Adapun jenis pemberhentian aset tetap ada dua, yaitu sebagai berikut
a. Pemberhentian Aset Tetap Setelah Habis Masa Ekonomisnya Pada saat aset
tetap tidak lagi digunakan oleh perusahaan dan tidak memiliki nilai residu atau nilai
pasarnya maka aset tersebut akan diberhentikan. Misalnya, diketahui bahwa peralatan
perusahaan yang diperoleh sebesar Rp25.000.000,00 telah habis disusutkan per 31
Desember pada akhir tahun fiskal sebelumnya. Ayat jurnal unuk mencatat peralatan yang
dihentikan pada tanggal 19 Februari adalah sebagai berikut.
b. Pemberhentian Aset Tetap Sebelum Habis Masa Ekonomisnya Jika aset belum
habis disusutkan, penyusutan harus dicatat sebelum pemindahan aset tersebut dari
penyediaan jasa dan dari catatan akuntansi. Misalnya, diketahui bahwa peralatan bernilai
Rp6.000.000,00 dan tanpa nilai residu disusutkan dengan tingkat penyusutan garis lurus
sebesar 10%. Kemudian, pada tanggal 31 Desember tahun fiskal sebelumnya, saldo
akumulasi penyusutan setelah ayat jurnal penyesuaian sebesar Rp4.750.000,00. Dari hal
tersebut, aset tetap dipindahkan dari penyediaan jasa pada tanggal 12 Maret. Ayat jurnal
untuk mencatat penyusutan selama 3 bulan pada periode berjalan sebelum aset dihentikan
adalah sebagai berikut.
c. Pemberhentian Aset Tetap Akibat Adanya Kerusakan pada Aset Tetap atau
Habis Umur Ekonomisnya Peralatan yang dihentikan dicatat dengan ayat jurnal sebagai
berikut.
b. Penjualan
Jika aset tetap di dalam perusahaan sudah tidak digunakan lagi, namun masih
memiliki nilai sisa maka aset tersebut dapat dijual. Penjualan aset tetap ini dapat
menimbulkan dua kemungkinan, yaitu keuntungan jika dijual di atas nilai sisanya atau
sebaliknya akan menimbulkan kerugian apabila dijual di bawah nilai sisanya. Jika hasil
dari penjualan aset tetap dalam bentuk kas atau piutang maka untuk mencatat transaksiya
harus mengikuti urutan yang telah ada di dalam peraturan.
d. Konversi Terpaksa
Adakalanya penghentian penggunaan aset tetap terjadi karena kerusakan berat
akibat peristiwa-peristiwa seperti kebakaran, gempa bumi, banjir, atau pengapkiran.
Penghentian pemakaian yang disebabkan oleh jenis-jenis kejadian yang tidak dapat
dikendalikan seperti ini digolongkan sebagai konversi terpaksa. Beberapa dari peristiwa
ini merupakan risiko yang dapat diasuransikan dan terjadinya peristiwa tersebut
menghasilkan ganti rugi dari perusahaan asuransi. Apabila ganti rugi lebih besar daripada
nilai buku aset yang telah rusak maka keuntungan harus diakui pada saat pembukuan.
Sebaliknya, apabila ganti rugi lebih kecil daripada nilai buku, kerugian akan dicatat.
Jika kerugian tidak dapat diasuransikan atau perusahaan lalai akan asuransí
kekayaannya, maka nilai buku yang tersisa dari aset tersebut harus dicatat sebagai
kerugian. Karena kejadian-kejadian yang tidak biasa dan jarang terjadi maka keuntungan
dan kerugian yang direalisasi sering kali dicatat sebagai pos luar biasa. Jika besar
kemungkinan bahwa kejadian-kejadian yang tidak biasa itu akan berulang seperti pabrik
dibangun di daerah rendah yang sering mengalami banjir, maka keuntungan atau
kerugiannya dapat digolongkan sebagai pos biasa.
Contoh:
Misalnya, mesin yang dibeli pada tanggal 1 Juli 2018 dengan harga Rp3.200.000,00,
pada tanggal 1 Desember 2018 dijual dengan harga Rp650.000,00. Mesin tersebut ditaksir
umurnya 5 tahun dan depresiasinya dengan cara garis lurus, taksiran nilai residu Rp200.000,00.
Penjualan mesin pada tanggal 1 Desember 2018 dicatat dengan jurnal sebagai berikut.
Kas 650.000
Akumulasi depresiasi mesin 2.650.000
Mesin 3.200.000
Laba penjualan mesin 100.000
Perhitungan:
Harga jual 650.000
Nilai buku mesin:
Harga perolehan 3.200.000
Akumulasi depresiasi:
2018: 11 bulan = 550.000
2019:12 bulan = 600.000
2020: 12 bulan = 600.000
2021: 12 bulan = 600.000
2022:6 bulan = 300.000 +
2.650.000 -
550.000 -
Laba penjualan aset tetap 100.000
Dari jurnal tersebut, akumulasi depresiasi mesin berubah menjadi Rp404.000.000,00. Kemudian,
dicatat dalam jurnal penjualannya sebagai berikut.
Dalam hal revaluasi aset tetap, sebenarnya perusahaan tidak mendapatkan aliran kas
masuk. Perusahaan hanya melakukan window dressing untuk pelaporan keuangannya. Bila
terdapat selisih lebih atas revaluasi, perusahaan akan dikenai PPh final sebesar 10% dan harus
dibayar pada tahun tersebut (tidak boleh dicicil dalam 5 tahun misalnya) dan tidak menghasilkan
utang pajak tangguhan yang bisa dibalik di tahun berikutnya bila nilai aset turun.
Jika perusahaan memutuskan memakai model revaluasi dan setiap tahun harga asetnya
meningkat maka setiap tahun perusahaan harus membayar pajak final. Padahal kenaikan harga
aset tersebut tidak membawa aliran kas masuk ke dalam perusahaan apalagi untuk menilai nilai
wajar aset yang tidak memiliki nilai pasar. Perusahaan membutuhkan jasa penilai (assessor)
sehingga menambah biaya yang keluar untuk menilai aset-aset tersebut dan merupakan
pemborosan bagi perusahaan.