah sakit melalui UGD; dan
mereka cenderung jauh lebih sakit pada saat masuk (menunjukkan keterlambatan
dalam mencari layanan), yang mengakibatkan rawat inap di rumah sakit lebih lama
dan lebih mahal. Hispanik jauh lebih kecil kemungkinannya untuk memulai
perawatan prenatal pada trimester pertama yang direkomendasikan dan tiga kali lebih
kecil kemungkinannya untuk menerima perawatan prenatal apa pun.

Beberapa faktor bertanggung jawab atas pola pemanfaatan yang berbeda ini,
termasuk pendapatan keluarga yang lebih rendah, kemungkinan yang lebih besar
untuk memiliki pekerjaan yang tidak menawarkan asuransi kesehatan, dan kurangnya
layanan perawatan kesehatan yang dapat diakses oleh pekerja pertanian Meksiko-
Amerika dan mereka yang tinggal di daerah dalam kota. dari kota-kota besar. Bahkan
ketika layanan tersedia, kesulitan komunikasi karena tidak adanya juru bahasa dan
perbedaan budaya dengan penyedia layanan seringkali merupakan hambatan penting.

Usia.

Orang yang lebih tua secara konsisten merupakan pengguna terberat dari
layanan perawatan kesehatan. Orang yang berusia di atas 65 tahun menerima lebih
banyak perawatan pencegahan daripada orang yang lebih muda dan lebih sering
mengunjungi dokter untuk menanggapi kebutuhan medis. Meskipun orang di atas usia
65 hanya terdiri dari sekitar 12 persen dari populasi AS, mereka menyumbang
sepertiga dari semua pengeluaran perawatan kesehatan pribadi.

Jenis kelamin.

Terdapat perbedaan yang konsisten dalam pemanfaatan layanan kesehatan


antara perempuan dan laki-laki. Wanita menggunakan lebih banyak layanan dokter,
lebih cenderung memiliki sumber perawatan reguler, menerima perawatan
pencegahan yang lebih signifikan, minum lebih banyak obat, lebih mungkin
mengunjungi klinik rawat jalan, dan lebih mungkin dirawat di rumah sakit. Di sisi
lain, pria lebih cenderung menggunakan layanan UGD.
Mengapa perempuan dan laki-laki memiliki pola pemanfaatan yang berbeda?
Mungkin alasan yang paling jelas—penggunaan layanan ekstra oleh wanita untuk
perawatan reproduksi—hanya menjelaskan sebagian dari perbedaan tersebut
(reproduksi hanya menyumbang sekitar 20 persen dari kontak dokter wanita). Faktor
yang lebih penting adalah jumlah penyakit yang dilaporkan oleh wanita lebih banyak
(kebutuhan akan perawatan menjadi prediktor penggunaan yang penting) dan
keinginan yang lebih besar dari wanita untuk mencari perawatan kesehatan
profesional.

Peran gender jelas berimplikasi dengan alasan yang terakhir. Wanita


disosialisasikan untuk lebih peka terhadap gejala medis, dan begitu gejalanya
dirasakan, untuk menanggapinya dengan lebih serius. Setelah evaluasi ini dilakukan,
wanita merasa lebih mudah untuk mencari bantuan medis; oleh karena itu, mereka
menunjukkan tingkat pemanfaatan yang lebih tinggi. Di sisi lain, pria sering
menunjukkan keengganan untuk melakukan pemeriksaan, tes skrining yang
diperlukan, dan perhatian medis untuk masalah yang beragam seperti depresi,
penyalahgunaan zat, cacat fisik, dan stres (Galdas, Cheater, dan Marshall, 2005).
Penelitian terbaru telah menelusuri setidaknya beberapa dari pola ini ke peran seks
tradisional laki-laki: rasa kekebalan dan keabadian, kesulitan melepaskan kendali, dan
keengganan untuk mencari bantuan (Springer dan Mouzon, 2011). Lihat kotak
terlampir, “Gender dan Penggunaan Layanan Medis di Pedesaan India.”

FOKUS KOMPARATIF

YANG TIDAK GENDER DAN PENGGUNAAN LAYANAN MEDIS DI PERDESAAN


INDIA

Sementara norma-norma budaya tertentu di Amerika Serikat mencegah laki-laki


mencari perawatan medis profesional, pola sebaliknya terbukti di beberapa bagian pedesaan
India. Bahkan di daerah di mana layanan kesehatan tersedia, nilai-nilai budaya tertentu yang
terkait dengan ideologi gender dan perilaku berbasis gender mempengaruhi perempuan untuk
kurang memanfaatkan perawatan medis. Untuk lebih memahami pola ini, Kumar (1995)
menghabiskan sembilan bulan di sebuah desa pedesaan di India utara melakukan survei rumah
tangga umum dan wawancara terbuka dengan wanita yang sudah menikah.

Wanita yang sudah menikah di desa menjalankan ghungat (cadar), yang meliputi
menutupi wajah dengan kerudung dan mematuhi serangkaian pembatasan bicara, mobilitas,
dan hubungan sosial. Tubuh perempuan diasosiasikan dengan rasa malu karena alasan-alasan
yang berhubungan dengan ide-ide tentang kebersihan (menstruasi dan melahirkan menambah
pembatasan lebih lanjut karena makna kuat yang dianggap berasal dari darah sebagai zat yang
sangat kotor), kebutuhan untuk mempertahankan garis keturunan murni, dan ketakutan akan
seksualitas yang tidak terkendali. . Perempuan secara finansial bergantung pada laki-laki,
meskipun laki-laki bergantung pada perempuan untuk mengelola rumah dan membesarkan
anak-anak. Ghungat dipandang sebagai praktik yang menghormati laki-laki dan perempuan
karena merupakan ekspresi visual dari penerimaan kekuatan yang lebih besar dari laki-laki dan
kontrol mereka atas perempuan.

Ketika sakit, akses perempuan menikah ke perawatan medis dibatasi oleh keharusan
mendapatkan persetujuan suami untuk mencari perawatan, dengan tidak memiliki akses
langsung ke sumber keuangan, dan oleh kesulitan mengambil cuti dari pekerjaan rumah
tangga. Keterbatasan pergerakan di seluruh desa dan persyaratan untuk tidak mengunjungi
pusat kesehatan saja merupakan hal yang lebih mengecilkan hati, seperti anggapan bahwa
dokter laki-laki “melihat” bagian tubuhnya yang tidak berpakaian. Batasan budaya ini
menjelaskan penggunaan layanan medis yang lebih rendah oleh wanita daripada pria dan fakta
bahwa wanita terkadang tidak terlihat sampai penyakit stadium lanjut.

Konsep Self Care/Perawatan Diri

Perawatan diri sendiri atau biasanya disebut self care menggambarkan


berbagai perilaku yang diprakarsai oleh individu untuk meningkatkan kesehatan yang
optimal, mencegah penyakit, mendeteksi gejala kesehatan yang buruk,
menyembuhkan penyakit akut, dan mengelola kondisi kronis. Ini termasuk
memperoleh informasi tentang kesehatan dan penyakit, melakukan skrining pada diri
sendiri , mengelola penyakit sendiri, termasuk melakukan pengobatan sendiri, dan
merumuskan tujuan dan preferensi yang jelas mengenai keputusan pengobatan akhir
kehidupan. Meskipun istilah "perawatan diri" menyiratkan perilaku individu, praktik
ini terjadi dalam jaringan sosial dan sangat dipengaruhi oleh keluarga, teman, dan
norma budaya.

Bagaimanapun didefinisikan, jelas bahwa praktik perawatan diri merupakan


respons yang sangat umum dan rutin terhadap gejala penyakit dan merupakan praktik
yang menyebar di seluruh populasi. Sebuah studi nasional menemukan bahwa lebih
dari lima dari enam orang berusia 55 dan lebih tua telah mengalami setidaknya satu
gejala penyakit dalam enam bulan sebelumnya yang mereka hanya mengandalkan
perawatan diri. Hampir 90 persen responden menilai upaya perawatan kesehatan
mereka sebagai baik, sangat baik, atau sangat baik (Kart dan Engler, 1994).

Gerakan Self-Help.

Ketergantungan pada self help atau menolong diri sendiri tentu bukan konsep
baru. Sejak peradaban paling awal, orang telah mengambil langkah-langkah pribadi
untuk melindungi keselamatan dan kesejahteraan mereka dan menangani penyakit.
Namun, munculnya kedokteran ilmiah modern menggeser tanggung jawab utama
untuk mengelola kesehatan dan penyakit dari individu dan keluarga ke dokter.
Sekarang, ada minat baru di antara masyarakat umum dan banyak profesional
perawatan kesehatan dalam mengalihkan manajemen perawatan kesehatan secara
keseluruhan dari profesional kembali ke individu.

Setidaknya ada tiga faktor kunci yang harus terus menopang gerakan ini:

1. Meningkatnya jumlah informasi terkait kesehatan yang tersedia di internet


dan meningkatnya jumlah orang yang menggunakan informasi ini merupakan bagian
penting dari gerakan swadaya.

2. Perluasan filosofi medis alternatif dan pendekatan klinis yang menempatkan


tanggung jawab utama untuk kesehatan pada individu daripada pada profesional. Ini
termasuk pendekatan perilaku, konsep kesehatan holistik, dan terapi yang berasal dari
filosofi Timur (misalnya, yoga, meditasi, dan biofeedback).

3. Peningkatan biaya perawatan kesehatan telah mengilhami potensi


penghematan dari upaya promosi kesehatan dan pencegahan penyakit yang lebih
gencar. Studi menunjukkan bahwa orang yang menggunakan praktik perawatan diri
mengurangi jumlah kunjungan ke dokter dan jumlah hari di rumah sakit, dan bahwa
penggunaan umum obat-obatan yang dipilih sendiri dan dijual bebas menghemat
jutaan dolar negara setiap tahun dalam biaya dokter. Satu studi meminta panel dokter
untuk mengevaluasi praktik perawatan diri dari sampel acak orang; mereka menilai
hanya 2 persen dari tindakan mereka tidak pantas secara medis (Wilkinson, Darby,
dan Mant, 1987)

DALAM FOKUS ICOMPARATIF

GENDER DAN PENGGUNAAN LAYANAN MEDIS DI PERDESAAN INDIA

Sementara norma budaya tertentu di Amerika Serikat mencegah laki-laki mencari


perawatan medis profesional, pola sebaliknya terlihat di beberapa bagian pedesaan India.
Bahkan di daerah di mana layanan kesehatan tersedia, nilai-nilai budaya tertentu yang
terkait dengan ideologi gender dan perilaku berbasis gender mempengaruhi perempuan
untuk kurang memanfaatkan perawatan medis. Untuk lebih memahami pola ini, Kumar
(1995) menghabiskan sembilan bulan di sebuah desa pedesaan di India utara melakukan
survei rumah tangga umum dan wawancara terbuka dengan wanita yang sudah menikah.

Perempuan yang sudah menikah di desa menjalankan ghun gat (cadar), yang meliputi
menutupi wajah dengan cadar dan mematuhi serangkaian larangan berbicara, mobilitas, dan
hubungan sosial. Tubuh wanita dikaitkan dengan rasa malu karena alasan yang berhubungan
dengan gagasan tentang kebersihan (menstruasi dan melahirkan menambah pembatasan lebih
lanjut karena makna kuat yang dianggap berasal dari darah sebagai zat yang sangat kotor),
kebutuhan untuk menjaga kesehatan dan menangani penyakit. Namun, munculnya kedokteran
ilmiah modern menggeser tanggung jawab utama untuk mengelola kesehatan dan penyakit
dari individu dan keluarga ke dokter
Ketika sakit, akses perempuan menikah ke perawatan medis dibatasi oleh keharusan
mendapatkan persetujuan suami untuk mencari perawatan, dengan tidak memiliki akses
langsung ke sumber keuangan dan kesulitan mengambil cuti dari pekerjaan rumah tangga.
Keterbatasan pergerakan di seluruh desa dan persyaratan untuk tidak mengunjungi pusat
kesehatan saja merupakan hal yang lebih mengecilkan hati, seperti anggapan bahwa dokter
laki-laki “melihat” bagian tubuhnya yang tidak berpakaian. Batasan budaya ini
menjelaskan penggunaan layanan medis yang lebih rendah oleh wanita daripada pria dan
fakta bahwa wanita terkadang tidak terlihat sampai penyakit stadium lanjut.

Sekarang, ada minat baru di antara masyarakat umum dan banyak profesional
perawatan kesehatan dalam menggeser secara keseluruhan manajemen perawatan
kesehatan dari profesional kembali ke individu.

Setidaknya ada tiga faktor kunci yang harus terus menopang gerakan ini:

1. Meningkatnya jumlah informasi terkait kesehatan yang tersedia di Internet dan


meningkatnya jumlah orang yang menggunakan informasi ini merupakan
bagian penting dari gerakan swadaya.
2. Perluasan filosofi medis alternatif dan pendekatan klinis yang menempatkan
tanggung jawab utama untuk kesehatan pada garis keturunan murni, dan
ketakutan akan seksualitas yang tidak terkendali. Perempuan secara finansial
bergantung pada laki-laki, meskipun laki-laki bergantung pada perempuan
untuk mengelola rumah dan membesarkan anak-anak. Ghungat dipandang
sebagai praktik yang menghormati laki-laki dan perempuan karena merupakan
ekspresi visual dari penerimaan kekuatan yang lebih besar dari laki-laki dan
kontrol mereka atas perempuan individu dari pada profesional. Ini termasuk
pendekatan perilaku, konsep kesehatan holistik, dan terapi yang berasal dari
filosofi Timur (misalnya, yoga, meditasi, dan biofeedback).
3. Peningkatan biaya perawatan kesehatan telah mengilhami potensi
penghematan dari upaya promosi kesehatan dan pencegahan penyakit yang
lebih gencar. Studi menunjukkan bahwa orang yang menggunakan praktik
perawatan diri mengurangi jumlah kunjungan ke dokter dan jumlah hari di
rumah sakit dan bahwa penggunaan umum obat-obatan yang dipilih sendiri
dan dijual bebas menghemat jutaan dolar negara setiap tahun. dalam biaya
dokter. Satu studi meminta panel dokter untuk mengevaluasi praktik
perawatan diri dari sampel acak orang; mereka menilai hanya 2 persen dari
tindakan mereka secara medis tidak pantas (Wilkinson, Darby, dan Mant,
1987).
Bagian penting dari gerakan swadaya adalah pemilihan sendiri berbagai vitamin dan
herbal yang sekarang tersedia di toko makanan alami, toko bahan makanan, toko obat,
dan gerai lainnya.

Kelompok Swadaya.

Dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi pertumbuhan yang luar biasa
dalam jumlah kelompok swadaya—kelompok individu yang mengalami masalah
bersama dan berbagi pribadi mereka cerita, pengetahuan, dan dukungan untuk saling
membantu. Diperkirakan 10 sampai 15 juta orang setiap tahun berpartisipasi dalam
setengah juta ditambah kelompok swadaya, dan lebih dari 30 juta orang telah
berpartisipasi pada suatu waktu. Kelompok-kelompok telah diorganisir di hampir
setiap penyakit, kecanduan, dan kecacatan yang mungkin terjadi. Lihat kotak
”Kelompok Swadaya Terpilih”.

Kelompok dukungan sosial dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi


anggotanya. Satu studi terhadap 232 anggota di 65 kelompok terkait penyakit yang
berbeda mengungkapkan bahwa sebagian besar anggota melaporkan banyak
perubahan positif dalam kesejahteraan psikososial (pengurangan stres emosional dan
perasaan aman dan terlindung yang lebih kuat), dalam perasaan kompetensi
(mempelajari perilaku baru) lebih percaya diri), dalam partisipasi yang lebih besar
dalam kehidupan sosial (lebih banyak kegiatan sosial dan lebih tertarik untuk
membantu orang lain), dalam pengetahuan, pemahaman tentang penyakit mereka dan
pengobatannya. Namun, kurang dari seperempat melaporkan perbaikan gejala fisik
atau pengurangan gangguan fisik. Peserta melaporkan membuat lebih banyak tuntutan
pada penolong profesional karena kemampuan mereka untuk mengekspresikan
kebutuhan mereka dan keinginan mereka untuk memainkan peran yang lebih aktif
dalam pengelolaan penyakit mereka (Trojan, 1989).

Sebuah studi kelompok menolong diri untuk orang tua dari anak-anak dengan
kanker menemukan bahwa kelompok meningkatkan kepercayaan diri dan kemauan
anggota untuk bekerja dengan orang lain untuk perubahan dalam sistem perawatan
medis yang akan menguntungkan anak-anak mereka atau orang lain dengan kanker.
Dengan demikian, anggota terinspirasi tidak hanya untuk menjadi lebih aktif sebagai
individu atau dalam unit keluarga tetapi juga untuk terlibat dalam aktivisme sosial
(Chesney dan Chesler, 1993).

Pecandu Alkohol Anonim Al-Anon dan Alateen


Aliansi untuk Orang Sakit Jiwa Kelompok Dukungan Alzheimer
Kelompok Pendukung Kanker Payudara Kelompok Pendukung Berkabung
Bulimia, Anoreksia menolong diri Kokain Anonim
Ketergantungan Bersama Anonim Kelompok Dukungan Diabetes
Teman yang Belas Kasih (Orang Tua yang Berkabung) Ayah United Inc.
Orang Tua Kelahiran Bersatu yang Peduli Yayasan Crohn dan Kolitis Amerika
Pasien Kanker Luar Biasa Penjudi Anonim
Grup Dukungan Duka Impotensi Anonim
Kelompok Pendukung Infertilitas Liga La Leche
Grup Pendukung Menopause Narkotika Anonim
Kelompok Pendukung Multiple Sclerosis Overeaters Anonim
Grup Pendukung Parkinson Orang Tua Anonim
Orang Tua dari Anak Dengan Asma Orang Tua Tanpa Pasangan
Pecandu Seks Anonim Ssst (Sulit Mendengar)
Asosiasi4:Keluarga
Tahap Tiri Amerika
Peran Dependent-Pasien Tiba-tiba Single
Program Penjangkauan Veteran Pengamat berat badan
Pasien memasuki tahap keempat, peran pasien tergantung, ketika rekomendasi
dari penyedia layanan kesehatan untuk pengobatan diterima. Ini juga menciptakan
ekspektasi peran baru yang mencakup peningkatan kontak dengan penyedia dan
perubahan hubungan pribadi. Pasien diharapkan melakukan segala upaya untuk
sembuh. Beberapa orang, tentu saja, menikmati manfaat dari peran ini (misalnya,
meningkatkan perhatian dan melarikan diri dari tanggung jawab pekerjaan) dan
berusaha berpura-pura. Namun, pada akhirnya, pasien akut akan sembuh dan
melanjutkan ke tahap 5 atau menghentikan pengobatan (dan mungkin mencari
pengobatan alternatif).

Tahap 5: Pemulihan dan Rehabilitasi

Tahap akhir skema Suchman untuk pasien dengan penyakit akut terjadi ketika
pengobatan berhasil dan pemulihan terjadi. Ketika itu terjadi, pasien diharapkan untuk
melepaskan peran sakit dan kembali ke peran normal kewajiban. Untuk pasien kronis,
sejauh mana kewajiban peran sebelumnya dapat dilanjutkan berkisar dari mereka
yang meninggalkan peran sakit hingga mereka yang tidak akan pernah bisa
meninggalkannya. Subbidang sosiologi yang menarik yang berkembang dalam
beberapa tahun terakhir adalah Hewan dan Masyarakat. Sebagai sisipan kotak, "Peran
Hewan dalam Terapi Manusia," menjelaskan, ikatan hewan-manusia memiliki
implikasi penting bagi kesehatan dan rehabilitasi.

Mengalami Penyakit Kronis, Cacat, dan Cacat

Sementara pasien biasanya bertahan dari penyakit akut dan pulih darinya,
kondisi lain terus berlanjut seiring waktu. Bagian bab ini berfokus pada tiga kondisi
tersebut. Sebuah penyakit kronis adalah salah satu yang sedang berlangsung atau
berulang dan salah satu yang biasanya berlangsung selama satu per anak hidup.
Diabetes adalah contoh penyakit kronis. Meskipun dapat diobati dengan insulin, tidak
ada obat untuk diabetes, dan tidak pernah hilang. Sebuah penurunan nilai adalah
hilangnya beberapa fungsi anatomis atau fisiologis, seperti amputasi anggota tubuh
atau kelumpuhan. Sebuah cacat dapat dikatakan konsekuensi dari sebuah ment
Merusak, seperti ketidakmampuan untuk berjalan atau naik tangga (Freund dan
McGuire, 1999).

Hewan sekarang membantu dalam Berbagai terapeutik prosedur, danpositif


interaksidengan hewan telah terbukti memberikan manfaat penting bagi kesehatan
manusia

Peran Hewan dalam terapi manusia

Penelitian telah mulai mendokumentasikan manfaat kesehatan bagi manusia yang berinteraksi secara positif
dengan hewan. Interaksi dengan hewan telah terbukti memiliki (1) manfaat pencegahan bagi kesehatan
(mengurangi stres, menurunkan tekanan darah dan kebahagiaan yang lebih besar); (2) manfaat terapeutik
(menunggang kuda sangat membantu dalam rehabilitasi fisik penyandang cacat perkembangan, hewan dapat
membantu pemulihan emosional wanita yang babak belur dan anakanak mereka, mereka membantu kesepian
kelompok seperti orang tua atau orang dengan penyakit HIV , dan mereka berharga dalam bekerja dengan
korban stroke dan mereka yang memiliki masalah ortopedi), dan (3) manfaat pemulihan dan rehabilitasi
(satu studi besar meneliti pengaruh ratusan faktor fisik, sosial, dan ekonomi pada kelangsungan hidup jangka
panjang. pasien yang dibebaskan dari unit perawatan koroner rumah sakit—pengaruh yang paling penting
adalah tingkat kerusakan jaringan jantung itu sendiri, tetapi pengaruh terbesar kedua adalah hidup dengan
hewan peliharaan kurang dari setengah pasien memiliki hewan peliharaan, tetapi mereka empat kali lebih
kecil.
Mengapa manfaat ini terjadi? Penelitian telah mengidentifikasi bahwa hewan pendamping membantu
memenuhi (1) kebutuhan sosial-psikologis seperti kontak, kenyamanan, perasaan dibutuhkan, cinta tanpa
syarat, empati, kesabaran, relaksasi, dan mengatasi stres; (2) kebutuhan fisik seperti lebih banyak
berolahraga (pemilik anjing lebih banyak berjalan); dan (3) bantuan dengan sosialisasi anak di mana anak-
anak yang dibesarkan dengan hewan telah ditemukan lebih mengasuh, memiliki rasa tanggung jawab yang
lebih besar, dan memiliki perilaku yang lebih sosial dan kurang mementingkan diri sendiri. (Berdasarkan
bahan dari Kindred Spirits oleh Allen M. Schoen, DVM, MS, hak cipta 2001 oleh Allen M. Schoen.
Penggunaan dengan izin dari Broadway Books, sebuah divisi dari Random House, Inc.)
Hubungan Antara Penyakit Kronis, Gangguan, dan Cacat

Meskipun beberapa individu dengan penyakit kronis menjadi cacat dan cacat,
ini bukan tak terelakkan. Banyak orang yang sakit kronis tidak mengalami gangguan
atau cacat, dan gangguan dan kecacatan banyak orang dapat ditelusuri ke trauma,
kecelakaan, cedera, dan kelainan genetik daripada penyakit kronis (Bury, 1999).

Seringkali, penyakit kronis memiliki onset yang berbahaya (kanker dan


penyakit jantung koroner adalah contohnya) dan ditandai sejak dini oleh gejala yang
tidak dapat dideteksi dengan segera. Akhirnya, sebagian besar penyakit kronis dapat
diidentifikasi dengan prosedur laboratorium diagnostik. Demikian juga, gangguan
adalah istilah medis yang relatif objektif dengan referensi khusus untuk anatomi atau
fungsi fisiologis. Di sisi lain, disabilitas ketidakmampuan lebih merupakan konsep
relasional—jarang sepenuhnya ada atau tidak ada pada individu mana pun, tetapi
kehadirannya sering kali merupakan masalah derajat. Ini adalah istilah yang lebih
subjektif karena hanya dapat dipahami dengan mempertimbangkan individu dalam
konteks budaya (Bury, 1999).

Definisi biomedis tradisional tentang disabilitas cenderung menarik hubungan


yang kuat antara disabilitas dan disabilitas: individu dengan gangguan biologis adalah
individu dengan disabilitas. Namun, banyak sosiolog percaya bahwa pendekatan ini
terlalu berfokus pada individu di luar konteks sosial apa pun. Mereka lebih menyukai
model sosial disabilitas yang berpandangan bahwa pembatasan aktivitas atau fungsi
yang dialami individu merupakan akibat dari masyarakat yang belum melakukan
akomodasi yang sesuai. Menurut David Mechanic:

Dalam konsepsi yang lebih tua, sementara disabilitas layak mendapatkan


simpati dan bantuan publik, hal itu pada dasarnya dipandang sebagai masalah pribadi
yang membutuhkan penarikan yang cukup besar dari aktivitas biasa. Pandangan
kontemporer memiliki pengaruh transformatif dalam implikasinya bahwa orang
dengan hampir semua gangguan dapat memenuhi sebagian besar tuntutan hidup
sehari-hari jika mereka mengadopsi sikap yang tepat dan jika hambatan fisik, sosial,
dan sikap dihilangkan. (1995:1210)

Dari perspektif ini, disabilitas hanya terjadi ketika tidak ada “kesesuaian”
antara kemampuan seseorang dan lingkungan fisik di mana mereka tinggal.
Kesenjangan ini sebagian dapat diatasi pada tingkat individu (misalnya, memodifikasi
gangguan, meningkatkan motivasi pasien, dan mengajarkan strategi koping) tetapi
juga harus diatasi melalui kebijakan sosial dan perbaikan lingkungan (misalnya,
menyediakan alat bantu, menghilangkan hambatan fisik yang tidak perlu, dan
memastikan perlakuan yang adil). Dalam beberapa tahun terakhir, banyak penelitian
telah dengan jelas menunjukkan pentingnya "lingkungan buatan" untuk mengurangi
hambatan partisipasi penuh dalam masyarakat (Barnes dan Mercer, 2010; Clarke et
al., 2011).
Hidup Dengan Penyakit Kronis dan Cacat

Mengalami penyakit kronis dan/atau cacat biasanya melibatkan periode


penilaian, penyesuaian emosional, dan akomodasi mental dan fisik. Penelitian telah
mengidentifikasi setidaknya lima masalah yang sangat penting yang dimiliki oleh
banyak orang yang sakit kronis dan penyandang cacat:

1. Penurunan fungsi kognitif pribadi. Pasien mungkin khawatir bahwa penyakit


mereka akan berkembang ke titik di mana kemampuan fungsi kognitif mereka
mungkin terganggu atau bahwa obat-obatan akan memiliki efek tumpul pada
memori, kemampuan penalaran, dan kapasitas untuk komunikasi.
2. Hilangnya kemandirian pribadi. Banyak orang sangat menghargai
kemerdekaan mereka dan lebih menghargainya ketika terancam.
Ketergantungan pada orang lain mungkin merupakan pemikiran yang
menghancurkan—karena ketidaknyamanan dan, dalam arti yang lebih luas,
gagasan untuk menjadi beban bagi orang lain.
3. Perubahan citra tubuh. Untuk pasien yang penyakitnya menyebabkan
perubahan dramatis pada citra fisik, penyesuaian besar mungkin diperlukan.
Banyak orang memandang diri mereka sebagaifisik sebanyak atau lebih
darilaki-laki makhluk-makhluk; setiap perubahan dalam citra tubuh adalah
signifikan.
4. Penarikan diri dari peran sosial kunci. Karena begitu banyak orang
memperoleh identitas mereka dari pekerjaan mereka, gangguan dalam pola
kerja atau pencapaian pekerjaan sangat mengancam. Jika remunerasi
terpengaruh, beban emosional ekstra dibuat. Penarikan dari tanggung jawab
utama keluarga mungkin menjadi perhatian utama bersama dengan kecemasan
tentang menciptakan.
BAB II
PEMBAHASAN
Buku THE SOCIOLOGY OF HEALTH, HEALING, AND ILLNESS karya
Gregory L Weiss yang ditulis dalam Bahasa Inggris edisi kedelapan telah diperbarui
untuk mencerminkan perubahan yang sangat penting yang telah terjadi dalam sistem
pelayanan kesehatan Amerika Serikat dalam tiga tahun terakhir dan dalam hal-hal
yang berkaitan dengan sosiologi kesehatan, penyembuhan, dan penyakit. Hal ini
mencerminkan komitmen sosiologi medis untuk menganalisis pola sakit dan penyakit,
perilaku yang berhubungan dengan kesehatan dan penyaki, dan sistem pelayanan
kesehatan.
Khusus pada Bab 7 dalam buku ini secara garis besar mengkaji pengalaman
sakit dan disabilitas yang dikaitkan dengan penyimpangan sosial. Berikut ini kami
menyajikan 5 poin penting yang dibahas pada Bab 7:
A. Tahapan-tahapan Suchman pada pengalaman sakit
Perilaku sakit – penyebab dan proses sosio-kultural, psikologis, fisiologis dan
strukturalnya – adalah sesuatu yang sejak lama dibahas oleh berbagai ilmuwan.
Banyak dasar teoretis yang berbeda mengenai perilaku penyakit telah telah diusulkan,
diantaranya analisis struktural/fungsional (Parsons 1951), teori agensi interaksional
(Freidson 1970a), teori ekonomi (Donabedian dan Rosenfeld 1961), analisis geografis
(Oths 1994), teori psikologi sosial(Suchman 1965a dan 1965b), teori sosial budaya
(Zola 1966) dan teori jaringan sosial (Pescosolido 1992).
Tahapan Suchman mengenai pengalaman sakit mencoba menggambarkan
tahapan interaksi penyakit dengan dokter dari waktu ke waktu dan dikembangkan.
Sistem ini pada dasarnya dibangun di atas model sick role (peran sakit) Parsonian
akan tetapi ditambahkan detail pada garis waktu hubungan dokter pasien dan
kembalinya pasien ke fungsi normal secara sosial.
Secara sederhananya, Suchman membagi urutan 'peristiwa medis/sakit' menjadi
lima tahap:
1. tahap pengalaman gejala – pasien memperhatikan bahwa ada sesuatu yang salah.
Ada tiga bagian dari tahap perseptif ini – fisik, kognitif dan emosional – yang terdiri
dari pengakuan pasien terhadap fakta penyakit;
2. asumsi peran sakit – pasien potensial mencari pengurangan gejala dengan
perawatan diri, saran dari kalangan sejawat dan validasi sementara dari orang-orang di
sekitar mereka mengenai peran sakitnya;
3. tahap perawatan medis – pasien memutuskan untuk mencari perawatan medis. Ini
adalah keputusan untuk mencari perawatan 'ilmiah' daripada perawatan awam. Pasien
mencari legitimasi untuk peran sakit dan perawatan untuk penyakit mereka;
4. tahap peran ketergantungan pasien – pasien pada tahap ini berpindah kontrol
kepada dokter untuk aspek perawatan dan pengambilan keputusan pengobatan;
5. tahap pemulihan atau rehabilitasi – ini adalah tahap dimana pasien melepaskan
peran sakit dan kembali ke fungsi normal.

Model Suchman ini kemudian dikembangkan dan digunakan untuk pendirian


teoretisnya sendiri untuk membahas perbedaan etnis dan sosial, jaringan sosial dan
pengetahuan kedokteran yang menjelaskan variabilitas dalam keputusan untuk
mencari perawatan di Distrik Kesehatan Washington Heights of New York City. Dia
menemukan bahwa keputusan untuk mencari perawatan bervariasi berdasarkan
karakteristik sosio demografis dan status kesehatan, yang mengarah pada hipotesis
bahwa: jaringan sosial memiliki pengaruh pada perilaku mencari kesehatan. Teori
jaringan sosial yang mempengaruhi keputusan pelayanan kesehatan diteruskan dan
dikembang kemudian oleh Thomas and Rose (1991) dan Pescosolido (1992).
Kritik terhadap model Suchman hampir mirip dengan kritik teori terhadap Parson.
Hal yang logis mengingat Suchman sendiri mengembangkannya dari Parsons.
Suchman mengulangi peran yang kaku dan kurangnya variabilitas peran. Suchman
memasukkan jaringan mikro namun tidak memasukkan pengaruh lembaga perawatan
sosial dan kesehatan (konsep makrososiologis) ke dalam keputusan dalam masalah
mencari perawatan. Ini disebutkan oleh Geertsen dkk (1975) yang menjelaskan bahwa
model Suchman mungkin tidak memperhitungkan keterbukaan sifat jaringan sosial
dalam masyarakat modern.
Melalui komparasi data Suchman dengan data baru, Geertsen dkk. menunjukkan
bahwa struktur budaya dan sosial ekonomi, serta faktor gaya hidup, mungkin
mendahului interaksi keluarga dan pengetahuan medis dalam pola penyebab perilaku
penyakit. Orientasi medis dan perilaku kelompok sosial adalah faktor intervensi
dalam formulasi Geertsen. Selain itu, efek pada perilaku faktor demografi dan
persepsi tidak membuktikan hubungan sebab akibat. Pendekatan mikrososiologis
dasarnya tidak termasuk efek makrososial pada perilaku penyakit.
Anderson dan Aday menyatakan hal yang berbeda pula. Anderson cenderung
menyempurnakan model Suchman dengan penambahan beberapa variabel. Andersen
dan Aday (1978) mengidentifikasi determinan utama dari perilaku mencari kesehatan
sebagaiberikut:
1. karakteristik populasi termasuk karakteristik predisposisi (usia, gender dan sikap),
faktor pendukung (asuransi dan pendapatan), dan faktor kebutuhan (keparahan,
kronisitas dan frekuensi) untuk pelayanan kesehatan;
2. karakteristik sistem kesehatan termasuk ketersediaan, jenis layanan dan faktor
organisasi;
3. faktor lingkungan termasuk politik, geografis, lingkungan dan faktor ekonomi.
Faktor-faktor ini mempengaruhi penggunaan layanan dan praktik kesehatan personal
yang pada gilirannya mempengaruhi status kesehatan, kepuasan konsumen dan
ketersediaan lebih lanjut dari layanan saat kondisi berubah.
Dimasukkannya faktor-faktor di luar hubungan dokter-pasien mengarah pada
kesadaran bahwa struktur dan perilaku makrososiologis dapat secara langsung dan
tidak langsung mempengaruhi perilaku penyakit dan harus dimasukkan dalam model
perilaku sakit yang lebih lengkap dengan sosial-psikologis dan faktor jaringan. Hal ini
bisa dirujuk juga pada teori ekologi Bronfenbrenner yang mencontohkan hal serupa.
Model mikrososiologi seperi yang dikemukakan oleh Suchman memberikan
sebagian besar gambaran penelitian tentang perilaku sakit. Dan banyak studi yang
tumpang tindih dalam teori pendekatan dan operasionalisasi empiris. Kecenderungan
ke arah penyertaan lebih banyak lapisan faktor dan peningkatan variabilitas faktor
telah berkembang selama 40 tahun sejak diskusi Parsons tentang peran sakit, tetapi
penggambaran interaksi antara lapisan ini yang masih kurang. Model mikrososiologi
nyatanya memang tidaklah memberikan keseluruhan cerita tetapi pada dasarnya telah
berkembang untuk memasukkan pendekatan bertingkat mengenai masalah perilaku
penyakit.
Berpuluh-puluh tahun penelitian empiris telah meneliti perilaku penyakit.
Sebagian besar penelitian menggunakan metodologi kuantitatif seperti halnya Model
Suchman. Inklusi baru-baru ini berupa penelitian kualitatif telah membuka cakrawala
baru dalam mengurai permasalahan kompleks dari perilaku sakit.
Metode kuantitatif merata-ratakan tindakan individu dan memberikan nilai
ukuran perbandingan status dan perilaku kelompok. Metode ini tidak memberikan
penjelasan tentang perbedaan yang tidak dapat dijelaskan atau tindakan pribadi
individu di luar keumuman. Metode kualitatif memberikan pandangan di luar dari
analisis statistik tetapi tidak dapat sepenuhnya menjelaskan kecenderungan dan rata-
rata. Metode campuran bisa jadi menghindari kekurangan dari metodologi tunggal.

B. Faktor penting yang mempengaruhi penilaian penyakit/gejala penyakit

C. Konsep "medikalisasi" dan “de-medikalisasi”


Medikalisasi merupakan proses sosial di mana pengalaman atau kondisi
manusia secara budaya didefinisikan sebagai patologis dan karena itu dapat
diobati sebagai kondisi medis. Contoh dampak dari medikalisasi adalah
meningkatnya jumlah diagnosis psikiatri, menopause, obesitas, kebotakan,
anoreksia, gangguan stres pasca trauma, gangguan kecemasan sosial, dan
gangguan tidur. Demedikalisasi, yakni proses ditariknya unsur-unsur medis dari
beberapa ranah kehidupan, misalnya penghapusan homoseksualitas dari daftar
gangguan mental American Psychiatric Association.

D. Pengaruh sosial kunci pada keputusan untuk mencari pelayanan medis


profesional.
Perilaku pencarian pengobatan merupakan proses yang tidak pernah lepas
dari kehidupan manusia karena setiap orang yang hidup tidak terlepas dari
penyakit. Respon seseorang ketika sakit dapat berupa tidak melakukan apa-apa
(no action), tindakan mengobati sendiri (self treatment), mencari pengobatan ke
fasilitas pengobatan tradisional (traditional remedy), dan mencari pengobatan ke
fasilitas pengobatan modern yang disediakan oleh pemerintah atau lembaga
kesehatan swasta dan dokter praktik (Notoatmodjo, 2007).
Perilaku pencarian pengobatan adalah perilaku individu maupun kelompok
atau penduduk untuk melakukan atau mencari pengobatan. Perilaku pencarian
pengobatan di masyarakat sangat bervariasi. Variasi pencarian pengobatan di
masyarakat dipengaruhi dengan jumlah sarana pelayanan kesehatan yang semakin
bertambah serta jenis, metode serta peralatan pelayanan kesehatan yang tersedia
di sarana pelayanan kesehatan juga semakin beragam (Ilyas, 2003).
Perilaku orang yang sakit atau telah terkena masalah kesehatan merupakan
perilaku untuk memperoleh penyembuhan atau pemecahan masalah
kesehatannya. Oleh karena itu perilaku ini juga disebut perilaku pencarian
pelayanan pelayanan kesehatan (health seeking behaviour). Perilaku ini
mencakup tindakantindakan yang diambil seseorang atau anaknya bila sakit atau
terkena masalah kesehatan untuk memperoleh kesembuhan atau terlepasnya dari
masalah kesehatan tersebut. Tempat pencarian kesembuhan ini adalah tempat
atau fasilitas pelayanan, baik fasilitas atau pelayan kesehatan tradisional (dukun,
sinshe atau paranormal), maupun modern, atau profesional (Rumah sakit,
Puskesmas, Poliklinik dan sebagainya) (Julismin dan Hidayat, 2013).

E. Efek primer dari hidup dengan penyakit kronis dan disabilitas

1. Penurunan fungsi kognitif pribadi. Pasien mungkin khawatir bahwa penyakit


mereka akan berkembang ke titik di mana kemampuan fungsi kognitif mereka
mungkin terganggu atau bahwa obat-obatan akan memiliki efek tumpul pada
memori, kemampuan penalaran, dan kapasitas untuk komunikasi.
2. Hilangnya kemandirian pribadi. Banyak orang sangat menghargai
kemerdekaan mereka dan lebih menghargainya ketika terancam.
Ketergantungan pada orang lain mungkin merupakan pemikiran yang
menghancurkan—karena ketidaknyamanan dan, dalam arti yang lebih luas,
gagasan untuk menjadi beban bagi orang lain.
3. Perubahan citra tubuh. Untuk pasien yang penyakitnya menyebabkan
perubahan dramatis pada citra fisik, penyesuaian besar mungkin diperlukan.
Banyak orang memandang diri mereka sebagaifisik sebanyak atau lebih
darilaki-laki makhluk-makhluk; setiap perubahan dalam citra tubuh adalah
signifikan.
4. Penarikan diri dari peran sosial kunci. Karena begitu banyak orang
memperoleh identitas mereka dari pekerjaan mereka, gangguan dalam pola
kerja atau pencapaian pekerjaan sangat mengancam. Jika remunerasi
terpengaruh, beban emosional ekstra dibuat. Penarikan dari tanggung jawab
utama keluarga mungkin menjadi perhatian utama bersama dengan kecemasan
tentang menciptakan.
5. Peningkatan risiko gangguan mental emosional yang sangat besar pada
penderita penyakit kronis atau lebih mungkin terjadi karena merasa integritas
fisiknya terancam sebagai akibat gangguan atau disabilitas fisiologis sehingga
menyebabkan penurunan fungsi sosial. Oleh karena itu, individu tersebut
cenderung menggunakan penyesuaian/pertahanan diri (mekanisme koping)
untuk mengatasi kecemasannya. Akan tetapi, karena mekanisme koping
tersebut berlangsung secara tidak disadari dapat menjadi respons maladaptif
terhadap stres berupa peningkatan risiko gangguan mental emosional
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

 Notoatmodjo, S. Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka Cipta ;2007.

Ilyas Y. Mengenal Asuransi Review Utilisasi, Manajemen Klaim dan Fraud. Depok: Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia; 2003

Julismin and Hidayat, N. (2013) ‘Gambaran Pelayanan dan Perilaku Kesehatan di Indonesia’,
Jurnal Geografi, 5(1), pp. 123–134.

Giri Widakdo. Efek Penyakit Kronis terhadap Gangguan Mental Emosional. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 7, Februari 2013

Geertsen, Reed, et al. "A re-examination of Suchman's views on social factors in health
care utilization." Journal of Health and Social Behavior (1975): 226-237.

Suchman, Edward A. "Social patterns of illness and medical care." Journal of health and
human behavior (1965): 2-16.

Suchman, Edward A. "Stages of illness and medical care." Journal of health and human
behavior (1965): 114-128.

Shelton, Lawrence G. The Bronfenbrenner primer: A guide to develecology. Routledge,


2018.

Young, Jesse Tyler. "Illness behaviour: a selective review and synthesis." Sociology of


health & illness 26.1 (2004): 1-31.

Weiss, Gregory L., and Denise A. Copelton. The sociology of health, healing, and illness.
Routledge, 2020.

Giri Widakdo. Efek Penyakit Kronis terhadap Gangguan Mental Emosional. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 7, Februari 2013

Anda mungkin juga menyukai