Ditulis oleh:
Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FMIPA UI, Departemen Kajian dan Aksi Strategis
BEM UI, Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FEB UI, Departemen Pengabdian dan
Masyarakat BEM FH UI, dan Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FT UI
Salam pergerakan,
Bintang Mahakarya S.
Ketua BEM FMIPA UI 2021
iii
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
EXECUTIVE SUMMARY
Berdasarkan sumbernya, terdapat tiga jenis sumber energi yaitu energi terbarukan, energi
tidak terbarukan, dan energi baru. Sumber energi terbarukan terdiri dari panas bumi, angin,
bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut.
Sumber energi tidak terbarukan terdiri dari minyak bumi, gas bumi, batu bara, gambut, dan serpih
bitumen. Sumber energi baru terdiri dari nuklir, hidrogen, gas metana batu bara (coal bed
methane), batu bara tercairkan (liquefied coal), dan batu bara tergaskan (gasified coal). Lalu,
dalam konteks zat sisa yang dihasilkan, dikenal istilah energi bersih dan kotor. Energi bersih
adalah energi yang dalam penggunaannya sedikit bahkan tidak sama sekali mengeluarkan emisi,
sedangkan energi kotor adalah energi yang beremisi tinggi. Energi bersih semuanya bersumber
dari sumber terbarukan, namun dalam pelaksanaannya tidak semua sumber energi terbarukan
dapat disamakan dengan istilah energi bersih.
Akhir-akhir ini, EBT kerap kali menjadi perbincangan. EBT merupakan akronim dari
“energi baru dan terbarukan”. Penggunaan istilah “EBT” kerap diartikan sebagai sebuah
kesatuan. Bahkan, mendapatkan perlakuan yang sama dalam beberapa peraturan di Indonesia,
seperti dalam UU No. 30 Tahun 2007, UU No. 30 Tahun 2009, Peraturan Pemerintah No. 79
Tahun 2014, dan RUU EBT. Hal tersebut merupakan sesuatu yang berbahaya karena energi baru
dan terbarukan berasal dari sumber energi yang berbeda. Energi baru masih menggunakan batu
bara sebagai sumber energi. Seperti yang sudah dikaji dalam Kajian Komprehensif “Indonesia
Merdeka dari Energi Kotor Batu Bara”, penggunaan batu bara sebagai sumber energi memiliki
dampak negatif terhadap lingkungan, kesehatan, sosial, dan ekonomi. Bahkan, dari proses
pertambangan hingga menjadi PLTU, batu bara memiliki daya rusak yang sangat besar. Dengan
demikian, penggunaan batu bara dalam energi baru tidak menjawab permasalahan dari PLTU
batu bara konvensional. Bahkan, sumber energi baru tersebut menimbulkan masalah baru seperti
emisi yang lebih tinggi, harga listrik yang lebih mahal, kebutuhan lahan yang lebih luas, dan
emisi gas buangan yang lebih berbahaya (seperti hidrogen sulfida dan belerang amonia).
Selanjutnya, menurut laporan iklim terbaru dari Panel Iklim PBB, suhu permukaan global
menjadi lebih tinggi 0,2°C hingga 1°C dibandingkan tahun 1850-1900. Hal tersebut
menunjukkan bahwa perubahan iklim terjadi semakin parah. Namun, saat ini pemenuhan energi
Indonesia masih didominasi oleh batu bara. Pada tahun 2019, porsi batu bara mencapai 37,15%
dalam bauran energi primer dan mencapai 59,28% dalam bauran energi pembangkit tenaga
listrik. Hal tersebut semakin diperparah dengan berbagai kebijakan yang melanggengkan energi
kotor batu bara di masa mendatang. Kebijakan tersebut antara lain Kebijakan Energi Nasional
dan UU No. 11 Tahun 2020. Bahkan, kebijakan pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi
Covid-19 mengarah pada peningkatan emisi GRK dan sama sekali tidak konsisten dengan batas
kenaikan suhu 1,5°C Perjanjian Paris. Jika semua negara mengikuti pendekatan unconditional
NDC Indonesia, pemanasan akan mencapai lebih dari 4°C.
Selanjutnya, untuk mengukur performa kebijakan energi suatu energi, World Energy
Council menerapkan Energy Trilemma Index yang terdiri dari energy security (kemampuan
memenuhi permintaan energi pada masa sekarang dan mendatang, serta menahan dan
menanggapi gangguan pasokan energi), energy equity (keterjangkauan dan aksesibilitas warga
negara terhadap penyediaan energi), dan environmental sustainability. Kajian ini menunjukkan
ix
bahwa penggunaan energi kotor batu bara menyulitkan terwujudnya konsep energy security,
energy equity, dan environmental sustainability. Sebaliknya, energi terbarukan justru memiliki
potensi besar untuk mewujudkan ketiga konsep tersebut agar terciptanya pemenuhan kebutuhan
energi yang ramah lingkungan dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.
Perlu diketahui bahwa Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang besar yakni
mencapai 443.208 MW. Bahkan, energi surya memiliki potensi sebesar 207.898 MW. Namun,
saat ini kapasitas terpasang energi terbarukan hanya 8.215,5 MW. Padahal, penggunaan energi
terbarukan memiliki banyak keuntungan. Energi terbarukan merupakan energi yang bersih,
ramah lingkungan, mudah didapatkan, dan tidak pernah habis. Jika Indonesia menggunakan
100% energi bersih terbarukan pada tahun 2050 maka target Perjanjian Paris akan tercapai dan
produksi gas CO2 akan berkurang signifikan sebesar 95%. Tidak hanya mengatasi masalah
perubahan iklim, penggunaan energi bersih terbarukan juga dapat mengatasi masalah
pencemaran udara yakni mengurangi tingkat emisi SO2, NOx, dan PM masing-masing sebesar
22,7%, 26,9%, dan 22,6%. Perbaikan kualitas lingkungan dan pencemaran udara tersebut juga
menimbulkan keuntungan lainnya secara tidak langsung seperti penyakit terkait kerusakan
lingkungan/pencemaran udara atau kematian dini akibat pencemaran udara/kerusakan
lingkungan dapat dihindari. Tidak hanya itu, transisi energi bersih terbarukan dapat menciptakan
penyerapan tenaga kerja baru sebanyak 3,2 juta di sektor energi terbarukan. Penciptaan lapangan
kerja melalui penggunaan 100% energi terbarukan juga akan menciptakan lebih banyak
pekerjaan secara tidak langsung. Tidak hanya menguntungkan secara ekonomi dan lingkungan,
penggunaan energi bersih terbarukan juga dapat meningkatkan akses energi masyarakat,
menumbuhkan aktivitas ekonomi lokal, pemerataan fasilitas dan layanan kebutuhan dasar,
pemenuhan kebutuhan energi secara mandiri, dan pada akhirnya akan meningkatkan taraf hidup
masyarakat.
Berangkat dari masalah-masalah di atas, kajian ini merekomendasikan kepada
pemerintah untuk segera melakukan transisi energi bersih terbarukan secara total (100% energi
bersih terbarukan) dan meninggalkan energi kotor batu bara sedini mungkin. Dalam melakukan
transisi energi bersih terbarukan, pemerintah juga harus mempertimbangkan konsep demokrasi
dan diversifikasi energi yakni sebuah konsep yang memprioritaskan persebaran energi dan setiap
orang dapat mengontrol konsumsi mereka serta berpartisipasi dalam jaringan energi. Tidak
hanya itu, konsep tersebut juga menekankan upaya penganekaragaman penyediaan dan
penggunaan berbagai sumber energi dalam rangka optimasi penyediaan energi.
Kemudian, dalam merealisasikan target pemenuhan 100% energi bersih terbarukan,
transisi energi bersih terbarukan perlu dijadikan sebagai prioritas utama. Pemodelan IESR
membuktikan bahwa Indonesia bisa mencapai 100% energi terbarukan dalam bauran energi
primer pada tahun 2050 dan mencapai 100% energi terbarukan dalam sektor kelistrikan pada
tahun 2045. Pada bauran energi primer, energi terbarukan tumbuh menjadi sekitar 80% pada
tahun 2040, hingga akhirnya mencapai 100% pada tahun 2050. Dalam sektor pembangkitan
listrik, sekitar 50% listrik dihasilkan dari sumber energi terbarukan pada tahun 2030, lalu
mencapai 100% pada tahun 2045. Dari angka tersebut, pembangkit listrik di Indonesia pada
tahun 2050 didominasi oleh energi solar PV sekitar 88%, tenaga air sebesar 6%, panas bumi
sebesar 5%, dan energi terbarukan lainnya sebesar 1%. Dalam pemodelan tersebut, asumsi yang
digunakan antara lain pertumbuhan penduduk sebesar 1% per tahun dan pertumbuhan
x
permintaan listrik sebesar 4,5% per tahun, serta konsumsi listrik diperkirakan akan meningkat
dari lebih dari 1 MWh/kapita pada tahun 2020 menjadi 8,5 MWh/kapita pada tahun 2050.
Dalam skenario transisi energi bersih terbarukan tersebut, Indonesia akan membutuhkan
investasi sebesar USD 20-25 miliar per tahun dari sekarang hingga 2030. Lalu pada periode
2030-2040, Indonesia membutuhkan investasi USD 60 miliar per tahun untuk meningkatkan
upaya dekarbonisasi. Secara rinci, investasi solar PV membutuhkan biaya sebesar USD 20-25
miliar per tahun antara tahun 2030 dan 2040. Kemudian, panas bumi dan tenaga air masing-
masing membutuhkan investasi tahunan sebesar USD 7-8 miliar dan USD 2-5 miliar untuk
sepuluh tahun ke depan. Berdasarkan angka-angka tersebut, transisi energi bersih dianggap
membutuhkan investasi yang sangat besar. Namun, perhitungan LCOE menunjukkan bahwa
sistem berbasis energi terbarukan yang dimodernisasi akan menghasilkan listrik dengan harga
yang sebanding dengan hari ini dan dalam jangka menengah hingga panjang, biayanya jauh lebih
rendah. Pun, mengingat pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan maka jumlah tersebut
cukup kecil.
Mengingat banyak manfaat yang akan diperoleh Indonesia, pemerintah sudah sepatutnya
membuat kebijakan roadmap transisi energi bersih terbarukan secara total (100% energi bersih
terbarukan). Transisi energi bersih terbarukan perlu dijadikan sebagai prioritas utama. Indonesia
harus mengambil langkah berani menuju sistem 100% energi bersih terbarukan. Upaya tersebut
harus dilihat sebagai peluang dan bukan ancaman bagi perekonomian Indonesia.
xi
1
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, energi merupakan
kemampuan untuk melakukan kerja yang dapat berupa panas, cahaya, mekanika, kimia, dan
elektromagnetik. Dalam ilmu fisika, kerja dapat dimaknai sebagai transfer energi melalui gaya
dari suatu benda ke benda lain (Serway dan Jewett, 2013). Perpindahan energi melalui kerja
diatur dalam Hukum Kekekalan Energi yang menyatakan bahwa jumlah energi pada sistem
adalah tetap dan bersifat kekal. Energi tidak dapat dihancurkan atau dihilangkan, tetapi hanya
berubah bentuk (Halliday dan Resnick, 2018). Berdasarkan penjelasan tersebut, semua energi
yang dikonsumsi atau dipakai oleh manusia merupakan hasil perubahan bentuk dari energi lain
yang telah ada sebelumnya.
Berdasarkan sumbernya, menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang
Energi, terdapat tiga jenis sumber energi, yakni terbarukan, tidak terbarukan, dan baru. Dalam
undang-undang tersebut disebutkan bahwa sumber energi terbarukan adalah sumber energi yang
dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara lain
panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan
suhu lapisan laut. Berdasarkan pasal tersebut, energi terbarukan berasal dari sumber daya energi
yang berkelanjutan. Sumber energi tersebut tidak akan pernah habis apabila dikelola dengan
benar. Pun, dengan adanya perkembangan teknologi maka energi terbarukan dapat
ditransformasi tidak hanya menjadi listrik, tetapi juga panas, kimiawi, dan mekanik (National
Renewable Energy Laboratory, 2001). Kemudian menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2007 tentang Energi, sumber energi tak terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari
sumber daya energi yang akan habis jika dieksploitasi secara terus-menerus, antara lain minyak
bumi, gas bumi, batu bara, gambut, dan serpih bitumen. Berdasarkan definisi tersebut, energi tak
terbarukan berasal dari sumber energi yang sifatnya terbatas sehingga diperlukan kebijakan yang
tepat dalam penggunaannya. Sumber energi tidak terbarukan terbagi menjadi dua, yaitu sumber
fosil dan sumber nuklir. Sumber fosil berasal dari hidrokarbon yang merupakan organisme
tersedimentasi, sedangkan sumber nuklir berasal dari reaksi fisi atau fusi nuklir (Hamdi, 2016).
Selain sumber energi terbarukan dan tidak terbarukan, terdapat juga sumber energi baru. Menurut
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, sumber energi baru adalah sumber
energi yang dapat dihasilkan oleh teknologi baru baik yang berasal dari sumber energi terbarukan
maupun sumber energi tak terbarukan, antara lain nuklir, hidrogen, gas metana batu bara (coal
bed methane), batu bara tercairkan (liquefied coal), dan batu bara tergaskan (gasified coal).
Berdasarkan definisi tersebut dapat diketahui bahwa energi baru masih bersumber dari energi tak
terbarukan.
Lebih lanjut, penggunaan energi tentunya memberikan dampak terhadap lingkungan
sebagai manifestasi kekekalan energi dengan berubah bentuk menjadi emisi atau zat-zat lainnya.
Dalam konteks zat sisa yang dihasilkan, dikenal istilah energi bersih dan kotor. Energi bersih
2
dapat diartikan sebagai energi yang diproduksi dengan teknologi yang menghasilkan sedikit
dampak buruk terhadap lingkungan, misalnya jumlah emisi gas rumah kaca yang sangat rendah
dan mendekati nol (Bast dan Krishnaswamy, 2011). Menurut Nasruddin et al (2016b) ada dua
kajian yang melandasi diskursus kajian energi bersih. Pertama, efek rumah kaca yang berarti
reaksi pembakaran yang menghasilkan CO2 dan yang kedua, aktivitas lain dalam penggunaan
energi yang menghasilkan emisi karbon serta kaitannya dengan upaya konservasi lingkungan.
Sedangkan menurut IESR (2019a), energi kotor merupakan energi yang dalam pembuatan dan
penggunaannya menghasilkan karbon yang banyak serta berpotensi mencemari dan merusak
lingkungan. Dengan demikian, energi bersih adalah energi yang dalam penggunaannya sedikit
bahkan tidak sama sekali mengeluarkan emisi, sedangkan energi kotor adalah energi yang
beremisi tinggi. Energi bersih semuanya bersumber dari sumber terbarukan, namun dalam
pelaksanaannya tidak semua sumber energi terbarukan dapat disamakan dengan istilah energi
bersih.
Akhir-akhir ini, EBT kerap kali menjadi perbincangan. EBT merupakan akronim dari
“energi baru dan terbarukan”. Penggunaan istilah “EBT” yang merujuk kepada akronim “energi
baru dan terbarukan” kerap diartikan sebagai sebuah kesatuan. Bahkan, mendapatkan perlakuan
yang sama dalam pemenuhan energi di Indonesia. Hal ini akan menjadi berbahaya karena
keduanya berbeda. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa peraturan berikut.
a. Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi
Dalam undang-undang ini, frasa energi baru dan terbarukan memiliki implikasi sebagai
frasa yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Sebagai contoh dalam beberapa ayat
undang-undang ini energi baru dan energi terbarukan mendapatkan perlakuan yang sama.
Dalam Pasal 20 Ayat (4) dan Pasal 21 Ayat (2) Undang-Undang No. 30 Tahun 2007,
energi baru dan energi terbarukan wajib ditingkatkan oleh pemerintah dan pemerintah
daerah.
b. Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan
Sama halnya dengan undang-undang sebelumnya, dalam Undang-Undang No. 30 Tahun
2009 energi baru dan energi terbarukan juga diberikan keistimewaan. Misalnya, dalam
menjamin keberlanjutan penyediaan energi listrik, energi baru dan energi terbarukan
harus diberikan prioritas dengan tetap memperhatikan keekonomiannya. Dalam Pasal 6
Ayat (2) Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 disebutkan bahwa “Pemanfaatan sumber
energi primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan dengan
mengutamakan sumber energi baru dan energi terbarukan. Kemudian, dalam Penjelasan
pasal tersebut disebutkan bahwa sumber energi baru dan energi terbarukan
dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan keekonomiannya.”
c. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional
Dalam peraturan ini, energi baru dan energi terbarukan sama-sama diberikan insentif
serta dipercepat penyediaan infrastruktur pendukung untuk pengembangan energi baru
dan energi terbarukan. Hal tersebut terlihat dari pemenuhan target bauran energi primer
3
sebesar 23% pada tahun 2025 yang bergantung pada pengembangan energi baru dan
terbarukan.
d. Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT)
Dalam draf RUU EBT versi tanggal 25 Januari 2021, terdapat beberapa pasal yang
mengistimewakan penggunaan energi baru, seperti dalam Pasal 14 Ayat (1) yang
berbunyi “Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (2) memberikan kemudahan Perizinan Berusaha dalam
pengusahaan Energi Baru.” Bahkan, dalam Pasal 52 Ayat (1) huruf (a) penggunaan
energi baru mendapatkan insentif. Pasal tersebut berbunyi “Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya memberikan insentif kepada (a)
Badan Usaha yang mengusahakan Energi Baru dan Terbarukan.” Kemudian, draf RUU
ini juga mengatur tentang Majelis Pertimbangan Pembangkit Daya Nuklir, yang bertugas
merancang dan merumuskan kebijakan strategis nasional pembangkit daya nuklir serta
mengatur terkait kewajiban pemerintah untuk menyediakan tempat penyimpanan lestari
limbah radioaktif tingkat tinggi. Adanya pengaturan tersebut mengindikasikan bahwa
nuklir akan didorong menjadi sumber energi di masa mendatang. Kemudian, meskipun
sudah diatur mengenai tempat penyimpanan limbah radioaktif tingkat tinggi, namun hal
tersebut belum dapat dikatakan sebagai solusi. Pasalnya, apakah lokasi tempat
penyimpanan limbah tersebut benar menjamin faktor keselamatan dan keamanan seperti
faktor kestabilan tanah. Jika terjadi gempa maka zat-zat radioaktif dalam limbah tersebut
akan lepas ke permukaan. Hal ini sangat berbahaya, khususnya bagi Indonesia yang
merupakan negara rawan gempa. Bahkan, di tempat penyimpanan limbah tersebut, zat
radioaktif tetap bekerja. Dalam ilmu fisika, unsur radioaktif adalah zat yang tidak stabil
dan senantiasa berusaha menjadi stabil. Proses tersebut terjadi dengan cara peluruhan.
Ketika peluruhan, unsur radioaktif melepaskan radiasi sinar 𝝰, 𝛃, dan 𝛄. juga. Selama
masa itu, meskipun sudah di tempat penyimpanan limbah, unsur radioaktif tetap
berbahaya dan segera aktif bila dilepas (Supahar, 1995).
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, energi baru dan energi terbarukan berasal dari
sumber energi yang berbeda. Perlakuan yang sama terhadap energi baru dan energi terbarukan
merupakan sesuatu berbahaya. Bahkan, penggunaan istilah EBT yang merujuk kepada akronim
“energi baru dan terbarukan” merupakan hal yang berbahaya juga karena keduanya berbeda.
Dalam konteks dampak penggunaan energi terhadap lingkungan, energi baru memiliki dampak
yang lebih merusak lingkungan daripada energi terbarukan.
1.2.1. Batu Bara Tergaskan (Gasified Coal)
Salah satu sumber energi baru adalah batu bara tergaskan (gasified coal) atau
gasifikasi batu bara. Gasifikasi batu bara merupakan proses mengubah batu bara menjadi
gas sintesis atau syngas yang sangat panas (sampai 1800°C), yang terdiri dari karbon
monoksida, hidrogen dan karbon dioksida, serta sejumlah kecil gas dan partikel lainnya.
Gas-gas tersebut yang nantinya menggerakan turbin pembangkit listrik. Proses gasifikasi
batu bara menjadi energi listrik dimulai dari mencampurkan “batu bara bubuk” dengan
oksidan, biasanya uap, udara atau oksigen. Selanjutnya, syngas didinginkan dan dibersihkan
untuk menghilangkan gas dan partikel lainnya sehingga hanya menyisakan karbon
4
monoksida, karbon dioksida, dan hidrogen. Kemudian, syngas dikirim ke shift reactor.
Selama proses tersebut, karbon monoksida diubah menjadi lebih banyak hidrogen dan
karbon dioksida dengan mencampurnya dengan uap. Setelah itu, syngas hanya terdiri dari
hidrogen dan karbon dioksida. Proses selanjutnya adalah pemisahan aliran hidrogen dan
karbon dioksida. Setelah dibersihkan, hidrogen dapat dibakar dalam turbin gas untuk
pembangkit listrik dan diubah menjadi listrik. Sedangkan, karbon dioksida disimpan dalam
teknologi carbon capture (Mongillo, 2011).
Berdasarkan proses tersebut diketahui bahwa proses gasifikasi batu bara menjadi
energi listrik membutuhkan teknologi carbon capture. Teknologi carbon capture
merupakan sistem yang mengintegrasikan penangkapan CO2 dari sumber emisi, transportasi
CO2 (biasanya dalam pipa), dan injeksi CO2 ke situs penyimpanan geologi. Hal tersebut
tidak dapat dikatakan solusi sebagai substitusi PLTU batu bara karena teknologi carbon
capture tetap membutuhkan lahan untuk peralatan penangkapan CO2. Dengan demikian,
masalah pembebasan lahan seperti yang terjadi dalam proses penggunaan energi listrik dari
PLTU baru bara konvensional tetap terjadi. Selain itu, gasifikasi batu bara juga tetap
menghasilkan emisi. Bahkan jika dibandingkan dengan beberapa energi terbarukan,
gasifikasi batu bara menghasilkan emisi empat ratus kali lebih besar. Emisi dari gasifikasi
batu bara sekitar 800 kgCO2/MWh, sedangkan pembangkit listrik tenaga angin
menghasilkan 14-21 kgCO2/MWh, solar PV menghasilkan 79 kgCO2/MWh, pembangkit
listrik tenaga air menghasilkan 3-27 kgCO2/MWh (Friends of the Earth International, 2016).
Gambar 1.2. Teknologi Carbon Capture (ITB Center of Excellence for CCS and CCUS,
2021)
5
Pun secara ekonomi, biaya listrik dari gasifikasi batu bara dengan teknologi carbon
capture lebih mahal daripada energi terbarukan. Biaya listrik dari pembangkit gasifikasi batu
bata dengan teknologi carbon capture sebesar 10,61 US sen/kWh. Sedangkan biaya listrik
dari pembangkit listrik energi terbarukan seperti hydropower hanya sebesar 1,52 US
sen/kWh (World Bank, 2015).
Gambar 1.3. Proses Batu Bara Tercairkan Secara Tidak Langsung (International Energy
Agency, 2015)
tercairkan lebih berbahaya karena menghasilkan senyawa hidrogen sulfida dan belerang
amonia.
Kemudian, menurut Williams & Larson (2003) teknologi DCL modern tidak
terbukti untuk skala komersial. Skala DCL terbesar yang pernah ada yakni di Amerika
Serikat dan China. Amerika Serikat menggunakan fasilitas R&D Hydrocarbon Technology,
Inc. (HTI) yang menggunakan 3 ton batu bara per hari. Lalu, pada tahun 2002 Cina
mengumumkan investasi 2 miliar dolar untuk pabrik DCL di Mongolia menggunakan
teknologi HTI. Pabrik tersebut terdiri dari tiga rangkaian reaktor, masing-masing memproses
4.300 ton batu bara setiap hari. Penggunaan batu bara yang banyak dalam proses batu bata
tercairkan tersebut mengindikasikan bahwa investasi pada teknologi batu bara tercairkan
tidak menjanjikan di masa mendatang dan justru berpotensi tidak menguntungkan karena
batu bara bukan sumber energi yang berkelanjutan dan cadangannya semakin menipis di
masa mendatang.
Selain merugikan secara ekonomi, batu bara tercairkan juga berdampak negatif
terhadap lingkungan. Produksi batu bara tercairkan akan meningkatkan emisi gas rumah
kaca, mendorong penambangan batu bara, serta mengkonsumsi sejumlah besar sumber daya
vital lainnya, seperti air. Jika CO2 dari pabrik batu bara tercairkan dilepaskan ke atmosfer,
total emisi CO2 dari bahan bakar batu bara akan lebih dari 50 pon CO2 per galon atau dua
kali lebih tinggi. Bahkan, jika CO2 ditangkap oleh teknologi carbon capture maka batu bara
tercairkan masih dapat mencemari lingkungan. Jika sebagian besar CO2 dari pembangkit
batu bara tercairkan ditangkap oleh teknologi carbon capture maka emisi akan berkurang
sebagian tetapi tentu saja tidak hilang. Secara teoritis, menangkap emisi dari pembangkit
batu bara tercairkan bersama dengan efisiensi pembangkit batu bara tercairkan dapat
sebanding dengan minyak bumi konvensional. Bahkan, dengan teknologi carbon capture
emisinya mungkin lebih tinggi (Natural Resources Defense Council, 2011).
Gambar 1.4. Perbandingan Emisi Batu Bara Tercairkan dengan Minyak Bumi
Konvensional (Natural Resources Defense Council, 2011)
7
Air yang dikeluarkan dari proses ekstraksi gas metana batu bara tersebut
mengandung nitrat, nitrit, klorida, dan senyawa-senyawa seperti benzena, toluena,
etilbenzena, serta berbagai mineral dan memiliki kandungan padatan terlarut total yang
tinggi mencapai 170.000 mg/L. Jika dibandingkan dengan batas padatan terlarut untuk air
laut yang hanya 35.000 mg/L dan air keran hanya 500 mg/L, serta irigasi di antara 1.000-
2.000 mg/L, maka limbah hasil gas metana batu bara dapat berbahaya (Hartiniati, 2016).
Selain itu, penginjeksian air tersebut di bawah permukaan bumi membuat produksi lebih
mahal. Kemudian, metana adalah gas rumah kaca. Di atmosfer, metana bertindak menjebak
panas sehingga berkontribusi pada pemanasan global (Li et al, 2020). Berdasarkan
penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan listrik berbahan bakar gas metana
batu bara tetap menimbulkan dampak terhadap lingkungan sehingga tidak bisa dianggap
solusi untuk menggantikan PLTU batu bara konvensional.
8
1.2.4. Nuklir
Sumber energi baru lain yang juga berdampak terhadap lingkungan adalah nuklir.
Hal tersebut karena Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) menghasilkan limbah
radioaktif yang masa aktifnya sangat lama. Bahan bakar utama dari energi nuklir antara lain
uranium-235 dan plutonium-239. Dalam prosesnya menjadi energi listrik, terjadi dua proses
pada atom uranium. Pertama, energi yang dihasilkan dari proses fisi (pemisahan) atom
uranium digunakan untuk menghasilkan listrik. Proses fisi tersebut menghasilkan isotop
radioaktif dari unsur-unsur yang lebih ringan seperti cesium-137 dan strontium-90. Isotop-
isotop tersebut disebut “produk fisi” dan bertanggung jawab atas sebagian besar panas dan
radiasi dalam limbah tingkat tinggi. Kedua, beberapa atom uranium menangkap neutron
yang dihasilkan selama proses fisi. Atom-atom tersebut membentuk unsur-unsur yang lebih
berat seperti plutonium. Unsur-unsur yang lebih berat dari uranium tersebut hampir tidak
menghasilkan panas atau radiasi yang dihasilkan dari produk fisi (cesium-137 dan
strontium-90) tetapi mereka membutuhkan waktu lebih lama untuk meluruh. Strontium-90
dan cesium-137 memiliki waktu paruh sekitar 30 tahun, sedangkan plutonium-239 memiliki
waktu paruh 24.000 tahun. Hal tersebut sangat berbahaya karena menghasilkan dosis radiasi
yang fatal selama periode paparan langsung yang singkat.
Kemudian, jika isotop dari limbah tingkat tinggi tersebut masuk ke airtanah atau
sungai maka mereka dapat memasuki rantai makanan. Lalu, meskipun dosis yang dihasilkan
melalui paparan tidak langsung jauh lebih kecil daripada dosis paparan langsung, tetapi
populasi yang jauh lebih besar juga dapat terpapar (U.S. Nuclear Regulatory Commissions,
2019). Lebih lanjut menurut Singgih (2015), radioaktif terjadi ketika zat yang mengandung
inti atom tidak stabil secara spontan memancarkan partikel dan energi. Kecelakaan pada
PLTN dapat mengakibatkan zat radioaktif tersebut menyebar ke udara yang kemudian
terbawa oleh angin sampai ke atmosfer. Zat radioaktif yang telah tersebar di atmosfer
kemudian jatuh ke permukaan bumi menyebar ke udara, perairan, dan tanah sehingga dapat
merusak lingkungan.
Penggunaan nuklir sebagai sumber energi menjadi tantangan besar karena belum ada
satu solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan limbah yang dihasilkan akibat penggunaan
PLTN. Pengelolaan limbah nuklir yang umum saat ini adalah penimbunan di suatu tempat
yang terbilang aman. Namun, cara tersebut bukan merupakan solusi karena limbah bisa saja
tercecer pada saat ditransportasikan dan bisa juga terjadi kebocoran pada saat penimbunan
limbah (Anindarini, 2020). Bahkan, dampak-dampak tersebut sudah menjadi sebuah
kenyataan jika merujuk pasca kejadian nuklir di Jepang dan Ukraina. Setelah 10 tahun
kejadian nuklir di Fukushima, level radiasi yang dipantau oleh Greenpeace masih jauh lebih
tinggi dibandingkan target pemerintah Jepang. Greenpeace menemukan bahwa jumlah
radiasi sebesar 10 µSv per jam, dimana target dari pemerintah Jepang 0.23 µSv per jam
(Greenpeace, 2021). Sedangkan kejadian yang menimpa Chernobyl jauh lebih buruk,
Chernobyl baru benar-benar aman untuk dihuni sekitar 3.000 sampai 20.000 tahun lagi
(International Atomic Energy Agency, 2006).
9
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa penggunaan istilah EBT yang
merujuk ke akronim energi baru dan terbarukan dapat berbahaya bagi proses transisi energi
Indonesia. Hal tersebut karena energi baru dan terbarukan adalah dua jenis energi yang berbeda.
Terlebih lagi, energi baru memiliki dampak yang sama dengan PLTU batu bara konvensional
yakni tetap merusak lingkungan. Dengan demikian, penggunaan energi baru sebagai sumber
energi bukan merupakan sebuah solusi dan justru memperburuk kondisi lingkungan saat ini.
Lebih lanjut, mengingat proses transisi energi membutuhkan sumber energi bersih yang ramah
lingkungan dan memberi kesejahteraan bagi masyarakat maka pemerintah seharusnya memberi
perlakuan yang berbeda terhadap energi baru dan energi terbarukan. Pemerintah seharusnya lebih
mengutamakan pengembangan dan penggunaan energi bersih terbarukan yang ramah lingkungan
dalam proses transisi energi. Hal tersebut dapat dimulai dengan mencabut kebijakan yang
mengistimewakan energi baru dan membuat kebijakan yang lebih mengoptimalkan energi bersih
terbarukan dalam pemenuhan kebutuhan energi Indonesia.
Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA)
melimpah dan berpotensi memproduksi SDA dalam jumlah besar. Menurut Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sumber daya
alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan nonhayati yang
secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem. Pasal tersebut menjelaskan bahwa sumber
daya alam terbagi menjadi dua jenis, yakni sumber daya alam hayati dan nonhayati. Sumber daya
alam hayati adalah segala sumber daya alam yang berhubungan makhluk hidup. Sedangkan,
sumber daya alam nonhayati dapat diartikan sebagai sumber daya alam yang tidak hidup atau
mati. Contoh dari sumber daya alam hayati adalah hewan (satwa), tumbuhan, mikroba, dan
manusia. Adapun contoh dari SDA nonhayati antara lain bahan tambang, tanah, air, dan matahari
(Weddell, 2002).
Indonesia memiliki kekayaan SDA hayati maupun nonhayati yang berlimpah. Dari sisi
sumber daya hayati, Indonesia merupakan rumah dari 25% spesies tumbuhan berbunga dengan
jumlah 20.000 spesies (Kusmana & Hikmat, 2015), sedangkan dari sisi nonhayati, Indonesia
memiliki potensi teknis energi surya jauh lebih besar dari 207 GW (IESR, 2021a). Kekayaan
sumber daya tersebut menyebabkan SDA harus dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhannya dan
tidak dieksploitasi secara berlebihan, terutama oleh negara. Oleh karena itu, penguasaan negara
terhadap kekayaan SDA perlu menjadi perhatian.
Pengaturan mengenai penguasaan negara terhadap SDA dijelaskan dalam Pasal 33 Ayat
(3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara, serta digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Dalam penguasaan terhadap kekayaan sumber daya alam, negara memiliki beberapa mandat.
Mandat-mandat tersebut dapat berupa mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan
(bestuursraad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersbaar), dan pengawasan
(tooezichtoundensdaad) yang bertujuan untuk kemakmuran rakyat. Fungsi kebijakan (beleid)
10
dan tindakan pengurusan (bestuursraad) ini sendiri disertai dengan kewenangan pemerintah
untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi
(consessie). Selanjutnya, fungsi pengaturan oleh negara yang diperankan lembaga legislatif
yakni DPR dalam membentuk regulasi, fungsi ini adalah fungsi pengaturan oleh negara
(regelendaad). Fungsi ketiga adalah fungsi pengelolaan dilakukan melalui mekanisme
kepemilikan saham (shareholding) yang melibatkan Badan Usaha Milik Negara atau Badan
Hukum Milik Negara sebagai instrumen. Fungsi terakhir adalah fungsi pengawasan yang
dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah guna mengendalikan dan
mengawasi penggunaan sumber daya alam (Hayati, 2019). Dengan adanya fungsi-fungsi ini
negara bisa memberikan intervensi langsung terhadap pengelolaan sumber daya alam.
Lebih lanjut, konsep negara sebagai penguasa atas SDA tidak berarti negara memiliki
hak milik atas segala bentuk sumber daya. Namun, dalam konsep ini negara memiliki hak
penguasaan yang bertanggung jawab untuk kemakmuran rakyat (Hayati, 2019). Konsep
penguasaan oleh negara yang berkaitan dengan kedaulatan rakyat tentunya mencakup bidang
politik maupun ekonomi. Sesuai dengan makna kedaulatan rakyat maka rakyatlah yang menjadi
pemilik sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi. Hal ini menunjukan bahwa SDA adalah milik
seluruh rakyat secara kolektif dan negara hanya memegang amanah untuk mengatur dan
mengelola serta hasilnya digunakan untuk kemakmuran rakyat (Redi, 2015).
setiap orang untuk menuntut kepada pemerintah supaya kebaikan dan kesehatan lingkungannya
diperhatikan dan ditingkatkan. Negara wajib menciptakan lingkungan hidup yang baik dan sehat
bagi warganya dan secara terus menerus melakukan usaha-usaha perbaikan dan penyehatan
lingkungan hidup (Fadli et al, 2016). Dalam konteks penggunaan energi, pemerintah wajib
menjamin adanya pemenuhan kebutuhan energi dengan tetap mempertimbangkan asas
pelestarian fungsi lingkungan hidup sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Undang-Undang No.
30 Tahun 2007.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa Indonesia memiliki sumber daya
alam yang melimpah. Bahkan, beberapa sumber daya alam tersebut dapat berpotensi menjadi
sumber energi. Selanjutnya dalam menjamin kemakmuran rakyat, penguasaan negara terhadap
sumber daya alam memiliki batasan-batasan yang sudah diatur dalam konstitusi agar terjaminnya
pemenuhan energi bagi rakyat. Lebih lanjut, adanya pengaturan mengenai hak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat juga semakin menegaskan bahwa dalam hal pemenuhan energi bagi
rakyat, negara harus menjamin pemenuhan energi dengan mempertimbangkan asas pelestarian
fungsi lingkungan hidup.
12
13
BAB II
2.1. Kontradiksi Komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris dengan Realitas Pemenuhan
Kebutuhan Energi
Menurut atau Intergovernmental Panel on Climate Change atau IPCC (2021) laporan
iklim terbaru dari Panel Iklim PBB selama 2011-2020 suhu permukaan global menjadi lebih
tinggi 0,2°C hingga 1°C dibandingkan tahun 1850-1900. Salah satu penyebab meningkatnya
suhu global tersebut karena meningkatnya emisi gas rumah kaca. Tahun 2019 merupakan tahun
dimana konsentrasi CO2 tertinggi di atmosfer selama 2 juta tahun terakhir serta tahun dimana
konsentrasi CH4 dan N2O tertinggi di atmosfer selama 800.000 tahun terakhir. Sejak tahun 1750,
konsentrasi CO2 meningkat sebesar 47%, CH4 meningkat sebesar 156%, dan N2O meningkat
sebesar 23%.
Gambar 2.1. Perubahan Suhu Permukaan Global (rata-rata tahunan) (IPCC, 2021)
Selanjutnya dalam skala nasional, menurut Badan Meteorologi dan Klimatologi atau
BMKG (2021) semenjak tahun 1981 Indonesia mengalami kenaikan suhu bumi sebesar 0,6℃.
Berdasarkan data dari 87 stasiun pengamatan BMKG, normal suhu udara bulan Agustus periode
1981-2010 di Indonesia adalah sebesar 26,3oC dan suhu udara rata-rata bulan Agustus 2021
adalah sebesar 26,9oC. Perubahan suhu udara tersebut merupakan nilai tertinggi ke-3 sepanjang
periode data pengamatan sejak 1981. Sedangkan berdasarkan suhu udara tahunan, Indonesia
mengalami kenaikan suhu sebesar 0,7oC sejak 1981. Berdasarkan data dari 91 stasiun
pengamatan BMKG, normal suhu udara periode 1981-2010 di Indonesia adalah sebesar 26,6oC
dan suhu udara rata-rata tahun 2020 adalah sebesar 27,3oC. Tahun 2020 tersebut menempati
tahun terpanas kedua sejak 1981 dalam catatan BMKG.
14
Gambar 2.2. Anomali dan Suhu Udara Tahunan (Badan Meteorologi dan Klimatologi, 2021)
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa salah satu penyebab terjadinya kenaikan suhu
adalah meningkatnya gas rumah kaca. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(2020), emisi gas rumah kaca nasional pada tahun 2018 adalah 1.637.156 Gg CO2e atau
meningkat sebesar 450.928 Gg CO2e dibandingkan tahun 2000. Dari angka tersebut, sektor
energi menyumbang emisi gas rumah kaca sebesar 595.665 Gg CO2e, sektor industri dan
penggunaan produk sebesar 59.262 Gg CO2e, sektor pertanian sebesar 131.642 Gg CO2e, sektor
kehutanan dan kebakaran gambut sebesar 723.510 Gg CO2e, serta sektor limbah sebesar 127.077
Gg CO2e. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa sektor energi merupakan kontributor kedua
terbesar emisi gas rumah kaca nasional. Bahkan, sejak tahun 2000-2018 sektor energi selalu
konsisten menjadi kontributor kedua terbesar emisi gas rumah kaca nasional. Lebih lanjut,
subkategori penyumbang emisi terbesar dari sektor energi adalah industri energi (termasuk
didalamnya pembangkitan listrik), yakni sebesar 11,26% dari total emisi serapan nasional.
Gambar 2.3. Profil Emisi GRK Nasional Tahun 2000-2018 (Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan, 2020)
15
Dominasi sektor energi terhadap emisi gas rumah kaca tidak terlepas dari penggunaan
energi terbarukan yang masih sedikit dan penggunaan batu bara yang masih banyak dalam
pemenuhan kebutuhan energi nasional. Dewan Energi Nasional (2020) menyebutkan bahwa
bauran energi primer tahun 2019, capaian energi baru terbarukan sebesar 9,15%, gas bumi
sebesar 20,13%, batu bara sebesar 37,15%, dan minyak bumi sebesar 33,58%.
Gambar 2.4. Target dan Capaian Bauran Energi Primer Tahun 2015-2019 (Dewan Energi
Nasional, 2020)
Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa meskipun bauran energi baru terbarukan meningkat
pada tahun 2017, 2018, dan 2019, namun hal yang sama juga terjadi pada batu bara. Pada tahun
2017, porsi batu bara mencapai 30,53%, tahun 2018 mencapai 32,97%, dan tahun 2019 mencapai
37,15% dalam bauran energi primer. Bahkan, batu bara menjadi sumber energi paling dominan
daripada energi lainnya dalam bauran energi primer pada tahun 2018 dan 2019.
Tidak hanya energi primer, batu bara juga mendominasi dalam bauran energi pembangkit
tenaga listrik. Menurut Dewan Energi Nasional (2020), selama lima tahun yakni pada tahun
2015-2019 batu bara menjadi sumber utama energi pembangkit tenaga listrik. Pada tahun 2015,
porsi batu bara mencapai 57,69%, tahun 2016 mencapai 59,50%, tahun 2017 mencapai 59,14%,
tahun 2018 mencapai 56,80%, dan tahun 2019 mencapai 59,28%.
16
Gambar 2.5. Target dan Capaian Bauran Energi Pembangkitan Tenaga Listrik Tahun 2015-
2019 (Dewan Energi Nasional, 2020)
Berdasarkan kedua data tersebut dapat diketahui bahwa bauran energi baru terbarukan lebih
rendah dibandingkan batu bara. Pada tahun 2019, energi baru terbarukan hanya mencapai 9,15%
dalam bauran energi primer dan 17,79% dalam bauran energi pembangkitan tenaga listrik.
Padahal, sumber energi batu bara memiliki dampak negatif terhadap lingkungan. Dalam
konteks perubahan iklim, sejak proses pertambangan hingga menjadi bahan bakar PLTU, batu
bara mengeluarkan emisi yang memperparah perubahan iklim. Informasi rinci mengenai
permasalahan penggunaan energi kotor batu bara dan solusi dari permasalahan tersebut dapat
dibaca melalui Kajian Komprehensif “Indonesia Merdeka dari Energi Kotor Batu Bara”.
Lebih lanjut kondisi penggunaan batu bara sebagai sumber energi tidak hanya terjadi saat
ini, namun kondisi tersebut akan terus berlangsung pada masa mendatang. Dalam Pasal 9
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional menyebutkan
bahwa target penggunaan batu bara dalam bauran energi Indonesia adalah minimal 30% pada
2025 dan 25% pada 2050. Pemerintah lebih memilih untuk menetapkan batas minimum
penggunaan sumber energi kotor batu bara ketimbang menetapkan batas maksimum. Bahkan,
dalam peraturan terbaru seperti Undang-Undang Cipta Kerja, batu bara mendapat perlakuan
istimewa. Dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,
perusahaan yang melakukan peningkatan nilai tambah batu bara diberikan perlakukan tertentu
oleh negara di mana perusahaan batu bara diberi kemudahan oleh negara dalam bentuk royalti
sebesar 0% atau insentif bebas royalti. Hal tersebut diperparah karena ketentuan minimal 30%
kawasan hutan dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau telah dihapus dalam Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dengan adanya sejumlah pasal tersebut
membuat perusahaan semakin semena-mena dalam mengeksploitasi sumber daya alam. Tidak
hanya itu, pemerintah juga telah mengalokasikan sekitar Rp720 triliun untuk mendanai
pemulihan nasional dari COVID-19. Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) memberikan peluang
untuk meningkatkan investasi pembangunan rendah karbon, tetapi rencana saat ini tidak
menempatkan negara pada jalur rendah emisi, dan justru sebaliknya. Kebijakan dan komitmen
17
iklim Indonesia mengarah pada peningkatan, bukannya penurunan emisi dan sama sekali tidak
konsisten dengan batas kenaikan suhu 1,5°C Perjanjian Paris. Bahkan, jika semua negara
mengikuti pendekatan unconditional NDC Indonesia, pemanasan akan mencapai lebih dari 4°C
(Climate Action Tracker, 2021).
Perlu diketahui bahwa perubahan iklim disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan suatu
unsur di atmosfer bumi seperti terlalu banyaknya zat CO2, CH4, NO2, HFCs, CFCs, dan SF6. Zat-
zat kimiawi tersebut adalah unsur penyebab yang berasal dari dalam bumi dan terakumulasi di
lapisan atmosfer bumi. Selain itu, perubahan iklim juga disebabkan oleh gas rumah kaca (GRK)
yang terdiri dari CO2, CH4, dan N2O. Masing-masing gas tersebut memiliki ketahanannya
masing, terkecuali untuk CO2 yang tidak bisa terurai (IPCC, 2013). Menurut Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2020), gas CO2 merupakan kontributor utama dalam emisi
GRK sektor energi. Gas CO2 menyumbang hampir 93% dari emisi GRK nasional, sedangkan
gas CH4 dan N2O menyumbang 6% dan 1% dari total emisi GRK nasional.
Gambar 2.6. Tingkat Emisi GRK Sektor Energi Berdasarkan Jenis Gas (Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2020)
Walaupun metana dan nitrogen oksida kuantitasnya lebih sedikit daripada CO2, tetapi metana
justru menangkap panas lebih banyak hingga 20 kali lipat. Hal tersebut karena metana
merupakan insulator yang lebih efektif dibandingkan karbondioksida. Selain itu, dampak GRK
terhadap perubahan iklim juga dapat diketahui dari kemampuan GRK untuk menangkap panas
atau disebut global warming potential (GWP). GWP dihitung dengan mengkalkulasikan daya
serap inframerahnya dan panjang gelombang dari infra merahnya. Semakin tinggi angka
pengelompokkan GWP maka tingkat berbahaya gas tersebut semakin tinggi (Hein & Arena,
2014).
18
Tabel 2.1. Global Warming Potential Berbagai Jenis Gas (Hein & Arena, 2014))
Selanjutnya dalam menghadapi kenaikan suhu bumi dan perubahan iklim, Indonesia telah
menyetujui Perjanjian Paris dan meratifikasinya dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2016
tentang Pengesahan Perjanjian Paris to the United Nations Framework Convention on Climate
Change. Pengesahan tersebut dilakukan untuk menahan kenaikan rata-rata suhu global di angka
2oC di atas tingkat masa pra-industrialisasi dan melanjutkan upaya tersebut untuk menekan
kenaikan suhu di angka 1,5oC di atas tingkat pra-industrialisasi. Namun, saat ini Indonesia masih
menggunakan batu bara sebagai sumber utama kebutuhan energi nasional. Beberapa peraturan
justru malah mengistimewakan penggunaan batu bara. Hal tersebut semakin diperparah dengan
adanya rencana pemenuhan energi Indonesia yang melanggengkan penggunaan batu bara di
masa mendatang. Mengingat Indonesia sudah berkomitmen dalam Perjanjian Paris, pemerintah
seharusnya melakukan langkah konkret untuk meninggalkan batu bara dan beralih ke energi yang
rendah emisi. Langkah tersebut dapat dimulai dengan menyusun kebijakan yang
mengoptimalkan penggunaan energi bersih terbarukan dalam pemenuhan kebutuhan energi
nasional. Pun, hingga Agustus 2020 rencana sektor ketenagalistrikan PLN untuk sepuluh tahun
ke depan (RUPTL) belum dipublikasikan, yang masih memberikan kesempatan kepada
pemerintah untuk menyesuaikan rencananya dan mengubah arah pembangunan dari pembangkit
listrik tenaga batu bara ke transisi energi bersih terbarukan secara bertahap pada tahun 2040.
Menurut World Energy Council (2020), Energy Trilemma Index adalah sebuah indeks
tahunan yang dikeluarkan oleh World Energy Council (Dewan Energi Dunia) semenjak tahun
2010 bertujuan untuk mengukur performa kebijakan energi dari masing-masing negara. Energy
Trilemma Index adalah alat dan kerangka kerja untuk menilai sistem energi suatu negara
19
berdasarkan prinsip aman, adil, dan ramah lingkungan. Pada dasarnya terdapat tiga aspek untuk
mengetahui peringkat Energy Trilemma Index sebuah negara. Aspek tersebut antara lain:
a. Energy security; kemampuan suatu negara untuk memenuhi permintaan energi pada masa
sekarang dan mendatang, serta kemampuan suatu negara untuk bertahan dan bangkit dari
gangguan pada pasokan energi. Aspek ini juga meliputi efektifitas pengelolaan sumber
energi dalam dan luar negeri serta keandalan dan ketahanan infrastruktur energi.
b. Energy Equity; kemampuan suatu negara menyediakan akses energi yang andal,
terjangkau, dan berlimpah untuk penggunaan domestik dan komersial. Aspek ini
mencakup akses dasar ke listrik dan bahan bakar, akses ke tingkat konsumsi energi yang
memungkinkan kemakmuran, serta keterjangkauan listrik, gas, dan bahan bakar.
c. Environmental sustainability; kemampuan sistem energi suatu negara menuju mitigasi
dan menghindari potensi kerusakan lingkungan dan dampak perubahan iklim. Aspek ini
berfokus pada produktivitas dan efisiensi pembangkit, transmisi dan distribusi,
dekarbonisasi, dan kualitas udara.
Gambar 2.7. Konsep Energy Trilemma Index (World Energy Council, 2020)
Dalam skala global, Indonesia berada di peringkat 56 dari 108 dan mendapatkan predikat
A untuk Energy Security serta predikat C untuk Energy Equity dan Environmental Sustainability.
Kemudian, negara yang mendapat peringkat satu adalah Switzerland dengan peringkat A untuk
ketiga aspek yakni Energy Security, Energy Equity, dan Environmental Sustainability. Kemudian
dalam skala Asia Tenggara, negara yang mendapat peringkat satu adalah Malaysia dengan
predikat B untuk ketiga aspek yakni Energy Security, Energy Equity, dan Environmental
Sustainability (World Energy Council, 2020).
20
Gambar 2.8. Peringkat Energy Trilemma Index (World Energy Council, 2020)
Selain kedua kelemahan di atas, ketergantungan pemakaian energi kotor batu bara
dengan sistem pembangkit tersentralisasi juga berdampak pada aktivitas masyarakat jika
terjadi gangguan sistem. Pada tahun 2019, terjadi sebuah pemadaman listrik total yang
terjadi di wilayah Jakarta serta sebagian wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur. Pemadaman
tersebut terjadi karena adanya gangguan transmisi 500 kV di Ungaran dan Pemalang yang
disebabkan oleh kelalaian PLN dalam pemeliharaan dan pengawasan terhadap pohon yang
telah melewati jarak bebas minimum sepanjang jalur transmisi. Pemadaman tersebut
mengakibatkan terhentinya sektor ekonomi di bagian UMKM dan transportasi terutama
kereta. Pemadaman total yang terjadi mengakibatkan terhentinya 240 perjalanan KRL.
Bahkan, total kerugian akibat pemadaman tersebut mencapai sekitar Rp90M (BBC
Indonesia, 2019).
Dalam konteks energi terbarukan, penerapan energy security juga masih belum
optimal. Hal tersebut dapat dilihat dari penggunaan energi setempat yang masih rendah.
Beberapa provinsi di Indonesia memiliki potensi energi terbarukan di atas 20 GW. Bahkan,
Kalimantan Barat, Papua, dan Jawa Barat memiliki potensi energi terbarukan mencapai 26
GW. Namun, saat ini penggunaan energi terbarukan tersebut masih sangat kecil. Sebagai
contoh, penggunaan energi terbarukan di Nusa Tenggara Barat dan di Sumatera Selatan
hanya 0,08% (IESR, 2019b).
Papua 26.529 20
Tabel 2.2. Potensi dan Kapasitas Terpasang Energi Terbarukan Tahun 2018 (IESR, 2019b)
22
Gambar 2.9. Rasio Elektrifikasi Tahun 2020 (Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral, 2021a)
Meskipun tingkat elektrifikasi Indonesia hampir 100% namun kualitas akses listrik
masih menjadi catatan penting. Tidak semua masyarakat mendapatkan akses listrik dengan
kualitas yang seragam. Sebagian besar program elektrifikasi masih menyediakan akses
listrik dengan kualitas Tier 1+ dan di bawah Tier 1. Hanya sejumlah kecil layanan listrik
yang berkualitas Tier 2 yang lazimnya berasal dari pembangkit mikro atau mini-hidro.
Kapasitas PLTS dan battery yang terbatas hanya mampu memasok listrik rata-rata 10-12
jam per hari, dengan daya tersambung setiap rumah 100 Watt (AC). Sedangkan solusi
LTSHE atau teknologi Solar Home System (SHS) yang disebarkan pada 2017 sampai 2019
kepada 1,6-1,7 juta penduduk, hanya menyediakan layanan penerangan secara terbatas
selama rata-rata 10-12 jam dari 4 lampu jenis LED berdaya 3 atau 4 Watt. LTSHE juga
dirancang untuk bekerja efektif selama 3 tahun saja sehingga hal tersebut bukan merupakan
solusi jangka panjang penyediaan akses listrik. Dengan menggunakan konsep multi-tier
framework (MTF) untuk mengukur kualitas akses energi secara multidimensional maka
sebagian besar program elektrifikasi perdesaan di Indonesia baru mencapai Tier 1 dan Tier
2. Sedangkan, masyarakat yang mendapatkan aliran listrik dari PLN terutama di kota,
sebagian besar mendapatkan akses listrik dengan kualitas Tier-4, bahkan Tier-5 (IESR,
2020).
23
Daya rendah (50 - 199 W) Penerangan dengan banyak titik, komputer, Tier 2
televisi, printer, kipas angin
Daya menengah (200 - 799 W) Lemari pendingin, pemroses makanan, pompa Tier 3
air, penanak nasi, freezer
Daya tinggi (800 - 1.999 W) Mesin cuci, setrika, toaster, microwave, Tier 4
pengering rambut
Daya sangat tinggi (> 2000 W) Penyejuk/pemanas ruangan, vacuum cleaner, Tier 5
pemanas air, kompor listrik
Tabel 2.3. Kualitas Akses Listrik Berdasarkan Multi-tier Framework (MTF) (IESR, 2020)
Perbedaan kualitas akses ini dapat memengaruhi manfaat dan efektivitas akses listrik
yang diterima masyarakat. Ketersediaan listrik di desa berhubungan erat dengan aktivitas
produktif dan kesempatan ekonomi yang diciptakan. Perbaikan kualitas akses listrik desa,
yang bukan sekedar ketersambungan dan penerangan saja perlu menjadi perhatian
pemerintah, terutama dalam penyediaan listrik di daerah-daerah tertinggal. Kualitas akses
yang ditandai dengan kecukupan untuk memenuhi kebutuhan listrik di luar penerangan perlu
dikedepankan. Paradigma akses energi untuk pembangunan manusia perlu diprioritaskan
dalam perencanaan dan penerapan program pemenuhan energi nasional (IESR, 2020).
BAB III
Indonesia memiliki potensi bersih terbarukan yang besar, namun saat ini penggunaannya
sangat rendah. Tabel di bawah ini menunjukan besarnya potensi dan kapasitas terpasang serta
penggunaan berbagai jenis energi.
Kapasitas
Jenis Energi Potensi (MW) Pemanfaatan (%)
Terpasang (MW)
Tabel 3.1. Potensi dan Kapasitas Terpasang Pembangkit Energi Terbarukan Indonesia (PLN,
2019)
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa Indonesia memiliki potensi kapasitas pembangkit
sebesar 443.208 MW, namun saat ini kapasitas terpasangnya hanya sebesar 8.215,5 MW (1,9%).
Dari tabel di atas juga diketahui bahwa energi surya memiliki potensi kapasitas pembangkit
terbesar dibandingkan energi terbarukan lainnya yakni mencapai 207.898 MW, namun
penggunaannya saat ini hanya sebesar 78,5 MW. Pemerintah sebagai penyelenggara negara
memiliki peran penting untuk mengoptimalkan penggunaan energi terbarukan. Pun, mengingat
banyak dampak positif yang dapat diperoleh dari penggunaan energi terbarukan maka
pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang dapat mengoptimalkan penggunaan energi
terbarukan. Berikut akan dijelaskan secara rinci mengenai contoh dan dampak penggunaan
energi terbarukan tersebut.
surya atau fotovoltaik (Markvart, 2000). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, potensi
kapasitas pembangkit energi surya di Indonesia sangat besar, yakni 207.898 MW namun
penggunaannya hanya sekitar 78,5 MW (PLN, 2019). Di bawah ini merupakan peta potensi
energi surya di Indonesia, provinsi yang berpotensi memiliki energi surya terbesar, yaitu
Kalimantan Barat sebesar 20.113 MW. Sedangkan, provinsi yang memiliki potensi energi
surya terkecil di Indonesia adalah DKI Jakarta sebesar 225 MW.
Gambar 3.1. Potensi Energi Surya Indonesia (Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral, 2021b)
1 Aceh 7.881
2 Bali 1.254
3 Bangka-Belitung 2.810
4 Banten 2.461
5 Bengkulu 3.475
8 Gorontalo 1.218
9 Jambi 8.847
19 Lampung 7.763
20 Maluku 2.238
24 Papua 7.272
26 Riau 6.307
TOTAL 207.898
Dengan potensi energi yang begitu besar, diperlukan teknologi yang dapat
mewujudkan penggunaan energi surya secara optimal. Sistem pembangkit listrik tenaga
surya umumnya menggunakan teknologi fotovoltaik. Sistem ini memiliki komponen
utama, yaitu sel surya. Saat ini terdapat banyak teknologi pembuatan sel surya. Sel surya
konvensional yang sudah komersil saat ini menggunakan teknologi wafer silikon kristalin
dengan dua jenis, yaitu monocrystalline dan polycrystalline. Monocrystalline memiliki
tingkat efisiensi yang tinggi, tetapi biayanya tinggi. Sedangkan, polycrystalline memiliki
biaya yang rendah, tetapi efisiensinya rendah (Jumrusprasert et al, 2010).
memiliki pabrikan panel surya dengan kapasitas yang masih rendah, yaitu 40 MW sampai
50 MW. Hal tersebut mengakibatkan bahan baku pabrikan panel surya, dalam hal ini sel
surya masih dipasok dari luar negeri. Dengan demikian, harga panel surya nasional
menjadi lebih mahal dibandingkan negara lain. Saat ini, harga rata-rata solar panel
nasional masih mencapai US$1,00 per WP. Harga tersebut jauh lebih mahal
dibandingkan dengan negara lain, seperti Tiongkok yang hanya sebesar US$0,20 per WP
(Sukmajati & Hafidz, 2019). Harga yang masih tinggi menjadi isu penting dalam
perkembangan industri sel surya. Berbagai teknologi pembuatan sel surya harus terus
diteliti dan dikembangkan dalam rangka upaya penurunan harga produksi sel surya agar
mampu bersaing dengan sumber energi lain. Pemerintah juga harus mengeluarkan
kebijakan produksi sel surya di Indonesia agar kedepannya pengimporan sel surya tidak
perlu dilakukan.
Meskipun harga energi surya masih tinggi, tetapi hal itu akan terasa murah
kedepannya apabila melihat tren pemakaian listriknya. Bahkan, saat ini harga energi
surya sudah tergolong cukup lebih murah. Menurut Lazard (2020), biaya listrik tenaga
surya mengalami penurunan sebesar 89% dari $359 ke $40 pada tahun 2019. LCOE dari
tenaga surya sudah bisa menandingi LCOE dari energi tak terbarukan seperti batu bara.
LCOE atau Levelized Cost of Energy adalah biaya dari pembangunan infrastruktur
pembangkit listrik dan biaya operasional sepanjang masa operasionalnya.
Lebih lanjut berdasarkan Peta Potensi Energi Surya Indonesia oleh Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (2021b), pembangkit listrik tenaga surya dapat
dibangun hampir di semua lokasi. Hal tersebut merupakan alternatif sangat tepat untuk
dikembangkan agar daerah yang jauh dari pusat pembangkit listrik dapat terjangkau.
Dengan dukungan teknologi dan kebijakan pemerintah, potensi energi surya di Indonesia
sangatlah besar. Energi surya diasumsikan akan memiliki penguasaan pasar hingga 50%
sehingga pasar energi surya di Indonesia sudah cukup besar untuk menyerap keluaran
dari suatu pabrik sel surya berkapasitas hingga 25 MW per tahun (Sukmajati & Hafidz,
2019). Hal ini tentu merupakan peluang besar bagi industri lokal untuk mengembangkan
bisnisnya ke pabrikasi sel surya. Tentunya, segala proses yang dilakukan harus
memperhatikan kelestarian lingkungan hidup agar tidak memperparah perubahan iklim
dan menambah emisi.
teratur dan berulang-ulang) dari seluruh partikel massa air laut baik partikel di permukaan
sampai bagian terdalam dasar laut. Gerakan tersebut disebabkan oleh pengaruh gravitasi
(gaya tarik menarik) antara bumi dan bulan, bumi dan matahari, atau bumi dengan bulan
dan matahari. Pasang-surut laut merupakan hasil dari gaya tarik gravitasi dan efek
sentrifugal (dorongan ke arah luar pusat rotasi) (Schwartz, 2006).
Energi pasang surut merupakan bentuk energi dengan memanfaatkan beda
ketinggian pada waktu air laut pasang dan air laut surut. Salah satu keuntungan utama
tenaga pasang surut dibandingkan tenaga surya atau angin adalah pasang surutnya dapat
diprediksi dan daya dapat dijadwalkan bertahun-tahun sebelumnya. Pasang surut akan
bervariasi berdasarkan waktu dan tingginya. Keduanya tergantung pada posisi relatif
matahari, bulan, dan bumi. Topografi dan kedalaman laut pada keadaan tertentu dapat
bertindak sebagai resonator atau konsentrator pasang surut dan dapat menyebabkan
tinggi pasang mencapai 15 meter. Cukup banyak selat sempit atau teluk yang dimiliki
masing-masing pulau untuk membatasi pasang surut. Hal ini memungkinkan penggunaan
energi aliran air dengan menggerakkan turbin untuk membangkitkan listrik pada saat laut
pasang dan surut (Surinati, 2007).
Gambar 3.3. Lokasi Potensial Pembangkit Energi Pasang Surut (Firdaus et al, 2017)
terletak di antara Pulau Nusa Penida dan Pulau Nusa Lembongan. Selat ini memiliki lebar
1000 meter serta memiliki pasang surut semidiurnal dan diurnal yang signifikan.
Keempat, Selat Lombok yang terletak di wilayah yang sama dengan Selat Toyopakeh.
Kelima, Selat Alas terletak di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Amplitudo
semidiurnal dapat pasang dari 1,2 meter menjadi 2,4 meter lalu turun menjadi 0,6 meter.
Kemudian, besaran kecepatan pasang surut di wilayah ini adalah 2,4 m/s pada kedalaman
7 meter dan memiliki potensi kapasitas pembangkit sebesar 1.260 MW. Keenam, Selat
Molo terletak di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Wilayah ini memiliki
aliran sebesar 1,8 m/s. WIlayah ini memiliki perubahan amplitudo dan perbedaan fase
semidiurnal yang cepat dari Laut Jawa-Banda ke Samudera Hindia. Sedangkan
perubahannya pada fase diurnal lebih ringan dari 0,3 m menjadi 0,2 m. Ketujuh, Selat
Larantuka memiliki kecepatan pasang surut lebih dari 3 m/s. Hampir sama dengan Selat
Molo, Selat Larantuka memiliki kedalaman 20-35 meter sehingga dapat dipasang turbin
pasang surut di dasar laut. Kedelapan, Selat Boleng terletak di antara Pulau Adonara dan
Pulau Lembata. Selat ini memiliki lebar 2.000 meter di utara dan 4.000 meter di selatan.
Kesembilan, Selat Pantar terletak di antara Pulau Alor dan Pulau Pantar. Di wilayah ini
memiliki kecepatan pasang surut lebih dari 2,9 m/s. Terakhir, Selat Mansuar terletak di
Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Wilayah ini memiliki kecepatan pasang
surut maksimum mencapai 1,79 m/s (Firdaus et al, 2017). Selain wilayah-wilayah
tersebut, beberapa daerah lain juga mempunyai potensi energi pasang surut, antara lain
Bagan-siapiapi yang pasang surutnya mencapai 7 meter, Teluk Palu yang struktur
geologinya merupakan patahan (Palu Graben) sehingga memungkinkan gejala pasang
surut, Teluk Bima di Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), lalu Kalimantan Barat, Papua,
dan pantai selatan Pulau Jawa yang pasang surutnya bisa mencapai lebih dari 5 meter
(Surinati, 2007).
Secara teknologi, saat ini ada 3 jenis teknologi pembangkit listrik tenaga arus
pasang surut laut yaitu, Tidal Barrage, Tidal Fence, dan Tidal Turbine. Tidal Barrage
pada dasarnya adaptasi dari teknologi bendungan hidroelektrik konvensional. Sebuah
dinding dibangun yang menghalangi pasang surut dan disertai dengan bendungan atau
barrage. Dinding tersebut juga dilengkapi dengan pintu air yang dapat bergerak. Pintu
air tersebut memungkinkan air pasang yang masuk untuk mengisi reservoir. Setelah air
mencapai tingkat maksimum, pintu air menutup dan menjebak air. Air yang terperangkap
ini disebut hydrostatic head. Saat air surut, perbedaan ketinggian meningkat secara
bertahap dan ketika telah mencapai nilai yang diinginkan, energi potensial yang
dihasilkan dapat diubah menjadi energi mekanik dan kemudian air mengalir keluar
melalui turbin sehingga menghasilkan energi listrik. Pemanfaatan energi ini memerlukan
daerah yang cukup luas untuk menampung air laut (reservoir area). Meskipun begitu,
bangunan dam tersebut bisa dijadikan jembatan transportasi (Helston & Farris, 2017).
33
Selanjutnya, Tidal Fence dan Tidal Turbine merupakan teknologi aliran pasang
surut mirip dengan turbin angin bawah air. Kedua teknologi tersebut menghasilkan
tenaga dari energi kinetik arus pasang surut yang mengalir cepat. Generator tenggelam
pada kedalaman 20-30 meter dan dapat ditempatkan di mana saja yang memiliki arus
pasang surut kuat. Kemudian, turbin pasang surut berfungsi baik pada kecepatan aliran
7-11 km/jam. Keuntungan turbin pasang surut dibandingkan turbin angin adalah
prediktabilitasnya. Pasang surut mengalir masuk dan keluar setiap hari sehingga
menjanjikan energi harian yang dapat dijadwalkan. Namun mengembangkan turbin arus
pasang surut jauh lebih sulit daripada menjatuhkan turbin angin di laut. Hal tersebut
karena air sekitar 800 kali lebih padat daripada aliran air pasang sehingga turbin harus
dibuat jauh lebih kokoh daripada turbin terestrial. Diameter rotor yang kecil membantu
mengurangi masalah tersebut. Keuntungan dari densitas air yang lebih besar adalah
jumlah daya yang dihasilkan relatif besar dengan diameter rotor yang relatif kecil.
Misalnya, rotor dengan diameter 10-15 meter dapat menghasilkan daya sebanyak 700
kW, sedangkan turbin 600 kW membutuhkan diameter rotor 45 meter (Helston & Farris,
2017).
Lebih lanjut, Tidal Power atau pembangkit energi pasang surut dibedakan
menjadi dua yaitu kolam tunggal dan kolam ganda. Pada sistem kolam tunggal, energi
dimanfaatkan hanya saat air surut atau air naik. Sedangkan sistem kolam ganda
memanfaatkan aliran dalam dua arah. Pada instalasi ini, perbedaan tinggi antara
permukaan air di kolam dengan permukaan air laut yang semakin tinggi akan
memberikan suplai energi yang semakin banyak (Surinati, 2007).
Kemudian, teknologi Tidal Fence menggunakan instalasi yang hampir sama dengan
Tidal Power, namun terpisah dengan turbin arus antara 5 sampai 8 knot (5,6 sampai 9
mil/jam) (Helston & Farris, 2017). Skala besar pembangkit tenaga arus ini sepanjang 4 km
telah mulai dikerjakan tak jauh dari Sulawesi Utara yakni di Kepulauan Dalupiri dan Samar,
Filipina. Estimasi energi yang nantinya dihasilkan di Filipina maksimum adalah sebesar
2.200 MW dengan minimum rata-rata sebesar 1.100 MW setiap hari. Hal ini didasarkan
dengan kecepatan arus rata-rata sebesar 8 knots pada kedalaman sekitar 40 meter (Surinati,
2007). Teknologi ketiga adalah Tidal Turbine seperti turbin angin. Teknologi ini berfungsi
sangat baik pada arus pantai yang bergerak sekitar 3,6 dan 4,9 knots (4 dan 5,5 m/jam). Pada
kecepatan ini, turbin arus berdiameter 15 meter dapat menghasilkan energi sama dengan
turbin angin yang berdiameter 60 meter. Lokasi ideal turbin arus pasang surut ini tentunya
dekat dengan pantai pada kedalaman antara 20-30 meter (Helston & Farris, 2017).
Berdasarkan dampaknya terhadap lingkungan, pengoperasian bendungan pasang
surut tidak menghasilkan gas rumah kaca, namun konstruksinya menghasilkan gas rumah
kaca dan diperkirakan mencapai 20,5 megaton. Hal tersebut mungkin terdengar banyak,
tetapi jika pembangkit ini menggantikan pembangkit listrik tenaga batu bara maka
pembangkit ini akan membayar kembali semua potensi emisi pembangunan PLTU batu bara
dalam waktu 6 bulan sejak mulai beroperasi. Dampak lingkungan lainnya yang mungkin
terjadi akibat pembangunan pembangkit listrik pasang surut adalah kematian ikan. Turbin
pembangkit energi pasang surut berputar jauh lebih lambat daripada turbin angin sehingga
ikan dan mamalia laut mungkin mengalami gangguan atau kematian akibat tabrakan dengan
bendungan atau turbin. Namun, kehidupan laut umumnya menghindari turbin yang berayun
dan sejauh ini para peneliti tidak menemukan bukti gangguan atau kematian pada ikan.
Kemudian, penempatan rangkaian turbin di dalam laut akan mengubah arus di area yang
luas dan berpotensi mengganggu pola migrasi ikan atau menyebabkan variasi tekanan air.
Peneliti Irlandia yang mempelajari pertanyaan tersebut menemukan bahwa dampak tersebut
dapat dikurangi dengan membuat susunan turbin yang diberi jarak lima diameter rotor.
Bahkan, gerakan turbin di dalam laut tersebut dapat menyebabkan penurunan kekeruhan
atau sedimen di dalam air sehingga memungkinkan sinar matahari menembus ke bawah dan
36
memicu tumbuhnya fitoplankton yang memiliki efek meningkatkan rantai makanan secara
positif (Watson et al, 2009; Helston & Farris, 2017).
Selanjutnya, secara ekonomi terdapat beberapa hal yang menjadi tantangan dalam
pembangunan pembangkit energi pasang surut antara lain biaya modal yang besar di awal
dan waktu konstruksi yang lama. Namun, hal tersebut dapat diimbangi dengan umur
operasional pembangkit selama 100 tahun. Pun, setelah melewati puncak biaya awal
pembangunan, pembangkit pasang surut menjadi investasi yang menarik, seperti
pembangkit listrik La Rance. Setelah 50 tahun beroperasi, pembangkit listrik La Rance
menyediakan listrik dengan harga murah sebesar 3,7 sen/kWh. Harga tersebut jauh lebih
murah daripada pembangkit termal batu bara di daerah tersebut yakni sebesar 10,8 sen/kWh.
Gambar 3.9. La Rance Tidal Barrage di Prancis (Helston & Farris, 2017)
Bahkan, biaya pemeliharaan dan operasi pembangkitanya hanya kurang dari 0,5%
dari biaya awal pembangunan. Selain itu, khusus Tidal Barrage, pembangunan pembangkit
ini juga berfungsi ganda sebagai jembatan jalan raya yang menambah 40% lebih banyak
keuntungan pada struktur di atasnya (Helston & Farris, 2017). Menurut Jackson & Persoons
(2012), energi pasang surut adalah bentuk energi yang kompetitif. Dengan menggunakan
nilai tahun 2010, keuntungan sebesar €1.671 miliar dapat dicapai dengan investasi
maksimum sebesar €135 juta. positif (Watson et al, 2009; Helston & Farris, 2017).
Kemudian, untuk potensi energi gelombang di Indonesia sangat bervariasi. Pada
dasarnya prinsip kerja teknologi yang mengkonversi energi gelombang laut menjadi energi
listrik adalah mengakumulasi energi gelombang laut untuk memutar turbin generator.
Pergerakan laut yang menghasilkan gelombang laut terjadi akibat dorongan pergerakan
angin. Angin timbul akibat perbedaan tekanan yang diakibatkan oleh respons pemanasan
udara oleh matahari yang berbeda di kedua titik tersebut (Ludji et al, 2014). Konversi energi
dari gelombang laut menjadi energi listrik dilakukan dengan mengubah energi gelombang
mekanik menjadi energi listrik dan dapat menghasilkan lebih dari 1.000-10.000 GW daya
listrik. Energi gelombang laut memiliki kerapatan energi tertinggi di antara energi
37
terbarukan lainnya yakni sekitar 50-100 kW/m dan tergantung pada letaknya baik di garis
pantai, dekat pantai, atau lepas pantai, serta diproyeksikan 10 TW di wilayah laut terbuka
(Farrok et al, 2020).
Gambar 3.10. Posisi Sistem Konverter Energi Gelombang Laut (Farrok et al, 2020)
Ketersediaan energi gelombang laut hampir 3-4 kali lebih tinggi daripada energi
terbarukan lainnya. Sekitar 8.000-80.000 TWh/tahun energi gelombang laut tersedia secara
global, sedangkan hampir 1170 TWh/tahun energi dapat dihasilkan dari jenis sumber ini.
Energi gelombang laut juga memiliki produksi energi tertinggi dibandingkan sumber energi
terbarukan lainnya karena energi gelombang laut dapat menghasilkan 90% energi lebih
banyak dari energi matahari dan angin. Selain itu, energi gelombang laut tidak menggunakan
area daratan apa pun, yang menguntungkan dibandingkan dengan energi terbarukan lainnya.
Keunggulan lainnya dari energi gelombang laut antara lain (i) energi yang dapat digunakan
setiap saat; (ii) tidak akan pernah habis; (iii) tidak menimbulkan pencemaran karena tidak
ada limbah yang dihasilkan; (iv) mudah untuk mengubah energi listrik dari energi mekanik
menjadi gelombang; (v) energi kinetiknya lebih besar dibandingkan dengan energi
terbarukan lainnya karena densitas air laut 830 kali densitas udara (vi) turbin arus laut akan
lebih kecil dari turbin angin (Farrok et al, 2020; Satriawan et al, 2021).
Pembangkit energi gelombang laut biasanya terdiri dari konverter energi gelombang
(wave energy converter atau WEC) dan perangkat energi gelombang (wave energy device
atau WED). WED biasanya merupakan struktur fisik yang menerima tenaga mekanik dari
gelombang laut dan mengarahkannya ke arah tertentu. Hal ini karena memudahkan
generator listrik untuk menghasilkan listrik. Energi mekanik tak beraturan yang diperoleh
dari gelombang laut diubah terlebih dahulu menjadi gerak mekanik beraturan. Geraknya bisa
rotasional atau linier/translasi. Gerak rotasi biasanya menggerakkan turbin dan selanjutnya
menggerakkan generator listrik. Sedangkan, gerakan translasi menggerakkan generator
38
listrik linier. Kemudian, WEC secara umum merupakan konverter yang digunakan dalam
sistem konversi energi gelombang (Farrok et al, 2020; Satriawan et al, 2021).
Daerah samudra Indonesia sepanjang pantai selatan Jawa sampai Nusa Tenggara
adalah lokasi yang memiliki potensi energi gelombang cukup besar berkisar antara 10-20
kW per meter gelombang. Pantai barat Pulau Sumatera bagian selatan dan pantai selatan
Pulau Jawa bagian barat juga berpotensi memiliki energi gelombang laut sekitar 40 kW/m.
Bahkan, beberapa penelitian menyimpulkan bahwa energi gelombang di beberapa titik di
Indonesia bisa mencapai 70 kW/m (Lumbangaol, 2017). Secara teknologi, meskipun
pengembangan teknologi penggunaan energi gelombang di Indonesia saat ini cukup
menjanjikan namun masih belum optimal. Pemanfaatan energi gelombang yang sudah
diaplikasikan di Indonesia baik oleh lembaga litbang (BPPT, PLN) maupun institusi
pendidikan lainnya baru sampai tahap penelitian (Lumbangaol, 2017).
Selain kedua jenis energi laut tersebut, panas laut juga berpotensi sebagai sumber
energi. Energi panas laut memanfaatkan perbedaan temperatur air laut di permukaan dan di
kedalaman. Dalam prosesnya menjadi energi listrik, energi dari matahari memanaskan air
permukaan laut. Di daerah tropis, air permukaan dapat lebih hangat daripada air dalam.
Perbedaan suhu tersebut dapat digunakan untuk menghasilkan listrik dan untuk desalinasi
air laut. Sistem konversi energi panas laut menggunakan perbedaan suhu minimal 77°F
untuk menggerakkan turbin guna menghasilkan listrik. Air permukaan yang hangat dipompa
melalui evaporator yang berisi fluida. Selanjutnya, fluida yang diuapkan menggerakkan
turbin/generator. Cairan yang diuapkan diubah kembali menjadi cairan dalam kondensor
yang didinginkan dengan air laut dingin yang dipompa dari dalam laut (Etemadi et al, 2011).
Gambar 3.11. Sistem Konversi Energi Panas Laut (Etemadi et al, 2011)
39
Secara teknologi, terdapat dua siklus konversi energi panas laut, yaitu siklus Rankine
terbuka dan tertutup. Siklus Rankine adalah suatu siklus dalam bidang termodinamika yang
mengubah panas menjadi kerja. Panas diperoleh secara proses eksternal pada aliran tertutup,
dengan menggunakan fluida yang bergerak. Sebagai pembangkit tenaga listrik, konversi
energi panas laut siklus Rankine terbuka memerlukan diameter turbin sangat besar untuk
menghasilkan daya lebih dari 1 MW, sedangkan komponen yang tersedia belum
memungkinkan untuk menghasilkan daya sebesar itu. Alternatif lain yaitu siklus Rankine
tertutup dengan fluida kerja ammonia (NH3) karena amonia memiliki titik didih yang sangat
rendah. Selain amonia, freon R-22 (CHCF2) dan propana (C3H6) juga memiliki titik didih
yang sangat rendah, yaitu antara -30oC sampai dengan 50oC pada tekanan atmosfer dan
kurang lebih 30oC pada tekanan antara 10-12,5 Kg/cm2. Gas-gas inilah yang berpotensi
sebagai medium/fluida kerja pada konversi energi panas laut (Hyatt, 2017).
Kemudian, untuk mengubah energi panas laut menjadi energi listrik diperlukan
sumber panas, yaitu air permukaan yang hangat dan heat sink atau cold deep water. Sekitar
4 m3/s air hangat dan 2 m3/s air dingin diperlukan untuk menghasilkan 1 MW listrik. Dalam
siklus Rankine tertutup, air permukaan hangat dipompa melalui pipa loop tertutup yang diisi
dengan cairan dengan titik didih rendah (amonia, freon R-22, propana). Air permukaan
hangat tersebut menguapkan cairan menjadi uap dan uap ini menggerakkan turbin. Setelah
uap menggerakkan turbin, cold deep water dipompa melalui pipa untuk mendinginkan uap
dan mengembunkannya kembali menjadi cairan. Cairan ini kemudian kembali ke siklus
awal, sedangkan air laut yang hangat dan dingin dibuang kembali ke laut.
Gambar 3.12. Skema Siklus Energi Panas Laut Tertutup (Herrera et al, 2021)
Selanjutnya, siklus Rankine terbuka mirip dengan siklus tertutup, namun siklus
Rankine terbuka tidak menggunakan cairan titik didih rendah dan hanya menguapkan air
laut hangat di ruang bertekanan rendah. Prosesnya adalah air permukaan hangat dipompa di
ruang bertekanan rendah. Tekanan di dalam ruang tersebut menyebabkan air laut menguap
40
dan berubah menjadi uap air yang memutar turbin. Uap air tersebut kemudian
dikondensasikan kembali menjadi air menggunakan air dingin atau cold deep water (Hyatt,
2017; Herrera et al, 2021).
Gambar 3.13. Skema Siklus Energi Panas Laut Terbuka (Herrera et al, 2021)
Lalu, penggunaan energi panas laut sebagai energi listrik memiliki beberapa
keuntungan antara lain energi panas laut merupakan energi terbarukan yang bersih dan
ramah lingkungan, serta energi panas laut dapat menghasilkan energi setiap saat.
Keuntungan lainnya adalah setelah pipa air dingin dipasang untuk memompa cold deep
water, air dingin dapat digunakan untuk hal-hal lain seperti AC dan pendingin. Selain itu,
keuntungan dari sistem siklus terbuka adalah ketika menguapkan air laut yang hangat dan
dikondensasi kembali menjadi air maka air tersebut merupakan air tawar (fresh water) yang
dapat digunakan masyarakat setempat (Hyatt, 2017; Herrera et al, 2021).
Secara ekonomi, energi panas laut sebagai energi listrik juga memiliki beberapa
keuntungan. Proyek pembangkit listrik bersumber dari energi panas laut lebih sesuai untuk
pulau-pulau kecil karena lokasi-lokasi tersebut umumnya memperoleh listrik dari sumber
fosil dan adanya kelangkaan air tawar. Dalam hal ini, pembangkit 1 MW dengan produksi
air desalinasi akan sangat menguntungkan. Siklus energi panas laut terbuka hingga 10 MW
dapat dipasang di lokasi-lokasi tersebut dan air desalinasi dapat dihasilkan dengan harga
yang kompetitif. Hingga pada akhirnya, negara-negara kepulauan dapat menerapkan siklus
energi panas laut hibrid (terbuka dan tertutup) hingga 50 MW. Skenario ini akan
menguntungkan karena harga listrik yang dihasilkan lebih murah daripada listrik berbahan
bakar fosil. Selain itu, siklus hibrida juga dapat menghilangkan garam air melalui evaporator
(Herrera et al, 2021).
41
Gambar 3.14. Skema Siklus Energi Panas Laut Hibrid (Herrera et al, 2021)
Lautan di wilayah Indonesia memiliki potensi termal 2,5 x 1.023 Joule dan efisiensi
konversi energi panas laut sebesar 3% yang dapat menghasilkan daya sekitar 240.000 MW.
Di Indonesia, potensi energi panas laut terletak di daerah antara 6-9° Lintang Selatan dan
104-109° Bujur Timur. Di daerah tersebut pada jarak kurang dari 20 km dari pantai
didapatkan suhu rata-rata permukaan laut di atas 28°C dan didapatkan perbedaan suhu
permukaan dan kedalaman laut (1.000 m) sebesar 22,8°C. Sedangkan perbedaan suhu rata-
rata tahunan permukaan dan kedalaman lautan (650 m) lebih tinggi dari 20°C (Riyanto,
2017). Dengan potensi tersebut, konversi energi panas laut dapat dijadikan alternatif
pemenuhan kebutuhan energi listrik di Indonesia. Namun, saat ini penggunaan energi panas
laut sebagai energi listrik di Indonesia masih belum masif (Raharjo, 2012).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa secara umum, energi listrik
yang bersumber dari berbagai jenis energi laut memiliki keuntungan secara ekonomi dan
lingkungan. Secara ekonomi, berbagai jenis energi laut bernilai ekonomis. Listrik yang
bersumber dari energi arus laut memiliki harga sebesar Rp1.268/kWh, energi gelombang
laut sebesar Rp1.709/kWh, energi pasang surut sebesar Rp2.048/kWh, energi panas laut
sebesar Rp4.030/kWh (Luhur et al, 2013). Kemudian, berdasarkan dampaknya terhadap
lingkungan, penggunaan listrik yang bersumber dari energi laut dapat menjadi solusi untuk
krisis iklim. Jika teknologi energi terbarukan berbasis laut menggantikan pembangkit listrik
tenaga batu bara, emisi CO2 dapat dikurangi antara antara 0,11 dan 1,90 GtCO2e/tahun pada
tahun 2050. Total pengurangan emisi yang terjadi akan mencapai 0,76 hingga 5,40
GtCO2e/tahun pada tahun 2050 dengan teknologi offshore wind generation dan ocean-based
renewable energy. Selain itu, teknologi berbasis laut menawarkan solusi energi terbarukan
dengan siklus emisi karbon yang rendah (lihat Tabel 3.3).
42
Tabel 3.4. Emission Offsets Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (Cullen, 2013)
Kemudian, terkait masalah kebisingan akibat produksi energi angin telah dihilangkan
dengan kemajuan desain turbin dan lokasi pembangkit yang jauh dari wilayah pemukiman.
Lalu, terkait masalah kebutuhan lahan, PLTB dengan kapasitas 50 MW biasanya
membutuhkan lahan hampir 2000 hektare untuk menara turbin dan 240 hektare untuk akses
jalan. Lahan tersebut dapat digunakan untuk tujuan lain misalnya pertanian, perkebunan,
atau pariwisata. Pun, adanya pembangunan PLTB memungkinkan pembangunan fasilitas
penunjang lainnya seperti layanan kesehatan, pendidikan, komunikasi, dan sarana interaksi
sehingga masyarakat di lokasi tersebut juga akan berkembang. Secara ekonomi, hal tersebut
juga akan membuka pintu kegiatan ekonomi lainnya. Usaha kecil yang terdiri dari barang-
barang konsumsi untuk proyek, usaha produk yang dapat dimakan dan tidak dapat dimakan
untuk pelaksanaan proyek, serta penyediaan sarana kehidupan akan menghasilkan
perkembangan usaha di lokasi pembangunan PLTB (Hashmi et al, 2011; Cullen, 2013).
Listrik yang dihasilkan dari PLTB juga memiliki harga yang kompetitif dengan
listrik berbahan bakar batu bara. Biaya listrik dari PLTB adalah 1-2 sen per kilowatt-jam.
Sebagai contoh, di Montana, biaya listrik yang dihasilkan oleh PLTB jauh lebih murah, yaitu
sekitar $32,11 per megawatt-jam dibandingkan dengan batu bara yang berada di angka
$64,55 per megawatt-jam. Kemudian, perbandingan antara biaya listrik dari PLTB dan
PLTU batu bara tidak disubsidi juga menunjukkan nilai yang kompetitif. Biaya listrik dari
PLTB antara $32 dan $62 per megawatt-jam sementara biaya listrik dari PLTU batu bara
antara $57 dan $148 per megawatt-jam. Energi angin juga memiliki ketidakpastian harga
yang lebih rendah daripada energi batu bara karena listrik dari PLTB dijual dengan harga
tetap untuk jangka waktu yang lama misalnya 20+ tahun dan bahan bakarnya gratis. Selain
itu, secara global juga terjadi tren penurunan harga PLTB. Sejak tahun 2010, onshore wind
turun sebesar 39% dan offshore wind turun sebesar 29% (Lazard, 2020; International
Renewable Energy Agency, 2020a).
45
Gambar 3.16. Peta Kecepatan Angin Indonesia (Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral, 2021c)
Secara umum, kecepatan angin di Indonesia antara 4 hingga 5 m/s. Namun, di daerah-daerah
tertentu seperti di pantai, kecepatan anginnya dapat mencapai 10 m/s. Sebagian besar turbin
angin mulai menghasilkan daya listrik pada kecepatan angin 4 m/s dan akan berhenti tidak
menghasilkan energi pada kecepatan angin 25 m/s. Dengan kecepatan tersebut, jika
dibangun dengan ketinggian tertentu dan diameter baling-baling yang besar maka PLTB
dapat menghasilkan energi listrik 10-100 kW. Namun, hingga tahun 2020 PLTB terpasang
hanya sekitar 135 MW dengan perincian 75 MW di daerah Sidrap dan 60 MW di daerah
Jeneponto (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2021c). Oleh karena itu,
berbagai upaya perlu dilakukan oleh pemerintah mulai dari perencanaan tata ruang untuk
mengetahui kesesuaian lokasi PLTB, kebijakan insentif, hingga peraturan yang mendorong
investasi teknologi dan pasar untuk energi angin.
Gambar 3.18. Peta Potensi Energi Hidro (Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral, 2021d)
Meskipun begitu, hingga Juni 2020 kapasitas terpasang PLTAir/Minirohidro/Mikrohidro
hanya sebesar 6.096 MW (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2020). Salah satu
penyebab terhambatnya penggunaan pembangkit listrik tenaga air adalah produk teknologi
yang sebagiannya masih diimpor (Badan Riset dan Inovasi Nasional, 2020). Padahal
berdasarkan emisinya, pembangkit listrik tenaga air hanya menghasilkan emisi 10,79-95,9
g-CO2/kWh. Hal tersebut berdasarkan perhitungan faktor emisi PLTMH off-grid dari
PLTMH Tangsi Jaya dan PLTMH Maninili (Sihombing, 2015).
Gambar 3.21. Skema Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (Glassley, 2014)
Menurut Goldstein (2011), teknologi pembangkit listrik tenaga panas bumi
menggunakan dua jenis sumur yaitu reservoir hidrotermal dengan permeabilitas alami yang
tinggi dan reservoir tipe engineered geothermal system (EGS) dengan jalur fluida buatan.
Berdasarkan dampaknya terhadap lingkungan atau sosial, hal tersebut bersifat spesifik
tergantung lokasi, teknologi, dan pengelolaan sistem pembangkit tersebut. Secara historis,
emisi CO2 dari pembangkit listrik tenaga panas bumi mulai dari mendekati 0 hingga 740
gCO2eq/kWh tergantung pada desain teknologi dan komposisi fluida panas bumi di reservoir
bawah tanah. Kemudian, berdasarkan siklus hidup emisinya, pembangkit listrik tenaga
panas bumi flash steam siklus hidup emisi CO2 kurang dari 50 gCO2eq/kWh dan pembangkit
listrik EGS kurang dari 80 gCO2eq/kWh. Selain CO2, cairan panas bumi juga dapat
mengandung berbagai gas kecil lainnya, seperti hidrogen sulfida (H2S), hidrogen (H2),
metana (CH4), amonia (NH3) dan nitrogen (N2). Merkuri, arsenik, radon dan boron juga
mungkin ada. Jumlahnya tergantung pada kondisi geologi, hidrologi dan termodinamika
lapangan panas bumi, serta jenis sistem injeksi fluida dan pembangkit listrik yang digunakan
(Goldstein, 2011).
Kemudian, dampak yang mungkin terjadi akibat pembangkit listrik tenaga panas
bumi seperti gempa mikro, erupsi uap hidrotermal, dan penurunan permukaan tanah juga
perlu dipertimbangkan dalam membangun pembangkit tersebut. Hal ini dapat dilakukan
dengan penilaian risiko geologis, pemantauan seismik rutin serta menginformasikan kepada
publik tentang bahaya apapun, sosialisasi mitigasi bahaya seismik dan menyediakan
protokol manajemen risiko. Sedangkan, masalah letusan uap hidrotermal dipicu oleh
perubahan tekanan panas bumi dangkal. Hal tersebut dapat dimitigasi dengan desain dan
operasi lapangan yang hati-hati. Selanjutnya, masalah penurunan tanah dapat diatasi dengan
manajemen injeksi yang ditargetkan untuk mempertahankan tekanan pada kedalaman dan
lokasi penting yang dapat meminimalkan efek penurunan (Goldstein, 2011).
51
Lebih lanjut, secara ekonomi proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi memiliki
biaya investasi awal yang relatif tinggi karena kebutuhan untuk mengebor sumur dan
membangun pembangkit listrik. Meskipun begitu, biaya listrik yang dihasilkan relatif
rendah. Biaya investasi awal biasanya bervariasi antara USD 1.800 dan 5.200 per kW,
sedangkan biaya listrik yang dihasilkan berkisar 4,9 hingga 9,2 sen AS per kWh. Selain itu,
biaya operasi pembangkit listrik tenaga panas bumi juga dapat diprediksi dibandingkan
dengan pembangkit listrik berbasis pembakaran yang bergantung pada fluktuasi harga bahan
bakar di pasar. Bahkan, dalam waktu dekat dan jangka panjang terdapat potensi pengurangan
biaya untuk teknologi panas bumi konvensional maupun EGS. Kemudian, untuk biaya
operasi dan pemeliharaan pembangkit listrik tenaga panas bumi memiliki biaya spesifik
yang bergantung pada kualitas dan desain pembangkit, karakteristik sumber daya, peraturan
lingkungan, dan efisiensi operator (Goldstein, 2011).
Pengembangan sumber daya panas bumi juga memiliki dampak sosial yang
menguntungkan. Hal tersebut karena pembangkit listrik tenaga panas bumi dapat
menyediakan lapangan kerja bagi penduduk daerah yang mungkin menganggur dan
memberikan pendapatan pajak serta produksi bonus dari proyek panas bumi dan usaha kecil
untuk perbaikan fasilitas dan infrastruktur umum daerah, seperti akses layanan umum dan
kebutuhan dasar. Semua manfaat tersebut ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat yang
tinggal di sekitar sumber daya panas bumi. Banyak kisah sukses pengembangan sumber
panas bumi yang telah memicu pertumbuhan ekonomi lokal, misalnya Hawaii di Amerika
Serikat, Wilayah Waikato di Selandia Baru, dan Kamojang di Indonesia. Pengembangan
energi panas bumi di daerah-daerah ini telah memberikan manfaat ekonomi lokal yang besar
dengan meningkatkan rasio elektrifikasi, pariwisata, budidaya, pertanian, hortikultura,
proses pengeringan, pemanasan distrik, dan lain-lain (Zulkarnain, 2016).
MW. Jika semua potensi tersebut digunakan sebagai pembangkit listrik maka terjadi
penambahan kapasitas sebesar 18% dari total produksi listrik saat ini. Kemudian,
penyebaran sumber energi panas bumi hampir merata di seluruh wilayah Indonesia.
Setidaknya terdapat 299 lokasi panas bumi. Besarnya potensi panas bumi di Indonesia
karena letak Indonesia di kawasan ring of fire. Pulau Sumatera dan Sulawesi merupakan
pulau yang paling banyak potensi panas bumi. Perlu diketahui, energi panas bumi di negara
ini memiliki suhu sedang antara 120°C hingga suhu tinggi antara 220°C, dan 220–340°C
(PLN, 2019).
Gambar 3.23. Peta Potensi Panas Bumi di Indonesia (Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral, 2021e)
Meskipun begitu, hingga Juni 2020 kapasitas terpasang PLT Panas Bumi hanya
2.131 MW (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2020). Rendahnya penggunaan
energi panas bumi disebabkan oleh tingginya biaya dan terbatasnya skema pembiayaan
investasi untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi (Nasruddin et al, 2016a). Selain
penggunaannya yang masih rendah, penggunaan pembangkit listrik panas bumi juga
memiliki dampak negatif. Menurut WALHI (2018), pembangkit listrik panas bumi
menghasilkan emisi CO2, CH4, SO2, H2S, dan NH3 yang dapat merusak lapisan ozon. Jumlah
CO2 yang dihasilkan juga diperkirakan mencapai separuh dari jumlah yang dihasilkan oleh
PLTU batu bara untuk produksi listrik dengan daya yang sama. Sementara, emisi SO2 dari
pembangkit listrik panas bumi justru lebih tinggi dibandingkan dengan batu bara. Senyawa
tersebut bukan hanya bersifat merusak lingkungan, tetapi juga berbahaya bagi kesehatan
masyarakat yang tinggal di sekitar proyek.
53
equity (keterjangkauan dan aksesibilitas warga negara terhadap penyediaan energi), dan
environmental sustainability. Hal tersebut dapat dimulai dengan membuat kebijakan insentif
yang mendorong investasi di sektor energi terbarukan. Selain itu, momentum pemulihan pasca
Covid-19 juga dapat menjadi waktu yang tepat bagi pemerintah untuk mengoptimalkan
penggunaan energi terbarukan sebagai sumber energi terutama sektor ketenagalistrikan.
Memasuki abad ke-21, persediaan energi minyak bumi, gas alam, dan batu bara
semakin hari semakin menipis. Sementara kebutuhan energi terus meningkat. Menurut
proyeksi Badan Energi Dunia (International Energy Agency atau IEA), hingga tahun 2030
permintaan energi dunia meningkat sebesar 45% atau rata-rata mengalami peningkatan
sebesar 1,6% per tahun. Saat ini, batu bara menyumbang hampir sepertiga dari energi
pasokan (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2019). Mengingat keuntungan
yang lebih banyak diperoleh dari penggunaan energi bersih terbarukan dan dampak
kerusakan lingkungan akibat penggunaan energi kotor batu bara maka upaya transisi energi
dari batu bara ke energi bersih terbarukan penting untuk dilakukan.
Berdasarkan siklus hidup emisi GRK, sumber energi bersih terbarukan biasanya
menghasilkan emisi sekitar kurang dari 50 gCO2/kWh selama masa pakainya, sedangkan
sumber energi tak terbarukan menghasilkan emisi sekitar 1000 gCO2/kWh untuk batu bara
dan 475 g CO2/kWh untuk gas alam. Dengan kata lain, energi tak terbarukan menghasilkan
20 kali lipat g CO2/kWh daripada energi bersih terbarukan. Bahkan, menurut IPCC (2011)
emisi GRK dari pembangkit listrik tenaga energi bersih terbarukan berkisar antara 4 hingga
46 gCO2eq/kWh sedangkan untuk bahan bakar fosil berkisar antara 469 hingga 1.001
gCO2eq/kWh (tidak termasuk emisi perubahan penggunaan lahan).
Gambar 3.24. Estimasi Siklus Hidup Emisi GRK (gCO2eq/kWh) Berbagai Pembangkit
Listrik (IPCC, 2011)
55
Kemudian, menurut IESR (2021b) jika Indonesia menggunakan 100% energi bersih
terbarukan pada tahun 2050 dan berhasil melakukan dekarbonisasi sistem energinya maka
target Perjanjian Paris yang membatasi kenaikan suhu global 1,5oC akan tercapai. Secara
keseluruhan penurunan penggunaan fosil akan mengurangi emisi GRK dari sistem energi
dari sekitar 502 MtCO2eq pada tahun 2020 menjadi hampir nol pada tahun 2050. Bahkan,
menutup 800 GW PLTU batu bara dan mengganti dengan energi bersih terbarukan dapat
menghindari sekitar 30 GtCO2eq setiap tahunnya. Selain itu, jika Indonesia bertransisi ke
energi bersih terbarukan maka produksi gas CO2 akan berkurang secara signifikan sebesar
95% jika dibandingkan dengan batu bara dan 89,47% jika dibandingkan untuk gas alam.
Dengan demikian, transisi dari energi batu bara ke energi bersih terbarukan secara tidak
langsung, akan menurunkan risiko terjadinya percepatan krisis iklim yang diakibatkan oleh
emis GRK.
Gambar 3.25. Tingkat Emisi Polutan Udara dari Berbagai Jenis PLTU Batu Bara (Yue et
al, 2021)
Bahkan, peningkatan penggunaan energi bersih terbarukan di Uni Eropa sejak 2005 telah
menurunkan emisi SO2 sebesar 7% dan NOx sebesar 1% pada tahun 2017 (European
Environment Agency, 2019).
56
Gambar 3.26. Dampak Energi Bersih Terbarukan pada Emisi Polutan Udara Tahun 2017
(European Environment Agency, 2019)
Contoh lainnya yakni penggunaan energi bersih terbarukan seperti surya dan angin selama
2007 hingga 2015 di Amerika Serikat telah menurunkan emisi CO2, SO2, NOx, dan PM2,5
masing-masing sebesar 20%, 72%, 50%, dan 46%. Bahkan, emisi SO2 turun dari 9,0 juta
metrik ton pada tahun 2007 menjadi 2,5 juta metrik ton pada tahun 2015 (Millstein, 2018).
Tahun Angin (metrik turun yang berkurang) Surya (metrik turun yang berkurang)
Tabel 3.5. Emisi Tahunan yang Berkurang dari Pembangkit Listrik Tenaga Angin dan
Surya (Millstein et al, 2018)
57
Perlu diketahui bahwa penurunan beberapa polutan udara juga memberikan keuntungan
tambahan lainnya, seperti penyakit terkait pencemaran udara atau kematian dini akibat
pencemaran udara dapat dihindari. Menurut Climate Action Tracker (2021), jika Indonesia
menutup semua PLTU batu bara yang berumur lebih dari 20 tahun maka setidaknya 16%
kematian dini akibat PLTU batu bara dapat dihentikan. Sedangkan, untuk kasus penggunaan
energi bersih terbarukan (angin dan surya) di Amerika Serikat yang telah dibahas
sebelumnya, emisi yang dihindari karena pembangkit listrik tenaga angin antara tahun 2007
dan 2015 menghasilkan manfaat sebesar $28,4-$107,9 miliar untuk kualitas udara dan
kesehatan masyarakat, serta $4,9-98,5 miliar untuk perubahan iklim. Selama 2007-2015,
pembangkit listrik tenaga angin menyebabkan terhindarnya 2.900-12.200 kematian dini dan
pembangkit listrik tenaga surya menyumbang 100-500 lagi untuk total tersebut (Millstein et
al, 2018).
Gambar 3.27. Biaya Listrik per kWh dalam Dollar (Schmidt, 2014)
Grafik di atas menunjukkan biaya listrik per KWh dalam USD pada tahun 2014
(Schmidt, 2014). Harga di atas diukur berdasarkan levelized cost of energy (LCOE) yakni
biaya pembangunan infrastruktur pembangkit listrik dan biaya operasional sepanjang masa
operasionalnya. Diagram batang kiri menunjukkan harga dengan asumsi financing cost
rendah (negara industri) dan diagram batang kanan menunjukkan harga dengan asumsi
financing cost tinggi (negara berkembang). Financing cost sendiri adalah semua biaya yang
diperlukan untuk membeli atau meminjam suatu aset. Berdasarkan grafik di atas dapat
diketahui bahwa biaya listrik per KWh untuk energi bersih terbarukan sangat besar di bagian
cost of equity dan cost of debt. Adapun yang dimaksud dengan cost of equity (biaya ekuitas)
adalah pengembalian yang dibutuhkan untuk memutuskan apakah investasi memenuhi
persyaratan pengembalian modal, sedangkan cost of debt adalah biaya hutang atau tingkat
bunga efektif yang dibayarkan perusahaan atas hutangnya, seperti obligasi dan pinjaman
biaya yang besar karena adanya risiko investasi proyek-proyek energi bersih terbarukan
seperti proses perizinan yang rumit, tingginya suku bunga, atau hilangnya aset yang
disebabkan oleh konsumen tidak sanggup membayar (default in payment). Risiko-risiko ini
menyebabkan tingginya cost of debt dan cost of equity energi bersih terbarukan. Oleh karena
itu, perlu adanya upaya untuk menghilangkan risiko-risiko tersebut agar biaya energi bersih
terbarukan semakin lebih murah.
Menurut Roser (2020), biaya dari energi bersih terbarukan selalu mengalami
penurunan yang stabil dan cepat. Penurunan harga ini membuka harapan akan berpindahnya
konsumsi energi dunia dari energi tak terbarukan ke energi bersih terbarukan yang lebih
aman dan bersih.
59
Grafik di atas menunjukkan perubahan LCOE tahun 2009-2019 dari berbagai tipe energi.
Terdapat perubahan signifikan dari biaya energi bersih terbarukan yang selalu menurun dari
tahun ke tahun, terutama untuk tenaga surya. Biaya listrik tenaga surya mengalami
penurunan sebesar 89% dari $359 ke $40 pada tahun 2019. Bahkan, LCOE dari tenaga surya
sudah bisa menandingi LCOE dari energi tak terbarukan seperti batu bara. Penurunan harga
yang sangat berbeda antara energi bersih terbarukan dengan energi tak terbarukan terjadi
karena alokasi pembiayaan yang berbeda. Berbeda dengan energi tak terbarukan, energi
bersih terbarukan seperti tenaga surya tidak harus mengeluarkan biaya untuk membeli bahan
bakarnya sendiri. Tidak seperti pembangkit listrik bertenaga batu bara yang biaya
operasionalnya sangat bergantung dengan harga batu bara dunia. Hal tersebut ditunjukkan
melalui jumlah cost of expenditure energi berbasis fosil yang jauh lebih besar dibandingkan
biaya-biaya lainnya. Adapun yang dimaksud dengan cost of expenditure merupakan harga
yang dibayarkan atau diperlukan untuk memperoleh, memproduksi, atau memelihara
sesuatu, biasanya diukur dalam uang, waktu, atau energi.
Jika ditelaah lebih lanjut, penurunan harga energi bersih terbarukan terjadi karena adanya
permintaan terhadap energi bersih terbarukan dan terjadinya technological learning (Roser,
2020). Energi bersih terbarukan seperti tenaga surya masih memiliki kegunaan praktikal
sehingga selalu ada permintaan terhadap teknologi penghasil tenaga surya. Adanya
permintaan tersebut mengakibatkan akan selalu ada perusahaan yang memproduksi
teknologi tersebut dengan jumlah yang selalu bertambah hingga mencapai economies of
scale (Kavlak et al, 2018). Adapun yang dimaksud dengan economies of scale adalah
penghematan proporsional dalam biaya yang diperoleh dengan peningkatan tingkat
produksi. Proses produksi yang selalu berlanjut akan menjadi semakin efisien karena proses
penelitian dan pengembangan yang semakin canggih, terbentuknya pabrik yang lebih
efisien, majunya ilmu keteknikan yang mempermudah proses produksi dan pencarian bahan
baku dalam skala besar menjadi semakin murah, serta adanya kompetisi memastikan harga
yang tetap kompetitif. Selain economies of scale, harga yang semakin murah terjadi karena
60
Gambar 3.29. Biaya Produksi Listrik Pulau Jawa dan Bali (Handayani et al, 2019)
Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui bahwa jika biaya listrik menggunakan
energi bersih terbarukan maka biayanya akan semakin mendekati biaya listrik energi tak
terbarukan, dengan asumsi adanya technological learning yang tinggi. Bahkan, pada tahun
2025 biaya produksi listrik energi bersih terbarukan dengan tingkat technological learning
yang tinggi sudah menjadi lebih rendah dibandingkan biaya produksi listrik energi bersih
terbarukan tanpa adanya technological learning. Hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka
panjang biaya produksi listrik energi bersih terbarukan akan semakin menurun, walaupun
proyeksi biaya listrik energi tak terbarukan masih lebih murah.
61
Perlu diketahui bahwa walaupun energi tak terbarukan diproyeksikan masih lebih
murah, energi bersih terbarukan masih merupakan pilihan energi yang aman untuk masa
depan, baik dari segi lingkungan maupun ekonomi. Pertama, pembangkit listrik energi tak
terbarukan sangatlah bergantung dengan harga bahan bakar itu sendiri dan biaya pembuatan
pembangkit listrik itu sendiri. Dengan demikian, walaupun biaya pembangunan pembangkit
tenaga listrik menurun, namun masih ada biaya bahan bakar yang harus ditebus perusahaan
pembangkit listrik. Hal tersebut semakin tidak aman karena harga bahan bakar dunia bisa
menjadi tidak stabil karena pandemi, perang harga, atau faktor-faktor eksternal lainnya.
Sebagai contoh, pada awal pandemi harga minyak dunia sempat turun sampai ke angka
negatif. Hal tersebut membuat banyak perusahaan minyak dunia mengalami kerugian dan
beberapa bangkrut. Setelah itu, pada bulan Februari 2021 harga minyak naik ke enam puluh
dolar, harga tertinggi minyak setelah satu tahun. Harga yang selalu berubah-ubah ini
merupakan kendala besar dalam penggunaan energi tak terbarukan (Roser, 2020).
Selanjutnya, kerugian energi tak terbarukan yang sangat besar adalah environmental
cost dan kerugian tersebut tidak akan dihasilkan energi bersih terbarukan. Hal inilah yang
menjadi keuntungan menggunakan energi bersih terbarukan. Dampak lingkungan seperti
efek rumah kaca, pencemaran udara, pencemaran air, dan dampak-dampak buruk lainnya
mungkin belum dirasakan dampaknya sekarang, tetapi dampak tersebut akan dirasakan di
masa depan. Selain berdampak buruk bagi lingkungan dan kehidupan manusia secara
keseluruhan, biaya untuk memperbaiki kerusakan lingkungan dan juga kerugian akibat
penggunaan energi tak terbarukan sangatlah besar (Dincer & Zamfirescu, 2011). Di
Indonesia, dari hulu ke hilir, biaya kesehatan, lingkungan dan sosial dari pertambangan
minyak dan batu bara banyak yang tidak diperhitungkan, dan pada akhirnya harus
ditanggung rakyat. Misalnya, biaya kesehatan dari PLTU batu bara, mencapai Rp351 triliun
untuk setiap tahun operasi pembangkit. Jika biaya sosial dari emisi GRK PLTU batu bara
diperhitungkan, nilainya mencapai dua kali lipat dari ongkos energi bersih terbarukan
(Bersihkan Indonesia, 2018). Selain itu, banyaknya program penjaminan, peningkatan
kredit, dan kebijakan pengalihan risiko dari pengembang proyek ke pemerintah, sehingga
menguntungkan pemilik PLTU batu bara secara sepihak (Greenpeace, 2018). Berdasarkan
dokumen RUPTL 2019, jika rencana pembangunan pembangkit tetap didominasi oleh
PLTU batu bara dan bahan bakar fosil lainnya maka tanaman-tanaman seperti gandum akan
susah tumbuh pada tahun 2050 karena adanya perubahan suhu bumi (IESR, 2019c).
kerja yang diserap subsektor solar photovoltaic telah mengalami kenaikan sebesar 4% pada
tahun 2019 dibandingkan dengan tahun sebelumnya (International Renewable Energy
Agency, 2020a). Penyerapan tenaga kerja di subsektor solar photovoltaic dipimpin oleh
Tiongkok dengan angka tenaga kerja mencapai 2,2 juta orang. Lalu, posisi kedua dan ketiga
diisi oleh Jepang dan Amerika Serikat (China National Renewable Energy Centre, 2020).
Energi listrik merupakan elemen penting yang menunjang seluruh kegiatan sosial
dan ekonomi di Indonesia. Meskipun kebutuhan atas energi listrik tidak disebutkan secara
eksplisit sebagai hak asasi manusia, kebutuhan atas energi sendiri merupakan bagian dari
hak asasi manusia atas kehidupan yang layak baik dari segi sandang, pangan, maupun papan.
Secara konstitusi, hak atas energi listrik juga merupakan realisasi dari Pasal 28C Ayat (1)
UUD 1945 yang berbicara mengenai hak atas kebutuhan dasar untuk meningkatkan kualitas
hidup dan kesejahteraan rakyat. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah memiliki
tanggung jawab dan peran sentral dalam menyediakan dan menyalurkan energi listrik ke
seluruh wilayah Indonesia.
Mengutip Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (2019), pada tahun 2018
Indonesia membutuhkan setidaknya 521 Terra Watt hour (TWh) untuk menerangi seluruh
wilayahnya. Besarnya kebutuhan Indonesia akan energi listrik dari hari ke hari secara tidak
langsung mengisyaratkan pemerintah untuk segera membuka lebih banyak pembangkit-
63
pembangkit listrik. Sayangnya, Indonesia masih bertumpu pada batu bara sebagai bahan
bakar untuk kebutuhan listrik di Indonesia. Salah satu hambatan utama dalam penyediaan
energi yang lebih ramah lingkungan adalah tidak adanya komitmen serius dari pemerintah
untuk segera melakukan transisi energi. Hal ini disebabkan oleh relasi yang kuat antara
industri batu bara dan politik Indonesia yang saling menyokong untuk memenuhi
kepentingannya masing-masing. Banyak pejabat eksekutif maupun legislatif yang berada di
dalam pusaran industri batu bara baik sebagai aktor maupun kerabat aktor industri batu bara
(Greenpeace, 2018). Dalam hal ini, pemerintah dikhawatirkan berkonflik peran antara
merepresentasikan diri sebagai seorang pejabat yang bertugas menjaga kepentingan publik
dan sebagai aktor dalam bisnis industri batu bara.
Lebih lanjut, dari sisi energi bersih terbarukan, faktor-faktor yang menghambat
transisi energi di Indonesia berupa hal-hal yang bersifat struktural seperti belum
maksimalnya pelaksanaan kebijakan harga energi bersih terbarukan, ketidakpastian subsidi
sektor energi bersih terbarukan pada sisi pembeli, ketidakjelasan regulasi mengenai investasi
energi bersih terbarukan, belum adanya insentif penggunaan energi bersih terbarukan,
minimnya ketersediaan instrumen pembayaran yang sesuai dengan kebutuhan investasi, alur
perizinan yang rumit, dan permasalahan lahan dan tata ruang yang belum mendukung energi
bersih terbarukan (Febriananingsih, 2019). Mengingat banyak keuntungan yang akan
diperoleh ketika menggunakan energi bersih terbarukan, faktor-faktor penghambat tersebut
seharusnya segera diatasi oleh pemerintah. Pemanfaatan energi bersih terbarukan dalam
skema ketahanan energi nasional secara intens dapat menghindarkan pemerintah dari konflik
peran. Pemerintah dapat memanfaatkan energi terbarukan dalam rangka mengakomodasi
penyediaan energi dan lingkungan hidup yang sehat. Hal ini karena energi terbarukan tidak
hanya menjadi solusi bagi isu-isu lingkungan, tetapi juga permasalahan sosial dan ekonomi.
Yang paling langsung dirasakan oleh masyarakat dengan adanya energi bersih terbarukan
adalah peningkatan kesejahteraan sosial seperti perbaikan kualitas lingkungan hidup karena
pengurangan eksternalitas negatif seperti tekanan pada ekosistem (penambangan batu bara
yang lebih sedikit), peningkatan jumlah lapangan kerja dan perolehan pendapatan, serta
peningkatan kualitas kesehatan akibat penurunan paparan pencemaran udara dan air yang
berasal dari penggunaan bahan bakar fosil (International Renewable Energy Agency, 2017).
Selain itu, penggunaan energi bersih terbarukan juga dapat menjadi solusi kualitas
akses energi saat ini. Selama ini kualitas akses energi yang diterima masyarakat masih
berbeda-beda, misalnya durasi tersedianya listrik yang berbeda-beda antar tiap daerah,
ketidakmampuan masyarakat mengakses energi listrik, atau adanya kerusakan lingkungan
yang ditimbulkan akibat energi kotor. Permasalahan-permasalahan tersebut kerap terjadi
karena sulitnya sistem pengaliran listrik saat ini menjangkau daerah-daerah tersebut
sehingga melanggengkan ketimpangan kualitas energi antara satu daerah dengan daerah lain
yang lebih terisolasi. Daerah-daerah yang terisolasi juga cenderung memiliki tingkat
kesejahteraan finansial yang rendah. Selain itu, dengan adanya penyamarataan biaya listrik
mengakibatkan banyak masyarakat tidak mampu membayar biaya listrik yang berakibat
pada rendahnya produktivitas masyarakat dalam melakukan kegiatan perekonomian.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa energi bersih terbarukan tersebar
melimpah di seluruh wilayah Indonesia. Penggunaan sumber energi tersebut tidak hanya
64
meningkatkan akses energi masyarakat, tetapi juga dapat menumbuhkan aktivitas ekonomi
di lokasi tersebut. Selain itu, penggunaan sumber energi bersih terbarukan setempat juga
mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap sumber energi kotor batu bara yang saat
ini sebagai sumber utama pemenuhan energi Indonesia (IESR, 2020)
Adanya permasalahan-permasalahan di atas seharusnya menjadi peringatan bagi
pemerintah untuk membuat gebrakan dalam mengatasi permasalahan akses energi dengan
segera melakukan optimalisasi sumber-sumber energi bersih terbarukan, terutama di daerah
yang sulit akses energi. Energi bersih terbarukan dapat diterapkan dengan pendekatan
desentralisasi energi melalui sistem off-grid untuk menyediakan listrik yang layak dan
berkualitas sebagai kombinasi atau pendukung pembangkit terdistribusi (distributed
generation) (Mursanti & Tumiwa, 2017). Dalam konteks penyediaan energi, off-grid
merupakan sistem pembangkit listrik yang tidak bersambung ke PLN, tetapi menggunakan
baterai dengan teknologi terbaru sebagai penyimpan tenaga listrik sebelum dialirkan ke
daerah-daerah tertentu. Sistem off-grid umumnya digunakan dalam sistem pembangkit
listrik tenaga surya (PLTS). Selain tidak bergantung pada distribusi PLN yang terpusat,
sumber-sumber energi bersih terbarukan juga lebih mudah dijumpai di berbagai wilayah
Indonesia. Penyediaan akses listrik pedesaan dengan memanfaatkan energi bersih
terbarukan dapat membantu pemerintah mencapai target elektrifikasi dan target bauran
energi primer dari sumber energi bersih terbarukan, menurunkan konsumsi BBM untuk
pembangkit listrik, dan mengurangi subsidi listrik, serta menurunkan emisi gas rumah kaca
(Mursanti & Tumiwa, 2017). Dengan demikian, masyarakat di suatu komunitas dapat
memenuhi kebutuhan energinya secara mandiri dan terhindar dari dampak kerusakan
lingkungan. Hal ini dapat menjadi batu loncatan bagi masyarakat dalam meningkatkan taraf
hidup masyarakat sekitar baik dari segi ekonomi, pendidikan maupun, kesehatan.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa energi bersih terbarukan
memiliki dampak positif baik terhadap lingkungan, sosial, maupun ekonomi. Indonesia juga
memiliki potensi energi bersih terbarukan yang sangat besar mulai dari energi surya, laut,
angin, air, dan panas bumi. Namun, saat ini pemanfaatannya masih sangat kecil, justru
sebaliknya pemenuhan energi Indonesia masih didominasi oleh energi kotor batu bara.
Berangkat dari masalah tersebut, mengingat energi bersih terbarukan merupakan energi
yang lebih berkelanjutan di masa mendatang maka tidak ada alasan lagi bagi pemerintah
untuk menggunakan energi kotor batu bara, justru sebaliknya pemerintah seharusnya
melakukan langkah konkrit dengan mengeluarkan kebijakan yang mendorong optimalisasi
penggunaan energi bersih terbarukan. Hal tersebut dapat dimulai dengan kebijakan insentif
untuk mendorong perluasan penggunaan energi bersih terbarukan, perencanaan tata ruang
untuk mengetahui kesesuaian lokasi pembangunan pembangkit listrik energi bersih
terbarukan yang mempertimbangkan berbagai risiko dan nilai-nilai lokal, membuat
kerangka peraturan dan ekonomi yang stabil untuk merangsang investasi, infrastruktur,
penelitian dan pengembangan teknologi pembangunan pembangkit listrik energi bersih
terbarukan, serta penetapan target optimalisasi energi bersih terbarukan dalam kebijakan
energi nasional melalui pembuatan roadmap zero emission dengan penggunaan 100% energi
bersih terbarukan di sektor energi.
65
66
BAB IV
4.1. Jerman
Ketika suatu negara mengurangi penggunaan batu bara secara signifikan, menutup
tambang batu bara, dan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara secara bersamaan maka
banyak manfaat yang diperoleh. Hal ini dirasakan oleh negara-negara di Eropa Barat diantaranya
Jerman. Pada kondisi tersebut, udara menjadi lebih bersih sehingga terhindar dari penyakit
pernapasan seperti asma, penurunan masalah kesehatan kerja, seperti silikosis (kelebihan silika
dalam tubuh), dan pneumokoniosis (penyakit paru-paru hitam) pada pekerja batu bara. Kondisi
tersebut juga menyebabkan penurunan jumlah penderita penyakit jantung dan manfaat kesehatan
lainnya. Upaya Jerman untuk terus mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan beralih ke
energi bersih terbarukan, seperti angin, air, dan surya juga membuat kualitas lingkungan menjadi
lebih baik. Hal ini dapat ditandai dengan turunnya salah satu emisi GRK, yaitu CO2 (Orellano,
2017).
Jerman melakukan beberapa cara menuju transisi energi yang berkelanjutan. Langkah
awal yang dilakukan oleh Jerman adalah mengubah struktur sektor energi dengan meliberalisasi
pasar sebagaimana diatur dalam Energy Industry Act (Energiewirtschaftsgesetz atau EnWG).
Pada awalnya utilitas terintegrasi dikuasai oleh negara berubah menjadi milik swasta pada akhir
1990-an. Liberalisasi pasar ini meningkatkan persaingan dan dorongan untuk menurunkan harga
yang ditetapkan oleh konsumen, sekaligus menjamin keamanan pasokan dan produksi listrik
yang berkelanjutan. Dalam amandemen EnWG pada tahun 2005, Jerman juga melakukan
pembentukan aktor baru di sektor energi, yaitu The Federal Network Agency. Lembaga ini
bertugas untuk memastikan akses energi yang adil dan penggunaan powergrid untuk semua
pengguna serta memastikan biaya jaringan energi transmisi dan distribusi oleh Transmission
System Operators. Transmission System Operators juga ikut memastikan akses energi yang
andal dengan mengadopsi operasi untuk memenuhi penetrasi variabel energi bersih terbarukan
67
sehingga berkembang dan menjadi pengaktif transisi energi (International Energy Agency,
2020).
Lebih lanjut, pengembangan energi terbarukan di Jerman juga telah didukung sejak 1990-
an oleh peraturan rezim saat itu yang menjamin kondisi investasi yang dapat diandalkan kepada
para produsen energi bersih terbarukan melalui remunerasi tetap selama dua puluh tahun dan
memberikan akses prioritas ke dalam jaringan. The German Renewable Energy Act (EEG) atau
Undang-Undang Sumber Energi Terbarukan terus dimodifikasi dari tahun ke tahun. Setiap
kebijakan baru yang dibuat berusaha untuk merangsang inovasi untuk mempercepat
pengembangan teknologi dan menekan biaya, serta meningkatkan integrasi listrik yang berasal
dari energi terbarukan ke jaringan dan pasar. Berkat skema yang telah ditetapkan, bauran energi
terbarukan di Jerman meningkat dari 6,5 % pada tahun 2000 menjadi 36% pada tahun 2017 dan
telah menjadi pasar yang matang (Tampubolon et al, 2018).
Kemudian, pada 2016 Jerman mengamandemen The German Renewable Energy Act.
Inti dari perubahan tersebut adalah bantuan proyek energi terbarukan akan ditentukan melalui
mekanisme pasar dengan proses lelang, tidak seperti sebelumnya yang menggunakan feed in
tariff atau tarif tetap yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sistem baru ini memastikan bahwa
kecepatan ekspansi energi terbarukan akan stabil, terkontrol, dan dalam harga yang rendah. Pada
saat yang sama, skala kecil proyek, seperti PV surya atap terus menerima feed in tariff yang
disesuaikan terus menerus sesuai dengan perkembangan pasar (International Energy Agency,
2020).
Gambar 4.2. Perkembangan The German Renewable Energy Act (International Energy
Agency, 2020).
Selanjutnya, pada 2018 produksi batu bara Jerman berakhir, menyusul penghentian subsidi.
Jerman melakukan transisi akibat kebijakan iklim yang lebih ketat, termasuk di luar Jerman.
Keberhasilan kebijakan ini dievaluasi dengan menggunakan indikator ekonomi, sosial,
lingkungan, dan geografis yang dikembangkan dalam tiga proyek penelitian interdisipliner yang
berjalan dari 2016 hingga 2019 (Pao-Yu, 2019).
68
Dalam melakukan transisi energi bersih terbarukan, Indonesia juga perlu belajar dari
pengalaman negara Afrika Selatan. Secara keseluruhan, transisi dari batu bara ke energi bersih
terbarukan disertai dengan banyak manfaat, termasuk listrik yang lebih murah, peningkatan
kualitas udara, dan dampak lingkungan yang lebih sedikit. Hal yang dapat dicontoh Indonesia
dari Afrika Selatan adalah mengalihkan subsidi energi kotor batu bara ke sumber energi bersih
terbarukan. Subsidi untuk Eskom (perusahaan listrik umum di Afrika Selatan) adalah pilihan,
sedangkan kemampuan negara untuk terus menopang Eskom terbatas dan uang lebih baik
dihabiskan untuk mendukung pekerja serta inisiatif pembangunan daerah melakukan
diversifikasi struktur ekonomi agar lebih kuat. Selain itu, perencanaan transisi dan kemungkinan
dampak pada pekerja batu bara juga memerlukan rencana pabrik mana yang akan ditutup dan
kapan, siapa yang dapat dipindahkan, siapa yang dipertahankan, serta siapa yang membayar. Hal
tersebut adalah pertimbangan yang perlu ditangani segera ketika melakukan transisi energi
(Burton, 2018). Selain itu, Afrika Selatan juga melakukan beberapa cara untuk mengurangi
bauran energi kotor batu bara dan beralih menuju energi terbarukan diantaranya membuat
beberapa insentif pajak yang signifikan untuk mempromosikan investasi atau penjualan energi
terbarukan berskala utilitas. Kebijakan tersebut menyediakan penyisihan penyusutan modal yang
dipercepat sehubungan dengan aset pembangkit terbarukan, seperti matahari, tenaga air, angin
atau biomassa yang dimiliki atau diperoleh oleh wajib pajak dalam hal perjanjian kredit
angsuran. Kebijakan tersebut juga memungkinkan pengurangan khusus sehubungan dengan
pengeluaran infrastruktur pendukung umum lainnya seperti jalan, pagar, dan sejenisnya (Garcia
et al, 2021).
4.3. Singapura
Tabel 4.1. Penggunaan Listrik Tenaga Surya Sektor Perumahan dan Industri di Singapura
(National Climate Change Secretariat, 2021)
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa lonjakan penggunaan tenaga surya paling besar terjadi
pada tahun 2018-2019 yakni mencapai 1.100 MW. Jika dibandingkan dengan tahun 2015,
penggunaan listrik tenaga surya pada tahun 2020 meningkat sebesar kurang lebih 427%. Untuk
kedua sektor yakni perumahan dan industri, kenaikannya terbilang seimbang. Sektor perumahan
naik sebesar 423% dan industri naik sebesar 499%. Selain itu, Singapura juga memiliki proyek
besar untuk meningkatkan kapasitas penggunaan energi terbarukan. Total proyek energi
terbarukan terbesar di Singapura mencapai 550 MW dengan total anggaran 944 juta dolar US
dan ditargetkan selesai pada tahun 2022 (Mclaren, 2021) .
Tabel 4.2. Proyek Pengembangan Energi Bersih Terbarukan Singapura (Mclaren, 2021)
Singapore (EMA) yang merupakan regulator independen yang mengawasi industri gas dan
listrik. Lisensi listrik dapat diberikan jika tunduk pada ketentuan apapun yang diberlakukan oleh
EMA dan mencakup pembatasan atau ketentuan apapun yang disyaratkan oleh EMA atau
ditentukan berdasarkan Electricity Act.
Selain itu, pada 2014, Singapura juga mengumumkan komitmennya dalam peningkatan
energi terbarukan dengan meningkatkan tenaga surya menjadi 350 MW pada tahun 2020. Target
ini telah dicapai pada kuartal pertama 2020 dan merupakan 5% dari proyeksi permintaan listrik
tahun 2020. Selanjutnya, Singapura sedang berupaya mencapai target surya minimal 2 GW pada
2030 dan target penyebaran penyimpanan energi sebesar 200 MW setelah tahun 2025 (Energy
Market Authority, 2021). Selain menetapkan target-target tersebut, Singapura juga
mengeluarkan kebijakan pajak karbon. Kebijakan tersebut mengenakan pajak karbon atas emisi
GRK tertentu oleh orang dan fasilitas bisnis tertentu yang diukur sejak 2019 dan kewajiban
pelaporan emisi GRK. Kebijakan tersebut membebankan kewajiban pada dua jenis fasilitas,
antara lain:
a. Fasilitas kena pajak merupakan fasilitas yang mengeluarkan 25.000 ton atau lebih emisi
GRK setiap tahunnya. Fasilitas tersebut akan dikenakan pajak karbon atas emisi GRK
mereka dan melakukan proses pengukuran, pelaporan, dan verifikasi yang lebih ketat
sesuai kebijakan yang berlaku.
b. Fasilitas yang dapat dilaporkan merupakan fasilitas yang mengeluarkan 2.000-25.000 ton
emisi GRK setiap tahunnya. Fasilitas ini harus mengukur dan melaporkan emisi GRK
yang dihasilkan tetapi tidak dikenakan pajak karbon.
Adapun, pajak karbon yang dikenakan sebesar SGD5 per ton emisi GRK. Singapura akan
meninjau tarif pajak karbon tersebut pada 2023 dan berencana meningkatkannya menjadi antara
SGD10 dan SGD15 per ton emisi pada tahun 2030 (National Environment Agency, 2021).
4.4. Malaysia
Malaysia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang terletak di dua wilayah
berbeda. Pertama, terletak di selatan Thailand dan kedua, terdapat di utara Kalimantan. Malaysia
juga negara yang terletak dekat dengan garis khatulistiwa dan memiliki dua musim yaitu musim
panas dan musim penghujan. Malaysia dikelilingi oleh beberapa perbukitan sehingga memiliki
sungai yang lebih baik jika dibandingkan dengan Singapura (Hincey, 2018).
Dalam konteks transisi energi bersih terbarukan, Malaysia memiliki tiga sektor
pengimplementasian energi terbarukan diantaranya surya dan PLTA. Malaysia merupakan salah
satu negara dengan potensi surya yang diperkirakan menghasilkan sebanyak 4.000-5.000 Whr/m
dan mampu mencapai kelistrikan hingga 8 jam dengan total mencapai 40.000 W/m (Rahman,
2020). Malaysia juga berpotensi menghasilkan listrik sebanyak 20.000 MW melalui penggunaan
PLTA. Hal ini merupakan salah satu pilihan penggunaan energi terbarukan terbaik Malaysia
karena didukung oleh kondisi geografis dan sungai yang dimiliki oleh Malaysia (Shamsudin,
2012).
71
Total 1.085,5
Gambar 4.4. Emisi dan Pengurangan CO2 Tahunan dari Pembangkit Energi Terbarukan di
Malaysia (Chachuli et al, 2021)
4.5. Vietnam
Vietnam merupakan negara agraris yang berbatasan dengan Tiongkok, Laos, dan Teluk
Tonkin. Vietnam tergolong ke dalam negara dengan daratan yang tinggi dengan unit pegunungan
yang membentang dari Sungai Hong hingga ke Laos. Vietnam juga didominasi litologi karst
(batuan kapur) yang membuat Vietnam memiliki jalur-jalur sungai kecil yang berasal dari unit-
unit karst dan perbukitan tinggi dengan lahan irigasi seluas 45.850 km2 pada tahun 2005 (Nguyen
& Hens, 2018). Hal tersebut membuat Vietnam sangat cocok dalam penggunaan PLTA. Pada
2012, Vietnam telah berhasil mengoperasikan salah satu PLTA terbesar di Asia Tenggara yang
dapat menghasilkan kapasitas sebesar 2.400 MW. Vietnam juga memiliki target pencapaian
penghasil energi dari PLTA, yaitu sebesar 21.600 MW pada 2020, 24.600 MW pada 2025, dan
27.800 MW pada 2030 (International Renewable Energy Agency, 2020b).
Kemudian, sebagai negara yang berada di kawasan tropis, Vietnam juga berpotensi untuk
menggunakan energi surya sebagai sumber energi. Vietnam menetapkan target PLTS 850 MW
pada 2020, pada 2025 menjadi 4.000 MW, dilanjutkan dengan penambahan 300% dari tahun
2025 menjadi 12.000 MW pada 2030. Vietnam juga menetapkan proyek PLTS yang mampu
menghasilkan tenaga sebesar 1.000 MW dan memakan biaya sampai dengan 2 miliar USD
(International Renewable Energy Agency, 2020b).
Selanjutnya, dengan adanya perkembangan ekonomi yang terus berlanjut dan
berlangsungnya revolusi industri membuat kebutuhan energi meningkat hingga tahun 2030.
Kondisi tersebut membuat Vietnam menetapkan target-target pasokan energi yang harus
dieksekusi antara lain proyek pembangkit listrik tenaga angin. Proyek pembangkit listrik tenaga
angin tersebut menghasilkan listrik sekitar 9.900 MW dengan total biaya 29.200 juta USD.
Proyek-proyek tersebut diperkirakan selesai sebelum tahun 2030 (International Renewable
Energy Agency, 2020b).
73
Wind Power Plants Program (1.000 MW) Eksekusi 2.500 2020 Q3 2025 Q4
Seperti negara-negara Asia Tenggara lainnya, dalam melakukan transisi energi Vietnam
mengeluarkan berbagai kebijakan insentif untuk penggunaan energi terbarukan. Pada 2017,
Vietnam menyetujui Decision 11 yakni keputusan hukum pertama di Vietnam yang mengatur
tentang pengembangan tenaga surya. Kebijakan tersebut menawarkan feed-in-tariff yang murah
untuk pembangkit listrik tenaga surya yang mulai beroperasi sejak 30 Juni 2019. Hasilnya, lebih
dari 17.000 MW diusulkan dan angka tersebut jauh melebihi target yang ditetapkan oleh
Kementrian Perindustrian dan Perdagangan yang hanya sebesar 850 MW. Hingga 16 Desember
2019, 135 proyek pembangkit listrik tenaga surya dengan kapasitas total 8.000 MW telah
disetujui dan pada pertengahan 2020, 5.000 MW tercapai operasi komersial. Decision 11 juga
mendorong ledakan besar dalam pasar tenaga surya di Vietnam. Sekitar 750 MW tenaga surya
atap telah aktif dalam periode 18 bulan sejak Januari 2019 (Tsafos, 2020). Selain kebijakan
Decision 11, Vietnam juga telah menyiapkan mekanisme percontohan yaitu mekanisme Direct
Power Purchase Agreement (DPPA) untuk memungkinkan perusahaan industri mendapatkan
hingga 1.000 MW dari energi terbarukan langsung dari pembangkit listrik tenaga surya dan angin
di luar lokasi. Akibat penerapan kebijakan-kebijakan tersebut, Vietnam berhasil mengurangi
penggunaan batu bara. Selam 2016-2020, hanya sebesar 58% PLTU batu bara yang direncanakan
benar-benar terealisasi dibandingkan 118% PLTA dan 205% pada energi terbarukan non-hidro.
Vietnam juga telah mengumumkan rencana untuk membatalkan atau menunda hampir setengah
pembangkit listrik tenaga batu bara yang saat ini sedang dalam proses hingga setelah tahun 2030
(Dung, 2019).
Beberapa negara telah memberikan contoh nyata proses mereka melakukan transisi
energi. Jerman yang sudah memulai transisi sejak akhir 1990 telah menjadi salah satu negara
paling berhasil dalam menjalankan transisi energinya dan menjadikan pasar energi terbarukan
menjadi pasar yang matang. Afrika Selatan juga membuat kebijakan diversifikasi struktur
ekonomi dan insentif pajak untuk mengoptimalkan penggunaan energi bersih terbarukan.
Kemudian, kebijakan pajak karbon yang ditetapkan oleh Singapura juga menunjukan komitmen
74
BAB V
REKOMENDASI KEBIJAKAN
a) Energi terbarukan dibuat dalam instalasi skala kecil yang terdistribusi. Hal ini
mengakibatkan setiap masyarakat dapat mempunyai dan memiliki infrastruktur energi
sendiri. Setiap daerah memiliki energi terbarukan, tetapi memiliki bauran yang berbeda–
beda. Langkah untuk memenuhi kebutuhan sendiri menggunakan sistem energi yang
terdistribusi mempunyai sebuah potensi yang transformatif karena adanya peluang yang
luas untuk adanya kontrol lokal oleh masyarakat dan meningkatkan ekonomi lokal. Hal
ini tidak dapat terjadi dalam sistem energi fosil karena sumber daya fosil tidak merata
sehingga tidak dapat memberikan potensi yang sama untuk kepemilikan dan kontrol
lokal.
b) Bahan bakar energi terbarukan bisa dibilang gratis, hanya instalasinya yang
membutuhkan dana. Selain itu, meskipun energi terbarukan memiliki sebuah tantangan
yakni listrik yang dihasilkan mungkin tidak stabil, namun penggunaan campuran dari
beberapa energi terbarukan dapat menyelesaikan permasalahan tersebut.
c) Jumlah energi terbarukan melimpah dan mudah diakses, hal ini membuat energi
terbarukan lebih menjanjikan dalam aspek stabilitas jangka panjang. Hal ini
mengakibatkan pengadopsian lokal yang tersebar luas serta memberikan landasan sistem
energi masa depan lebih terdesentralisasi dan lebih mudah diakses dibandingkan dengan
energi fosil.
77
Lebih lanjut menurut Sweeney (2012), demokrasi energi fokus dalam tiga gerakan sosial
antara lain:
a) Menolak dominasi energi fosil dalam sistem energi. Penolakan tersebut meliputi
penolakan terhadap proses pengelolaan, teknologi, dan aturan-aturan yang berlaku.
Selain itu, penolakan juga dapat dilakukan dengan cara mendelegitimasi industri bahan
bakar fosil sehingga mengurangi kepentingan politik dan menahan investasi.
b) Mengambil kembali infrastruktur energi. Pengambilan kembali hak kepemilikan dan
manajemen sistem energi dan infrastruktur energi adalah salah satu kunci gerakan sosial.
Dengan cara ini, persebaran energi menjadi lebih merata dan mampu melepaskan diri
dari ketergantungan terhadap energi fosil sehingga perusahaan-perusahaan besar
pengelola energi fosil tidak menjadi pusat kekayaan seperti yang selama ini terjadi
dengan cara terus melanjutkan penggunaan energi fosil. Pasalnya, profit besar yang
dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan energi fosil digunakan untuk masuk ke dalam
strategi politik untuk terus memperluas ketergantungan terhadap energi fosil.
c) Membentuk ulang struktur sistem energi. Pembentukan ulang ini mengganti sistem
energi yang tadinya terpusat menjadi tersebar. Selain tersebar, integrasi atas masing-
masing pembangkit juga harus terjadi. Visi utama dalam pembentukan ulang ini adalah
penggunaan energi terbarukan 100%.
Berdasarkan hal di atas dapat diketahui bahwa salah satu dasar dalam melakukan
demokrasi energi yakni adanya diversifikasi energi. Diversifikasi energi dapat dimaknai sebagai
upaya penganekaragaman penyediaan dan penggunaan berbagai sumber energi dalam rangka
optimasi penyediaan energi. Menurut Stirling (2010), diversifikasi energi adalah memiliki
ketergantungan yang seimbang terhadap berbagai pilihan sumber energi yang saling berbeda.
Diversifikasi energi memiliki sebuah hubungan yang erat dengan ketahanan energi atau energy
security. Diversifikasi energi adalah cara untuk membantu pencegahan gangguan terhadap suplai
energi dan melakukan mitigasi mengurangi dampak yang seharusnya terjadi. Gangguan energi
tersebut dapat berupa kenaikan harga sumber energi (minyak bumi dan batu bara), ketersediaan
pasokan yang kurang terhadap sumber energi utama, dan kerusakan yang terjadi pada
infrastruktur. Jika hal tersebut dikaitkan dengan kondisi bauran energi Indonesia saat ini maka
Indonesia belum melakukan diversifikasi energi secara optimal. Hal tersebut dapat diketahui
dengan masih sedikitnya bauran energi bersih terbarukan dalam pemenuhan kebutuhan energi
nasional.
Selanjutnya, menurut Stirling (2010) terdapat tiga aspek umum dari diversifikasi energi,
yaitu variasi, keseimbangan, dan disparitas. Berikut akan dijelaskan secara rinci mengenai ketiga
aspek tersebut.
a) Variasi yakni berbagai pilihan sumber energi yang dimiliki Indonesia untuk dapat
mengisi sistem energi. Indonesia sendiri sebenarnya memiliki banyak sekali sumber
energi terbarukan yang potensial untuk mengisi sistem energi.
b) Keseimbangan yakni fungsi pembagian sistem energi di seluruh sumber energi yang
diidentifikasi. Hal tersebut dinyatakan sebagai input atau output energi, kapasitas daya,
78
nilai ekonomi, atau jasa yang diberikan. Dengan demikian, jika keseimbangan seluruh
pilihan energi semakin merata maka semakin besar diversitas energinya.
c) Disparitas mengacu pada cara dan tingkat di mana pilihan energi dapat dibedakan. Hal
ini merupakan aspek diversifikasi energi yang paling mendasar, tetapi seringkali
diabaikan. Pendekatan alternatif untuk aspek ini dalam disiplin ilmu lain biasanya
didasarkan pada beberapa bentuk yang lebih umum dari ukuran jarak skalar. Semakin
besar disparitas pilihan energi, semakin besar diversitas energinya. Dengan kata lain,
sebagai contoh sistem pasokan listrik yang dibagi rata antara gas, nuklir, angin, dan
biomassa lebih berbeda daripada yang dibagi rata antara batu bara, minyak, dan gas
Norwegia dan Rusia.
Undang–Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat (3) menegaskan bahwa bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Dalam konteks penggunaan energi bersih terbarukan, pasal
tersebut dapat dimaknai bahwa bumi dan segala isinya memang dikuasai oleh negara, namun
penguasaan tersebut dilakukan untuk kemakmuran rakyat. Pun, sebagaimana telah dijelaskan
dalam Subbab 1.3 bahwa konsep penguasaan negara terhadap sumber daya alam memiliki
batasan-batasan. Salah satu hal yang menjadi batasan tersebut adalah tolak ukur dalam menjamin
kemakmuran rakyat yang terdiri dari kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, tingkat
pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan
manfaat sumber daya alam, dan penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam
memanfaatkan sumber daya alam. Berkaitan dengan hal tersebut maka konsep demokrasi dan
diversifikasi energi mencakup beberapa hal yang menjadi tolak ukur dalam menjamin
kemakmuran rakyat tersebut. Adanya demokrasi energi mengakibatkan penggunaan sumber
energi bersih terbarukan menjadi terdesentralisasi dan beragam. Hal tersebut juga akan
meningkatkan diversitas energi. Diversifikasi energi menggunakan energi bersih terbarukan juga
dapat mengurangi dampak buruk dari energi kotor batu bara. Dengan demikian, demokrasi dan
diversifikasi energi merupakan salah satu konsep yang harus dipertimbangkan dalam melakukan
transisi energi.
Telah lama Indonesia bergantung pada sumber energi batu bara. Selain untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri, sebagian batu bara juga diekspor keluar negeri. Sebagian besar batu
bara yang diekspor adalah batu bara termal sehingga permintaan global akan batu bara termal
sangat memengaruhi dinamika ekspor batu bara Indonesia. Permintaan tersebut dipengaruhi oleh
beberapa negara yang menjadi langganan ekspor Indonesia, seperti Tiongkok, India, Jepang,
Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand. Namun, negara-negara tersebut sudah mengeluarkan
regulasi-regulasi yang berdampak pada kebutuhan batu baranya. Misalnya, Tiongkok dan India
menetapkan standar emisi yang lebih tinggi yang mengakibatkan permintaan batu bara menurun
dalam waktu dekat, Korea Selatan berkomitmen mengurangi batu bara dengan memberhentikan
pendanaan proyek batu bara luar negeri dan mengurangi penggunaan PLTU batu bara. Dengan
79
demikian, penurunan ekspor batu bara diprediksi akan semakin besar hingga 15,7% pada tahun
2023. Perkiraan nilai ekspor batu bara termal dapat menurun hingga 14-72%. Hal tersebut
berpotensi mengakibatkan defisit transaksi berjalan karena melemahnya harga komoditas.
Defisit transaksi berjalan yang tinggi mengakibatkan Indonesia meningkatkan kewajiban
nettonya kepada ke negara-negara asing. Kewajiban tersebut mengakibatkan kebutuhan untuk
menjual aset atau meminjam dari negara-negara asing. Keduanya tentu merugikan masa depan
pembangunan ekonomi Indonesia. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa efek
ketergantungan pada batu bara dan terus bertahannya defisit transaksi berjalan di Indonesia
memberikan efek lanjutan yang memengaruhi nilai rupiah di pasar mata uang (IESR, 2019c).
Berangkat dari masalah di atas maka Indonesia sudah saatnya melakukan transisi energi
dari energi kotor batu bara menuju energi bersih terbarukan. Menurut IESR (2021b), Indonesia
bisa mencapai 100% energi terbarukan dalam bauran energi primer pada tahun 2050 dan
mencapai 100% energi terbarukan dalam sektor kelistrikan pada tahun 2045 jika didasarkan pada
Skenario Kebijakan Terbaik. Pada bauran energi primer, energi terbarukan tumbuh pesat menjadi
sekitar 80% pada tahun 2040, hingga akhirnya mencapai 100% pada tahun 2050. Dalam sektor
pembangkitan listrik, sekitar 50% listrik dihasilkan dari sumber energi terbarukan pada tahun
2030, lalu mencapai 100% pada tahun 2045. Dari angka tersebut, pembangkit listrik di Indonesia
pada tahun 2050 didominasi oleh energi solar PV sekitar 88%, tenaga air sebesar 6%, panas bumi
sebesar 5%, dan energi terbarukan lainnya sebesar 1%. Dalam pemodelan tersebut, asumsi yang
digunakan antara lain pertumbuhan penduduk sebesar 1% per tahun dan pertumbuhan
permintaan listrik sebesar 4,5% per tahun, serta konsumsi listrik diperkirakan akan meningkat
dari lebih dari 1 MWh/kapita pada tahun 2020 menjadi 8,5 MWh/kapita pada tahun 2050.
Untuk mewujudkan hal di atas, langkah pertama perlu yang dilakukan Indonesia hingga
tahun 2030 adalah memasang energi terbarukan dalam skala besar dan meningkatkan pangsanya
hingga 45% di sektor ketenagalistrikan. Bersama dengan sumber energi terbarukan lainnya,
Indonesia perlu memasang 100 GW solar PV selama 10 tahun ke depan. Solar PV akan menjadi
salah satu kontributor utama bauran energi primer karena potensi sumber dayanya dan daya saing
biayanya. Pada tahun 2030 biaya solar PV mencapai tingkat LCOE sekitar USD 18/MWh jauh
lebih rendah daripada biaya solar PV pada tahun 2020 yakni sebesar USD 53/MWh. Sedangkan,
pangsa PLTU batu bara akan turun dari tingkat saat ini 60% menjadi 45% pada tahun 2030.
Langkah kedua yakni periode hingga tahun 2045, upaya dekarbonisasi terus berlanjut
dalam 15 tahun ke depan. Pada tahun 2045, semua (100%) pembangkit listrik berasal dari energi
terbarukan. Solar PV muncul sebagai penyedia listrik massal dengan berkontribusi pada 88%
pembangkit listrik, tenaga air memasok 6-12%, dan panas bumi terus berkontribusi sekitar 6-
10% dari total pembangkitan pada tahun 2045. Karena energi terbarukan berbiaya rendah,
terutama solar PV sehingga mendapatkan daya tarik dalam sistem energi. Akibatnya,
pemanfaatan batu bara turun drastis dan mulai kehilangan daya tariknya. Pada tahap ini, sebagian
besar PLTU batu bara Indonesia yang ada akan mencapai umur lebih dari 30 tahun beroperasi.
Pangsa pembangkit batu bara akan menurun dengan cepat dari sekitar 46% pada tahun 2030
menjadi sekitar 12% pada tahun 2035 dan 4% pada tahun 2040 lalu mencapai 0% pada tahun
2045. Hal tersebut menunjukkan bahwa program penghentian PLTU batu bara harus dilakukan
mulai tahun 2030 dan seterusnya.
Langkah ketiga yakni periode hingga tahun 2050, sektor listrik terus menggunakan 100%
energi terbarukan. Solar PV tetap menjadi kontributor terbesar untuk pembangkit listrik yakni
sebesar 88% dari total pembangkitan. Berkat energi terbarukan dan tingkat elektrifikasi yang
tinggi maka 90% emisi akan berkurang pada tahun 2045.
Selain menetapkan target-target di atas, Indonesia juga perlu mempersiapkan biaya
investasi untuk mewujudkan 100% energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan. Struktur biaya
energi terbarukan biasanya membutuhkan investasi awal yang tinggi sehingga investasi tahunan
yang dibutuhkan dalam sistem berbasis energi terbarukan mulai tahun 2030 dan seterusnya lebih
tinggi daripada sistem berbasis fosil. Dalam skenario berbasis energi terbarukan, Indonesia akan
membutuhkan investasi sebesar USD 20-25 miliar per tahun dari sekarang hingga 2030. Lalu
pada periode 2030-2040, Indonesia membutuhkan investasi USD 60 miliar per tahun untuk
meningkatkan upaya dekarbonisasi. Secara rinci, investasi solar PV membutuhkan biaya sebesar
USD 20-25 miliar per tahun antara tahun 2030 dan 2040. Kemudian, panas bumi dan tenaga air
masing-masing membutuhkan investasi tahunan sebesar USD 7-8 miliar dan USD 2-5 miliar
untuk sepuluh tahun ke depan. Sementara itu, dengan semakin intensifnya integrasi jaringan
mulai tahun 2030 dan seterusnya, Indonesia membutuhkan investasi sekitar USD 3-4 miliar per
tahun antara tahun 2030 dan 2040 dan USD 5-6 miliar per tahun mulai tahun 2040 dan
seterusnya. Berdasarkan angka-angka tersebut, transisi energi bersih dianggap membutuhkan
investasi yang sangat besar. Namun, perhitungan LCOE menunjukkan bahwa sistem berbasis
energi terbarukan yang dimodernisasi akan menghasilkan listrik dengan harga yang sebanding
dengan hari ini dan dalam jangka menengah hingga panjang, biayanya jauh lebih rendah. Pun,
mengingat pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan maka jumlah tersebut cukup kecil
yakni hanya 5% dari PDB.
Selain dapat menurunkan 90% emisi GRK pada tahun 2045, transisi energi dengan target
100% pembangkit listrik bersumber dari energi terbarukan juga dapat meremajakan ekonomi
Indonesia pasca pandemi. Transisi energi bersih terbarukan dapat menciptakan lapangan kerja
setidaknya lebih dari 800.000 pekerjaan baru pada tahun 2030 dengan sekitar 67% diantaranya
berasal dari solar PV dan lebih dari 3,2 juta pekerjaan baru pada tahun 2050 jika negara ini
mengikuti jalur transisi energi yang telah dijelaskan di atas. Perlu diketahui bahwa analisis
tersebut hanya memperhitungkan pekerjaan langsung di sektor listrik yang berarti penciptaan
81
lapangan kerja melalui penggunaan 100% energi terbarukan kemungkinan akan menciptakan
lebih banyak pekerjaan secara tidak langsung.
Gambar 5.2. Jumlah Lapangan Kerja Melalui Penggunaan 100% Energi Terbarukan (2021b)
Kemudian, transisi energi juga membawa peluang ekonomi baru bagi masyarakat pedesaan yang
seringkali tidak memiliki akses listrik yang diperlukan untuk kegiatan ekonomi. Selain itu,
penghapusan batu bara lebih awal juga akan menghindarkan Indonesia dari menumpuknya aset
terdampar yang mencapai 26 miliar dolar AS setelah tahun 2040. Keuntungan lainnya yang
diperoleh dari transisi energi bersih terbarukan adalah menghindari biaya kerusakan iklim,
meningkatkan efisiensi energi, kualitas udara yang lebih baik, menghindari kematian dan biaya
perawatan kesehatan, sistem energi yang lebih tangguh, meningkatkan ketersediaan air dan
ketahanan pangan, serta ekosistem yang sehat dan keanekaragaman hayati yang kaya. Selain itu,
program investasi besar-besaran dalam teknologi energi bersih terbarukan, seperti infrastruktur
jaringan modern juga akan membantu Indonesia melompat ke arah ekonomi modern,
berkelanjutan, dan berdaya saing global.
Berdasarkan hal di atas dapat diketahui bahwa banyak sekali manfaat yang akan
diperoleh Indonesia jika melakukan transisi energi secara total yakni menggunakan 100% energi
bersih terbarukan di sektor energi. Dengan demikian, pemerintah sudah sepatutnya membuat
kebijakan transisi energi bersih terbarukan secara total (100% energi bersih terbarukan). Transisi
energi bersih terbarukan perlu dijadikan sebagai prioritas utama. Hal tersebut mungkin keputusan
yang sulit terutama di bidang politik di mana industri bahan bakar fosil memiliki relevansi yang
cukup besar bagi perekonomian negara. Namun, Indonesia harus mengambil langkah berani
menuju sistem 100% energi bersih terbarukan. Upaya tersebut harus dilihat sebagai peluang dan
bukan ancaman bagi perekonomian Indonesia. Pada akhirnya, keputusan hari ini akan
menentukan laju transisi energi Indonesia serta biaya sistem sehingga untuk memanfaatkan
peluang ini diperlukan komitmen politik yang berani.
82
Selain menetapkan kebijakan transisi energi bersih terbarukan secara total (100% energi
bersih terbarukan), pemerintah pusat juga harus membekali pemerintah daerah dengan informasi
yang memadai tentang biaya dan manfaat transisi energi bersih terbarukan serta dengan bantuan
teknis, kebijakan, dan insentif yang dapat membantu pemerintah daerah melaksanakan transisi
energi bersih terbarukan. Pemerintah pusat juga perlu memastikan bahwa tidak ada kesenjangan
kebijakan antara strategi nasional dan rencana aksi transisi energi bersih terbarukan tingkat
provinsi dan lokal.
Kemudian, pemerintah daerah juga memiliki peran dalam merealisasikan transisi energi
bersih terbarukan. Pemerintah daerah sangat menentukan hasil akhir dari strategi nasional.
Pemerintah daerah perlu menyelaraskan kembali roadmap pemenuhan energi jangka panjang.
Lalu, pemerintah daerah juga harus memberikan insentif lokal. Keterlibatan pemerintah daerah
juga merupakan kunci untuk merangsang partisipasi berbagai tingkat pemerintahan dan
membantu mempersiapkan rencana aksi transisi energi bersih terbarukan.
Terakhir, partisipasi aktor non-pemerintahan seperti pemilik bisnis dan warga negara
dalam upaya dekarbonisasi juga harus didorong. Pemerintah harus memungkinkan dan bahkan
memberi insentif kepada pemilik bisnis dan masyarakat untuk memasang solar atap PV di
fasilitas dan rumah mereka. Mengingat transisi energi bersih terbarukan membutuhkan jumlah
investasi yang sangat besar, partisipasi sektor swasta dan warga negara akan mempermudah
pemerintah mewujudkan transisi energi tersebut. Dengan demikian, untuk meningkatkan
partisipasi aktor non-negara, desentralisasi dan demokratisasi energi infrastruktur harus dijamin
oleh pemerintah dalam melakukan transisi energi bersih terbarukan.
83
84
BAB VI
PENUTUP
Saat ini energi baru dan energi terbarukan mendapat perlakuan-perlakuan yang sama
dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia. Padahal, keduanya merupakan
jenis energi yang berbeda. Beberapa sumber energi baru masih berasal dari energi tak terbarukan,
seperti batu bara dan nuklir. Jika dibandingkan dengan energi terbarukan, energi baru
menghasilkan emisi yang lebih tinggi. Selain faktor emisi, energi baru seperti nuklir juga
memiliki dampak terhadap lingkungan dan nantinya akan berdampak pada kesehatan manusia.
Berdasarkan hal tersebut, energi baru tentunya tidak dapat disandingkan dengan energi
terbarukan dan mendapat perlakuan yang sama. Oleh karena itu, seharusnya diberikan sebuah
sekat pemisah yang jelas di antara keduanya sehingga tidak menimbulkan miskonsepsi yang
selama ini terjadi.
Kondisi pemenuhan energi nasional semakin diperparah dengan adanya kebijakan
kontradiktif yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan Perjanjian Paris. Batu bara masih menjadi
primadona dalam bauran energi primer dan sektor kelistrikan di Indonesia. Akibatnya, gas rumah
kaca diestimasi akan terus meningkat. Selain itu, berdasarkan Energy Trilemma Index, arah
kebijakan sektor energi Indonesia juga belum cukup memuaskan. Dua nilai C dalam Energy
Trilemma Index membuktikan arah kebijakan Indonesia yang patut diberikan rapor merah. Pun,
nilai A yang didapatkan Indonesia pada ketahanan energi juga bukan sebuah hal yang seharusnya
dibanggakan karena ketahan energi di Indonesia masih bergantung pada batu bara sebagai
penopangnya.
Padahal, Indonesia memiliki potensi energi bersih terbarukan yang sangat besar.
Berbagai jenis energi bersih terbarukan dapat digunakan dan diintegrasikan untuk menopang
kebutuhan energi dalam negeri yang akan terus meningkat. Energi bersih terbarukan juga
memiliki banyak dampak positif terhadap aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial. Dalam aspek
lingkungan, penggunaan energi bersih terbarukan dapat menurunkan gas rumah kaca serta
memperbaiki kualitas udara. Pada aspek ekonomi penggunaan energi bersih terbarukan dapat
meningkatkan lapangan pekerjaan dan tidak bergantung fluktuatifnya harga bahan bakar.
Pemenuhan energi secara mandiri dan kerusakan lingkungan yang dapat dicegah juga dapat
memberikan dampak positif seperti meningkatkan taraf hidup masyarakat baik dari segi
ekonomi, pendidikan, maupun kesehatan.
Beberapa negara di dunia telah mengeluarkan beberapa kebijakan yang mencerminkan
komitmen mereka terhadap krisis iklim yang sedang terjadi. Jerman merupakan salah satu negara
yang telah memulai transisi energi bersih terbarukan sejak tahun 1990-an dan terus
memperbaharui target-target energi bersih terbarukan. Afrika Selatan sudah memulai transisi
energi bersih terbarukan dengan adanya kebijakan pengurangan pajak. Singapura juga sudah
membuat kebijakan pajak karbon dan akan memperbaharuinya sesegera mungkin sehingga dapat
mengurangi emisi gas rumah kaca. Lalu, Vietnam juga melakukan transisi energi bersih
terbarukan yang ditandai dengan tercapainya target pembangunan di sektor energi dan membuat
loncatan target yang cukup signifikan, serta berani mengurangi realisasi penggunaan batu bara
dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan. Berdasarkan hal tersebut, Indonesia
85
seharusnya dapat belajar dari negara-negara tersebut dalam melakukan transisi energi bersih
terbarukan.
Dalam melakukan transisi energi bersih terbarukan, konsep demokrasi dan diversifikasi
sangat diperlukan. Demokrasi energi mengajak rakyat untuk berpartisipasi dalam pemanfaatan
dan pemerataan dari sumber daya yang tersedia. Lalu, diversifikasi energi membuat pemenuhan
energi yang tadinya bergantung pada satu sumber saja menjadi berbagai macam sumber energi
sehingga dapat memitigasi dampak buruk yang dapat terjadi akibat ketergantungan pada satu
sumber energi.
Mengingat besarnya manfaat energi terbarukan dan kemampuannya untuk menggantikan
batu bara sebagai sumber energi, melalui kajian ini kami mendesak pemerintah untuk membuat
roadmap transisi energi yang mengarah pada pemanfaatan 100% energi bersih terbarukan dalam
bauran energi nasional. Penetapan transisi energi bersih terbarukan harus menjadi prioritas utama
pemerintah. Upaya tersebut harus dilihat sebagai peluang dan bukan ancaman bagi
perekonomian Indonesia. Indonesia harus mengambil langkah berani menuju sistem 100%
energi bersih terbarukan.
86
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-undangan
Buku
Castellano, R.N. (2010). Solar Panel Processing. Philadelphia: Old City Publishing, Inc.
Dandekar, M.M., Sharma, K.N. (2013). Water Power Engineering. New Delhi: Vikas Publishing
House.
Demirbas, Ayhan. (2009). Biofuels: Securing the Planet’s Future Energy Needs. London:
Springer.
Dincer, I., Zamfirescu, C. (2011). Sustainable Energy Systems and Applications. Oshawa:
Springer US.
Fadli, M., Mukhlish, Lutfi, M. (2016). Hukum dan Kebijakan Lingkungan. Malang: UB Press.
Glassley, W.E. (2014). Geothermal Energy: Renewable Energy and the Environment. London:
Taylor & Francis Group.
87
Goldstein, B., et al. (2011). In IPCC Special Report on Renewable Energy Sources and Climate
Change Mitigation. Cambridge: Cambridge University Press.
Halliday, D., Resnick, R., & Walker, J. (2018). Fundamentals of Physics (11th ed.). Chicago:
Wiley.
Hein, Morris., Arena, Susan. (2014). Foundations of College Chemistry. Chicago: Wiley.
Hincey, Jane. (2018). Malaysia: Discover the Country, Culture and People. French Forest:
Redback Publishing.
Hyatt, Colin. (2017). Ocean Thermal Energy Conversion. California: Stanford University.
Jumrusprasert, P., Smith, G., Kirkup, L. (2010). Comparing the Efficiency of Fixed and Tracking
Solar Cell Panels. Berlin: Lap Lambert Academic Publishing GmbH KG.
Mclaren, Miranda. 2021. Governments across Southeast Asia accelerate renewable energy
investment to revive the pandemic-hit economies. United Kingdom: Power Technology.
Meyers, R.A. (1992). Encyclopedia of Physical Science and Technology. Los Angeles:
Academic Press.
Nguyen, A.T., Hens, L. (2018). Human Ecology of Climate Change Hazards in Vietnam: Risks
for Nature and Humans in Lowland and Upland Areas. Cham: Springer International
Publishing.
Pasae, Yoel. (2020). Biodiesel dari Asam Lemak Bercabang: Karakteristik, Bahan Baku &
Teknologi Proses. Makasar: Nas Media Pustaka.
Pidwirny, Michael. (2021). Understanding Physical Geography. Kelowna: Our Planet Earth
Publishing.
Raharjo, N.H. (2012).The Utilization Studies of Ocean Thermal and Ocean Wave Energy to
Electricity System at Karangasem Bali. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Rahman, Serina. (2020). Renewable Energy: Malaysia's Climate Change Solution Or Placebo?.
Heng Mui Keng Terrace: ISEAS - Yusof Ishak Institute.
88
Serway, R. A., & Jewett, J. W. (2013). Physics for Scientists and Engineers with Modern Physics.
California: David Harris.
Sien, C.L., Rahman, A. (1991). The Biophysical Environment of Singapore. Kent Ridge:
Singapore University Press.
Stevenson F.J. (1994). Humus Chemistry: Genesis, Composition, Reactions. Chicago: Wiley.
Sumper, Andreas., Baggini, Angelo. (2012). Electrical Energy Efficiency: Technologies and
Applications. Chicago: Wiley.
Weddell, B.J. (2002). Conserving Living Natural Resources: In the Context of a Changing
World. Cambridge: Cambridge University Press.
Jurnal
Bagher, A.M., Vahid, M., Mohsen, M., Parvin, D. (2015). Hydroelectric Energy Advantages and
Disadvantages. American Journal of Energy Science, 2(2), 17-20.
Berga, Luis. (2016). The Role of Hydropower in Climate Change Mitigation and Adaptation: A
Review. Engineering, 2(3), 313-318.
Boudri, C., Hordijk, L., Kroeze, C. (2002). The Potential Contribution of Renewable Energy in
Air Pollution Abatement in China and India. Energy Policy, 30(5).
Bull, S. R. (2001). Renewable energy today and tomorrow. Proceedings of the Institute of
Electrical and Electronics Engineers, 89(8), 1216-1226.
Chachuli, F.S.M., Ludin, N.A., Jedi, M.A.M., Hamid, N.H. (2021). Transition of Renewable
Energy Policies in Malaysia: Benchmarking with Data Envelopment Analysis.
Renewable and Sustainable Energy Reviews, 150.
Dung, Tran Viet. (2019). Legal and Policy Framework for Renewable Energy and Energy
Efficiency Development in Vietnam. Vietnamese Journal of Legal Sciences, 1(1), 33-47.
Etemadi, A., Emdadi, A., AsefAfshar, O., Emami, Y. (2011). Electricity Generation by the
Ocean Thermal Energy. Energy Procedia, 12, 936-943.
Farrok, O., et al. (2020). Electrical Power Generation from the Oceanic Wave for Sustainable
Advancement in Renewable Energy Technologies. Sustainability, 12, 1-23.
Firdaus, A.M., Houlsby, G.T., Adcock, T.A.A. (2017). Opportunities for Tidal Stream Energy
in Indonesian Waters. Proceedings of the 12th European Wave and Tidal Energy
Conference.
Handayani, K., Krozer, Y., & Filatova, T. (2019). From Fossil Fuels to Renewables: An Analysis
of Long-Term Scenarios. Energy Policy.
Hartiniati, H. (2016). Dampak Lingkungan dan Sosial dari Pengembangan CBM di Indonesia.
Jurnal Teknologi Lingkungan, 12(2), 207-216.
Hayati, Tri. (2019). Hak Penguasaan Negara terhadap Sumber Daya Alam dan Implikasinya
terhadap Bentuk Pengusahaan Pertambangan. Jurnal Hukum & Pembangunan, 49(3),
768-787.
Herrera, J., Sierra, S., Ibeas, A. (2021). Ocean Thermal Energy Conversion and Other Uses of
Deep Sea Water: A Review. Journal of Marine Science and Engineering, 9, 1-16.
Huenteler, J., Niebuhr, C., & Schmidt, T. S. (2014). The Effect of Local and Global Learning on
The Cost of Renewable Energy. Cleaner Production.
Jackson, D., Persoons, T. (2012). Feasibility Study and Cost-Benefit Analysis of Tidal Energy:
A Case Study for Ireland. International Conference on Ocean Energy.
Kavlak, G., McNerney, J., & Trancik, J. E. (2018). Evaluating The Causes of Cost Reduction in
Photovoltaic Modules. Energy Policy, 700-710.
Kusmana, Cecep & Hikmat, Agus. (2015). The Biodiversity of Flora in Indonesia. Journal of
Natural Resources and Environmental Management. 5. 187-198.
10.19081/jpsl.2015.5.2.187.
Li, P., Du, F., Wang, F., Zhang, P., Jiang, Y., Cui, B. (2020). Influence of Water Injection on
The Desorption Characteristics of Coalbed Methane. Energy Science & Engineering,
8(12), 4222-4228.
90
Ludji, J.F., Koehuan, V.A., Nurhayati. (2014). Analisis Efisiensi Sistem Osilator Kolom Air
sebagai Pembangkit Daya Tenaga Gelombang Laut. Jurnal Teknik Mesin Undana, 1(2),
18-25.
Luhur, E.S., Muhartono, R., Suryawati, S.H. (2013). Analisis Finansial Pengembangan Energi
Laut di Indonesia. Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, 8(1), 25-37.
Luis, J., Sidek, L.M., Desa, M.N.M., Julien, P.Y. (2013). Sustainability of Hydropower As
Source of Renewable and Clean Energy. IOP Conference Series: Earth and
Environmental Science.
Millstein, D., Wiser, R., Bolinger, M., Barbose, G. (2018). The climate and air quality benefits
of wind and solar power in the United States. Nature Energy, 2(9).
Orellano, P., Quaranta, N., Reynoso, J., Balbi, B., Vasquez, J. (2017). Effect of Outdoor Air
Pollution on Asthma Exacerbations in Children and Adults: Systematic Review and
Multilevel Meta-analysis. PLoS ONE, 12(3).
Prasetyo, Adhi., Notosudjono, Didik., Soebagja, Hasto. (2019). Studi Potensi Penerapan dan
Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Angin di Indonesia. Jurnal Online
Mahasiswa.
Redi, Ahmad. (2015). Dinamika Konsepsi Penguasaan Negara atas Sumber Daya Alam. Jurnal
Konstitusi, 12(2), 401-421.
Riyanto, Sugeng. (2017). Kajian Pemanfaatan Potensi Suhu Air Laut Sebagai Sumber Energi
Terbarukan Menghasilkan Energi Listrik. Jurnal Inovasi Teknologi Politeknik Negeri
Bengkalis, 7(1), 20-28.
Sarhosis, V., Jaya, A.A., Thomas, H.R. (2016). Economic Modelling for Coal Bed Methane
Production and Electricity Generation from Deep Virgin Coal Seams. Energy, 107, 580-
594.
91
Satriawan, M., et al. (2021). Unlimited Energy Source: A Review of Ocean Wave Energy
Utilization and Its Impact on the Environment. Indonesian Journal of Science &
Technology, 6(1), 1-16.
Sihombing, A.L., Susila, I.M.A.D., Magdalena, M. (2015). Perhitungan Nilai Faktor Emisi CO2
Dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro Sistem Terisolasi. Ketenagalistrikan dan
Energi Terbarukan, 14(1), 29-36.
Sukmajati, S., Hafidz, M. (2015). Perancangan dan Analisis Pembangkit Listrik Tenaga Surya
Kapasitas 10 MW On Grid di Yogyakarta. Jurnal Energi & Kelistrikan, 7(1), 49-63.
Supahar. (1995). Pengelolaan Limbah Zat Radioaktif: Suatu Antisipasi Bahaya Radiasi.
Cakrawala Pendidikan, 2, 127-138.
Surinati, Dewi. (2007). Pasang Surut dan Energinya. Oseana, 32(1), 15-22.
Watson, M., et al. (2009). Severn Barrage Tidal Power Project: Implications for Carbon
Emissions. Water and Environment Journal, 23(1), 63-68.
Williams, R.H., Larson, E.D. (2003). A Comparison of Direct and Indirect Liquefaction
Technologies for Making Fluid Fuels from Coal. Energy for Sustainable Development,
7(4), 103-129.
Yue, H., Worrell, E., Crijns-Graus, W., Zhang, S. (2021). The Potential of Industrial Electricity
Savings to Reduce Air Pollution from Coal-Fired Power Generation in China. Journal of
Cleaner Production, 301.
Publikasi Elektronik
Anindarini, Grita. (2020). Problema Transisi Energi di Indonesia: Antara Energi Baru dan Energi
Terbarukan. https://icel.or.id/wp-content/uploads/Seri-Analisis-Transisi-Energi-1-
Problematika-Energi-Baru-dan-Energi-Terbarukan-ICEL_opt.pdf
Badan Riset dan Inovasi Nasional. (2020). Menristek Resmikan Inovasi Teknologi PLTMH
Berbasis Turbin Ulir. https://www.brin.go.id/menristek-resmikan-inovasi-teknologi-
tepat-guna-pembangkit-listrik-tenaga-mikrohidro-pltmh-berbasis-turbin-ulir/
Bast, Elizabeth., Krishnaswamy, Srinivas. (2011). Access to Energy for the Poor: The Clean
Energy Option. http://priceofoil.org/content/uploads/2011/06/Access-to-Energy-for-the-
Poor-June-2011.pdf
BBC Indonesia. (2019). Mati lampu di Jakarta, Banten, Jabar 'terparah sejak 2005', Puluhan Juta
Orang Terkena Dampak. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49224680
China National Renewable Energy Centre. (2020). China Energy Transition Status Report 2020.
China Energy Transition Status Report 2020.
China_Energy_Transition_Status_Report.pdf
Climate Action Tracker. (2021). How a Covid-19 Recovery with Less Coal Could Benefit
Indonesia. https://climateactiontracker.org/documents/852/CAT_2021-04-
29_Indonesia-COVID-19-Recovery.pdf
European Environment Agency. (2019). Renewable Energy in Europe 2019 - Recent Growth
and Knock-on Effects.
https://www.eea.europa.eu/downloads/7a501ab29deb42bcb87acc2c363e6e59/16166713
46/renewable-energy-in-europe-key.pdf
Friends of the Earth International. (2016). Fuelling the Fire: The Chequered History of
Underground Coal Gasification and Coal Chemicals Around The World.
93
https://www.foei.org/wp-
content/uploads/2016/07/FoEI_Fuelling_the_Fire_July2016.pdf
Garcia, M.M., et al. (2021). South Africa: Renewable Energy Laws and Regulations 2022.
https://iclg.com/practice-areas/renewable-energy-laws-and-regulations/south-africa
Greenpeace. (2020). Pembukaan Lapangan Kerja di Sektor Energi Terbarukan: Solusi Menuju
‘Better Normal’. https://www.greenpeace.org/indonesia/siaran-pers/5277/pembukaan-
lapangan-kerja-di-sektor-energi-terbarukan-solusi-menuju-better-normal/
Greenpeace. (2021). The Decontamination Myth and A Decade of Human Rights Violations.
Fukushima Daiichi 2011–2021. https://www.greenpeace.org/static/planet4-japan-
stateless/2021/03/ff71ab0b-finalfukushima2011-2020_web.pdf
Hashmi, H.N., Malik, N.E., Yousuf, I. (2011). Environmental Benefits of Wind Farm Projects in
Pakistan. http://www.mowp.gov.pk/mowp/userfiles1/file/uploads/publications/env.pdf
Hoegh-Guldberg, O., et al. 2019. The Ocean as a Solution to Climate Change: Five Opportunities
for Action. https://oceanpanel.org/sites/default/files/2019-
10/HLP_Report_Ocean_Solution_Climate_Change_final.pdf
IESR. (2019b). Laporan Status Energi Bersih Indonesia: Potensi, Kapasitas Terpasang, dan
Rencana Pembangunan Pembangkit Listrik Energi Terbarukan 2019. http://iesr.or.id/wp-
content/uploads/2019/07/IESR_Infographic_Status-Energi-Terbarukan-Indonesia.pdf
IESR. (2019c). Dinamika Batu Bara Indonesia: Menuju Transisi Energi yang Adil.
http://iesr.or.id/wp-content/uploads/2019/04/SPM-bahasa-lowres.pdf
International Renewable Energy Agency. (2017). Renewable Energy Benefits: Understand The
Socio-Economics. Abu Dhabi: UEA, International Renewable Energy Agency.
https://www.irena.org/-
/media/Files/IRENA/Agency/Publication/2017/Nov/IRENA_Understanding_Socio_Eco
nomics_2017.pdf?la=en&hash=C430B7EF772BA0E631190A75F7243B992211F102
International Renewable Energy Agency. (2020a). Renewable Power Generation Costs in 2019.
https://www.irena.org/-
/media/Files/IRENA/Agency/Publication/2020/Jun/IRENA_Power_Generation_Costs_
2019.pdf
IPCC. (2007). Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working
Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate
Change. New York : Cambridge University Press, dari
https://www.ipcc.ch/report/ar4/wg1/
IPCC. (2011). IPCC Special Report on Renewable Energy Sources and Climate Change
Mitigation. https://archive.ipcc.ch/pdf/special-reports/srren/SRREN_FD_SPM_final.pdf
IPCC. (2013). In: Climate Change 2013: The Physical Science Basis. Contribution of Working
Group I to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate
Change.
https://www.ipcc.ch/site/assets/uploads/2018/02/WG1AR5_Chapter08_FINAL.pdf
IPCC. (2021). Climate Change 2021 The Physical Science Basis: Summary for Policymakers.
https://www.ipcc.ch/report/ar6/wg1/downloads/report/IPCC_AR6_WGI_SPM.pdf
ITB Center of Excellence for CCS and CCUS. (2021). Carbon Capture and Storage. https://ccs-
coe.fttm.itb.ac.id/whats-ccs/carbon-capture-and-storage-ccs/
95
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2016). PGE Unit Kamojang Pasok Uap ke
Pembangkit BPPT.
https://ebtke.esdm.go.id/post/2016/02/22/1129/pge.unit.kamojang.pasok.uap.ke.pemban
gkit.bppt
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2018). Siap Beroperasi, PLTB Sidrap I Uji
Coba Interkoneksi ke Jaringan PLN. https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-
berita/siap-beroperasi-pltb-sidrap-i-uji-coba-interkoneksi-ke-jaringan-pln
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2019). Outlook Energi Indonesia 2019.
https://www.esdm.go.id/assets/media/content/content-outlook-energi-indonesia-2019-
bahasa-indonesia.pdf
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2020). Hingga Juni 2020, Kapasitas
Pembangkit di Indonesia 71 GW. https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-
berita/hingga-juni-2020-kapasitas-pembangkit-di-indonesia-71-gw
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2021a). Capaian Kinerja 2020 dan Program
2021. https://www.esdm.go.id/assets/media/content/content-capaian-kinerja-tahun-
2020-dan-program-kerja-tahun-2021-sektor-esdm.pdf
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2021b). Peta Potensi Energi Surya Indonesia.
https://geoportal.esdm.go.id/ebtke/
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2021c). Potensi Energi Angin Indonesia 2020.
https://p3tkebt.esdm.go.id/pilot-plan-project/energi_angin/potensi-energi-angin-
indonesia-2020
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2021d). Peta Potensi Energi Hidro Indonesia.
https://p3tkebt.esdm.go.id/news-center/arsip-berita/peta-potensi-energi-hidro-indonesia
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2021e). Energi Baru Terbarukan.
https://geoportal.esdm.go.id/ebtke/
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2020). Laporan Inventarisasi GRK dan
Monitoring, Pelaporan dan Verifikasi (MPV).
http://ditjenppi.menlhk.go.id/reddplus/images/adminppi/dokumen/igrk/lapigrkmrv2019.
pdf
Martin, J. (2009). Distributed vs. Centralized electricity generation: Are we witnessing a change
of paradigm? An Introduction to Distributed Generation.
https://www.vernimmen.net/ftp/An_introduction_to_distributed_generation.pdf
Mursanti, E., Tumiwa, F. (2017). Strategi Penyediaan Akses Listrik di Pedesaan dan Daerah
Terpencil di Indonesia. http://iesr.or.id/wp-content/uploads/2019/04/IESR-SP-E-
Strategi-Penyediaan-Listrik-Perdesaan.pdf
Natural Resources Defense Council. (2011). Why Liquid Coal Is Not a Viable Option to Move
America Beyond Oil. https://www.nrdc.org/sites/default/files/liquidcoalnotviable_fs.pdf
Pao-Yu, O. (2019). Lesson from Germany’s Hard Coal Mining Phase Out.
https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/14693062.2019.1688636
Roser, M. (2020). Why Did Renewables Become So Cheap So Fast? And What Can We Do to
Use This Global Opportunity for Green Growth?. https://ourworldindata.org/cheap-
renewables-growth#licence
Sweeney, S. (2012). Resist, Reclaim, Restructure: Unions and the Struggle for Energy
Democracy. www.unionsfor energydemocracy.org
97
Tampubolon, A. P., Arinaldo, D., Giwangkara, J., Mursanti, E., & Simamora, P. (2018). Transisi
Energi: 8 Q&A. https://iesr.or.id/en/pustaka/transisi-energi-dalam-ringkasan
Tsafos, N., & Carey, L. (2020). Energy Transition Strategies: Vietnam’s Low-Carbon
Development Pathway. https://csis-website-prod.s3.amazonaws.com/s3fs-
public/publication/200731_EnergySecurity_Vietnam_FullReport_v4_WEB%20FINAL
_1.pdf
U.S. Environmental Protection Agency. (2021). Centralized Generation of Electricity and Its
Impacts on the Environment. https://www.epa.gov/energy/centralized-generation-
electricity-and-its-impacts-environment
WALHI. (2018). Mendesak Transisi Energi Bersih, Berkeadilan, dan Berdaulat untuk
mewujudkan Keadilan Iklim. https://www.walhi.or.id/wp-
content/uploads/2018/12/kertas-posisi-ENERGI-INDONESIA.pdf
World Bank. (2015). Carbon Capture and Storage for Coal-Fired Power Plants in Indonesia.
https://openknowledge.worldbank.org/bitstream/handle/10986/22804/Carbon0Capture0
0Plants0in0Indonesia.pdf?sequence=1&isAllowed=y