Anda di halaman 1dari 17

PERAN DAN PERILAKU PASIEN

DAN RESPON SAKIT/NYERI PASIEN

DISUSUN OLEH :

NAMA : INONG REJA FADILLA

NIM : P05120319018

DOSEN PEMBIMBING :
Ns. Hendri Heriyanto., M.Kep

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES BENGKULU
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2019/2020
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sehat dan Sakit


Masalah kesehatan merupakan masalah kompleks yang merupakan
resultante dari berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun
masalah buatan manusia, sosial budaya, perilaku, populasi penduduk,
genetika, dan sebagainya. Derajat kesehatan masyarakat yang disebut sebagai
psycho socio somatic health well being, merupakan resultante dari 4 faktor
yaitu:
1. Environment atau lingkungan.
2. Behaviour atau perilaku, antara yang pertama dan kedua dihubungkan
dengan  ecological balance.
3. Heredity atau keturunan yang dipengaruhi oleh populasi, distribusi
penduduk, dan sebagainya.
4. Health care service berupa program kesehatan yang bersifat preventif,
promotif,  kuratif, dan rehabilitatif.
Dari empat faktor tersebut di atas, lingkungan dan perilaku  merupakan
faktor yang paling besar pengaruhnya (dominan)  terhadap tinggi rendahnya
derajat kesehatan masyarakat.  Tingkah laku sakit, peranan sakit dan peranan
pasien sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kelas sosial, perbedaan
suku bangsa dan budaya. Maka ancaman kesehatan yang sama (yang
ditentukan secara klinis), bergantung dari  variabel-variabel tersebut dapat
menimbulkan reaksi yang berbeda di kalangan pasien.
Pengertian sakit menurut etiologi naturalistik dapat dijelaskan dari segi
impersonal dan sistematik, yaitu bahwa sakit merupakan satu keadaan atau
satu hal yang disebabkan oleh gangguan terhadap sistem tubuh manusia.
Pernyataan tentang pengetahuan ini dalam tradisi klasik Yunani, India, Cina,
menunjukkan model keseimbangan (equilibrium model) seseorang dianggap
sehat apabila unsur-unsur utama yaitu panas dingin dalam tubuhnya berada
dalam keadaan yang seimbang. Unsur-unsur utama ini tercakup dalam konsep
tentang humors, ayurveda dosha, yin dan yang. Departemen Kesehatan RI
telah mencanangkan kebijakan baru berdasarkan paradigma sehat.
Sedangkan konsep sehat secara umum yang berada di masyarakat yaitu
bila seseorang tidak ada gangguan fisik, masih mampu beraktivitas walaupun
ada ganggun fisik, masih mampu beraktivitas walaupun ada ganggun psikis,
melakukan aktivitas dengan anggota fisik yang tidak lengkap. Konsep sakit
secara umum yang berada di masyarakat yaitu bila seseorang tidak mampu
melaksanakan aktivitas sehari-hari, bila fisik terasa tidak nyaman dan benar-
benar sakit, bila psikis merasa ada gangguan, bila terdapat ketidakseimbangan
antara fisik dengan psikis sehingga tidak mampu mengendalikan aktivitas.
B. Peran Sakit
Peran adalah satu pola tingkah laku, kepercayaan, nilai, dan sikap yang di
harapkan oleh masyarakat  pada kondisi tertentu. Seseorang dapat mengalami
sakit yang menyebabkan dirinya tidak dapat melakukan kegiatan sosial,
dalam kondisi ini seseorang tersebut dikatakan sedang melakukan peran sakit.
Sebagian orang memanfaatkan peran sakit untuk mengurangi konflik antara
kebutuhan pribadi dan tuntutan peran sosial, contoh orang sakit akan diberi
makan yang enak tanpa harus bekerja. Peran sakit dikatakan sebagai bentuk
penyimpangan terhadap ketegangan dalam sistem sosial yang dapat di terima
masyarakat.
Empat peran sakit menurut Talcott Parsons, antara lain sebagai berikut:
1. Orang sakit dibebaskan dari peran, sosial normatif, pembebasan ini
sebenarnya relatif, tergantung pada sifat dan tingkat keparahan keadaan
sakit tersebut,
2. Orang sakit tidak bertanggung jawab atas keadaannya, keadaan sakit
seseorang dianggap di luar kendali,
3. Orang sakit harus berusaha untuk sembuh,
4. Orang sakit harus mencari pengobatan dan bekerjasama dengannya tenaga
kesehatan selama proses penyembuhan.
Enam peran sakit menurut Sudibyo Supardi, antara lain sebagai berikut:
1. Sakit sebagai upaya untuk menghindari tekanan, kondisi sakit dapat
menghindarkan konflik atau ketegangan,
2. Sakit sebagai upaya untuk mendapakan perhatian anggapan masyarakat
bahwa sakit harus mendapatkan perhatian khusus,
3. Sakit sebagai kesempatan untuk istirahat sakit dapat mengurangi
ketegangan dalam pekerjaan,
4. Sakit sebagai alasan kegagalan, pribadi sakit dapat dijadikan pembenaran
diri dari tanggung jawab sehingga mendapat pemakluman,
5. Sakit sebagai penghapus dosa anggapan bahwa sakit merupakan hukuman
tuhan dan penghapus dosa,
6. Sakit untuk mendapatkan alat tukar seseorang yang memiliki asuransi
kesehatan akan memilih dirawat lebih lama.
C. Perilaku Sakit
1. Pengertian Perilaku Sakit
Perilaku sakit merupakan perilaku orang sakit yang meliputi cara
seseorang memantau tubuhnya, mendefinisikan dan menginterpretasikan
gejala yang dialami, melakukan upaya penyembuhan, dan penggunaan
sistem pelayanan kesehatan.
2. Penyebab Perilaku Sakit
Menurut Mechanic sebagaimana diuraikan oleh Solito Sarwono
(1993) bahwa penyebab perilaku sakit itu sebagai berikut :
a. Dikenal dan dirasakannya tanda dan gejala yang menyimpang dari
keadaan normal,
b. Anggapan adanya gejala serius yang dapat menimbulkan bahaya,
c. Gejala penyakit dirasakan akan menimbulkan dampak terhadap
hubungan keluarga, hubungan kerja, dan kegiatan kemasyarakatan,
d. Frekuensi dan persisten (terus-menerus, menetap) tanda dan gejala
yang dapat dilihat,
e. Kemungkinan individu untuk terserang penyakit,
f. Adanya informasi, pengetahuan, dan anggapan budaya tentang
penyakit,
g. Adanya perbedaan interpretasi tentang gejala penyakit,
h. Adanya kebutuhan untuk mengatasi gejala penyakit,
i. Tersedianya berbagai sarana pelayanan kesehatan seperti fasilitas,
tenaga, obat-obatan, biaya, dan transportasi.

Menurut Sri Kusmiyati dan Desmaniarti (1990), terdapat 7 perilaku


orang sakit yang dapat diamati, yaitu:
a. Fearfullness (merasa ketakutan), umumnya individu yang sedang sakit
memiliki perasaan takut.Bentuk ketakutannya, meliputi takut
penyakitnya tidak sembuh, takut mati, takut mengalami kecacatan,
dan takut tidak mendapat pengakuan dari lingkungan sehingga merasa
diisolasi.
b. Regresi, salah satu perasaan yang timbul pada orang sakit adalah
ansietas (kecemasan). Untuk mengatasi kecemasan tersebut, salah satu
caranya adalah dengan regresi (menarik diri) dari lingkungannya.
c. Egosentris, mengandung arti bahwa perilaku individu yang sakit
banyak mempersoalkan tentang dirinya sendiri. Perilaku egosentris,
ditandai dengan hal-hal berikut:
1) Hanya ingin menceritakan penyakitnya yang sedang diderita.
2) Tidak ingin mendengarkan persoalan orang lain.
3) Hanya memikirkan penyakitnya sendiri.
4) Senang mengisolasi dirinya baik dari keluarga, lingkungan maupun
kegiatan.
d. Terlalu memperhatikan persoalan kecil, yaitu perilaku individu yang
sakit dengan melebih-lebihkan persoalan kecil.Akibatnya pasien
menjadi cerewet, banyak menuntut, dan banyak mengeluh tentang
masalah sepele.
e.  Reaksi emosional tinggi, yaitu perilaku individu yang sakit ditandai
dengan sangat sensitif terhadap hal-hal remeh sehingga menyebabkan
reaksi emosional tinggi.
f.  Perubahan perpepsi terhadap orang lain, karena beberapa faktor diatas,
seorang penderita sering mengalami perubahan persepsi terhadap
orang lain.
g.  Berkurangnya minat, individu yang menderita sakit di samping
memiliki rasa cemas juga kadang-kadang timbul stress. Faktor
psikologis inilah salah satu sebab berkurangnya minat sehingga ia
tidak mempunyai perhatian terhadap segala sesuatu yang ada di
lingkungannya. Berkurangnya minat terutama kurangnya perhatian
terhadap sesuatu yang dalam keadaan normal ia tertarik atau berminat
terhadap sesuatu.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Sakit
a. Faktor Internal
1) Persepsi individu terhadap gejala dan sifat sakit yang dialami,
Klien akan segera mencari pertolongan jika gejala tersebut
dapat mengganggu rutinitas kegiatan sehari-hari. Misal: Tukang
Kayu yang menderitas sakit punggung, jika ia merasa hal tersebut
bisa membahayakan dan mengancam kehidupannya maka ia akan
segera mencari bantuan. Akan tetapi persepsi seperti itu dapat pula
mempunyai akibat yang sebaliknya. Bisa saja orang yang takut
mengalami sakit yang serius, akan bereaksi dengan cara
menyangkalnya dan tidak mau mencari bantuan.
2) Asal atau jenis penyakit
Pada penyakit akut dimana gejala relatif singkat dan berat serta
mungkin mengganggu fungsi pada seluruh dimensi yang ada,
Maka klien bisanya akan segera mencari pertolongan dan
mematuhi program terapi yang diberikan. Sedangkan pada
penyakit kronik biasanya berlangsung lama (>6 bulan) sehingga
jelas dapat mengganggu fungsi diseluruh dimensi yang ada. Jika
penyakit kronik itu tidak dapat disembuhkan dan terapi yang
diberikan hanya menghilangkan sebagian gejala yang ada, maka
klien mungkin tidak akan termotivasi untuk memenuhi rencana
terapi yang ada.
b. Faktor Eksternal
1) Gejala yang dapat dilihat
Gejala yang terlihat dari suatu penyakit dapat mempengaruhi
Citra Tubuh dan Perilaku Sakit. Misalnya: orang yang mengalami
bibir kering dan pecah-pecah mungkin akan lebih cepat mencari
pertolongan dari pada orang dengan serak tenggorokan, karena
mungkin komentar orang lain terhadap gejala bibir pecah-pecah
yang dialaminya.
2) Kelompok sosial
Kelompok sosial klien akan membantu mengenali ancaman
penyakit, atau justru meyangkal potensi terjadinya suatu penyakit.
Misalnya: Ada 2 orang wanita, sebut saja Ny. A dan Ny.B berusia
35 tahun yang berasal dari dua kelompok sosial yang berbeda telah
menemukan adanya benjolan pada Payudaranya saat melakukan
SADARI. Kemudian mereka mendisukusikannya dengan temannya
masing-masing. Teman Ny. A mungkin akan mendorong mencari
pengobatan untuk menentukan apakah perlu dibiopsi atau tidak;
sedangkan teman Ny. B mungkin akan mengatakan itu hanyalah
benjolan biasa dan tidak perlu diperiksakan ke dokter.
3) Latar belakang budaya
Latar belakang budaya dan etik mengajarkan sesorang
bagaimana menjadi sehat, mengenal penyakit, dan menjadi sakit.
Dengan demikian perawat perlu memahami latar belakang budaya
yang dimiliki klien.
4) Ekonomi
Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang biasanya ia akan
lebih cepat tanggap terhadap gejala penyakit yang ia rasakan.
Sehingga ia akan segera mencari pertolongan ketika merasa ada
gangguan pada kesehatannya.
5) Kemudahan akses terhadap sistem pelayanan
Dekatnya jarak klien dengan RS, klinik atau tempat pelayanan
medis lain sering mempengaruhi kecepatan mereka dalam
memasuki sistem pelayanan kesehatan. Demikian pula beberapa
klien enggan mencari pelayanan yang kompleks dan besar dan
mereka lebih suka untuk mengunjungi Puskesmas yang tidak
membutuhkan prosedur yang rumit.
6) Dukungan sosial
Dukungan sosial disini meliputi beberapa institusi atau
perkumpulan yang bersifat peningkatan kesehatan.Di institusi
tersebut dapat dilakukan berbagai kegiatan, seperti seminar
kesehatan, pendidikan dan pelatihan kesehatan, latihan (aerobik,
senam POCO-POCO dll).
4. Tahap Tahap Perilaku Sakit
a. Tahap I (Mengalami Gejala)
Pada tahap ini pasien menyadari bahwa “ada sesuatu yang salah”.
Mereka mengenali sensasi atau keterbatasan fungsi fisik tetapi belum
menduga adanya diagnosa tertentu. Persepsi individu terhadap suatu
gejala meliputi: (a) kesadaran terhadap perubahan fisik (nyeri,
benjolan, dll); (b) evaluasi terhadap perubahan yang terjadi dan
memutuskan apakah hal tersebut merupakan suatu gejala penyakit; (c)
respon emosional. Jika gejala itu dianggap merupakan suatu gejal
penyakit dan dapat mengancam kehidupannya maka ia akan segera
mencari pertolongan.
b. Tahap II (Asumsi Tentang Peran Sakit)
Terjadi jika gejala menetap atau semakin berat. Orang yang sakit
akan melakukan konfirmasi kepada keluarga, orang terdekat atau
kelompok sosialnya bahwa ia benar-benar sakit sehingga harus
diistirahatkan dari kewajiban normalnya dan dari harapan terhadap
perannya.
Menimbulkan perubahan emosional seperti menarik diri atau
depresi, dan juga perubahan fisik. Perubahan emosional yang terjadi
bisa kompleks atau sederhana tergantung beratnya penyakit, tingkat
ketidakmampuan, dan perkiraan lama sakit. Seseorang awalnya
menyangkal pentingnya intervensi dari pelayanan kesehatan, sehingga
ia menunda kontak dengan sistem akan tetapi jika gejala itu menetap
dan semakin memberatpelayanan kesehatan maka ia akan segera
melakukan kontak dengan sistem pelayanan kesehatan dan berubah
menjadi seorang klien
c. Tahap III (Kontak dengan Pelayanan Kesehatan)
Pada tahap ini klien mencari kepastian penyakit dan pengobatan
dari seorang ahli, mencari penjelasan mengenai gejala yang dirasakan,
penyebab penyakit, dan implikasi penyakit terhadap kesehatan dimasa
yang akan datang. Profesi kesehatan mungkin akan menentukan
bahwa mereka tidak menderita suatu penyakit atau justru menyatakan
jika mereka menderita penyakit yang bisa mengancam kehidupannya.
klien bisa menerima atau menyangkal diagnosa tersebut.
Bila klien menerima diagnosa mereka akan mematuhi rencana
pengobatan yang telah ditentukan, akan tetapi jika menyangkal
mereka mungkin akan mencari sistem pelayanan kesehatan lain, atau
berkonsultasi dengan beberapa pemberi pelayanan kesehatan lain
sampai mereka menemukan orang yang membuat diagnosa sesuai
dengan keinginannya atau sampai mereka menerima diagnosa awal
yang telah ditetapkan. Klien yang merasa sakit, tapi dinyatakan sehat
oleh profesi kesehatan, mungkin ia akan mengunjungi profesi
kesehatan lain sampai ia memperoleh diagnosa yang diinginkan. Klien
yang sejak awal didiagnosa penyakit tertentu, terutama yang
mengancam kelangsungan hidup, ia akan mencari profesi kesehatan
lain untuk meyakinkan bahwa kesehatan atau kehidupan mereka tidak
terancam. Misalnya: klien yang didiagnosa mengidap kanker, maka ia
akan mengunjungi beberapa dokter sebagai usaha klien menghindari
diagnosa yang sebenarnya.
d. Tahap IV (Peran Klien Dependen)
Pada tahap ini klien menerima keadaan sakitnya, sehingga klien
bergantung pada pada pemberi pelayanan kesehatan untuk
menghilangkan gejala yang ada Klien menerima perawatan, simpati,
atau perlindungan dari berbagai tuntutan dan stress hidupnya. Secara
sosial klien diperbolehkan untuk bebas dari kewajiban dan tugas
normalnya semakin parah sakitnya, semakin bebas. Pada tahap ini
klien juga harus menyesuaikannya dengan perubahan jadwal sehari-
hari. Perubahan ini jelas akan mempengaruhi peran klien di tempat ia
bekerja, rumah maupun masyarakat
e. Tahap V (Pemulihan dan Rehabilitasi)
Merupakan tahap akhir dari perilaku sakit, dan dapat terjadi secara
tiba-tiba, misalnya penurunan demam. Penyembuhan yang tidak cepat,
menyebabkan seorang klien butuh perawatan lebih lama sebelum
kembali ke fungsi optimal, misalnya pada penyakit kronis.
5. Dampak Perilaku Sakit
a. Terhadap Perilaku dan Emosi Klien
Setiap orang memiliki reaksi yang berbeda-beda tergantung pada
asal penyakit, reaksi orang lain terhadap penyakit yang dideritanya,
dan lain-lain.Penyakit dengan jangka waktu yang singkat dan tidak
mengancam kehidupannya akan menimbulkan sedikit perubahan
perilaku dalam fungsi klien dan keluarga. Misalnya seorang Ayah
yang mengalami demam, mungkin akan mengalami penurunan tenaga
atau kesabaran untuk menghabiskan waktunya dalam kegiatan
keluarga dan mungkin akan menjadi mudah marah, dan lebih memilih
menyendiri.
Sedangkan penyakit berat, apalagi jika mengancam
kehidupannya.dapat menimbulkan perubahan emosi dan perilaku yang
lebih luas, seperti ansietas, syok, penolakan, marah, dan menarikd diri.
Perawat berperan dalam mengembangkan koping klien dan keluarga
terhadap stress, karena stressor sendiri tidak bisa dihilangkan.
b. Terhadap Peran Keluarga
Setiap orang memiliki peran dalam kehidupannya, seperti pencari
nafkah, pengambil keputusan, seorang profesional, atau sebagai orang
tua.Saat mengalami penyakit, peran-peran klien tersebut dapat
mengalami perubahan. Perubahan tersebut mungkin tidak terlihat dan
berlangsung singkat atau terlihat secara drastis dan berlangsung
lama.Individu / keluarga lebih mudah beradaftasi dengan perubahan
yang berlangsung singkat dan tidak terlihat.
Perubahan klien tidak mengalami tahap penyesuaian yang
berkepanjangan. Dalam angka pendek klien memerlukan proses
penyesuaian. Akan tetapi pada perubahan jangka penjang yang sama
dengan “Tahap Berduka”. Peran perawat adalah melibatkan keluarga
dalam pembuatan rencana keperawatan.
c. Terhadap Citra Tubuh
Citra tubuh merupakan konsep subjektif seseorang terhadap
penampilan fisiknya. Beberapa penyakit dapat menimbulkan
perubahan dalam penampilan fisiknya, dan klien/keluarga akan
bereaksi dengan cara yang berbeda-beda terhadap perubahan tersebut.
Reaksi klien dan keluarga tethadap perubahan gambaran tubuh itu
tergantung pada:
1) Jenis perubahan misalnya seperti kehilangan tangan, alat indera
tertentu, atau organ tertentu.
2) Kapasitas adaptasi
3) Kecepatan perubahan
4) Dukungan yang tersedia.
d. Terhadap Konsep Diri
Konsep Diri adalah citra mental seseorang terhadap dirinya sendiri,
mencakup bagaimana mereka melihat kekuatan dan kelemahannya
pada seluruh aspek kepribadiannya. Konsep diri tidak hanya
bergantung pada gambaran tubuh dan peran yang dimilikinya tetapi
juga bergantung pada aspek psikologis dan spiritual diri.Perubahan
konsep diri akibat sakit mungkin bersifat kompleks dan kurang bisa
terobservasi dibandingkan perubahan peran.
Konsep diri berperan penting dalam hubungan seseorang dengan
anggota keluarganya yang lain. Klien yang mengalami perubahan
konsep diri karena sakitnya mungkin tidak mampu lagi memenuhi
harapan keluarganya, yang akhirnya menimbulkan ketegangan dan
konflik. Akibatnya anggiota keluarga akan merubah interaksi mereka
dengan klien.Misal: Klien tidak lagi terlibat dalam proses
pengambilan keputusan dikeluarga atau tidak akan merasa mampu
memberi dukungan emosi pada klien akan merasaanggota
keluarganya yang lain atau kepada teman-temannya kehilangan
fungsi sosialnya. Perawat seharusnya mampu mengobservasi
perubahan konsep diri klien, dengan mengembangkan rencana
perawatan yann membantu mereka menyesuaikan diri dengan akibat
dan kondisi yang dialami klien.
e. Terhadap Dinamika Keluarga
Jika penyakitnya berkepanjangan, seringkali keluarga harus
membuat pola fungsi yang baru sehingga bisa menimbulkan stress
emosional.Misal: anak kecil akan mengalami rasa kehilangan yang
besar jika salah satu orang tuanya tidak mampu memberikan kasih
sayang dan rasa aman pada mereka. Atau jika anaknya sudah dewasa
maka seringkali ia harus menggantikan peran mereka sebagai mereka
termasuk kalau perlu sebagai pencari nafkah.
D. Respon Nyeri atau Sakit Pasien
1. Pengertian Nyeri
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri
adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang
didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau
menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.
Teori Specificity “suggest” menyatakan bahwa Nyeri adalah sensori
spesifik yang muncul karena adanya injury, dan informasi ini didapat
melalui sistem saraf perifer dan sentral melalui reseptor nyeri di saraf
nyeri perifer dan spesifik di spinal cord. Secara umum Keperawatan
mendefinisikan Nyeri sebagai apapun yang menyakitkan tubuh, yang
dikatakan individu yang mengalaminya, dan yang ada kapanpun individu
mengatakannya.
2. Fisiologi Nyeri
Banyak teori berusaha untuk menjelaskan dasar neurologis dari nyeri,
meskipun tidak ada satu teori yang menjelaskan secara sempurna
bagaimana nyeri ditransmisikan atau diserap. Untuk memudahkan
memahami fisiologi nyeri, maka perlu mempelajari 3 (tiga) komponen
fisiologis berikut ini:
a. Resepsi : proses perjalanan nyeri
b. Persepsi : kesadaran seseorang terhadap nyeri
c. Reaksi : respon fisiologis & perilaku setelah mempersepsikan nyeri
Resepsi
Adanya stimulus yang mengenai tubuh (mekanik, termal, kimia) akan
menyebabkan pelepasan substansi kimia seperti histamin, bradikinin,
kalium. Substansi tersebut menyebabkan nosiseptor bereaksi, apabila
nosiseptor mencapai ambang nyeri, maka akan timbul impuls syaraf yang
akan dibawa oleh serabut saraf perifer. Serabut syaraf perifer yang akan
membawa impuls syaraf ada dua jenis, yaitu serabut A-delta dan serabut
C. impuls syaraf akan di bawa sepanjang serabut syaraf sampai ke kornu
dorsalis medulla spinalis. Impuls syaraf tersebut akan menyebabkan
kornu dorsalis melepaskan neurotrasmiter (substansi P). Substansi P ini
menyebabkan transmisi sinapis dari saraf perifer ke saraf traktus
spinotalamus. Hal ini memungkinkan impuls syaraf ditransmisikan lebih
jauh ke dalam system saraf pusat.
Setelah impuls syaraf sampai di otak, otak mengolah impuls syaraf
kemudian akan timbul respon reflek protekti. Contoh: Apabila tangan
terkena setrika, maka akan merasakan sensasi terbakar, tangan juga
melakukan reflek dengan menarik tangan dari permukaan setrika. Proses
ini akan berjalan jika system saraf perifer dan medulla spinalis utuh atau
berfungsi normal.
Persepsi
Fase ini merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri, pada saat
individu menjadi sadar akan nyeri, maka akan terjadi reaksi yang
komplek. Persepsi menyadarkan individu dan mengartikan nyeri itu
sehingga kemudian individudapat bereaksi
Proses persepsi secara ringkas adalah sebagai berikut:
Stimulus Nyeri Medula Spinalis Talamus Otak (area limbik) Reaksi
emosi Pusat otak, Persepsi Stimulus nyeri ditransmisikan ke medula
spinalis, naik ke talamus, selanjutnya serabut mentrasmisikan nyeri ke
seluruh bagian otak, termasuk area limbik. Area ini mengandung sel-sel
yang yang bisa mengontrol emosi (khususnya ansietas). Area limbik
yang akan berperan dalam memproses reaksi emosi terhadap nyeri.
Setelah transmisi syaraf berakhir di pusat otak, maka individu akan
mempersepsikan nyeri.
Reaksi
Reaksi terhadap nyeri merupakan respon fisioligis dan perilaku yang
terjadi setelah mempersepsikan nyeri. Nyeri dengan intensitas ringan
hingga sedang dan nyeri yang superfisial menimbulkan reaksi ”flight atau
fight”, yang merupakan sindrom adaptasi umum. Stimulasi pada cabang
simpatis pada saraf otonom menghasilkan respon fisiologis, apabilanyeri
berlangsung terus menerus, maka sistem parasimpatis akan bereaksi.
Secara ringkas proses reaksi adalah sebagai berikut:
Impuls nyeri medula spinalis batang otak & talamus Sistem syaraf
otonom Respon fisiologis & perilaku Impuls nyeri ditransmisikan ke
medula spinalis menutju ke batang otak dan talamus. Sistem saraf
otonom menjadi terstimulasi, saraf simpatis dan parasimpatis bereaksi,
maka akan timbul respon fisiologis dan akan muncul perilaku.
3. Respon Tingkah Laku Terhadap Nyeri
Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:
a. Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)
b. Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)
c. Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan
gerakan jari & tangan
d. Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan,
Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd
aktivitas menghilangkan nyeri) Individu yang mengalami nyeri
dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap
nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis.
Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu
letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan
nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas
karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri. 
4. Fase Pengalaman Nyeri
Menurut Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 Fase Pengalaman
Nyeri, antara lain:
a. Fase Antisipasi Terjadi Sebelum Nyeri Diterima.
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena
fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini
memungkinnkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk
menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat
penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien. Contoh:
sebelum dilakukan tindakan bedah, perawat menjelaskan tentang nyeri
yang nantinya akan dialami oleh klien pasca pembedahan, dengan
begitu klien akan menjadi lebih siap dengan nyeri yang nanti akan
dihadapi.
b. Fase Sensasi Terjadi Saat Nyeri Terasa.
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu
bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga
berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara
satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi
tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus
kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan
mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil.
c.   Fase Akibat (Aftermath) Terjadi Saat Nyeri Berkurang atau Berhenti
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase
ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri
bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa
pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka
respon akibat ((aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang
berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri
untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang
5. Faktor yang Mempengaruhi Nyeri
a. Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus
mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang
melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan
fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena
mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani
dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika
nyeri diperiksakan.
b.  Jenis Kelamin
Laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam
merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya. Misalnya
tidak pantas laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri.
c. Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka
berespon terhadap nyeri. Misalnya suatu daerah menganut
kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena
mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada
nyeri).
d. Makna Nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap
nyeri dan dan bagaimana mengatasinya
e. Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsinyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan
dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan
dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery
merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
f. Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri juga bisa
menyebabkan seseorang cemas.
g.   Pengalaman Masa Lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau,
dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah
mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri
tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
h. Pola Koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri
dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan
seseorang mengatasi nyeri.
i. Support Keluarga dan Sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada
anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan,
bantuan dan perlindungan.

Anda mungkin juga menyukai