Anda di halaman 1dari 58

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR i
ISI...................................................................................................
KATA iii
PENGANTAR ...................................................................................
BAB I 1

PENDAHULUAN.........................................................................
A. Latar Belakang.......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 9
C. Tujuan dan manfaat penelitian ................................................. 9

BAB III DISTRIBUSI PENDAPATAN DALAM SISTEM


EKONOMI ISLAM ...................................................................... 2
4
A. Distribusi .................................................................................. 2
4
1. Pengertian Distribusi .......................................................... 2
4
2. Jenis-jenis Distribusi .......................................................... 2
7
3. Distribusi Dalam Islam....................................................... 2
8
B. Pendapatan................................................................................ 3
2
1. Pengertian Pendapatan........................................................ 3
2
2. Sumber Pendapatan ............................................................ 3
5
3. Pendapatan Dalam Islam .................................................... 3
5
C. Distribusi Pendapatan Dalam Ekonomi Islam.......................... 4
5
1. Konsep Distribusi Pendapatan Dalam Ekonomi Islam............45
2. Prinsip-prinsip Distribusi Pendapatan Dalam Ekonomi
Islam.........................................................................................48
3. Instrumen Distribusi Pendapatan.............................................56
4. Tujuan Distribusi Pendapatan Dalam Ekonomi Islam.............60

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat


Ilahi Rabbi, Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya yang
tidak terhitung banyaknya. Salawat dan salam semoga tetap tercurah kepada
junjungan kita Nabi Muhammad Saw, yang telah menuntun manusia kepada
jalan yang lurus untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Berkat rahmat
dan limpahan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Konsep Distribusi Pendapatan Dalam Sistem Ekonomi Islam Menurut
Perspektif M. Abdul Mannan”.

g memerintahkan manusia menginfakkan harta dan memberi makan orang-orang


fakir, miskin, dan kekurangan, seperti dalam QS al-Hajj: 28, al-Baqarah: 177, 184,
215, al-Insan: 8, al-Fajr: 13-14, dan al-Maidah: 89. Al-Quran menyatakan bahwa
dalam setiap harta terdapat hak bagi orang miskin. Allah Swt berfirman:

Artinya: Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang
meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian." (QS. adz-
Dzariyat/51: 19).5

Dalam Islam, kebutuhan memang menjadi alasan untuk mencapai


pendapatan minimum. Sedangkan kecukupan dalam standar hidup yang baik
(nisab) adalah hal yang paling mendasari dalam sistem distribusi dan redistribusi
kekayaan, setelah itu baru dikaitkan dengan kerja dan kepemilikan pribadi. Setiap
umat harus mampu mencapai yang minimum dulu, bahkan diupayakan agar dapat
mencapai standar hidup yang sudah bisa dikatakan baik. Standar kecukupan ini
diasumsikan oleh para ulama sebagai titik pembeda dengan yang kekurangan
(limit of pittance).
Islam mengenal batasan tersebut merupakan hak orang yang harus
disediakan oleh otoritas sosial dari negaranya. Ini artinya kewajiban menyisihkan
sebagian harta bagi “yang berkecukupan‟ untuk mereka “yang kekurangan‟
adalah merupakan dana kompensasi atas kekayaan mereka. Dan untuk hal ini,
otoritas negara punya kewenangan untuk pengelolaannya.6
Agama Islam memberikan kebebasan kepada umat manusia untuk
memiliki kekayaan, tetapi tidak membiarkan manusia begitu saja untuk memiliki
semua apa yang dia inginkan, dan menggunakan berbagai cara yang mereka
kehendaki. Kekayaan memang penting tetapi yang lebih penting lagi adalah cara
pendistribusiannya, karena jika distribusi kekayaan itu tidak tepat, maka sebagian
kekayaan itu akan beredar di tangan orang-orang kaya saja dan mengakibatkan
penderitaan pada orang-orang miskin. Oleh karena itu, kesejahteraan rakyat tidak
sepenuhnya tergantung pada hasil produksi, tetapi juga tergantung pada ditribusi
pendapatan yang tepat. Seperti yang diutarakan oleh Afzalur Rahman, jika suatu
negara mempunyai kelebihan kekayaan, tetapi distribusinya tidak berdasarkan
pada prinsip keadilan dan kebenaran, maka negara itu belum dianggap berhasil.7
Di Indonesia sendiri yang merupakan negara yang terkenal dengan
kekayaan sumber daya alamnya pun belum mampu menerapkan distribusi dengan
prinsip keadilan. Seperti yang disampaikan oleh Suhariyanto kepala Badan Pusat
Statistik bahwa tingkat kemiskinan menurut pulau di Indonesia sampai September
2017 masih terpusat di Indonesia bagian Timur, yakni Maluku dan Papua dengan
persentase 21,23%. "Penyebaran kemiskinan menurut pulau tidak banyak
berubah, kemiskinan masih terpusat di Indonesia Timur, di mana Maluku dan
Papua 21,23% dan terendah di Kalimantan 6,18%, selain itu kemiskinan menurut
kota dan desa, bahwa persentase penduduk miskin di pedesaan selalu lebih tinggi
dibanding perkotaan. Sehingga kalau mau berantas kemiskinan perlu perhatian
khusus ke pedesaan, dengan memperhatikan karakteristik penduduk miskin di
pedesaan, di mana mayoritas bekerja di sektor pertanian,".8
Masalah distribusi pendapatan telah dibahas juga oleh beberapa tokoh
ekonom muslim, seperti Baqir Sadr dari mazhab Iqtishaduna. Mazhab ini
berpendapat bahwa permasalahan ekonomi muncul karena adanya distribusi
yang tidak merata dan tidak merata dan tidak adil sebagai akibat sistem ekonomi
yang membenarkan terjadinya eksploitasi atas sekelompok pihak yang kuat,
dimana pihak yang kuat akan mampu menguasai sumber daya yang ada
sementara di pihak lain, pihak yang lemah sama sekali tidak mempunyai akses
trhadap sumber daya tersebut. sehingga masalah ekonomi muncul bukan karena
sumber daya yang terbatas, tetapi karenakeserakahan manusia yang tidak
terbatas. Dalil yang digunakan mazhab ini didasarkan pada Qs. Al-Qamar: 49.
Mazhab ini juga menolak anggapan bahwa kebutuhan manusia sifatnya
tidak terbatas. Sebab, dalam kebutuhan tertentu misalnya makan dan minum
manakala perut sudah merasa kenyang, maka dia sudah merasa puas karena
kebutuhannya telah terpenuhi. Sehingga kesimpulannya, bahwa kebutuhan
manusia sifatnya tidak terbatas sebagaimana dijelaskan dalam konsep law of
diminishing marginal utility bahwa semakin banyak barang yang dikonsumsi,
maka pada titik tertentu justru akan menyebabkan tambahan kepuasan dari
setiap tambahan jumlah barang yang dikonsumsi akan semakin bekurang.9
Dengan berbagai problem diatas, maka istilah ekonomi Islam menurut
mazhab ini adalah suatu istilah yang tidak tepat dan menyesatkan, sehingga
istilah ekonomi Islam harus dihentikan dan dihilangkan. Sebagai gantinya untuk
menjelaskan mengenai sistem ekonomi dengan prinsip Islam ditawarkan suatu
istilah baru yang berasal dari filosofi Islam, yaitu iqtishad. Iqtishad menurut
mazhab ini bukan sekedar terjemahan dari ekonomi saja. Iqtishad berasal dari
bahasa Arab qasd yang secara harfiah berarti equilibrium atau keadaan sama,
seimbang atau pertengahan. Semua teori ekonomi konvensional ditolak dan
dibuang, serta diganti oleh teori-teori baru yang disusun berdasarkan nash-nash
Al-Quran dan Sunnah. Oleh karena itu, meyusun dan merekonstruksi ilmu
ekonomi tersendiri yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah merupakan
sebuah keharusan.10
Berbeda dengan mazhab di atas, mazhab Mainstream justru kebalikan
dari mazhab iqtishaduna. Mazhab mainstream justru setuju dengan ekonomi
konvensional bahwa maslah ekonomi muncul karena sumber daya yang terbatas
di hadapan pada keinginan manusia yang tidak terbatas. Perbedaannya hanya
dalam penyelesaian masalah ekonomi tersebut. masalah kelangkaan sumber
daya menyebabkan manusia harus melakukan pilihan. Mazhab ini memakai dalil
Qs. Al-baqarah: 155. Adapun keinginan manusia tidak terbatas dianggap sebagai
hal yang alamiah dan brsifat sunnatullahserta merupakan fitrah manusia,
dalilnya terdapat dalam Qs. At-takatsur: 1-5.
Perbedaan mendasar mazhab ini dengan ekonomi konvensional adalah
dalam penyelesaian masalah ekonomi tersebut. Dalam ekonomi konvensional,
pilihan dan penentuan skala prioritas dilakukan berdasarkan selera pribadi
masing-masing tidak peduli apakah itu bertentangan dengan norma serta nilai
agama ataukah tidak. Adapun dengan ekonomi Islam, penetuan pilihan tidak
bisa tanpa aturan, sebab semua sendi kehidupan telah diatur dan dipandu oleh
Allah SWT lewat Al-Quran dan Sunnah.11
Sehingga sebagai manusia ekonomi Islam(homo Islamicus), manusia
harus selalu patuh pada aturan-aturan syariah yang ada. Oleh karena itu, mazhab
initidak pernah membuang sekaligus teori-teori ekonomi konvensional. Yang
bermanfaan diambil, yang tidak bermanfaat dibuang, sehingga terjadi suatu
proses transformasi keilmuwan yang diterangi dan dipandu oleh prinsip-prinsip
syariah Islam. Sebab keilmuwan yang saat ini berkembang di dunia barat pada
dasarnya merupakan pengembangan keilmuwan yang dikembangkan oleh para
ilmuwan muslim pada era dark ages, sehingga bukan tak mungkin ilmu yang
berkembang sekarang pun masih ada beberapa yang sarat nilai karena
merupakan pengembangan dari pemikiran ilmuwan muslim terdahulu.12
Dengan melihat kenyataan tersebut, maka penulis ingin meneliti
bagaimana konsep distribusi pendapatan dalam sistem Ekonomi Islam, dengan
keyakinan bahwa ekonomi Islam memuat konsep distribusi yang sarat akan nilai
keadilan, moral dan norma. Dan pada penelitian ini penulis fokus kepada konsep
distribusi yang ditawarkan oleh M. Abdul Mannan, karena konsep distribusi dari
mazhab inilah yang paling dianggap sesuai dengan sistem ekonomi
kontemporer. Sehingga penelitian ini mencoba mencari titik temu antara konsep
distribusi M. Abdul Mannan dengan ekonomi saat ini, agar konsep distribusi
dapat diaplikasikan dalam sistem ekonomi kontemporer khususnya di Indonesia.
Permasalahan dalam penelitian ini meliputi: bagaimana konsep distribusi
perspektif M. Abdul Mannan, bagaimana keadaan pendistribusian yang terjadi
saat ini, bagaimana relevansi konsep M. Abdul Mannan dengan ekonomi
kontemporer. Permasalahan tersebut muncul karena pertama, sistem ekonomi
Islam bertujuan menyejahterakan masyarakat dan mewujudkan maqasid al-
syariah, serta menjunjung tinggi nilai keadilan, sehingga pada tataran distribusi
yang menjadi landasan penting ialah "agar kekayaan tidak terkumpul hanya pada
satu kelompok di antara kamu".

Firman Allah SWT dalam al-Qur‟an surat al Hasyr' ayat 7 :

Artinya: “Apa saja harta rampasan yang diberikan Allah kepada RasulNya yang
berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk
Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-
orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara
orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul
kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
amat keras hukumannya” (QS al Hasyr' ayat 7).13

Berdasarkan ayat di atas, ekonomi Islam tidak membenarkan


penumpukan kekayaan hanya pada orang-orang tertentu atau kelompok tertentu.
Bahkan menggariskan prinsip keadilan dan persaudaraan (kasih sayang) pada
konsep distribusinya. Pengelolaan kekayaan tidak dibenarkan hanya berpihak
pada golongan atau sekelompok orang tertentu tetapi juga harus tersebar ke
seluruh masyarakat. Sebaliknya Islam pun tidak memaksa semua individu
diletakkan pada tingkat ekonomi yang sama.14
Masalahnya adalah, bagaimanakah mewujudkan distribusi pendapatan
perspektif Islam, khususnya perspektif M. Abdul Mannan. Apakah distribusi
pendapatan perspektif M. Abdul Mannan sudah diwujudkan di Indonesia, dan
bagaimana kenyataan pelaksanaannya saat ini di Indonesia.
Berpijak pada pentingnya masalah di atas, maka penulis hendak
mengangkat tema ini dengan judul: Konsep Distribusi Pendapatan Dalam Sistem
Ekonomi Islam Menurut Perspektif M. Abdul Mannan.

A. Rumusan Masalah
Permasalahan merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat
pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin dicarikan jawabannya. Bertitik tolak
pada keterangan itu, maka yang menjadi pokok permasalahan:
1. Bagaimana konsep distribusi pendapatan perspektif M. Abdul Mannan?
2. Bagaimana relevansi konsep distribusi perspektif M. Abdul Mannan
dengan ekonomi kontemporer?
BAB III
DISTRIBUSI PENDAPATAN DALAM SISTEM EKONOMI ISLAM

A. Distribusi
1. Pengertian Distribusi

Distribusi berakar dari bahasa inggris distribution, yang berarti


penyaluran. Sedangkan kata dasarnya to distribute, berdasarkan kamus inggris
indonesia John M. Echols dan Hassan Shadilly, bermakna membagikan,
menyalurkan, menyebarkan, mendistribusikan dan mengageni. Sedangkan dalam
kamus bahasa Indonesia, pengertian distribusi adalah pembagian pengiriman
barang-barang kepada orang banyak atau ke beberapa tempat.35
Jadi, berdasarkan rujukan diatas, distribusi dapat dimengerti sebagai
proses penyaluran barang atau jasa kepada pihak lain. Disini tidak ada penegasan
bahwa produksi sebagai proses yang menjembatani menuju proses konsumsi.
Selain itu ilmuan ekonomi konvensional Philip Kotler mendefinisikan distribusi
adalah himpunan perusahaan dan perorangan yang mengambil alih hak, atau
membantu dalam mengalihkan hak atas barang atau jasa tersebut berpindah dari
produsen ke konsumen.36
Sedangkan para ahli ekonomi klasik menjelaskan distribusi sebagai alokasi
nilai-nilai yang dikaitkan dengan pertukaran sosial. Nilai-nilai langka biasanya
dihubungkan dengan tenaga kerja, kapital, tanah, teknologi, dan organisasi
sehingga barang dan jasa juga menjadi bernilai langka. Dengan kata lain, sesuatu
yang memiliki nilai-nilai langka biasanya, dalam bentuk barang dan jasa,
memperoleh nilai (sifat) kelangkaan tersebut karena dikaitkan dengan aktivitas
yang berhubungan dengan tenaga kerja, kapital, tanah, atau organisasi. Misalnya,
emas sebagai barang langka tidak terdapat pada setiap tempat. Jika emas terdaapat
di suatu tempat, maka pada umumnya, untuk mendapatkannya perlu aktivita yang
menggunakan tenaga kerja, kapital, tanah atau organisasi. Karena nilai kelangkaan
,

dari sesuatu tersebut maka ia butuh atau perlu untuk dialokasikan melalui proses
pertukaran tersebut dilakukan melalui pasar.
Bagi sosiolog, proses yang dikatakan ekonom tersebut terjadi dalam suatu
jaringan hubungan sosial interpersonal. Jadi, distribusi dapat dimengerti sebagai
suatu perangkat hubungan sosial yang melaluinya orang mengalokasikan barang
dan jasa yang dihasilkan. Distribusi juga menunjuk suatu proses alokasi dari
produksi barang dan jasa sampai ketangan konsumen atau proses konsumsi.
Dengan demikian distribusi merupakan proses yang mengantarai produksi barang
dan jasa dengan proses konsumsinya.37
Dalam literatur ekonomi, istilah distribusi memiliki dua konotasi, yaitu;
pertama; distribusi yang dikaitkan dengan produksi (distribusi produksi) atau
kelanjutan dari kegiatan produksi. Kedua; distribusi yang dikaitkan dengan
pemerataan pendapatan (income distribution). Sebagai kelanjutan dari produksi,
distribusi adalah berbagai strategi yang dilakukan (marketing strategy) agar
produk yang dihasilkan dapat sampai ketangan konsumen dengan jumlah, tempat
dan waktu yang tepat. Jadi distribusi produksi adalah kajian menyangkut
penempatan lokasi usaha, lokasi target pasar, bagaimana cara mencapai target
pasar, penempatan gudang dan pengangkutan produk.38
Yusuf Qardhawi menjelaskan distribusi dalam ekonomi kapitalis terfokus
pada pasca produksi, yaitu pada konsekuensi proses produksi bagi setiap proyek
dalam bentuk uang ataupun nilai, lalu hasil tersebut didistribusikan pada
komponen-komponen produksi yang berandil dalam memproduksinya, yaitu
empat komponen berikut:
1. Upah, yaitu upah bagi para pekerja, dan sering kali dalam hal upah, para
pekerja diperalat desakan kebutuhannya dan diberi upah di bawah
standar.
2. Bunga, yaitu bunga sebagai imbalan dari uang modal (interest on
capital) yang diharuskan pada pemilik proyek.
3. Ongkos, yaitu ongkos untuk sewa tanah yang dipakai untuk proyek; dan
4. Keuntungan, yaitu keuntungan (profit) bagi pengelola yang
menjalankan praktek pengelolaan proyek dan manajemen proyek, dan ia
bertanggung jawab sepenuhnya.

Berkaitan dengan masalah distribusi, sistem kapitalisme menggunakan


asas bahwa penyelesaian kemiskinan dan kekurangan dalam suatu negara dengan
cara meningkatkan produksi dalam negeri dan memberikan kebebasan bagi
penduduk untuk mengambil hasil produksi (kekayaan) sebanyak yang mereka
produksi untuk negara. Dengan terpecahkannya kemiskinan dalam negeri, maka
terpecah pula masalah kemiskinan individu sebab perhatian mereka pada produksi
yang dapat memecah masalah kemiskinan pada mereka. Maka solusi yang terbaik
untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat adalah dengan meningkatkan
produksi.39
Selain itu, ekonomi kapitalisme memfokuskan pembagian “pemasukan
negara” di antara unsur-unsur produksi, kemudian memperhatikan penyelesaian
faktor-faktor yang menentukan harga (bagian) unsur-unsur produksi dari
“pemasukan negara”. Karena itu kapitalisme memutlakkan sistem distribusi
dengan terminologi “teori harga unsur produksi”. Sedangkan distribusi individu,
yakni disribusi income diantara individu masyarakat dan kelompoknya, tidak
mendapat perhatian kapitalisme kecuali dimasa belakangan ini, dan dengan
tingkat yang terbatas.40
Sesungguhnya sistem ekonomi kapitalis telah gagal dalam merealisasikan
keadilan distribusi yang berdampak pada penderitaan masyarakat yang
menjadikan kapitalisme sebagai pedoman dalam kehidupan ekonominya. Bahkan
kapitalisme mulai menderita krisis yang mendekatkan kepada kehancurannya,
dimana dunia mulai mendengar jeritan yang memilukan yang keluar dari ibu kota
kapitalisme tentang keharusan menempatkan “jalan ketiga” sebagai ganti
kapitalisme yang telah nampak tidak mampu menghadapi krisis besar yang
diderita oleh dunia di bawah bayang-bayang kapitalisme.
Sedangkan ekonomi sosialis tidak bisa mewujudkan keadilan bagi
tingkatan pekerja seperti yang didalihkan, bahkan justru memiskinkan masyarakat
dalam semua tingkatan dan kelompoknya, sehingga sistem ini semakin terpuruk,
kemudian menghembuskan nafasnya yang terakhir di tanah ainya sendiri, karena
dia kontradiksi dengan fitrah manusia, dan berjalan di dalam arus balik
kehidupan, sehingga menyeretnya ke bak sampah sejarah.41

2. Jenis Distribusi
Para ahli ekonomi pada umumnya membedakan antara dua ukuran utama
dari distribusi pendapatan baik untuk tujuan analisis maupun kuantitatif yaitu:
a. Distribusi Pendapatan Perseorang
Distribusi Pendapatan perseorangan memberikan gambaran tentang
distribusi pendapatan yang diterima oleh individu/perorangan termasuk
pula rumah tangga. Dalam konsep ini, yang diperhatikan adalah seberapa
banyak pendapatan yang diterima oleh seseorang, tidak dipersoalkan cara
yang dilakukan oleh individu/rumah tangga untuk memperoleh
pendapatannya, banyaknya anggota rumah tangga yang mencari
penghasilan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga serta apakah
penghasilan tersebut berasal dari bekerja atau sumber lainnya seperti
bunga, hadiah, keuntungan maupun warisan. Demikian pula tempat dan
sektor sumber pendapatan pun turut diabaikan.
b. Distribusi Pendapatan Fungsional
Distribusi Pendapatan Fungsional mencoba menerangkan bagian
dari pendapatan yang diterima oleh tiap faktor produksi.Faktor-faktor
produksi tersebut terdiri dari tanah (SDA), tenaga kerja, dan
modal.Pendapatan didistribusikan sesuai dengan fungsinya, seperti buruh
menerima upah, pemilik tanah menerima sewa, dan pemilik modal
menerima bunga serta laba.Jadi setiap faktor produksi memperoleh
imbalan sesuai dengan distribusinya pada produksi nasional, tidak lebih
dan tidak kurang.

41
Ibid, h. 213
3. Distribusi Dalam Islam
Distribusi merupakan salah satu aktivitas perekonomian manusia, di
samping produksi dan konsumsi. Dorongan al-Qur'an pada sektor distribusi
telahdijelaskan secara eksplisit. Ajaran Islam menuntun kepada manusia untuk
menyebarkan hartanya agar kekayaan tidak menumpuk pada segolongan kecil
masyarakat saja. Pendistribusian harta yang tidak adil dan merata akan membuat
orang yang kaya bertambah kaya dan yang miskin semakin miskin. Sebagai salah
satu aktivitas perekonomian, distribusi menjadi bidang kajian terpenting dalam
perekonomian.
Distribusi menjadi posisi penting dari teori mikro Islam sebab pembahasan
dalam bidang distribusi ini tidak berkaitan aspek sosial dan politik sehingga
menjadi perhatian bagi aliran pemikir ekonomi Islam dan konvensional sampai
saat ini.42
Dalam perspektif Ekonomi Islam distribusi memiliki makna yang luas,
yaitu mencakup pengaturan kepemilikan, unsur-unsur produksi dan sumber-
sumber kekayaan. Oleh karena itu, distribusi merupakan permasalahan utama
dalam Ekonomi Islam, karena distribusi memiliki hubungan erat dengan tingkat
kesejahteraan suatu masyarakat. Adapun kesejahteraan dalam Ekonomi Islam
diukur berdasarkan prinsip pemenuhan kebutuhan setiap individu masyarakat,
bukan atas dasar penawaran dan permintaan, pertumbuhan Ekonomi, cadangan
devisa, nilai mata uang ataupun indeks harga-harga di pasar non-riil, sebagaimana
dialami dalam sistem Ekonomi Kapitalisme. Hal ini juga dipengaruhi oleh
pandangan para Ekonom Kapitalis tentang masalah utama dalam Ekonomi, yaitu
produksi.43
Dalam al-Quran ada beberapa ayat yang mengisyaratkan mengandung
maknadistribusi, diantaranya yaitu:
a. Kata Dawlah
Secara etimologi, kata al-dulah dan al-dawlah adalah lafazh
sinonim, berakar kata dengan huruf-huruf dal-waw-lam. Al-daulah
merupakan suatu isim (kata benda)yang zatnya terus berputar, sedangkan
al-dulah adalah mashdar. Firman Allah SWT“…agar harta itu tidak hanya
berputar (tersirkulasi) di antara orang kaya saja”. Tadawala al-qaum kadza
artinya sekelompok orang mendapatkan sesuatu sesuai dengan gilirannya.
Dawalallahu kadza bainahum artinya Allah menggilirkan hal tersebut di
antara mereka. Firman Allah “Masa (kejayaan dan kehancuran di antara
manusia (agar mereka mendapat pelajaran)”.44
Kata dulat dalam surah al-Hasyar ayat 7 menunjukkan makna
distribusi hartadan terkait dengan petunjuk Allah swt. bagaimana
seharusnya harta kekayaan itu dikelola agar pemerataan terwujud di
masyarakat. Kekayaan itu harus dibagi-bagikan kepada seluruh kelompok
masyarakat dan bahwa harta kekayaan itu “tidak boleh menjadi suatu
komoditas yang peredarannya terbatas di antara orang-orang kaya saja”.45
Kalimat dulatan baina agniya dimaksudkan sebagai milkan
mutadawalanbainahum khassah (harta yang tersirkulasi khusus
dikalangan mereka, maksudnya orang-orang kaya).46 Al-adulah adalah
harta yang berputar di kalangan manusia dan beredar dari tangan ke
tangan.47

Kesenjangan kehidupan ekonomi dalam masyarakat akibat


penumpukan kekayaan di tangan sekelompok masyarakat dapat
menimbulkan sikap destruktif. Bagi kelompok miskin akan muncul
kebencian dan sakit hati terhadap orang-orang kaya yang hidup mewah.
Penimbunan harta kekayaan yang berlebihan, dan setiap harta yang
terbatas peredarannya pada orang-orang kaya saja, dan melarangnya

44
Ragib al-Asfahaniy, Mu’jam Mufradat al-Fazh al-Quran. (Beirut: Dar al-Fikr, TT), h.

176.
45
Afzalurrahman, Muhammad sebagai Seorang Pedagang. h. 286.
46
Hasanain muhammad Machluf, Kalimat al-Quran. Tafsir wa bayan. (Cairo: Dar al-Fikr,

1956), h.204.
47
Muhammad Husain Thabathaba‟i, Tafsir Mizan. Juz 17. (Dar al-Kutub al-Islamiyah,
1342), h. 334
terhadap orang-orang miskin tidak diterima oleh Islam, akan tetapi
seharusnya dari orang-orang yang kaya mengeluarkan dan mengedarkan
hartanya terhadap sesama manusia serta memberikan haknya kepada
orang-orangg miskin agar terwujud suatu pemerataan dalam menikmati
anugrah Allah swt. kepada seluruh lapisan masyarakat.
b. Kata Nudawiluha
Kata nudawiluha bermakna “Kami pergilirkan”. Allah Swt
berfirman dalam surahAli Imran/3: 140. Al-Quran yang penuh dengan
rekaman sejarah umat manusia terdahulu, memberikan penjelasan kepada
kaum muslimin pada masa awal sejarah Islam, semangat yang tinggi untuk
mempelajari sejarah. Al-Quran melukiskan kehidupan manusia, peradaban
dan jatuh bangunnya bangsa dan Negara dan memberi peringatan kepada
manusia bahwa kehidupan diatas bumi pada suatu ketika akan berakhir dan
manusia kembali kepada Tuhan-Nya. Bangsa-bangsa telah datang dan
pergi, muncul dan lenyap, kecuali Allah yang kekal dan abadi. Menurut
ayat ini hukum Allah akan berlaku bahwa keruntuhan suatu umat terjadi
apabila ia lalai mempelajari fakta sejarah orang-orang terdahulu dan puing-
puing kehancurannya. Ketika mengomentari ayat-ayat ini, Ali mengatakan
bahwa keberhasilan dan kegagalan didunia ini datang silih berganti,dan
kita tidak boleh menggerutu karena kita tidak mengetahui tentang apa
rencana Tuhan.48

Selanjutnya, ditemukan kata yang sepadan dengan Dawlah, yaitu tawzi’


dan taswiq. Deskripsi ayat-ayat berikut berdasarkan pengelompokan makkiy dan
madaniy.

a. Kata Tawzi’
Kata ini disebutkan lima kali dalam tiga surah Makkiyah, masing-
masing: surat an-Naml tiga kali, Fushshilat satu kali, dan dalam surah al-
Ahqaf satu kali. Kata at tawzi’ berasal dari huruf waw-zai-a’in.
Dikatakanwaza’tuhu ‘an kadza wa kafaftuhu: Aku menahan dan

48
Abdullah Yusuf Ali, The Glorious Kur’an. Translation and Commentary. (Bairut: Dar al-
Fikr, 1938), h. 158
mencegahnya dari sesuatu. Allah berfirman: wa husyira… sampai dengan
fahum yuuza’un. Maka perkataan Yuza’un mengisyaratkan (menunjukkan)
bahwa pasukan yang besar tersebut tidak terlantar dan tidak bercerai-berai
sebagaimana layaknya pasukan yang besar tetapi tetap tunduk dan patuh
pada perintah komando.
Ada pula yang menafsirkan kata yuza’un dengan yang pertama
diantara mereka ditahan atas yang akhir (dibariskan/dijajarkan) dengan
rapi. Dan firman Allah wa yauma yuhsyaru… sampai dengan fahum
yuza’un. Kata waz‟un disini memiliki makna al-‘uqubah (hukuman)
sebagaimana firman Allah swt “Dan bagi mereka belenggu (yang terbuat)
dari besi”. Dan firman Allah Rabbi awzi’ni ‘an asykura nikkmataka
sebagian ulama berpendapat kata awzi‟ni memiliki pengertian alhimni
(berilah aku ilham) yang dijelmakan dalam kalimat awlini zalika waj’alni
bihatsu‘uzi’a nafsii ‘anil kufran (berilah aku ilham dan jadikanlah aku
sebagaimana dijauhkannya diriku dari kekafiran). 49

b. Kata Taswiq
Kata ini disebutkan empat kali masing-masing dalam surah al-
Furqan dua kali, Shad satu kali dalam periode Makkiyah dan satu kali
terdapat surah al-fath yang diturunkan di Madinah, Madaniyah. Kata
Taswiq50 berasal dari kata suuq terdiri atas huruf sin-waw-qaf, yangberarti
mendorong, menolak, mengiring sesuatu. As-suq juga memiliki pengertian
pasar, karena segala sesuatu digiring menuju ketempat itu dan jamak dari
kata suq adalah aswaq.
Pasar adalah tempat atau keadaan yang mempertemukan antara
permintaan (pembeli) dengan penawaran (penjualan) untuk setiap jenis
barang, jasa, atausumberdaya.51 Pasar adalah suatu mekanisme pertukaran
yang mempertemukan para penjual dan pembeli suatu produk, faktor

49
Wahbah Zuhaili. al-Tafsir al-Mizan fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj. Juz. 3. (Beirut:
Dar al-Fikr, 1991)
50
Wahbah Zuhaili. Al-Tafsir al-Mizan, Juz 19, h. 271
51
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta:IIIT Indonesia, 2003), h.8
produksi, atau surat berharga.52 Paraekonom umumnya mendefinisikan
sebuah pasar sebagai kelompok produk yang dipandang sebagai substitusi
antara satu dengan yang lainnya oleh para konsumen. Salah satu
bentuknya hal-hal yang dilarang Allah seperti curang dalam menakar,
menimbang atau menipu kualitas harga atau barang.

B. Pendapatan
1. Pengertian Pendapatan
Dalam kamus besar bahasa indonesia pendapatan adalah hasil kerja (usaha
atau sebagainya).53 Sedangkan pendapatan dalam kamus manajemen adalah uang
yang diterima oleh peroragan, perusahaan dan organisasi lain dalam bentuk upah,
gaji, sewa, bunga, komisi, ongkos dan laba.54
Pendapatan menurut ilmu ekonomi merupakan nilai maksimum yang dapat
dikonsumsi oleh seseorang dalam suatu periode dengan mengharapkan keadaan
yang sama pada akhir periode seperti keadaan semula. Pengertian tersebut menitik
beratkan pada total kuantitatif pengeluaran terhadap konsumsi selama satu
periode. Dengan kata lain, pendapatan adalah jumlah harta kekayaan awal periode
ditambah keseluruhan hasil yang diperoleh selama satu periode, bukan hanya
yang dikonsumsi. Defenisi pendapatan menurut ilmu ekonomi menutup
kemungkinan perubahan penilaian yang bukan diakibatkan perubahan modal dan
hutang.55
Pendapatan seseorang juga dapat di defenisikan sebagai banyaknya
penerimaan yang dinilai dengan satuan mata uang yang dapat dihasilkan
seseorang atau suatu bangsa dalam suatu periode tertentu. Reksopriyatno
mendefenisikan pendapatan dapat diartikan sebagai total penerimaan yang
diperoleh pada periode tertentu.56
Rumah tangga adalah pemilik berbagai faktor produksi yang tersedia
dalam perekonomian. Sektor ini menyediakan tenaga kerja dan tenaga usahawan,
selain itu sektor ini memiliki faktor-faktor yang lain yaitu barang-barang modal,
kekayaan alam, dan harta tetap seperti tanah, dan bangunan. Mereka akan
menawarkan faktor-faktor produksi ini kepada sektor perusahaan sebagai balas
jasa terhadap penggunaan berbagai jenis pendapatan kepada sektor rumah tangga.
Tenaga kerja menerima gaji dan upah, dan pemilik keahlian kewirausahaan
menerima keuntungan.
Berbagai jenis pendapatan akan digunakan oleh rumah tangga untuk
tujuan mereka. Diantaranya adalah untuk membeli berbagai barang ataupun jasa
yang diperlukannya. Dalam perekonomian yang relatif masih rendah
perkembangannya, sebagian besar pendapatan yang dibelanjakan tersebut
digunakan untuk membeli makanan dan pakaian, yaitu keperluan sehari-hari yang
paling pokok. Pada tingkat perkembangan ekonomi yang lebih maju pengeluaran
untuk makanan dan pakaian bukan lagi merupakan bagian yang terbesar dari
pengeluaran rumah tangga. Pengeluaran-pengeluaran lain seperti untuk
pendidikan untuk pengangkutan, perumahan dan rekreasi menjadi sangat penting.
Disamping dibelanjakan, pendapatan yang diterima oleh rumah tangga akan
disimpan atau di tabung. Penabungan ini dilakukan untuk memperoleh
keuntungan atau dividen. Tabungan ini juga berfungsi sebagai cadangan dalam
menghadapi berbagai kesusahan dimasa yang akan datang.57
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendapatan adalah sebagai
jumlah penghasilan yang diterima oleh para anggota masyarakat untuk jangka
waktu tertentu sebagai balas jasa atau faktor-faktor produksi yang telah
disumbangkan.
Pendapatan masyarakat adalah penerimaan dari gaji atau balas jasa dari
hasil usaha yang diperoleh individu atau kelompok rumah tangga dalam satu
bulan dan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Sedangkan pendapatan dari
usaha sampingan adalah pendapatan tambahan yang merupakan penerimaan lain
dari luar aktivitas pokok atau pekerjaan pokok. Pendapatan sampingan yang
diperoleh secara langsung dapat digunakan untuk menunjang atau menambah
pendapatan pokok.
Soekartawati menjelaskan pendapatan akan mempengaruhi banyaknya
barang yang dikonsumsikan, bahwa sering kali dijumpai dengan bertambahnya
pendapatan, maka barang yang dikonsumsi bukan saja bertambah, tapi kualitas
barang tersebut ikut jadi perhatian. Misalnya sebelum adanya penambahan
pendapatan beras yang dikonsumsikan adalah kualitas yang kurang baik, akan
tetapi setelah adanya penambahan pendapatan maka konsumsi beras menjadi
kualitas yang lebih baik.58
Tingkat pendapatan merupakan salah satu kriteria maju tidaknya suatu
daerah. Bila pendapatan suatu daerah relatif rendah, dapat dikatakan bahwa
kemajuan dan kesejahteraan tersebut akan rendah pula. Demikian pula halnya bila
pendapatan masyarakat suatu daerah relatif tinggi, maka tingkat kesejahteraan dan
kemajuan daerah tersebut tinggi pula.59
Tinggi rendahnya pengeluaran sangat tergantung kepada kemampuan
keluarga dalam mengelola penerimaan atau pendapatannya. Selain itu,
pengalaman berusaha juga mempengaruhi pendapatan. Semakin baiknya
pengalaman berusaha seseorang maka semakin berpeluang dalam meningkatkan
pendapatan. Karena seseorang atau kelompok memiliki kelebihan keterampilan
dalam meningkatkan aktifitas sehingga pendapatan turit meningkat. Usaha
meningkatkan pendapatan masyarakat dapat dilakukan dengan pemberantasan
kemiskinan yaitu membina kelompok masyarakat dapat dikembangkan dengan
pemenuhan modal kerja, ketepatan dalam penggunaan modal kerja diharapkan
dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan usaha sesuai dengan yang
diharapkan sehingga upaya peningkatan pendapatan masyarakat dapat terwujud
dengan optimal.
2. Sumber Pendapatan
Pemenuhan kebutuhan pokok harus dilakukan lewat upaya-upaya individu
itu sendiri. Penekanan kewajiban personal bagi setiap muslim untuk memperoleh
penghidupannya sendiri dan keluarganya, tanpa terpenuhi kebutuhan ini, seorang
muslim tidak akan dapat mempertahankan kondisi kesehatan badan dan
mentalnya serta efisiensinya yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban
ubudiyahnya.60
Ibnu sina berpendapat bahwa adanya harta milik pribadi pada umumnya
berasal dari dua jalan, yaitu:
a. Harta warisan, yaitu harta yang diterima dari keluarga yang meninggal.
b. Harta usaha, yaitu harta yang diperoleh dari hasil bekerja. Lain halnya
dengan harta warisan, untuk memperoleh harta seseorang harus bekerja
keras untuk memperoleh harta agar dapat terus hidup. Terdapat perbedaan
besar antara pekerja intelektual dan pekerja kasar, pekerja terampil denga
pekerja yang tidak terampil. Akibatnya, tingkat keseimbangan pendapatan
di antara mereka akan berbeda. Perbedaan pendapatan juga bisa timbul
karena perbedaan keuntungan yang bukan berupa uang. Beberapa
pekerjaan lebih menyenangkan dari pekerjaan lainnya. Hal ini disebutkan
dalam surah an-nisa ayat 32. Islam tidak percaya dalam persamaan yang
tetap dalam distribusi kekayaan, karena menghendaki kesempatan bagi
perkembangan bakat masing-masing.61

3. Pendapatan Dalam Islam


Ada empat sumber pendapatan dalam Islam yang berasal dari faktor-faktor
produksi, yaitu sewa, upah, keuntungan, dan profit.
a. Sewa
Secara etimologi al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al’Iwadh/
penggantian, dari sebab itulah ats-Tsawabu dalam konteks pahala dinamai juga
al-ajru/upah. Adapun secara terminologi, para ulama fiqh berbeda pendapatnya,
antara lain:
1. Menurut Sayyid Sabiq, ijarah adalah suatu jenis akad atau transaksi untuk
mengambil manfaat dengan jalan member penggantian.
2. Menurut Ulama Syafi‟iyah, ijarah adalah suatu jenis akad atau transaksi
terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan boleh
dimanfaatkan, dengan cara memberi imbalan tertentu.
3. Menurut Amir Syarifuddin ijarah secara sederhana dapat diartikan dengan
akad atau transaksi manfaat atau jasa dengan imbalan tertentu. Bila yang
menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari suatu benda disebut
Ijarah al’Ain, seperti sewa menyewa rumah untuk ditempati. Bila yang
menjadi objek transaksi manfaat atau jasa dari tenaga seseorang disebut
Ijarah ad-Dzimah.62
4. Menurut Syaikh Syihab Al-Din dan Syaikh Umairah bahwa yang
dimaksud dengan ijarah ialah akad atas manfaat yang diketahui dan
sengaja untuk memberi dan membolehkan dengan imbalan yang diketahui
ketika itu.
5. Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie bahwa ijarah ialah akad yang objeknya
ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat
dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat.63

Definisi-definisi tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya


tidak ada perbedaan yang prinsip di antara para ulama dalam mengartikan ijarah
atau sewa-menyewa. Dari definisi tersebut dapat diambil intisari bahwa ijarah atau
sewa-menyewa adalah akad atas menfaat dengan imbalan. 64 Dilihat dalam definisi
yang diberikan tadi, hal-hal penting dalam ijarah adalah:
1. Ijarah adalah sebuah kontrak (akad).
2. Hak pemanfaatan atas sesuatu dialihkan.
3. Untuk aset tertentu.
4. Untuk periode waktu tertentu.
5. Dengan imbalan berupa uang sewa yang telah disetujui.
Praktek sewa-menyewa terkadang sering diartikan bahwa yang bisa
dijadikan objek sewa-menyewa adalah barang/benda, padahal selain itu juga ada
objek sewa-menyewa yang dibolehkan dalam syara‟ untuk dijadikan objek sewa-
menyewa. Berikut adalah macam-macam sewa-menyewa:
1. Ijarah ‘ala al-manafi.
Ijarah yang objek akadnya adalah manfaat, seperti menyewakan
rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai, baju untuk dipakai dan
lain-lain. Dalam ijarah ini tidak dibolehkan menjadikan objeknya sebagai
tempat yang dimanfaatkan untuk kepentingan yang dilarang oleh syara.
Para ulama berbeda pendapat mengenai kapan akad ijarah ini dinyatakan
ada. Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, akad ijarah dapat
ditetapkan sesuai dengan perkembangan manfaat yang dipakai.
Konsekuensi dari pendapat ini adalah bahwa sewa tidak dapat dimiliki
oleh pemilik barang ketika akad itu berlangsung, melainkan harus dilihat
dahulu perkembangan penggunaan manfaat tersebut.
Sementara itu ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa
ijarah ini sudah tetap dengan sendirinya sejak akad ijarah terjadi. Karena
itu, menurut mereka sewa sudah dianggap menjadi milik barang sejak
akad ijarah terjadi. Karena akad ijarah memiliki sasaran manfaat dari
benda yang disewakan, maka pada dasarnya penyewa berhak untuk
memanfaatkan barang itu sesuai dengan keperluannya, bahkan dapat
meminjamkan atau menyewakan kepada pihak lain sepanjang tidak
mengganggu dan merusak barang yang disewakan. Namun demikian ada
akad ijarah ala al-manafi yang perlu mendapatkan perincian lebih lanjut
yaitu:
a. Ijarah al-ardh (akad sewa tanah) untuk ditanami atau didirikan
bangunan. Akad sewa tersebut baru sah jika dijelaskan peruntukannya.
Apabila akadnya untuk ditanami, harus diterangkan jenis tanamannya,
kecuali jika pemilik tanah (mu’jir) memberi izin untuk ditanami
tanaman apa saja.
b. Akad sewa pada binatang harus jelas peruntukannya, untuk angkutan
atau kendaraan dan juga masa penggunaannya. Karena binatang dapat
dimanfaatkan untuk aneka kegiatan, jadi untuk menghindari sengketa
kemudian hari, harus diseratai rincian pada saat akad.
2. Ijarah ‘ala al-amaal ijarah
Ijarah yang objek akadnya jasa atau pekerjaan, seperti membangun
gedung atau menjahit pakaian. Akad ijarah ini terkait erat dengan masalah
upah mengupah. Karena itu, pembahasannya lebih dititik beratkan kepada
pekerjaan atau buruh (ajir). Ajir dapat dibedakan menjadi dua macam
yaitu ajir khass dan ajir musytarak. Pengertian ajir khass adalah pekerjaan
atau buruh yang melakukan suatu pekerjaan secara individual dlam waktu
yang telah ditetapkan, seperti pembantu rumah tangga dan sopir.65
Menurut Wahbah az-Zuhaili, pekerjaan menyusukan anak kepada orang
lain dapat digolongkan dalam akad ijarah khass ini. Jumhur (kesepakatan)
ulama mengatakan seorang suami tidak boleh menyewa istrinya untuk
menyusukan anaknya karena pekerjaan tersebut merupakan kewajiban
istri. Bahkan Imam Malik menambahkan, suami dapat memaksa istrinya
untuk menyusukan anaknya (jika dia menolak).
Tentang persewaan tanah para fuqoha banyak sekali terjadi
perselisihan pendapat. Segolongan fuqoha‟ tidak membenarkan sewa-
menyewa tanah dalam bentuk apapun karena dalam perbuatan tersebut
terdapat kesamaran dimana pihak pemilik tanah memperoleh keuntungan
pasti, sementara itu pihak penyewa berada dalam keadaan untung-
untungan boleh jadi berhasil dan boleh jadi gagal, karena tertimpa
bencana. Pendapat ini dikemukakan oleh Thawus dan Abu Bakar bin
Abdur Rahman. Adapun jumhur fuqaha‟ pada dasarnya membolehkan
tetapi mereka memperselisihkan tentang jenis barang yang dipakai untuk
menyewakan (alat/ganti sewa). Berdasarkan hadis Rasulullah Saw:

.‫ِض‬ ‫عليو وسلم اهلل‬


َ‫كِ ر األ‬ ‫ْن َ ع‬ ‫َص‬ ‫اهلل‬ ‫َر ُس ُو ل‬
‫َِ ْر‬ ‫ّلى‬
‫اء‬
: ‫َقا َل‬ ِ ِ
‫َع ٍّمِ و‬ ‫َعْن‬ َ ‫ْن َراف ِع ْب ِن َخ دي‬
‫نَ▪ هى‬ ‫ٍج ع‬

). ‫ م▪سلم‬: ‫(رواه‬

Artinya: “Diriwayatkan oleh Rafi‟ bin Khudaij, dari pamannya, ia berkata:


„Rasulullah SAW melarang penyewaan tanah.” (HR. Muslim)

‫َح‬
‫م َأ ْن ي▪ْأخ▪َذ لِ▪ َْْل ْج˚)▪ر‬ ‫َصل َعلَْ▪يِ و‬ ‫َن▪َ هى ُس▪ ُو ل‬
ُ َ َ ‫َع▪ ْن ج▪َاِب▪ر ْب ِن َع▪ْب‬
. ‫و ِض َأ ُّظ‬ ‫َو‬ ّ ‫اهلل َر‬ ‫ِله‬ ‫ُد ا‬
َ ‫ْر‬ ُ‫ى اهلل‬
‫َس▪ل‬ )‫ م▪سلم‬: ‫(رواه‬

Artinya: “Dari Jabir bin Abdullah r.a, ia berkata: “Rasulullah saw. Melarang
pengambilan atau bagian tertentu dari tanah.” (HR: Muslim)

Sekelompok fuqaha‟ mengatakan bahwa persewaan tanah itu hanya


diperbolehkan dengan uang dirham dan dinar saja. Pendapat ini dikemukakan oleh
Rubi‟ah dan Said al Musayyad. Sekelompok lain mengatakan, bahwa persewaan
tanah boleh dilakukan dengan semua barang kecuali makanan, baik dengan
makanan yang tumbuh dari tanah tersebut ataupun bukan. Mereka juga
berpendapat bahwa persewaan tanah dengan makanan termasuk dalam penjualan
makanan dengan makanan tertunda.66 Fuqaha yang membolehkan persewaan
tanah dengan semua barang, makanan dan lainnya yang keluar dari tanah, mereka
mengemukakan alasan bahwa penyewaan tanah pada dasarnya adalah penyewaan
sesuatu manfaat yang tertentu dengan sesuatu yang tertentu pula, karenanya hal
itu diperbolehkan dengan mengqiyaskan semua manfaat.67

ِ‫ع ن ذل‬
َ ْ َ
memerintahkan kami agar membayar dengan emas atau perak.”(HR:
Abu Daud)

‫ر‬
˚‫ ُجَل‬: ‫ وَقا َل‬، ‫َمزاب▪َنِ ة‬ ‫َر ُس ُو ل اهلل صلى اهلل عليو وسلم َع ِن اْل ُِم‬ ‫َن▪َ هى‬
‫إِن‬ َ َ ُ ‫َحاقَ▪لَ ة‬
ُ ‫َّ ما يَْ▪ َزر‬
‫ َواْل‬: ˚‫ع َْثلَثة‬

‫ب‬ ٍ
‫َْأ و‬ ‫منِ ُج ˚ل ا ْسَت ْ َِك رى َأ ْر‬ ‫ً ي▪ضازرَف▪ ُه و‬ ‫ ور ُ ِم‬،‫ر ض َف▪ ه و ي▪ زرع ها‬
‫ًضا ب َذ َى ََور‬ ‫عََْأر ما‬
، ‫َ َُح‬ ُ َ َْ ‫ُ َ َْ َُجَُ ˚ل لَُوَ َأ ن‬ ˚ ْ
‫َح‬

) ‫ أبو داود‬: ‫ (رواه‬. ‫فِ َّضٍ ة‬

Artinya: “Rasulullah saw melarang al-Muhaqalah dan al-Muzabanah, lalu beliau


bersabda: „Sesungguhnya orang yang menanam itu ada tiga, yaitu:
orang yang memiliki tanah kemudian menanaminya. Orang diberi tanah
kemudian ia menanami apa yang diberikan kepadanya, serta penyewa
tanah dengan (bayaran) emas atau perak.” (HR. Abu Daud)

b. Upah
Menurut struktur atas legislasi Islam, pendapatan yang berhak diterima,
dapat ditentukan melalui dua metode. Metode pertama adalah ujrah (kompensasi,
imbal jasa, upah), sedangkan yang kedua adalah bagi hasil. Seorang pekerja
berhak meminta sejumlah uang sebagai bentuk kompensasi atas kerja yang
dilakukan. Demikian pula berhak meminta bagian profit atau hasil dengan rasio
bagi hasil tertentu sebagai bentuk kompensasi atas kerja. Sebagaimana dijelaskan
dalam Sunnah.
para tanpa melanggar hak-hak yang sah dari majikan. Dalam perjanjian (tentang
pendapatan) kedua belah pihak diperingatkan untuk bersikap jujur dan adil dalam
semua urusan mereka, sehingga tidak terjadi tindakan aniaya terhadap orang lain
juga tidak merugikan kepentingannya sendiri.
Penganiayaaan terhadap para pekerja berarti bahwa mereka tidak dibayar
secara adil dan bagian yang sah dari hasil kerja sama sebagai jatah dari
pendapatan mereka tidak mereka peroleh, sedangkan yang dimaksud dengan
penganiayaan terhadap majikan yaitu mereka dipaksa oleh kekuatan industri
untuk membayar pendapatan para pekerja melebihi dari kemampuan mereka.
Oleh karena itu al-Quran memerintahkan kepada majikan untuk membayar
pendapatan para pekerja dengan bagian yang seharusnya mereka terima sesuai
kerja mereka, dan pada saat yang sama dia telah menyelamatkan kepentingannya
sendiri. Demikian pula para pekerja akan dianggap penindas jika dengan
memaksa majikan untuk membayar melebihi kemampuannya. Prinsip keadilan
yang sama tercantum dalam surat al-Jaatsiyah ayat 22.

Prinsip dasar ini mengatur kegiatan manusia karena mereka akan diberi
balasan di dunia dan di akhirat. Setiap manusia akan mendapat imbalan dari apa
yang telah dikerjakannya dan masing-masing tidak dirugikan. Ayat ini menjamin
tentang upah yang layak kepada setiap pekerja sesuai dengan apa yang telah
disumbangkan dalam proses produksi, jika ada pengurangan dalam upah mereka
tanpa diikuti oleh berkurangnya sumbangsih mereka, hal itu dianggap
ketidakadilan dan penganiayaan. Ayat ini memperjelas bahwa upah setiap orang
itu harus ditentukan berdasarkan kerjanya dan sumbangsihnya dalam kerja sama
produksi dan untuk itu harus dibayar tidak kurang, juga tidak lebih dari apa yang
telah dikerjakannya.
Meskipun dalam ayat ini terdapat keterangan tentang balasan tehadap
manusia di akhirat kelak, terhadap pekerjaan mereka di dunia, akan tetapi prinsip
keadilan yang disebutkan di sini dapat pula diterapkan kepada manusia dalam
memperoleh imbalannya di dunia ini. Oleh karena itu, setiap orang harus di beri
pendapatan penuh sesuai hasil kerjanya dan tidak seorangpun yang harus
diperlakukan secara tidak adil.Pekerja harus memperoleh upahnya sesuai
sumbangsihnya terhadap produksi. Dengan demikian setiap orang memperoleh
bagiannya dari deviden Negara dan tidak seorangpun yang dirugikan.
Sisi doktrinal (normative) dari teori Islam yang mengikat dan menjelaskan
jenis-jenis perolehan pendapatan yang muncul dari kepemilikan sarana-sarana
produksi, juga untuk menjustifikasi izin serta larangan bagi kedua metode
penetapannya. Norma menyatakan seluruh aturan hukum pada saat penemuannya
atau saat berlakunya adalah perolehan pendapatan (al-Kasb) didasarkan pada kerja
yang dicurahkan dalam aktivitas produksi. Kerja yang tercurah merupakan satu
satunya justifikasi dasar bagi pemberian kompensasi kepada si pekerja dari orang
yang memintanya melakukan pekerjaan itu. Orang yang tidak mencurahkan kerja
tidak beroleh justifikasi untuk menerima pendapatan. Norma ini memiliki
pengertian positif dan negatifnya.
Pada sisi positif, norma ini menggariskan bahwa perolehan pendapatan
atas dasar kerja adalah sah. Sementara pada sisi negatif, norma ini menegaskan
ketidakabsahan pendapatan yang diperoleh tidak atas dasar kerja. Sisi positif
norma ini tercermin dalam aturan aturan tentang pendapatan atau sewa. Aturan-
aturan tersebut mengizinkan pekerja yang jasa kerjanya tercurah pada aktivitas
produksi tertentu untuk menerima upah sebagai kompensasi atas kerja yang
dicurahkan dalam aktivitas produksi itu.
Sisi negatif norma ini menafikan setiap pendapatan yang tidak didasarkan
pada kerja yang tercurah dalam aktivitas produksi. Teks yang termaktub dalam
kitab An-nihayah menyatakan bahwa jika melakukan kerja, maka berhak
memperoleh surplus.Surplus yang diterima itu adalah kompensasi atas kerja.Atas
dasar keterkaitan perolehan pendapatan dengan kerja.

c. Keuntungan
Profit dalam bahasa Arab disebut dengan ar-ribh yang berarti
pertumbuhan dalam perdagangan. Di dalam Almu'jamal-Iqtisadal-Islamiy
disebutkan bahwa Profit merupakan pertambahan penghasilan dalam
perdagangan. Profit kadang dikaitkan dengan barang dagangan itu sendiri. 68 Kata
ini disebut hanya satu kali dalam Al-Quran, yaitu ketika Allah mengecam
tindakan orang-orang munafik: "Mereka itulah orang yang membeli kesesatan
dengan petunjuk, maka tidak lah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah
mereka mendapat petunjuk." (QS. al-Baqarah 2 : 16).
Selain ribh, istilah lain yang terkait dengan keuntungan yaitu al-nama', al-
ghallah, dan al-faidah. Di dalam Tafsir Tematik Konsep Keuntungan dan
implementasinya terhadap penetapan harga dijelaskan bahwa:
1. Nama' yaitu laba dagang (ar-ribh at-tijari) adalah pertambahan pada harta
yang telah dikhususkan untuk perdagangan sebagai hasil dari proses barter
dan perjalanan bisnis. Laba ini dalam kosep akuntansi disebut laba dagang
(ribh tijari)
2. Al-ghalla (laba insidental) yaitu pertambahan yang terdapat pada barang
dagangan sebelum penjualan, seperti wol atau susu dari hewan yang akan
dijual. Pertambahan seperti ini tidak bersumber pada proses dagang dan
tidak pula pada usaha manusia. Pertambahan seperti ini dalam konsep
akuntansi disebut laba yang timbul dengan sendirinya/laba insidental atau
laba minor atau pendapatan marginal atau laba sekunder.
3. Al-faidah (laba yang berasal dari modal pokok) adalah pertambahan pada
barang milik (asal modal pokok) yang ditandai dengan perbedaan antara
harga waktu pembelian dan harga penjualan, yaitu sesuatu yang baru dan
berkembang dari barang-barang milik, seperti susu yang telah diolah yang
berasal dari hewan ternak. Dalam konsep akuntansi disebut laba utama
(primer) atau laba dari pengoperasian modal pokok.69

Menurut Rawwas Qal'ahjiy, profit adalah tambahan dana yang diperoleh


sebagai kelebihan dari beban biaya produksi atau modal. Secara khusus laba
dalam perdagangan (jual beli) adalah tambahan yang merupakan perbedaan antara
harga pembelian barang dengan harga jualnya.
Adapun ketentuan tentang ukuran besarnya profit atau laba tidak
ditemukan dalam Al-Qur'an maupun hadis. Para pedagang boleh menentukan
profit pada ukuran berapapun yang mereka inginkan, misalnya 25 persen, 50
persen, 100 persen, atau lebih dari modal. Dengan demikian, pedagang boleh
mencari laba dengan presentase tertentu selama aktivitasnya tidak disertai dengan
kegiatan yang melanggar norma Islam.70
Dalam Perspektif ulama fiqh, terdapat perbedaan tentang ketentuan profit
yang dibolehkan. Sebagian ulama Mazhab Maliki mengatakan bahwa maksimal
profit dalam perdagangan yaitu sepertiga, dengan dalil sabda Rasulullah bahwa
batas batas maksimal harta yang dapat diwasiatkan yaitu sepertiga. Namun
pendapat ini tidak dapat lagi diterima, karena: Pertama, sabda Rasulullah yang
menyebut batas maksimal sepertiga tersebut tidak dapatmenjadi taqyid
(pembatasan) terhadap QS. An-nisa: 29, sebab topiknya terkait dengan wasiat,
sementara ayat di atas tentang perdagangan. Kedua, penetapan batas maksimal
laba sepertiga bertentangan dengan nash syariah yang membolehkan laba lebih
dari sepertiga.
Al-Ghazali menganjurkan perilaku ihsan dalam berbisnis sebagai sumber
keberkahan, yakni mengambil keuntungan rasional yang lazim berlaku pada bisnis
tersebut di tempat itu. Beliau juga menegaskan bahwa siapa pun yang qana’ah
(puas) dengan kadar keuntungan yang sedikit, maka niscaya akan meningkatkan
volume penjualannya. Selain itu, dengan meningkatnya volume penjualannya
dengan frekuensi yang berulang-ulang (sering) maka justru akan mendapatkan
margin keuntungan yang banyak, dan akan menimbulkan berkah.71

C. Distribusi Pendapatan Dalam Ekonomi Islam


1. Konsep Distribusi Pendapatan
Pembahasan mengenai pengertian distribusi pendapatan, tidak akan lepas
dari pembahasan mengenai konsep moral ekonomi yang dianut. Di samping itu,
juga tidak bisa lepas dari model instrumen yang diterapkan individu maupun
negara, dalam menentukan sumber-sumber maupun cara-cara pendistribusian
pendapatannya.72
Secara terminologi, menurut Afzalur Rahman yang dikutip Idri,
distribusi yaitu suatu cara di mana kekayaan disalurkan atau dibagikan ke
beberapa faktor produksi yang memberikan kontribusi kepada individu-individu,
masyarakat maupun negara.73 Dengan singkat Idri menyatakan, distribusi adalah
suatu proses penyaluran atau penyampaian barang atau jasa dari produsen ke
konsumen dan para pemakai.74 Anas Zarqa mengemukakan bahwa definisi
distribusi ialah transfer (men-tasharuf-kan) pendapatan kekayaan antar individu
dengan cara pertukaran (melalui pasar) atau dengan cara yang lain, seperti
warisan, shadaqah, wakaf dan zakat.
Mencermati penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum
distribusi artinya proses yang menunjukkan penyaluran barang dari produsen
sampai ke tangan masyarakat konsumen. Produsen artinya orang yang
melakukan kegiatan produksi, sebagaimana telah dijelaskan di muka. Sedang,
konsumen artinya orang yang menggunakan atau memakai barang/jasa dan
orang yang melakukan kegiatan distribusi disebut distributor.
Sebenarnya konsep Islam tidak hanya mengedepankan aspek ekonomi, di
mana ukuran berdasarkan atas jumlah harta kepemilikan, tetapi bagaimana bisa
terdistribusi penggunaan potensi kemanusiaannya, yang berupa penghargaan hak
hidup dalam kehidupan. Distribusi harta tidak akan mempunyai dampak yang
signifikan kalau tidak ada kesadaran antara sesama manusia akan kesamaan hak
hidup. Oleh karena itu dalam distribusi pendapatan berhubungan dengan
beberapa masalah:75
a. Bagaimana mengatur adanya distribusi pendapatan.
b. Apakah distribusi pendapatan yang dilakukan harus mengarah pada
pembentukan masyarakat yang mempunyai pendapatan yang sama.
c. Siapa yang menjamin adanya distribusi pendapatan ini di masyarakat.

Untuk menjawab masalah ini, Islam telah menganjurkan untuk


mengerjakan zakat, infaq dan shadaqoh. Kemudian Baitul Mal membagikan
kepada orang yang membutuhkan untuk meringankan masalah hidup orang lain
dengan cara memberi bantuan langsung ataupun tidak langsung. Islam tidak
mengarahkan distribusi pendapatan yang sama rata, letak pemerataan dalam
Islam adalah keadilan atas dasar maslahah di mana antara satu orang dengan
orang lain dalam kedudukan sama atau berbeda, mampu atau tidak mampu
saling bisa menyantuni, menghargai dan menghormati peran masing-masing.
Semua keadaan di atas akan terealisasi bila masing-masing individu sadar
terhadap eksistensinya di hadapan Allah.76
Menurut Yusuf Qardhawi “di antara bidang yang terpenting dalam
perekonomian adalah bidang distribusi, sehingga sebagian penulis ekonomi
Islam memusatkan perhatiannya kepada bidang ini”. Distribusi menjadi posisi
penting dari teori ekonomi mikro Islam karena pembahasan distribusi berkaitan
bukan saja berhubungan dengan aspek ekonomi tetapi juga aspek sosial dan
aspek politik. Maka distribusi dalam ekonomi Islam menjadi perhatian bagi
aliran pemikir ekonomi Islam dan konvensional sampai saat ini. Di lain pihak,
keadaan ini berkaitan dengan visi ekonomi Islam di tengah-tengah umat manusia
lebih sering mengedepankan adanya jaminan pemenuhan kebutuhan hidup yang
lebih baik.77
Sejalan dengan keterangan di atas, menurut Imamudin Yuliadi, Islam
telah menggariskan mengenai bagaimana proses dan mekanisme distribusi
kekayaan di antara seluruh lapisan masyarakat agar tercipta keadilan dan
kesejahteraan.78 Secara umum, Islam mengarahkan mekanisme berbasis spiritual
dalam pemeliharaan keadilan sosial pada setiap aktivitas ekonomi.Latar
belakangnya karena ketidakseimbangan distribusi kekayaan adalah hal yang
mendasari hampir semua konflik individu maupun sosial. Upaya pencapaian
manusia akan kebahagiaan, membimbing manusia untuk menerapkan keadilan
ekonomi yang dapat menyudahi kesengsaraan di muka bumi ini. Hal tersebut
akan sulit dicapai tanpa adanya keyakinan pada prinsip moral dan sekaligus
kedisiplinan dalam mengimplementasikan konsep moral tersebut. Ini adalah
fungsi dari menerjemahkan konsep moral sebagai faktor endogen (dari dalam)
dalam perekonomian, sehingga etika ekonomi menjadi hal yang sangat
membumi untuk dapat mengalahkan setiap kepentingan pribadi.79
Islam menghendaki adanya keadilan dalam distribusi pendapatan, dan ini
tidak ada perbedaan di antara para penulis. Akan tetapi apakah keadilan dalam
distribusi pendapatan merupakan tujuan atau sarana untuk meluluskan proses
pembangunan ekonomi? Dan apakah yang dimaksud dengan keadilan distribusi
itu?dan strategi apa yang efektif untuk merealisasikan keadilan itu?
Naqwa berpendapat bahwa keadilan distribusi itu sendiri adalah tujuan
dari pada pembangunan sehingga harus konsisten dalam merealisasikanya
sekalipun ia tidak bisa lepas dengan tingkat rata-rata pertumbuhan riil. Affar
menambahkan bahwa kemajuan masyarakat tidak dianggap cukup dalam
prespektif Islam selama kemajuan itu tidak disertai dengan keadilan
distribusi.80 Adapun al-Rubi berpendapat bahwa keadilan distribusi merupakan
bagian dari iklim yang sesuai untuk merealisasikan pembangunan ekonomi.81
Keadilan distribusi tercermin pada adanya jaminan untuk memenuhi batas
minimal pendapatan riil yaitu had al-kifayah bagi setiap orang. Keadilan tersebut
meliputi pendistribusian antar generasi bukan untuk satu generasi saja. Keadilan
tersebut berkaitan dengan keadilan distribusi secara geografis dan tanpa
desentralisasi pertumbuhan ekonomi dalam masyarakat.
Yasri mengaku bahwa membangun prinsip keadilan distribusi sebagai
bagian dari strategi ekonomi. Hal ini kadang-kadang menyebabkan menurunnya
jumlah rata-rata simpanan dalam masyarakat. Akan tetapi dampak atau pengaruh
ini akan berubah dalam waktu yang relatif lama dengan pengaruh-pengaruh positif
yang tercermin dalam komitmen, dan konsistensi masyarakat dan pertumbuhan
konsumsi nasional.82 Al-Rubi menambahkan bahwa pengaruh yang mungkin
terjadi ini yaitu merealisasikan intensitas dalam ukuran besar bagi sumber-sumber
Islami melihat bahwa merealisasikan keadilan akan menyebabkan perluasan
pasar.83

2. Prinsip-prinsip Distribusi Pendapatan Dalam Sistem


Ekonomi Islam
Salah satu bidang yang terpenting dalam pembahasan tentang ekonomi
adalah distribusi pendapatan. Pembahasan tentang distribusi menjelaskan
bagaimana pembagian kekayaan ataupun pendapatan yang dilakukan oleh para
pelaku ekonomi. Bisa jadi hal itu berkaitan erat dengan faktor-faktor produksi
seperti tanah, modal, tenaga kerja, dan manajemen.84 Sebenarnya distribusi
merupakan kegiatan ekonomi lebih lanjut dari kegiatan produksi. Hasil produksi
yang diperoleh kemudian disebarkan dan dipindahtangankan dari satu pihak ke
pihak lain. Mekanisme yang digunakan dalam distribusi ini tiada lain adalah
dengan cara pertukaran (mubadalah) antara hasil produksi dengan hasil produksi
lainnya atau antara hasil produksi dengan alat tukar (uang). Di dalam syari'at
Islam bentuk distribusi ini dikemukakan dalam pembahasan tentang al-'aqd
(transaksi).85
Agar distribusi memberikan signifikansi yang memadai, maka perlu
diperhatikan prinsip-prinsip distribusi seperti sebagai berikut:86
1. Prinsip keadilan dan pemerataan
Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengartikan keadilan sebagai
sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang
benar, berpegang pada kebenaran. Kata adil (al-'adl) dijumpai dalam al-
Qur'an, sebanyak 28 tempat, antara lain dalam al-Qur‟an surat al-Araf
ayat 29, 159 dan 181; surat al-Infithar ayat 7; surat al-Isra ayat 35; surat
Hud ayat 45; surat al-Furqan ayat 67; surat al-Imran ayat 18; surat al-
Anbiya ayat 47; surat an-Nisa ayat 58; surat al-Ma‟idah ayat 8; surat
Shad ayat 22. Kata adil (al-'adl) berasal dari bahasa Arab yang secara
etimologi bermakna pertengahan. Pengertian adil, dalam budaya
Indonesia, berasal dari ajaran Islam. Kata ini adalah serapan dari kata
Arab „adl.87
Secara etimologi, dalam kamus Al-Munawwir, al-’adl berarti
perkara yang tengah-tengah. Dengan demikian, adil berarti tidak berat
sebelah, tidak memihak, atau menyamakan yang satu dengan yang lain
(al-musâwah). Istilah lain dari al-‘adl adalah al-qist, al-misl (sama
bagian atau semisal). Secara terminologi, adil berarti mempersamakan
sesuatu dengan yang lain, baik dari segi nilai maupun dari segi ukuran,
sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah dan tidak berbeda
satusama lain. Adil juga berarti berpihak atau berpegang kepada
kebenaran.
Keadilan dalam Islam merupakan prinsip pokok dalam setiap
aspek kehidupan termasuk juga dalam aspek ekonomi.Islam
menghendaki keadilan dalam distribusi pendapatan. Keadilan distribusi
merupakan tujuan pembangunan yang menuntut komitmen umat Islam
untuk merealisasikannya walaupun tidak bisa lepas dari tingkat rata-rata
pertumbuhan riil. Keadilan distribusi tercermin pada adanya keinginan
untuk memenuhi batas minimal pendapatan riil, yaitu had al-kifayah
(kriteria secara umum) bagi setiap orang. Islam tidak bertujuan pada
terjadinya pendistribusian yang berimbang, boleh saja terjadi selisih
kekayaan dan pendapatan setelah terpenuhinya had al-kifayah (kriteria
secara umum). Akan tetapi, kebutuhan ini memenuhi ukuran kebutuhan
yang dapat menggerakkan orang untuk bekerja.
Keadilan dalam distribusi dimaksudkan sebagai suatu kebebasan
melakukan aktivitas ekonomi yang berada dalam bingkai etika dan norma-
norma Islam. Sesungguhnya kebebasan yang tidak terbatas sebagaimana
dianut ekonomi kapitalis akan mengakibatkan ketidakserasian antara
pertumbuhan produksi dengan hak-hak orang- orang yang tidak mampu
dalam ekonomi sehingga mempertajam jurang pemisah antara orang-rang
kaya dan orang-orang miskin yang pada akhirnya akan menghancurkan
tatanan sosial. Distribusi dalam ekonomi kapitalis dilakukan dengan cara
memberikan kebebasan memiliki dan kebebasan berusaha bagi semua
individu masyarakat, sehingga setiap individu masyarakat bebas
memperoleh kekayaan sejumlah yang ia mampu dan sesuai dengan faktor
produksi yang dimilikinya dengan tidak memperhatikan apakah
pendistribusian tersebut merata dirasakan oleh semua individu masyarakat
atau hanya bagi sebagian saja.
Karena itu, Islam menegaskan bahwa dalam harta orang-orang
kaya terdapat hak yang harus didistribusikan kepada orang-orang miskin,
sehingga harta itu tidak hanya dinikmati oleh orang-orang kaya (QS. al-
Hasyr:7) sementara orang-orang miskin hidup dalam kekurangan dan
penderitaan.
Sejak dini, Islam mewajibkan zakat, baik zakat fitrah maupun
zakat harta (mall) dalam rangka menciptakan stabilitas ekonomi di
kalangan masyarakat sehingga muncul ketenangan dan kebahagiaan
bersama (QS. at-Taubah: 103), terhindar dari segala bentuk kejahatan,
kedengkian, dan kezaliman. Demikian pula, anjuran-anjuran Islam
tentang distribusi sosial yang lain sebagaimana dijelaskan dalam
perspektif Nabi diatas, yaitu sedekah, nafaqah (nafkah), warisan,
udhhiyyah (kurban), infak, 'aqiqah (akikah), wakaf, wasiat, dan
musa'adah (bantuan).
Prinsip keadilan dan pemerataan dalam distribusi mengandung
maksud. Pertama, kekayaan tidak boleh dipusatkan pada sekelompok
orang saja, tetapi harus menyebar kepada seluruh masyarakat. Islam
menginginkan persamaan kesempatan dalam meraih harta kekayaan,
terlepas dari tingkatan sosial, kepercayaan, dan warna kulit. Kedua, hasil-
hasil produksi yang bersumber dari kekayaan nasional harus dibagi secara
adil. Ketiga, Islam tidak mengizinkan tumbuhnya harta kekayaan yang
melampaui batas-batas yang wajar apalagi jika diperoleh dengan cara
yang tidak benar. Untuk mengetahui pertumbuhan dan pemusatan, Islam
melarang penimbunan harta (ihtikar) dan memerintahkan untuk
membelanjakannya demi kesejahteraan masyarakat.
Al-Quran surat al Hasyr ayat 7 melarang penimbunan harta:

Artinya: “Apa saja harta rampasan yang diberikan Allah kepada


RasulNya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah
untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan,
supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja
di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka
terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.Sesungguhnya
Allah amat keras hukumannya” (QS. Al-Hasyr : 7).88

Dalam ayat lain, Allah berfirman:

Artinya: Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan


haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam
perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu
adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar
kepada Tuhannya." (QS. al-Isra/17: 26-27).89

Al-Qur'an memerintahkan perbuatan adil dan kebajikan seperti


bunyi Firman-Nya:

Artinya:"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat


kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang
(melakukan) perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran " (QS Al-Nahl : 90)90

88
Departemen Agama RI, h.546
89
Ibid, h. 290
90
Ibid, h. 277
2. Prinsip persaudaraan dan kasih sayang
Konsep persaudaraan (ukhuwah) dalam Islam menggambarkan
solidaritas individu dan sosial dalam masyarakat Islam yang tercermin
dalam pola hubungan sesama Muslim. Rasa persaudaraan harus ditanam
dalam hati sanubari umat Islam sehingga tidak terpecah belah oleh
kepentingan duniawi. Distribusi harta kekayaan dalam Islam,
sesungguhnya sangat memperhatikan prinsip ini. Zakat, wakaf, sedekah,
infak, nafkah, waris, dan sebagainya diberikan kepada umat Islam agar
ekonomi mereka semakin baik.91 Prinsip persaudaraan dan kasih sayang ini
digambarkan dalam firman Allah:

Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena


itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah
kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat." (QS. al-
Hujurat/49: 10).92

Pada masa Rasulullah dan para sahabatnya, persaudaraan dan


kasih sayang ini terpelihara dengan baik. Mereka saling membantu satu
sama lain baik dalam urusan agama maupun dunia, termasuk dalam
urusan ekonomi. Dalam Al-Qur'an disebutkan sebagai berikut:
Prinsip persaudaraan dan kasih sayang tersebut tidak berarti
bahwa umat Islam tidak boleh melakukan aktivitas ekonomi dengan non
Muslim. Islam memperbolehkan umatnya bertransaksi dengan siapapun
asalkan sejalan dengan prinsip-prinsip transaksi Islam tanpa
membedakan agama, ras, dan bangsa.Islam menganjurkan persaudaraan
dan kasih saying dalam distribusi agar supaya umat Islam menjadi kuat
baik secara ekonomi, sosial, politik, budaya, dan sebagainya.
3. Prinsip Solidaritas sosial
Prinsip solidaritas sosial merupakan salah satu prinsip pokok
dalam distribusi harta kekayaan.Islam menghimbau adanya solidaritas
sosial dan menggariskan dan menentukannya dalam suatu sistem
tersendiri seperti zakat, sedekah, dan lain-lain. Zakat dan sedekah
merupakan lembaga keuangan penting bagi masyarakat Muslim dan
memiliki peran pokok dalam merealisasikan kepedulian sosial dan
redistribusi pendapatan antar-umat Islam. Selain peran itu, zakat juga
memiliki peran penting dalam proses pembangunan ekonomi. Menurut
Syawqi Ahmad Dunya sebagaimana dikutip Idri, zakat memiliki peran
investasi karena mengarah langsung kepada sumber daya pengadaan
produksi manusia dalam masyarakat.96
Prinsip solidaritas sosial dalam ekonomi Islam mengandung
beberapa elemen dasar, yaitu: (a) sumber daya alam hams dinikmati oleh
semua makhluk Allah, (b) adanya perhatian terhadap fakir miskin
terutama oleh orang-orang kaya, (c) kekayaan tidak boleh dinikmati dah
hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja, (d) adanya perintah
Allah untuk berbuat baik kepada orang lain, (e) umat Islam yang tidak
punya kekayaan dapat menyumbangkan tenaganya untuk kegiatan sosial,
(f) larangan berbuat baik karena ingin dipujiorang (riya'), (g) larangan
memberikan bantuan yang disertai dengan perilaku menyakiti, (h)
distribusi zakat harus diberikan kepada orang-orang yang telah
disebutkan dalam Al-Qur'an sebagai pihak yang berhak menerimanya
(mustahiq zakat), (i) anjuran untuk mendahulukan distribusi harta kepada
orang-orang yang menjadi tanggungan kemudian kepada masyarakat, (j)
anjuran agar distribusi disertai dengan doa agar tercapai ketenangan batin
dan kestabilan ekonomi masyarakat, dan (k) larangan berlebihan (boros)
dalam distribusi ekonomi di kalangan masyarakat.

3. Instrumen Distribusi Pendapatan Dalam Sistem Ekonomi


Islam
Menurut Ruslan Abdul Ghofur Noor instrumen distribusi dalam sistem
ekonomi Islam terdiri dari zakat sebagai model distribusi wajib individu, wakaf
sebagai instrumen distribusi individu untuk masyarakat, waris sebagai instrumen
distribusi dalam keluarga, infak dan sedekah sebagai instrumen distribusi di
masyarakat.97
a. Zakat sebagai model distribusi wajib individu
Zakat sejalan dengan prinsip utama tentang distribusi dalam ajaran
Islam yakni "agar harta tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya
diantara kamu". Prinsip tersebut, menjadi aturan main yang harus
dijalankankarena jika diabaikan, akan menimbulkan jurang yang dalam
antara simiskin dan si kaya, serta tidak tercipta keadilan ekonomi di
masyarakat.Manusia sebagai wakil Allah di muka bumi yang telah
ditugaskan untuk mengelola dan meningkatkan kualitas kehidupan bagi
seluruh penghuninya, memiliki tanggung jawab besar dalam mewujudkan
tugas tersebut. Namun realitas yang ada, kesadaran untuk menjalankan
kewajiban zakat dan menciptakan kesejahteraan di muka bumi hanya
terdapat pada sebagian orang. Doktrin khalifah sebagaimana dilukiskan
dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 30:

97
Ruslan Abdul Ghofur Noor, Konsep Distribusi dalam Ekonomi Islam dan Format Keadilan
Ekonomi di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 98.
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(Khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?"
Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui". (Q.S. Al-Baqarah: 30)98

Mekanisme yang selama ini dipahami umat ialah kewajiban zakat


sebagai suatu rutinitas ibadah biasa yang hampir-hampir menghilangkan
makna zakat itu sendiri serta tanpa memahami manfaat sosial, moral dan
ekonomi yang tercipta secara luas bagi umat Islam. Sehingga banyak
kepentingan individu, kelompok atau golongan yang lebih diunggulkan
dari kepentingan masyarakat secara menyeluruh.99
Menurut M. Saefuddin dalam Islam, zakat dan berbagai bentuk
ibadah sedekah lainnya memiliki posisi potensial sebagai sumber
pembelanjaan dalam masyarakat muslim. Zakat berposisi fardhu 'ain bagi
kita yang beriman dan bertakwa. Dengan zakat, insya Allah kita mampu
membangun pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan income-
economic growth with equity (pertumbuhan ekonomi dan pendapatan
dengan adil). Menurut M. Saefuddin, untuk mengelola atau
mengembangkan zakat kita harus memiliki potensi kepemimpinan yang
berwibawa, berpengaruh dan mempunyai otoritas dalam menghimpun,
mendistribusikan dan memanfaatkan zakat untuk khalayak sasaran
berdasarkan syariah. Hendaknya pengumpulan zakat itu berbasis
manajemen. Kredibilitas suatu lembaga amil zakat sangat tergantung
pada kemampuannya mengelolazakat secara profesional dan transparan
serta dapat meyakinkan masyarakat bahwa zakat telah dikelola dengan
baik.100
b. Wakaf sebagai instrumen distribusi individu untuk masyarakat
Perwakafan atau wakaf merupakan pranata dalam keagamaan Islam
yang sudah mapan. Dalam hukum Islam, wakaf termasuk ke dalam kategori
ibadah sosial (ibadah ijtimaiyyah). Secara bahasa wakaf berasal dari kata
waqafa yang artinya al-habs (menahan). Dalam pengertian istilah, wakaf
adalah menahan atau menghentikan harta yang dapat diambil manfaatnya
guna kepentingan kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Menurut
Sayyid Sabiq wakaf berarti menahan harta dan memberikan manfaatnya di
jalan Allah. Menurut Muhammad Jawad Mughniyah, wakaf adalah sejenis
pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan
(pemilikan) asal, lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Wakaf adalah
menghentikan pengalihan hak atas suatu harta dan menggunakan hasilnya
bagi kepentingan umum sebagai pendekatan diri kepada Allah.101
Dari rumusan pengertian di atas terlihat bahwa wakaf sebenarnya
dapat meliputi berbagai benda.Walaupun berbagai riwayat atau hadis yang
menceritakan masalah wakaf ini adalah mengenai tanah, tapi para ulama
memahami bahwa wakaf non tanah pun boleh saja asal bendanya tidak
langsung musnah atau habis ketika diambil manfaatnya. 102 Dari berbagai
rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa wakaf ialah menghentikan
(menahan) perpindahan milik suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama,
sehingga manfaat harta itu dapat digunakan untuk mencari keridhaan Allah
SWT.
c. Waris sebagai instrumen distribusi dalam keluarga
Secara etimologi, menurut Muhammad Ali Ash-Shabuni, waris (al
mirats), dalam bahasa Arab adalah bentuk kata dasar dari kata
waritsayaritsu-irtsan-mīrātsan. Maknanya menurut bahasa ialah
berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum
kepada kaum lain. Menurut Wahbah al-Zuhaili sebagaimana dikutip oleh
Athoilah, waris atau warisan (mirats) sama dengan makna tirkah yaitu
segala sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang sesudah wafat, baik berupa
harta maupun hak-hak yang bersifat materi dan nonmateri.103
Hukum waris merupakan suatu aturan yang sangat penting dalam
mengurangi ketidakadilan distribusi kekayaan. Hukum waris merupakan
alat penimbang yang sangat kuat dan efektif untuk mencegah pengumpulan
kekayaan dikalangan tertentu dan pengembangannya dalam kelompok-
kelompok besar dalam masyarakat.
Menurut hukum waris Islam, harta milik orang lain yang telah
meninggal dibagi pada keluarga terdekat, yaitu anak laki-laki/perempuan,
saudara, ibu/bapak, suami/istri dan lain-lain. Jika seseorang
tidakmempunyai keluarga dekat sama sekali, maka harta bendanya diambil
alih oleh Negara. Dengan demikian waris bertujuan untuk menyebarkan
luaskan pembagian kekayaan dan mencegah penimbunan harta dalam
bentuk apapun.
Dalam bidang distribusi warisan dalam syariat Islam termasuk
sarana untuk menyebarkan harta benda kepada orang banyak yaitu
pemindahan harta benda dari milik seeorang kepada beberapa orang.Islam
membiarkan sentralisasi harta warisan pada seorang atau dua orang saja,
sebaliknya Islam membagi-bagikan kepada orang yang berhak menerimanya
baik ahli waris yang pertama maupun ashobah. Adapun kaum kerabat yang
tidak mendapatkan warisan dan fakir miskin yang membutuhkan harta
yanghadir sewaktu dilakukan pembagian warisan bisa memperoleh bagian
tersebut, sebagimana firman Allah dalam QS: an-Nisa ayat 8.

103
Athoilah, Fikih Waris (Metode Pembagian Waris Praktis), (Bandung: Yrama Widya,
2013, ) h. 2.
d. Infak dan sedekah sebagai instrumen distribusi di masyarakat
Instrumen infak dan sedekah sebagai amal kebajikan individu
terhadap masyarakat, akan mendukung terciptanya para profesional yang
dengan ikhlas mau berderma baik harta maupun keahliannya untuk
mengisi tenaga profesional pada lembaga-lembaga yang telah terbentuk
dari hasrat wakaf di atas. Infak dan sedekah akan menciptakan jaminan
sosial yang menyeluruh bagi segenap lapisan masyarakat tanpa
memberatkan masyarakat dengan pajak yang tinggi sebagaimana yang
terjadi pada welfare state (negara kesejahteraan).104

4. Tujuan Distribusi Pendapatan Dalam Islam


Ekonomi Islam datang dengan sistem distribusi yang merealisasikan
beragam tujuan yang mencakup berbagai bidang kehidupan, dimana tujuan
distribusi dalam ekonomi Islam ini dapat di kelompokkan kepada:
a. Tujuan Dakwah
Tujuan dakwah dalam distribusi pendapatan dapat dilihat dari
penyaluran zakat. Misalnya, penyaluran zakat kepada para muallaf. Ia
memiliki tujuan dakwah untuk orang kafir yang diharapkan
keIslamannya dan mencegah keburukannya, atau orang Islam yang
diharapkan bertambah kuat iman dan keIslamannya. Begitu juga terhadap
para muzakki, dengan menyerahkan sebagian hartanya karena Allah
Ta‟ala berarti mereka meneguhkan jiwa mereka kepada iman dan ibadah.
b. Tujuan Pendidikan
Secara umum, tujuan yang terkandung pada distribusi pendapatan
dalam perspektif ekonomi Islam adalah pendidikan akhlak al karimah
seperti suka memberi, berderma, dan mengutamakan orang lain, serta
mensucikan diri dari akhlak al mazmumah seperti pelit, loba dan
mementingkan diri sendiri.
c. Tujuan sosial
Tujuan sosial terpenting dalam distribusi pendapatan adalah:
Pertama, memenuhi kebutuhan kelompok yang membutuhkan dan
menghidupkan prinsip solidaritas di dalam masyarakat muslim. Kedua,
mengutamakan ikatan cinta dan kasih sayang di antara individu dan
masyarakat. Ketiga, mengikis sebab sebab kebencian dalam masyarakat
sehingga keamanan dan ketentraman masyarakat dapat direalisasikan
karena distribusi kekayaan yang tidak adil akan berdampak pada
kemiskinan dan meningkatkan kriminalitas. Keempat, mewujudkan
keadilan di tengah masyarakat.
d. Tujuan ekonomi
Distribusi dalam ekonomi Islam memiliki tujuan yaitu: Pertama, pengembangan dan pembersihan
harta, baik dalam bentuk infak sunah maupun infak wajib. Hal ini mendorong pelakunya untuk
selalu menginvestasikan hartanya dalam bentuk kebaikan. Kedua, memberdayakan sumber daya
manusia yang menganggur dengan terpenuhinya kebutuhan modal usaha mereka. Hal ini akan
mendorong setiap orang untuk mengembangkan kemampuan dan kualitas kerja mereka. Ketiga,
memberi andil dalam merealisasikan kesejahteraan ekonomi karena tingkat kesejahteraan
ekonomi sangat berkaitan dengan tingkat konsumsi. Kemudian tingkat konsumsi tidak hanya
berkaitan dengan pemasukan saja, namun, juga berkaitan dengan cara pendistribusiannya di
antara anggota masyarakat. Keempat, penggunaan terbaik dari sumber sumber
BAB V
PENUT
UP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah dipaparkan di atas tentang distribusi pendapatan
menurut perspektif M. Abdul Mannan, maka penulis dapat menyimpulkan
bahwa:
1. Mannan mengakui adannya empat faktor produksi yang merupakan
sumber dari pendapatan. Sumber-sumber pendapatan menurut M Abdul
Mannan, antara lain: ia mengakui upah, sewa dan laba namun ia
mengktitik bunga atas modal. Ia mengatakan buruknya bunga sebagai
bentuk ekploitasi dan domiasi sesuatu yang menyebabkan pengangguran
depresi bahkan ancaman terhadap perdamaian dunia, menyebabkan
masalah pelunasan utang, bagi negeri terbelakang, menghancurkan prinsip
pokok kerja sama. Mannan mengemukakan bahwa teori distrbusi
hendaklah dapat mengatasi masalah distribusi pendapatan nasional
diantara berbagai kelas rakyat. Terutama ia harus mampu ia menjelaskan
fenomena, bahwa sebagian kecil orang kaya-raya sedangkan sebagian
besar adalah orang miskin. Sedangkan masalah distribusi perorangan dapat
dipecahkan secara sebaik-baiknya setelah diselidiki masalah pemilikan
faktot-faktor produksi. Teori distribusi faktoral dan fungsional membantu
untuk menentukan harga jasa yang diberikan oleh bermacam-macam
faktor produksi. Mannan menegaskan bahwa distribusi kekayaan muncul
karena pemilikan orang pada faktor produksi. Dalam mengurangi
kesenjangan pendapatan dan kekayan dapat dilaksnakan pengaturan
distribusinya dengan sejumlah paket kebijakan operasional yang
dilaksanakan dengan tindakan pengaturan wajib dan sukarela yang Islami.
2. Jika dilihat dari fenomena yang ada, seperti bagaimana seorang majikan
sanggup menganiaya pembantunya begitu juga sebaliknya pembantu tega
membunuh majikannya, maka menurut penulis Konsep distribusi
pendapatan perspektif M. Abdul Mannan masih relevan untuk keadaan
ekonomi saat ini, meskipun pada realitasnya belum teraplikasi dalam
sistem ekonomi kontemporer khususnya Indonesia secara utuh, hanya
sebagian kecil dari konsep distribusi yang telah teraplikasi, di antaranya
dengan berdirinya Badan Amil Zakat, serta wakaf dan secara hukum
diaplikasikannya hukum waris Islam. Namun, aplikasi konsep distribusi
tersebut belum mampu memberikan kontribusi yang berarti bagi ekonomi
Indonesia.

B. Saran-Saran
1. Untuk Pemerintah
Konsep distribusi pendapatan yang di kemukakan oleh Mannan dapat
dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk mengurangi kesenjangan
yang ada saat ini, dengan menerapkan 12 kebijakan yang ditawarkan
mannan tersebut semoga dapat mengurangi angka kemiskinan, meskipun
tidak dapat dientaskan.

2. Untuk Para Cendekiawan Ekonomi


Seperti konsep distribusi pendapatan yang dikemukakan oleh M. Abdul
Mannan, para tokoh ekonomi sekarang dapat mengembangkan kebijakan
yang di tawarkan oleh Mannan tersebut agar lebih mudah diterapkan untuk
keadaan perekonomian saat ini. Menurut penulis apabila konsep tersebut
diterapkan, maka dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, dengan
begitu pendapatan Nasional juga akan meningkat.

3. Untuk Mahasiswa
Semoga Skirpsi ini dapat dijadikan sebagai satu reverensi yang digunakan
mahasiswa untuk membahas tentang konsep yang sama, atau dapat di
kembangkan lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Aziz , Abdul. Ekonomi Islam Analisis Mikro dan Makro, Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2008.

Ali, Abdullah Yusuf . The Glorious Kur’an. Translation and Commentary. Bairut: Dar
al- Fikr, 1938.

Rahman, Abdul dkk. Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2010.

Al-Maliki, Abdurrahman. Politik Ekonomi Islam, alih bahasa: Ibnu Sholah,


Bangil: Al-Izzah, 2001.

Al-Kaff, Abdullah Zaki. Ekonomi Dalam Perspektif islam, Bandung: Pustaka


Setia, 2002.

Saefuddin, A.M. Nilai-Nilai Sistem Ekonomi Islam, Jakarta: Samudera, 2007.

Al-Alabij, Adijani. Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek,


Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islam, Jakarta:IIIT Indonesia, 2003

Rahman, Afzalur. Doktrin Ekonomi Islam, jil. 2 Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995.

__ _, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, Jakarta: Yayasan Swarna


Bhumi, 1997, Cet ke I.

Affar, Muhammad Abdul Mun‟im. al-Takhtith wa al-Tanmiyah fi al-Islam,


Jeddah:Dar al-bayan al-Arabi, 1985.

Asy-Syurbashi, Ahmad. Almu'jam al Iqtisad al-Islamiy T.tp.: Dar al-Jail, 1981.

Muslich, Ahmad Wardi Muslich. Fiqh Muamalat, Jakarta: Amzah, 2010.

Almizan. Distribusi Pendapatan: Kesejahteraan Menurut Konsep Ekonomi Islam,


dalam Jurnal Kajian Ekonomi Islam -Vol 1, No.1, Januari-Juni 2016.

Syarifuddin, Amir.Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2003.


Rahmawaty, Anita. “Membangun Sistem Distribusi Perspektif Ekonomi Islam”,
dalam Jurnal Islam, No. 13, No. 2, Desember 2014.

Al-Rubi, Mahmud. Al-Minhaj al-Islami fi al-Tanmiyah al-Iqtisodiyah wa al-


Ijtima’iyah dalam Majallat al-dirasat all-tijariyah wa al-islamiyah, Markaz
solih Abdullah Kamil li al-dirasat al-tijariyah wa al-islamiyah, nomor 3,
tahun ke satu Juli 1984.

Yusuf, Asdar. “Paradigma Kontemporer Ekonomi Islam (Muh. Abdul Mannan


versus Syed Nawab Haedir Naqvi)”, dalam Jurnal Islam, No. 11, No. 2,
Desember 2014.
Athoilah, Fikih Waris (Metode Pembagian Waris Praktis), Bandung: Yrama Widya,
2013.

Marbun, BN. kamus manajemen, (jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003).

Korten. David C. The Post Corporate World : Life After Capitalism. Terj. A.
Rahman Zainuddin. (Jakarta : Yayasan Obor 1999).

RI. Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Terjemahannya Cet. ke-3; Jakarta: Balai
Pustaka 2003.

Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).

Anwar, Dessy. Kamus Bahasa Indonesia, (Surabaya: Karya Abditama, 2001).

Djazuli dkk. Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan),


Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Machluf, Hasanain muhammad. Kalimat al-Quran. Tafsir wa bayan. Cairo: Dar al-
Fikr, 1956.

Arafik, Havis. “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam kontemporer”, Depok:


Kencana, 2017.

Sudarsono, Heri. Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar, Yogyakarta: UII, 2004.

Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah, Jakarta: Grafindo Persada, 2010.


http://www .geogle. com/M.Abdul Mannan/biografi.htm.

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3795632/bps-kemiskinan-
masih-terpusat-di-indonesia-timur.

Rustam, Pendapatan Menurut Akuntansi Keuangan,


http://library.usu.ac.id/download/fe/akuntansi-rustam2 (25 juli 2018, h. 1.

Sri Mulyani: “Potensi Zakat indonesia bisa mengentaskan kemiskinan”, dalam


Kumparan 23 agustus 2019 . www.kumparan.com.

Mohammad Ridho, Tafsir Tematik Konsep Keuntungan dan Implementasinya


terhadap Penetapan Harga di dalam www.academia.edu.

https://silpiintansuseno7.wordpress.com/2016/05/03/masalah-perekonomian-
distribusi-pendapatan/

https://kandankilmu.org/2017/05/02/economic-analysis-2-ketimpangan-distribusi-
pendapatan-di-indonesia.

Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid, Semarang : Asy-Syifa', 1990.

Idri, Hadis Ekonomi, Ekonomi dalam Perspektif Hadis Nabi, Jakarta: Kencana,
2015.

Ika Yunia Fauzia, dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam Perspektif
Maqashid al-Syari’ah, Jakarta: Kencana, 2014.

Yuliadi, Imamuddin. Ekonomi Islam Sebuah Pengantar, Yogyakarta: LPPI,


2001.

Harahap, Isnaini dkk, Hadis-Hadis Ekonomi, Jakarta: Kencana, 2015.

Al-Haritsi, Jaribah Bin Ahmad. Fiqh Ekonomi Umar bin Khattab, Jakarta:
Khalifa, 2010.

Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosda Karya,


2012.

Mannan, M. Abdul. Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Prima Yasa, 1997, Cet ke 3.
__ , Serikat Wakaf Tunai: Sebuah Inovasi Intrumen Keuangan Islam. Terj.
Tjasmijanto Rozidiyanty Depok: CIBER dan PKKT-UI, 2001 Cet ke I.

Rahardjo, M. Dawam. Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-


Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 2002.

Danil, Mahyu. Pengaruh Pendapatan Terhadap Tingkat Konsumsi Pada Pegawai


Negeri Sipil di Kantor Bupati Bireuen, dalam Jurnal Ekonomika Universitas
Almuslim Bireue Aceh, Vol. 4 No. 7.

Holis, Moh. “Sistem Distribusi Dalam Perspektif Ekonomi Islam”, dalam jurnal
Masharif Al-Syariah, Vol. 1 No. 2, November 2016.

ZA, Moh. Ah. Subhan. “Konsep Distribusi Pendapatan Dalam Islam”, dalam
Jurnal Ekonomi Syariah (JES), Vol 1, No. 1, September 2016.

Muhammad, “Ekonomi mikro dalam Perspektif islam”, Yogyakarta: BPPE-


Yogyakarta, 2004

Thabathaba‟i, Muhammad Husain. Tafsir Mizan. Juz 17. Dar al-Kutub al-
Islamiyah, 1342.

Nasution, Mustafa Edwin dkk. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta:


Kencana, 2006.

Suparlan, Parsudi. Kemiskinan di Perkotaan; Bacaan untuk Antropologi


Perkotaan Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995.

Rahardja, Prathama. Teori Ekonomi Mikro Suatu pengantar, Jakarta: Lembaga


Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2002, Cet Ke 2.

Huda, Qomarul. Fiqh Mu’amalah, Yogyakarta: Teras, 2011.

Al-Asfahaniy, Ragib. Mu’jam Mufradat al-Fazh al-Quran. Beirut: Dar al-Fikr, TT.

Reksopriyatno. Sistem Ekonomi Dan Demokrasi Ekonomi, Jakarta: Bina Grafika,


2004.
Robert Bogdan and Steven J. Taylor. Introduction to Qualitative Research
Methods, New York : Delhi Publishing Co., Inc., 1975.

Noor, Ruslan Abdul Ghofur. Konsep Distribusi dalam Ekonomi Islam dan Format
Keadilan Ekonomi di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.

Sukirno, Sadono. Mikro Ekonomi (Teori Pengantar), Jakarta: Raja Wali Pers, 2012.

Samsar & Indrayani. Pengantar Sosiologi Ekonomi, Jakarta: Kencana, 2016

Saparuddin. “Skema Distribusi Dalam Islam”, dalam jurnal Human Falah: Vol.
2. No. 1 Januari – Juni 2015.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013.

Soekartawati. Faktor-faktor Produksi, Jakarta: Salemba Empat, 2002.

Sudarsono. Konsep Ekonomi Islam, Suatu Pengantar, Yogyakarta: Ekonisia, 2002.

Hadi, Sutrisno. Metode Penelitian Research, Yogyakarta : Andi Offset, 2012.

An-Nabhani, Taqiyuddin. Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, Penerjemah Hafizh


Abdurrahman, Sistem Ekonomi Islam, Jakarta: Hizbuttahrir Indonesia,
2004.

Zuhaili, Wahbah. al-Tafsir al-Mizan fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj.


Juz. 3. Beirut: Dar al-Fikr, 1991.

Soemanto, Wasty. Pedoman Teknik Penulisan Skripsi, Jakarta: Bumi Aksara,


2013.

Yasri, Ahmad Abdurrahman. Al-Tanmiyah al-iqtisodiyah wa al-ijtima’iyah fi al-


Islam, Iskandariya: Muassasah Syabab al-Jami‟ah, tt.

Qardhawi, Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam Jakarta: Gema Insani Press,
1997.
Arifin, Zainul. Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari'ah, Jakarta: Alvabet, 2003.

Zuraidah. “Penerapan Konsep Moral Dan Etika Dalam Distribusi Pendapatan


Perspektif Ekonomi Islam”, dalam jurnal Hukum Islam, Vol. XIII No. 1
Nopember 2015.

Anda mungkin juga menyukai