ABSTRAKS
Kecelakaan kerja merupakan salah satu masalah bagi kelangsungan sebuah perusahaan dan memberi dampak yang
berpengaruh signifikan bagi kepentingan pengusaha, pekerja maupun pemerintah. Kerugian yang timbul akibat
terjadinya kecelakaan tidak hanya berupa kerugian materi namun juga korban jiwa manusia. Menurut perkiraan
ILO, setiap tahun di seluruh dunia 2 juta orang meninggal karena masalah-masalah akibat kerja. Dari jumlah ini,
354.000 orang mengalami kecelakaan fatal. Disamping itu, setiap tahun ada 270 juta pekerja yang mengalami
kecelakaan akibat kerja dan 160 juta yang terkena penyakit akibat kerja. Di Indonesia, sepanjang pada tahun 2009
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) mencatat adanya 54.398 kasus kecelakaan kerja.
Beaya yang harus dikeluarkan untuk bahaya-bahaya akibat kerja ini amat besar. ILO memperkirakan kerugian
yang dialami sebagai akibat kecelakaan-kecelakaan dan penyakitpenyakit akibat kerja setiap tahun lebih dari
US$1.25 triliun atau sama dengan 4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lingkungan dan aktivitas kerja di
Industri memiliki risiko dan potensi bahaya yang besar. Penggunaan mesin, peralatan berat, dan kondisi
lingkungan kerja yang tidak/kurang memenuhi norma ergonomis, nyaman dan aman. Namun, dari sekian banyak
kecelakaan kerja yang terjadi umumnya karena faktor manusia berupa perilaku tidak aman (unsafe behavior)
sebagai penyebab utama terjadinya kecelakaan kerja. Permasalahan yang acapkali dijumpai adalah rendahnya
tingkat kesadaran pekerja untuk mentaati aturan-aturan dan norma K3 seperti kewajiban memakai alat pelindung
diri, rambu-rambu keselamatan kerja lainnya.Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasikan, mencari dan
menganalisa akar permasalahan pokok (root cause analysis) yang menyebabkan rendahnya tingkat kesadaran
pekerja akan bahaya dan risiko keselamatan kerja. Selanjutnya dengan mengimplementasikan metode Behavior
Based Safety (BBS) dilakukan evaluasi dan intervensi untuk meningkatkan kinerja aman (safety performance) yang
diukur berdasarkan aspek perilaku pekerja (behavior safety). Pendekatan BBS akan menghasilkan nilai safety
performance index yang akan dijadikan ukuran ada tidaknya perubahan signifikan sebelum dan sesudah dilakukan
intervensi terhadap perilaku pekerja. Hasil akhir yang diharapkan dari penelitian ini bisa mengurangi tingkat
terjadinya kecelakaan kerja yang disebabkan perilaku tidak aman dari pekerja.
Kata Kunci: Keselamatan Kerja, Unsafe Behavior, Root Cause Analysis, Behavior Based Safety, Safety
Performance Index.
1. PENDAHULUAN
Kecelakaan kerja merupakan salah satu masalah bagi kelangsungan sebuah perusahaan dan memberi dampak yang
berpengaruh signifikan bagi kepentingan pengusaha, pekerja maupun pemerintah. Kerugian yang timbul akibat
terjadinya kecelakaan tidak hanya berupa kerugian materi namun juga korban jiwa manusia. Menurut perkiraan
ILO, setiap tahun di seluruh dunia 2 juta orang meninggal karena masalah-masalah akibat kerja. Dari jumlah ini,
354.000 orang mengalami kecelakaan fatal. Disamping itu, setiap tahun ada 270 juta pekerja yang mengalami
kecelakaan akibat kerja dan 160 juta yang terkena penyakit akibat kerja. Di Indonesia, sepanjang pada tahun 2009
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) mencatat adanya 54.398 kasus kecelakaan kerja.
Beaya yang harus dikeluarkan untuk bahaya-bahaya akibat kerja ini amat besar. ILO memperkirakan kerugian yang
dialami sebagai akibat kecelakaan-kecelakaan dan penyakitpenyakit akibat kerja setiap tahun lebih dari US$1.25
triliun atau sama dengan 4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lingkungan dan aktivitas kerja di Industri
memiliki risiko dan potensi bahaya yang besar (Wignjosoebroto, 2009).
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di area kerja industri harus senantiasa memperoleh perhatian penuh.
Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban manusia, tetapi juga bisa mendatangkan kerugian materi dan
mengganggu kelangsungan maupun kelancaran proses produksi. Kecelakaan kerja selain bisa disebabkan karena
faktor manusia, juga bisa karena kondisi kerja yang tidak aman (safe). Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
sebagai salah satu aspek perlindungan tenaga kerja memiliki peran yang besar dalam upaya meningkatkan
produktivitas perusahaan.
Pada awal tahun 1980-an muncul banyak studi yang fokus mengarah ke perilaku manusia sebagai faktor penyebab
terjadinya kecelakaan kerja yang dikenal sebagai Behavioral Safety; yaitu aplikasi sistematis dari cabang keilmuan
psikologi yang mempelajari perilaku manusia yang dikaitkan dengan kecelakaan kerja di industry dan tempat-
tempat kerja lainnya. Heinrich (1980) dalam sebuah penelitiannya tentang kecelakaan kerja menemukan fakta
terjadinya kecelakaan kerja dimana dari 75.000 kasus kecelakaan 88% disebabkan oleh perilaku manusia yang tidak
aman (unsafe acts by worker), 10% situasi/kondisi kerja yang tidak aman (unsafe conditions) dan sisanya 2% karena
D-44
Seminar Nasional Ergonomi 2012 ISBN – 978-602-17085-0-7
faktor penyebab lain-lain yang tidak bisa dihindarkan (unsafe causes). Unsafe behavior dapat disebabkan karena
kurangnya pengetahuan pekerja, ketidaksesuaian kondisi fisik, ketidaksesuaian lingkungan kerja, perilaku yang
salah, dan lingkungan sosial. Penelitian menunjukkan 88% dari semua kecelakaan kerja yang terjadi disebabkan
unsafe acts, 10% disebabkan oleh unsafe conditions, dan 2% disebabkan karena hal yang tidak bisa terhindarkan
(Al-Hemoud & Al-Asfoor, 2006). Jika unsafe acts tersebut dibiarkan terus-menerus tanpa adanya tindakan tegas
atau pencegahan, maka perilaku tersebut akan menjadi kebiasaan yang sulit untuk dirubah (unsafe behavior).
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sebagai salah satu aspek perlindungan tenaga kerja memiliki peran yang
besar dalam upaya meningkatkan produktivitas perusahaan. Dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor:
PER.05/MEN/1996, BAB III Pasal 3 disebutkan bahwa: ‘’Setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja
sebanyak seratus orang atau lebih dan atau mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses
atau bahan produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja seperti peledakan, kebakaran, pencemaran
penyakit akibat kerja, wajib menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)’’.
Penerapan SMK3 yang baik juga belum cukup bagi suatu perusahaan untuk menanggulangi terjadinya kecelakaan
kerja karena penyebab kecelakaan kerja bisa berasal dari berbagai sumber (Hanum, 2012).
Pada awal tahun 1980 muncul pandangan baru tentang penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di industri
yaitu melalui pendekatan perilaku manusia (Behavioral Safety). Sebuah pendekatan yang merupakan aplikasi
sistematis dari studi/riset psikologi tentang perilaku manusia pada masalah keselamatan (safety) ditempat kerja
(Larasati et.al., 2008). Behavioral safety lebih menekankan aspek perilaku manusia terhadap terjadinya kecelakaan
di tempat kerja. Perilaku manusia memiliki keterkaitan langsung dengan keselamatan (safety) dalam berbagai aspek
kehidupan serta aktivitas manusia di tempat kerja, rumah, jalan raya, dan lain-lain.
Banyak kasus kecelakaan kerja yang mengindikasikan adanya hubungan sebab akibat dengan faktor (perilaku)
manusia sebagai kontributor utamanya. Stranks (2006) mendefinisikan perilaku sebagai “how a person conducts
himself, the manners of an individual, and an observable action of a person”. Perilaku manusia sebagai penyebab
kecelakaan seringkali berhubungan erat dengan sikap (attitude), personality, motivasi dan/atau memori yang juga
dibentuk bersamaan dengan karakteristik fisik maupun mentalnya. Unsafe behavior adalah tipe perilaku yang
mengarah pada kecelakaan seperti bekerja tanpa menghiraukan keselamatan, melakukan pekerjaan tanpa ijin,
menyingkirkan peralatan keselamatan, operasi pekerjaan pada kecepatan yang berbahaya, menggunakan peralatan
tidak standar, bertindak kasar, kurang pengetahuan, cacat tubuh atau keadaan emosi yang terganggu.
Berdasarkan data kecelakaan kerja yang diperoleh dari sebuah industri manufaktur yang bergerak di bidang
galangan kapal; dimana kegiatan kerja di industri semacam ini banyak berkaitan dengan berbagai aktivitas yang
berhubungan dengan pemindahan material maupun pengoperasian peralatan berat serta memiliki resiko kerja tinggi.
Gambar berikut ini menunjukkan tingkat kecelakaan kerja dan faktor penyebabnya :
Dari hasil investigasi kecelakaan kerja yang telah dilakukan oleh manajemen K3 perusahaan, penyebab kecelakaan
kerja tersebut umumnya disebabkan oleh faktor manusia (unsafe action) seperti lalai dan/atau sengaja tidak mau
menggunakan alat pelindung diri (APD) pada saat melakukan aktivitas kerja dan perilaku seperti ini jelas tidak
sesuai dengan aturan maupun norma K3 yang wajib ditaati. Beberapa laporan yang berasal dari studi lapangan juga
sering menyebutkan bahwa permasalahan utama terjadinya kecelakaan kerja banyak disebabkan faktor perilaku
manusia (unsafe behavior). Oleh karena itu, sudah sepatutnya suatu perusahaan memfokuskan perhatiannya untuk
mencegah terjadinya kecelakaan kerja melalui perbaikan unsafe behavior dalam upaya meningkatkan performansi
SMK3.
Metode Behavior-Based Safety merupakan aplikasi sistematis terhadap perilaku manusia (human behavior) dalam
masalah-masalah K3 di tempat kerja. Dari riset yang dilakukan oleh banyak ahli mengenai perilaku manusia
memperlihatkan bahwa penerapan teknik-teknik behavioral safety dapat mengurangi kecelakaan hingga 40 -75%
dalam waktu dua sampai enam belas bulan. Behavior-Based Safety merupakan pendekatan yang komprehensif yang
bisa diterapkan secara terintegrasi dengan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3).
D-45
Seminar Nasional Ergonomi 2012 ISBN – 978-602-17085-0-7
3. PERMASALAHAN
Permasalahan utama dari berbagai peristiwa terjadinya kecelakaan kerjadi industri banyak disebabkan oleh faktor
manusia. Penelitian mencoba menggali dan mengidentifikasikan faktor penyebab kesalahan manusia yang patut
diduga (hipotesa) terkait dengan perilaku manusia yang mengabaikan keamanan dan keselamatan dirinya (unsafe
behavior) saat bekerja. Hasil penelitian akan memberikan solusi yang mampu diimplementasikan oleh manajemen
(SMK3) untuk memperbaiki perilaku bekerja aman guna menekan/mengurangi terjadinya kecelakaan kerja dan
diharapkan mampu memberikan kinerja lebih baik.
4. METODOLOGI
Penelitian dilakukan dengan menerapkan metoda Behavior-Based Safety (BBS) yang diawali dengan
mengumpulkan data yang terkait dengan kecelakaan kerja, identifikasi dan analisa faktor-faktor penyebabnya (root
cause analysis). Setelah itu dilakukan pengamatan pendahuluan (pra-observasi) dengan menganalisa resiko (risk
analysis) untuk mengetahui kategori tingkat bahaya yang bisa dihadapi di area kerja yang diamati. Unsafe behavior
yang ditemukan pada tahap pra-observasi akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam membuat Critical
Behavior Checklist (CBC) berupa daftar perilaku kritis yang akan digunakan sebagai rujukan untuk observasi
selama penelitian berlangsung kemudian. Hasil risk analysis juga akan digunakan untuk menentukan bagian mana
yang akan menjadi objek amatan utama dalam implementasi BBS.
Langkah selanjutnya adalah melakukan observasi terhadap kondisi eksisting dengan menggunakan instrumen CBC
tersebut pada dua lokai amatan (indoor dan outdoor) yang telah ditentukan/dipilih. Observasi dilakukan selama
beberapa hari untuk mendapatkan Safety Performance Index (SPI) pekerja dalam kondisi kerja normal sehari-
harinya (eksisting). Setelah beberapa lama obervasi dilakukan, langkah “intervensi” diberikan kepada pekerja.
Intervensi diberikan sebagai terapi kejut yang macamnya tergantung pada kondisi yang ada; dan dimaksudkan untuk
merubah kesadaran untuk berperilaku aman/selamat bagi pekerja selama berada di tempat kerja. Setelah tahap
intervensi selesai diberikan untuk beberapa waktu lamanya; selanjutnya kembali dilakukan observasi untuk menilai
Safety Performance Index pekerja setelah intervensi.
Pengolahan data dilakukan dengan uji-T berpasangan untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang signifikan
antara Safety Performance Index pekerja sebelum dan sesudah dilakukan intervensi. Uji-T independen juga
dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan Safety Performance Index pekerja organik (tetap) dan sub-
kontrak. serta antara pekerja indoor dan outdoor. Selain itu juga dilakukan identifikasi penyebab dari unsafe
behavior pekerja dengan menggunakan Root Cause Analysis (RCA). Langkah berikutnya adalah melakukan analisa
dari hasil pengolahan data yang telah didapatkan dan menarik kesimpulannya.
5.1 Pra-Observasi
Tahap pra-observasi dilakukan untuk mengidentifikasi unsafe behavior yang ada. Data yang diperoleh ditunjukkan
melalui gambar 2 berupa diagram pareto unsafe behavior;. sedangkan gambar 3 merupakan diagram pareto berbagai
macam unsafe behavior yang menyebabkan kecelakaan kerja dan terjadi selama periode tahun 2008 hingga tahun
2011. Baik dari pra-observasi maupun data kecelakaan selama tiga tahun terakhir menunjukkan kalau disiplin
pemakaian alat pelindung diri (APD) merupakan penyebab pokok penyebab kecelakaan kerja (Maulana, 2011;
Hanum, 2012).
D-46
Seminar Nasional Ergonomi 2012 ISBN – 978-602-17085-0-7
Gambar 2. Unsafe Behavior (Tahap Pra-Observasi) Gambar 3. Unsafe Behavior (Periode 2008-2011)
Selain itu juga dilakukan analisa resiko (risk analysis) dari enam area kerja produksi di inudstri galangan kapal ini,
yaitu (1) Bengkel Mesin, (2) Bengkel Out-Fitting Pipa, (3) Bengkel Listrik, (4) Bengkel Fashar, (5) Bengkel Hull
Construction (HC), dan (6) Bengkel Building Berth. Hasil analisa ditampilan seperti dalam tabel 1; dimana lokasi
kerja yang memiliki resiko bahaya paling besar adalah area Building Berth (Hanum, 2012).
BUILDING BERTH
Jenis Sumber Potensi Resiko
RAC Kategori Bahaya
Bahaya Bahaya Bahaya
Timbul penyakit
Sinar las 2 Mengancam
pada mata
Gangguan
Suara bising pendengaran akibat 3 Sedang
bising
Pemindahan Kejatuhan material 3 Sedang
Bahaya fisik material
dengan atau Terkena material
3 Sedang
tanpa crane, tajam
tajamnya
material Terjepit material 3 Sedang
Sinar dan
Tubuh terasa panas 3 Sedang
energi
Serpihan
Terkena mata 3 Sedang
gram
Kebocoran Ledakan atau
2 Mengancam
selang kebakaran
Bahaya Gangguan
Debu 3 Sedang
kimia pernapasan
Pernapasan 4 Sedang
Gas dan zat
beracun Ledakan atau
2 Mengancam
kebakaran
Bahaya Peralatan Terkena putaran
kerja seperti 3 Sedang
mekanis gerinda
gerinda Sakit/nyeri pada
Bahaya Posisi
bagian tubuh 3 Sedang
ergonomi bekerja statis
tertentu
Selanjutnya penentuan sampel amatan dilakukan berdasarkan hasil pengamatan awal (pra-observasi). Demikian juga
berangkat dari analisa resiko (risk analysis) diperoleh fakta lapangan kalau lokasi indoor yang paling berbahaya
adalah Bengkel HC; sedangkan untuk lokasi outdoor adalah area Builidng Berth (khususnya di bagian selatan).
Pengamatan perilaku pekerja ditetapkan di dua lokasi area kerja ini. Sebelum pengamatan dilakukan, terlebih
dahulu dirancang dan dibuat lembar pengamatan berupa Critical Behavior Checklist (CBC).
Perilaku kritis dari pekerja yang akan diamati dibuat daftarnya dan dicatat dalam lembar pengamatan CBC.
Perancangan/pembuatan dibuat berdasarkan diagram pareto unsafe behavior penyebab kecelakaan dan pra
observasi.seperti yang ditampilkan dalam tabel 2 berikut ini (Hanum, 2012) :
D-47
Seminar Nasional Ergonomi 2012 ISBN – 978-602-17085-0-7
Total
Safety Index Performance (safe/(safe+at risk))
Catatan
Mengetahui,
D-48
Seminar Nasional Ergonomi 2012 ISBN – 978-602-17085-0-7
Pekerja ceroboh
APD yang
diberikan PT
DPS hilang Kurangnya kesadaran pekerja untuk merawat
fasilitas kerja
Pihak subkont
tidak Kurangnya komitmen pihak subkont terhadap
melengkapi K3
APD untuk
pekerjanya Keterbatasan anggaran
Bahan APD
kurang Keterbatasan anggaran
berkualitas
Kondisi APD
tidak layak Pihak PT DPS
kurang tanggap
APD sudah
Kurangnya stok terhadap
lama dan mulai
APD baru fasilitas pekerja
rusak
Keterbatasan
anggaran
Kurang
memahami
Kurangnya pelatihan terkait APD
pentingnya
APD
Tidak disiplin
Kurangnya
kontrol dari
Kurangnya komitmen PT DPS terhadap K3
atasan atau
pihak K3
Tidak
Setiap
berhubungan
pekerjaan
dengan Karakteristik dan bahaya setiap pekerjaan
memiliki APD
pekerjaan berbeda
wajib yang
yang sedang
berbeda
dilakukan
5.3 Intervensi
Besar-kecilnya prosentase Safety Performance Index (SPI) pekerja akan memberikan kesimpulan apakah perilaku
pekerja sudah bekerja dalam tingkatan aman atau belum. Bilamana diketahui bahwa indeks pekerja dari hasil
perhitungan (lihat tabel 3) diperoleh SPI rata-rata lebih dari 50%; maka bisa disimpulkan lebih dari 50% perilaku
pekerja sudah bekerja dengan perilaku tergolong aman. Sebaliknya, bilamana SPI rata-ratanya kurang dari 50% akan
memberikan indikator perlunya dilakukan intervensi (ergonomics & safety intervention) sebagai upaya untuk
meningkatkan safety performance pekerja. Selanjutnya melalui analisa akar penyebab permasalahan (root cause
analysis) bisa diurai faktor-faktor apa saja yang signifikan dalam membentuk perilaku kerja yang tidak aman tadi.
Bentuk dan efektivitas intervensi yang akan diberikan menyesuaikan dengan faktor penyebabnya. Intervensi dapat
dilakukan dengan berbagai cara yang intinya melalui berbagai macam pendekatan manusia (human approach)
seperti sosialisasi program-program K3 berupa training, simulasi, pemasangan poster-poster ajakan untuk memicu
peningkatan kesadaran pekerja terhadap pentingnya berperilaku aman dalam bekerja, dan lain-lain. Poster dibuat
sesuai dengan permasalahan K3 dan berdasarkan jenis kegiatan kerja yang ada, seperti berisikan informasi
jenis/tingkatan bahaya dan himbauan terkait jenis atau resiko pekerjaan tersebut. Sedangkan untuk poster pekerjaan
di ruang tertutup berisikan informasi mengenai SOP sebelum bekerja karena pekerjaan tersebut mengandung bahaya
yang tinggi. Poster dipasang di tempat strategis pada lokasi amatan (area building berth dalam kasus penelitian ini)
(Hanum, 2012).
D-49
Seminar Nasional Ergonomi 2012 ISBN – 978-602-17085-0-7
Gambar 4. Sosialisasi dan Himbauan Kesadaran Tentang K3 Melalui Poster di Area Lokasi Amatan
80.00
Rata-rata Safety Performance
75.00
70.00
Organik outdoor
65.00
60.00
Index
Subkontraktor outdoor
55.00
50.00 organik indoor
45.00 subkontraktor indoor
40.00
Sebelum intervensi Sesudah intervensi
Gambar 5. Perbandingan Safety Performance Index Pekerja Sebelum dan Sesudah Intervensi
5.5 Uji-T
Safety Performance Index pekerja sebelum dan sesudah intervensi perlu diuji dengan menggunakan Uji-T
berpasangan untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang signifikan antara kedua indeks (SPI) tersebut. Pengujian
ini merupakan pengujian hipotesis. Apabila nilai P lebih dari 0.05 maka terima H0 yang berarti tidak ada perbedaan
antara kedua indeks tersebut, begitu sebaliknya. Hasil pengujian ditunjukkan pada tabel 6 berikut (Hanum, 2012):
D-50
Seminar Nasional Ergonomi 2012 ISBN – 978-602-17085-0-7
Tabel 9. Hasil Uji-T Berpasangan Safety Performance Index Pekerja Sebelum dan Sesudah Intervensi
No Jenis pekerja P value Keputusan
1 Pekerja organik outdoor 0.027 Tolak Ho
2 Pekerja subkontrak outdoor 0.000 Tolak Ho
3 Pekerja organik indoor 0.001 Tolak Ho
4 Pekerja subkontrak indoor 0.004 Tolak Ho
Dari hasil pengujian tersebut disimpulkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara indeks sebelum dan sesudah
intervensi baik untuk pekerja organik outdoor, organik indoor, subkontrak outdoor, dan subkontrak indoor.
Peningkatan bisa disimpulkan karenakan pengaruh intervensi berupa pemasangan poster terhadap perilaku aman
terhadap pekerja.. Poster yang dipasang telah dibaca oleh pekerja memberi kesadaran pekerja untuk lebih
meningkatkan perilaku aman saat mereka bekerja.
6. KESIMPULAN
Banyak kecelakaan kerja yang terjadi di industri yang disebabkan faktor manusia seperti perilaku tidak aman
(unsafe behavior) sebagai penyebab utamanya. Permasalahan yang acapkali dijumpai adalah rendahnya tingkat
kesadaran pekerja untuk mentaati aturan-aturan dan norma K3 seperti kewajiban memakai alat pelindung diri,
kesadaran dan kepatuhan untuk mengikuti rambu-rambu keselamatan kerja, dan lain-lainnya. Identifikasi untuk
mencari dan menganalisa akar permasalahan pokok (root cause analysis) yang menyebabkan rendahnya tingkat
kesadaran pekerja akan bahaya dan risiko keselamatan kerja perlu dilakukan untuk mendapatkan model intervensi
yang efektif dan tepat untuk menyelesaikan masalah. Selanjutnya dengan mengimplementasikan metode Behavior
Based Safety (BBS) dilakukan evaluasi dan intervensi untuk meningkatkan kinerja aman (safety performance) yang
diukur berdasarkan aspek perilaku pekerja (behavior safety).
Penyebab utama terjadinya kecelakaan kerja yang disebabkan perilaku tidak aman (unsafe behavior) pekerja banyak
dipengaruhi oleh kurang tegasnya pihak manajemen dalam pengawasan dan pengendalian mengenai penerapan
aturan ataupun norma K3. Penerapan program-program SMK3 dengan metode Behavior-Based Safety secara
terintegrasi pada perusahaan memerlukan dukungan dan komitmen penuh dari seluruh stake-holders.
PUSTAKA
Al-Hemoud & Al-Asfoor. 2006. A Behavior Based Safety Approuch at a Kuwait Research Institution. Journal of
Safety Research, no 37, pp. 201-206.
Hanum, Nuriyanti L. dan Wignjosoebroto, Sritomo. 2012. Implementasi Behavior-based Safety pada Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Guna Meningkatkan Safe Behavior Pekerja (Studi Kasus PT Dok
dan Perkapalan Surabaya). Paper ditulis berdasarkan Tugas Akhir Mahasiswa dengan judul yang sama.
Unpublished.
Heinrich, H. W., Petersen, D., dan Roos, N., 1980, Industrial accident prevention fifth edition, McGraw Hill, New
York.
Larasati, Atika Dewi; Wignjsoebroto, Sritomo dan Dewi, Dyah Santhi. 2008. Evaluasi dan Perancangan Solusi
Perbaikan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) dalam Upaya Perbaikan Safety
Behavior Pekerja Makalah disajikan dalam National Conference on Applied Ergonomics – Universitas Gajah
Mada - Yogyakarta.
Maulana, Danis dan Wignjosoebroto, Sritomo. 2011. Evaluasi dan Perbaikan Sistem Manajemen Keselamatan
dan Kesehatan Kerja (SMK3) untuk Menekan Unsafe Behavior Pekerja. Paper ditulis berdasarkan Tugas
Akhir Mahasiswa dengan judul yang sama. Unpublished.
Stranks, Jeremy. 2007. Human Factors and Behavioural Safety. Amsterdam: Butterworth-Heinemann.
Wignjosoebroto, Sritomo 2009. Penerapan Ergo-Safety untuk Meningkatkan Produktivitas Kerja Industri.
Makalah kunci disampaikan dalam acara SeminarNasional”Aplikasi Program Keselamatan&Kesehatan Kerja
(K3) dan Ergonomi di Tempat Kerja” pada tanggal 7 Februari 2009 di UniversitasSumatera Utara – Medan.
D-51