Anda di halaman 1dari 5

RESENSI MANJALI DAN CAKRABIRAWA

Judul: Manjali dan Cakrabirawa


Penulis: Ayu Utami
Penerbit: KPG
Cetakan: II, 2010
Tebal: ± 252 halaman
ISBN: 978-979-91-0260-7
Harga: Rp 40.000,00
Judul resensi : Misteri Candi Calwanarang

SINOPSIS

“Namun, pada malam ketujuh mereka bercinta-cintaan, Mpu Barada datang diam-diam ke puri itu dan
membunuh Calwanarang yang sedang berbahagia, demi merebut kitab saktinya yang berisi mantra
Bhairawa Cakra.” (hlm. 96)
Buku kedua Seri Bilangan Fu yang ber-genre roman misteri ini mengisahkan perjalanan Marja dan
Parang Jati, bersama Jacques, si arkeolog dari Perancis, untuk mengunjungi dan meneliti sebuah candi
yang baru ditemukan di kaki gunung Lawu, perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Saat itu, Yuda,
kekasih Marja, sedang berada di Bandung untuk berlatih bersama militer sebagai partner latihan
panjat tebing dari pihak sipil profesional. Ia merahasiakan itu dari Parang Jati, dan meminta Marja
untuk membantu menyembunyikannya.

Candi yang baru ditemukan itu dijuluki Candi Calwanarang, dinamai berdasarkan nama Calwanarang,
seorang ratu teluh yang hidup pada masa Kerajaan Kahuripan yang dipimpin oleh Airlangga. Candi
itu menjadi penting, karena tak banyak peninggalan sejarah dari masa Kahuripan.
“Untuk memperingati ibunya, Manjali mendirikan sebuah candi, di mana ibunya dipuja sebagai
Durga.” (hlm. 97)
Perjalanan itu merupakan titik balik cara pikir Marja, seorang gadis manja dari ibu kota yang
“dibesarkan dalam kemudahan dan keriangan aneh ibukota rezim militer yang menumpulkan mata
dan telinga”. Ia selalu menuntut jawaban instan, benar atau salah, tanpa mau berpikir lebih jauh.
Namun, pelajaran yang ia dapat dari Parang Jati dan dari perjalanan itu sendiri (seorang ibu tua yang
tak sengaja ia temui dalam perjalanan dari lokasi candi ke kota, legenda hantu Banaspati, kisah
Cakrabirawa yang mencekam seluruh penduduk Desa Girah, kisah Calwanarang, kisah hidup Jacques,
pertemuan dengan Musa Wanara, penjelajahan candi-candi Jawa Timur) telah mendewasakan cara
pikir Marja. Bahkan, di bagian menjelang akhir, Marjalah yang berhasil memecahkan teka-teki surat
Haji Samadiman.
Dalam perjalanan itu, ada yang berubah dalam hubungan Marja dan Parang Jati. Marja kini tak lagi
melihat Jati sebagai sekadar sahabat, seperti biasa di mana Yuda-Marja-Jati adalah segitiga yang
saling melengkapi. Marja terperenyak dalam sorot mata Jati yang bagaikan “malaikat jatuh ke bumi”,
yang menyediakan diri untuk dijelajahi. Sosok Jati yang tenang, berwibawa, dan cerdas itu tak henti
membuat Marja makin mengaguminya.

Sementara itu, setelah Marja mengabarkan pada Yuda bahwa telah ditemukan prasasti bertuliskan
mantra Bhairawa Cakra di sekitar candi Calwanarang, berawal dari proyek balas budi, Yuda terjebak
dalam kegilaan Musa Wanara—salah satu anggota militer—akan dunia klenik. Musa, yang terobsesi
memiliki mantra Bhairawa Cakra, akan berusaha mendapatkannya, bagaimanapun caranya.
“Siapa yang memiliki mantra itu bisa menghancurkan apa pun yang dia mau hancurkan.” (hlm. 72)

REVIEW

Ini adalah pertama kalinya saya membaca karya fiksi Ayu Utami. Sebelumnya, saya membaca
Pengakuan Eks Parasit Lajang—yang menurut saya adalah autobiografi, dan Si Parasit Lajang, yang
adalah kumpulan artikel. Ada sedikit perasaan cenat-cenut mengantisipasi akan seperti apa gaya Ayu
Utami dalam berbicara melalui novel?

Oleh karena belum membaca Bilangan Fu, baru kali inilah saya berkenalan dengan trio kwek-kwek
Marja-Yuda-Jati. Untungnya, antarbuku dalam seri ini tidak bersambung terlalu lekat antara scene
terakhir buku pertama dengan scene pertama buku kedua, sehingga saya bisa menikmatinya nyaris
sama dengan buku tunggal. Manjali dan Cakrabirawa menancapkan cakarnya pada genre romance-
misteri. Premis novel ini barangkali adalah seperti yang dikatakan oleh Jacques dan Parang Jati
digabung jadi satu,
“Jika kebetulan terjadi terlalu banyak, seorang ilmuwan akan mencari pola-pola dan seorang beriman
akan mencari rencana tuhan.” (hlm. 19)
Lantas, saya bergumam, “Jika kebetulan terjadi terlalu banyak, itu karena sang penulis membuatnya
demikian.”

Buku ini dibagi menjadi tiga bagian: Rahasia, Misteri, dan Teka-teki. Di bagian Rahasia, penulis
menunjukkan bahwa ketiga sahabat itu memiliki rahasia yang disimpan masing-masing. Dari Jati,
Yuda merahasiakan aktivitas latihannya bersama militer. Dari Jati dan Marja, Yuda merahasiakan
intensi Musa Wanara untuk mencuri mantra Bhairawa Cakra. Dari Yuda, Marja menyembunyikan
perasaannya terhadap Jati dan sebagian kecil dari apa yang telah mereka berdua lakukan ketika Yuda
tak ada. Dari Yuda, Jati menyembunyikan hal serupa terkait perasaannya terhadap Marja. Dari Marja,
Jati menyembunyikan “bintang merah”—sisi gelapnya.

Di bagian Misteri, penulis memperkenalkan adanya misteri yang melingkupi Marja begitu mereka
berada di lokasi candi Calwanarang. Misteri sosok Jacques “yang lain”, hantu Banaspati, kesamaan
nama Marja dengan nama putri Calwanarang: Manjali—Marja Manjali. Sering Marja merasakan bulu
kuduknya merinding, entah karena apa. Segenap misteri itu sangat mengguncang Marja, si gadis kota
yang telah lama menjadi “manusia Indonesia yang kering” (mengutip perkataan Jacques, hlm. 46).

Di bagian Teka-teki, penulis mengajak pembaca untuk memecahkan teka-teki surat Haji Samadiman
yang dititipkan pada Suhubudi, ayah angkat Parang Jati. Selain itu juga menguak hubungan surat itu
dengan si ibu tua penggendong kayu bakar yang ditolong Marja, juga hubungan Musa Wanara dengan
ibu itu. Juga hubungan Samadiman dengan si ibu dan Musa Wanara.
“Ada di dunia ini hal yang merupakan teka-teki, ada yang merupakan misteri. Dan beda keduanya
adalah ini: teka-teki adalah rahasia yang jawabannya tetap dan pasti. Tetapi misteri adalah rahasia
yang jawabnya tak pernah kita tahu adakah ia tetap dan pasti. Sesuatu samar-samar menampakkan
diri, tapi kita tak akan pernah bisa memegangnya. Misteri menjelmakan suasana kepedihan dan
harapan. Dan suasana itu, anehnya, indah.” (Bilangan Fu, hlm. 413)
Karakter para tokoh utama terjelma dengan baik dan cukup kuat. Marja, yang awalnya polos, manja,
kekanak-kanakan, tidak konsisten, berubah signifikan menjadi lebih dewasa dalam berpikir, tapi tanpa
kehilangan keceriaan dan sifat energiknya. Marja saya sebut tidak konsisten karena di satu sisi ia
ingin menjadi setara dengan laki-laki, tapi di sisi lain ia terus mempertahankan sisi kemanjaan dan
kelemahan khas perempuannya.

Yuda, sosok yang bebas, energik, memiliki kekaguman aneh terhadap militer (pada “kegagahan
sekumpulan manusia yang mengorbankan kemanusiaannya demi menjadi mesin”—hlm. 53), dan
terbuka. Sifat terbukanya itulah yang membawanya kepada bencana ketika ia menceritakan tentang
Bhairawa Cakra kepada Musa Wanara. Yuda juga bisa dibilang setia atau tidak. Ketika Musa
mengajaknya ke rumah pelacuran, demi solidaritas antarlelaki, Yuda menurut saja, tapi tidak
menyentuh si pelacur. Sebenarnya bukan karena setia pada Marja, sih, melainkan lebih karena
menurut Yuda (saat itu) hanya Marjalah partner seks yang sepadan dengannya. Seperti yang sudah
saya singgung sebelumnya, Parang Jati sosok yang dewasa, tenang, cerdas, kritism dan
berpengetahuan luas. Ia juga sosok yang menghormati perempuan, terlihat dari “matanya (yang) tidak
menjelalati tubuhmu, matanya tidak menjelmakan engkau seonggok obyek” (hlm. 118).

Kalau Jacques, arkeolog Perancis itu sosok yang banyak bicara, blak-blakan, keras kepala, percaya
akan reinkarnasi (hlm. 41). Dialah yang, secara blak-blakan dan cenderung usil, awalnya
menyadarkan Marja akan adanya benih-benih perasaan antara dia dengan Jati. Namun, Jacques juga
punya perasaan cinta-benci dengan Indonesia. Ia jatuh cinta akan peninggalan arkeologi di Indonesia,
tapi menunjukkan ketaksukaan terhadap cara berpikir orang Indonesia, misalnya tentang tindak
kejahatan dengan hipnotis.
“Saya kira orang Indonesia memang suka memelihara kebodohan.” (Jacques, hlm. 158)
Di antara para tokohnya, penulis menciptakan pertentangan abadi. Misalnya, antara Jacques dan Jati
terkait anggapan pribadi mereka tentang “arkeolog Jawa”. Antara Jati dan Yuda, terkait anggapan
terhadap militer. Hal ini menunjukkan bahwa seterbuka dan dewasa apa pun cara berpikir seseorang,
tetap ada hal yang begitu ia yakini tanpa memberi kesempatan keyakinannya itu ditentang.

Melalui karakter tokoh dan narasi, penulis mengirimkan sinyal-sinyal ideologinya pada para pembaca.
Contohnya, tokoh Yuda yang tidak ingin menikah, yang menganggap konyol anggapan para lelaki
bahwa “tidak masalah main dengan pelacur meski sudah punya pacar atau calon istri, calon istri kan
harus dijaga kesuciannya” (hlm. 55-56). Kemudian juga melalui narasi seputar Peristiwa 30
September 1965, selain mengungkapkan fakta sejarah, penulis juga menyelipkan keyakinannya akan
apa yang sebenarnya terjadi. Terlihat bahwa penulis sama seperti Jati, antipati terhadap militer karena
latar belakang sejarahnya. Hal semacam ini sah-sah saja. Bukankah karya sastra memang karya yang
subjektif? Ia menjadi sarana penyampaian ideologi pribadi penulisnya. Pembaca yang bijaksana tak
akan serta merta memberi rating buruk terhadap sebuah buku hanya karena tak setuju dengan ideologi
penulisnya.

Ada beberapa bagian yang kurang bisa saya pahami. Contohnya kalimat ini:
“’Ha ha! Seorang ilmuwan tak boleh percaya pada apa pun.’ Kali ini tak ada nada sedih pada
suaranya. Jacques sepenuhnya riang.” (hlm. 21)
Memang sebelumnya Jacques bernada sedih? Saya kira tidak, soalnya sebelumnya (hlm. 20) Jacques
terus berceloteh, tak ada “nada sedih”.

Penulis menggunakan alur campuran, progresif diselingi beberapa flashback, tapi tidak terlalu
membikin penasaran. Waspada jadi bosan atau malah jadi hafal, karena penulis sering mengulang
beberapa hal. Pemecahan teka-tekinya saya rasa sungguh terlampau mudah karena sekonyong-
konyong Marja bisa memecahkannya begitu saja. Yah, meski argumennya cukup meyakinkan. Hal
yang saya keluhkan adalah, mengapa arti “Cakrabirawa” baru dijelaskan di bagian menjelang akhir
(hlm. 243)? Disebutkan bahwa “Cakrabirawa” berbeda dengan Bhairawa Cakra, padahal sebelum-
sebelumnya (maaf kalau saya salah) definisi dua istilah itu disamakan.

Gaya menulis Ayu menggunakan bahasa baku, tapi memiliki daya tarik tersendiri melalui pemilihan
diksi-diksinya. Ayu menggunakan beberapa kata tidak baku, seperti “obyek” secara konsisten, jadi
saya rasa itu tidak masalah. Ia juga menggunakan teknik direct speech yang indirect. Jadi, sering
perkataan tokoh diungkapkan tidak dalam kutipan tanda petik. Mungkin di beberapa tempat itu suatu
ketaksengajaan, yang merupakan typo. Bagaimana pun juga, kedua hal itu menjadi semacam “ciri
khas” tulisan Ayu.
“Seorang ilmuwan tidak boleh percaya pada apa pun. Kita hanya tidak boleh percaya apa pun ketika
sedang menjalankan pekerjaan ilmiah. Tapi, di luar itu, tentu manusia ingin percaya sesuatu.”
(Jacques, hlm. 40)
“Tabu adalah sesuatu yang tak boleh kau katakan, sebab jika kau mengatakannya kau akan merusak
maknanya.” (hlm. 110)
“Sebab, hanya jika kita menemukan maka kita tahu sesuatu itu ada. Tapi jika kita tidak menemukan,
kita tak bisa mengatakan bahwa sesuatu adalah tidak ada.” (Jati, hlm. 118)
“[...] kita mungkin tidak punya kemampuan untuk mengampuni. Yang bisa kita lakukan adalah
berdamai. Berdamai dengan sisi lain manusia yang tak kita mengerti.” (hlm. 206)

IDENTIFIKASI
Saya memperoleh banyak pengetahuan baru tentang sejarah (terutama tentang candi dan peristiwa
penumpasan PKI), cerita-cerita rakyat, arkeologi, yang dikemas dengan kisah petualangan dan
romance, yang khas Ayu: seksis. Mungkin sebagian pembaca akan merasa kurang menyukai persepsi
“cinta” yang ditulis oleh Ayu di novel ini, yaitu bahwa cinta seolah identik dengan berahi (bacalah,
betapa inginnya Marja menunggangi Jati). Namun bagi saya, hal itu tidak masalah.
Bahasa yang digunakan terkesan mudah dipahami dan tidak berbelit-belit.kalian bisa membaca nya
jika sudah berusia di atas 18+ karena banyaknya adegan dewasa dan seksualitas bebas.

Nama : Syayif Izzuddin Karimi


Kelas : XII BBU
No absen : 20

Anda mungkin juga menyukai