Anda di halaman 1dari 44

KEEFEKTIFAN KONSELING KOGNITIF BEHAVIORAL DENGAN

TEKNIK RESTRUKTURISASASI KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN


EFIKASI DIRI PENGAMBILAN KEPUTUSAN KARIER SISWA

PROPOSAL TESIS
Pembimbing 1 : Dr. Triyono, M.Pd.
Pembimbing 2 : Dr. H. Adi Atmoko, M.Si.

Oleh :
Kade Sathya Gita Rismawan, NIM 150111806272

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


PASCASARJANA
PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING
Maret 2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu bidang yang paling sering mendapat perhatian, terutama dalam

beberapa tahun terakhir ini adalah pendidikan. Danim (2003:4) mengemukakan

definisi pendidikan secara umum “bahwa pendidikan merupakan proses pemanusiaan

menuju insan bernilai secara kemanusiaan”. Dalam UU SISDIKNAS No.20 tahun

2003 pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan

potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya

dan masyarakat. Menurut Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional

Indonesia) menjelaskan tentang pengertian pendidikan yaitu: Pendidikan yaitu

tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu

menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai

manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan

kebahagiaan setinggi-tingginya. Sedangkan dalam konteks pembentukan pribadi,

dalam Tirtarahardja (2005:34) “pendidikan diartikan sebagai suatu kegiatan

sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik”.

Dari beberapa pengertian pendidikan diatas tersebut maka dapat disimpulkan

bahwa Pendidikan adalah Bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh orang
dewasa kepada anak untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup

cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain.

Pendidikan sangat berpengaruh dalam perkembangan individu. Khairani

(2013:45) mengemukakan “bahwa sebab terjadinya perkembangan adalah dengan

proses belajar atau latihan”. Jadi pendidikan memiliki peran yang penting dalam

perkembang individu. Dalam pendidikan, individu diajarkan dan dilatih untuk

mencapai tugas-tugas perkembangannya. Proses pendidikan individu berlangsung

sepanjang hayat mulai sejak lahir sampai berakhirnya masa hidup individu tersebut.

Pendidikan tersebut dapat diperoleh melalui 1) pendidikan formal, 2) pendidikan

informal, dan 3) pendidikan nonformal. Dalam pendidikan formal peran penting

dipegang oleh guru. Dalam pendidikan informal peran penting dipegang oleh orang

tua. Sedangkan dalam pendidikan non formal peran penting dipegang oleh individu

itu sendiri.

Pendidikan informal atau pendidikan dalam keluarga merupakan pendidik

pertama dimana anggota keluarga berinteraksi sebagai lembaga pendidikan yang

tertua, artinya disinilah dimulai suatu proses pendidikan.  Sehingga orang tua

berperan sebagai pendidik bagi anak-anaknya. Lingkungan keluarga juga dikatakan

lingkungan pendidikan yang paling utama, karena sebagian besar kehidupan anak

berlangsung di dalam keluarga dan dasar-dasar pendidikan yang diberikan dalam

kelluarga sangat menentukan perkembangan kepribadian anak.

Pendidikan informal atau pendidikan keluarga tercermin dalam pola asuh

orang tua dalam mendidik anaknya yang terlihat dalam cara atau tipe pola asuh yang

digunakan orang tua dalam mendidik anaknya. Sehingga orang tua berperan sebagai
pendidik yang sangat penting bagi bagi anak-anaknya. Dalam sisi yang lain setiap

individu berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda-beda dan budaya yang

berbeda-beda pula. Dari latar belakang yang berbeda dan budaya yang berbeda

tersebut membentuk pola asuh orang tua yang berbeda pula.

Tipe pola asuh yang berbeda mengakibatkan juga perkembangan anak

berbeda-beda antar satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini tipe pola asuh dapat

dibedakan menjadi tiga yaitu pola asuh otoriter, pola asuh permisif dan pola asuh

demokrasi. Ketiga tipe pola asuh ini memiliki karakteristik yang berbeda beda. Pola

asuh otoriter cenderung memaksakan kehendak orang tua kepada anak tanpa tawar

menawar, pola asuh permisif cenderung kurang memperhatikan anak sedangkan pola

asuh demokrasi lebih mengutamakan kehangatan dalam hubungan anak dan orang tua

dengan menghargai keberadaan anak seutuhnya. Endra (2012) mennjelaskan pola

asuh orang tua dipengaruhi oleh sub kultur budaya. Budaya di lingkungan tempat

tinggal lingkungan keluarga menetap mempengaruhi pola asuh orang tua terhadap

anaknya. Dicontohkan juga dalam penelitian Endra (2012) bahwa banyak orang tua di

amerika serikat memperkenankan anak-anaknya untuk mempertanyakan setiap

tindakan yang di lakukan orang tuanya dan mengambil andil dalam menentukan

standar moral. Sedangkan di Mexico hal seperti ini di anggap tabu. Dijelaskan juga

dalam penelitiannya bahwa di Negara-negara bagian barat orang tua sudah lepas

tangan dari anak-anaknya ketika mereka sudah berumur 17 tahun. Orang tua di

sebagian besar Negara-negara barat mengganggap bahwa anak yang sudah berumur

lebih dari 17 tahun sudah mampu mengatur hidup sendiri dan menentukan arah

hidupnya. Jadi orang tua tidak lagi ikut campur dalam hal urusan anak. Berbeda
dengan di Indonesia, sperti yang telah dijelaskan bahwa budaya memiliki peranan

penting bagi orang tua dalam menentukan pola asuh bagi anaknya. Sebagian besar

orang tua di Indonesia masih belum melepas anak-anaknya sampai anak-anaknya

sudah menikah. Bahkan, dalam beberapa fenomena orang tua masih ikut andil dalam

urusan keluarga anaknya sudah menikah. Tentunya hal ini akan berdampak sangat

signifikan dalam perkembangan kepribadian anak.

Di bali, tempat penelitian ini dilaksanakan memiliki budaya yang dikenal

dengan istilah purusha dan pradana. Wiyana (2010) Purusa itu adalah jiwa

atau atman yang berasal dari parama atma atau Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan pradana

artinya badan raga yang menjadi wadah dari purusa. Dalam budaya bali purusa diartikan

sebagai laki-laki dan pradana sebagai perempuan. Pada masyarakat hukum adat Bali

ikatan kekeluargaannya patrilineal, yaitu berdasarkan pada garis keturunan bapak.

Hal ini membawa konsekwensi adanya peranan yang sangat penting bagi anak laki-

laki sebagai penerus keturunan bagi keluarganya, sedangkan tidak demikian halnya

dengan anak perempuan. Anak laki-laki sebagai penerus keturunan, mempunyai

kewajiban bertanggungjawab terhadap pemujaan leluhurnya, oleh karena itu ia

berhak terhadap harta warisan orang tuanya Sedangkan keturunan yang

berstatus pradana (anak perempuan, anak yang diangkat anak oleh orang lain, anak

laki-laki yang kawin nyeburin) dianggap meninggalkan tanggungjawab keluarga

(ninggal kedaton), sehingga kehilangan haknya (swadikara) sebagai ahli waris. Hal

ini mengakibatkan pola asuh yng berbeda pula terhadap perbedaan gender yang ada

di bali.
Lain lagi halnya dengan adat istiadat yang ada di kabupaten tabanan, bali. Di

kabupaten ini ada budaya yang bernama nyentana. Nyentana berasal dari kata sentana

yang berarti pewaris. Ten haar (dalam rihi, 2006) dalm penelitiannya tentyang

pengangkatan anak di bali menjelaskan nyentana adalah mengangkat anak dari

keluarga lain baik dengan cara pernikahan atau mengangkat anak seperti bagaimana

lazimnya dengan tujuan menjadikan anak tersebut sebagai pewaris. Di kabupaten

tabanan, nyentana dilakukan karena tidak adanya keturunan laki-laki di dalam sebuah

keluarga. Budaya nyentana ini akan membalikan peran purusa dan pradana antara

laki-laki dan perempuan, dimana perempuan berposisi sebagai purusa dan yang laki-

laki (sentana) berposisi sebagai pradana. Maka begitupun juga perannya di dalam

keluarga bahwa yang menjadi penanggung jawab penuh adalah si perempun bukan si

laki-laki.

Pengembanan tanggung jawab dan harapan di masa depan bagi anak dari

orang tua berdampak pada perbedaan karakteristik pola asuh yang diterapkan oleh

orang tua terhadap anak-anaknya. Hal ini mengacu pada budaya dan adat istiadat

yang dipaparkan diatas. Dengan perbedaan karakteristik tipe pola asuh tersebut

tentunya menyebabkan perkembangan anak yang berbeda pula terutama pada

kepribadian anak. Dampak yang ditimbulkan berupa dampak yang positif dan

dampak yang negatif. Gunarsa (2000:45) menyebutkan bahwa permasalahan yang

dialami individu harus ditanggulangi agar pribadi tersebut dapat masuk ke tahap

perkembangan selanjutnya. Oleh karena hal tersebut maka diperlukan pola asuh orang

tua yang baik agar perkembangan anak khususnya kepribadian menuju kearah yang

sehat dan positif.


Elizabeth (dalam Suarni, 2011:173) mengemukakan “bahwa salah satu ciri

kepribadian yang sehat adalah memiliki kemandirian, yaitu memiliki sifat mandiri

dalam cara berfikir dan bertindak, mampu mengambil keputusan, mengarahkan dan

mengembangkan diri sesuai dengan norma yang berlaku dilingkungannya”. Khairani

(2013:67) mengemukakan “bahwa salah satu tugas perkembangan pada masa remaja

adalah mengembangkan kemampuan berdiri sendiri baik secara emosional maupun

ekonomi”. Dari hal tersebut maka setiap individu dituntut untuk memiliki

kemandirian untuk memenuhi tugas perkembangannya. Tentunya dalam

mengembangkan kemandirian bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan bagi para

orang tua. Kemandirian individu tidak dapat ditumbuhkan secara instan. Kemandirian

diperoleh secara kumulatif selama perkembangan, dimana individu akan terus belajar

untuk bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi lingkungan, sehingga

pada akhirnya akan mampu berpikir dan bertindak sendiri dengan kemandiriannya.

Akan tetapi pada kenyataanya masih banyak ditemui siswa yang menunjukan

ketidakmandirian. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rismawan

(2014) bahwa kekurang mandirian siswa diakibatkan oleh banyak faktor diantaranya

perhatian orang tua yang kurang, pola asuh yang cenderung memanjakan anak, sikap

orang tua yang terlalu mengatur aktivitas anak itu sendiri, kebiasaan yang sudah

sering dilakukan, dan lingkungan tempat siswa berada. Hal ini mengakibatkan pada

situasi-situasi tertentu mereka cenderung bergantung pada orang lain dan orang tua.

Masalah yang sering ditemui yaitu tidak bisa bangun pagi tanpa dibangunkan oleh

orang tua sehingga mengakibatkan terlambat datang kesekolah, tidak mau

mengerjakan tugas sendiri, mengerjakan PR disekolah, tidak membawa atribut


sekolah, dan melakukan segala sesuatunya harus selalu diingatkan sehingga

menimbulkan permasalahan bagi siswa.

Sehubungan dengan adanya fenomena seperti yang telah dipaprkan diatas,

peneliti tertarik utnuk meneliti tentang pola asuh orang tua sebagai pembentuk

kemandirian anak dalam perspektif budaya bali.

B. Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini peneliti mengambil rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pola asuh yang diterapkan oleh orang tua dalam membentuk

kemandirian anak?

2. Bagaimana pandangan orang tua di bali dalam menetapkan pola asuh dalam

perspektif budaya bali?

C. Landasan Teori

Untuk memperkuat masalah yang akan di teliti maka penulis mengadakan

tela’ah pustaka dengan cara mencari dan menemukan teori-teori yang akan di jadikan

landasan penelitian, yaitu

1. Kemandirian

a) Pengertian Kemandirian

Kemandirian merupakan isu psikososial yang muncul secara terus menerus

dalam seluruh siklus kehidupan individu (Steinberg, 2002). Isu ini muncul di setiap

situasi yang menuntut individu untuk mengandalkan dan bergantung kepada dirinya

sendiri, seperti di saat baru memasuki perguruan tinggi di luar kota, diterima bekerja
di suatu perusahaan, memiliki pasangan, ataupun sedang memiliki masalah dengan

teman. Kemandirian yang dimiliki individu akan membantunya siap menghadapi

setiap situasi dan persoalan yang ada. Kemandirian merupakan kemampuan untuk

melakukan dan mempertanggungjawabkan tindakan yang dilakukannya serta untuk

menjalin hubungan yang suportif dengan orang lain (Steinberg, 2002).

Menurut Shaffer (2002), kemandirian sebagai kemampuan untuk membuat

keputusan dan menjadikan dirinya sumber kekuatan emosi diri sehingga tidak

bergantung kepada orang lain. Beberapa ahli menyatakan bahwa untuk mencapai

kemandirian berarti membebaskan diri dari ikatan orang tua agar dapat

mengembangkan identitas dirinya. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat

disimpulkan bahwa kemandirian adalah kemampuan untuk bertindak berdasarkan

pertimbangan sendiri dan untuk bertanggung jawab atas tindakan tersebut ,

kemampuan untuk membuat keputusan dan mengatur hidupnya sendiri tanpa

ketergantungan berlebihan dengan orang tua, serta kemampuan untuk tetap menjaga

hubungan yang suportif dengan orang lain.

b) Periode Pembentukan Kemandirian

Kemandirian tidak dapat selesai pada satu tahap kehidupan, melainkan akan

terus menerus berkembang di dalam setiap tahap perkembangan individu. Menurut

teori perkembangan psikososial Erikson (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2008),

kemandirian mulai terlihat pada anak usia 18 bulan hingga 3 tahun (toddler). Pada

masa ini, seorang anak mulai mengembangkan kontrol diri terhadap

pengaturanpengaturan atau pembatasan-pembatasan eksternal (misalnya, orang tua


dan lingkungan sosial). Ia mulai melakukan sesuatu yang diinginkannya dan

mengatakan tidak atas apa yang tidak diinginkannya.

Kemandirian kembali menjadi perhatian utama di masa remaja dimana pada

masa ini terjadi perubahan sosial, fisik, dan kognitif dalam diri remaja (Santrock,

2008). Jika pada masa toddler kemandirian seorang anak lebih menekankan segi

tingkah lakunya, kemandirian di masa remaja sudah melibatkan kognisi yang dapat

dijadikan sebagai pondasi berpikir mengenai masalah sosial, moral, dan etika. Dalam

teori tahap perkembangan kognitif Piaget, remaja berada dalam tahap formal

operational, yang diawali diantara usia 11 hingga 15 tahun dan baru didapatkan

dengan baik diantara usia 15 hingga 20 tahun (Santrock, 2008). Kemampuan berpikir

remaja menjadi lebih abstrak, idealis, dan logis. Remaja sudah mampu membedakan

dan mendiskusikan hal-hal yang bersifat abstrak, seperti cinta, keadilan, dan

kebebasan (Papalia, Olds & Feldman, 2008).

Peningkatan kemampuannya dalam berpikir abstrak membuatnya mampu

melihat perspektif orang lain, mampu menalar dengan lebih baik, dan mampu melihat

konsekuensi setiap alternatif tindakan sehingga mereka mampu menimbang opini dan

saran orang lain dengan lebih efektif serta dapat membuat keputusan mereka sendiri

(Steinberg, 2002). Remaja mengembangkan identitas diri dimana ia mulai menyadari

bahwa mereka memiliki kekuatan untuk mengatur hidupnya sendiri dan merasakan

kebutuhan untuk mendefinisikan dirinya dan tujuan-tujuannya. Namun keinginannya

tersebut tidak dapat terjadi secara konsisten dalam segala segi kehidupannya.

Hurlock (dalam Santrock, 2008) mengatakan bahwa banyak remaja ingin

mandiri, namun mereka juga ingin dan butuh rasa aman yang diperolehnya dari
ketergantungan emosi kepada orang tua atau orang dewasa lain. Remaja masih

memerlukan bimbingan dan dukungan orang tua dalam memutuskan rencana masa

depan dan hal-hal penting dalam kehidupannya. Remaja juga biasanya masih

membutuhkan bantuan dalam segi ekonomi dari orang tua. Hal–hal tersebut membuat

remaja tidak dapat bebas sepenuhnya dari orang tua. Ia masih dituntut untuk tetap

menaati aturan dan permintaan orang tua. Keinginan remaja untuk mengatur

hidupnya sendiri berbenturan dengan rasa tanggung jawab orang tua untuk

memperhatikan perkembangan anak-anaknya. Konflik yang terjadi merupakan hal

yang biasa mewarnai kehidupan ketika anak masih remaja (Santrock, 2008).

c) Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemandirian

Asrori (2007:137-138) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi

kemandirian terdiri dari empat yaitu:

a) Gen atau keturunan orang tua.

Orang tua yang memiliki sifat kemandirian yang tinggi sering kali menurunkan

anak yang memiliki kemandirian juga. Namun , factor keturunan ini masih menjadi

perdebatan karena ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya bukan sifat

kemandirian orang tuanya itu menurun kepada anaknya melainkan sifat orang

tuangnyaitu muncul dalam cara-cara orang tua mendidik anaknya

b) Pola asuh orang tua

Cara-cara orang tua mengasuh atau mendidik anak akan mempengaruhi

perkembangan kemandirian anak remajanya. Orang tua yang terlalu banyak melarang

atau mengeluarkan kata “jangan” kepada anak tanpa disertai dengan penjelasan yann

rasional akan menghambat perkembangan kemandirian anak. Sebaliknya, orang tua


yang menciptakan suasana aman dalam interaksi keluarganya akan dapat mendorong

kelancaran perkembangan anak. Demikian juga, orang tua yang cenderung sering

membanding-bandingkan anak yang satu dengan lainnya juga akan berpengaruh

kurang baik terhadap perkembangan kemandirian anaknya.

c) System pendidikan di sekolah

Proses pendidikan sekolah di sekolah yang tidak mengembangkan

demokratisasi pendidika dan cenderung menekankan indoktrinasi tana argumentasi

akan menghambat perkembangan kemandirian remaja. Demikian juga, proses

pendidikan yang banyak menekankan pentingnya pemberian sanksi atau hukuman

(punishment) juga dapat menghambat perkembangan kemandirianremaja. Sebaliknya,

proses pendidikanyang lebih menekankan penghargaan terhadap potensi anak,

pemberian reward, dan penciptaan kompetisi positif akan

memperlancarperkembangan kemandirian remaja.

d) Sistem kehidupan di masyarakat

System kehidupan masyarakat yang terlalu menekankan pentingnya hirarki

struktur social, kurang terasa aman atau bahkan mencekam, dan kurang menghargai

manifestasi potensi remaja dalam kegiatan-kegiatan produktif dapat menghambat

kelancaran perkembangan kemandirian remaja. Sebaliknya, lingkungan masyarakat

yang aman, menghargai ekspresi potensi remaja dalam bentuk berbagai kegiatan, dan

tidak terlalu hirarkhis akan merangsang dan mendorong bagi perkembangan

kemandirian remaja.

Dari beberapa uraian faktor yang mempengaruhi kemandirian anak tersebut di

atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam mencapai kemandirian seseorang tidak
dapat terlepas dari faktor-faktor yang mendasari terbentuknya kemandirian itu

sendiri. Faktor-faktor ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan

yang selanjutnya akan menentukan seberapa jauh seorang individu bersikap dan

berpikir cara mandiri dalam menjalani kehidupan lebih lanjut

d) Tingkatan dan karakteristik kemandirian

Asrori (2007:133) mengemukakan “Kemandirian sebagai suatu dimensi yang

kompleks, dalam perkembangannya memiliki tingkatan-tingkatan”. Perkembangan

kemandirian seseorangjuga berlangsung secara bertahap sesuai dengan tingkatan

perkembangan kemandirian tersebut.

Lovinger (dalam Asrori, 2007:133-135) mengemukakan tingkatan

kemandirian beserta ciri-cirinya sebagai berikut:

1. Tingkatan pertama, adalah tingkatan implusif dan melindungi diri

Ciri-ciri tingkatan ini adalah:

a. Peduli terhadap control dan keuntungan yang dapat diperoleh dari

interaksinya dengan orang lain

b. Mengikuti aturan secara opurtunistik dan hedonistic

c. Berpikir tidak logis dan tertegun pada cara berpikir tertentu (stereotype)

d. Cenderung melihat kehidupan sebagai “zero-sum game”

e. Cenderung menyalahkan dan mencela orang lain serta lingkungannya.

2. Tingkatan kedua, adalah tingkatan konfronistik

Ciri-ciri tingkatan ini adalah:

a. Peduli terhadap penampilan diri dan penerimaan soial.

b. Cenderung berpikir stereotype dan klise


c. Peduli akan konfromitas terhadap aturan eksternal.

d. Bertindak dengan motif yang dangkal untuk memperoleh pujian.

e. Menyamakan diri dalam ekspresi, emosi dan kurangnya intospeksi.

f. Perbedaan kelompok didasarkan atas ciri-ciri eksternal.

g. Takut tidak diterima kelompok.

h. Tidak sinsitif terhadap keindividuan.

i. Merasa berdosa jika melanggar aturan.

3. Tingkatan ketiga, adalah tingkatan sadar diri

Ciri-ciri tingkatan ini adalah:

a. Mampu berpikir alternative.

b. Melihat harapan dan berbagai kemungkinan dalam situasi.

c. Menekankan pada pentingnya pemecahan masalah.

d. Memikirkan cara hidup.

e. Penyesuaian terhadap situasi dan peranan.

4. Tingkatan keempat, adalah tingkatan seksama (conscientious)

Ciri-ciritingkatan ini adalah:

a. Betindak atas dasar nilai-nilai internal.

b. Mampu menilai diri sebagai pembuat pilihan dan pelaku tindakan.

c. Mampu melihat keragaman emosi, motif dan perspektif diri sendiri maupun

orang lain.

d. Sadar akan tanggungjawab.

e. Mampu melakukan kritik dan penilaian diri.

f. Peduli akan hubungan mutualistic.


g. Memiliki tujuan jangka panjang.

h. Cenderung melihat peristiwa dalam konteks social.

i. Berpikir lebih kompleks dan atas dasar pola analitis.

5. Tingkatan kelima, adalah tingkatan individualistik

Ciri-ciri tingkatan ini adalah adalah:

a. Peningkatan kesadaran individualitas.

b. Kesadaran akan konflik emosional antara kemandirian dengan ketergantingan.

c. Menjadi lebih toleran terhadap diri sendiri dan oranglain.

d. Mengenal eksitensi perbedaan individual.

e. Mampu bersikap toleran terhadap pertentangan dalam kehidupan.

f. Membedakan kehidupan internal dengan kehidupan dirinya.

g. Mengenal kompleksitas diri.

h. Peduli akan perkembangan dan masalah-masalah social.

6. Tingkatan keenam, adalah tingkatan mandiri

Ciri-ciri tingkatan ini adalah:

a. Memiliki pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan.

b. Cenderung bersikap realistik dan objektif terhadap diri sendiri maupun orang

lain.

c. Peduli terhadap faham-faham abstrak, seperti keadilan social.

d. Mampu mengintegrasikan nilai-nilai yang bertentangan.

e. Toleran terhadap ambiguitas.

f. Ada keberanian untuk menyelesaikan konflik internal.

g. Respek terhadap kemandirian orang lain.


h. Sadar dengan adanya saling ketergantungan dengan orang lain.

i. Mampu meekspresikan perasaan dengan penuh keyakinandan keceriaan.

Kemandirian tidaklah didapatkan secara instan oleh individu.Tidak satupun

individu lahir dengan sikap yang sudah mandiri.Kemandirian terbentuk bertahap

sesuai dengan tahapan perkembangannya.

e) Aspek-aspek dan Indikator Kemandirian

a) Mempunyai inisiatif

Indikator :

1) Merencanakan sesuatu dengan sendirinya

Merencanakan sesuatun dengan sendirinya adalah suatu sikap yang dimana

seseorang individu dapat berencana atau membuat suatu tindakan  atau keputusan

tanpa di perintah orang lain atau berdasarkan atas keinginannya sendiri.

2) Mengatasi masalahnya sendiri

mengatasi masalahnya seniri adalah suatu individu dapat atau mampu

mennyelesaikan segala urusan atau segala sesuatunya dengan sendirinya tanpa

bantuan dari pihak luar atau orang lain

b) Bertanggung jawab

Indikator :

1) Mengambil resiko atas keputusan yang telah diambil

Mengambil resiko atas keputusan yang telah diambil adalah mengambil resiko

atas keputusan yang telah diambil adalah suatu individu itu dapat menanggung beban

atas suatu tindakan atau perbuatan yang telah dia lakukan sendiri.

2) Melaksanakan hak dan kewajibanya sendiri


Melaksanakan hak dan kewajibanya sendiri adalah suatu sikap yang dimana

individu tersebut mampu membedakan yang mana hak dan kewajibannya yang harus

dia dahulukan atau yang dipatuhi, kemudian menjalankanya sesuai dengan hak dan

kewajibanya itu

c) Percaya diri

Indikator :

1) Melakukan sesuatu berdasarkan kemampuanya sendiri

Melakukan sesuatu berdasarkan kemampuanya sendiri dalah suatu tindakan

dimana individu tersebut dapat menjalankan atau segala urusannya dengan

kemampuan yang dia miliki tanpa ada bantuan dari orang lain

2) Merasa apa yang telah dilakukan benar

Merasa apa yang telah dilakukan benar adalah suatu sikap dimana suatu

individu tersebut mempunyai rasa percaya diri yang sangat besar pada dirinya

sehingga menganggap apa yang telah dia lakukan atau kerjakan sudah sesuai dengan

apa yang dipersepsikannya

3) Merasa teguh pendirian

Merasa teguh pendirian adalah suatu sikap dimana individu tersebut  tidak

mudah terpengaruh oleh orang lain dalam segi apapun.

2. Pola Asuh Orang Tua

a. Hakekat pola asuh orang tua

Kebahagiaan setelah pernikahan pada setiap pasangan individu adalah

kehadiran sang buah hati atau anak. Banyak dari pasangan individu yang setelah
menikah tidak memiliki anak menjadi awal dari permasalahan. Disebutkan dalam

Sawitri (2009:7) “lahirmya seorang anak dapat membuktikan tercapaiya tugas

biologis suami istri”. Artinya ketika pasangan suami istri tidak mampu memiliki anak

maka tugas biologis mereka tidak terpenuhi yang menyebabkan permasalahan timbul

sperti pertengkaran antar suami istri. Oleh karena itu anak adalah salah satu tujuan

dari suatu pernikahan.

Memiliki anak bukan berarti tujuan dari suatu pernikahan itu sudah berakhir,

Tugas berikutnya timbul yaitu merawat, membesarkan dan mendidik sang anak.tugas

ini tidaklah mudah untuk dilakukan oleh kedua orang tua terutama dalam mendidik

sang anak.

Pendidikan adalah hal yang mutlak diperlukan bagi semua individu.

Pendidikan dapat dibagi menjadi pendidikan formal, informal dan non formal.

Pendidikan pertama yang didapat oleh individu adalah pendidikan informal yang

tidak lain adalah keluarga.

Gunarsa (dalam Sawitri2009:7) mengemukakakanbahwa :

Secara rinci terdapat 5 fungsi keluarga yaitu (1) mendapatkan


keturunan dan membesarkan anak, (2) memberikan afeksi atau
kasih sayang, (3) mengembangkan kepribadian (4) mengatur
pembagian tugas, menanamkan kewajiban, hak dan tanggung
jawab, serta (5) mengajarkan dan meneruskan adat istiadat,
kebudayaan, agama, system nilaimoral kepda anak”.
Berdasarkan salah satu fungsi keluarga di atas yaitu mengembangkan

kepribadian anak,orang tua mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga,

mengajar, mendidik, serta memberi contoh bimbingan kepada anak-anak untuk

mengetahui, mengenal, mengerti, dan akhirnya dapat menerapkan tingkah laku yang

sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada dalam masyarakat


Perkembangan kepribadian anak sangat di pengaruhi oleh pola asuh dari

orang tua. Orang tua hendaknya memberikan ganjaran pada setiap perilaku anak.

Hukuman dapat dikatakan sebagai salah satu alat mendidik sang anak. Karena dalam

memberikan hukuman anak akan tau bahawa yang dilakukannya itu adalah hal yang

salah. Hukuman yang diberikan bisa berupa teguran lembut, teguran keras,

pengurangan uang jajan, larangan bermain keluar rumah. Hukuman yang diberikan

diharapkan mampu memberikan pengertian kepada anak agar tidak kembali

melakukan kesalahannya. Sebaliknya jika anak menunjukan perilaku yang positif

maka sebagai orang tua wajib memberikan reinforcement kepada anak. Dalam hal ini

anak akan merasa bahwa lebih nyaman melakukan hal positif yang mendapat

reinforcement daripada melakukan hal negatif yang menghasilkan hukuman dari

orang tua.

Setiap orang tua memiliki tipe pola asuh yang berbeda-beda.Sering terjadi

orang tua tidak memberikan hukuman kepada anak ketika anak melakukan kesalahan.

Hal ini diakibatkan rasa sayang orang tua kepada anak terlalu besar sehingga orang

tua merasa tidak tega untuk menghukum sang anak. Ini mengakibatkan anak tidak

mengetahui bahwa apa yang dilakukannya adalah hal yang salah. Sebaliknya ada juga

beberapa orang tua terlalu keras kepada anak sehingga anak menjadi penakut dan

tidak berani melakukan suatu hal yang baru.

Pola asuh orang tua merupakan bentuk interaksi antara anak dan orang tua

selama mengadakan kegiatan pengasuhan yang berarti orang tua mendidik,

membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan

sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan setempat dan


masyarakat. Darmayana (dalam Mahaputra, 2013:9) memaparkan bahwa ”pola asuh

adalah model, bentuk atau corak didikan, bimbingan, pimpinan atau perlakuan orang

tua terhadap anaknya yang dilaksanakan di dalam keluarga”.

Thoha (dalam Sawitri,2012:9) mengemukakan bahwa :

Pola asuh orang tua adalah suatu cara terbaik yangdapat ditempuh
orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa
tanggungjawab kepada anak. Peran keluarga menjadi penting untuk
mendidik anak baik dalam sudut tinjauan agama, tinjauan social,
tinjauan kemasyarakatan, maupun tijauan individu.Jika pendidikan
keluarga dapat berlangsung dengan baik maka mampu menumbuhkan
perkembangan kepribadian anakmenjadi manusia dewasa yang
memiliki sikap positif terhadap agama, kepribadian yang kuat dan
mandiri, potensi jasmani dan rohani serta inteletual yang berkembang
secara optimal.
Berperan sebagai orang tua yang baik bukanlah hal yang mudah. Ayah dan

ibu hendaknya mampu berperilaku dengan baik karena lima tahun awal

kehidupannya, anak lebih banyak berinteraksi dengan keluarga dan mudah menyerap

informasi yang dapat dilihat maupun didengarnya. Orang tua hendaknya mampu

memperlihatkan dirinya sebagai teladan atau menjadi contoh kepribadian yang hidup

atas nilai-nilai yang dijunjung tinggi. Dengan demikian remaja akan memperoleh

pelajaran yang sangat berharga dan akan belajar dari apa saja yang mereka saksikan,

alami, dan hayati dalam kehidupan sehari-hari dengan orang tuanya. Jika orang tua

menginginkan anaknya menjunjung tinggi asas demokrasi, maka orang tua

hendaknya mampu mengembangkan dan menjunjung tinggi asas demokrasi dalam

memperlakukan atau mendidik anak remajanya.

Cara yang diterapkan oleh orang tua untuk mendidik dan membimbing

anaknya dapat dilihat dari intensitas hubungan orang tua dan anak yang nantinya akan

mengarah kepada jenis-jenis pola asuh yang diterapkan dalam keluarga. Menjadi apa
anak kelak, semuanya tergantung didikan dan bimbingan orang tua.Penyesuaian

pemikiran antara orang tua dan anak remaja akan tercapai bila kedua belah pihak

berusaha mengerti persoalan masing-masing dan kesulitan-kesulitan yang ada pada

pihak lainnya. Dengan adanya pengertian akan persoalan-persoalan dan perbedaan-

perbedaan yang disertai usaha bersama dalam penyelesaiannya, maka lenyaplah

jurang pemisah antara orang tua dan anak remaja.

Dari pemaparan di atas, telah dibahas mengenai pola asuh dan terapan orang

tua dalam keluarga. Sehingga dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan pola asuh

adalahsuatu keseluruhan interaksi antara orang  tua dengan anak yang bersifat

konsisten dari waktu ke waktu, di mana orang tua bermaksud menstimulasi anaknya

dengan mengubah tingkah laku, pengetahuan serta nilai-nilai yang dianggap paling

tepat oleh orang tua, agar anak mandiri, tumbuh dan berkembang secara sehat dan

optimal.

b. Jenis-jenis pola asuh

Orang tua mempunyai berbagai macam fungsi yang salah satu diantaranya

mengasuh anak-anaknya. Dalam mengasuh anak, orang tua dipengaruhi oleh budaya

yang ada dilingkungannya. Disamping itu, orang tua diwarnai oleh sikap-sikap

tertentu dalam memelihara, membimbing, dan mengarahkan anak-anaknya. Sikap

tersebut tercermin dalam pola asuh kepada anaknya yang berbeda-beda, karena

orangtua mempunyai pola pengasuhan tertentu.

Hoffman (dalam Mahaputra 2013:12) mengemukakan tiga jenis pola asuh

orang tua yaitu ”(1) pola asuh bina kasih (induction), (2) pola asuh unjuk kuasa

(power assertion), (3) pola asuh lepas kasih (love withdrawal)”. Pola asuh bina kasih
adalah pola asuh yang diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya dengan

senantiasa memberikan penjelasan yang masuk akal terhadap setiap keputusan dan

perlakuan yang diambil bagi anaknya. Pola asuh unjuk kuasa adalah pola asuh yang

diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya dengan senantiasa memaksakan

kehendaknya untuk dipatuhi oleh anak meskipun sebenarnya anak tidak dapat

menerimanya. Pola asuh lepas kasih adalah pola asuh yang diterapkan orang tua

dalam mendidik anaknya dengan cara menarik sementara cinta kasihnya ketika anak

tidak menjalankan apa yang dikehendaki orang tuanya, tetapi ketika anak sudah mau

melaksanakan apa yang dikehendaki orang tuanya maka cinta kasihnya dikembalikan

seperti sediakala.

Baumrind (dalam Mahaputra, 2013:13) memaparkan beberapa pola asuh yang

ada dalam keluarga yaitu : (1) pola asuh otoriter (authoritarian), (2) pola asuh liberal

(permissive), dan (3) pola asuh demokrasi (authoritative).

a) Pola Asuh Otoriter (Authoritarian)

Pola asuh otoriter adalah bentuk pola asuh yang menekankan pada

pengawasan orangtua atau control penuh dari orang tua yang ditujukan kepada anak

guna mendapatkan kepatuhan dan ketaatan anak. Pola asuh otoriter adalah

pengasuhan orangan tua terhadap anak yang sangat kaku, bersifat diktator, dan

memaksa anak untuk selalu mengikuti orangtua tanpa mempertimbangkan alasan dari

anak. Baumrind (dalam Santrock, 2007:167) mendefinisikan pengasuhan otoritarian

adalah“pola asuh yang membatasi dan menghuku, dimana orang tua mendesak anak

untuk mengikuti arahan mereka mengikuti apapun arahan orang tua serta mendesak

nak untuk menghormati pekerjaan dan upaya mereka”.


Pola asuh otoriter diartikan sebagai cara mendidik, membimbing dan

memimpin anaknya dengan jalan memaksakan kehendak orang tua. Hak anak untuk

berpendapat diabaikan, segala sesuatu diputuskan oleh orang tua tanpa

memperhitungkan keinginan anak. Perilaku orang tua dalam berinteraksi dengan anak

bercirikan tegas, suka menghukum, anak dipaksa untuk patuh terhadap aturan-aturan

yang diberikan oleh orangtua tanpa merasa perlu menjelaskan kepada anak apa guna

dan alasan dibalik aturan tersebut, serta cenderung mengekang keinginan anaknya.

Pola asuh otoriter berawal dari pandangan orang tua yang menganggap bahwa

penerapan disiplin yang ketat dapat membentuk anak menjadi patuh pada aturan, dan

ketika anak berhasil mematuhi peraturan ataupun perintah orang tua, anak jarang

mendapatkan penghargaan. Pada kondisi seperti ini, terlihat bahwa anak harus selalu

menjadi anak penurut untuk menyenangkan hati orang tua. Menurut Madri dan

Oka(2008:81) pola asuh otoriter dicirikan dengan,

Perilaku orang tua dalam interaksi dengan anak yaitu suka


menghukum, tidak simpatik.Orang tua memaksa anak-anaknya
untuk patuh terhadap nilai-nilai mereka serta mencoba membentuk
perilaku anak sesuai dengan pola perilaku orang tua serta cenderung
mengekang keinginan anak.Orang tua tidak mendorong anak untuk
mandiri, aktivitas anak selalu diatur orang tua.
Dampak positif dari pola asuh ini adalah anak akan belajar menjadi orang

yang patuh terhadap perintah. Namun, jika dikaji secara mendalam banyak dampak

negatif yang dapat timbul pada anak. Pada masa kanak-kanak hingga dewasa, anak

kurang memiliki inisiatif untuk melakukan sesuatu hal. Pola asuh otoriter biasanya

berdampak buruk pada anak, seperti anak merasa tidak bahagia, ketakutan, selalu

tegang, kemampuan problem solving rendah, begitu juga kemampuan komunikasinya

rendah. Kreativitas anak terbelenggu akibat adanya perasaan takut. Untuk


memutuskan hal kecil, anak sering mengalami kebimbangan dan kurang percaya diri.

Ketika anak tidak mematuhi orang tua dan melaksanakan apa yang dikehendaki oleh

dirinya terlepas apakah perbuatan tersebut baik atau buruk, orang tua tetap

menghukumnya. Dantes (dalam Mahaputra, 2013:14) “mengemukakan pemberian

hukuman yang tidak efektif akan menyebabkan anak menjadi agresif dan nakal, dan

akan menyebabkan kelainan-kelainan perilaku anak”. Hal ini mengakibatkan anak

menjadi terbiasa dengan punishment (hukuman) yang diberikan. Efek jera yang

diharapkan muncul pada perilaku anak ketika tidak mentaati peraturan orang tua,

tidak akan tercapai.

b) Pola Asuh Liberal (Permisive)

Pola asuh liberal adalah pola asuh dengan cara orang tua mendidik secara

bebas, anak dianggap orang dewasa atau muda, ia diberi kelonggaran seluas-luasnya

apa saja yang dikehendaki. Kontrol orang tua terhadap anak sangat lemah, juga tidak

memberikan bimbingan pada anaknya. Semua apa yang dilakukan anak adalah benar

dan tidak perlu mendapat teguran, arahan atau bimbingan. Madri dan Oka (2008:81)

mengemukakan “pola asuh liberal (permissive), dicirikan dengan perilaku orang tua

yang memberikan kebebasan mutlak kepada anak. Orang tua menyerahkan segala

sesuatunya kepada anak, entah dalammenentukan tujuan, langkah-langkah dari suatu

kegiatan yangakan diambil, sarana atau alat yang akan dipergunakan”. Dantes (dalam

Mahaputra 2013:14) menyatakan,

anak tidak dituntut untuk bertanggung jawab, diberikan kebebasan


untuk mengatur, tidak banyak mengobrol dan bahkan tidak
memperdulikan perilaku anak-anaknya. Sehingga menyebabkan
perilaku anak cenderung negatif. Anak tidak matang dalam
perkembangannya, penuh ketergantungan, kurang percaya diri, sulit
menghargai orang lain, emosi tidak stabil, mudah frustasi, agresif,
selalu merasa tidak puas, tidak bahagia, kurang bersahabat sehingga
kontrol sosialnya terganggu.
Pola asuh permisif biasanya memberikan pengawasan yang sangat longgar,

memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan

yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak

apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh

mereka. Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat sehingga seringkali

disukai oleh anak.

Salah satu penyebab diterapkannya pola asuhan liberal adalah karena kedua

orang tua sibuk dan tidak mampu membagi waktu. Pemberian uang dan barang-

barang kesukaan anak, merupakan pengganti yang digunakan orang tua karena tidak

memiliki cukup waktu untuk memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anak.

Tanggung jawab untuk menjaga dan mendidik anak dialihkan kepada pembantu

rumah tangga ataupun nenek dan kakeknya. Orang tua harus mampu memberikan

batasan-batasan perilaku kepada anak, sehingga mereka akan terhindar dari dampak

negatif pergaulan, perilaku sosial yang dimiliki kurang tepat, kurang mampu

menghargai orang lain, kurang memiliki sopan santun dan tata krama.

c) Pola Asuh Demokrasi (Authoritative)

Baumrind (dalam Santrock, 2007:167) mendefinisikan pola asuh ini sebagai

“pola asuh dimana orang tua mendorong anak untuk mandiri namun masih

menerapkan batas dan kendali atau aturan terhadap keputusan dan tindakan yang

diambil oleh anak”.Pola asuh secara demokratis adalah pola asuh yang

memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan


mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari

tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersifat

realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap melebihi batas kemampuan sang

anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak-anaknya dalam hal

memilih dan melakukan sesuatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat

hangat. Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang bercirikan adanya hak dan

kewajiban orang tua dan anak adalah sama dalam arti saling melengkapi, anak dilatih

untuk bertanggung jawab dan menentukan perilakunya sendiri agar dapat berdiplin.

Pola asuhan demokrasi (authoritative) adalah pola pengasuhan dimana orang tua

mendorong anak untuk mandiri, namun tetap memberikan batasan-batasan (aturan)

serta mengontrol perilaku anak.

Orang tua melatih anak untuk bertanggung jawab dan menentukan

perilakunya. Dalam mendidik anak, orang tua bertindak obyektif dan tegas, namun

masih terdapat kehangatan dan pengertian. Ketika anak melakukan kesalahan, orang

tua tidak pilih kasih dan tetap memberikan karma dari kesalahannya. Sehingga anak

dapat belajar dari kesalahannya. Orang tua dan anak akan menjadi semakin dekat.

Anak mulai mempercayai orang tuanya dan menceritakan permasalahan yang

dihadapi dan orang tua akan senantiasa membantu anak untuk menjadi lebih

bijaksana dalam menghadapi persoalan dan melatihnya untuk menjadi pribadi yang

mandiri. Dengan adanya pelatihan ini, secara tidak langsung anak mulai belajar untuk

mengungkapkan apa yang ia rasakan dan mulai belajar untuk berkomunikasi dengan

orang lain.
Sejak dini anak diajarkan demokrasi dengan cara menyampaikan pendapat

dan menghargai pendapat orang lain yang nantinya akan memudahkan perkembangan

sosial anak. Pola asuhan demokrasi (authoritative) memang paling ideal, tetapi

mungkin adakalanya orang tua tidak mampu menerapkan pola ini dengan

sepenuhnya. Terutama pada saat emosi orang tua tidak stabil. Saat mengalami emosi

negatif, orang tua cenderung bersifat otoriter terhadap anaknya atau sebaliknya saat

orang tua merasa senang karena bisnisnya berhasil orang tua cenderung bersikap agak

permissive terhadap anaknya. Orang tua harus cepat menyadari keadaan ini dan

kembali pada rambu-rambu yang telah ditetapkan.

Pola asuhan demokrasi (authoritative) tidak dapat diterapkan ketika terjadi

keadaan yang membahayakan untuk anak dan pada saat anak sakit. Syarat dalam

melaksanakan pola asuhan demokrasi adalah mengutamakan kehangatan atau kasih

sayang yang mendalam, pada saat memberlakukan batasan, orang tua harus tegas dan

tegar (konsisten) sehingga anak belajar bahwa orang tuanya tidak main-main dengan

aturan yang ditetapkan, dan orang tua tidak boleh memaksakan kehendaknya.

c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh

Dalam penelitian ini telah dipaparkan ada 3 jenis pola asuh yang digunakan

orang tua dalam mendidik anak, yaitu: autoritatif, liberal, dan demokrasi.Sanjaya

yasin (dalam Mahaputra, 2012:17-18) mengemukakan penerapan pola asuh orang tua

terhadap anak dapat di pengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

a) Kebudayaan

Faktor kebudayaan dapat mempengaruhi pola asuh yang diterapkan dalam

sebuah keluarga. Hal ini terkait dengan peranan perempuan dan laki-laki dalam suatu
masyarakat. Perempuan bertugas untuk merawat keluarganya dan pihak laki-laki akan

mencari nafkah untuk keluarganya. Sejak dahulu, seorang perempuan lebih banyak

menghabiskan waktunya di rumah. Namun, dengan adanya persamaan gender

berdampak pada banyaknya wanita yang membantu suaminya untuk mencari nafkah.

Keadaan ini dapat berdampak positif dan negatif. Dampak positif yang ditimbulkan

adalah beban suami berkurang dan perekonomian rumah tangga lebih terjamin. Dan

dampak negatif yang timbul adalah jika seorang istri sekaligus ibu tidak mampu

membagi waktu dengan baik sehingga tugas utamanya untuk mengurus rumah tangga

dan mendidik anak menjadi terbengkalai.

b) Status Sosial

Orang tua kelas menengah dan rendah, cenderung lebih keras, memaksa dan

kurang toleran, jika dibandingkan dengan mereka yang dari kalangan atas, namun

mereka lebih konsisten. Orang tua dari kelas menengah dan rendah terbiasa berjuang

keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka rela melakukan pekerjaan kasar

yang penting mendapatkan uang. Mereka tidak segan-segan memukul anak ketika

melakukan kesalahan. Karena kesulitan ekonomi, anak-anak dibiasakan untuk

membantu orang tua mencari uang dan dibiasakan untuk hidup disiplin. Bagi anak-

anak dari kalangan atas, mereka terbiasa dimanjakan oleh orang tuanya. Orang tua

memberikan apa saja yang diminta anak, sebagai kompensasi dari kurangnya waktu

antara orang tua dengan anak. Namun, tidak jarang ketika bisnis orang tua tidak

berjalan lancar anak akan mendapatkan imbasnya. Anak dimarahi tanpa sebab yang

jelas.

c) Warisan Pola Asuh dari Generasi Sebelumnya


Pola asuh yang diterapkan orang tua cenderung merupakan warisan dari

generasi sebelumnya. Bagaimana orang tua dididik ketika masa kecil akan ia ingat

dan diterapkan ketika mereka memiliki anak. Mereka cenderung mengambil hal-hal

positif dan menerapkannya pada anak. Hal ini akan diperkuat ketika mereka menjadi

orang sukses, dan menganggap kesuksesan itu merupakan hasil didikan orang tuanya.

d. Syarat Pola Asuh Efektif

Menurut Sanjaya Yasin (dalam Mahaputra 2012:18-20) Pola asuh yang efektif

itu bisa dilihat dari hasilnya anak jadi mampu memahami aturan-aturan di

masyarakat, syarat paling utama pola asuh yang efektif adalah landasan cinta dan

kasih sayang.

Berikut hal-hal yang dilakukan orang tua demi menuju pola asuh efektif :

a) Pola asuh harus dinamis

Pola asuh harus sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan dan

perkembangan anak. Sebagai contoh,  penerapan pola asuh untuk anak balita tentu

berbeda dari pola asuh untuk anak usia sekolah. Pasalnya,kemampuan berfikir balita

masih sederhana. Jadi pola asuh harus disertai komunikasi yag tidak bertele-tele dan

bahasa yang mudah dimengerti.

b) Pola asuh harus sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anak

Ini perlu dilakukan karena kebutuhan dan kemampuan anak  yang berbeda.

Saat usia satu tahun, potensi anak sudah mulai dapat terlihat seumpama jika

mendengar alunan musik, dia lebih tertarik ketimbang anak seusianya, kalau orang

tua sudah memiliki gambaran potensi anak, maka ia perlu diarahkan dan difasilitasi.

c) Ayah dan ibu harus kompak 


Ayah dan ibu sebaiknya menerapkan pola asuh yang sama. Dalam hal ini,

kedua orang tua sebaiknya “berkompromi” dalam menetapkan nilai-nilai yang boleh

dan tidak.

d) Pola asuh mesti disertai perilaku positif dari orang tua 

Penerapan pola asuh juga  membutuhkan sikap-sikap positif dari orang tua

sehingga bisa dijadikan contoh/panutan bagi anaknya. Tanamkan nilai-nilai kebaikan

dengan disertai penjelasan yang mudah dipahami.

e) Komunikasi efektif 

Syarat untuk berkomunkasi efektif sederhana yaitu luangkan waktu untuk

berbincang-bincang dengan anak.  Jadilah pendengar yang baik dan jangan

meremehkan pendapat anak.Dalam setiap diskusi, orang tua dapat memberikan saran,

masukan atau meluruskan pendapat anak yang keliru sehingga anak lebih terarah.

f) Disiplin 

Penerapan disiplin juga  menjadi bagian pola asuh, mulailah dari hal-hal kecil

dan sederhana. Misal, membereskan kamar sebelum berangkat sekolah anak juga

perlu diajarkan membuat jadwal  harian sehingga bisa lebih teratur dan efektif

mengelola kegiatannya. Namun penerapan disiplin mesti fleksibel disesuaikan dengan

kebutuhan / kondisi anak.

g) Orang tua konsisten 

Orang tua juga bisa menerapkan konsistensi sikap, misalnya anak tidak boleh

makan makanan ringan kalau sedang terserang batuk, tapi kalau anak dalam keadaan

sehat ya boleh-boleh saja. Dari situ ia belajar untuk konsisten terhadap sesuatu,

sebaliknya orang tua  juga harus konsisten, jangan sampai lain kata dengan perbuatan.
3. Budaya Bali

a) Hakekat Purusa dan Pradana Dalam Budaya Bali

Wiyana (2010) Purusa itu adalah jiwa atau atman yang berasal dari parama

atma atau Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan pradana artinya badan raga yang menjadi

wadah dari purusa. . Pada masyarakat hukum adat Bali ikatan kekeluargaannya

patrilineal, yaitu berdasarkan pada garis keturunan bapak. Hal ini membawa

konsekwensi adanya peranan yang sangat penting bagi anak laki-laki sebagai penerus

keturunan bagi keluarganya, sedangkan tidak demikian halnya dengan anak

perempuan. Anak laki-laki sebagai penerus keturunan, mempunyai kewajiban

bertanggungjawab terhadap pemujaan leluhurnya, oleh karena itu ia berhak terhadap

harta warisan orang tuanya Sedangkan keturunan yang berstatus pradana (anak

perempuan, anak yang diangkat anak oleh orang lain, anak laki-laki yang

kawin nyeburin) dianggap meninggalkan tanggungjawab keluarga (ninggal kedaton),

sehingga kehilangan haknya (swadikara) sebagai ahli waris. Golongan orang yang

termasuk ninggal kedaton adalah:

a) Perempuan yang melangsungkan perkawinan biasa;

b) Laki-laki yang kawin nyeburin (nyentana);

c) Anak yang diangkat anak oleh orang lain;

d) Anak yang dipecat sebagai anak oleh orang tuanya (pegat mepianak);

e) Meninggalkan keluarga (ngumbang) dalam waktu puluhan tahun dan

tidak diketahui domisilinya;

f) Menyerahkan diri (mekidihang raga) kepada orang lain;

g) Tidak lagi memeluk agama Hindu.


Konsep kepurusa dan ninggal kedaton masih relevan dipertahankan, tetapi

kedudukan perempuan perlu mendapat perhatian dalam pewarisan. Terhadap harta

warisan yang mempunyai nilai magis (sanggah/merajan) dan tidak dapat dibagi, dan

harta yang merupakan peninggalan leluhur (turun temurun), mesti tetap diwariskan

kepada anak laki-laki sesuai dresta, tetapi perlu mempertimbangkan untuk membuat

hal-hal, sebagai berikut:

a) Orang tua atau saudara (dalam hal orang tua sudah meninggal) berhak

memberikan bekal harta kepada anak  yang ninggal kedaton di atas, yaitu

harta yang berupa harta pegunakaya (harta bersama yang diperoleh selama

perkawinan berlangsung), dengan catatan pemberian tersebut tidak boleh

merugikan ahli waris yang ada (Yurisprudensi menentukan maksimal 1/3

dari harta pegunakaya)

b) Semua anak sah (anak kandung/anak angkat), laki-laki maupun

perempuan, mempunyai kedudukan yang sama terhadap harta warisan,

selama yang bersangkutan belum ninggal kedaton.

b) Budaya Nyentana

Adat Bali pada umumnya patrilineal. Menurut Ter Haar (1991), hanya anak

laki-laki yang dapat meneruskan peninggalan bapaknya dan dapat melanjutkan

kedudukannya sebagai kepala keluarga. Jika tidak ada anak laki-laki, maka dapatlah

seorang anak laki-laki diambil anak, baik oleh si bapak maupun oleh jandanya atas

nama dia jika si bapak meninggal. Sebagai gantinya dapatlah si bapak mengangkat

anaknya perempuan menjadi sentana. Anak perempuan itu diberikan hak-hak dan

kewajiban sebagaimana seorang anak laki-laki tertua.


Motif utama nyentana adalah kekhawatiran tidak ada pelanjut keturunan

(Soekanto: 1958: tt). Ini berkaitan dengan tingginya penghargaan budaya Bali pada

basis patrilineal. Setidaknya, Chidir Ali (1981: 33) dan R. Subekti (1991: 9) memuat

yurisprudensi Mahkamah Agung yang mengukuhkan sistem patrilineal itu. Putusan

MA No. 200K/Sip/1958 menegaskan bahwa menurut hukum adat Bali, dalam hal

seorang ayah mempunyai seorang anak laki-laki, maka anak laki-laki inilah satu-

satunya ahli waris.

Yuli Utomo, dalam artikelnya Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali di blog

pribadinya, menyebutkan hukum adat Bali mengenai jenis perkawinan

(i) mapadik alias meminang atau meminta; (ii) ngerorod, rangkat, atau kawin lari;

(iii) nyentana, nyeburin atau selarian; (iv) melegandang, perkawinan secara paksa

tanpa cinta.  Perkawinan nyentana adalah bentuk perkawinan berdasarkan perubahan

status purusa dari pihak wanita dan sebagai pradana dari pihak laki-laki.

Dalam perkawinan nyentana, seorang laki-laki ikut dalam keluarga isterinya,

tinggal di rumah isteri, dan semua keturunannya mengambil garis keturunan istri.

Van Dijk (1991: 35) menulis bahwa laki-laki tadi ‘dilepaskan dari golongan sanaknya

dan dipindahkan ke dalam golongan sanak si perempuan’. Konsekuensinya, anak

yang lahir dari perkawinan nyentana itu akan menjadi pewaris dari garis keturunan

ibunya. “Jadi anggota yang meneruskan klan bapak mertua,’ tulis Van Dijk.

UU Perkawinan, menurut Hilman (1990: 28-29), menempatkan hukum agama

sebagai salah satu faktor yang menentukan keabsahan perkawinan. Jika tak

dilaksanakan menurut hukum agama, maka perkawinan tidak sah. Dalam adat Hindu
Bali, perkawinan umumnya dilakukan melalui upacara keagamaan yang

disebut mekala-kalaan yang dipimpin pinandita.

Mengenai perkawinan nyentana yang Anda sebut, Kadek Jingga dalam tulisan

‘Pro Kontra Perkawinan Nyentana’ di blognya, juga berpendapat

perkawinan nyentana sah sepanjang dilakukan atas dasar suka sama suka dan

menurut agama yang dianut kedua belah pihak.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini di harapkan dapat menunjukkan bahwa konseling yang di

lakukan oleh Guru BK dapat meningkatkan kemandirian siswa.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini dapat berguna sebagai masukan dalam menentukan kebijakan

lebih lanjut bagi sekolah mengenai peranan Guru BK dalam membantu siswa-

siswa meningkatkan kemandiriannya.


BAB II

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Peneliti dalam penelitian ini terjun secara langsung ke tempat penelitian yaitu

SMA N 1 Lab Undiksha Singaraja dan kediaman masing-masing subyek untuk

memperoleh informasi baik yang berasal dari hasil interview atau observasi peneliti

sendiri. Penelitian di lapangan atau pencarian informasi dilakukan dalam kondisi

sewajar atau sealamiah mungkin. Peneliti tidak merubah atau pun mempengaruhi

perspektif subyek penelitian atau informan. Informasi tersebut disajikan dalam bentuk

kata-kata atau bersifat deskriptif. Berdasarkan karakteristik yang melekat pada proses

penelitian ini, maka penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian kualitatif.

Kesimpulan ini juga ditarik berdasarkan penjelasan bahwasannya tujuan penelitian

kualitatif adalah mencoba untuk mengerti hal-hal yang aktual, realitas sosial dan

persepsi yang ada tanpa dihalang-halangi.

Penelitian kualitatif merupakan sebuah proses yang mengungkapkan berbagai

pandangan, mungkin hal-hal yang bersifat ganjil tetapi merupakan sesuatu yang

penting yang diceritakan oleh manusia itu sendiri tentang kejadian yang benar-benar

terjadi dalam cara yang alamiah dan cara mereka sendiri. Penelitian kualitatif

mencoba menyuguhkan “ sepotong episode kehidupan” yang didokumentasikan

dalam bahasa aslinya yang mencerminkan secermat mungkin bagaimana manusia

merasa, apa yang mereka tahu, bagaimana caranya mereka tahu serta kepercayaan

persepsi dan pengertian mereka. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan fenomenologis karena peneliti mencoba mengamati perilaku dan

persepsi individu atau kelompok di tempat penelitian yang dapat mempengaruhi pola

asuh orang tua dalam membentuk kemandirian anaknya. Dalam pandangan

fenomenologis, peneliti berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya

terhadap orang-orang dalam situasi tertentu. Peneliti berusaha untuk masuk ke dalam

dunia konseptual para subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka

mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka di

sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari. Fenomenologis, menurut Guba &

Lincoln percaya bahwa pada akhirnya kebenaran akan terungkap lewat upaya untuk

menyelami dan mengalami yang akhirnya akan membuahkan kesimpulan tentang apa

yang penting, dinamis dan berkembang.

B. Kehadiran Peneliti

Peran dan kehadiran peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai pengamat

partisipatif dan pewawancara. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syaodih , bahwa

peranan yang dapat dimainkan oleh peneliti dalam penelitian kualitatif diantaranya

meliputi :

1. Pengamat partisipatif, yaitu peneliti berada di dalam kegiatan yang dilakukan

kelompok, dia menciptakan peranan sendiri tanpa lebur dalam kepentingan

kegiatan kelompok yang diamati. Dan pengamatan seperti ini cocok untuk

penelitian kualitatif dan banyak dilakukan dalam penelitianstudi kasus.


2. Pewawancara mendalam, yaitu peneliti menjalin hubungan dengan partisipan

dan mengadakan wawancara mendalam berkenaan dengan kegiatan

pengumpulan data.

Peran peneliti sebagaimana disebutkan di atas dapat menghindarkan

subyektifitas peneliti dan peneliti akhirnya dapat memperoleh data yang valid

berdasarkan sudut pandang emik dari informan. Dari penjelasan tersebut dapat

disimpulkan bahwa peran peneliti pada penelitian ini merupakan instrument utama

dalam mengumpulkan data.

C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di SMA Lab Undiksha dan kediaman masing-masing

subyek karena di dasarkan pada beberapa pertimbangan:

1. SMA adalah Sekolah Menengah Atas yang memiliki konotasi perilaku yang

tidak begitu baik menurut pandangan masyarakat. sehingga Konselor di SMA

sangat berperan dalam memantau penyimpangan perilaku para siswa.

2. SMA Lab Undiksha memiliki tingkat pelanggaran yang tinggi terutama pada

pelanggaran keterlambatan masuk sekolah, tidak mengerjakan tugas dari guru,

dan tidak menggunakan atribut sekolah.

3. Penelitian di kediaman masing-masing subyek dilakukan untuk menggali

informasi dari keluarga dan orang-orang terdekan dari subyek penelitian.

D. Sumber Data
Sumber data utama dalam penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan,

selebihnya adalah tambahan, seperti dokumen dan lainnya. Dengan demikian sumber

data dalam penelitian ini adalah kata-kata dan tidakan sebagai sumber utama,

sedangkan sumber data tertulis, foto dan catatan tertulis adalah sumber data

tambahan.

E. Prosedur Pengumpulan data

Untuk memperoleh data yang diperlukan, maka dalam penelitian kualitatif

bertindak sebagai alat pengumpul data artinya peneliti sendiri yang terjun langsung

untuk merekam data selama penelitian. Selama berlangsungnya proses pengumpulan

data peneliti menggunakan teknik dan alat pengumpul data berupa observasi dan

wawancara.

1. Observasi

Observasi dilakukan untuk melihat kondisi dan situasi dari masalah yang

diamati tentang kemandirian siswa, perilaku konselor dalam proses bimbingan

terhadap siswa yang memiliki tingkat kemandirian yang rendah. Observasi

adalah upaya aktif peneliti untuk mengumpulkan data secara langsung dan

kemudian memilih apa yang diamati dan terlibat secara aktif didalamnya,

dalam arti lain peneliti terlibat secara langsung bersama siswa dalam proses

bimbingan.

2. Wawancara

Wawancara sebagai cara untuk mengumpulkan data tentang

pemahaman konselor mengenai proses bimbingan tentang kompetensi sosial


yang dimiliki siswa akselerasi. Wawancara dilakukan secara bebas, terbuka

dan luwes yang memungkinkan peneliti mengajukan pertanyaan sesuai

dengan kondisi yang ada pada saat itu, tetapi tetap merujuk pada tujuan

penelitian. Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data melalui wawancara

lebih bersifat terbuka atau kurang terstruktur dengan alasan sebagai berikut: a)

penelitian kualitatif tidak berangkat dari hipotesa yang telah ditentukan tetapi

mengeksplorasi situasi lewat tahapan-tahapan dan format wawancara untuk

setiap kasus berbeda. b) format wawancara terbuka didasarkan pada asumsi

bahwa setiap responden adalah individu dengan segala keunikannya yang sulit

digeneralisasikan, c) tujuannya bukan untuk menuangkan gagasan peneliti,

melainkan untuk mengakses persepsi responden sehingga sifatnya terbuka.

Data pokok yang ingin diperoleh melalui wawancara pada subjek

penelitian antara lain adalah factor-faktor yang berpengaruh pada kemandirian

yang ditanyakan pada siswa dan bagaimana upaya/unjuk kerja konselor dalam

pengembangan kemandirian siswa.

3. Analisis Data

Setelah semua data terkumpul, maka langka berikutnya adalah pengelolahan

dan analisa data. Yang di maksud dengan analisis data adalah proses mencari dan

menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan

lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori,

menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola,


memilih mana yang penting dan akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga

mudah dipahami oleh dirinya sendiri atau orang lain.

Menurut Miles dan Huberman, terdapat tiga teknik analisisi data kualitatif

yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Proses ini berlangsung

terus-menerus selama penelitian berlangsung, bahkan sebelum data benar-benar

terkumpul.

1. Reduksi Data

Reduksi data merupakan salah satu dari teknik analisis data kualitatif. Reduksi data

adalah bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang

yang tidak perlu dan mengorganisasi data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir

dapat diambil. Reduksi tidak perlu diartikan sebagai kuantifikasi data.

2. Penyajian Data

Penyajian data merupakan salah satu dari teknik analisis data kualitatif. Penyajian

data adalah kegiatan ketika sekumpulan informasi disusun, sehingga memberi

kemungkinan akan adanya penarikan kesimpulan. Bentuk penyajian data kualitatif

berupa teks naratif (berbentuk catatan lapangan), matriks, grafik, jaringan dan bagan.

3. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan merupakan salah satu dari teknik analisis data kualitatif.

Penarikan kesimpulan adalah hasil analisis yang dapat digunakan untuk mengambil

tindakan.
4. Pengecekan Keabsahan Data

Agar hasil penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, maka

diperlukan pengecekan atau uji keabsahan data melalui verifikasi data. Tehnik yang

digunakan oleh peneliti dalam memeriksa keabsahan data adalah trianggulasi.

Trianggulasi merupakan tehnik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang

lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap

data itu. Dalam kasus ini, peneliti akan menggunakan tehnik trianggulasi dengan

sumber yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu

informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode

kualitatif.

Hal itu dapat dicapai dengan : 1) membandingkan data hasil pengamatan

dengan data hasil wawancara, 2) membandingkan apa yang dikatakan orang di depan

umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi, 3) membandingkan apa yang

dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan

sepanjang waktu, 4) membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan

berbagai pendapat dan pandangan orang biasa, seperti orang yang berpendidikan

menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan, 5) membandingkan hasil

wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.

Selanjutnya, peneliti juga akan melakukan pemeriksaan dengan sejawat

melalui diskusi. Ini dilakukan untuk membuat peneliti tetap mempertahankan sikap

terbuka dan kejujuran. Diskusi dengan sejawat memberikan suatu kesempatan awal

yang baik untuk memulai menjajaki dan menguji hipotesis yang muncul dari
5. Tahap-tahap penelitian

Mengacu pada Moleong (2004: 239), proses penelitian dilakukan dengan

tahapan-tahapan sebagai berikut :

1. Tahap orientasi dan memperoleh gambaran umum. Tujuan pada tahap

ialah memperoleh informasi tentang latar yang nantinya diikuti dengan

tahap merinci informasi yang diperoleh pada tahap berikutnya.

2. Tahap eksplorasi fokus, yaitu menyusun “petunjuk” memperoleh data

seperti petunjuk wawancara dan pengamatan. Pada tahap ini pengumpulan

data dilaksanakan, kemudian dianalisis dan diikuti dengan laporan hasil

analisis.
DAFTAR PUSTAKA

Asrori H. Muhamad. 2007. Psikologi Pembelajaran. Bandung: Bumi Rancaekek


Kencana
Chidir Ali. Hukum Adat Bali dan Lombok dalam Yurisprudensi Indonesia. Jilid 1.
Jakarta: Pradnya Paramita, 1981Bungin Burhan H. M. 2007. Penelitian
Kualitatif: komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya.
Kencana Prenada Group: Jakarta
Dwi Endra Suanthara, I Nengah. 2012. Hubungan Pola Asuh Orang Tua, Kecerdasan
Spiritual, Konsep Diri dan Kemandirian Dengan Sikap Terhadap Budi Pekerti
Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri Di Kabupaten Buleleng. Desertasi.
Denpasar : (tidak terbit) Pasca Sarjana UNHI.
Fudyartanta Ki. 2012. Psikologi Kepribadian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Gunarsa, Singgih D. 2000. Psikologi Untuk Keluarga. Jakarta: Gunung Mulia
Hilman Hadikusuma. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum
Adat, Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju, 1990.
Khairani H. Makmun. 2013. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Aswaja Presindo
Kawulich, BB. 2013. Qualitative Data Analysis Techniques. Department of
Educational Leadership and Professional Studies. University of West Georgia:
USA
Madri Antari, Ni Nengah dan Anak Agung Oka. 2008. Pola Asuh Orang Tua. Modul.
Singaraja: (tidak terbit) Undiksha.
Mappiare, AT. 2009. Dasar-dasar Metodologi Riset Kualitatif Untuk Ilmu Sosial dan
Profesi. Jenggala Pustaka Utama: Malang
Milles & Huberman. (1992) Analisis Data Kualitatif (tentang metode-metode baru),
Jakarta: UI-Press.
Mr. B. Ter Haar. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat. Terj. K. Ng. Soebakti
Peosponoto. Cet-10. Jakarta: Pradnya Paramita, 1991Muchsinati, Nayla. 2007.
Hubungan Urutan Kelahiran Dalam Keluarga Dengan Kemandirian Anak Usia
Dini di TK Madinah Malang. Skripsi
Santrock, John W. 2007. Perkembangan anak. Jakarta: Erlangga
Rismawan, Sathya Gita. 2014. Hubungan intensitas pola asuh orang tua dengan
tingkat kemandirian siswa kelas X SMA Lab Undiksha Singaraja. Skripsi
Rihi, mery wanyi. 2006. Kedudukan anak angkat menurut hukum waris adat bali
( studi kasus di kelurahan sesetan, kecamatan denpasar selatan, kota denpasar
dan pengadilan negeri denpasar ). Tesis
Schochib Moh. 2010. Pola Asuh Orang Tua Dalam Membantu Mengembangkan
Disiplin Diri. Jakarta: Rineka Cipta
Suarni, Ni Ketut. 2011. Teori Kepribadian. Modul. Singaraja: (tidak terbit) Undiksha
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1999), hlm. 103
Van Dijk. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Terj. A. Soehardi. Cet-3. Bandung:
Vorkink-Van Hoeve Bandung – ‘S Gravenhage, tanpa tahun.
Wiyana, I Ketut. 2010. Menyeimbangkan Dinamika Purusa dan Pradana. Balipost 21
Maret 2010. (Online), (http://www.phdi.or.id/artikel/menyeimbangkan-
dinamika-purusa-dan-pradana) diakses 4 Desember 2016
.
.

Anda mungkin juga menyukai