POLTEKKES KEMENKES BENGKULU PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN JURUSAN KEPERAWATAN TAHUN AJARAN 2019/2020 BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Sehat dan Sakit
Masalah kesehatan merupakan masalah kompleks yang merupakan resultante dari berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun masalah buatan manusia, sosial budaya, perilaku, populasi penduduk, genetika, dan sebagainya. Derajat kesehatan masyarakat yang disebut sebagai psycho socio somatic health well being, merupakan resultante dari 4 faktor yaitu: 1. Environment atau lingkungan. 2. Behaviour atau perilaku, antara yang pertama dan kedua dihubungkan dengan ecological balance. 3. Heredity atau keturunan yang dipengaruhi oleh populasi, distribusi penduduk, dan sebagainya. 4. Health care service berupa program kesehatan yang bersifat preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif. Dari empat faktor tersebut di atas, lingkungan dan perilaku merupakan faktor yang paling besar pengaruhnya (dominan) terhadap tinggi rendahnya derajat kesehatan masyarakat. Tingkah laku sakit, peranan sakit dan peranan pasien sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kelas sosial, perbedaan suku bangsa dan budaya. Maka ancaman kesehatan yang sama (yang ditentukan secara klinis), bergantung dari variabel-variabel tersebut dapat menimbulkan reaksi yang berbeda di kalangan pasien. Pengertian sakit menurut etiologi naturalistik dapat dijelaskan dari segi impersonal dan sistematik, yaitu bahwa sakit merupakan satu keadaan atau satu hal yang disebabkan oleh gangguan terhadap sistem tubuh manusia. Pernyataan tentang pengetahuan ini dalam tradisi klasik Yunani, India, Cina, menunjukkan model keseimbangan (equilibrium model) seseorang dianggap sehat apabila unsur-unsur utama yaitu panas dingin dalam tubuhnya berada dalam keadaan yang seimbang. Unsur-unsur utama ini tercakup dalam konsep tentang humors, ayurveda dosha, yin dan yang. Departemen Kesehatan RI telah mencanangkan kebijakan baru berdasarkan paradigma sehat. Sedangkan konsep sehat secara umum yang berada di masyarakat yaitu bila seseorang tidak ada gangguan fisik, masih mampu beraktivitas walaupun ada ganggun fisik, masih mampu beraktivitas walaupun ada ganggun psikis, melakukan aktivitas dengan anggota fisik yang tidak lengkap. Konsep sakit secara umum yang berada di masyarakat yaitu bila seseorang tidak mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari, bila fisik terasa tidak nyaman dan benar- benar sakit, bila psikis merasa ada gangguan, bila terdapat ketidakseimbangan antara fisik dengan psikis sehingga tidak mampu mengendalikan aktivitas. B. Peran Sakit Peran adalah satu pola tingkah laku, kepercayaan, nilai, dan sikap yang di harapkan oleh masyarakat pada kondisi tertentu. Seseorang dapat mengalami sakit yang menyebabkan dirinya tidak dapat melakukan kegiatan sosial, dalam kondisi ini seseorang tersebut dikatakan sedang melakukan peran sakit. Sebagian orang memanfaatkan peran sakit untuk mengurangi konflik antara kebutuhan pribadi dan tuntutan peran sosial, contoh orang sakit akan diberi makan yang enak tanpa harus bekerja. Peran sakit dikatakan sebagai bentuk penyimpangan terhadap ketegangan dalam sistem sosial yang dapat di terima masyarakat. Empat peran sakit menurut Talcott Parsons, antara lain sebagai berikut: 1. Orang sakit dibebaskan dari peran, sosial normatif, pembebasan ini sebenarnya relatif, tergantung pada sifat dan tingkat keparahan keadaan sakit tersebut, 2. Orang sakit tidak bertanggung jawab atas keadaannya, keadaan sakit seseorang dianggap di luar kendali, 3. Orang sakit harus berusaha untuk sembuh, 4. Orang sakit harus mencari pengobatan dan bekerjasama dengannya tenaga kesehatan selama proses penyembuhan. Enam peran sakit menurut Sudibyo Supardi, antara lain sebagai berikut: 1. Sakit sebagai upaya untuk menghindari tekanan, kondisi sakit dapat menghindarkan konflik atau ketegangan, 2. Sakit sebagai upaya untuk mendapakan perhatian anggapan masyarakat bahwa sakit harus mendapatkan perhatian khusus, 3. Sakit sebagai kesempatan untuk istirahat sakit dapat mengurangi ketegangan dalam pekerjaan, 4. Sakit sebagai alasan kegagalan, pribadi sakit dapat dijadikan pembenaran diri dari tanggung jawab sehingga mendapat pemakluman, 5. Sakit sebagai penghapus dosa anggapan bahwa sakit merupakan hukuman tuhan dan penghapus dosa, 6. Sakit untuk mendapatkan alat tukar seseorang yang memiliki asuransi kesehatan akan memilih dirawat lebih lama. C. Perilaku Sakit 1. Pengertian Perilaku Sakit Perilaku sakit merupakan perilaku orang sakit yang meliputi cara seseorang memantau tubuhnya, mendefinisikan dan menginterpretasikan gejala yang dialami, melakukan upaya penyembuhan, dan penggunaan sistem pelayanan kesehatan. 2. Penyebab Perilaku Sakit Menurut Mechanic sebagaimana diuraikan oleh Solito Sarwono (1993) bahwa penyebab perilaku sakit itu sebagai berikut : a. Dikenal dan dirasakannya tanda dan gejala yang menyimpang dari keadaan normal, b. Anggapan adanya gejala serius yang dapat menimbulkan bahaya, c. Gejala penyakit dirasakan akan menimbulkan dampak terhadap hubungan keluarga, hubungan kerja, dan kegiatan kemasyarakatan, d. Frekuensi dan persisten (terus-menerus, menetap) tanda dan gejala yang dapat dilihat, e. Kemungkinan individu untuk terserang penyakit, f. Adanya informasi, pengetahuan, dan anggapan budaya tentang penyakit, g. Adanya perbedaan interpretasi tentang gejala penyakit, h. Adanya kebutuhan untuk mengatasi gejala penyakit, i. Tersedianya berbagai sarana pelayanan kesehatan seperti fasilitas, tenaga, obat-obatan, biaya, dan transportasi.
Menurut Sri Kusmiyati dan Desmaniarti (1990), terdapat 7 perilaku
orang sakit yang dapat diamati, yaitu: a. Fearfullness (merasa ketakutan), umumnya individu yang sedang sakit memiliki perasaan takut.Bentuk ketakutannya, meliputi takut penyakitnya tidak sembuh, takut mati, takut mengalami kecacatan, dan takut tidak mendapat pengakuan dari lingkungan sehingga merasa diisolasi. b. Regresi, salah satu perasaan yang timbul pada orang sakit adalah ansietas (kecemasan). Untuk mengatasi kecemasan tersebut, salah satu caranya adalah dengan regresi (menarik diri) dari lingkungannya. c. Egosentris, mengandung arti bahwa perilaku individu yang sakit banyak mempersoalkan tentang dirinya sendiri. Perilaku egosentris, ditandai dengan hal-hal berikut: 1) Hanya ingin menceritakan penyakitnya yang sedang diderita. 2) Tidak ingin mendengarkan persoalan orang lain. 3) Hanya memikirkan penyakitnya sendiri. 4) Senang mengisolasi dirinya baik dari keluarga, lingkungan maupun kegiatan. d. Terlalu memperhatikan persoalan kecil, yaitu perilaku individu yang sakit dengan melebih-lebihkan persoalan kecil.Akibatnya pasien menjadi cerewet, banyak menuntut, dan banyak mengeluh tentang masalah sepele. e. Reaksi emosional tinggi, yaitu perilaku individu yang sakit ditandai dengan sangat sensitif terhadap hal-hal remeh sehingga menyebabkan reaksi emosional tinggi. f. Perubahan perpepsi terhadap orang lain, karena beberapa faktor diatas, seorang penderita sering mengalami perubahan persepsi terhadap orang lain. g. Berkurangnya minat, individu yang menderita sakit di samping memiliki rasa cemas juga kadang-kadang timbul stress. Faktor psikologis inilah salah satu sebab berkurangnya minat sehingga ia tidak mempunyai perhatian terhadap segala sesuatu yang ada di lingkungannya. Berkurangnya minat terutama kurangnya perhatian terhadap sesuatu yang dalam keadaan normal ia tertarik atau berminat terhadap sesuatu. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Sakit a. Faktor Internal 1) Persepsi individu terhadap gejala dan sifat sakit yang dialami, Klien akan segera mencari pertolongan jika gejala tersebut dapat mengganggu rutinitas kegiatan sehari-hari. Misal: Tukang Kayu yang menderitas sakit punggung, jika ia merasa hal tersebut bisa membahayakan dan mengancam kehidupannya maka ia akan segera mencari bantuan. Akan tetapi persepsi seperti itu dapat pula mempunyai akibat yang sebaliknya. Bisa saja orang yang takut mengalami sakit yang serius, akan bereaksi dengan cara menyangkalnya dan tidak mau mencari bantuan. 2) Asal atau jenis penyakit Pada penyakit akut dimana gejala relatif singkat dan berat serta mungkin mengganggu fungsi pada seluruh dimensi yang ada, Maka klien bisanya akan segera mencari pertolongan dan mematuhi program terapi yang diberikan. Sedangkan pada penyakit kronik biasanya berlangsung lama (>6 bulan) sehingga jelas dapat mengganggu fungsi diseluruh dimensi yang ada. Jika penyakit kronik itu tidak dapat disembuhkan dan terapi yang diberikan hanya menghilangkan sebagian gejala yang ada, maka klien mungkin tidak akan termotivasi untuk memenuhi rencana terapi yang ada. b. Faktor Eksternal 1) Gejala yang dapat dilihat Gejala yang terlihat dari suatu penyakit dapat mempengaruhi Citra Tubuh dan Perilaku Sakit. Misalnya: orang yang mengalami bibir kering dan pecah-pecah mungkin akan lebih cepat mencari pertolongan dari pada orang dengan serak tenggorokan, karena mungkin komentar orang lain terhadap gejala bibir pecah-pecah yang dialaminya. 2) Kelompok sosial Kelompok sosial klien akan membantu mengenali ancaman penyakit, atau justru meyangkal potensi terjadinya suatu penyakit. Misalnya: Ada 2 orang wanita, sebut saja Ny. A dan Ny.B berusia 35 tahun yang berasal dari dua kelompok sosial yang berbeda telah menemukan adanya benjolan pada Payudaranya saat melakukan SADARI. Kemudian mereka mendisukusikannya dengan temannya masing-masing. Teman Ny. A mungkin akan mendorong mencari pengobatan untuk menentukan apakah perlu dibiopsi atau tidak; sedangkan teman Ny. B mungkin akan mengatakan itu hanyalah benjolan biasa dan tidak perlu diperiksakan ke dokter. 3) Latar belakang budaya Latar belakang budaya dan etik mengajarkan sesorang bagaimana menjadi sehat, mengenal penyakit, dan menjadi sakit. Dengan demikian perawat perlu memahami latar belakang budaya yang dimiliki klien. 4) Ekonomi Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang biasanya ia akan lebih cepat tanggap terhadap gejala penyakit yang ia rasakan. Sehingga ia akan segera mencari pertolongan ketika merasa ada gangguan pada kesehatannya. 5) Kemudahan akses terhadap sistem pelayanan Dekatnya jarak klien dengan RS, klinik atau tempat pelayanan medis lain sering mempengaruhi kecepatan mereka dalam memasuki sistem pelayanan kesehatan. Demikian pula beberapa klien enggan mencari pelayanan yang kompleks dan besar dan mereka lebih suka untuk mengunjungi Puskesmas yang tidak membutuhkan prosedur yang rumit. 6) Dukungan sosial Dukungan sosial disini meliputi beberapa institusi atau perkumpulan yang bersifat peningkatan kesehatan.Di institusi tersebut dapat dilakukan berbagai kegiatan, seperti seminar kesehatan, pendidikan dan pelatihan kesehatan, latihan (aerobik, senam POCO-POCO dll). 4. Tahap Tahap Perilaku Sakit a. Tahap I (Mengalami Gejala) Pada tahap ini pasien menyadari bahwa “ada sesuatu yang salah”. Mereka mengenali sensasi atau keterbatasan fungsi fisik tetapi belum menduga adanya diagnosa tertentu. Persepsi individu terhadap suatu gejala meliputi: (a) kesadaran terhadap perubahan fisik (nyeri, benjolan, dll); (b) evaluasi terhadap perubahan yang terjadi dan memutuskan apakah hal tersebut merupakan suatu gejala penyakit; (c) respon emosional. Jika gejala itu dianggap merupakan suatu gejal penyakit dan dapat mengancam kehidupannya maka ia akan segera mencari pertolongan. b. Tahap II (Asumsi Tentang Peran Sakit) Terjadi jika gejala menetap atau semakin berat. Orang yang sakit akan melakukan konfirmasi kepada keluarga, orang terdekat atau kelompok sosialnya bahwa ia benar-benar sakit sehingga harus diistirahatkan dari kewajiban normalnya dan dari harapan terhadap perannya. Menimbulkan perubahan emosional seperti menarik diri atau depresi, dan juga perubahan fisik. Perubahan emosional yang terjadi bisa kompleks atau sederhana tergantung beratnya penyakit, tingkat ketidakmampuan, dan perkiraan lama sakit. Seseorang awalnya menyangkal pentingnya intervensi dari pelayanan kesehatan, sehingga ia menunda kontak dengan sistem akan tetapi jika gejala itu menetap dan semakin memberatpelayanan kesehatan maka ia akan segera melakukan kontak dengan sistem pelayanan kesehatan dan berubah menjadi seorang klien c. Tahap III (Kontak dengan Pelayanan Kesehatan) Pada tahap ini klien mencari kepastian penyakit dan pengobatan dari seorang ahli, mencari penjelasan mengenai gejala yang dirasakan, penyebab penyakit, dan implikasi penyakit terhadap kesehatan dimasa yang akan datang. Profesi kesehatan mungkin akan menentukan bahwa mereka tidak menderita suatu penyakit atau justru menyatakan jika mereka menderita penyakit yang bisa mengancam kehidupannya. klien bisa menerima atau menyangkal diagnosa tersebut. Bila klien menerima diagnosa mereka akan mematuhi rencana pengobatan yang telah ditentukan, akan tetapi jika menyangkal mereka mungkin akan mencari sistem pelayanan kesehatan lain, atau berkonsultasi dengan beberapa pemberi pelayanan kesehatan lain sampai mereka menemukan orang yang membuat diagnosa sesuai dengan keinginannya atau sampai mereka menerima diagnosa awal yang telah ditetapkan. Klien yang merasa sakit, tapi dinyatakan sehat oleh profesi kesehatan, mungkin ia akan mengunjungi profesi kesehatan lain sampai ia memperoleh diagnosa yang diinginkan. Klien yang sejak awal didiagnosa penyakit tertentu, terutama yang mengancam kelangsungan hidup, ia akan mencari profesi kesehatan lain untuk meyakinkan bahwa kesehatan atau kehidupan mereka tidak terancam. Misalnya: klien yang didiagnosa mengidap kanker, maka ia akan mengunjungi beberapa dokter sebagai usaha klien menghindari diagnosa yang sebenarnya. d. Tahap IV (Peran Klien Dependen) Pada tahap ini klien menerima keadaan sakitnya, sehingga klien bergantung pada pada pemberi pelayanan kesehatan untuk menghilangkan gejala yang ada Klien menerima perawatan, simpati, atau perlindungan dari berbagai tuntutan dan stress hidupnya. Secara sosial klien diperbolehkan untuk bebas dari kewajiban dan tugas normalnya semakin parah sakitnya, semakin bebas. Pada tahap ini klien juga harus menyesuaikannya dengan perubahan jadwal sehari- hari. Perubahan ini jelas akan mempengaruhi peran klien di tempat ia bekerja, rumah maupun masyarakat e. Tahap V (Pemulihan dan Rehabilitasi) Merupakan tahap akhir dari perilaku sakit, dan dapat terjadi secara tiba-tiba, misalnya penurunan demam. Penyembuhan yang tidak cepat, menyebabkan seorang klien butuh perawatan lebih lama sebelum kembali ke fungsi optimal, misalnya pada penyakit kronis. 5. Dampak Perilaku Sakit a. Terhadap Perilaku dan Emosi Klien Setiap orang memiliki reaksi yang berbeda-beda tergantung pada asal penyakit, reaksi orang lain terhadap penyakit yang dideritanya, dan lain-lain.Penyakit dengan jangka waktu yang singkat dan tidak mengancam kehidupannya akan menimbulkan sedikit perubahan perilaku dalam fungsi klien dan keluarga. Misalnya seorang Ayah yang mengalami demam, mungkin akan mengalami penurunan tenaga atau kesabaran untuk menghabiskan waktunya dalam kegiatan keluarga dan mungkin akan menjadi mudah marah, dan lebih memilih menyendiri. Sedangkan penyakit berat, apalagi jika mengancam kehidupannya.dapat menimbulkan perubahan emosi dan perilaku yang lebih luas, seperti ansietas, syok, penolakan, marah, dan menarikd diri. Perawat berperan dalam mengembangkan koping klien dan keluarga terhadap stress, karena stressor sendiri tidak bisa dihilangkan. b. Terhadap Peran Keluarga Setiap orang memiliki peran dalam kehidupannya, seperti pencari nafkah, pengambil keputusan, seorang profesional, atau sebagai orang tua.Saat mengalami penyakit, peran-peran klien tersebut dapat mengalami perubahan. Perubahan tersebut mungkin tidak terlihat dan berlangsung singkat atau terlihat secara drastis dan berlangsung lama.Individu / keluarga lebih mudah beradaftasi dengan perubahan yang berlangsung singkat dan tidak terlihat. Perubahan klien tidak mengalami tahap penyesuaian yang berkepanjangan. Dalam angka pendek klien memerlukan proses penyesuaian. Akan tetapi pada perubahan jangka penjang yang sama dengan “Tahap Berduka”. Peran perawat adalah melibatkan keluarga dalam pembuatan rencana keperawatan. c. Terhadap Citra Tubuh Citra tubuh merupakan konsep subjektif seseorang terhadap penampilan fisiknya. Beberapa penyakit dapat menimbulkan perubahan dalam penampilan fisiknya, dan klien/keluarga akan bereaksi dengan cara yang berbeda-beda terhadap perubahan tersebut. Reaksi klien dan keluarga tethadap perubahan gambaran tubuh itu tergantung pada: 1) Jenis perubahan misalnya seperti kehilangan tangan, alat indera tertentu, atau organ tertentu. 2) Kapasitas adaptasi 3) Kecepatan perubahan 4) Dukungan yang tersedia. d. Terhadap Konsep Diri Konsep Diri adalah citra mental seseorang terhadap dirinya sendiri, mencakup bagaimana mereka melihat kekuatan dan kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya. Konsep diri tidak hanya bergantung pada gambaran tubuh dan peran yang dimilikinya tetapi juga bergantung pada aspek psikologis dan spiritual diri.Perubahan konsep diri akibat sakit mungkin bersifat kompleks dan kurang bisa terobservasi dibandingkan perubahan peran. Konsep diri berperan penting dalam hubungan seseorang dengan anggota keluarganya yang lain. Klien yang mengalami perubahan konsep diri karena sakitnya mungkin tidak mampu lagi memenuhi harapan keluarganya, yang akhirnya menimbulkan ketegangan dan konflik. Akibatnya anggiota keluarga akan merubah interaksi mereka dengan klien.Misal: Klien tidak lagi terlibat dalam proses pengambilan keputusan dikeluarga atau tidak akan merasa mampu memberi dukungan emosi pada klien akan merasaanggota keluarganya yang lain atau kepada teman-temannya kehilangan fungsi sosialnya. Perawat seharusnya mampu mengobservasi perubahan konsep diri klien, dengan mengembangkan rencana perawatan yann membantu mereka menyesuaikan diri dengan akibat dan kondisi yang dialami klien. e. Terhadap Dinamika Keluarga Jika penyakitnya berkepanjangan, seringkali keluarga harus membuat pola fungsi yang baru sehingga bisa menimbulkan stress emosional.Misal: anak kecil akan mengalami rasa kehilangan yang besar jika salah satu orang tuanya tidak mampu memberikan kasih sayang dan rasa aman pada mereka. Atau jika anaknya sudah dewasa maka seringkali ia harus menggantikan peran mereka sebagai mereka termasuk kalau perlu sebagai pencari nafkah. D. Respon Nyeri atau Sakit Pasien 1. Pengertian Nyeri Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Teori Specificity “suggest” menyatakan bahwa Nyeri adalah sensori spesifik yang muncul karena adanya injury, dan informasi ini didapat melalui sistem saraf perifer dan sentral melalui reseptor nyeri di saraf nyeri perifer dan spesifik di spinal cord. Secara umum Keperawatan mendefinisikan Nyeri sebagai apapun yang menyakitkan tubuh, yang dikatakan individu yang mengalaminya, dan yang ada kapanpun individu mengatakannya. 2. Fisiologi Nyeri Banyak teori berusaha untuk menjelaskan dasar neurologis dari nyeri, meskipun tidak ada satu teori yang menjelaskan secara sempurna bagaimana nyeri ditransmisikan atau diserap. Untuk memudahkan memahami fisiologi nyeri, maka perlu mempelajari 3 (tiga) komponen fisiologis berikut ini: a. Resepsi : proses perjalanan nyeri b. Persepsi : kesadaran seseorang terhadap nyeri c. Reaksi : respon fisiologis & perilaku setelah mempersepsikan nyeri Resepsi Adanya stimulus yang mengenai tubuh (mekanik, termal, kimia) akan menyebabkan pelepasan substansi kimia seperti histamin, bradikinin, kalium. Substansi tersebut menyebabkan nosiseptor bereaksi, apabila nosiseptor mencapai ambang nyeri, maka akan timbul impuls syaraf yang akan dibawa oleh serabut saraf perifer. Serabut syaraf perifer yang akan membawa impuls syaraf ada dua jenis, yaitu serabut A-delta dan serabut C. impuls syaraf akan di bawa sepanjang serabut syaraf sampai ke kornu dorsalis medulla spinalis. Impuls syaraf tersebut akan menyebabkan kornu dorsalis melepaskan neurotrasmiter (substansi P). Substansi P ini menyebabkan transmisi sinapis dari saraf perifer ke saraf traktus spinotalamus. Hal ini memungkinkan impuls syaraf ditransmisikan lebih jauh ke dalam system saraf pusat. Setelah impuls syaraf sampai di otak, otak mengolah impuls syaraf kemudian akan timbul respon reflek protekti. Contoh: Apabila tangan terkena setrika, maka akan merasakan sensasi terbakar, tangan juga melakukan reflek dengan menarik tangan dari permukaan setrika. Proses ini akan berjalan jika system saraf perifer dan medulla spinalis utuh atau berfungsi normal. Persepsi Fase ini merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri, pada saat individu menjadi sadar akan nyeri, maka akan terjadi reaksi yang komplek. Persepsi menyadarkan individu dan mengartikan nyeri itu sehingga kemudian individudapat bereaksi Proses persepsi secara ringkas adalah sebagai berikut: Stimulus Nyeri Medula Spinalis Talamus Otak (area limbik) Reaksi emosi Pusat otak, Persepsi Stimulus nyeri ditransmisikan ke medula spinalis, naik ke talamus, selanjutnya serabut mentrasmisikan nyeri ke seluruh bagian otak, termasuk area limbik. Area ini mengandung sel-sel yang yang bisa mengontrol emosi (khususnya ansietas). Area limbik yang akan berperan dalam memproses reaksi emosi terhadap nyeri. Setelah transmisi syaraf berakhir di pusat otak, maka individu akan mempersepsikan nyeri. Reaksi Reaksi terhadap nyeri merupakan respon fisioligis dan perilaku yang terjadi setelah mempersepsikan nyeri. Nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang dan nyeri yang superfisial menimbulkan reaksi ”flight atau fight”, yang merupakan sindrom adaptasi umum. Stimulasi pada cabang simpatis pada saraf otonom menghasilkan respon fisiologis, apabilanyeri berlangsung terus menerus, maka sistem parasimpatis akan bereaksi. Secara ringkas proses reaksi adalah sebagai berikut: Impuls nyeri medula spinalis batang otak & talamus Sistem syaraf otonom Respon fisiologis & perilaku Impuls nyeri ditransmisikan ke medula spinalis menutju ke batang otak dan talamus. Sistem saraf otonom menjadi terstimulasi, saraf simpatis dan parasimpatis bereaksi, maka akan timbul respon fisiologis dan akan muncul perilaku. 3. Respon Tingkah Laku Terhadap Nyeri Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup: a. Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur) b. Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir) c. Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan d. Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri) Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri. 4. Fase Pengalaman Nyeri Menurut Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 Fase Pengalaman Nyeri, antara lain: a. Fase Antisipasi Terjadi Sebelum Nyeri Diterima. Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinnkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien. Contoh: sebelum dilakukan tindakan bedah, perawat menjelaskan tentang nyeri yang nantinya akan dialami oleh klien pasca pembedahan, dengan begitu klien akan menjadi lebih siap dengan nyeri yang nanti akan dihadapi. b. Fase Sensasi Terjadi Saat Nyeri Terasa. Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. c. Fase Akibat (Aftermath) Terjadi Saat Nyeri Berkurang atau Berhenti Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat ((aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang 5. Faktor yang Mempengaruhi Nyeri a. Usia Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan. b. Jenis Kelamin Laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya. Misalnya tidak pantas laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri. c. Kultur Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri. Misalnya suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri). d. Makna Nyeri Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya e. Perhatian Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsinyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri. f. Ansietas Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri juga bisa menyebabkan seseorang cemas. g. Pengalaman Masa Lalu Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri. h. Pola Koping Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri. i. Support Keluarga dan Sosial Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan dan perlindungan.