NEUROVASKULAR
KETRAMPILAN
Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki
ketrampilan :
o Menjelaskan epidemiologi stroke
o Menjelaskan struktur, fungsi dan proses sirkulasi darah di otak
o Menguasai patofisiologi, patogenesis, dan aspek biomolekuler stroke iskemik dan
stroke perdarahan
o Menegakan diagnosis stroke dan membedakannya dengan TIA (Transient
Ischemic Attack) dan penyakit lainnya yang mirip dengan stroke dan menilai
dengan Siriradj Score dan klasifikasi Bamford.
o Menilai beratnya stroke dengan mempergunakan skoring National Institute
Health Stroke Scale (NIHSS)
o Mengidentifikasi faktor risiko stroke (modifiable-unmodifiable, mayor-minor,
faktor risiko baru dan masih dipelajari)
o Menguasai pemeriksaan penunjang dengan transcranial doppler (TCD) / carotid
duplex sonography (CDS)
o Menginterpretasi hasil Computerized Tomography Scanning (CT Scan), Magnetic
Resonance Imaging (MRI), Magnetic Resonance Angiography (MRA),
echocardiography, TEE dan TTE
o Mengelola penderita stroke akut pada keadaan emergensi dan cara pemasangan
intubasi sesuai indikasi
o Memberikan terapi trombolisis intravena dan intra-arterial pada stroke iskemik
o Memberikan terapi antikoagulan pada stroke sesuai indikasi
o Mengobati komplikasi yang timbul seperti kejang, tekanan intrakranial tinggi
(TTIK), infeksi paru, deep vein trombosis (DVT)
o Memberikan nutrisi oral dan parenteral sesuai dengan kebutuhan pasien
o Mempertimbangkan dan menganjurkan tindakan operasi dekompresi pada stroke
sesuai dengan indikasi
o Menilai impairment, aktivitas harian, dan handicap pasien stroke termasuk Barthel
Index,modified Rankin Scale, neurorestorasi dan neuro-rehabilitasi
o Melakukan tindakan pencegahan primer dan sekunder termasuk community stroke
care
2
GAMBARAN UMUM
Pelatihan dengan modul ini dimaksudkan untuk memberi bekal pengetahuan dan
praktik ketrampilan dalam hal manajemen stroke secara komprehensif dengan
memperhatikan azas cost-effectiveness dan evidence based medicine, melalui
pendekatan pembelajaran berbasis kasus (case-based learning). Subyek yang
dipelajari secara mandiri dan aktif oleh peserta didik adalah sebagai berikut : Stroke
(iskemik dan perdarahan) dasar dan klinik, evaluasi diagnostik (termasuk pemeriksaan
CDS dan TCD), evaluasi faktor risiko major dan minor, terapi farmakologik, indikasi
terapi operasi serta terapi lainnya (termasuk trombolisis), preventif primer dan
sekunder.
Rangkuman
a. Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan cara:
Anamnesis
Pemeriksaan fisik / neurologik
Diagnosis banding
Diagnosis (klinik, topik, etiologik, patologi-anatomik)
Pemeriksaan penunjang (Lab, CTScan, MRI, TEE, TTE)
Manajemen Komprehensif
(Preventif-primer&sekunder, Kuratif –medikamentosa&operatif,Rehabilitatif)
Prognosis
Sistem rujukan
b. Penilaian kompetensi
Hasil observasi selama alih pengetahuan dan ketrampilan (dengan daftar tilik)
Rangkuman
a. Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan cara:
Anamnesis
Pemeriksaan fisik / neurologik
Diagnosis banding
Diagnosis (klinik, topik, etiologik, patologi-anatomik)
Pemeriksaan penunjang (Lab, CTScan, MRI,MRA, TCD,CDS, Angiografi)
Manajemen Komprehensif
(Preventif-primer&sekunder, Kuratif –medikamentosa&operatif,Rehabilitatif)
Prognosis
Sistem rujukan
b. Penilaian kompetensi
Hasil observasi selama alih pengetahuan dan ketrampilan (dengan daftar tilik)
Tujuan pembelajaran
o Menegakkan diagnosis stroke dan membedakannya dengan TIA dan penyakit
lainnya yang mirip dengan stroke dan mempergunakan Siriradj Score untuk
membedakan stroke iskemik dan stroke perdarahan serta analisa NIHSS untuk
menilai beratnya stroke dan klasifikasi Bamford untuk menilai luas dan lokasi
lesi yang sekaligus untuk penilaian tingkat emergensi.
o Mengidentifikasi faktor risiko stroke (modifiable-unmodifiable, mayor-minor,
faktor risiko baru dan masih dipelajari)
3
o Menguasai pemeriksaan penunjang dengan transcranial doppler (TCD) /
carotid duplex sonography (CDS)
o Menginterpretasi kembali sesuai dengan penilaian klinis hasil CT Scan, MRI,
MRA, echocardiography, angiography, TTE dan TEE untuk membuat
keputusan klinik
o Mengelola penderita stroke akut pada keadaan emergensi dan mahir untuk
pemasangan intubasi sesuai indikasi
o Memberikan terapi trombolisis intravena pada stroke iskemik, terapi
antikoagulan sesuai indikasi, nutrisi oral dan parenteral sesuai kebutuhan
pasien
o Mengobati komplikasi yang timbul seperti kejang, tekanan intrakranial tinggi
(TIK), infeksi paru, deep vein trombosis (DVT)
o Mempertimbangkan dan menganjurkan tindakan operasi dekompresi pada stroke
sesuai dengan indikasi
o Menilai impairment, aktivitas harian, dan handicap pasien stroke termasuk
Barthel Index, modified Rankin Scale, neurorestorasi dan neuro-rehabilitasi
o Melakukan tindakan pencegahan primer dan sekunder termasuk community
stroke care
Tujuan-1: Mengenali gejala dan tanda klinik (termasuk gejala dini) yang khas untuk
stroke iskemik dan stroke perdarahan
Menggunakan ceramah, diskusi interaktif, penayangan video.
Peserta didik menjelaskan manfaat pengenalan gejala dan tanda klinik
(termasuk gejala dini) yang khas untuk stroke iskemik dan stroke
perdarahanan sehubungan dengan penegakan diagnosis, pemberian terapi dan
prognosis
Pembimbing memberikan feedback kepada peserta didik
Tujuan-2: Mengidentifikasi jenis stroke serta prakiraan lokasi kerusakan dalam otak
Pembimbing menjelaskan langkah-langkah pengambilan anamnesis
berdasarkan nilai-nilai humanistik, untuk memperoleh informasi yang relevan
dengan keluhan
pasien
Peserta didik melakukan anamnesis dengan metode role-play
Peserta didik menunjukkan tatacara anamnesis yang sesungguhnya pada
pasien stroke (iskemik dan perdarahan) sesuai dengan keluhan pasien
Peserta didik menunjukkan kemampuan untuk mengidentifikasi stroke
iskemik atau stroke perdarahan serta prakiraan lokasi kerusakan otak
(hemisfer kanan-kiri, kortikal – subkortikal – batang otak, anterior - posterior,
lakunar, partial oklusi – total oklusi) berdasarkan hasil anamnesa dan
pemeriksaan klinis lainnya termasuk penilaian Stroke Siriradj Score dan
klasifikasi Bamford
Pembimbing memberi feedback kepada peserta didik
Tujuan-3: Menunjukkan pemeriksaan fisik secara efektif
Peserta didik menjelaskan cara pengisian dan mengisis status neurologik
termasuk NIHSS, indeks Barthel, MMSE dan Modified Rankin Scale
Peserta didik melakukan simulasi pemeriksaan fisik-neurologik (termasuk
penggunaan alat bantu)
Pembimbing memberi umpan balik kepada peserta didik berdasarkan daftar
tilik.
4
Tujuan-4: Menunjukkan kemampuan dalam pendekatan diagnostik
Peserta didik menjelaskan gejala dan tanda klinik yang dijumpai
Peserta didik menjelaskan interpretasi hasil laboratorium, hasil pemeriksaan
CT Scan, MRI, MRA, TCD/CDS, echocardiography,TTE dan TEE
Peserta didik membuat diagnosis (klinis, topik, etiologik, dan patologi-
anatomik) dan diagnosis banding
Pembimbing memberi feedback kepada peserta didik
Tujuan-5: Menunjukkan kecakapan dalam hal penalaran klinik
Peserta didik merangkum hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik-neurologik
secara sistematik
Peserta didik menjelaskan perlunya dilakukan pemeriksaan penunjang
(laboratorik, neuro-imaging, radiologik, dan lainya) sesuai dengan indikasi
Pembimbing memberi feedback kepada peserta didik
Tujuan-6: Membuat keputusan diagnostik dan terapetik yang tepat
Peserta didik menjelaskan alasan keputusan diagnostik dan diagnostik banding
yang dibuat berdasarkan hasil rangkuman anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang
Peserta didik menjelaskan alasan pemberian terapi yang berkaitan dengan
diagnosis
Pembimbing memberikan feedback kepada peserta didik
Tujuan-7: Memahami keterbatasan pengetahuan seseorang
Peserta didik menjelaskan alasan untuk membuat rujukan kepada departemen
lain
Peserta didik mengiterpretasi hasil rujukan
Peserta didik mengambil keputusan diagnostik, pemeriksaan anjuran
tambahan, terapetik dan prognosis setelah mempertimbangkan jawaban
rujukan
Pembimbing memberikan feedback kepada peserta didik
Tujuan-8: Memerhatikan dan mempertimbangkan analisis risiko dan biaya yang
ditanggung oleh pasien
Peserta didik menjelaskan alasan pemeriksaan penunjang
Peserta didik menjelaskan pemberian terapi sesuai dengan guideline dan
evidence-based medicine
Pembimbing memberikan feedback kepada peserta didik
Tujuan-9 :Menunjukkan kecakapan dalam hal rencana memulangkan pasien
termasuk prevensi sekunder, KIE(Komuniasi, Informasi dan Edukasi) pada
pasien dan keluarga, neurorestorasi/neurorehabilitasi
Peserta didik merangkum dan menganalisi seluruh masalah sebagai dasar
untuk penyusunan rencana memulangkan pasien termasuk rencana kontrol dan
lanjutan terapi medikamentosa serta neurorestorasi/neurorehabilitasi
Peserta didik melakukan komunikasi dan memotivasi pasien dan keluarga
dalam hal informasi dan edukasi tentang stroke iskemik dan stroke
perdarahan untuk pencegahan sekunder bagi penderita dan pencegahan primer
bagi keluarganya.
Pembimbing memberikan feedback kepada peserta didik
Rangkuman
a. Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan cara:
Anamnesis
5
Pemeriksaan fisik / neurologik
Diagnosis banding
Diagnosis (klinik, topik, etiologik, patologi-anatomik)
Pemeriksaan penunjang
Sistem rujukan
b. Penilaian kompetensi
Hasil observasi selama alih pengetahuan dan ketrampilan (dengan daftar tilik)
6
BAB II
MATERI BAKU
EPIDEMIOLOGI STROKE
Epidemiologi adalah suatu studi di populasi manusia yang mempelajari
tentang frekuensi distibusi dan determinan penyakit . Epidemiologi stroke
mempelajari tentang distribusi stroke yang meliputi insiden penyakit, prevalensi dan
hal hal yang menjadi perhatian khusus, dan mempelajari juga tentang determinan
stroke yang meliputi kondisi predisposisi dan faktor faktor risiko. Oleh karena stroke
mempunyai beberapa macam proses patologi, maka distribusi dan determinan spesifik
dari sub sub tipe stroke sebaiknya harus dipelajari sendiri sendiri.
Di Amerika Serikat, stroke menempati urutan ketiga penyebab kematian
setelah penyakit jantung dan kanker. Di Indonesia, data nasional epidemiologi stroke
belum ada. Tetapi dari data sporadis di rumah sakit terlihat adanya tren kenaikan
angka morbiditas stroke yang seiring dengan makin panjangnya life expentancy dan
gaya hidup yang berubah.
Karakteristik demografik yang umum dianalisa untuk stroke adalah usia dan
gender.Dari berbagai studi yang dilakukan di berbagai belahan dunia, terlihat hal yang
sama, yaitu adanya korelasi antara peningkatan kejadian stroke dengan pertambahan
umur. Untuk gender, kejadian stroke lebih sering pada pria dibandingkan wanita di
usia kuang dari 60 tahun dan relatif menjadi hampir sama di usia lebih dari 60 tahun.
Stroke mempunyi multifaktor risiko. Faktor risiko tersebut ada yang major
dan minor, serta ada yang bersifat modifiable atau nonmodifiable. Faktor faktor risiko
tersebut adalah hipetensi, diabetes melitus, atrial fibrilasi dan penyakit katup jantung,
hematokrit, fibrinogen, polisitemia, hiperkolesterolemia, pil kontrasepsi, merokok,
alkohol, obesitas dan riwayat stroke atau transient ischemic attack (TIA) baik untuk
pasien ataupun keluarga
Data epidemiologi lain selain usia, faktor risiko, yang perlu untuk
memperbaiki tatalaksana adalah tipe stroke (iskemik atau hemoragik), lokasi lesi,
gejala klinis, terapi (obat dan operasi) yang dipakai / dilakukan serta hasil keluaran
setelah perawatan di rumah sakit (outcome dan output).
7
lateral. A.serebri posterior memperdarahi lobus oksipital dan lobus temporal bagian
medial. Batang otak diperdarahi secara eksklusif dari sirkulasi posterior. Medula
oblongata menerima darah dari a.vertebralis melalui a.perforating medial dan lateral,
sedangkan pons dan midbrain (mesensefalon) menerima darah dari a.basilaris lewat
cabangnya yaitu a.perforating lateral dan medial. Serebelum mendapat darah dari tiga
pembuluh darah serebelar, yaitu 1). a.serebelar posterior inferior (PICA) yang
merupakan akhir dari cabang a. vertebralis, 2). a. serebelar anterior inferior (AICA)
yang merupan cabang pertama dari a.basilaris, dan 3). A.serebelar superior (SCA)
yang merupakan cabang akhir dari a.basilaris. Basal ganglia diperdarahi oleh
a.lentikulostriata kecil percabangan dari a.serebri media, talamus diperdarahi oleh
a.perforating thalamogeniculata yang merupakan cabang dari a.serebri posterior.
Genu internal capsula diperdarahi oleh a.lenticulostriate anteromedial atau disebut
juga rekuren a.Heubneur.
Cabang intrakranial pertama dari arteri karotis internal adalah a.optalmika dan
cabang pertama dari a.basilar adalah a. serebelar anterior inferior (AICA).
Pada bagian medial antara a.serebral posterior dan a.serebelar superior keluar
saraf kranial III sedangkan dari bagian lateralnya keluar saraf kranial VI. Oleh
karenya bila ada aneurisma dari pembuluh darah tersebut, akan mengganggu saraf
kranial III atau VI itu.
ASPEK BIOLOGI MOLEKULER
Perubahan-perubahan pada stadium sangat awal dari stroke sangat penting
untuk diketahui oleh karena terjadi pada tingkat subseluler, yaitu pada integritas
biomolekular sebagai penopang kehidupan sel-sel neuron. Pengetahuan dasar ini
sangat penting dalam meletakkan dasar-dasar pengobatan intervensional, berdasarkan
patofisiologi
Ada perbedaan mendasar pada kerusakan seluler pada stroke akibat perdarahan
dan sumbatan (iskemik). Pada perdarahan intraserebral, kerusakan sel neuron dan
struktur otak disebabkan oleh ekstravasasi darah ke massa otak, yang mengakibatkan
nekrosis kimiawi oleh zat-zat proteolitik di dalam darah. Sebaliknya pada stroke
iskemik, nekrosis pada neuron terutama akibat disintegrasi struktur sitoskeleton
karena zat-zat neurotransmitter eksitotoksik yang bocor pada proses hipoksia akut.
Selain itu, pada stroke iskemik, kerusakan yang terjadi lebih lambat, akibat
berkurangnya energi yang berkepanjangan pada sel-sel otak menyebabkan apoptosis,
yaitu kematian sel secara perlahan karena kehabisan energi pendukungnya.
Otak membutuhkan energi yang cukup besar untuk mempertahankan
keseimbangan ion-ion yang berada di intra seluler seperti kalium (K +) dan ekstra
seluler seperti natrium (Na+), kalsium (Ca++) dan khlor (Cl). Keseimbangan ini
dipertahankan melalui pompa ion aktif yang bergantung pada energi tinggi, yaitu
adenosine triphosphate (ATP) dan adenosine diphosphate (ADP).
8
bekerja karena pompa ini tergantung pada aktivitas metabolisme sel, yakni energi dan
oksigen. Akibatnya terjadi akumulasi intraseluler ion Na+ dan Cl- disertai oleh
masuknya H2O..Hal ini akan menyebabkan edema sel, baik neuron maupun glia.
Mekanisme edema akibat iskemik bisa diklasifikasikan atas edema sitotoksik dan
edema vasogenik. Keadaan ini bisa tejadi dalam jangka waktu singkat, sekitar 5 menit
setelah terjadinya iskemik. Jaringan yang edema sitotoksik ini bisa ditolong melalui
tindakan dini terhadap reperfusi dan terapi sitoprotektif.
Metabolisme glukosa anaerob dapat muncul akibat dari iskemik. Akibat dari
metabolisme ini adalah asidosis laktat yang akan memperburuk kondisi sel yang
masih hidup. Penelitian pada hewan percobaan membuktikan bahwa kadar glukosa
pre-iskemik akan mempengaruhi berat ringannya asidosis laktat, dan bahwa dengan
peningkatan kadar glukosa darah pada iskemik justru akan mengakibatkan perburukan
tanda-tanda klinik. Sementara reduksi energi tinggi akibat iskemik akan
mempengaruhi pompa ion. Fenomena yang menarik dari hewan percobaan ini adalah
bahwa kehabisan energi tidak berkorelasi secara langsung dengan kerusakan sel. Ini
membuktikan bahwa pada awalnya, pengaruh konsentrasi ion dan pompa ion sangat
berperan dalam menentukan ireversibilitas kerusakan sel.
Iskemia
Depolarisasi
Pelepasan Ca++
intrasel Influks Ca++
Kematian sel
Gambar 1. Diagram kaskade eksitatorik iskemik
(Lynden P and Wahlgren NG, National Stroke Association, 2000)
9
amino eksitatorik glutamat di ekstrasel. Selain itu, sel yang iskemik tidak mempunyai
kesanggupan untuk memetabolisme atau memecah neurotransmiter eksitatorik
tersebut akibat terganggunya enzim pemecah pada iskemik, sehingga terjadi
penumpukan glutamat di sinaps.
Glutamat yang berlebih akan berikatan dengan 3 reseptor glutamat, yaitu N-methyl-D-
aspartate (NMDA), α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazole propionic acid
(AMPA), dan reseptor metabotropik. Ikatan dengan reseptor NMDA menyebabkan
masuknya ion Na+ dan Ca++ ke dalam sel melalui kanal ion. Meningkatnya ion Na +
dan Ca++ juga berakibat pada masuknya cairan H2O yang berlebihan karena dalam
keadaan iskemik pompa ion juga tidak berfungsi. Aktivasi reseptor AMPA yang
berlebihan juga menyebabkan gangguan homeostasis, dengan dibarengi masuknya
cairan H2O ke dalam sel merupakan penyebab edema toksik, serta.merupakan faktor
penyebab sel lisis (nekrosis). Kejadian ini secara primer di temukan di daerah infark,
berbeda dengan di penumbra yang kematian selnya sering akibat terjadinya apoptosis
dan inflamasi.
Selanjutnya, reseptor metabotropik glutamat menjadi aktif dengan memblok induksi
fosfolipase C dan inositol trifosfat serta diiringi oleh mobilisasi Ca++ yang tersimpan
di dalam sel. Kondisi lain adalah masuknya Ca++ melalui kanal ion akibat ikatan
neurotransmiter eksitatorik dengan reseptor NMDA. Keadaan ini diperburuk oleh
kejadian iskemik, yaitu Ca++ akan keluar dari mitokondria dan retikulum
endoplasmik sehingga secara substansial terjadi penumpukan kalsium di intraseluler
yang menyebabkan kerusakan neuron yang ireversibel (lihat gambar).
10
sehingga terjadi kematian sel secara tidak langsung. Efek neurotransmiter eksitatorik
yang berlebihan di daerah iskemik secara biokimiawi akan menyebabkan kerusakan
sel yang lebih berat dibanding dengan dengan efek iskemik secara langsung. Oleh
sebab itu prinsip penanggulangan melalui inhibisi ikatan eksitatorik dengan reseptor
NMDA juga merupakan bagian dari strategi dalam mencegah proses biokimiawi
sebagai perusak sel di daerah iskemik.
Mekanisme kematian sel dapat berupa nekrosis ataupun apoptosis, tergantung pada
beratnya iskemik dan cepatnya kerusakan yang terjadi. Pada nekrosis, struktur sel
menjadi hancur secara akut disertai dengan reaksi inflamasi, makrofag akan menyerbu
dan menfagositasi sisa-sisa sel. Sedangkan pada apoptosis tidak terjadi reaksi
inflamasi, melainkan struktur sel akan menciut (shrinkage). Selain proses kematian
pada stroke akut, integrasi antara neuron-neuron dan matriks sekitarnya terutama sel-
sel glia dan endotel kapiler juga berperan penting. Berbagai penelitian menunjukkan
ada zat-zat aktif yang aktif berperan pada kematian beberapa jenis sel otak. Salah
satunya adalah the stress-activated protein kinase p38 yang tidak hanya menstimulasi
kematian neuronal, tetapi juga merangsang pembentukan enzim caspase 3 sebagai
mediator kematian sel, di endotel serebral pada keadaan hipoksia serebal iskemik.
Enzim lain adalah lipoksigenase 12/15 yang berperan pada glutamate-induced
oxidative cell death pada proses kematian neuron dan oligodendrosit.
11
Iskemik dan inflamasi
Tingkat awal dari inflamasi dimulai beberapa jam sesudah onset iskemik dengan
karakteristik munculnya ekspresi adhesi molekul di endotel pembuluh darah dan
adanya leukosit di sirkulasi. Leukosit bergerak melewati endotel keluar dari sirkulasi
dan berpenetrasi ke jaringan parenkim otak yang mengakibatkan reaksi inflamasi.
Bagian mayoritas dari inflamasi ditentukan oleh populasi dari sel mikroglia yang
disebut juga efektor imun dari susunan saraf pusat (SSP). Mikroglia adalah fagosit
aktif dan merupakan target utama yang sanggup menghasilkan sitokin dan enzim pro-
inflamasi. Oleh sebab itu, inhibisi terhadap aktivitas mikroglia juga merupakan
strategi protektif pada stroke eksperimental dan pemberian antagonis sitokin
mengurangi volume infark pada hewan percobaan.
Kelompok sitokin anti-inflamasi seperti tumor growth factor-1 beta (TGF-1 beta) dan
IL-10 yang bersifat sebagai neuroprotektif juga menjadi aktif terhadap stimulasi
mikroglia. Secara klinis, kelompok sitokin yang domainnya terdiri dari 2 kelompok
protein adalah iNOS dan kelompok cyclo-oxygenase 2 (Cox-2). Pemberian iNOS
inhibitor pada hewan percobaan akan dapat mengurangi volume infark sekitar 30%,
walaupun pemberian dilakukan 24 jam setelah onset iskemik. Cox-2 secara umum
ditemukan di penumbra serta bekerja melalui produksi oksigen radikal bebas dan
prostanoid toksik Berdasar pada eksperimen Cox-2 dan iNOS akan memberi harapan
dalam terapi stroke, karena ternyata masih efektif sampai 24 jam onset iskemik.
12
PATOFISIOLOGI STROKE
Penyakit serebrovaskuler (cerebrovascular disease / CVD) atau stroke adalah
setiap kelainan otak akibat proses patologi pada sistem pembuluh darah otak.
Proses patologi pada sistem pembuluh darah otak ini dapat berupa
penyumbatan lumen pembuluh darah oleh trombosis atau emboli, pecahnya dinding
pembuluh darah, perubahan permeabilitas dinding pembuluh darah dan perubahan
viskositas maupun kualitas darah sendiri. Perubahan dinding pembuluh darah serta
komponen lainnya dapat bersifat primer karena kelainan kongenital maupun
degeneratif, atau sekunder akibat proses lain, seperti peradangan arteriosklerosis,
hipertensi dan diabetes mellitus.
Proses primer yang terjadi mungkin tidak menimbulkan gejala (silent) dan
akan muncul secara klinis jika aliran darah ke otak (cerebral blood flow /CBF) turun
sampai ke tingkat melampaui batas toleransi jaringan otak, yang disebut ambang
aktivitas fungsi otak (threshold of brain functional activity).. Keadaan ini
menyebabkan sindrom klinik yang disebut stroke.
Gejala klinik stroke tergantung lokalisasi daerah yang mengalami iskemik
ataupun perdarahan.
13
Disamping itu terjadi pula perubahan-perubahan dalam milliu ekstra seluler,
karena peningkatan pH jaringan serta kadar gas darah, keluarnya zat neurotransmiter
(glutamat) serta metabolisme sel-sel yang iskemik, disertai kerusakan sawar darah
otak. Seluruh proses ini merupakan perubahan yang terjadi pada stroke iskemik.
14
Usaha pemulihan daerah penumbra dilakukan dengan reperfusi yang harus
tepat waktunya supaya aliran darah kembali ke daerah iskemia tidak terlambat,
sehingga neuron penumbra tidak mengalami nekrosis.
Komponen waktu ini disebut sebagai jendela terapeutik (therapeutic
window) yaitu jendela waktu reversibilitas sel-sel neuron penumbra terjadi dengan
melakukan tindakan resusitasi sehingga neuron ini dapat diselamatkan. Perlu diingat
di daerah penumbra ini sel-sel neuron masih hidup akan tetapi metabolisme oksidatif
sangat berkurang, pompa-pompa ion sangat minimal mengalami proses depolarisasi
neuronal.
Perubahan lain yang terjadi adalah kegagalan autoregulasi di daerah iskemia,
sehingga respons arteriole terhadap perubahan tekanan darah dan oksigen atau
karbondioksida menghilang.
Mekanisme patologi lain yang terjadi pada aliran darah otak adalah, berkurangnya
aliran darah seluruh hemisfer di sisi yang sama dan juga di sisi hemisfer yang
berlawanan (diaskisis) dalam tingkat yang lebih ringan. Disamping itu, di daerah
cermin (mirror area) pada sisi kontra lateral hemisfer mengalami proses diaskisis
yang relatif paling terkena dibanding sisi lainnya, dan juga pada sisi kontralateral
hemisfer serebral (remote area)
Perubahan aliran darah otak bersifat umum/global akibat stroke ini disebut
diaskisis (Meyer et al.), yang merupakan reaksi global terhadap aliran darah otak,
dimana seluruh aliran darah otak berkurang/menurun. Kerusakan hemisfer terutama
lebih besar pada sisi yang tersumbat (ipsilateral dari sumbatan).
Proses ini diduga karena pusat di batang otak (yang mengatur tonus pembuluh
darah di oatak) mengalami stimulasi sebagai reaksi terjadinya sumbatan atau
pecahnya salah satu pembuluh darah sistem serebrovaskuler, didasari oleh mekanisme
neurotransmiter dopamin atau serotonin yang mengalami perubahan keseimbangan
mendadak sejak saat stroke.
Proses diaskisis berlangsung beberapa waktu (hari sampai minggu) tergantung
luasnya infark. Mekanisme proses ini diduga karena perubahan global dan pengaturan
neurotransmiter. Perubahan-perubahan ini tampak secara eksperimental maupun
dengan pemeriksaan PET scan, akan tetapi tidak ada manifestasi klinik sebagai akibat
dari diasksis maupun iskemia pada daerah hemisfer kontralateral.
15
Perubahan pada tingkat seluler / mikro-sirkulasi
Perubahan yang kompleks terjadi pada tingkat seluler/mikro-sirkulasi yang
saling berkaitan. Secara eksperimental perubahan ini telah banyak diketahui, akan
tetapi pada keadaan sebenarnya pada manusia (in vivo) ketetapan ekstrapolasi sulit
dipastikan.
Astrup dkk (1981) menunjukkan bahwa pengaruh iskemia terhadap integritas dan
struktur otak pada daerah penumbra terletak antara batas kegagalan elektrik otak
(electrical failure) dengan batas bawah kegagalan ionik (ion-pump failure).
Selanjutnya dikatakan bahwa aliran darah otak di bawah 17 cc/100 g otak/menit,
menyebabkan aktifitas otak listrik berhenti walaupun kegiatan pompa ion masih
berlangsung.
Sedangkan Hakim (1998) menetapkan bahwa neuron penumbra masih hidup
jika CBF berkurang di bawah 20 cc/100 gram otak/menit dan kematian neuron akan
terjadi apabila CBF di bawah 10 cc/100 gram otak/menit.
30 gangguan fungsi
Time mal EEG
-EEG silence
-Evoked Potensials
Daerah penumbra pada misery perfusion ini, jika aliran darahnya dicukupi
kembali sebelum jendela terapeutik, dapat kembali normal dalam waktu singkat.
Sedangkan sebagian lesi tetap akan mengalami kematian setelah beberapa jam atau
hari setelah iskemik otak temporer.
Dengan kata lain, di daerah ischemic core kematian sudah terjadi sehingga
mengalami nekrosis akibat kegagalan energi (energy failure) yang secara dahsyat
merusak dinding sel beserta isinya sehingga mengalami lisis (sitolisis). Sementara
pada daerah penumbra jika terjadi iskemia berkepanjangan sel tidak dapat lagi
mempertahankan integritasnya sehingga akan terjadi kematian sel, yang secara akut
timbul melalui proses apoptosis, yaitu disintegrasi elemen-elemen seluler secara
bertahap dengan kerusakan dinding sel yang disebut juga programmed cell death.
Kumpulan sel-sel ini disebut sebagai selectively vulnerable neuron, seperti
pertama kali dilaporkan Kirino (1982) & Pulsmelli (1982), dan diuraikan oleh Kogure
& Kato (1992) pada percobaan dengan binatang. Pada neuron-neuron tersebut
16
terdapat hirarki sensitifitas terhadap iskemia diawali pada daerah hipokampus CA1
dan sebagian kolikulus inferior, kemudian jika iskemia lebih dari 5 menit (10-15
menit) akan diikuti oleh lapis 3 dan 5 neokortex striatum septum, hipokampus sektor
CA 3, thalamus, korpus genikulatum medial, dan substania nigra.
Meskipun ditemukan pada binatang, kenyataan ini menunjukkan bahwa di daerah
sistem limbik dan ganglia basal terdapat sel-sel yang sensitif terhadap iskemia.
Keadaan ini penting dalam hubungannya dengan stroke yang disertai dengan
demensia. Hal yang juga menarik adalah bahwa sel-sel yang sensitif terhadap iskemia
terutama merupakan bagian dari serabut yang terisi glutamat. Iskemia menyebabkan
aktifitas intra seluler Ca2+ meningkat hingga peningkatan ini akan menyebabkan juga
aktifitas Ca2+ di celah sinaps bertambah sehingga terjadi sekresi neutransmitter yang
berlebihan, yaitu glutamat, aspartat dan kainat yang bersifat eksitotoksin.
Disamping itu Abe dkk (1987) yang diulas oleh Kogure (1992), membuktikan
bahwa, akibat lamanya stimulasi reseptor metabolik oleh zat-zat yang dikeluarkan
oleh sel, menyebabkan juga aktifitas reseptor neurotropik yang merangsang
pembukaan kanal Ca2+ yang tidak tergantung pada kondisi tegangan potensial
membran seluler (receptor-operated gate opening), disamping terbukanya kanal Ca 2+
akibat aktivitas NMDA reseptor “voltage operated gate opening” yang telah terjadi
sebelumnya.
Kedua proses tersebut mengakibatkan masuknya Ca2+ ion ekstraseluler ke dalam
ruang intraseluler. Jika proses berlanjut, pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan
membrane sel dan rangka sel (sitoskeleton) melalui terganggunya proses fosforilase
dari regulator sekunder sintesa protein, proses proteolisis dan lipolisis yang akan
menyebabkan ruptur atau nekrosis.
Disamping neuron-neuron yang sensitif terhadap iskemia, kematian sel dapat
langsung terjadi pada iskemia berat dengan hilangnya energi secara total dari sel
karena berhentinya aliran darah. Disamping itu,desintegrasi sitoplasma dan disrupsi
membran sel juga menghasilkan ion-ion radikal bebas yang dapat lebih memperburuk
keadaan lingkungan seluler.
17
Dampak lain stroke iskemik akut
1. Bocornya radikal bebas.
Jenis radikal bebas ini dalam tubuh kita terdiri atas :
Radikal bebas oksigen
Radikal bebas oksida nitrit
Radikal bebas dalam keadaan normal, diproduksi tubuh dalam jumlah yang
sangat sedikit sebagai bagian produk dari metabolisme oksidatif terutama dalam
mitokondria.
Pada keadaan iskemia fokal, peranan peroksidase-lipid sangat penting karena
merupakan bagian dari patofisiologi iskemia fokal maupun global. Superoksida,
radikal bebas oksigen telah ditemukan pada iskemia terutama pada periode
referfusi jaringan, yang berasal dari proses alamiah maupun sebagai tindakan
pengobatan. Radikal bebas oksigen dihasilkan dari proses lipolisis kaskade
arakhidonat dalam sel-sel di daerah penumbra. Sumber lain dari superoksida ialah
aktivitas enzimatik (monoaminoksidase) dalam otooksidase dari biologiamin
(efinefrin, serotonin dan sebagainya).
Pada iskemia fokal, peroksidase lipid ini meningkat aktifitasnya karena:
1) Timbulnya edema otak vasogenik/seluler, telah diketahui bahwa
endothelium memproduksi aksida nitrit (NO) dan pada keadaan patologi
menghasilkan radikal bebas yang akan memperburuk timbulnya edema.
2) Pada proses disintegrasi pompa kalsium dan natrium kalium akibat
kerusakan membrane sel yang berkaitan dengan pompa ion. Gangguan ini
mempercepat masuknya kalsium dan natrium ke dalam sel.
3) Peroksida lipid juga terlihat pada mekanisme eksitatorik
neurotransmitter glutamat. Meningkatnya aktifitas superoksida mempercepat
dan memperbesar pengeluaran neurotransmitter eksitatorik glutamat dan
aspartat. Usaha pengobatan dilakukan untuk menghambat akibat dari ekses
superoksida dengan pemberian anti oksidan seperti glutation,vitamin E, dan
L arginin. Meskipun secara eksperimental telah dibuktikan manfaat dari
antioksidan dalam memperkecil daerah iskemik, tetapi dalam praktek sehari-
hari evaluasi hasil terapi anti oksidan pada penderita stroke masih terus
diteliti.
2. Eksitatorik neurotransmitter
Neurontransmitter glutamat banyak diimplikasikan dalam patofisiologi
iskemik. Dalam keadaan normal, neurotransmitter glutamate terkonsentrasi dalam
terminal saraf dan di dalam proses transisi neuronal yang bersifat eksitatorik.
Glutamat diekspresikan di dalam ruangan ekstra seluler dengan cepat akan di
ambil kembali (reuptake) ke dalam oleh sel.
Pada keadaan patologis, dapat terjadi gangguan akibat disfungsi sel berupa
ekses dari glutamat ini baik karena ambilan kembali, atau kerusakan karena sel
neuron yang berisi glutamat juga mengalami gangguan. Selain itu dapat terjadi
kebocoran glutamat akibat kerusakan dinding sel (sitolisis) dan nekrosis, serta
apoptosis yang menimbulkan masuknya ion kalsium ke dalam sel. Penumpukan
18
neurotransmiter di dalam ruangan ekstraseluler menyebabkan proses
eksitotoksisitas glutamat.
Seluruh keadaan ini mempengaruhi sel-sel neuron SSP yang berbeda
sensitifitasnya. Sebetulnya yang terkena secara mudah adalah neuron hipokampus
CA 3 sel-sel piramida. Selanjutnya akibat dari eksitotoksisitas terhadap neuron
adalah timbilnya edema selular, degenerasi organel intraseluler serta degenerasi
piknotik inti sel yang diikuti kematian sel. Usaha terapi pengobatan akibat stroke
adalah menghambat stimulasi glutamate terhadap reseptor NMDA (N-Metil D
Aspartate), AMPA (d amino 3-hidroksi-5-metil-4-isokasolopropionik acid) dan
kainat yang berperan penting dalam pengaturan masuknya ion kalsium. Obat-obat
tersebut mempunyai peranan untuk mencegah proses disintegrasi sel-sel.
Keberhasilan pengobatan NMDA reseptor antagonis saat ini sedang diteliti
pada penderita stroke misalnya: serestat (abtiganel) yang hasilnya sampai saat ini
belum meyakinkan.
Reperfusi
Meskipun aliran darah otak merupakan faktor penentu utama pada infark otak,
pengalaman klinis serta penelitian pada hewan percobaan menunjukkan bahwa pada
infark otak, pulihnya aliran darah otak ke taraf normal tidak selalu memberikan
manfaat yang diharapkan, yaitu hilangnya gejala klinis secara total. Selain faktor
lamanya iskemia, ada hal-hal mendasar lain yang harus diperhitungkan dalam proses
pengobatan infark otak.
Dari percobaan pada hewan terbukti bahwa resusitasi atau reperfusi pada
penutupan /penghentian aliran darah ke otak mencetuskan beberapa reaksi kompleks
di tingkat mikrosirkulasi, iskemia berupa edema jaringan,vasospasme kapiler/arteriol,
penggumpalan sel-sel darah merah, asidosis jaringan, aliran kalsium masuk ke dalam
sel, dan dilepaskannya radikal bebas. Perubahan ini dapat demikian hebat sehingga
disebut sebagai reperfusion injury yang berakibat munculnya gejala neurologik yang
relatif menetap.
Pada dasarnya terjadi 2 perubahan sekunder pada periode reperfusi jaringan
iskemia otak, yaitu:
a. Hiperemia pasca iskemik atau heperemia reaktif yang disebabkan oleh
melebarnya pembuluh darah di daerah iskemia. Keadaan ini terjadi pada +20
menit pertama setelah penyumbatan pembuluh darah otak terutama pada
iskemia global otak.
b. Hipoperfusi pasca-iskemik yang berlangsung antara 6-24 jam berikutnya.
Keadaan ini ditandai dengan vasokonstriksi (akibat asidosis jaringan), naiknya
produksi tromboksan A2 dan edema jaringan. Diduga proses ini yang akhirnya
menghasilkan nekrosis dan kerusakan sel yang diikuti oleh munculnya gejala
neurologik.
Ternyata secara eksperimental kerusakan sel-sel saraf dan jaringan otak tidak
sesederhana yang dibayangkan, karena terdapat beberapa rantai proses yang memang
hasil akhirnya adalah kematian sel.
Jadi, pada infark otak terjadi proses sekunder yang jauh lebih kompleks, bukan
hanya terhentinya aliran darah otak. Sebagai konsekuensinya, pengetahuan mutakhir
19
mengenai perubahan patologik mempunyai dampak pencegahan gejala sisa dan
lanjutan pengobatan.
20
Lepasnya elemen yang berbentuk mural thrombus dari dinding pembuluh darah
arterio-sklerotik di arteri karotis interna, bifurkasio karotis dan percabangan-
percabangan arteri intrakranial.
Ulcerated plaque arteriosclerotic merupakan sumber emboli dan isinya juga
bervariasi, yaitu red fibrin-dependent thrombi, white plateled-fibrin particles,
kombinasi trombus merah dan putih, debris kristal kolesterol, plak atheroma, partikel
kalsifikasi dari dinding arteri yang terkalsifikasi, dan zat-zat lain sperti lemak, udara
dan tumor. Selama itu yang dapat menjadi sumber emboli adalah arkus aorta, yaitu
atheroma yang menonjol dan bergerak (mobile) karena aliran darah yang cepat.
Frekuensinya mulai sering ditemukan dan frekuensi ini meningkat dengan usia dan
beratnya jantung (heart-weight).
Perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya mikroaneurisma
(Berry aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering terjadi di daerah
subkortikal, serebelum, pons dan batang otak. Perdarahan di daerah korteks lebih
sering disebabkan oleh sebab lain misalnya tumor otak yang berdarah, malformasi
pembuluh darah otak yang pecah, atau penyakit pada dinding pembuluh darah otak
primer misalnya Congophilic angiopathy, tetapi dapat juga akibat hipertensi maligna
dengan frekuensi lebih kecil dari pada perdarahan subkortikal.
21
Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola berdiameter 100 – 400
mikrometer mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh darah tersebut
berupa hipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard.
Arteriol-arteriol dari cabang-cabang lentikulostriata, cabang tembus arteriotalamus
(thalamo perforate arteries) dan cabang-cabang paramedian arteria vertebro-basilar
mengalami perubahan-perubahan degeneratif yang sama. Kenaikan tekanan darah
yang mendadak (abrupt) atau kenaikan dalam jumlah yang sangat mencolok dapat
menginduksi pecahnya pembuluh darah terutama pada pagi hari dan sore hari (early
afternoon). (Batytr, 1992 dikutip Falker & Kaufman,1997).
Jika pembuluh darah tersebut pecah, maka perdarahan dapat berlanjut sampai
dengan 6 jam (Broderick et al,1990) dan jika volumenya besar akan merusak struktur
anatomi otak dan menimbulkan gejala klinik.
Jika perdarahan yang timbul kecil ukurannya, maka massa darah hanya dapat
merasuk dan menyela di antara selaput akson massa putih “dissecan spilitting” tanpa
merusaknya. Pada keadaan ini absorpsi darah akan diikuti oleh pulihnya fungsi-fungsi
neurologi. Sedangkan pada perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak,
peninggian tekanan intrakranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan hermiasi
otak pada falks serebri atau lewat foramen magnum.
Kematian dapat disebabkan karena kompresi batang otak, hemisfer otak, dan
perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak.
Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada 1/3 kasus perdarahan otak di nukleus
kaudatus, thalamus dan pons. Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume
perdarahan yang relatif banyak akan mengakibatkan peninggian tekanan intrakranial
yang menyebabkan menurunnya tekanan perfusi otak serta terganggunya drainase
otak.
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat
menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang terkena
darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Jumlah darah yang keluar menentukan
prognosis. Apabila volume darah lebih dari 60 cc maka resiko kematian sebesar 93 %
pada perdarahan dalam dan 71 % pada perdarahan lobar. Sedangkan bila terjadi
perdarahan serebellar dengan volume antara 30 – 60 cc diperkirakan kemungkinan
kematian sebesar 75 %, tetapi volume darah 5 cc dan terdapat di pons sudah berakibat
fatal (Fayad dan Awad, 1998).
Gejala neurologik timbul karena ekstravasasi darah ke jaringan otak yang
menyebabkan nekrosis. Akhir-akhir ini para ahli bedah otak di Jepang berpendapat
bahwa pada fase awal perdarahan otak ekstravasasi tidak langsung menyebabkan
nekrosis. Pada saat-saat pertama, mungkin darah hanya akan mendesak jaringan otak
tanpa merusaknya, karena saat itu difusi darah ke jaringan belum terjadi. Pada
keadaan ini harus dipertimbangkan tindakan pembedahan untuk mengeluarkan darah
agar dapat dicegah gejala sisa yang lebih parah. Absorpsi darah terjadi dalam waktu
3-4 minggu. Gejala klinik perdarahan di korteks mirip dengan gejala infark otak,
tetapi mungkin lebih gawat apabila perdarahan sangat luas.
Perdarahan subarakhnoid
Perdarahan subarakhnoid (SAH) relatif kecil jumlahnya (< 0,01 % dari
populasi di USA) sedangkan di ASEAN 4 % (hospital based) dan di Indonesia 4,2 %
22
(hospital based, Misbach 1996). Meskipun demikian angka mortalitas dan disabilitas
sangat tinggi, yaitu hingga 80 % (USA).
Perdarahan subarakhnoid terjadi karena pecahnya aneurisme sakuler pada 80
% kasus non traumatik. Aneurisma sakuler ini merupakan proses degenerasi vaskuler
yang didapat (acquired) akibat proses hemodinamika pada bifurkasio pembuluh arteri
otak. Terutama di daerah sirkulus Willisi (Meir B. 1987 ; Ratcheson and Wirth, 1994.
Lokasi aneurisma intraserebral tersering adalah: di a.komunikans anterior (30%), di
pertemuan antara a.komunikans posterior dengan a.karotis interna (25%), di
bifurkasio dari a.karotis interna dan a.serebri media (20-25%). Anerisma ini adalah
multipel pada sekitar 25% dari pasien. Sekitar 3% aneurisma berhubungan dengan
adanya polikistik ginjal.
Penyebab lain adalah aneurisma fusiforra/aterosklerosis pembuluh arteri basilaris,
aneurisme mikotik dan traumatik selain AVM. Perdarahan ini dapat juga disebabkan
oleh trauma (tanpa aneurisma), arteritis, neoplasma dan penggunaan kokain /
amfetamin berlebihan, hipertensi, perokok dan peminum alkohol.
23
Grade V Koma dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial berat
Klasifikasi dengan skala klinis ini menunjukkan bahwa bila pasien berada di Grade I
atau II, maka pasien mempunyai prognosis baik dan dapat segera dilakukan angiografi
serta tindakan intervensi sesuai dengan indikasinya. Bila pasien berada di grade IV
dan V, maka pasien mempunyai prognosis buruk dan memerlukan terapi
medikamentosa dulu sampai kondisi stabil dan baik, baru direncanakan dilakukan
angiografi untuk menentukan tindakan terapi lanjutan sesuai kebutuhan pasien
DIAGNOSIS STROKE
Proses gangguan pembuluh darah otak mempunyai beberapa sifat klinik yang
spesifik :
a. Timbulnya mendadak
b. Menunjukkan gejala-gejala neurologis kontralateral terhadap pembuluh yang
tersumbat. Tampak sangat jelas pada penyakit pembuluh darah otak sistem
karotis dan perlu lebih teliti pada observasi sistem vertebro-basilar, meskipun
prinsipnya sama. Untuk sistem vertebro-basilar, gejala klinis paresis dikenal
sebagai ‘alternans’, yaitu kelumpuhan nervi kranialis se sisi lesi dan
kelumpuhan motorik kontralateral lesi.
c. Kesadaran dapat menurun sampai koma terutama pada perdarahan otak.
Sedang pada stroke iskemik lebih jarang terjadi penurunan kesadaran.
Dikenal bermacam-macam klasifikasi stroke, berdasarkan atas gambaran klinik,
patologi anatomi, sistem pembuluh darah, dan stadiumnya.
Dasar klasifikasi yang berbeda-beda ini perlu, sebab setiap jenis stroke
mempunyai cara pengobatan, preventif dan prognosis yang berbeda, walaupun
patogenesisnya serupa. Di klinik kami, digunakan klasifikasi modifikasi Marshall,
yaitu:
a. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya
1) Stroke Iskemik
a. Serangan iskemik sepintas (Transient Ischemic Attack/TIA)
b. Trombosis serebri
c. Emboli serebri
2) Stroke Hemoragik
a. Perdarahan intra serebral
b. Perdarahan subarakhnoid
b. Berdasarkan stadium/pertimbangan waktu
1) TIA
2) Stroke-in-evolution
3) Completed stroke
c. Berdasarkan sistem pembuluh darah
1) Sistem karotis
24
2) Sistem vertebro-basilar
25
Tanda-tanda klinis :
1) Tidak ada defisit visual
2) Tidak ada gangguan fungsi luhur
3) Tidak ada gangguan fungsi batang otak
4) Defisit maksimum pada satu cabang arteri kecil
5) Gejala :
Pure motor stroke (PMS)
Pure sensory stroke (PSS)
Ataksik hemiparesis (termasuk ataksia dan paresis unilateral,
dysarthria-hand syndrome)
Jenis infark ini bukan disebabkan karena proses emboli karena biasanya
pemeriksaan jantung dan arteri besar normal, sehingga tidak diperlukan
pemeriksaan khusus untuk mencari emboli kardiak.
DASAR DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Pada anamnesis akan ditemukan kelumpuhan anggota gerak sebelah badan,
mulut mencong atau bicara pelo, dan tidak dapat berkomunikasi dengan baik.
Keadaan ini timbul sangat mendadak, dapat sewaktu bangun tidur, mau sholat, selesai
sholat, sedang bekerja atau sewaktu beristirahat.
26
Selain itu perlu ditanyakan pula faktor-faktor risiko yang menyertai stroke
misalnya penyakit kencing manis, darah tinggi dan penyakit jantung, serta obat-obat
yang sedang dipakai. Selanjutnya ditanyakan pula riwayat keluarga dan penyakit
lainnya.
Pada kasus-kasus berat, yaitu dengan penurunan kesadaran sampai koma,
dilakukan pencatatan perkembangan kesadaran sejak serangan terjadi.
2. Pemeriksaan fisik
Setelah penentuan keadaan kardiovaskular penderita serta fungsi vital seperti
tekanan darah kiri dan kanan, nadi, pernafasan, tentukan juga tingkat kesadaran
penderita. Jika kesadaran menurun, tentukan skor dengan skala koma Glasgow agar
pemantauan selanjutnya lebih mudah. Namun jika penderita
sadar, tentukan berat kerusakan neurologis yang terjadi, disertai pemeriksaan saraf-
saraf otak dan motorik apakah fungsi komunikasi baik atau adakah disfasia.
Penilaian klinis lainnya yang dilakukan untuk menilai beratnya stroke,
dipergunakan National Institute Health Stroke Scale (NIHSS). Penilaian ini dilakukan
dua kali, yaitu saat masuk dan saat pulang. Beda nilai saat masuk dan saat keluar
dapat menjadi salah satu penilaian kinerja keberhasilan terapi. Tetapi untuk stroke
pada sistem vertebro basilar, akurasi penilaian NIHSS kurang baik.
Stroke Siriradj Score, dilakukan bersama sama pemeriksaan fisik untuk
membedakan antara stroke iskemik dan stroke perdarahan. Penilaian ini, dapat
membantu bagi rumah sakit atau pusat pelayanan kesehatan yang tidak mempunyai
alat bantu diagnosis CT Scan otak.
Skor Stroke Siriraj = (2,5 x S) + (2 x M) + (2 x N) + (0,1D) – (3 x A) – 12
Penilaiannya adalah sebagai berikut :
Skor > 1 : perdarahan supratentorial
Skor < -1 : infark serebri
Skor -1 s/d 1 : meragukan
Jika kesadaran menurun dan nilai skala koma Glasgow telah ditentukan, lakukan
pemeriksaan refleks-refkles batang otak yaitu:
reaksi pupil terhadap cahaya
refleks kornea
refleks okulo sefalik
Keadaan (refleks) respirasi, apakah terdapat pernapasan Cheyne Stokes,
hiperventilasi neurogen, kluster, apneustik dan ataksik. Setelah itu
tentukan kelumpuhan yang terjadi pada saraf-saraf otak dan anggota gerak.
Kegawatan kehidupan sangat erat hubungannya dengan kesadaran
menurun, karena makin dalam penurunan kesadaran, makin kurang baik
prognosis neurologis maupun kehidupan. Kemungkinan perdarahan intra
serebral dapat luas sekali jika terjadi perdarahan-perdarahan retina atau
preretinal pada pemeriksaan funduskopi.
3. Gejala klinik
Manifestasi klinik stroke sangat tergantung kepada daerah otak yang
terganggu aliran darahnya dan fungsi daerah otak yang menderita iskemia tersebut.
27
Karena itu pengetahuan dasar dari anatomi dan fisiologi aliran darah otak sangat
penting untuk mengenal gejala-gejala klinik pada stroke.
Berdasarkan vaskularisasi otak, maka gejala klinik stroke dapat dibagi atas 2
golongan besar yaitu:
1. Stroke pada sistem karotis atau stroke hemisferik
2. Stroke pada sistem vertebro-basilar atau stroke fossa posterior
Salah satu ciri stroke adalah timbulnya gejala sangat mendadak dan jarang
didahului oleh gejala pendahuluan (warning signs) seperti sakit kepala, mual,
muntah, dan sebagainya.
Gejala pendahuluan yang jelas berhubungan dengan stroke adalah serangan
iskemia sepintas (TIA) dan ini diketahui melalui anamnesis yang baik pada stroke
akut. Selain gejala-gejala yang timbul mendadak dalam waktu beberapa menit
sampai beberapa jam dari mulai serangan sampai mencapai maksimal. Tidak
pernah terjadi dalam beberapa hari atau apalagi dalam 1-2 minggu. Kalau
terjadi demikian, bukan disebabkan stroke tetapi oleh sindroma stroke
(stroke-syndromes) karena tumor, primer maupun metastatik, trauma,
peradangan dan lain-lain.
Gejala klinik pada stroke hemisferik
Seperti kita ketahui, daerah otak yang mendapat darah dari a. karotis interna
terutama lobus frontalis, parietalis, basal ganglia, dan lobus temporalis. Gejala-
gejalanya timbul sangat mendadak berupa hemiparesis, hemihipestesi, bicara pelo,
dan lain-lain.
Pada pemeriksaan umum:
Kesadaran: penderita dengan stroke hemisferik jarang mengalami gangguan atau
penurunan kesadaran, kecuali pada stroke yang luas. Hal ini disebabkan karena
struktur-struktur anatomi yang menjadi substrat kesadaran yaitu formasio
retikuralis di garis tengah dan sebagian besar terletak dalam fossa posterior.
Karena itu kesadaran biasanya kompos mentis, kecuali pada stroke yang luas.
Tekanan darah: biasanya tinggi, hipertensi merupakan faktor resiko timbulnya
stroke pada lebih kurang 70% penderita.
Fungsi vital lain umumnya baik jantung, harus diperiksa teliti untuk mengetahui
kelainan yang dapat menyebabkan emboli.
Pemeriksaan neurovaskuler adalah langkah pemeriksaan yang khusus ditujukan
pada keadaan pembuluh darah ekstrakranial yang mempunyai hubungan dengan
aliran darah otak yaitu: pemeriksaan tekanan darah pada lengan kiri dan kanan,
palspasi nadi karotis pada leher kiri dan kanan, arteri temporalis kiri dan kanan
dan auskultasi nadi pada bifurkatio karotis komunis dan karotis interna di leher,
dilakukan juga auskultasi nadi karotis interna pada orbita, dalam rangka mencari
kemungkinan kelainan pembuluh ekstrakranial.
Pemeriksaan neurologis
a. Pemeriksaan saraf otak: pada stroke hemisferik saraf otak yang
sering terkena adalah:
28
Gangguan n. fasialis dan n. hipoglosus. Tampak paresis n. fasialis tipe
sentral (mulut mencong) dan paresis n. hipoglosus tipe sentral (bicara pelo)
disertai deviasi lidah bila dikeluarkan dari mulut.
Gangguan konjugat pergerakan bola mata antara lain deviasi konjugae, gaze
paresis ke kiri atau ke kanan, dan hemianopia. Kadang-kadang ditemukan
sindroma horner pada penyakit pembuluh karotis. Gangguan lapangan
pandang: tergantung kepada letak lesi dalam jarak perjalanan visual,
hemianopia kongruen atau tidak. Terdapatnya hemianopia merupakan salah
satu faktor prognostik yang kurang baik pada penderita stroke.
b. Pemeriksaan motorik:
Hampir selalu terjadi kelumpuhan sebelah anggota badan (hemiparesis). Dapat
dipakai sebagai patokan bahwa jika ada perbedaan kelumpuhan yang nyata
antara lengan dan tungkai hampir dipastikan bahwa kelainan aliran darah otak
berasal dari daerah hemisferik (kortikal), sedangkan jika kelumpuhan sama berat
gangguan aliran darah dapat terjadi di subkortikal atau pada daerah vertebro-
basilar.
c. Pemeriksaan sensorik dapat terjadi hemisensorik tubuh. Karena
bangunan anatomik yang terpisah, gangguan motorik berat dapat disertai
gangguan sensorik ringan atau gangguan sensorik berat disertai dengan
gangguan motorik ringan.
d. Kelainan fungsi luhur: manifestasi gangguan fungsi luhur pada
stroke hemisferik berupa: disfungsi parietal baik sisi dominan maupun
nondominan. Kelainan yang paling sering tampak adalah disfasia campuran
dimana penderita tak mampu berbicara atau mengeluarkan kata-kata dengan
baik dan tidak mengerti apa yang dibicarakan orang kepadanya. Selain itu dapat
juga terjadi agnosia, apraxia dan sebagainya.
Gejala-klinik stroke vertebro-basilar
Gangguan vaskularisasi pada pembuluh darah vertebro-basilar, tergantung
kepada cabang-cabang sistem vertebro-basilar yang terkena, secara anatomik,
percabangan arteri basilaris di golongkan menjadi 3 bagian:
a. Cabang-cabang panjang: misalnya a. serebeli inferior
posterior yang jika tersumbat akan memberikan gejala – gejala sindroma
Wallenberg, yaitu infark di bagian dorso-lateral tegmentum medula oblongata.
b. Cabang-cabang paramedian: sumbatan cabang-cabang yang
lebih pendek memberikan gejala klinik berupa sindroma Weber hemiparesis
alternans dari berbagai saraf kranial dari mesensefalon atau pons.
c. Cabang-cabang tembus (Perforating branches) memberi
gejala-gejala sangat fokal seperti internuclear ophtalmoplegia (INO).
Diagnostik kelainan sistem vertebro-basilar adalah:
1. Penurunan kesadaran yang cukup berat (dengan diagnosis banding
infark supratentorial yang luas, dalam hal ini yang terkena adalah formasio
retikularis).
2. Kombinasi berbagai saraf otak yang terganggu disertai vertigo diplopia
dan gangguan bulbar
29
3. Kombinasi beberapa gangguan saraf otak dan gangguan long-tract
sign: vertigo disertai paresis keempat anggota gerak (ujung-ujung distal). Jika
ditemukan long-tract sign pada kedua sisi maka penyakit vertebro-basilar
hampir dapat dipastikan.
4. Gangguan bulbar juga hampir pasti disebabkan karena stroke vertebro-
basilar. Beberapa ciri khusus lain adalah: parestesia perioral, hemianopia
altitudinal dan skew deviation.
30
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
1) Pemeriksaan darah rutin
2) Pemeriksaan kimia darah lengkap:
Gula darah sewaktu: pada stroke akut dapat terjadi
hiperglikemia reaktif. gula darah dapat mencapai 250 mg dalam serum
dan kemudian berangsur-angsur kembali turun.
Ureum, kreatinin, asam urat, fungsi hati
(SGOT/SGPT/CPK), dan profil lipid (kolesterol total, trigliserida, LDL,
HDL)
3) Pemeriksaan hemostasis (darah lengkap) :
Waktu protrombin
APTT
Kadar fibrinogen
D-dimer
INR
Viskositas plasma
4) Pemeriksaan tambahan yang dilakukan atas indikasi :
Protein S
Protein C
ACA
Homosistein
b. Pemeriksaan Kardiologi
Pada sebagian kecil penderita stroke, terdapat juga perubahan elekrokardiografi
(EKG). Perubahan ini dapat berarti kemungkinan mendapat serangan infark jantung,
atau pada stroke dapat terjadi perubahan-perubahan EKG sebagai akibat perdarahan
otak yang menyerupai suatu infark miokard. Dalam hal ini pemeriksaan khusus atas
indikasi, misalnya pemeriksaan CK-MB lanjutan akan memastikan diagnosis. Pada
pemeriksaan EKG dan pemeriksaan fisik, mengarah kepada kemungkinan adanya
sumber emboli (potential source of cardiac emboli/PSCE) maka pemeriksaan
ekhokardiografi terutama Transesofageal echocardiography (TEE) dapat diminta
untuk visualisasi emboli kardial.
c. Pemeriksaan pada Emboli Serebral
Dugaaan akan emboli serebral ditentukan setelah diagnosis stroke secara
kilinis telah dipastikan. Langkah selanjutnya adalah memastikan emboli kardiak
sebagai penyebabnya. Pemastian ini tidak selalu mudah dan ada dua hal yang harus
diteliti, yaitu :
a. Pemastian ada sumber emboli di jantung
31
b. Pemastian bahwa tipe stroke iskemik yang terjadi merupakan
stroke yang sering menyertai/disebabkan karena emboli kardiak berdasarkan
pertimbangan klinis dan penelitian epidemiologi.
Jika telah dicurigai emboli kardiak sebagai penyebab emboli serebral, maka kadang-
kadang diperlukan pemeriksaan khusus untuk mevisualisasi sumber/ emboli kardiak
terutama jika tak ada faktor risiko stroke diluar kardiak. Di Departemen Neurologi ,
penderita dengan stroke rutin dilakukan foto thorak dan EKG. Jika ditemukan infark
teritorial pada CT scan, maka dilakukan konsultasi untuk pemeriksaan
echokardiografi, khususnya Trans Esophageal Echokardografi (TEE) jika diperlukan.
Selama 2 tahun (1996-1998) telah kami lakukan konsultasi TEE bersama dengan
subbagian kardiologi FKUI/RSUPNCM, 37 kasus stroke dan 18 diantaranya
ditemukan adanya trombus pada atrium (48,6%). Trombus pada atrium kiri ditemukan
pada 14 kasus (77,7%) dan sisanya di ventrikel kiri (23,3%).
d. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang paling penting adalah:
CT scan Otak: segera memperlihatkan perdarahan intra serebral. Pemeriksaan
ini sangat penting karena perbedaan manajemen perdarahan otak dan infark
otak. Pada infark otak, pemeriksaan CT scan otak mungkin tidak
memperlihatkan gambaran jelas jika dikerjakan pada hari-hari pertama,
biasanya tampak setelah 72 jam serangan. Jika ukuran infark cukup besar
dan hemisferik. Perdarahan/infark di batang otak sangat sulit
diidentifikasi,oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan MRI untuk
memastikan proses patologik di batang otak.
Pemeriksaan foto thoraks: dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah
terdapat pembesaran ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda
hipertensi kronis pada penderita stroke dan adakah kelainan lain pada
jantung. Selain itu dapat mengidentifikasi kelainan paru yang potensial
mempengaruhi proses manajemen dan memperburuk prognosis.
5. Serangan Iskemik Sepintas (TIA)
Meskipun transient ischemic attack (TIA) merupakan suatu golongan penyakit
tersendiri, diagnosis penyakit ini tidak selalu mudah ditegakkan. Hal ini karena
penderita biasanya datang ke dokter pada saat serangan sudah berlalu, dan gejala telah
menghilang. sehingga anamnesis menjadi sangat penting.
Disamping gejala utama yang dikeluhkan, dokter dengan tekun dan teliti harus
mengenal secara baik rentetan gejala yang berhubungan erat dengan proses penyakit.
Mungkin gejala tersebut dilupakan penderita tetapi merupakan hal penting dalam
anamnesis untuk mengarahkan kepada diagnosis TIA. Jika gejala yang diceritakan
penderita jelas menunjukkan lesi patologik fokal, maka harus dicari terus apakah
terdapat gejala tambahan yang lebih mempertegas gangguan pada salah satu sistem
vaskular otak.
Misalnya, jika diketahui ada hemiparesis, maka pada penderita harus dicari
apakah terdapat juga disfasia atau gangguan visus unilateral. Karena itu anamnesis
yang teliti dan terpimpin tetap merupakan kunci utama diagnostik TIA. Mengingat hal
tersebut diatas, maka pemeriksaan tambahan merupakan pegangan penting yang
32
kedua dalam menegakkan diagnostik TIA, dan pemeriksaan ini akan mengungkapkan
secara lebih lengkap mengenai patofisiologi proses TIA yang dialami penderita.
Terlebih lagi oleh karena kemajuan bidang bedah vaskuler, pemeriksaan ini menjadi
lebih penting.TIA merupakan awal suatu infark serebral dan untuk eksplorasi lebih
lanjut, penderita harus dirawat di rumah sakit.
33
Jika terjadi penurunan tekanan pada salah satu sisi terutama tekanan
diastolik lebih daripada 25%, maka perbedaan ini dianggap bermakna.
Atau penurunan tekanan sistolik dan diastolik > 20%, berarti bahwa pada
sisi yang tekanannya menurun telah terjadi penurunan pressure-gradient
yang terjadi akibat gangguan aliran darah atau sumbatan pada bagian
proksimal arteri karotis interna atau arteri oftalmika.
Pada umumnya kelainan tersebut paling sering disebabkan karena
proses aterosklerosis pada bifurkasio karotis, pada pangkal arteri karotis
interna atau pada arteri karotis komunis. Dalam frekuensi yang lebih kecil
sumbatan terjadi pada pembuluh nadi yang lebih proksimal atau pada
pangkal arteri karotis komunis.
Dengan uraian diatas, jelaslah bahwa pemeriksaan
oftalmodinamometri sangat berguna bagi penderita TIA yang mengenai
sistem karotis dengan derajat akurasi 70 – 75 %. Pengukuran dilakukan
pada posisi setengah duduk supaya faktor gravitasi dapat memperjelas
ketajaman pengukuran.
Pada klinik neurooftalmologi Departemen Saraf Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia telah dilakukan pengukuran dan hasil-hasilnya telah
pula dipublikasikan. Namun pada keadaan-keadaan di bawah ini, hasil
pengukuran menjadi sulit diinterprestasikan, yaitu pada :
Aritmia jantung
Glaukoma yang berat
Penderita yang gelisah atau nonkooperatif
Penderita dengan kelainan dan asimetri pada arteri sentralis retina serta
cabang-cabangnya.
Pengukuran harus dilakukan beberapa kali dan selalu harus diukur tekanan
sistematik sebagai pembanding.
3) Pemeriksaan Funduskopi
Pemeriksaan fundus dengan oftalmoskop merupakan pemeriksaan
bedside yang sangat bermanfaat pada penderita TIA, terutama TIA sistem
karotis. Pada kasus-kasus TIA akibat proses tromboembolik pada sistem
karotis seringkali terjadi gangguan visus homolateral yang menyertai
gejala neurologis fokal kontralateral.
Gejala-gejala neurooftalmologik ini adalah berupa:
Transient monocular blindness yang berlangsung 2-3 menit, jarang
melebihi 5 menit, kemudian berangsur-angsur terang kembali.
Timbulnya secara mendadak dan dapat diikuti oleh gejala serebral
fokal secara bersamaan pada sisi kontaralateral.
Kadang-kadang serangan tidak berupa kebutaan total, tetapi berupa
dimness of vision atau hilangnya penglihatan pada bagian atas atau
bagian bawah saja dengan batas horizontal yang tegas.
Serangan yang lebih jarang adalah transient homonymous hemianopia,
yaitu serangan yang mengenai kedua medan penglihatan mata. Hal ini
34
terjadi apabila arteri serebri posterior mengalami iskemi sepintas akibat
insufisiensi system vertebrobasilar.
Altitudinal hemianopic scotoma: gangguan penglihatan berupa
hilangnya medan penglihatan dimulai dari bagian atas yang berangsur-
angsur berjalan kearah bawah.
Beberapa penemuan pemeriksaan oftalmoskopi yang penting adalah:
Terdapat emboli pada pembuluh retina ipsilateral. Adanya white
plaque pada arteri diretina sewaktu serangan TIA dengan stenosis
karotis yang jelas, pernah dilaporkan pertama kali di luar negeri pada
tahun 1959. Plak ini perlahan-lahan bergerak ke distal, berhenti pada
percabangan arteriol dan kemudian menghilang karena proses lisis. Hal
ini berlangsung dalam beberapa menit. Emboli ini terdiri atas materi
fibrin dan trombosit. Jenis kedua emboli regional pernah dilaporkan
yaitu dengan adanya yellow plaques yang bergerak lebih lambat ke
arah perifer serta dapat tinggal lebih lama didalam lumen tanpa
mengganggu aliran retina secara berarti. Penemuan adanya plak ini
membantu diagnostik TIA ke arah ateroma pembuluh karotis.
Retinopati hipertensif asimetrik (asymmetric hypertensive retinopathy).
Pada penderita hipertensi sering ditemukan berbagai perubahan yang
khas berupa arteriosklerosis retina. Jika ada asimetri yang jelas, maka
sisi retina yang lebih baik terjadi akibat adanya “perlindungan”
terhadap proses ateroma karotis, sehingga pengaruh hipertensi atau
perfusion pressure yang tinggi tidak mencapai sisi retina tersebut.
Terdapat atrofi n. optik primer yang tidak jelas sebabnya pada satu sisi.
Keadaan ini dapat disebabkan karena flow yang sangat bekurang pada
sisi karotis yang tersumbat karena ateroma sehingga terjadi iskemia
retina sesisi yang berakibat atrofi n. optik primer.
Oklusi arteri karotis retina sesisi atau neuropati optik iskemik
(ischemic optic neuropathy) yang akut. Pada keadaan ini perlu
dipikirkan kemungkinan terjadinya emboli pada sistem karotis.
4) Pemeriksaan termografi fasial
Prinsip pemeriksaan ini adalah sebagai berikut: telah diketahui bahwa
pada penderita dengan oklusi karotis atau insufisiensi karotis, maka
peredaran darah yang ke wajah muka ipsilateral juga akan bekurang
termasuk sirkulasi ke kulit, terutama di daerah orbita. Keadaan ini
mengakibatkan berkurangnya derajat penguapan panas (heat emission),
yang dengan jelas dapat dideteksi dengan infrared thermogram.
Pemeriksaan ini sangat mudah dan aman dilakukan, namun beberapa
keadaan selain kelainan insufisiensi karotis dapat pula berpengaruh
sehingga menimbulkan false positif. Keadaan tersebut terjadi pada migrain
atau proses inflamasi di daerah orofasial. Oleh karena varibelnya banyak,
maka interpretasi hasil harus lebih berhati-hati.
5) Pemeriksaan ultrasonografi (ultrasonic imaging) – Transcranial
Carotid Doppler (TCD) dan Carotid Duplex Sonography (CDS)
35
Dengan alat ini, maka gambaran sistem karotis pada daerah leher atau
bifurkasio dapat diproyeksikan pada satu layar. Demikian pula bila ada
suatu stenosis atau oklusi dapat dideteksi dengan alat ini. Teknik ini sangat
bermanfaat dan dengan cepat serta aman berbagai kelainan pembuluh
darah bifurkasio karotis dapat dilihat. Hal ini mempermudah para ahli
bedah vaskular dalam menilai kondisi morfologik pembuluh darah
didaerah leher, sebab pada sisi yang sehat pun belum tentu pembuluh
karotis paten pula lumennya.
Pemeriksaan ultrasonografi transkranial karotis Doppler (TCD) dapat
menilai secara tidak langsung keadaan hemodinamik pembuluh darah otak
utama. Dengan pemeriksaan ini dapat diketahui besarnya aliran darah
(flow) di masing-masing pembuluh darah otak dan dapat diperkirakan
aliran otak melebihi normal (misalnya pada arterio venosa malformasi)
atau berkurangnya aliran karena oklusi arteri karotis interna. Perubahan
aliran darah otak pada aneurisma dapat juga diperkirakan dengan
pemeriksaan TCD ini.
Pemeriksaan yang bersifat non invasif ini selain dapat dipakai sebagai
penilaian hemodinamik pada stroke juga pada pre dan pasca tindakan
pemasangan balon/sten (ballooning/stenting) pada kelainan struktural
pembuluh darah otak. Pada salah satu kongres angiologi di London (1990)
ahli bedah vaskuler telah melakukan endarterektomi karotis hanya dengan
melihat hasil penentuan carotid imaging dengan duplex carotid tanpa
angiografi dengan hasil yang memuaskan. Tindakan seperti ini belum
dianggap sebagai tindakan standar.
Pemeriksaan pembuluh dasar otak dengan menggunakan tehnik
noninvasive Transcranial Doppler adalah cara yang cepat tepat dan
akurat .Penggunaan probe 2 MHz untuk arteri basal kranial dan probe 4,8
MHz untuk daerah yang lebih superficial. Dasar pemeriksaan adalah
menangkap benda yang bergerak didalam pembuluh dalam hal ini adalah
eritrosit. Hasil yang didapat dalam perekaman ini tertera dalam monitor
dalam bentuk spectrum yang dapat dengan mudah dianalisa, tetapi dapat
pula secara langsung menghasilkan suara pembuluh darah setempat yang
secara tidak langsung dapat memberikan masukan mengenai kondisi
pembuluh yang yang bersangkutan. Dari spektrum akan menggambarkan
kecepatan aliran( flow velocity), arah aliran, ada tidaknya aliran ganda
tambahan, sedangkan dari suara yang dihasilkan dapat terekam suara
pembuluh yang normal, suara aliran berputar yang merupakan manifestasi
lekukan pembuluh atau penyempitan pembuluh dan emboli, sedang pada
sumbatan pembuluh darah yang berat dapat ditemukan suara yang “high
pitch”. Kepekaan alat ini dalam melakukan perekaman tidak saja
ditentukan oleh kemampuan alat itu sendiri tetapi juga ditentukan oleh
pengalaman pemeriksa. Berdasarkan pengalaman parapakar TCD antara
lain Ringerstein,1990 mengatakan secara umum sensitifitas dan spesifisitas
adalah TCD 87,5%. Petty,1990 dan Lindergaard,1996 mengatakan
sensitifitas pemeriksaan MCA dan Siphon stenosis dengan menggunakan
TCD adalah 73% – 94%.
36
Dalam praktek lapangan kegunaan transcranial Doppler sangat bervariasi, hal
ini dikarenakan transcranial Doppler termasuk salah satu alat diagnostik yang non
invasive dan mudah digunakan serta tidak menimbulkan dampak negatif bagi
penderita walaupun diulang berkali-kali.
Satu hal yang perlu diingat, ultra sound bean masih diduga dapat
memimbulkan percepatan katarak pada power yang tinggi.
Kegunaan TCD diklinik antara lain dapat dimasukan dalam kategori:.
1. Mempelajari aliran dan kelainan pembuluh darah.
2. Monitoring cerebral microemboli.
3. Evaluasi pengobatan.
Sistim Kollateral.
Kollateral adalah suatu anastomosis pembuluh darah dapat berasal dari
intarakranial maupun ekstrakranial.
Ekstrakranial yang utama dipelajari adalah anastomosis pembuluh darah karotis
interna dengan pembuluh darah karotis externa yang menghubungkan arteri
temporalis superficial dan arteri fasialis dengan arteri opthalmika melalui arteri
supratrochlearis dan arteri supraorbita.
Intrakranial anastomosis meliputi sirkulus wilissi melalui arteri communican
anterior dan communican posterior. Pengetahuan mengenai anatomi anastomosis ini
sangat penting dalam menindak lanjuti kelainan sumbatan seperti :
1. Oklusi ektrakranial karotis interna.
2. Oklusi arteri karotis intra cranial dibawah arteri opthalmika.
3. Oklusi arteri karotis intra cranial diatas arteri opthalmika
4. Oklusi arteri subclavia sebelum percabangan arteri vertebralis
(subclavian steal).
Pada sumbatan arteri karotis interna ekstrakranial akan memberikan tanda
yang sama dengan stenosis berat atau sumbatan arteri karotis intrakranial sebelum
arteri opthalmika berupa perubahan arah aliran pada arteri opthalmika atau pada arteri
supratrochlearis, dan supra orbita.
Sumbatan pada arteri karotis interna sesudah arteri opthalmika , arah aliran
arteri opthalmika tidak berubah. Sedangkan arteri karotis interna ekstrakranial
kontralateral dan arteri vertebrobasilar terutama arteri cerebri posterior ipsilateral
akan menunjukan feeder like.
Sumbatan arteri vertebralis ektrakranial maupun sumbatan arteri subklavia
proksimal arteri vertebralis akan memberikan gambaran perubahan aliran arteri
vertebralis yang semula menjauhi probe menjadi menuju probe hal inilah yang
dikenal sebagai subklavian steal.
37
Local Vessel Stenosis.
Dalam mempelajari stenosis arteri basal kranial , harus dipastikan terlebih
dahulu keadaan arteri karotis ekstra cranial.
Mohr mengatakan deteksi TCD terhadap stenosis arteri basal cranial berarti
stenosis tersebut telah mencapai ukuran 65%.
Stenosis yang ditandai dengan peningkatan flow velocity ini , akan mengalami hal
sebaliknya jika stenosis tersebut telah 80%, dimana pada stenosis seberat ini terjadi
kehilangan daya dorong dari erithrosit sehingga flow velocity menjadi menurun hal
ini dikenal sebagai “critical stenosis” (Framingam).
Pencarian arteri basal cranial stenosis terutama dilakukan pada penderita
stroke , walaupun flow velocity tidak dapat menilai cerebral blood flow secara
langsung tetapi setidaknya keadaan flow velocity itu akan menggambarkan keadaan
sirkulasi darah diotak.
Dan jika dilihat apa yang direkomendasikan oleh europian stroke initiative
bahwa penggunaan antikoagulan dibenarkan jika ditemukan adanya stenosis berat,
maka TCD tidak saja merupakan bagian dari factor penunjang diaknosa tetapi sudah
menjadi penunjang pengobatan klinik..
Yi-Min chen et al 1999, mengunakan TCD sebagai alat penilai prognosa pada
penderita stroke.
pada penelitiannya terhadap 41 orang penderita infark otak yang dilihat
dengan CT Scanning sebagai infark territorial MCA.
11 orang dengan gambaran CT scan. Territorial infark MCA menderita oklusi/kritikal
stenosis arteri karotis interna ektrakranial, 2 Orang menderita stenosis moderat arteri
karotis ekstrakranial ,3 orang menderita keduanya dan 25 Orang menderita murni
sumbatan MCA.
Terbukti MCA territorial infark dapat ditimbulkan baik oleh sumbatan MCA
sendiri maupun sumbatan diluar MCA tetapi, yang mengalami sumbatan MCA
mempunyai prognosa lebih buruk dibandingkan dengan gambaran MCA territorial
infarck dengan stenosis arteri karotis ekatrakranial.
Penderita hypertensi maligman tidak jarang ditemukan multiple basal cranial
stenosis hal ini disebabkan karena kebutuhan CBF yang konstan sehingga diperlukan
tekanan darah yang relatif lebih tinggi utuk mencukupinya.
Cerebral Vasospasm.
TCD dikembangkan pertama kali adalah untuk mempelajari hemodinamik
pembuluh darah otak pada penderita perdarahan subarachnoid sehinggga diketahui
adanya vasospasme pada perdarahan subarachnoid terjadi dari hari ke 4 dan akan
terus meningkat untuk mencapai puncaknya pada hari ke10 selanjutnya turun kembali
sampai hari ke 17 .
Vasospasm yang terjadi dengan pengindraan TCD diketahui tidak sama pada
seluruh arteri basal cranial dimana disatu sisi spasme terjadi lebih berat dari yang lain.
komfirmasi study dengan CT scanning diketahui spasme terjadi pada daerah yang
lebih banyak mengandung bekuan darah dirongga subarachnoid..
Sensitifitas pemeriksaan TCD dalam memeriksa adanya vasospasme berkisar
antara 59%-94%, sedangkan spesifitasnya berkisar antara 85%-100%.
Zainal et al 1991 melakukan serial TCd pada penderita traumatic perdarahan
subarachnoid dan ditemukan adanya spasme yang terjadi dari proximal kedistal
pembuluh darah serta dimilai dari hari ke 4 sampai hari ke 18. sedangkan Harris S ,
1994 dalam study kasus evaluasi vasospasm arteri cerebri media perdarahan
38
subarachnoid penyembuhan vasospasm yang terjadi tak ada perbedaan bagian distal
maupun proximal.
Dapat pula dievaluasi efek obat-obat vasoaktif seperti papaverin, nimodipin
dan sejenisnya terhadap reaksi vasospame tersebut
Feeder Vessels.
Merupakan gambaran spectrum yang ditandai dengan peningkatan “ peak
systolic velocity” yang diikuti peningkatan “end diastolic velocity” dimana
peningkatan end diastolic velocity lebih menonjol sehingga pulsatility index menjadi
menurun.
Keadaan ini mengambarkan seolah-olah pembuluh darah arteri sebagai
pembuluh darah vena yang berpulsasi.
Adanya suatu AVM memberikan gambaran feeder pada pembuluh yang
mensuplai darah kesana , hal serupa dapat dijumpai pada keadaan hyperemia. Kedua
keadaan tersebut dengan mudah dapat dibedakan berdasarkan reaktipitas pembuluh
terhadap stimulasi vasoaktif pembuluh dimana reaksi vasoaktif ditemukan lebih baik
pada hyperemia.
Penderita dengan riwayat sakit kepala kronis dapat ditemukan adanya feeder
vessel bila reaktivitas baik merupakan manifestasi dari vascular headache
(feeder like) dan sebaliknya jika vasoaktif minimal kecurigaan perlu diarahkan pada
kemungkinan suatu arterivenous malformasi.
Brain Death.
Dasar penilaian adanya brain death pada pemeriksaan TCD adalah tekanan
intrakranial (ICP) akan lebih besar dari pada tekanan perfusi cerebral (CPP).
Pada pemeriksaaan akan dijumpai gambaran yang bervariasi antara lain :
1. End diatolic velocity menghilang.
2. End diastolic velocity terbalik
3. Sharp systolic flow.
4. Small spike.
5. Pulsatility index yang tinggi..
Menurut Petty 1990, sensitivitas TCD dalam menegakkan diagnosa brain
death adalah 91.3%, sedangkan spesifisitasnya 100%.
Vasomotor Reactivity.
Didefinisikan sebagai test yang melihat perubahan cerebral blood flow atau
cerebral blood velocity sebelum dan sesudah distimulasi dengan pemberian
vasodilator.
Hal ini bertujuan untuk memdapatkan informasi mengenai kemampuan pembuluh
darah yang bersangkutan untuk melakukan autoregulasi.
Beberapa test yang dapat dilakukan antara lain apneu test, CO2 inhalasi test,
diamox test.
Test ini dilakukan terutama dengan meningkatnya tindakan endarterectomi
pada penderita stenosis maupun oklusi arteri karotis interna ektrakranial.
Sebelum dilakukan tindakan pembukaan kembali arteri karotid harus
dipastikan bahwa sistim karotis distal stenosis atau penyumbatan masih mampu
melakukan reaksi vasoaktif yang baik karena keadaaan hypoperfusi akan berubah
menjadi hyperperfusi setelah operasi dilakukan. Pada keadaan dimana vasomotor
39
reactivity tidak baik risiko perdarahan intracerebral sangat besar pada tindakan
endarterectomi..
Dengan kemampuan ini TCD selalu dilakukan dalam kontek tindakan
endarterektomi baik sebelum sewaktu maupun sesudah tindakan.
Monitoring emboli
Sebagaimana diketahui pemeriksaan anatomi non invasive arteri karotis
dengan menggunakan B mode carotid duplex banyak dimukan adanya plaque Karotis
pada penderita stroke. Plaque mempunyai risiko menyumbat maupun ruptur. Pada
plaque yang ruptur akan disisipi oleh trombosit yang beraggregasi bertujuan untuk
menutup ruptur tersebut untuk selanjutnya terjadilah proses hemostasis yang
menghasilkan thrombus.
Thrombus yang ada akan bertambah besar dan kuat karena selubung fibrin.
Trombus yang terbentuk ini menggantung pada pembuluh darah serta melayang
dalam aliran ; keadaan thrombus ini berisiko untuk lepas dan meninbulkan emboli
dilain pihak plaque yang mengandung thrombus memberikan ruang gerak yang lebih
sempit dalam pembuluh darah sehingga terjadi stenosis pembuluh darah Karotis.
Perkembangan technologi operasi pengangkatan plaque carotis sendiri mempunyai
risiko terjadinya pelepasan emboli sehingga dalam pelaksaaannya selalu dilakukan
pengamatan terus menerus terhadap aliran arteri cerebri media sesisi dengan
menggunakan transcranial Doppler pada saat berlangsungnya operasi untuk menilai
adanya emboli.
Evaluasi pengobatan
Transcranial Doppler dapat digunakan bukan saja untuk menentukan obat –obatan
yang akan digunakan tetapi juga dapat digunakan untuk melihat efektivitas suatu
pengobatan. Indikasi penggunaan obat antispasm pada subarachnoid hemorrhage dan
dapat dievaluasi hasil yang diberikan oleh obat-obat tersebut.
Penggunaan obat golongan antikoagulan pada prevensi stroke sekunder dapat
dilakukan dengan ditemukannya basal cranial arteri stenosis.
Penggunaan obat trombolisis dapat diamati dengan mengunakan TCD. Bernd
mengatakan pemamfaatan TCD dalam pengobatan trombolisis pada sistim
vertebrobasilar mempunyai kemampuan yang sama dengan angiography.
40
Pada setiap penderita TIA dimana gangguan hemodinamik merupakan
penyebabnya, maka setidaknya harus dikerjakan empat versi angiogram. Hal ini perlu
untuk melihat keutuhan pembuluh darah ekstrakranial dengan tidak memandang
apakah TIA karotis atau TIA vertebro-basilar. Sering ditemukan, bahwa pada TIA
vertebro-basilar pembuluh-pembuluh karotis telah mengalami stenosis atau oklusi,
dan sebaliknya. Selain melihat derajat penutupan atau stenosis pembuluh darah
ekstrakranial, jenis-jenis sumbatan dapat pula divisualisasi, misalnya apakah suatu
plak dengan iregularitas pada permukaannya atau steonosis itu bersifat smooth dan
multiple (plak labil atau stabil).
Pada kasus-kasus tertentu, misalnya subclavian steal atau pulseless disease,
aortogram mungkin harus juga dikerjakan. Informasi lain, yang juga dapat diperoleh
dengan pemeriksaan arteriografi adalah keadaan kolateral ekstrakranial melalui arteri
karotis eksterna dan kolateral karotis kiri-kanan serta arteri vertebralis. Keadan ini
tampak jika dilakukan angiografi selektif pada karotis kiri atau kanan saja atau pada
vertebrobasilar saja.
Informasi ini dinilai sangat penting dalam pertimbangan endarterektomi dan by-
pass, serta anastomosis. Tindakan arteriografi lebih diprioritaskan pada penderita
calon tindakan pembedahan.
Meskipun arteriografi mempunyai banyak keunggulan dan sampai saat ini
merupakan pemeriksaan penunjang terpenting, namun kelemahannya adalah bahwa
sangat sedikit informasi diperoleh mengenai proses hemodinamikanya sendiri.
Sebagai contoh, tidak jarang ditemukan penderita dengan oklusi karotis bilateral yang
hampir total tetapi asimtomatik.
41
42
MANAJEMEN STROKE (Guidelines Nasional Stroke 2007)
Manajemen Stroke untuk Indonesia, sesuai dengan kesepakatan nasional
perhimpunan dokter spesialis saraf Indonesia (PERDOSSI), mengacu pada guidelines
nasional stroke, 2007.
Tujuan dari penatalaksanaan stroke secara umum adalah menurunkan
morbiditas dan menurunkan tingkat kematian serta menurunnya angka kecacatan.
Salah satu upaya yang berperan penting untuk mencapai tujuan tersebut adalah
pengenalan gejala-gejala stroke dan penanganan stroke secara dini .
Manajemen stroke dibagi dalam manajemen pra rumah sakit, di rumah sakit
dan setelah keluar dari rumah sakit yang ditujukan untuk prevensi sekunder dan
perbaikan kualitas hidup.
Selama perawatan di rumah sakit, selain pemeriksaan fisik neurologi, juga
dipergunakan skoring analisis untuk lokasi lesi dengan klasifikasi Bamford dan
beratnya stroke dengan NIHSS (National Institute Health of Stroke Scales). Untuk
membedakan stroke iskemik dan stroke perdarahan dipakai Siriradj Score.
Pengobatan farmakologik pada stroke dimaksudkan untuk mencegah kematian
sel neuron berkelanjutan pada saat akut dan mencegah stroke berulang.
Dari hasil penelitian epidemiologi stroke, sekitar 20% penderita stroke akan
mendapat serangan ulang (recurrent stroke).Untuk pencegahan stroke, prevensi
primer dan sekunder merupakan hal yang terbaik.
Dipandang dari sudut patofisiologi perubahan metabolisme baik di tingkat
seluler maupun di tingkat regional berbeda antara stroke iskemik dan stroke
hemoragik, sehingga dengan demikian pendekatan terapeutiknya juga akan berbeda.
Penderita stroke sejak mulai sakit pertama kali dirawat sampai proses rawat
jalan di luar RS, memerlukan perawatan dan pengobatan terus menerus sampai
optimal dan mencapai keadaan fisik maksimal.
Jadi, strategi manajemen mempunyai tujuan utama untuk:
a. Memperbaiki keadaan penderita sehingga kesempatan hidup
maksimum. Merupakan usaha terapeutik/medik terutama dalam fase akut hingga
optimal. Pada penderita diukur bukan status neurologi, tetapi kemampuan
fungsional yang dapat tercapai.
b. Memperkecil pengaruh stroke terhadap penderita dan keluarga.
Menurut WHO, konsekuensi stroke dilihat 4 aspek :
a. Aspek patologi: membicarakan tentang anatomi, etiologi dan
patofisiologi stroke secara klinis dan intervensi medik (pembedahan) dilakukan
berdasarkan proses patologi ini.
b. Impairment: menggambarkan hilangnya fungsi fisiologi, psikologis
dan anatomis yang disebabkan stroke. Tindakan psikoterapi, fisioterapi, terapi
okupational, EMG/evoked potential ditujukan untuk menetapkan kelainan ini.
c. Disability: setiap hambatan, kehilangan kemampuan untuk berbuat
sesuatu yang seharusnya mampu dilakukan orang yang sehat seperti : tidak bisa
jalan, menelan, atau melihat akibat pengaruh stroke.
d. Handicap: halangan atau gangguan pada seorang penderita stroke
akibat impairment atau disability tersebut.
43
Manajemen stroke terdiri dari beberapa fase yang saling berkaitan dan berurutan,
yaitu:
a. Manajemen Umum pada fase akut
b. Manajemen Spesifik pada fase akut; pembedahan maupun medik
c. Manajemen Rehabilitasi pada fase perawatan lanjutan.
44
gudel dapat merangsang gag-reflex yang agak sulit ditoleransi penderita, kecuali bila
kesadaran sudah sangat menurun. Jika penderita dengan kesadaran sangat menurun
dan tidak mampu mengendalikan sekret oral, pertimbangkan untuk intubasi dan
ventilasi mekanik. Setelah potensi jalan nafas terkendali, observasi terus menerus
terhadap irama dan frekwensi pernapasan harus dilakukan. Tujuannya ialah untuk
mendeteksi tanda-tanda awal gagal nafas misalnya pernafasan paradoksial dimana
terjadi pengembangan rongga dada pada inspirasi sedangkan abdomen berkontraksi.
Keadaan ini menunjukkan bahwa diafragma tidak berfungsi lagi dan tertarik ke atas.
Intubasi ETT (Endo Trachel Tube) atau LMA (Laryngeal Mask Airway)
diperlukan pada pasien dengan hipoksia (pO2 <60 mmHg atau pCO2 >50 mmHg),
atau syok, atau pada pasien yang berisiko untuk terjadi aspirasi.
b. Sirkulasi (Circulation)
Stabilisasi sirkulasi penting untuk perfusi organ-organ tubuh yang adekuat.
Termasuk komponen sirkulasi adalah denyut nadi, frekuensi detak jantung dan
tekanan darah. Bruit di leher dan arteri oftalmika. Pemeriksaan tekanan darah harus
dilakukan pada kedua sisi, jika terjadi perbedaan nyata maka kemungkinan terdapat
diseksi aorta atau karotis. Keadaan ini seterusnya bermanifestasi terhadap kedaruratan
neurologi. Setelah itu dilakukan pemeriksaan denyut nadi pada keempat ekstremitas
secara simetris. Jika mungkin, monitor kardiak dan tekanan darah, pemasangan pulse-
oksimetri, dan dilakukan deteksi EKG. Perubahan EKG dapat terjadi misalnya berupa
inverse gelombang T pada 15 – 70 % kasus stroke akut.
c. Disritmia jantung terjadi jika terjadi pelepasan katekolamin otak yang bukan saja
mempengaruhi hantaran listrik jantung tetapi juga menimbulkan dekompensasi kordis
(gagal jantung kongestif) atau infark miokard akut.
Berikan cairan kristaloid atau kolloid intravena (hindari pemberian cairan
hipotonik seperti glukosa karena hiperglikemia menyebabkan perburukan fungsi
neurologis dan keluaran). Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter),
dengan tujuan disamping dapat memantau kecukupan cairan, juga dapat sebagai
sarana untuk memasukkan cairan dan nutrisi. Optimalisasi tekanan darah. Jika
sirkulasi telah stabil maka penilaian setiap 15 menit diperlukan untuk menilai kondisi
di atas. Selain itu, pada penderita stroke akut harus segera dipasang IVFD
(intravenous fluid drip).
Setelah itu perlu tindak lanjut karena beberapa penyakit dapat menyerupai
serangan stroke akut misalnya hipo dan hiperglikemi, hiponatremi, paralisis Todd
pasca kejang, migrain komplikata dan keadaan infeksi akut (meningitis/ensefalitis).
Pemeriksaan tambahan untuk memastikan diagnostik tersebut dilakukan setelah
tindakan ABC selesai dengan baik.
45
Faktor-faktor penentu prognosis yang telah diketahui :
Derajat kesadaran menurun, usia, volume darah (50 cc pada perdarahan
subratentorial, prognosisnya jelek, dan ekstensi perdarahan ke ruang
intraventikural > 20 cc prognosisnya buruk).
Pada perdarahan infratentorial, hilangnya refleks-refleks batang otak disertai
respon motorik yang hilang terhadap nyeri jika berlangsung beberapa jam
menunjukan prognosis yang buruk.
CT scan otak ulang mungkin diperlukan jika klinis memburuk dan dapat
ditemukan adanya perdarahan ulang ditempat yang sama atau tempat lain,
hydrocephalus atau jika status generalis menunjukkan adanya gangguan sistemik lain.
Peninggian tekanan intrakranial bukan saja disebabkan oleh karena adanya hematom,
tapi dapat disebabkan oleh faktor lain, seperti demam, hipoksia, kejang dan
peninggian tekanan intrakranial yang harus segera diatasi.
Penggunaan obat-obat untuk menurunkan tekanan intrakranial agak sulit
dilakukan pada perdarahan intraserebral primer. Hal ini disebabkan karena pemakaian
obat-obat ostemik seperti gliserol, manitol akan mengurangi edema di daerah tersebut,
dalam waktu agak lama dapat memberi kesempatan pada hematom untuk menjadi
lebih ekspansif karena edema perihematom berkurang. Karena penggunaan obat-
obatan ini secara uji klinis acak belum ada untuk memberikan kepastian akan manfaat
dibandingkan dengan kerugiannya.
Larutan manitol 20-25 % merupakan zat yang paling banyak dipakai: 0,75-
1mg/kg BB bolus diikuti 0,25-0,5 mg/kg BB setiap 3-5 jam tergantung pada respon
klinis. Komplikasi penggunaan ostemik adalah hipotensi, hipokalemi, gangguan
fungsi ginjal karena hiperosmolaritas gangguan jantung kongestif dan hemolisis.
Beberapa senter menggunakan kortikosteroid, akan tetapi dibandingkan dengan obat
osmolar maka bahaya komplikasi pengobatan lebih sering terjadi.
46
Manajemen Stroke di Ruang Rawat
2. Cairan
3. Nutrisi
47
kesadaran penderita menurun, karena melakukan tes aspirasi mempunyai
risiko terjadinya pneumonia aspirasi. Menurut Warlow (1995) pemeriksaan
video fluoroskopi akan memperlihatkan proses visualisasi refleks menelan.
Apabila alat ini tidak ada, maka gag reflex dapat dijadikan indikator fungsi
menelan, walaupun sulit dipercaya.
Kemungkinan gangguan menelan harus diperhitungkan pada keadaan – keadaan :
Stroke berat :
o kesadaran menurun
o kelumpuhan berat dan ataksia trunkal
o disfasia hemineglek dan hemianopia
Usia tua
Kegelisahan
Paresis diafragma
Kontrol batuk yang jelas terganggu
Suara serak, bicara berat
Adanya infeksi paru
Sensasi faring yang berkurang
48
(fraxiparine). Obat ini diharapkan akan memperkecil trombus yang terjadi dan
mencegah pembentukan trombus baru. Efek antikoagulan heparin adalah
inhibisi terhadap faktor koagulasi dan mencegah/memperkecil pembentukan
fibrin dan propagasi trombus. Ikatan heparin dengan AT III menginaktivasi
enzim-enzim, sehingga koagulasi meningkat, yang bekerja terhadap trombin
(IIa), faktor Xa dan faktor IXa. Pada saat ini para ahli belum merekomendasikan
terapi antikoagulan pada stroke dan sepakat memberikan untuk mengobati
trombus vena dalam yang merupakan komplikasi/penyulit stroke akut.
b. Pengobatan anti platelet pada stroke akut.
Pengobatan dengan obat antiplatelet pada fase akut stroke, baru-baru ini sangat
dianjurkan. Uji klinis aspirin pada IST (International Stroke Trial) dan CAST
(Chinese Aspirin Stroke Trial) memberitakan bahwa pemberian aspirin pada
fase akut menurunkan frekuensi stroke berulang dan menurunkan mortalitas
penderita stroke akut.
c. Obat-obat defibrinasi
Obat-obat ini berasal dari racun ular Ancord (purified fraction) yang
mempunyai efek terhadap defibrinasi cepat, mengurangi viskositas darah dan
efek antikoagulasi (Hoesman, 1982 disebut oleh Warlow et.al.1995).Obat ini
pernah dicoba pada sejumlah kecil penderita tetapi hasilnya tidak signifikan.
Efek samping berupa perdarahan otak merupakan hal-hal yang menghalangi
penggunaan obat ini, tetapi sampai sekarang masih diteliti.
d. Terapi Neuroproteksi
Pengobatan spesifik iskemik stroke akut yang kedua adalah dengan obat-obat
neuroprotektor, yaitu obat yang mencegah dan memblok proses yang
menyebabkan kematian sel-sel terutama di daerah penumbra. Obat-obat ini
berperan dalam menginhibisi dan mengubah reversibilitas neuronal yang
terganggu akibat kaskade iskemik. Termasuk dalam kaskade ini adalah
kegagalan homeostasis kalsium, produksi berlebih radikal bebas, disfungsi
neurotransmitter, edema serebral, reaksi inflamasi oleh leukosit, dan obstruksi
mikrosirkulasi. Proses delayed neuronal injury ini berkembang penuh setelah
24-72 jam dan dapat berlangsung sampai 10 hari.
Banyak obat-obat yang dianggap mempunyai efek neuroprotektor, antara lain:
Penghambat kanal kalsium: nimodipin, manfaat pada stroke iskemik
kurang meyakinkan.
Obat-obat antagonis pre sinaptik dari Excitatory Amino Acid (EAA)
seperti fenitoin, lubeluzole dan propentofilin yang kesemuanya ternyata
juga kurang ekeftif pada uji klinik. Sedangkan obat antagonis asca sinaps
terhadap EAA seperti cerestat, dizocilpime, dextorphan, dextrometorfan,
selfotel dan eliprodril telah ditinggalkan karena kurang efektif dan
mempunyai potensi efek samping yang serius.
Obat-obat yang mensupresi pelepasan asam arakhidonat dan membran
sel seperti prostasiklin ternyata tidak bermanfaat sebagai vasodilator (efek
hipotensif) maupun sebagai antiplatelet, pada stroke iskemik akut.
Obat-obat anti radikal bebas seperti lazaroid, tyrilazad mesylat dan
propentofillin, keduanya tidak dapat digunakan karena tidak efektif.
49
Secara umum dapat dikatakan, saat ini belum ada obat-obat neuroprotektif
yang dapat dipakai pada iskemik stroke akut meskipun pada binatang percobaan jelas
mempengaruhi dan memperbaiki sel-sel penumbra.
Disamping obat-obatan di atas, telah pula dilaporkan usaha pengobatan
dengan tujuan memperbaiki aliran darah otak serta metabolisme regional didaerah
iskemia otak. Obat-obat ini misalnya: citicholine, pentoksifilin, pirasetam. Penggunan
obat-obat ini melalui beberapa percobaan klinik dianggap bermanfaat, dalam skala
kecil.
Seperti halnya dengan obat-obat lain pada stroke akut, variasi penderita dan
sulitnya memperoleh sampel yang identik dan kecilnya jumlah penderita yang
diselidiki menyebabkan hasil-hasil terapi yang kontroversial. Di masa yang akan
datang diperlukan metode penelitian yang lebih seksama dan percobaan dalam skala
besar/multi sentra, akan dapat membantu menentukan efek obat-obat ini secara lebih
teliti.
50
Metode ini tidak dapat dipakai pada perdarahan putamen dan talamus. Akan
tetapi re-evaluasi penelitian menunjukkan bahwa metode ini belum dapat
direkomendasikan karena diperlukan uji klinis yang lebih besar.
Aspirasi stereotaksik tanpa endoskopi telah banyak dilakukan terutama di
Jepang pada perdarahan supratentorial baik intraparenkim maupun inteventrikular.
Diperlukan uji kilnis yang mapan untuk memastikan bahwa metode ini cukup
berhasil.
Pembedahan perdarahan serebelum lebih pasti dalam indikasinya dibandingkan
perdarahan supratentorial dan jika dilakukan sesuai indikasi akan menolong hidup
penderita.indikasi yang jelas yaitu : adanya penurunan kesadaran yang disertai dengan
kompresi batang otak yang prokresif atau diameter hematoma > 3 cm. jika penderita
menurun kesadarannya dengan disertai hidrosefalus dan diameter hematoma < 3 cm,
maka tindakan ventrikulostomi (Ventriculo-Peritoneal shunt) dapat dilakukan sebagai
tindakan awal dan kemudian observasi pendertia akan menentukan apakah trepanasi
sereberal perlu untuk tindakan.
51
Risiko perdarahan aneurisma ulang pada perdarahan subarakhnoid
diperkirakaan 35 – 40 % pada 4 minggu pertama dari mereka yang hidup pada
hari pertama. Mereka yang dirawat pada hari pertama, risiko perdarahan ulang
pada hari tersebut sulit dihindari, karena perdarahan ulang dapat terjadi pada 6
jam pertama setelah serangan dan mungkin pada mereka yang belum sempat
dirawat dan meninggal. Karena itu secara kasar risiko perdarahan ulang kurang
lebih 20 % pada hari pertama (Walow 1995).
Penggunaan terapi anti fibrinolik adalah untuk mencegah perdarahan ulang.
Di Indonesia sering dipakai adalah EACA (Epsilon Amino Caproic Acid) dengan
dosis 3 – 4,5 gram setiap 3 jam secara IV.atau per oral. Manfaatnya adalah untuk
mencegah lisis dari bekuan darah yang menutup dinding aneurisma bila belum
pecah oleh bekuan fibrin (thrombosed aneurism). Struktur molekul EACA ini
mirip dengan lysine dan memblok plasminogen untuk bergabung dengan fibrin
yang memulai proses fibrinolisis. Disamping itu, obat TEA (Tranexamid Acid)
banyak dipakai dengan dosis (1 gram i.v. atau 1,5 gram oral 4 sampai 6 kali
sehari). Efek obat ini adalah sama dengan EACA, dalam mencegah proses
fibrinolisis pada thrombosed aneurysm.
Sayangnya akhir-akhir ini manfaat kedua obat tersebut dipertanyakan karena
pada metaanalisis RCT (Randomized Clinical Trial) yang dilakukan ternyata
pengobatan anti fibrinolisis tidak berbeda dengan placebo (Warlow et.al. 1995).
Pada saat ini sedang dicoba uji klinis kombinasi antara antagonis kalsium dengan
anti fibrinolitik dan hasilnya belum diumumkan.
c. Pencegahan Iskemia serebral
Pada perdarahan subaraknoid dapat terjadi iskemia serebri, yang dipengaruhi oleh:
Jumlah darah yang terlihat pada CT scan awal. Makin besar jumlahnya maka
makin besar kemungkinan akan iskemia serebral timbul.
Menurunnya kesadaran yang jelas setelah serangan. Perburukan kesadaran
dapat menjadi indikator iskemia otak.
Terdapatnya hipovolemia/hiponatremia. Telah diketahui bahwa salah satu
akibat perdarahan subaraknoid, yaitu hiponatremia timbul yang diakibatkan
oleh cerebral salt wasting effect.
Pengobatan anti hipertensi yang berlebihan menyebabkan hipoperfusi dan
mencetuskan iskemia serebral.
Terdapatnya bukti-bukti meta-analisis yang menduga bahwa obat-obat anti
trombolitik dapat menjadi pemicu iskemia serebral.
Pencegahan yang efektif terhadap iskemia serebral, adalah dengan pengobatan
antagonis kalsium Nimodipin, Warlow et.al. (1995) mengutip penelitian Pickard
et.al. (1989) yang menunjukkan manfaat pemberian nimodipin oral setiap 4 jam
selama 21 hari dibanding placebo. Hasilnya adanya penurunan signifikan dari
keluaran dari 33 % menjadi 20 %. Sedangkan komplikasi serebral iskemia
diturunkan secara signifikan sampai 34 %. Sampai sekarang nimodipin dianggap
sebagai obat yang mencegah dengan efektif kemungkinan timbulnya delayed
cerebral iskemia post aneurisma pada perdarahan subaraknoid. Obat-obat lain yang
pernah dipakai sebagai prevensi adalah Tenadrocortisone acetate yang hasilnya
tidak jelas bermanfaat sedangkan aspirin tampaknya mempunyai efek positif
52
terhadap pencegahan iskemia serebral. meski dalam studi retrospektif perlu
klarifikasi lebih lanjut.
Jika terjadi perdarahan ulang pada perdarahan subaraknoid, yaitu pecahnya
aneurisma lain, maka prognosis biasanya buruk. Gejala yang paling sering adalah
perburukan klinis disertai penurunan kesadaran yang drastis. Perlu diperhatikan
bahwa kejang, fibrilasi ventrikuler dan iskemia serebral merupakan hal-hal lain yang
juga memperburuk kondisi klinis. Meski demikian, resusitasi kardio-pulmoner-
serebral masih dapat dilakukan dan sebagian penderita masih dapat bertahan dan
sadar kembali setelah mengalami henti nafas. Dalam hal ini, satu-satunya pertolongan
dalam pengobatan hanya klipping emergensi dengan segala resikonya.
53
penyakit pada pembuluh kecil (small vessel disease) dengan manifestasi infark
lakunar. Diantaranya 15% dari infark serebral terjadi karena emboli kardiak, akibat
atrial fibrilasi atau penyakit jantung iskemik. Sisanya diperkirakan akibat aorta
dissecans, hiperkoagulasi dan vaskulitis serebral (5%), sedangkan 20% tidak jelas
(Sacco et.al. 1989).
Thomson dan Furlan juga mengutip pernyataan Terant 1993, bahwa dari
penderita stroke yang terjadi setiap tahun, 75% serangan pertama, 20% merupakan
stroke ulang dan 5% adalah penderita stroke multipel. Gangguan fungsi jantung akan
meningkatkan risiko stroke, seperti penyakit jantung koroner, penyakit jantung
kongestif, penyakit katup, trombus intra kardiak, dan atrial fibrilasi kronik merupakan
faktor risiko terendah yaitu 3% setahun dan akan meningkat jika terjadi peningkatan
risiko penyakit kardiovaskuler.
Pengobatan stroke akut, baik karena apapun sebabnya, terdiri atas :
a. Pengobatan umum meliputi :
1) Tindakan ABC dan resusitasi kardiopulmoner.
2) Pencegahan makanan, cairan dan elekrolit
3) Pencegahan infark sekunder.
4) Mencegah edema serebral
5) Mencegah hipertermi dan kejang-kejang
6) Menilai fungsi menelan
7) Mencegah DVT, emboli pulmonal dan dekubitas akibat
immobilisasi
b. Pengobatan spesifik
Pengobatan spesifik pada emboli serebri pada prinsipnya sama seperti stroke
lainnya, yaitu:
1) Reperfusi: memperbaiki aliran darah otak dengan menghancurkan
bekuan (trombolitik) dengan syarat-syarat dan waktu yang khusus yaitu
kurang dari 3 jam dengan Recombinant Tissue Plasminogen Activator
(rTPA). Obat-obat lain yang tidak jelas dibuktikan manfaatnya seperti
heparin (antikoagulan). Akan tetapi dalam hal stroke kardio-embolik ada
beberapa hal yang perlu ditonjolkan yang akan diuraikan secara umum.
2) Obat-obat neuroprotektif: obat-obat ini dipakai berdasarkan
pemakaian eksperimental yang membutikan bahwa proses perubahan
patologik dan metabolik pada sel neuron yang mengalami iskemia
dipengaruhi oleh banyak faktor. Terutama yang menonjol adalah influks ion
Ca intraselular serta perubahan permeabilitas membran sel terhadap ion
K/Na (Na/K pump) serta bertambahnya radikal bebas di daerah iskemi.
Dengan menggunakan obat-obat yang memblokade perubahan patologik dan
metabolisme ini diharapkan kematian sel-sel neuron dapat dicegah. Obat-
obat yang pernah dicoba seperti nimodipin (penghambat kanal kalsium),
aminosteroid, dan antagonis reseptor NMDA. Sayangnya, sampai sekarang
obat-obat tersebut hasilnya masih kontroversial.
3) Obat-obat lain seperti Ancord (bisa ular) pernah dicoba sebagai
anti koagulan tetapi hasilnya pada manusia tak bermanfaat.
54
Terapi anti koagulan pada stroke emboli
Pada fase akut stroke, heparin merupakan antikoagulan yang paling sering
dipakai. Alasan memakainya adalah (Sherman dan Lalonde, 1997):
Heparin mengurangi frekuensi DVT dan emboli pulmonal (di USA frekuensi
DVT pada stroke 75, dan emboli pulmonal 5%)
Mencegah dan memperkecil pembentukan trombosis intraarterial pada
penderita stroke dengan demikian mencegah perburukan stroke (karena
propagasi trombus). Dalam hal ini sampai sekarang, heparin belum terbukti
memperbaiki keluaran stroke iskemik (embolik) dan masih kontroversial.
Pemberian heparin pada stroke kardio-embolik masih tetap diberikan di
beberapa senter di Amerika dan dilakukan seperti yang direkomendasikan oleh
Cerebral Embolism Study Group (1983). Perlu diingatkan bahwa bahaya perdarahan
intraserebral yang cepat pada pemberian heparin terutama pada orang tua, hipertensi
berat dan infark yang luas. Penggunaan heparin subkutan lebih disukai dari pada
intravena (Warlow et. al 1995) dan pemberian heparin dilakukan hanya untuk
beberapa hari sambil menunggu efek oral antikoagulan yang lebih efisien tapi
efektifitasnya penuh setelah beberapa hari pemberian. Akhir-akhir ini dilaporkan Kay
(1995) manfaat yang lebih baik dari Fraxiparine, derivat heparin yang lebih stabil
dengan efek samping yang lebih ringan. Pengobatan diberikan dengan pemberian
subkutan dan meskipun belum dipakai secara luas, tetapi telah dicoba pada stroke
embolik mendahului pemberian oral antikoagulan.
Pemberian heparin diberikan secara intravena dimulai dengan bolus 5.000
unit dan selanjutnya diberikan 10.000-15.000 unit per hari dengan mempertahankan
APTT 1,5 – 2,5 kali normal selama 2-3 hari dan kemudian diberikan oral
antikoagulan (warfarin) dengan target INR 2-3. Biasanya dalam 2-3 hari setelah
optimalisasi dosis warfarin, pemberian heparin dihentikan dan pengobatan diteruskan
dengan antikoagulan oral.
55
MANAJEMEN KEDARURATAN MEDIK STROKE PADA KONDISI
KHUSUS
56
B. MANAJEMEN STROKE PERDARAHAN
Pedoman penatalaksanaan
Hilangkan faktor faktor yang berisiko meningkatkan tekanan darah
seperti retensi urine, nyeri, febris, peningkatan tekanan intrakranial,
emosional stress dan sebagainya
Bila tekanan darah tinggi berikan dosis dan cara pemberian sesuai dengan
tabel jenis-jenis obat untuk terapi emergensi
Pada fase akut tekanan darah tak boleh diturunkan lebih dari 20% - 25%
dari tekanan darah arteri rerata dalam 1 jam pertama
Bila tekanan darah rendah, harus diberikan obat menaikkan tekanan darah
(vasopresor).
Perhatian :
1. Peningkatan tekanan darah dapat disebabkan oleh stress akibat stroke,
kandung kencing yang penuh, nyeri, respon fisiologi dari hipoksia atau
peningkatan tekanan intra-kranial.
2. Dengan memperhatikan dan melakukan penanganan pada keadaan tersebut
di atas akan banyak berpengaruh pada tekanan darah sistemik pada fase
menunggu 5 - 20 menit pengukuran berikutnya.
3. Untuk perdarahan subarakhnoid diberikan Nimodipine dengan dosis 60 mg
tiap 4 jam sampai 3 minggu.
57
PENATALAKSANAAN KHUSUS STROKE AKUT (Guidelines Nasional Stroke,
2007)
PENATALAKSANAAN STROKE ISKEMIK
1. Pengobatan terhadap hipertensi arteri pada stroke akut
Pemberian obat yang dapat menyebabkan hipertensi tidak direkomendasikan
diberikan pada kebanyakan pasien stroke iskemik (Tingkat Evidensi A)
2. Pengobatan terhadap hipoglikemia atau hiperglikemia
3. Strategi untuk memperbaiki aliran darah dengan mengubah reologik darah secara
karakteristik dengan meningkatkan tekanan perfusi tidak direkomendasi.(Tingkat
Evidensi A)
4. Pemberian antikoagulan :
a. Pemberian antikoagulan (heparin,LMWH atau heparinoid) secara parenteral
meningkatkan komplikasi perdarahan yang serius (Kelas III, Tingkat Evidensi
A)
Data menunjukkan bahwa pemberian dini antikoagulan tidak menurun resiko
stroke ulang dini, termasuk stroke emboli (Kelas I) dan tidak mengurangi
resiko memburuknya keadaan neurologik. Pada keadaan tertentu dapat
diberikan, namun waspadai kemungkinan komplikasi perdarahan. (Kelas I)
b. Pemberian antikoagulan rutin terhadap pasien stroke iskemik akut dengan
tujuan untuk memperbaiki outcome neurologik atau sebagai pencegahan dini
terjadinya stroke ulang tidak direkomendasi. (Kelas III Tingkat Evidensi A)
c. Pengobatan antikoagulan dalam 24 jam terhadap pasien yang mendapat rt-Pa
intravena tidak direkomendasi Kelas III, Tingkat Evidensi B)
d. Secara umum, pemberian heparin, LMWH atau heparinoid setelah stroke
iskemik tidak direkomendasi. (Kelas I)
e. Pada beberapa penelitian menunjukkan dosis tertentu unfractioned heparin
subkutan menurunkan stroke iskemik ulang secara dini, tetapi dapat
meningkatkan terjadinya perdarahan. Karena itu penggunaan unfractioned
heparin subkutan tidak direkomendasikan untuk menurunkan mortalitas dan
morbiditas atau pencegahan dini stroke ulang.(Tingkat Evidensi A)
Dosis tinggi LMWH / heparinoids tidak bermanfaat menurunkan morbiditas,
mortalitas atau stroke ulang dini pada pasien stroke akut. (Tingkat Evidensi A)
f. Pemberian antikoagulan tidak dilakukan sampai ada hasil pemeriksaan
imaging memastikan tidak ada perdarahan intrakranial primer. Terhadap
penderita yang mendapat pengobatan antikoagulan perlu dilakukan monitor
kadar antikoagulan.
g. Tidak ditemukan manfaat pemberian heparin pada pasien stroke akut dengan
atrial fibrilasi, walaupun masih dapat diberikan pada pasien yang selektif.
Aspirin dan dilanjutkan dengan pemberian walfarin untuk prevensi jangka
panjang dapat diberikan.
Warfarin merupakan pengobatan lini pertama pada kebanyakan kasus stroke
kardio-emboli. Penggunaan warfarin harus hati-hati, karena dapat
meningkatkan resiko perdarahan. Oleh karena itu perlu monitor INR paling
sedikit 1 bulan sekali.
Warfarin dapat mencegah terjadinya stroke emboli kardiogenik dan mencegah
emboli ulang pada keadaan major risk.
h. Pemberian antikoagulan sesuai dengan pedoman antikoagulan pada stroke
iskemik.
58
5. Pemberian antiplatelet aggregasi :
a. Pemberian Aspirin dengan dosis awal 325 mg dalam 24-48 jam setelah
onset stroke dianjurkan untuk setiap stroke iskemik akut (Kelas I, Tingkat
Evidensi A)
b. Aspirin tidak boleh digunakan sebagai pengganti tindakan intervensi akut
pada stroke (seperti pemberian rtPA intravena) (Kelas III, Tingkat Evidensi B)
c. Jika direncanakan pemberian trombolitik, Aspirin jangan diberikan.
d. Penggunaan Aspirin sebagai adjunctive therapy dalam 24 jam setelah
pemberian obat trombolitik tidak direkomendasi (Kelas III, Tingkat Evidensi
A).
e. Pemberian klopidogrel saja, atau kombinasi dengan aspirin, pada stroke
iskemik akut, tidak dianjurkan (Kelas III, Tingkat Evidensi C).
f. Pemberian antiplatelets intravena yang menghambat reseptor glikoprotein
Iib/IIIa tidak dianjurkan (Kelas III, Tingkat Evidensi B).
g. Pemberian antiplatelet/Aspirin dan antikoagulan ditujukan untuk
mencegah dan menurunkan resiko stroke kardio-emboli.
h. Terapi gabungan antiplatelet Aspirin dengan Clopidogrel pada pasien yang
terdeteksi mikroemboli lebih baik dalam menurunkan kejadian mikroemboli
berulang dibanding Aspirin saja (CARESS STUDY).
6. Hemodilusi dengan atau tanpa venaseksi dan ekspansi volume tidak dianjurkan
dalam terapi stroke iskemik akut (Kelas III, Tingkat Evidensi A)
7. Pemakaian vasodilator seperti pentoksifilin tidak dianjurkan dalam terapi stroke
iskemik akut (Kelas III, Tingkat Evidensi A)
8. Dalam keadaan tertentu terkadang digunakan vasopresor untuk memperbaiki
aliran darah ke otak (cerebral blood flow). Pada keadaan tersebut harus dilakukan
pantauan kondisi neurologik dan jantung secara ketat (Kelas III, Tingkat Evidensi
B)
9. Tindakan endarterektomi karotid pada stroke iskemik akut dapat mengakibatkan
risiko serius dan luaran yang tidak menyenangkan. Tindakan endovaskular belum
menunjukkan hasil yang bermanfaat, sehingga tidak dianjurkan (Kelas Iib,
Tingkat Evidensi C).
10. Pemakaian obat-obatan neuroprotektan belum menunjukkan hasil yang efektif,
sehingga sampai saat ini belum dianjurkan (Kelas III, Tingkat Evidensi A)
11. Konsultasi Dokter Spesialis Jantung untuk mencari kemungkinan sumber emboli
dari jantung serta menanggulangi gangguan jantung terutama gangguan irama
jantung (fibrilasi atrial) TTE (trans thoracal echocardiography) dan TEE (trans
esophageal echocardiography).
12. Osmoterapi dan hiperventilasi direkomendasikan untuk pasien yang mengalami
kemunduran akibat tekanan tinggi intrakranial, termasuk sindroma herniasi.
(Tingkat Evidensi B)
13. Tindakan bedah termasuk drainase cairan serebro spinal dapat dilakukan untuk
mengatasi tekanan tinggi intrakranial akibat hidrosefalus. (Tingkat Evidensi C).
Dekompresi bedah dan evakuasi infark besar pada serebellum yang menimbulkan
penekanan batang otak dan hidrosefalus (Tingkat Evidensi C)
Dekompresi bedah dan evakuasi infark besar pada hemisfer cerebri dapat
dilakukan sebagai tindakan life-saving, tetapi dengan resiko gejala sisa gangguan
neurologik yang berat (Tingkat Evidensi
59
TERAPI SPESIFIK STROKE AKUT
PEDOMAN TROMBOLISIS rt-PA INTRAVENA PADA STROKE ISKEMIK
A. Kriteria inklusi
Stroke iskemik akut yang onsetnya diketahui jelas dan tidak melebihi 3
jam.
Usia > 18 tahun ; < 75 tahun
Diagnosis stroke iskemik dibuat oleh ahli stroke dan sken tomografik otak
dibaca oleh ahli yang paham dengan penafsiran hasil pemeriksaan imajing.
Sebaiknya digunakan sken tomografik generasi 3 atau 4, dengan tebal
irisan 5-10 mm tanpa kontras. Waktu sken 3 detik untuk fossa posterior
dan 2 detik untuk daerah supratentorial. 1
Harus ada persetujuan tertulis dari penderita atau keluarganya setelah
diterangkan risiko bahaya perdarahan dan keuntungan pengobatan rt-PA
Memenuhi kriteria eksklusi.
B. Kriteria eksklusi
Penggunaan obat antikoagulansi oral atau waktu protrombin lebih dari 15
detik (INR lebih dari 1,7)
Penggunaan heparin dalam 48 jam sebelumnya dan masa tromboplastin
parsial memanjang.
Trombosit kurang dari 100.000/mm
Stroke sebelumnya atau trauma kapitis hebat dalam waktu 3 bulan
sebelumnya.
Operasi besar dalam waktu 14 hari
Tekanan darah sistolik sebelum pengobatan lebih dari 185 mmHg atau
tekanan diastolik lebih dari 110 mmHg. Bila tekanan darah sistolik dan
diastolik melebihi tersebut diatas dapat dilihat pada penatalaksanaan
penyulit tekanan darah. 2
Tanda – tanda neurologis yang cepat membaik.
Defisit neurologis ringan dan tunggal, seperti ataksia atau gangguan
sensorik saja, disartria saja, atau kelemahan minimal.
Riwayat perdarahan intrakranial sebelumnya atau perkiraan perdarahan
subarakhnoid.
Glukosa darah kurang dari 50 mg/dl atau lebih dari 400 mg/dl.
Kejang pada permulaan stroke.
Perdarahan gastro intestinal atau urin dalam waktu 21 hari.
Infark miokard baru.
Hati – hati pemberian rt-PA pada penderita stroke berat (NIHSS > 22).
Permulaan stroke tidak dapat dipastikan, misalnya stroke setelah bangun
tidur.
C. Protokol
Lakukan CT scan otak dan buat ekspertise segera.
Pasang jalur intravena perifer (pada dua lokasi terpisah).
Periksa hitung darah lengkap, panel kimia darah, masa protrombin &
masa tromboplastin parsial, dan urinalisis.
Pastikan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Timbang berat badan pasien
Berikan rt-PA sebagai berikut :
60
Rt-PA intravena 0,9 mg/kg berat badan (maksimum 90 mg), 10% dari
dosis diberikan sebagi bolus pada menit pertama, dan sisanya 90%
diberikan sebagai infus terus menerus selama 60 menit.
Monitor adanya perdarahan dan perburukan neurologis
Observasi di ICU selama 24 jam
Monitor tekanan darah, monitoring yang teliti dari tekanan darah arterial
selama 24 jam pertama pemberian rt-PA (lihat bab VI).
Jangan lakukan pungsi arteri, prosedur invasif, atau suntikan IM selama
24 jam pertama
Pengukuran vena sentralis dan pungsi arterial dibatasi selama 24 jam
pertama
Pemasangan kateter dauer harus dihindari bila mungkin selama 24 jam
pertama setelah pengobatan
Lakukan sken tomografik otak 24 jam pasca-infus sebelum pemberian
antikoagulan untuk mencegah rekanalisasi atau dilakukan lebih awal jika
terjadi perburukan neurologis
Penatalaksanaan penyulit perdarahan bila ada.
D. Tatalaksana Penyulit
i. Penatalaksaan hipertensi pada pasien yang mendapat terapi
trombolisis rt-PA intravena
Pantau tekanan darah selama 24 jam pertama setelah mulai pemberian
rt-PA.
o Tiap 15 menit selama 2 jam setelah mulai infus, lalu
o Tiap 30 menit selama 6 jam, lalu
o Tiap 60 menit selama 24 jam.
Bila tekanan sistolik 180-230 mm Hg, atau bila tekanan diastolik 105-
120 mm Hg pada 2 atau lebih pembacaan selang 5-10 menit:
o Berikan labetalol 10 mg intravena selama 1-2 menit. Dosis dapat
diulang atau digandakan tiap 10-20 menit sampai dosis total 150
mg atau berikan bolus pertama diikuti labetalol drip 2-8 mg/menit.
o Pantau tekanan darah tiap 15 menit waktu pengobatan labetalol
dan perhatikan timbulnya hipotensi
Bila tekanan sistolik lebih dari 230 mm Hg atau bila tekanan diastolik
antara 121-140 mm Hg pada 2 atau lebih pembacaan selang 5-10
menit:
o Berikan labetalol 10 mg intravena selama 1-2 menit. Dosis dapat
diulang atau digandakan tiap 10 menit sampai dosis total 150 mg,
atau berikan bolus pertama diikuti oleh labetalol drip 2-8 mg/menit.
o Pantau tekanan darah tiap 15 menit waktu pengobatan labetalol
dan perhatikan timbulnya hipotensi.
o Teruskan pantau tekanan darah secara kontinyu
Bila tekanan diastolik lebih dari 140 mm Hg pada 2 atau lebih
pembacaan 5-10 menit:
o Infus natrium nitroprusid (0.5-10 µg/kg per menit).
o Pantau tekanan darah tiap 15 menit selama infus natrium
nitroprusid dan awasi timbulnya hipotensi.
Catatan : Bila labetalol tidak tersedia, alternatif lain adalah:
1. Nikardipin infus kontinyu.
2. Diltiazem infus kontinyu
61
3. Nimodipin infus kontinyu.
(lihat bab VI guidelines nasional stroke,2007)
ii. Terapi penyulit pendarahan pasca trombolisis
Penyulit pendarahan dapat:
o Langsung mengenai susunan saraf pusat, atau
o Mengenai lain-lain organ.
Prosedur :
o Hentikan infus obat trombolitik,
o Ambil contoh darah untuk pemeriksaan : hemoglobin, hematokrit,
fibrinogen, masa protrombin/ INR, masa tromboplastin parsial dan
trombosit.
o Siapkan transfusi darah (PRC), FFP (fresh frozen plasma),
kriopresipitat atau trombosit atau darah segar bila perlu.
o Berikan FFP 2 unit setiap 6 jam selama 24 jam
o Berikan kriopresipitat 5 unit. Jika fibrinogen < 200 mg% diulangi
pemberian kriopresipitat
o Berikan trombosit 4 unit
o Sken tomografik otak segera
o Konsul ahli bedah bila diperlukan dekompresi
62
Tabel .Sindrom Neurobehavior akibat infark fokal otak di hemisfer dan batang otak.
Aliran sirkulasi sistim Karotis
63
Arteri serebri media(bilat) lob.temporal bilateral Agnosia auditorik
Arteri serebri media(bilat) Regio parietal bilateral Sindroma Balint’s
Arteri serebri post(bilat) Cortex oksipital Agnosia visual,pro-
sopagnosia,agno-
sia environtment
Arteri serebri post(bilat) Hippocampus Amnesia
Arteri serebri post Pedunkulus serebri Halusinosis pedunkular
Afasia
Afasia merupakan suatu gangguan bahasa yang diakibatkan oleh disfungsi
otak. Afasia merupakan sindrom yang didapat dan terbanyak akibat stroke. Afasia
harus dibedakan dari mutisme, gangguan volume dan artikulasi bicara (disartria),
gangguan irama dan infleksi bicara (disprosodi), dan gangguan pikiran dengan
keluaran verbal yang tidak normal. Beberapa pola afasia yang berbeda telah dikenal
dan berhubungan dengan lesi-lesi pada daerah anatomi yang spesifik. Afasia secara
individual memiliki komplikasi, prognosis, terapi yang berbeda.
Pada penderita kinan, afasia mempunyai korelasi 99% dengan lesi di hemisfer
kiri. Diperkirakan 60% orang kidal memiliki pola dominasi yang serupa dengan orang
yang kinan dengan dominasi fungsi bahasa pada hemisfer kiri.
64
Afasia Broca
Afasia Broca adalah suatu sindrom afasia tidak lancar yang ditandai oleh
keluaran verbal yang terganggu dari yang sama sekali tidak mampu mengeluarkan
kata sampai kesulitan menemukan kata dan memerlukan upaya untuk dapat
mengucapkan kata, terjadi parafasia semantik, parafasia literal (fonemik), dan
agramatikal. Fungsi pengertian bahasa yang sudah dikuasai normal. Repetisi,
penamaan, membaca dengan suara keras, dan menulis juga terganggu.
Lesi yang berhubungan dengan sindrom afasia Broca adalah mencakup girus
frontal inferior dan daerah di dekat operkulum serta insula pada daerah yang
mendapat sirkulasi dari arteri serebri media. Luasnya lesi menentukan ringan/beratnya
gambaran sindrom afasia. Kerusakan pada operkulum frontal menghasilkan kesulitan
untuk mengawali percakapan; cedera pada kortex motorik mengakibatkan disartria;
kerusakan yang menyebar lebih ke posterior sehingga meliputi koneksi
temporoparietal menyebabkan parafasia semantik serupa dengan gejala pada sindrom
afasia konduksi.
Afasia Broca klasik yang mengkombinasikan semua gambaran tersebut
dengan pengucapan yang agramatikal, terlihat jika daerah diatas ventrikel serta
substansia alba yang berdekatan ( jaras periventrikuler limbik-frontal) tercakup dalam
lesi. Jika lesi frontal meliputi area premotor dan operkulum frontal maka terjadi
hemiparesis kanan yang mengenai wajah, dan tungkai atas yang lebih lemah daripada
tungkai bawah yang menyertai afasia, serta adanya apraksia simpatetik terjadi bila lesi
sampai mengenai korpus kalosum yang mengganggu fungsi praksis bukolingual dan
tungkai sebelah kiri.
Afasia Global
Penderita afasia global mengalami gangguan secara jelas pada seluruh aspek
fungsi bahasa mencakup keluaran verbal spontan, pengertian, repetisi, penamaan,
membaca dengan suara keras, pengertian dalam membaca, dan menulis. Seringkali
verbalisasi spontan hanya berupa produksi yang tidak bermakna dan stereotip seperti
“ya,ya,ya,” meskipun beberapa pasien dapat mengucapkan pengulangan kecil dari
frase yang telah dipelajari (“rumah,” “tidak”, dll) yang dapat digumamkan dengan
fasih, dan banyak penderita afasia global yang dapat mengutuk dengan mudah saat
65
marah. Ucapan otomatis (menghitung, menyebutkan nama hari dalam minggu atau
bulan dalam tahun), dan menggumamkan nada-nada lagu yang telah dipelajari
(“Indonesia Raya,” “Bintang kecil”) dapat terjadi meskipun terdapat defek yang berat
dalam bahasa ekspresif proporsional. Pengertian bahasa yang buruk membedakan
afasi global dari afasia Broca, dan repetisi yang buruk membedakannya dengan afasia
transkortikal campuran (afasia isolasi). Banyak penderita afasia global akan mengikuti
keseluruhan perintah utuh (“bangun”, “duduk”), dapat membedakan bahasa asing dan
percakapan omong-kosong, dapat menilai infleksi secara memadai untuk
membedakan pertanyaan dan perintah, dapat mengenali nama orang dan peristiwa
penting yang relevan secara personal, baik yang disebut maupun yang ditulis, dan
akan menolak bahasa tertulis yang ditampilkan terbalik, meskipun pengertiannya
sangat parah terganggu.
Secara patologik, lesi yang umumnya menyebabkan afasia global adalah
infark berukuran besar yang terletak di sebelah kiri yang meliputi keseluruhan daerah
arteri serebri media (Terdapat hemiparesis, defisit hemisensoris, dan homonimus
hemianopsia). Multipel emboli pada daerah yang memediasi bahasa di anterior dan
posterior jarang menyebabkan afasia global tanpa defisit motorik mayor.
Afasia Wernicke
Afasia Wernicke, keluaran verbal parafasik, lancar dan dengan pengertian,
repetisi, serta penamaan yang buruk. Keberagaman penderita, seringkali logore dan
berbicara membual, seringkali dikombinasikan dengan ketidaksadaran atau
penyangkalan terhadap adanya defisit, menyebabkan sindrom ini yang paling
menakjubkan pada neurologi klinis. Pasien memperlihatkan penekanan pada ucapan
disertai keluaran yang diakselerasi dan seringkali gaya percakapan sangat mendesak,
intrusif bahkan mempertahankan kebenaran. Percakapan spontan berisi parafasia
semantik primer dan neologisme, parafasia literal akan mendominasi jawaban pada
tes penamaan. Terdapat gangguan membaca dan menulis.
Produksi percakapan yang logoreik parafasik dengan subsitusi multipel dan
berturut turut disebut jargon afasia, yakni suatu gangguan keluaran verbal yang dapat
terjadi juga pada afasia konduksi dan afasia sensoris transkortikal. Pengertian
66
secara relatif tetap baik pada afasia konduksi dan repetisi yang normal pada afasia
sensorik transkortikal membedakan kedua gangguan ini dengan afasia Wernicke.
Meskipun gambaran utama afasia Wernicke (yakni curah verbal normal,
pengertian yang buruk, repetisi yang buruk) menggambarkan sebuah sindrom dasar
namun terdapat banyak variasi dalam presentasi klinik. Pengertian mungkin terganggu
ringan dengan kemampuan untuk menginterpretasikan kalimat yang cukup kompleks
terganggu, atau pengertian terganggu berat sehingga menyisakan hanya perintah
sederhana (“tutup matamu,” “buka mulutmu,” “berdiri,” “duduk”). Pengertian
terhadap bahan yang ditampilkan oral secara relatif disisakan meskipun informasi
yang tertulis secara parah terganggu, atau sebaliknya dapat terjadi. Pengertian
auditorik yang terpengaruh lebih besar berhubungan dengan terkaitnya struktur lobus
temporalis secara ekstensif, mencakup kortex auditorik primer, dan bila lebih besar
terjadi gangguan pengertian membaca merefleksikan perluasan lesi kearah superior ke
daerah inferior lobus parietal dan girus angularis.
Dalam keadaan patologik, lesi yang berhubungan dengan afasia Wernicke
meliputi bagian sepertiga posterior dari girus temporalis superior kiri tetapi jarang
terbatas pada daerah ini dan seringkali mengenai area parietal inferior dan temporal
yang berdekatan. Penderita afasia Wernicke mengalami infark serebral akibat oklusi
vaskuler dan yang terbanyak diakibatkan oleh emboli yang berasal dari jantung.
Kuadrantanopsia superior dan hilangnya sensoris kortikal pada wajah dan
tungkai atas merupakan gangguan yang umum didapatkan pada penderita afasia
Wernicke dan jika lesi menyebar kearah limbus posterior dari kapsula interna akan
terjadi hemiparesis.
Afasia Konduksi
Afasia konduksi merupakan sindrom afasia fasih yang unik dimana pengertian
secara relatif masih normal dan repetisi secara disproporsional terganggu. Percakapan
spontan ditandai oleh istirahat pencarian kata dan dominant terjadi parafasia
fonemik/literal dari pada parafasia semantik. Seringkali penderita menyadari telah
membuat kesalahan dan membuat perkiraan yang mendekati kata yang dimaksud.
Membaca dengan suara keras terganggu tetapi pengertian dalam membaca masih
normal. Penamaan dan menulis keduanya tidak normal dan mengandung subsitusi
parafasia fonemik. Meskipun pengertian secara relatif dipertahankan pada afasia
konduksi namun beberapa pasien mengalami gangguan sintaktik yang serupa dengan
yang digambarkan pada afasia Broca.
67
Lesi yang bertanggung jawab untuk afasia konduksi secara tipikal mengenai
fasikulus arkuatus pada operkulum parietal kiri.
Afasia Anomik
Anomia merupakan suatu indikator nonspesifik pada disfungsi otak dan tidak
memiliki makna lokalisasi. Tiga tipe primer anomia terjadi pada sindrom afasik yakni
anomia produksi kata, anomia seleksi kata, dan anomia semantik. Anomia produksi
kata ditandai dengan ketidakmampuan untuk mengekspresikan kata yang
dimaksudkan. Problem primernya adalah gangguan dalam mengawali kata dan pasien
siap bereaksi terhadap petunjuk2 fonemik (suku kata pertama atau bunyi pertama dari
sebuah kata). Produksi kata pada penderita Anomia merupakan karakteristik dari
afasia tidak lancar seperti afasia Broca dan afasia motor transkortikal. Produksi kata
pada Anomia juga merupakan tipe utama defisit penamaan pada penderita dengan
demensia subkortikal.
Penderita dengan anomia semantik mengalami gangguan pada kemampuan
terhadap nama, tidak bereaksi terhadap petunjuk, dan tidak mengenali kata jika kata
itu disebutkan oleh pemeriksa. Bunyi dari kata kehilangan makna. Anomia semantik
terjadi pada afasia Wernicke dan afasia sensoris transkortikal.
Anomia seleksi kata menggambarkan anomia, yaitu kegagalan untuk bereaksi
terhadap petunjuk-petunjuk fonemik tetapi memiliki kemampuan utuh untuk
mengenali kata jika diberikan. Anomia seleksi kata merupakan gambaran utama dari
afasia anomik.
Ucapan spontan tidak memiliki isi dan berputar-putar dengan istirahat untuk
pencarian kata yang sering terjadi, menggunakan banyak kata dengan bentuk referensi
indefinit, dan sedikit parafasia. Pengertian relatif dipertahankan, dan repetisi,
membaca dengan suara keras serta pengertian membaca normal. Anomia akan tampak
pada tes penamaan konfrontasi dan pada menulis spontan. Pasien biasanya dapat
mengenali kata yang benar jika ditampilkan oleh pemeriksa. Afasia anomik biasanya
mengindikasikan sebuah lesi pada girus angularis kiri atau area yang berdekatan
dengan girus temporalis posterior. Beberapa penderita dengan afasia anomik memiliki
lesi pada daerah temporal anterior kiri atau daerah polar temporal. Afasia anomik
seringkali merupakan defisit residual setelah penyembuhan dari sindrom afasia yang
lebih luas (afasia Wernicke, afasia konduksi).
68
Sindrom yang serupa telah diamati pada infark talamus dominan meskipun
pada banyak kasus tidak terdapat gangguan bahasa yang menyertai. Afasia setelah
adanya lesi dari talamus biasanya bersifat sementara dan penelitian terhadap aliran
darah otak atau metabolisme glukosa kortikal menunjukkan bahwa terjadi penurunan
perfusi kortikal atau metabolisme kortikal jika sebuah lesi subkortikal terjadi
bersamaan dengan suatu sindrom afasia. Pengamatan ini menjelaskan bahwa talamus
memiliki peran penting dalam produksi kata dan aktivasi kortikal tetapi disfungsi
talamus tidak cukup untuk menghasilkan suatu afasia yang spesifik kecuali bila
terdapat disfungsi kortikal yang menyertai.
Infark pada struktur ganglia basalis yang terletak di sebelah kiri juga dapat
menghasilkan suatu sindrom berkurangnya bahasa yang dihasilkan dengan disartria
dan hipofonia yang menonjol. Sindrom-sindrom yang berhubungan dengan
perdarahan dapat terjadi lebih berat. Lesi-lesi nonhemoragik dapat menyebabkan
sindrom afasia dengan menganggu jaras-jaras pada substansia alba subkortikal atau
melalui perluasan meliputi daerah kortikal yang berdekatan. Karakteristik utama dari
sindrom bahasa yang berhubungan dengan disfungsi ganglia basalis kiri adalah defisit
pencarian kata (anomia seleksi, leksikal), kadang-kadang substitusi semantik, serta
pengertian yang terganggu pada materi sintaktik kompleks. Gangguan fungsi bahasa
yang terjadi adalah produksi daftar kata yang berkurang, meningkatnya latensi dan
perseverasi, produksi kalimat yang buruk, dan ekolalia. Penemuan-penemuan ini tidak
spesifik dan sesuai dengan hilangnya kemampuan memfasilitasi atau mengaktifkan
pengaruh-pengaruh dari struktur subkortikal ke aktivitas kortikal.
Prognosis pemulihan bahasa bervariasi, afasia vaskuler membaik dalam 3 – 6
bulan pertama namun derajat penyembuhan akan berlanjut selama 5 tahun atau lebih.
Afasia global memiliki prognosis paling buruk untuk perbaikan ketrampilan bahasa;
afasia Broca dan afasia Wernicke memiliki keseluruhan prognosis untuk
penyembuhan dengan ukuran yang bervariasi dari satu penderita ke penderita lainnya;
afasia anomik, afasia konduksi, dan afasia transkortikal memiliki prognosis yang
relatif baik, dengan beberapa penderita sembuh sempurna. Penelitian pencitraan otak
memberikan informasi prognostik yang berguna. Lesi-lesi yang secara langsung
meliputi daerah temporal superoposterior pada hemisfer kiri memberikan
penyembuhan yang terbatas pada pengertian auditorik, dan lesi-lesi yang luas
mengenai daerah rolandik berhubungan dengan pemulihan yang buruk dari
verbalisasi. Pada kasus-kasus yang dilaporkan, penderita dengan defisit linguistik
yang lebih luas biasanya berkembang ke dalam tahap afasia anomik residual.
Penderita afasia usia lebih muda cenderung untuk mengalami perbaikan ketrampilan
bahasa yang lebih baik daripada penderita yang lebih tua, dan penderita yang kidal
memiliki prognosis yang lebih baik daripada penderita yang kinan. Secara umum
pengertian bahasa lebih membaik daripada kefasihan keluaran ekspresif.
Terapi afasia dapat memfasilitasi penyembuhan kemampuan berbahasa dan
harus diberikan pada semua penderita yang berminat. Selain tehnik re-edukasi
tradisional, usaha-usaha terbaru telah dikembangkan yaitu tehnik individual untuk tipe
spesifik afasia, seperti pemanfaatan terapi intonasi melodik pada penderita afasia
Broca, pemakaian simbol komunikasi visual pada penderita sindrom afasia global,
atau terapi untuk aspek khusus dari sindrom afasia seperti perseverasi.
69
abnormalitas perkembangan dimana seseorang tidak mampu untuk belajar membaca,
dan adanya butahuruf yang mencerminkan latar belakang pendidikan yang buruk.
Kebanyakan penderita afasia juga mengalami aleksia, tetapi aleksia dapat terjadi
tanpa adanya afasia dan terkadang tampak sebagai satu-satunya ketidakmampuan
akibat lesi otak yang khusus. Kemampuan untuk membaca dengan suara lantang dan
pengertian membaca mungkin mengalami disosiasi oleh beberapa lesi dan harus
dinilai secara bebas.
Akalkulia
70
Ada tiga tipe utama dari akalkulia : (1) akalkulia yagn bersamaan dengan
gangguan bahasa, meliputi parafasia angka, agrafia angka, atau aleksia angka; (2)
akalkulia sekunder akibat disfungsi visuospasial dengan ketidak urutan angka dan
kolom; dan (3) suatu anaritmetria primer yang mengganggu proses komputasi. Tipe
keempat dari akalkulia yakni agnosia symbol dimana penderita kehilangan
kemampuan untuk memahami simbol2 operasional yang menentukan proses
matematis yang akan dilakukan (+, ÷, ×, −), pada beberapa kesempatan telah diamati
tetapi belum dipelajari dengan baik dan jarang ditemukan.
Gangguan kalkulasi yang berhubungan dengan afasia mencakup kesalahan-
kesalahan parafasik dimana penderita membuat suatu kesalahan parafasik verbal,
mengganti satu angka untuk yang lain. Aleksia angka dan agrafia angka juga dapat
terjadi dan pada beberapa kasus secara tidak proporsional lebih besar daripada
gangguan membaca huruf dan menulis. Akalkulia terjadi pada hampir seluruh afasia
tetapi akalkulia lebih berat pada penderita dengan lesi pada aspek posterior dari
hemisfer kiri yang mengenai korteks parietal.
Akalkulia visuospasial dapat terjadi pada lesi hemisfer manapun namun paling
umum pada disfungsi parietal kanan. Jeda angka multidigit, ‘placeholding values’,
dan urutan kolom terganggu.
Anaritmetria primer terjadi utamanya dalam konteks sindrom Gerstmann dengan lesi
pada daerah girus angularis dominant, tetapi kelaianan itu terkadang ditemukan
sebagai suatu abnormalitas tersendiri dengan gangguan pada daerah yang sama. Pada
kasus ini tidak terdapat afasia yang bermakna atau gangguan visuospasial, tetapi
terjadi kesalahan2 dalam proses komputasi.
Apraksia
Apraksia merupakan gangguan pada gerakan yang dipelajari yang tidak dapat
diakibatkan oleh kelemahan, hilangnya sensoris, inatensi, atau kegagalan untuk
memahami gerakan yang diminta. Dua tipe apraksia yang utama dan telah dikenali
adalah : (1) apraksia ideasional, dimana penderita gagal untuk secara benar
memperagakan urutan kegiatan multikomponen seperti melipat sebuah surat,
menyisipkannya ke dalam sebuah amplop, dan merekatkan amplop itu, dan (2)
apraksia ideomotor, dimana penderita gagal melaksanakan gerakan yagn
diperintahkan yang dapat dilakukan secara spontan serperti melambaikan tangan,
memalu, minta tumpangan, menjahit, menyedot dari sebatang sedotan, atau bersiul.
71
Apraksia ideasional terjadi pada demensia dan pada keadaan konfusional akut.
Apraksia ideomotor terjadi pada lesi hemisfer kiri spesifik.
Dilaporkan tiga tipe utama apraksia ideomotor dan penemuan klinis yang
menyertai. Apraksia parietal merujuk pada terjadinya gerakan apraksik pada
penderita dengan lesi yang mengenai lobulus parietalis inferior dan fasikulus arkuatus
yang berdekatan. Lesi talamik (kiri) terkadang menghasilkan sindrom ini. Pasien
mengalami afasia lancar (biasanya afasi konduksi), mungkin mengalami hemiparesis
kanan yang ringan dan defek hemisensorik, dan seringkali gagal untuk mengenali
bahwa gerakan-gerakan apraksik dilakukan dengan salah.
Apraksia Simpatetik adalah apraksia pada tungkai kiri dan struktur bukolingual yang
terlihat pada penderita dengan lesi frontal kiri. Tungkai yang apraksik berada pada
keadaan “in sympathy” dengan hemiparesis kanan akibat lesi frontal. Penderita juga
memperlihatkan afasia tipe Broca tidak lancar, memiliki keterkaitan yang lebih
menonjol pada gerakan bukolingual daripada gerakan tungkai.
Apraksia Kallosal terjadi bila arah verbal yang diperantarai oleh hemisfer kiri tidak
dapat melalui korpus kalosum untuk dilaksanakannya perintah pada tungkai sebelah
kiri yagn dimediasi oleh hemisfer kanan. Apraksia hanya mengenai lengan dan kaki
kiri, dan pada banyak kasus tidak disertai afasia atau hemiparesis. Gangguan
komunikasi interhemisfer dimanifestasikan dalam berbagai bentuk gangguan selain
apraksi tungkai kiri, meliputi anomia taktil tangan kiri, agrafia afasik tangan kiri,
gangguan konstruksional tangan kanan, dan beragam gangguan somestatik seperti
kegagalan untuk penyesuaian taktil intermanual dan penyesuaian intermanual dari
posisi tangan. Cedera korpus kalosum dapat terjadi akibat oklusi arteri serebri
anterior.
Agnosia Visual.
Agnosia visual adalah sindrom otak yang didapat yaitu penderita tak mampu
mengenal obyek atau gambar yang diperlihatkan. Ketajaman penglihatan baik, sadar
dan waspada serta tidak afasia.
72
agrafia dan pada faktanya hampir semua penderita dengan agnosia visual asosiatif
juga menderita aleksia.
Tipe lain dari agnosia visual adalah Prosopagnosia. Prosopagnosia disebut
juga agnosia fasial yaitu tidak mampu mengenal muka orang yang sudah dikenal
sebelumnya, termasuk muka dari penderita sendiri bila melihat di cermin atau melihat
foto pribadi. Penderita dapat mengenal orang tersebut dari informasi karakteristik
muka orang, misal ada tanda lahir tertentu, potongan rambutnya, atau mendengar
suara orang tersebut. Menurut Damasio, agnosia fasial dapat membedakan muka
manusia dari binatang dan dapat mengenal ekspresi muka secara normal. Studi
postmortem pada agnosia fasial yaitu ditemukannya kerusakan bilateral dibawah
fisura kalkarina pada daerah hubungan oksipitotemporal.
Agnosia warna adalah tak mampu mengenal warna sekunder karena lesi
kortikal yang didapat. Ada dua tipe gangguan yaitu pertama gangguan spesifik
penamaan warna karena diskoneksi masukan informasi visual ke area bahasa. Bentuk
ini tidak ada kerusakan pada area bahasa secara primer dan tidak ada afasia.
Gangguan kedua adalah gangguan yang paling umum dari pengenalan warna yaitu
lesinya di temporo-oksipital inferior bilateral. Area lesi ini sama dengan penyebab
prosopagnosia dan hampir semua penderita dengan tipe agnosia warna ini juga
dengan gangguan prosopagnosia.
Alexia adalah gangguan kemampuan membaca, dapat merupakan gejala bersama
dengan agnosia fasial , terbanyak akibat kerusakan otak daerah area lingual dan
fusiform.
Agnosia visuospatial merupakan variasi dari gangguan persepsi spatial
dengan orientasi. Bentuk yang paling sering terganggu adalah disorientasi topografi
yaitu tak mampu mengenal kembali arah jalan yang lama sudah dikenal, area kritis
yang mengalami kerusakan adalah parietal inferior atau temporal superior pada bagian
tengah hemisfer kanan. Gangguan spesifik lainnya ’hemineglect’ yaitu tidak waspada
terhadap adanya stimuli dari sisi kiri atau sisi kontralesi. Gangguan ini dapat terjadi
pada lesi hemisfer kiri tapi lebih sering dan berat pada lesi hemisfer kanan.
Simultan agnosia adalah gangguan persepsi penglihatan terhadap benda lebih
dari satu atau benda-benda dalam gambar pemandangan secara kesatuan yang saling
berhubungan pada waktu yang sama, merupakan salah satu gejala dari sindrom Balint
disamping gejala lainnya ataksia optik dan apraksia optik. Kasus ini jarang dan
disebabkan lesi bilateral lobus parietal.
73
tuli total secara sementara. Kejadian bifasik ini merupakan tipikal gangguan auditorik
kortikal.
Pada tuli kortikal, destruksi bilateral dari radiatio auditorik atau kortex
auditorik primer (girus Heschl’s) ditemukan menetap. Dasar gangguan auditorik
kortikal lebih bervariasi, lesi-lesi dapat terjadi lebih luas sampai girus temporal
superior, juga koneksitas eferen dari girus Heschl’s sering terlibat.
Tuli kata murni (agnosia auditorik untuk percakapan, agnosia verbal
auditorik)
Penderita dengan tuli kata murni tidak sanggup mengerti bahasa percakapan meskipun
ia dapat membaca, menulis dan bercakap-cakap secara relatif normal. Kemampuan
menulis dengan didikte terganggu namun meniru materi tulisan tidak terganggu.
Lesinya bilateral, lesi kortiko-subkortikal bagian anterior dari girus temporalis
superior dan tidak mengenai girus Heschl’s terutama pada sisi kiri.
Secara umum disetujui profil lesi pada diskoneksi bilateral dari area Wernicke’s
dengan ‘input’ auditorik.
Tuli dapat diatasi dengan ‘treshold pure tone’ auditorik normal , pada kondisi
ini penderita mengalami halusinasi atau memperlihatkan euphoria atau paranoid
sementara.
Membedakan tuli kata dengan afasia sensorik transkortikal adalah gangguan
kemampuan melakukan pengulangan percakapan
Tak adanya gejala parafasia, gangguan membaca dan menulis membedakan gejala
ini dengan afasia Wernicke’s. Dapat juga kedua-duanya muncul (afasia dan agnosia)
dengan tingkatan lesi lebih luas. Auerbach dkk. menyokong bahwa gangguan ini
dalam 2 bentuk:
1. kerusakan prefonik temporal auditorik, yang berasosiasi dengan lesi temporal
bilateral .
2. Gangguan diskriminasi fonemik dilengkapi lesi temporal kiri dan secara dekat
dengan afasia Wernicke’s.
74
Agnosia taktil
Tipe yang utama untuk pengenalan objek secara taktil terpenting adalah
pengenalan ruang atau persepsi bentuk.
Taktil agnosia adalah gangguan selektif dari pengenalan objek secara taktil
dimana tidak terdapat gangguan fungsi somatosensorik primer.
Gangguan ini harus dibedakan dengan gangguan penamaan benda dari
modalitas fungsi bahasa (anomia), dan objek yang belum pernah dikenal oleh subjek.
Gangguan ini unilateral (terganggu pada tangan kanan atau kiri) yang berasal dari lesi
unilateral. Strategi eksplorasi secara taktil normal, episodic memori normal.
Mishkin mengajukan teorinya berdasarkan penelitian pada kera, posterior
insula berperan pada proses belajar secara taktil dan rekognisi objek dan berhubungan
dengan area sensorik sekunder dan struktur limbik mesial temporal. Dari perspektif
ini, taktil agnosia adalah gangguan aliran informasi antara somatosensorik dengan
sistim memori.
Agnosia taktil merupakan gangguan akibat lesi di korteks parietal inferior,
kemungkinan termasuk area Brodmann 40 dan 39.
Astereognosis adalah gangguan persepsi spatial taktual disebabkan kerusakan
otak pada banyak level dari sistim somatosensorik termasuk serabut saraf perifer,
medulla spinalis, batang otak dan thalamus (ventral posterior lateral).
Proses informasi somestetik terbagi dua :
Aliran ventral dgn gangguan sbb.: rekognisi objek, belajar secara tactual, dan
memory.
Aliran dorsal : intergrasi sensori motorik dan fungsi spatiotemporal
somestetika.
Sindrom Apraksia-astereognosis
Tipe astereognosis yang tidak umum sebagai hasil dari kerusakan korteks
somatosensorik asosiatif dorsomedial
Fungsi memori
Gangguan pencarian kembali informasi baru yang telah dipelajari dan
disimpan (defisit memori ‘retrieval’) sering terjadi pada stroke. Gangguan memori
retrieval terjadi karena terganggunya sirkuit kortikal dan subkortikal, sirkuit ini
meliputi kortex prefrontal dorsolateral, singulata anterior dengan subkortikal (nukleus
kaudatus, globus palidus serta talamus media), dan gangguan tipe ini tidak
mengganggu pengenalan kembali informasi yang baru dipelajari (‘recognition’).
Lobus frontal dan sirkuit resiprokal dengan subkortikal sangat berperan pada memori
retrieval.
Informasi fonologik (pendengaran) yang dipelajari melibatkan aktivitas otak
hemisfer kiri khususnya temporal medial kiri, sedangkan informasi visual dan spatial
mengatifkan temporal medial kanan.
Amnesia murni (gangguan mempelajari informasi baru) tanpa gangguan rana
kognitif lainnya jarang terjadi. Amnesia berat yang menetap pernah dilaporkan pada
lesi bilateral temporal medial meliputi hipokampus dan kortex girus parahipokampus.
Lesi unilateral menimbulkan gangguan yang tidak berat dengan spesifik modalitas
(contoh : lesi dihemisfer kiri menyebabkan gangguan mengingat nama, tetapi dapat
mengenal muka).
Lesi yang mengenai nukleus mediodorsal talamus, traktus mamilotalamik
dilaporkan pada lesi bilateral menyebabkan amnesia berat. Amnesia dapat terjadi bila
adanya lesi pada rangkaian sirkuit Papez yang terdiri dari hipokampus, forniks, badan
75
mamilaris dari hipotalamus, traktus mamilotalamikus serta nukleus talamus medial.
Lesi di hemisfer kiri menyebabkan amnesia verbal (auditorik) dan lesi di hemisfer
kanan menyebabkan amnesia nonverbal (visual).
Pada amnesia juga terjadi gangguan pengenalan kembali informasi yang baru
dipelajari (‘recognition’).
Penderita dengan lesi pada orbitofrontal anteriormedial menimbulkan gejala
konfabulasi spontan dan secara cepat mengalami penyembuhan dibandingkan
penderita dengan lesi pada orbitofrontal posterior dan ‘basal forebrain’, lesi ini
mempunyai gejala konfabulasi spontan, konfusi terhadap realitas yang berlangsung
sampai 3 bulan dan ada yang sampai 1 tahun, kemudian setelah mengalami perbaikan
gejala sisanya amnesia berat.
Fungsi eksekutif
Fungsi eksekutif adalah fungsi kortex prefrontal khususnya area dorsolateral
yang merupakan kortex asosiasi multimodal yang berperan untuk kemampuan
mengorganisasikan penampilan kognitif antara lain meliputi kesadaran akan
keberadaan suatu masalah, memantau masalah, mengevaluasi, menganalisa serta
memecahkan/mencari jalan keluar dari suatu persoalan, menyusun strategi dan
merencanakan tindakan sesuai ketrampilan yang dikuasai. Fungsi eksekutif
dikelompokan pada empat katagori yaitu: ‘Drive’, ‘programming’, ‘response
control’, ‘synthesis’.
Fungsi eksekutif dimediasi oleh korteks prefrontal dorsolateral dan struktur
kortikal sertasubkortikal yang berhubungan dengan daerah tersebut. Kerusakan pada
korteks prefrontal dorsolateral dapat menimbulkan sindroma neurobehavioral dengan
gejala-gejala seperti berkurangnya aktivitas motorik kompleks, proses berpikir yang
tidak konkrit, gagal mengenal konsep-konsep, kurang fleksibilitas, serta terjadi
perseverasi dan perilaku motorik yang stereotipik. Gejala yang hampir sama juga
dapat ditemui pada lesi di parietal temporal dan area asosiasi oksipital dan nukleus
kaudatus dorsalis. Hal ini dapat terjadi karena kortex prefrontal dorsolateral
mempunyai hubungan resiprokal dengan daerah kortikal dan subkortikal,.
Kortex prefrontal dorsolateral menerima informasi dari kortex orbitofrontal,
kortex asosiasi parietal, kortex asosiasi auditorik, girus singulata, kortex retrosplenial,
girus parahipokampus dan presubiculum melalui fasikulus longitudinalis superior,
fasikulus longitudinalis inferior dan jaras oksipitofrontal inferior. Kortex dorsofrontal
juga mengatur aktivitas dari struktur-struktur tersebut dan membentuk hubungan yang
akan menyalurkan informasi dari beberapa area kortex ke dorsalis kaudatus. Setelah
masukan-masukan informasi ini diproses di dorsalis kaudatus, masukan tersebut
diproyeksikan kembali ke kortex prefrontal dorsolateral, sehingga terbentuklah suatu
sirkuit prefrontal dorsolateral-subkortikal.
Kortex dorsolateral prefrontal berhubungan erat resiprokal dengan kortex
frontal medial dan orbitofrontal.
Selain lesi pada prefrontal dorsolateral dapat juga lesi terjadi pada frontal
medial terutama menyebabkan gangguan motivasi dari sederhana sampai berat yaitu
dari kurangnya minat sampai mutisme akinetik. Sindrom ini dapat terjadi pada lesi
girus singulata anterior, striatum ventral, thalamus mediodorsal atau pada traktus yang
menghubungkan struktur-struktur tersebut. Lesi dapat terjadi akibat oklusi arteri
serebri anterior, atau reaksi spasme pembuluh darah sesudah terjadinya ruptura
aneurisma pembuluh darah arteri komunikan anterior.
Lesi pada orbitofrontal (aspek inferior lobus frontal) yang sangat erat
berhubungan dengan sistim limbik, dapat menimbulkan sindrom dengan gejala-gejala
76
perubahan kepribadian. Disinhibisi dan agresi merupakan gejala yang umum, suasana
hati iritabilitas, afek labil, impulsif dengan lelucon kekanak-kanakan, kurang
berempati. Lesi dapat disebabkan ruptura aneurisma pembuluh darah arteri
komunikan anterior. Kasus ini jarang terjadi.
77
Demensia
Demensia vaskuler (DV) merupakan sindroma demensia terbanyak (di negara
Barat setelah demensia Alzheimer) sedangkan Cina dan Jepang (Ueda,1992)
demensia vaskuler > 50 % dari semua demensia.
Sindroma demensia ini secara klinik terdiri dari gangguan intelektual
(penurunan fungsi kognitif lebih dari dua rana kognitif) yang didapat dan gangguan
fungsional (aktifitas hidup sehari-hari dan pekerjaan), disebabkan oleh iskemia pada
jaringan otak, perdarahan atau hipoksik otak. Diagnosa demensia ditegakan setelah 3
bulan pasca stroke dengan gangguan kognitif menetap sesuai kriteria demensia.
Demensia ini dapat bercampur dengan demensia Alzheimer dan disebut demensia tipe
campuran.
Karakteristik demensia vaskuler terdiri dari gejala-gejala neurologi fokal,
defisit neurobehavior (kognitif dan nonkognitif) dengan batasan yang luas sebagai
refleksi heterogenitas dari lesi otak yang berperan.
Gejala neurobehavior untuk kognitif meliputi atensi, konsentrasi, fungsi
memori, fungsi bahasa, fungsi visuospatial, gnosis, praksis, fungsi eksekutif, dan
gejala non kognitif/fungsi emosi meliputi depresi, mania, anxietas, labilitas, agitatif
dan psikosis.
Faktor risiko potensial untuk terjadinya demensia vaskuler adalah: Hipertensi;
‘Coronary Arteriosclerosis Diseases’, diabetes mellitus, penyakit jantung,
hiperlipidemia, merokok, faktor –faktor risiko ini memperberat arteriosklerosis yang
sudah terbentuk sejak usia muda.
78
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN STROKE
Perawat, sebagai bagian dari tim pelayanan kesehatan, diharapkan mampu
memberikan asuhan keperawatan kepada pasien stroke secara komprehensif dan
terorganisir sejak fase hiperakut hingga fase pemulihan
79
khusus waktunya dapat lebih panjang. Selama fase ini, tindakan keperawatan
ditujukan untuk mempertahankan fungsi vital pasien dan memfasilitasi perbaikan
neuron. Kualitas layanan yang diberikan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan
dalam mencegah terjadinya komplikasi dan kecacatan.
PENGKAJIAN
Riwayat perjalanan penyakit, untuk mengetahui kapan gejala awitan mulai timbul
atau onset.
Riwayat penyakit atau status kesehatan yang sebelum sakit: apakah pasien memiliki
riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, TIA (Transient
Ischemic Attack), dislipidemia, hiperagregasi trombosit, obesitas, atau penyakit lain
sebagai faktor risiko stroke.
Pola/kebiasaan/gaya hidup sebelum sakit: merokok, minum alkohol, stress, kurang
aktifitas, kepribadian tipe A.
Pemeriksaan fisik:
Tanda-tanda vital: tekanan darah, nadi, respirasi, dan temperatur.
Tingkat kesadaran (Glasgow Coma Scale / GCS)
Pupil: ukuran, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya.
Fungsi serebral umum: orientasi, atensi, konsentrasi, memori, retensi, kalkulasi,
similaritas, keputusan, dan berpikir abstrak.
Fungsi serebral khusus: kemampuan bicara dan berbahasa, kemampuan mengenal
obyek secara visual, audio, dan perabaan, serta kemampuan melakukan suatu ide
secara benar dan tepat.
Fungsi saraf kranial I – XII
Fungsi serebellum: tes keseimbangan dan koordinasi otot
Fungsi motorik: ukuran otot, tonus otot, kekuatan otot, gerakan involunter, dan
gait.
Fungsi sensorik
Faktor psikososial: respon terhadap penyakit, tersedianya sistem pendukung atau
support system, kebiasaan menyelesaikan masalah atau coping mechanism,
pekerjaan, peran dan tanggung jawab dalam keluarga dan masyarakat, serta
pengambil keputusan dalam keluarga.
Pemeriksaan penunjang: CT Scan kepala, MRI kepala, Thorax photo, EKG,
laboratorium: gula darah, sistem hemostase, lipid analisa, ureum/ creatinin,
elektrolit, analisa gas darah, protein C, protein S, AT III, dan pemeriksaan
penunjang lain bila perlu sesuai kondisi pasien, misalnya: TCD (Trans Cranial
Doppler), DSA (Digital Substruction Angiography), EEG (Electro
Encephalography), dan echo jantung.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Kemungkinan diagnosa keperawatan yang ada pada pasien stroke adalah:
80
Risiko/aktual: tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan penumpukan slym
sekunder terhadap penurunan tingkat kesadaran, gangguan menelan atau disfagia.
Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan iskemik, edema, peningkatan
tekanan intra kranial.
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan penurunan
intake cairan sekunder terhadap penurunan tingkat kesadaran, disfagia.
Perubahan pemasukan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan tingkat kesadaran, disfagia.
Perubahan eliminasi urin: inkontinensia urin berhubungan dengan penurunan
tingkat kesadaran, gangguan fungsi kognisi, immobilisasi.
Perubahan eliminasi bowel: konstipasi berhubungan dengan immobilisasi.
Perubahan sensori persepsi: audio, visual, sentuhan berhubungan dengan adanya
penurunan fungsi serebral sekunder terhadap kerusakan struktur serebri.
Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran,
hemiparese.
Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran,
afasia.
Kurang mampu merawat diri/ ketergantungan dalam pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran, hemiparese, afasia,
gangguan sensori persepsi.
Respon emosi psikologis secara umum terhadap stroke, termasuk: takut, koping
tidak efektif, cemas, isolasi sosial, perubahan konsep diri, dan ketidakberdayaan
berhubungan dengan defisit neurologis.
Risiko injuri berhubungan dengan trauma jatuh, kejang.
Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi
PERENCANAAN
Beberapa contoh rencana tindakan keperawatan:
1.Diagnosa keperawatan: tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan
penumpukan lendir, lidah jatuh ke belakang sekunder erhadap penurunan
tingkat kesadaran, disfagia.
Rasional:
Pasien dengan penurunan tingkat kesadaran yang disebabkan oeh peningkatan TIK
baik karena edema maupun hidrosefalus dapat mengakibatkan hilangnya refleks batuk
sehingga menyebabkan penumpukan lendir dan kemungkinan lidah jatuh ke belakang.
Disfagia adalah gangguan dalam menelan makanan dan atau cairan sehingga juga
dapat menyebabkan penumpukan lendir yang dapat menyebakan jalan nafas tidak
lancar.
Tujuan: jalan nafas pasien dapat dipertahankan tetap lancar atau paten.
81
Berikan cairan minimal 2000 ml/24 jam bila tidak ada kontra indikasi
Mobilisasi sedini mungkin bila kondisi pasien stabil
Kolaborasi dengan medis:
- berikan Oksigen sesuai kebutuhan
- berikan terapi inhalasi
- berikan obat mukolitik
- lakukan pemeriksaan analisa gas darah
Kolaborasi dengan fisioterapis mengenai mobilisasi dini dan fisioterapi dada
2. Diagnosa keperawatan:
Gangguan perfusi serebral berhubungan dengan iskemik, edema, peningkatan
tekanan intrakranial.
Rasional:
Penurunan aliran darah ke otak dapat menyebabkan jaringan serebral mengalami
iskemik, sehingga mengakibatkan edema atau juga dapat menyebabkan hidrocephalus
yang pada akhirnya dapat menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial, yang
berpengaruh pada tekanan perfusi serebral.
82
Pertahankan kadar gula darah kurang dari 150 mg/dl.
Lakukan pencegahan kejang jika perlu
Kaji kemampuan menelan pasien
83
visual diharapkan juga dapat melatih kemampuan memori atau daya ingat
pasien.
Stimulasi melalui audio dengan cara menganjurkan keluarga untuk
membawakan pasien walkman, CD player, atau alat audio lain. Kepada
seluruh anggota tim stroke diharapkan untuk selalu memberikan informasi
secara lisan apabila akan melakukan suatu intervensi, termasuk kepada pasien
afasia dan pasien yang mengalami penurunan tingkat kesadaran.
Melakukan latihan gerak sendi ataupun berbicara sambil menyentuh
bagian lengan pasien yang lemah adalah salah satu contoh memberikan
stimulasi melalui sentuhan. Terutama bagi pasien stroke yang mengalami
hemineglect (biasanya lesi pada hemisfer kanan), dianjurkan untuk selalu
menghampiri dari sisi kiri yang lemah atau sisi kiri.
Mobilisasi dini
Biasanya pasien istirahat di tempat tidur dalam 48-72 jam pertama.
Kepala tempat tidur ditinggikan 30 derajat. Posisi pasien dirubah miring kiri
dan miring kanan setiap 2-3 jam. Untuk mencegah terjadinya nyeri bahu dan
kecacatan, lengan dan kaki yang mengalami kelemahan diatur posisinya dan
diganjal dengan bantal. Posisi lengan supinasi, jari lebih tinggi dari siku dan
siku lebih tinggi dari bahu. Kaki endorotasi, lutut agak ditekuk.
Untuk mencegah terjadinya kekakuan sendi, dilakukan latihan
pergerakan sendi (Range Of Motion) secara teratur 2 kali sehari, yang dimulai
sejak awal perawatan pasien. Ketinggian kepala tempat tidur dinaikkan secara
bertahap 45o, 60o, dan selanjutnya duduk bersandar 90o pada hari ketiga bila
kondisi pasien stabil dan tidak terjadi komplikasi. Pada hari berikutnya pasien
dilatih duduk berjuntai di tempat tidur, tanpa bersandar. Perawat harus
memonitor tanda-tanda vital pasien sebelum, selama, maupun setelah latihan
mobilisasi, terutama denyut nadi dan tekanan darah.
Transfer dini
Apabila pasien telah mampu duduk berjuntai selama minimal 30 menit
tanpa keluhan berarti, keesokan harinya pasien dapat dilatih duduk di kursi
bersandar tegak atau kursi roda. Pertama kalai pasien latihan duduk di kursi
biasanya dilakukan oleh fisioterapis bersama perawat. Posisi duduk pasien
harus diatur dengan benar. Punggung harus tegak, letakkan bantal di bawah
lengan yang lemah, pastikan bahwa telapak kaki menapak di lantai atau
sandaran kaki kursi roda.
Sama seperti waktu melatih pasien duduk berjuntai, perawat juga harus
memonitor tanda-tanda vital terutama denyut nadi dan tekanan darah sebelum,
selama, dan setelah latihan duduk. Selain mengukur frekuensi denyut nadi per
menit, perawat juga harus memperhatikan apakah irama jantung teratur atau
tidak. Perawat juga harus memperhatikan penampilan klinis & keluhan pasien.
Penampilan klinis mencakup ekspresi wajah, keringat dingin, kemampuan
menopang kepala, ataupun kesimbangan duduk. Keluhan pasien yang harus
diperhatikan oleh perawat adalah adanya keluhan pusing, sakit kepala, sesak
nafas, atau nyeri dada. Latihan duduk ini dapat meningkatkan rasa nyaman
pasien, meningkatkan rasa percaya diri, mencegah injuri, dan meningkatkan
fungsi respirasi.
84
B. Penatalaksanaan gangguan fungsi kandung kemih
Gangguan fungsi kandung kemih pada pasien pasca stroke tidak
banyak dipublikasikan, meskipun hasil survei menunjukkan bahwa 60 – 80 %
atau dua pertiga pasien stroke mengalami inkontinensia (Warlow, 2001). Bagi
pasien stroke, keluarga, atau pengasuhnya, gangguan fungsi kandung kemih
dapat
85
ditujukan pada pasien yang mengalami gangguan komunikasi, gangguan
pergerakan, dan gangguan persepsi. Pasien dianjurkan minum air putih 200 ml
setiap dua jam pada siang hari.
Pada waktu pasien buang air kecil, sebaiknya di tempat yang
seharusnya, yaitu di kamar mandi. Jika masalahnya adalah gangguan
pergerakan, dianjurkan penggunaan commode di samping tempat tidur.
Penggunaan commode dan posisi yang normal (berdiri atau duduk) sangat
penting untuk mengembalikan persepsi pasien yang mengalami gangguan
kognisi. Penggunaan commode lebih baik daripada penggunaan diapers. Dari
segi psikologis, duduk untuk perempuan dan berdiri untuk laki-laki akan
memfasilitasi perineum relaksasi dan memberikan efek gravitasi untuk
mempermudah pengosongan kandung kemih.
Pengosongan kandung kemih yang sempurna harus dievaluasi secara
terus-menerus pada pasien stroke. Sisa urin dianggap normal bila kurang dari
50 ml selama tiga kali secara konsekutif. Bila sisa urin lebih dari 50 ml,
dilakukan pemeriksaan sisa urin di kandung kemih menggunakan alat bladder
scanner dua kali sehari, dan bila perlu dilakukan kateterisasi intermiten.
Tehnik lain untuk mengosongkan kandung kemih adalah tehnik
relaksasi perineum dengan duduk di commode. Bila dengan tehnik relaksasi
belum berhasil, dapat dicoba tehnik “Double voiding” atau ”Triple Voiding”.
Kedua tehnik ini sangat efektif untuk pasien yang mengalami partial retensi
urine.
“Kegel Exercise” sangat membantu pasien stroke dengan
inkontinensia. Latihan ditujukan untuk memperkuat otot-otot pelvik. Latihan
berkerut dan relaksasi dilakukan tiga kali sehari masing-masing 15 kali. Sekali
berkerut 10 detik, melemaskan 10 detik. Latihan sebaiknya dilakukan dalam
berbagai posisi: duduk, berbaring dan berdiri. Kelemahan teknik ini adalah
tidak dapat diterapkan pada pasien pasca stroke yang mengalami penurunan
tingkat kesadaran atau mengalami gangguan fungsi kognisi.
C. Penatalaksanaan gangguan menelan
Disfagia adalah kesulitan dalam menelan cairan dan atau makanan yang
disebabkan karena adanya gangguan pada proses menelan (Braddom, 1996).
Survei menunjukkan, bahwa sekitar 45% pasien stroke fase akut mengalami
aspirasi ketika dilakukan tes minum air beberapa ml. (Gordon et al dalam
Warlow, 2000). Disfagia dapat mengakibatkan pasien stroke mengalami
aspirasi. Bila gangguan menelan ini tidak diatasi dengan segera, pasien dapat
mengalami pneumonia, dehidrasi, malnutrisi, bahkan dapat mengakibatkan
kematian. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, diperlukan pemeriksaan
yang akurat sejak pasien masuk rumah sakit.
Tujuan utama penatalaksanaan pasien stroke dengan gangguan
menelan adalah mencegah terjadinya aspirasi dan memastikan pasien
mendapatkan nutrisi yang adekuat melalui cara yang aman.
Penatalaksanaan umum
Semua pasien stroke baru tidak boleh diberikan makan atau minum
sebelum dipastikan bahwa pasien tidak mengalami gangguan menelan. Bila
86
pasien kesadaran baik, tidak ada slim atau ronkhi, tidak ada riwayat tersedak
atau tanda dan gejala gangguan menelan yang lain, lakukan penilaian dengan
memberikan minum air putih sekitar 50-100 ml. Bila pasien mampu minum air
tersebut tanpa mengalami batuk atau tersedak, diet atau menu pasien dapat
diberikan per oral sesuai order medik. Bila terjadi batuk atau tersedak, pasang
selang lambung (NGT) nomer 14 dan semua makanan melalui NGT, hingga
dilakukan tes menelan oleh terapis wicara atau perawat yang terlatih.
Tes menelan (materi terlampir), dilakukan sedini mungkin untuk menentukan
pengaturan diet selanjutnya. Hasil dari tes menelan adalah apakah pasien
mengalami gangguan menelan, pada fase yang mana adanya gangguan
menelan dan metode apa yang tepat untuk masuknya cairan dan nutrisi bagi
pasien. Selain modifikasi diet atau pengaturan menu, digunakan juga teknik
kompensasi dan latihan otot-otot mengunyah dan menelan.
Pengaturan menu atau modifikasi diet sesuai hasil tes menelan:
Makanan bentuk cair, semua melalui selang lambung atau NGT,
Makanan bentuk cair, semua melalui selang lambung atau NGT, bubur
saring 1 mangkuk kecil 3 kali sehari hanya untuk latihan per oral.
Seperempat porsi makanan lunak per oral, tigaperempat porsi makanan
bentuk cair melalui NGT
Setengah porsi makanan lunak per oral, setengah porsi makanan cair
melalui NGT
Tiga per empat porsi makanan lunak peroral, seperempat porsi makanan
cair melalui NGT
Seluruh porsi makanan lunak per oral, hanya air yang melalui NGT
Makanan dan cairan per oral.
Tehnik kompensatori
Teknik kompensatori berupa perubahan posisi kepala atau badan dapat
membantu pergerakan bolus dan mencegah terjadinya aspirasi.
Beberapa teknik kompensatori adalah sebagai berikut:
Posisi duduk tegak, kepala simetris ke depan, kepala agak ditekuk
Pada waktu menelan, anjurkan pasien untuk menoleh ke sisi yang lemah
“Effortful swallow and double swallow”, dengan cara ambil nafas dalam
dan tahan, ambil atau suap makanan, telan, batuk cepat setelah makan,
dan kembali nafas biasa.
Latihan otot-otot mengunyah dan menelan
Latihan dilakukan sesuai dengan pemeriksaan dan observasi klinis pasien.
1. Klinis: menurunnya pergerakan, kekuatan, dan
koordinasi bibir
Observasi klinis: mengiler, “facial drop”
Latihan bibir:
Buka mulut, lebarkan, rileks, ulang
Senyum, menyeringai, senyum, menyeringai
Ucapkan pa pa pa, ba ba ba
Bertiup, bersiul
2. Klinis: menurunnya pergerakan, kekuatan dan koordinasi lidah
87
Observasi klinis: lidah tidak mampu memindahkan makanan dari
depan ke belakang mulut
Latihan:
julurkan lidah
sentuh bibir atas dan bawah dengan lidah
dorong lidah ke arah pipi kanan dan kiri
dorong lidah melawan sudip lidah
ucapkan la la la la la
88
Jika pasien terbatuk-batuk secara konstan sebelum, selama, atau setelah
makan, hentikan memberikan makan.
Bila pasien mengalami kelelahan, hentikan memberikan makan.
89
Perhatikan bersihan jalan nafas, bila pasien sadar anjurkan untuk latihan
batuk efektif
Lakukan fisioterapi dada
Kenakan elastic stocking bila perlu
Monitor fungsi bowel
Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
Lepaskan dhower catheter sedini mungkin
Lakukan bladder training
Kaji kemampuan menelan pasien
Kaji fungsi bicara dan berbahasa
Sesuaikan tehnik berkomunikasi dengan kemampuan pasien: bicara pelan
dengan suara normal, jadilah pendengar yang baik, jelaskan setiap prosedur
yang akan dilakukan.
Reorientasikan pasien menggunakan kalender, radio, foto keluarga.
Evaluasi visus dan lapang pandang
Berikan perawatan mata jika perlu
Lakukan pencegahan kejang jika perlu
Observasi adanya komplikasi, misalnya: pneumonia, emboli paru, infark
miokard
Monitor dan identifikasi penyakit penyerta, misalnya: DM, obesitas,
hipertensi.
90
Sama halnya dengan penatalaksanaan pasien stroke di unit stroke, sebelum pulang ke
rumah pasien dan keluarga pemdamping diberikan edukasi. Bagian dari materi
edukasi meliputi tentang cara merawat pasien stroke di rumah dan cara mengontrol
faktor risiko untuk mencegah terulangnya stroke.
KEBUTUHAN PSIKOLOGIS
Meskipun aspek psikososial merupakan bagian integral dari perencanaan
keperawatan, pengetahuan tentang defisit emosi dan perilaku pasien pasca stroke akan
sangat membantu upaya pemulihan pasien pasca stroke. Kebutuhan dan perubahan
psikologis pasien stroke berbeda satu dengan yang lain, tergantung area otak yang
terkena. Defisit psikologis pasien pasca stroke meliputi: emosi yang labil, hilangnya
kontrol diri, dan menurunnya toleransi terhadap stress. Emosi yang tidak stabil
menyebabkan respon yang tidak sesuai, misalnya karena hal kecil pasien dapat
menangis atau tertawa yang tidak dapat dikontrol oleh pasien itu sendiri.
Peran perawat dalam memberikan dukungan emosi dan psikologis:
Tenangkan dan jelaskan pada pasien dan keluarga bahwa perilaku pasien
disebabkan oleh injuri serebri, sifatnya tidak akan menetap, dan akan pulih sesuai
perjalanan waktu.
Kontrol lingkungan, mengurangi stimulus yang menyebabkan pasien sedih
Antisipasi kebutuhan pasien untuk menurunkan rasa frustasi pasien.
Berikan umpan balik positif terhadap kemajuan pasien
Fasilitasi pasien untuk belajar ketrampilan secara bertahap.
Orientasikan kembali pasien pada tempat, waktu, dan orang.
Jelaskan defisit emosional pasien pada keluarga, berikan dukungan
Lakukan pengulangan jika perlu, karena pasien mempunyai hambatan dalam
mempelajari kembali hal yang pernah dilakukan.
91
PROGRAM EDUKASI KELUARGA
Edukasi kepada pasien dan keluarga merupakan bagian dari progran rencana
kepulangan pasien. Peran perawat yang paling penting dalam perencanaan pulang ini
adalah memberikan edukasi pada pasien dan keluarga. Materi yang diberikan
meliputi pengertian, faktor risiko, tanda gejala, dan cara merawat pasien stroke di
rumah.
Materi mengenai cara merawat pasioen stroke di rumah disesuaikan dengan
kondisi pasien dan masalah kesehatan yang dialami pasien pasca stroke, yang
meliputi: peran keluarga dalam merawat pasien stroke di rumah, pengobatan, nutrisi,
dan apa yang harus dilakukan pasien dan keluarga untuk mencegah terulangnya
stroke. Edukasi kepada pasien dan keluarga dapat dilakukan secara kelompok atau
perorangan. Bila keadaan pasien memungkinkan, pasien dapat dilibatkan dalam
pemberian edukasi ini.
Beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat memberikan edukasi kepada
pasien adalah:
Ruangan harus tenang, jangan berisik
Batasi distraksi lingkungan
Pastikan pasien dapat mendengar dengan baik. Bila sebelum sakit pasien
menggunakan alat bantu dengar, anjurkan pasien untuk mengenakannya.
Kaca mata harus dipakai dan dalam keadaan bersih.
Gunakan huruf atau gambar berukuran besar
Gunakan warna untuk tanda permulaan dan akhir dari sesi pembelajaran.
Atur pemberian informasi dalam waktu yang singkat.
Bersikap tenang, lakukan pendekatan.
Beri tekanan dan ulangi pada kalimat yang penting.
Sediakan waktu pada pasien untuk berespon.
PERENCANAAN PULANG
Perencanaan pulang adalah suatu proses yang terkoordinasi dari pembuatan
keputusan dan aktifitas lain yang melibatkan pasien, keluarga, kerabat, dan tim stroke
yang bekerja sama untuk melakukan adaptasi atau transisi mulus ke suatu lingkungan
yang baru. Setelah fase akut teratasi, pasien sebaiknya dikelola di rumah sakit sub
akut (step down care hospital), pusat rehabilitasi, atau nursing home. Di Indonesia,
hal ini belum dapat dilakukan. Setelah memasuki fase sub akut, hampir seluruh pasien
stroke pulang ke rumah.
Beberapa hari menjelang kepulangan pasien, perawat membantu keluarga
untuk memutuskan pengasuh atau carer bagi pasien. Tim juga harus mengkaji apakah
pasien membutuhkan bantuan tenaga perawat professional di rumah. Dalam
perencanaan pulang semua hal harus dipertimbangkan termasuk aspek medis,
ekonomi, sosial, dan budaya. Dari aspek medis yang harus dipertimbangkan adalah
gangguan yang terjadi, ketidakmampuan, dan ketunaan yang dialami pasien.
92
Semakin hari permintaan tenaga dari tim stroke untuk visit ke rumah semakin
meningkat. Biasanya jumlah tenaga ataupun frekuensi kunjungan disesuaikan dengan
kondisi pasien dan tingkat ketergantungan pasien dalam melakukan aktifitas kegiatan
sehari-hari. Tim stroke yang aktif terlibat pada perawatan pasien stroke di rumah ini
terdiri dari dokter ahli saraf, perawat trampil stroke, fisioterapis, dan terapis wicara,
serta terdapat juga permintaan tenaga non medik seperti pengasuh, yang membantu
keluarga sebagai pendamping (carer) pasien stroke.
PENCEGAHAN STROKE
Pencegahan stroke pada dasarnya dibagi dua yaitu, pencegahan primer dan
pencegahan sekunder. Pencegahan primer pada stroke meliputi upaya memperbaiki
gaya hidup dan mengatasi berbagai faktor risiko. Upaya ini ditujukan pada orang
sehat maupun kelompok risiko tinggi yang belum pernah terserang stroke.
Yang termasuk dalam cara pencegahan primer yaitu dengan memoerhatikan
pola hidup sehat yang terdiri dari : mengatur pola makan yang sehat, melakukan olah
raga teratur, menghentikan rokok, menghindari minum alkohol dan penyalah gunaan
obat, memelihara berat badan layak, konsultasi bila ingin memakai kontrasepsi oral,
menghindari stress dan istirahat cukup serta pemakaina antiplatelet (aspirin) pada
wanita dengan risiko tinggi.
Pencegahan sekunder dilakukan untuk terulangnya stroke, dengan cara
pengendalian faktor risiko ang dibagi dua, yaitu faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi dan pengendalian faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko
yang tidak dapat dimodifikasi adalah faktor risiko yang tidak dapat diubah dan
umumnya dapat dipakai sebagai petanda (marker) stroke pada seseorang. Faktor ini
termasuk usia, gender dan riwayat TIA atau stroke di keluarga. Faktor risiko yang
dapat dimodifikasi antara lain adalah hipetensi, kelainan jantung, diabetes melitus,
riwayat pernah kena serangan TIA atau stroke, dislipidemia serta faktor risiko lainnya
yaitu : diseksi arteri, patent foramen ovale, hiperhomosistein, kondisi hiperkoagulasi,
inherited trombophilia, antiphospholipid antibodi sindrom, sickle cell disease, serebral
venous sinus trombosis, stenosis karotis, kehamilan.
93
Tahun 1980, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization)
membuat definisi impairment, disability dan handicap Konsep dasar yang dipakai
adalah suatu kenyataan bahwa perjalanan semua penyakit terdiri dari empat tingkatan,
yaitu: 1) patologi, 2) impairment (gangguan), 3) disability (keterbatasan), dan 4)
handicap (ketunaan). Dalam prakteknya, seluruh tingkatan ini merupakan suatu
kontinum dengan banyak daerah yang bersinggungan (overlapping) antara satu
dengan lainnya.
Impairment adalah kehilangan atau abnormalitas fungsi atau struktur
psikologis, fisiologis dan anatomi. Pada stroke, gangguan ini dapat diukur dengan
mempergunakan NIHSS. Disability adalah hambatan atau ketidakmampuan akibat
impairment untuk melakukan suatu aktivitas dalam rentang waktu tertentu yang
biasanya waktu itu sudah cukup bagi orang normal untuk melakukan aktivitas
tersebut. Pengukuran ketidak- mampuan ini mempergunakan alat ukur Indeks Barthel.
Dan untuk pengukuran yang lebih global dapat dipergunakan Skala Rankin yang
dimodifikasi.
Handicap adalah kerugian (disadvantage) pada seseorang yang timbul akibat
impairment atau disability sehingga seseorang tersebut menjadi terbatas dalam
melakukan suatu peran normal dan hal ini tergantung usia, jenis kelamin, faktor sosial
dan budaya.
94
1a. Derajat kesadaran
0 = sadar penuh
1 = somnolen
2 = stupor
3 = koma
1b. Menjawab pertanyaan
0 = dapat menjawab dua pertanyaan dengan benar (misal: bulan apa sekarang
dan usia pasien)
1 = hanya dapat menjawab satu pertanyaan dengan benar / tidak dapat
berbicara karena terpasang pipa endotrakea atau disartria
2 = tidak dapat menjawab kedua pertanyaan dengan benar / afasia / stupor
1c. Mengikuti perintah
0 = dapat melakukan dua perintah dengan benar (misal: buka dan tutup mata,
kepal
dan buka tangan pada sisi yang sehat)
1 = hanya dapat melakukan satu perintah dengan benar
2 = tidak dapat melakukan kedua perintah dengan benar
2. Gerakan mata konyugat horizontal
0 = normal
1 = gerakan abnormal hanya pada satu mata
2 = deviasi konyugat yang kuat atau paresis konyugat total pada kedua mata
3. Lapang pandang pada tes konfrontasi
0 = tidak ada gangguan
1 = kuandranopia
2 = hemianopia total
3 = hemianopia bilateral / buta kortikal
4. Paresis wajah
0 = normal
1 = paresis ringan
2 = paresis parsial
3 = paresis total
5. Motorik lengan kanan
0 = tidak ada simpangan bila pasien disuruh mengangkat kedua lengannya selama
10 detik
1 = lengan menyimpang ke bawah sebelum 10 detik
2 = lengan terjatuh ke kasur atau badan atau tidak dapat diluruskan secara penuh
3 = tidak dapat melawan gravitasi
4 = tidak ada gerakan
X = tidak dapat diperiksa
95
6. Motorik lengan kiri (idem 5)
7. Motorik tungkai kanan (idem 5, lengan diganti tungkai, dan diangkat
bergantian)
8. Motorik tungkai kiri (idem 7)
9. Ataksia anggota badan
0 = tidak ada
1 = pada satu ekstremitas
2 = pada dua atau lebih ekstremitas
X = tidak dapat diperiksa
10. Sensorik
0 = normal
1 = defisit parsial yaitu merasa tetapi berkurang
2 = defisit berat yaitu jika pasien tidak merasa atau terdapat gangguan bilateral
11. Bahasa terbaik
0 = tidak ada afasia
1 = afasia ringan – sedang
2 = afasia berat
3 = tidak dapat bicara (bisu) / global afasia / koma
12. Disartria
0 = artikulasi normal
1 = disartria ringan – sedang
2 = disartria berat
X = tidak dapat diperiksa
13. Neglect / Tidak Ada Atensi
0 = tidak ada
1 = parsial
2 = total
Nilai NIHSS berkisar antara 0 – 42
Penilaiannya adalah sebagai berikut :
Nilai < 4 : Stroke Ringan
Nilai antara 4 – 15 : Sedang
Nilai > 15 : Berat
96
dipelajarinya dan skor yang dipakai sederhana, tingkat reliabilitinya tinggi diantara
para pengguna skor.
Kelemahannya kurang baik untuk stroke karena gangguan sirkulasi posterior, oleh
karena didalam skoring terdapat penilaian kemampuan berbahasa dan untuk gangguan
di batang otak, nilai yang diperoleh tidak sesuai antara luasnya kerusakan patologis
dengan beratnya gejala dan tanda defisit neurologis yang ditimbulkannya.
Berdasarkan penelitian, terdapat korelasi antara nilai NIHSS masuk dengan kondisi
saat keluar, yaitu :
INDEKS BARTHEL
Indeks Barthel diperkenalkan oleh Mahoney dan Barthel tahun 1965 untuk
memeriksa status fungsional dan kemampuan pergerakan otot/ekstremitas pada pasien
penderita penyakit kronik di rumah sakit Maryland. Wade tahun 1992,
mempergunakan indeks barthel ini untuk mengevaluasi keterbatasan/ketidakmampuan
melakukan aktivitas tertentu saat pasien akan keluar dari rumah sakit. Indeks ini
direkomendasikan sebagai salah satu instrumen yang sering dipakai untuk menilai
keterbatasan kegiatan keseharian kehidupan.
Keunggulan indeks barthel ini mempunyai reliabilitas dan validitas yang
tinggi, mudah dan cukup sensitif untuk mengukur perubahan fungsi serta keberhasilan
rehabilitasi. Kelemahannya, indeks ini tidak merupakan skala ordinat dan tiap
penilaiannya tidak menunjukkan berat atau ringannya fungsi kehidupan
keseharariannya.
Ada dua versi, yaitu versi Wade dan Collin (1988) memuat 10 penilaian
dengan total nilai antara 0 (total ketergantungan) sampai 100 (normal) dan versi
Granger, 1982 memuat 15 penilaian dengan nilai antara 0 – 100. Yang banyak dipakai
karena cukup sederhana adalah versi Wade dan Collin.
Penilaian Barthel meliputi hal hal aktivitas dasar perorangan dalam kehidupan
sehari-hari, yaitu:
97
5 kadang kala bermasalah (occasional accidents) atau selalu membutuhkan
obat pencahar
0 penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain (inferior performance)
2. Buang Air Kecil (bladder control)
10 tidak bermasalah (no accidents). Dapat membersihkan alat bantu bila
diperlukan secara mandiri.
5 kadang bermasalah (occasional accidents) atau membutuhkan bantuan
orang lain untuk membersihkan alat bantu
0 penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain (inferior performance)
98
0 penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain (inferior performance)
8. Berpakaian (dressing)
10 mandiri. Seperti mengikat tali sepatu, mengancingkan baju
5 butuh bantuan, tetapi tidak semuanya, dan dikerjakan dengan pelan pelan
0 penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain (inferior performance)
9. Naik tangga (stair climbing)
10 mandiri. Kadang perlu bantuan alat (misalnya tongkat)
5 perlu bantuan atau pengawasan (ada yang menemani)
0 penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain (inferior performance)
10. Mandi (bathing)
5 mandiri tanpa bantuan
0 penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain (inferior performance)
Total nilai 0 - 100
99
kebutuhan aktivitas hariannya, tetapi mampu menolong diri
sendiri tanpa banyak dibantu (Slight disability; unable to carry
out some previous activities, but able to look after own affairs
without much asisstance)
Catatan:
Tidak mampu untuk kembali bekerja ditempat kerja semula,
tidak mampu melakukan pekerjaan rumah tangga, tetapi masih
mampu melakukan aktivitas untuk dirinya sendiri tanpa bantuan
atau pengawasan orang lain.
Grade 3 Disabiliti sedang, membutuhkan bantuan orang lain untuk semua
aktivitasnya tetapi masih mampu berjalan tanpa pendamping
(Moderate disability; requiring some help, but able to walk
without assistance).
Catatan:
Butuh teman waktu melakukan aktivitas harian, butuh bantuan
untuk hal yang detail saat berpakaian atau membersihkan diri,
tidak mampu untuk membaca atau berkomunikasi dengan jelas.
Grade 4 Disabiliti sedang berat, tidak mampu berjalan dan tidak mampu
melakukan aktivitas harian untuk kebutuhan dasar kehidupannya
tanpa bantuan orang lain (Moderately-Severe disability; unable
to walk without assistance and unable to attend to own bodily
needs without assistance)
Catatan:
Butuh teman 24 jam dan butuh bantuan orang lain (tingkat
sedang sampai maksimal) untuk menunjang aktivitas dasar
kehidupan hariannya, tetapi masih mampu melakukan aktivitas
untuk dirinya sendiri secara terbatas atau dengan dibantu oleh
orang lain tetapi minimal.
Grade 5 Disabiliti berat, tidak ada aktivitas, hanya ditempat tidur,
mengompol, dan membutuhkan perhatian dan perawatan teratur
(Severe disability; bedridden, incontinent and
requiring constant nursing care and attention)
100
KEPUSTAKAAN
1. Gudelines Nasional Stroke, PERDOSSI, 2007
2. Adams and Victors. Principles of Neurology. 8th ed, Mc Graw Hill, 2005
Bennett HJM, Stein BM. Stroke. Pathophysiology, Diagnosis and Management. 2nd ed,
Churchill Livingstone, 1991
3. Fisher M, Bogousslausky J. Current Review of Cerebrovascular Disease.3 rd ed, Butterworth
Heinemann, 1999.
4. Perkin GD. Mosby’s Color Atlas and Text of Neurology 2nd ed, Elsevier Limited 2004
5. McCartney RVT et al. Handbook of Transcranial Doppler, Spinger, 1997
6. Aaslid R. Transcranial Doppler Sonography. Spinger-Verlag, New York, 1986
7. Broderick JP, Brott T. Tomsick T, Huster G, Miller R: The Risk of Subarachnoid and
Intracerebral Hemorahages in Blacks as Compared With Whites. NEJM 26: 733-
736,1992.
8. Catching TT, Prough DS, Kelly DL et al. Symptoms of Clinically silent intracranial
mass lesions trecipitated by Treatment with nifedipiny. Surg Neurol 1985 ; 24 : 151-
152.
9. Cook AW, Plaut M, Brawder J. Spontaneous Intracerebral Hemmorrhage : faktors
related to surgical result Arch Neurol 1965 ; 13 : 25-29.
10. Cuatico W, Adib S, Gaston P. Spontaneous Intracerebral Hematomas : a surgical
appraisal. J Neurosurg 1965 ; 22 : 569-575.
11. Cumings JL, Trimble MR. Neuropsychiatry and Behavioral Neurology. American
Pshychiatric press, Inc , 1995.
12. Foulkes MA, Wolf PA, Price TR, et al. The Stroke Data Bank : design, methods and
Baseline characteristics. Stroke 1988 : 547-554.
13. Juvela S, Heiskanen O, Poranen A, et al. The Treatment of spontaneous intracerebral
hemorrhage : a prospective randomized trial of surgical and conservative treatment. J
Neurosurg 1989 : 70 : 755-758.
14. Kase C.S : Management of Intra Cerebral Hemmorrhage : American Academy of
Neurology Course 343 : 21-28, 1995.
15. Kase C.S : Non-Hypertensive Mechanisms of Parenchymatous Hemmorrhage. American
Academy of Neurology Course 202 : 39-47.
16. Kse C.S, Williams JP, Wytt DA, et al. Lobar intracerebral hematomas : clinical an CT
analysis of 22 cases. Neurologi 1982 : 32 : 1146-1150.
17. Letkowitzt. D : Intra Cerebral hemorrhage in Young Adults : American Academy of
Neurology Course 420 : 47-65, 1995.
18. Mckissock W, Richardson A, Taylor J. Primary Intracerebral Hemmorrhage : a controlled
trial of surgical and ceonservative treatment in 180 unselected cases. Lancent 1961 : 2 :
221-226.
19. Mohr JP, Caplan LR, Melski JW, et al. The Harvard Cooperative Stroke Registry : a
prospective registry. Neurologi 1978 : 28 :7540762.
20. Paillas JE, Alliez B. Surgical Treatment of Spontaneous intracerebral hemorrhage :
immediate and longterm result in 250 cases. J Neurosurg 1973 : 39 : 145-151.
21. Poungvarin N, Bhoopat W, Viriyavejakul A, et al. Effects of Dexamethasone in primary
supratentorial intracerebral hemorrhage. N Engl J Med 1987 : 316 : 1229-1233.
22. Ropper A H : EMERGENCY Management of Intra Cerebral Hemmorrhage
(ICH)American academy of Neurology Course 209 : 79-93 : 1988.
23. Setyonegoro RK dkk. Quick Reference for Diagnosis in Psyshiatry. The Darmawangsa
Mental Health Foundation, Jakarta dan The Roche Asian Foundation Hongkong, 1989.
24. Toffol GJ, Biller J. Adams HP: Non-Traumatic intracerebral hemorrhage young Adults.
Arch neurol 44 : 483-485, 1987.
25. Volpin L, Cervelline P, Colombo F, et al. Spontaneous intracerebral hematomas : a new
proposal about the usefulness and limits of surgical treatment, Nurosurgery 1984. 15 :
663-666.
101
26. Waga S,Yamamoto Y. Hypertensive putaminal hemorrhage : treatment and results : is
surgical treatment superior to conservative one? Stroke 1983 : 14 : 480-485.
27. Warlow CP et al. Stroke Apractical guide to management. Blackwell Science Ltd, 1996.
28. Neurology 51 (Supp.-3, Supp, 69-1998).
29. Misbach, ASNA Cooperatif Stroke Epidemiologik Study, 1998.
30. Kaufman et al, 1991 : Enprinsiples of Neurosurgery (RG Grossmann ed.) pp. 66, New
York Rowan.
31. Broderick Yp, Brott TG, Tomsich T, Barsant W, N. Spilker Y (1990) Ultra Early
Evaluation of Intraserebral Hemoragik Y Neurosurgery 1972, 1995-1999.
32. Fayad BF, N Awad IA : Surgery for Intraserebral Hemorragik Neurology 1951 (Sup. 3 s.
69, 1998).
33. Thompson D.W. and Furlan A.J. : Clinical Epidemiology of Stroke. In Neural. Clin. (ed.
Riggs J.E) Vol.14, No.2 W.B. Saunders Company, 309-316,1996.
34. Sacco R.L., Ellamberg JA, Mohr J.P. et al : Infarction of indetermined cause. The
NINCDS Stroke Date Bank. Ann. Neurol.25 : 382-390,1989.
35. Misbach J. : Pattern of Hospitalized Stroke Patients in ASEAN Countries: An Asna
Stroke Epidemiological Study (In Press).
36. Misbach J., Ali W: Stroke in Indonesia : A first large prospective hospital-based study of
acute stroke in 28 hospital in Indonesia (In Press).
37. Caplan, LR: Brain Embolisis-Revisited. Neurology 43, 1281-1287, 1993.
38. Castillo, V and Bougausslausky YJ: Brain Embolism in picture on cerebrovascular
diseases (ed) Welch, KMA, Caplan L.R., REIS D.J., SIESJO B.K., WEIR, B ) Academic
press 286-288 (1997).
39. Atrial Fibrilation Invertigation. Risk faktors for stroke and efficacy of antithrombotic
therapy in atrial fibrillation Arch. Intern. Med 104: 1449 – 1457 (1994).
40. Stroke prevention in atrial fibrilliation investigators: Predictors of thromboembolism in
atrial fibrilliation: II Echocardiographi features of patients at risk. Ann. In Press Med.
126: 6 – 12 (1992).
41. Bamford J. Clinical examination in diagnosis and sub classification of Stroke. Lancent
339 : 400 – 2 (1992).
42. Misbach J. Pemeriksaan Trans Esophageal Echocardigrafi pada penderita Stroke iskemik
(In Press).
43. Warlow C.P, Dennis M.S, Van Gijn Hankey G.J, Sandercock P.A.G, Banford J.M,
Warlow J. Stroke : A practical guide to management Blackwell Science, 1996.
44. Sherman D.G and Lalonde D. Anticoagulants in stroke treatment. In Primer on
Cerebrovasculer Disease. (ed. Welch KMA, Caplan L.R, Reis D.J, Sjieso B.K, Weir B.J.)
Academy Press, 716- 728 (1997).
102