Anda di halaman 1dari 27

1

LAPORAN DISEMINASI AKHIR

“Dampak Pemakaian Kateter terhadap Timbulnya Infeksi Saluran Kemih”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Surgikal


di Rumah Sakit Panti Nirmala Malang

Oleh :
KELOMPOK 4

Novita Puspasari
Eny Dwi Oktaviani
Dwi Puji Rahayu
Teguh Fitriyanto
Ade Rumondang Megawati H.
Tomi Rinaldi

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
2

Ringkasan

Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang terjadi di sepanjang saluran


kemih, termasuk ginjal itu sendiri, akibat proliferasi suatu mikroorganisme.
Sebagian besar infeksi saluran kemih disebabkan oleh bakteri, tetapi virus
dan jamur juga dapat menjadi penyebabnya.Infeksi bakteri tersering
disebabkan oleh Escherichia coli. Infeksi saluran kemih sering terjadi pada
wanita. Salah satu penyebabnya adalah uretra wanita yang lebih pendek
sehingga bakteri kontaminan lebih mudah memperoleh akses ke kandung
kemih (Corwin, 2007).Kateter urin adalah penyebab yang paling sering dari
bakteriuria. Risiko bakteriuria pada kateter diperkirakan 5% sampai 10%
per hari. Kemudian diketahui, pasien akan mengalami bakteriuria setelah
penggunaan kateter selama 10 hari. Infeksi saluran kemih merupakan
penyebab terjadinya lebih dari 1/3 dari seluruh infeksi yang didapat di
rumah sakit. Sebagian besar infeksi ini (sedikitnya 80%) disebabkan
prosedur invasif atau instrumentasi saluran kemih yang biasanya berupa
kateterisasi (Smeltzer & Bare, 2005). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan pemasangan kateter dengan kejadian infeksi
saluran kemih. Dari perbandingan beberapa jurnal tentang kateter dan
infeksi saluran kemih didapatkan hasil teknik pemasangan kateter
berpengaruh terhadap angka kejadian infeksi saluran kemih dan tingkat
multidrug resisten terhadap mikroba juga mempengaruhi angka kejadian
infeksi saluran kemih. Kesimpulanya adalah teknik pemasangan kateter
dan waktu pemasangan kateter perlu diperhatikan untuk meminimalkan
angka kejadian infeksi saluran kemih. Perlu adanya peningkatan protocol
teknik pemasangan dan perawatan kateter agar kejadian infeksi saluran
kemih dapat ditekan seminimal mungkin.
3

BAB 1
LATAR BELAKANG
1.1 Pendahuluan
Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang terjadi di sepanjang saluran
kemih, termasuk ginjal itu sendiri, akibat proliferasi suatu mikroorganisme.
Sebagian besar infeksi saluran kemih disebabkan oleh bakteri, tetapi virus dan
jamur juga dapat menjadi penyebabnya.Infeksi bakteri tersering disebabkan oleh
Escherichia coli. Infeksi saluran kemih sering terjadi pada anak perempuan dan
wanita. Salah satu penyebabnya adalah uretra wanita yang lebih pendek
sehingga bakteri kontaminan lebih mudah memperoleh akses ke kandung kemih
(Corwin, 2007).
Sistitis (infeksi saluran kemih bawah) adalah inflamasi kandung kemih
yang paling sering disebabkan oleh infeksi asenden dari uretra. Penyebab
lainnya aliran balik urine dari uretra kedalam kandung kemih (refluks
uretrovesical), kontaminasi fekal, atau penggunaan kateter atau sistoskop. Sistitis
pada pria merupakan kondisi sekunder akibat beberapa faktor (mis., prostat yang
terinfeksi, epididimitis, atau batu pada kandung kemih) (FKUI, 2006)
Infeksi saluran kemih merupakan jenis infeksi nosocomial yang sering
terjadi. Beberapa penelitian menyebutkan, infeksi saluran kemih merupakan 40%
dari seluruh infeksi nosokomial dan dilaporkan 80% infeksi saluran kemih terjadi
sesudah instrumentasi, terutama oleh kateterisasi (Darmadi, 2008, p.124).
Walaupun kesakitan dan kematian dari infeksi saluran kemih berkaitan
dengan kateter dianggap relatif rendah dibandingkan infeksi nosokomial lainnya,
tingginya prevalensi penggunaan kateter urin menyebabkan besarnya kejadian
infeksi yang menghasilkan komplikasi infeksi dan kematian. Berdasarkan survei
di rumah sakit Amerika Serikat tahun 2002, kematian yang timbul dari infeksi
saluran kemihdi perkirakan lebih dari 13.000 (2,3% angka kematian). Sementara
itu, kurang dari 5% kasus bakteriuria berkembang menjadi bakterimia. Infeksi
saluran kemih yang berkaitan dengan kateter adalah penyebab utama infeksi
sekunder aliran darah nosokomial. Sekitar 17% infeksi bakterimia nosokomial
bersumber dari infeksi saluran kemih, dengan angka kematian sekitar 10%
(Gould & Brooker, 2009).
Kateter urin adalah penyebab yang paling sering dari bakteriuria. Risiko
bakteriuria pada kateter diperkirakan 5% sampai 10% per hari. Kemudian
diketahui, pasien akan mengalami bakteriuria setelah penggunaan kateter
4

selama 10 hari. Infeksi saluran kemih merupakan penyebab terjadinya lebih dari
1/3 dari seluruh infeksi yang didapat di rumah sakit. Sebagian besar infeksi ini
(sedikitnya 80%) disebabkan prosedur invasif atau instrumentasi saluran kemih
yang biasanya berupa kateterisasi (Smeltzer & Bare, 2005).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Afsah (2008), tentang “tingkat
kejadian infeksi saluran kemih pada pasien dengan terpasang kateter urin di RS
PKU Muhammadiyah Yogyakarta”, menunjukkan bahwa dari 30 responden
terdapat angka infeksi saluran kemih sebanyak 20%. Berdasarkan data rekam
medis di RSUDZA Banda Aceh (2009-2011), diketahui terjadi peningkatan kasus
infeksi saluran kemih tiap tahunnya, dengan rata-rata pertahun terdapat 75
kasus. pada minggu kedua bulan April 2012 lalu di ruang rawat inap penyakit
dalam RSUDZA Banda Aceh diketahui adanya keluhan dari beberapa pasien
mengenai pemasangan kateter, Yaitu 3 dari 5 pasien yang sedang memakai
kateter mengeluh adanya nyeri dan kemerahan pada area yang dipasang
kateter, dan juga terlihat urin yang terdapat di dalam kantong penampung agak
berkabut

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana hubungan pemasangan kateter dengan kejadian infeksi
saluran kemih?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui hubungan pemasangan kateter dengan kejadian infeksi
saluran kemih.
2. Mengetahui pengaruh intervensi keperawatan hubungan pemasangan
kateter dengan kejadian infeksi saluran kemih.

1.4 Manfaat
1. Makalah ini dapat memberikan gambaran bagaimana pengaruh intervensi
keperawatan hubungan pemasangan kateter dengan kejadian infeksi
saluran kemih.
2. .Artikel tersebut dapat dijadikan pertimbangan dalam pelaksanaan
tindakan keperawatan di rumah sakit dalam pemasangan kateter.
5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Saluran Kemih


2.1.1 Definisi Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih adalah keadaan yang ditandai dengan adanya
bakteri dalam urin dan pada pemeriksaan biakan mikroorganisme didapatkan
jumlah bakteri sebanyak 100,000 koloni per milliliter urin atau lebih yang dapat
disertai dengan gejala-gejala (simtomatik) atau tidak (asimtomatik).

Infeksi Saluran Kemih (ISK) keadaan ditemukannya mikrorganisme di


dalam urin dalam jumlah tertentu. Dalam keadaan normal, urin juga mengandung
mikroorganisme, umumnya sekitar 102 hingga 104 bakteri/ml urin. Pasien
didiagnosis infeksi saluran kemih bila urinnya mengandung lebih dari 105
bakteri/ml (Coyle dan Prince, 2005).

Dari segi anatomi infeksi saluran kemih dapat diklasifikasikan menjadi 2


macam yaitu infeksi saluran kemih bagian atas dan infeksi saluran kemih bagian
bawah. Infeksi saluran kemih bagian bawah terdiri dari sistitis (kandung kemih),
uretritis (uretra), serta prostatitis (kelenjar prostat). Infeksi saluran kemih bagian
atas terdiri dari pielonefritis yaitu infeksi yang melibatkan ginjal (Coyle dan
Prince, 2005).

Infeksi saluran kemih (ISK) dari segi klinik dibagi menjadi:

1. Infeksi saluran kemih tanpa komplikasi (simple/ uncomplicated urinary tract


infection), yaitu bila infeksi saluran kemih tanpa faktor penyulit dan tidak
didapatkan gangguan struktur maupun fungsi saluran kemih.

2. Infeksi saluran kemih terkomplikasi (complicated urinary tract infection),


yaitu bila terdapat hal – hal tertentu sebagai infeksi saluran kemih dan
kelainan struktur maupun fungsional yang merubah aliran urin seperti
obstruksi aliran urin ; batu saluran kemih, kista ginjal, tumor ginjal, abses
ginjal, residu urin dalam kandungan kemih (Suwitra dan Mangatas, 2004).

Terdapat perbedaan yang bermakna antara infeksi saluran kemih


terkomplikasi dan tidak terkomplikasi dalam hal kebutuhan pemeriksaan
penunjang untuk penegakan diagnosis, jenis dan lama penatalaksanaan, serta
6

resiko terjadinya perburukan dan gejala sisa infeksi saluran kemih (Suwitra dan
Mangatas, 2004).

2.1.2 Etiologi Infeksi Saluran Kemih


Pada keadaan normal urin adalah steril. Umumnya ISK disebabkan oleh
kuman gram negatif. Escherichia coli merupakan penyebab terbanyak baik pada
yang simtomatik maupun yang asimtomatik yaitu 70 - 90%. Enterobakteria
seperti Proteus mirabilis (30 % dari infeksi saluran kemih pada anak laki-laki
tetapi kurang dari 5 % pada anak perempuan ), Klebsiella pneumonia dan
Pseudomonas aeruginosa dapat juga sebagai penyebab. Organisme gram positif
seperti Streptococcus faecalis (enterokokus), Staphylococcus epidermidis dan
Streptococcus viridans jarang ditemukan. Pada uropati obstruktif dan kelainan
struktur saluran kemih pada anak laki-laki sering ditemukan Proteus species.
Pada ISK nosokomial atau ISK kompleks lebih sering ditemukan kuman Proteus
dan Pseudomonas (Lumbanbatu, S.M., 2003).
Ada empat macam cara masuknya kuman ke dalam saluran kemih
(Bahnson,1992; Schaeffer,1998; Purnomo,2000).

1. Infeksi Aesenden (Ascending Infection)

Kuman masuk melalui uretra adalah penyebab paling sering dari


infeksi saluran kemih, baik pada pria maupun wanita. Pada keadaan
normal bakteri dalam urine kandung kemih biasanya akan dikeluarkan
sewaktu berkemih, tetapi keadaan ini tidak akan dijumpai bila ada urine
stasis. Kuman yang berasal dari flora normal usus dan hidup secara
komensal di dalam introitus vagina, preputium penis, kulit perineum dan
sekitar anus cenderung lebih sering menyebabkan infeksi saluran kemih
asenden.

Pubertas, hubungan seksual sebagaimana ada istilah “honeymoon


cystitis” dan melahirkan juga mempertinggi resiko terjadinya infeksi saluran
kemih pada wanita. Pada pria aktifitas seksual juga mempertinggi terjadi
infeksi saluran kemih.

2. Melalui Aliran Darah (Hematogenous Spred)

Penyebaran melalui aliran darah jarang terjadi, pada kasus-kasus


tuberkulosis, abses ginjal dan abses perinefrik. Sebaliknya bakteri sering
masuk kealiran darah pada penderita infeksi akut, ginjal dan prostat.
7

Bakteriemia karena komplikasi infeksi saluran kemih ini lebih sering terjadi
pada penderita yang mengalami kelainan struktur dan fungsi saluran
kemih.

3. Melalui Aliran Lymph (Lymphatogenous Spread)

Infeksi saluran kemih melalui lymph, walau sangat jarang namun


dapat terjadi. Kemungkinan bakteri patogen masuk melalui aliran lymph
rektum atau koloni menuju prostat atau kandung kemih, dapat juga melalui
aliran lymph peri-uterina pada wanita.

4. Penyebaran Langsung dari Organ Sekitarnya (Direct Extension From Other


Organ)

Abses intra peritoneum khususnya yang disebabkan oleh


peradangan usus halus, radang pelvik yang berat pada wanita, abses para
vesikal dan fistel saluran kemih (khususnya fistel vesikovagina dan vesiko
intestinal) dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dengan cara
penyebaran langsung.

2.1.3 Manifestasi Klinis Infeksi Saluran Kemih

Lower urinary tract infection (cystitis): sepanjang uretra dan kandung


kemih.
1. Disuria yaitu nyeri ketika buang air kecil.
2. Kerap buang air kecil atau bangun pada malam hari untuk kencing dan jumlah
urin biasanya sedikit.
3. Urgency atau tidak bisa menahan urin dalam kandung kemih.
4. Urin yang keruh, busuk atau disertai darah.
5. Nyeri pada bagian abdomen bawah (suprapubik).
6. Demam dan rasa tidak enak tubuh atau malaise.
Upper urinary tract infection (pyelonephritis):
1. Demam tinggi dan menggigil.
2. Muntah dan nausea.
3. Nyeri pada bagian punggung atau tepi tubuh dan biasanya sejajar dengan
pinggang (kostovetebra).
8

Pada bayi baru lahir, balita, anak-anak, dan orang tua, gejala-gejala yang
timbul mungkin tidak sama tetapi keluhan-keluhan yang lain mungkin
menunjukkan adanya ISK.
1. Neonatus : demam atau hipotermia, kurang nafsu makan atau ikterus.
2. Anak-anak : kurang nafsu makan, demam yang terus menerus tanpa
penyebab yang pasti, perubahan pada pola buang air kecil.
3. Orang tua : demam atau hipotermia, kurang nafsu makan, letargi, atau
perubahan status mental.

2.1.4 Pemeriksaan Diagnostik Infeksi Saluran Kemih

Guna menentukan adanya bakteriuria, artinya infeksi saluran kemih


dengan bakteri, sekarang tersedia beberapa cara diagnosa, yaitu:
1. Tes sedimentasi mendeteksi secara mikroskopis adanya kuman dan lekosit
di endapan dalam urin.
2. Tes nitrit (Nephur R) menggunakan strip mengandung nitrat yang
dicelupkan ke urin. Praktis semua gram negatif dapat mereduksi nitrat
menjadi nitrit, yang tampil sebagai perubahan warna tertentu pada strip.
Kuman-kuman gram-positif tidak terdeteksi.
3. Dip-slide test (Uricult) menggunakan persemaian kuman di kaca obyek,
yang seusai inkubasi ditentukan jumlah koloninya secara mikroskopis. Tes
ini dapat dipercaya dan lebih cepat daripada pembiakan lengkap dan jauh
lebih murah.
4. Pembiakan lengkap terutama dilakukan sesudah terjadinya residif 1-2 kali,
terlebih-lebih pada infeksi saluran kemih anak-anak dan pria.
5. Tes ABC (Antibody Coated Bacteria) adalah cara imunologi guna
menentukan infeksi saluran kemih yang letaknya lebih tinggi. Dalam hal ini
tubuli secara lokal membentuk antibodies terhadap kuman, yang bereaksi
dengan antigen yang berada di dinding kuman. Kompleks yang terbentuk
dapat diperlihatkan dengan cara imunofluoresensi (Tjay dan Rahardja,
2007).
9

Pemeriksaan Laboraturium
1. Urinalisis
a. Leukosuria
Leukosuria atau piuria merupakan salah satu petunjuk penting terhadap
dugaan adalah ISK. Dinyatakan positif bila terdapat > 5 leukosit/lapang
pandang besar (LPB) sedimen air kemih. Adanya leukosit silinder pada
sediment urin menunjukkan adanya keterlibatan ginjal. Namun adanya
leukosuria tidak selalu menyatakan adanya ISK karena dapat pula
dijumpai pada inflamasi tanpa infeksi. Apabila didapat leukosituri yang
bermakna, perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan kultur.

Gambar 2.1. Leukosuria

b. Hematuria
Dipakai oleh beberapa peneliti sebagai petunjuk adanya ISK, yaitu bila
dijumpai 5-10 eritrosit/LPB sedimen urin. Dapat juga disebabkan oleh
berbagai keadaan patologis baik berupa kerusakan glomerulus ataupun
oleh sebab lain misalnya urolitiasis, tumor ginjal, atau nekrosis papilaris.

2. Bakteriologis
a. Mikroskopis
Dapat digunakan urin segar tanpa diputar atau tanpa pewarnaan gram.
Dinyatakan positif bila dijumpai 1 bakteri /lapangan pandang minyak
emersi.

b. Biakan bakteri
10

Gambar 2.2. Biakan bakteri

Dimaksudkan untuk memastikan diagnosis ISK yaitu bila ditemukan


bakteri dalam jumlah bermakna sesuai dengan criteria Cattell, 1996:
• Wanita, simtomatik
>102organisme koliform/ml urin plus piuria, atau 10 5
organisme
pathogen apapun/ml urin, atau adanya pertumbuhan organisme
pathogen apapun pada urin yang diambil dengan cara aspirasi
suprapubik
• Laki-laki, simtomatik
>103organisme patogen/ml urin
• Pasien asimtomatik
105 organisme patogen/ml urin pada 2 contoh urin berurutan.
3. Tes kimiawi

Yang paling sering dipakai ialah tes reduksi griess nitrate. Dasarnya adalah
sebagian besar mikroba kecuali enterokoki, mereduksi nitrat bila dijumpai
lebih dari 100.000 - 1.000.000 bakteri. Konversi ini dapat dijumpai dengan
perubahan warna pada uji tarik. Sensitivitas 90,7% dan spesifisitas 99,1%
untuk mendeteksi Gram-negatif. Hasil palsu terjadi bila pasien sebelumnya
diet rendah nitrat, diuresis banyak, infeksi oleh enterokoki dan asinetobakter.

4. Tes Plat-Celup (Dip-slide)

Gambar 2.3. Plat celup


11

Lempeng plastik bertangkai dimana kedua sisi permukaannya dilapisi


perbenihan padat khusus dicelupkan ke dalam urin pasien atau dengan
digenangi urin. Setelah itu lempeng dimasukkan kembali ke dalam tabung plastik
tempat penyimpanan semula, lalu dilakukan pengeraman semalaman pada suhu
37° C. Penentuan jumlah kuman/ml dilakukan dengan membandingkan pola
pertumbuhan pada lempeng perbenihan dengan serangkaian gambar yang
memperlihatkan keadaan kepadatan koloni yang sesuai dengan jumlah kuman
antara 1000 dan 10.000.000 dalam tiap ml urin yang diperiksa. Cara ini mudah
dilakukan, murah dan cukup akurat. Tetapi jenis kuman dan kepekaannya tidak
dapat diketahui.

2.1.5 Penatalaksanaan Infeksi Saluran Kemih

Tujuan dan pengobatan infeksi saluran kemih adalah untuk menurunkan


morbiditas berupa simptom, pengangkatan bakteri penyebab, mencegah agar
tidak terjadi rekurensi dan kerusakan struktur organ saluran kemih (Junizaf, et
al.,1994).
Berikut ini adalah deskripsi beberapa agen antimikroba yang umum
digunakan dalam terapi infeksi saluran kemih:
1. Siprofloksasin
Obat golongan kuinolon ini bekerja dengan menghambat DNA gyrase
sehingga sintesa DNA kuman terganggu. Siprofloksasin terutama aktif
terhadap kuman Gram negatif termasuk Salmonella, Shigella, Kampilobakter,
Neiseria, dan Pseudomonas. Obat ini juga aktif terhadap kuman Gram positif
seperti Str. pneumonia dan Str. faecalis, tapi bukan merupakan obat pilihan
utama untuk Pneumonia streptococcus (Anonim, 2008).
2. Trimetropim-Sulfametoksazol (kotrimoksazol)
Sulfametoksazol dan trimetoprim digunakan dalam bentuk kombinasi
karena sifat sinergisnya. Kombinasi keduanya menghasilkan inhibisi enzim
berurutan pada jalur asam folat (Anonim, 2008). Mekanisme kerja
sulfametoksazol dengan mengganggu sintesa asam folat bakteri dan
pertumbuhan lewat penghambat pembentukan asam dihidrofolat dari asam
para-aminobenzoat. Dan mekanisme kerja trimetoprim adalah menghambat
reduksi asam dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat (Tjay dan Raharja, 2007).
3. Amoksisillin
12

Amoksisilin yang termasuk antibiotik golongan penisilin bekerja


dengan cara menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk
sintesis dinding sel mikroba. Terdapat mikroba yang sensitif, penisilin akan
menghasilkan efek bakterisid (Tjay dan Rahardja, 2007). Amoksisillin
merupakan turunan ampisillin yang hanya berbeda pada satu gugus hidroksil
dan memiliki spektrum antibakteri yang sama. Obat ini diabsorpsi lebih baik
bila diberikan per oral dan menghasilkan kadar yang lebih tinggi dalam plasma
dan jaringan (Anonim, 2008).
4. Seftriakson
Seftriakson merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi
ketiga. Berkhasiat bakterisid dalam fase pertumbuhan kuman, berdasarkan
penghambatan sintesa peptidoglikan yang diperlukan kuman untuk
ketangguhan dindingnya (Tjay dan Rahardja, 2007).Seftriakson memiliki
waktu paruh yang lebih panjang dibandingkan sefalosprin yang lain sehingga
cukup diber ikan satu kali sehari. Obat ini iindikasikan untuk infeksi berat
seperti septikemia, pneumonia, dan meningitis (Anonim, 2008).
5. Gentamisin
Gentamisin merupakan aminoglikosida yang paling banyak digunakan.
Spektrum anti bakterinya luas, tetapi tidak efektif tehadap kuman anaerob
(Anonim, 2008).
6. Ampisilin
Ampisilin adalah antiseptik infeksi saluran kemih, otitis media, sinusitis,
bronkitis kronis, salmonelosis invasif da n gonore (Anonim, 2008). Ampisilin
efektif terhadap beberapa mikroba gram -negatif dan tahan asam, sehingga
dapat diberikan per oral (Istiantoro dan Gan, 2005).

2.2 Kateter
2.2.1 Pemasangan Kateter
13

Pemasangan kateter urin merupakan tindakan keperawatan dengan


cara memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra yang
bertujuan membantu memenuhi kebutuhan eliminasi dan sebagai
pengambilan bahan pemeriksaan (Hidayat, 2006). Tindakan pemasangan
kateter urin dilakukan dengan memasukan selang plastik atau karet melalui
uretra ke dalam kandung kemih. Kateter memungkinkan mengalirnya urin
yang berkelanjutan pada klien yang tidak mampu mengontrol perkemihan
atau klien yang mengalami obstruksi. Kateter juga menjadi alat untuk
mengkaji haluaran urin per jam pada klien yang status hemodinamiknya
tidak stabil (Potter dan Perry, 2002 ).
Kateterisasi urin membantu pasien dalam proses eliminasinya.
Pemasangan kateter menggantikan kebiasaan normal dari pasien untuk
berkemih. Penggunaan kateter intermiten dalam waktu yang lama dapat
menyebabkan pasien mengalami ketergantungan dalam berkemih (Craven
dan Zweig, 2000).

2.2.2 Tipe Kateterisasi


Menurut Hidayat pemasangan kateter dengan dapat bersifat
sementara atau menetap. Pemasangan kateter sementara atau intermiten
catheter (straight kateter) dilakukan jika pengosongan kandung kemih
dilakukan secara rutin sesuai dengan jadwal, sedangkan pemasangan
kateter menetap atau indwelling catheter (folley kateter) dilakukan apabila
pengosongan kateter dilakukan secara terus menerus (Hidayat, 2006).
a. Kateter sementara (straight kateter)
Pemasangan kateter sementara dilakukan dengan cara kateter lurus
yang sekali pakai dimasukkan sampai mencapai kandung kemih yang
bertujuan untuk mengeluarkan urin. Tindakan ini dapat dilakukan selama
5 sampai 10 menit. Pada saat kandung kemih kosong maka kateter
kemudian ditarik keluar, pemasangan kateter intermitten dapat dilakukan
berulang jika tindakan ini diperlukan, tetapi penggunaan yang berulang
meningkatkan resiko infeksi (Potter dan Perry, 2002 ).

Pemasangan kateter sementara dilakukan jika tindakan untuk


mengeluarkan urin dari kandung kemih pasien dibutuhkan. Efek
samping dari penggunaan kateter ini berupa pembengkakan pada
14

uretra, yang terjadi saat memasukkan kateter dan dapat menimbulkan


infeksi (Thomas, 2007).

Beberapa keuntungan penggunaan kateterisasi sementara yang


dikemukakan oleh Japardi (2000) antara lain:
1) Mencegah terjadinya tekanan intravesikal yang tinggi/overdistensi
yang mengakibatkan aliran darah ke mukosa kandung kencing
dipertahankan seoptimal mungkin
2) Kandung kencing dapat terisi dan dikosongkan secara berkala
seakan-akan berfungsi normal.
3) Bila dilakukan secara dini pada penderita cedera medula spinalis,
maka penderita dapat melewati masa syok spinal secara fisiologis
sehingga fedback ke medula spinalis tetap terpelihara
4) Teknik yang mudah dan klien tidak terganggu kegiatan sehari
harinya

Kerugian kateterisasi sementara ini adalah adanya bahaya distensi


kandung kemih, resiko trauma uretra akibat kateter yang keluar masuk
secara berulang, resiko infeksi akibat masuknya kuman-kuman dari luar
atau dari ujung distal uretra (flora normal) (Japardi, 2000).

b. Keteter menetap (foley kateter)


Kateter menetap digunakan untuk periode waktu yang lebih lama. Kateter
menetap ditempatkan dalam kandung kemih untuk beberapa minggu
pemakaian sebelum dilakukan pergantian kateter. Pemasangan kateter ini
dilakukan sampai klien mampu berkemih dengan tuntas dan spontan atau
selama pengukuran urin akurat dibutuhkan (Potter dan Perry, 2005).

Pemasangan kateter menetap dilakukan dengan sistem kontinu ataupun


penutupan berkala (clamping). Pemakaian kateter menetap ini banyak
menimbulkan infeksi atau sepsis. Bila menggunakan kateter menetap,
maka yang dipilih adalah penutupan berkala oleh karena kateterisasi
menetap yang kontinu tidak fisiologis dimana kandung kencing yang
selalu kosong akan mengakibatkan kehilangan potensi sensasi miksi
15

serta terjadinya atrofi serta penurunan tonus otot kandung kemih (Japardi,
2000).

Kateter menetap terdiri atas foley kateter (double lumen) dimana satu
lumen berfungsi untuk mengalirkan urin dan lumen yang lain berfungsi
untuk mengisi balon dari luar kandung kemih. Tipe triple lumen terdiri dari
tiga lumen yang digunakan untuk mengalirkan urin dari kandung kemih,
satu lumen untuk memasukkan cairan ke dalam balon dan lumen yang
ketiga dipergunakan untuk melakukan irigasi pada kandung kemih
dengan cairan atau pengobatan (Potter dan Perry, 2005).

2.2.3 Indikasi Kateterisasi


Kateterisasi sementara digunakan pada penatalaksanaan jangka
panjang klien yang mengalami cidera medulla spinalis, degenerasi
neuromuscular, atau kandung kemih yang tidak kompeten,
pengambilan spesimen urin steril, pengkajian residu urin setelah
pengosongan kandung kemih dan meredakan rasa tidak nyaman
akibat distensi kandung kemih (Perry dan Potter, 2005). Menurut
Hidayat (2006) kateterisasi sementara diindikasikan pada klien yang
tidak mampu berkemih 8-12 jam setelah operasi, retensi akut setelah
trauma uretra, tidak mampu berkemih akibat obat sedative atau
analgesic, cidera pada tulang belakang, degerasi neuromuscular
secara progresif dan pengeluaran urin residual.

Kateterisasi menetap (foley kateter) digunakan pada klien


paskaoperasi uretra dan struktur di sekitarnya (TUR-P), obstruksi
aliaran urin, obstruksi uretra, pada pasien inkontinensia dan
disorientasi berat (Hidayat, 2006).

2.3 Kejadian ISK di Rumah Sakit


16

Sebanyak 15-25% pasien dilakukan pemasangan kateter uretra selama


pasien dirawat di rumah sakit. Pemasangan keteter dilakukan selama 2-4 hari
atau lebih tergantung dari tujuan pemasangannya (Hotoon et al, 2010). Tindakan
kateterisasi ini dapat dilakukan untuk tujuan diagnostik seperti pada pasien ISK
untuk mengambil sampel urin ataupun sebagai terapi bagi pasien yang
mangalami obstruksi saluran kemih seperti pada pasien Benign Prostat
Hiperpalsia. Penggunaan alat kesehatan seperti kateter dapat meningkatkan
risiko terjadinya ISK karena menjadi jalan masuk dan tempat persembunyian
bagi bakteri yang sulit untuk di bersihkan oleh aliran urin normal (Purnomo,
2012). Infeksi nosokomial yang sering ditemukan pada pasien yang dirawat di
rumah sakit antara lain infeksi saluran kemih, infeksi luka operasi dan infeksi
saluran nafas (Spirita, 2006).

BAB 3
17

METODE

1. Judul : Intensive care unit-acquired urinary tract infections in


patients admitted with sepsis: etiology, risk factors, and patterns of
antimicrobial resistance
Strategi penelusuran yang digunakan untuk mencari jurnal tersebut
adalah dengan melakukan pencarian melalui website resmi elsevier
http://inti/elsevierhealth.com/journals/ijid dengan tahun terbit jurnal adalah
tahun 2007, diunduh pada tanggal 25 September 2016, pukul 09.00 WIB

2. Judul : Indwelling urinary catheter management and catheter-


associated urinary tract infection prevention practices in Nurses
Improving Care for Healthsystem Elders hospitals
Strategi penelusuran yang digunakan dalam mencari jurnal ini adalah
mengunduh jurnal melalui jurnal homepage: ajicjurnal.org dengan tahun
terbit jurnal adalah tahun 2012, diunduh pada tanggal 25 September
2016, pukul 09.30 WIB

3. Judul: Implementing an evidence-based practice protocol for


prevention of catheterized associated urinary tract infections in a
progressive care unit
Strategi penelusuran yang digunakan dalam mencari jurnal ini adalah
mengunduh jurnal melalui googlescholar kemudian melalui website resmi
www.sciedu.ca/jnep dengan tahun terbit adalah tahun 2013, diunduh
pada tanggal 23 September 2016, pukul 21.00 WIB

4. Judul : Comparison of Catheter-associated Urinary Tract Infection


Rates by Perineal Care Agents in Intensive Care Units
Strategi penelusuran yang digunakan dalam mencari jurnal ini adalah
mengunduh jurnal melalui googlescholar tetapi jurnal tersebut dikeluarkan
oleh elsevier diterbitkan pada tahun 2010, di unduh pada tanggal 25
September 2016, pukul 20.00 WIB

5. Judul : Hubungan Pemasangan Kateter dengan Kejadian Infeksi Saluran


Kemih pada Pasien Dengan Ruang Rawat Inap Penyakit dalam RSUDZA
Banda Aceh tahun 2012
18

Pencarian jurnal ini dilakukan melalui google scholar dengan mencari


tema yang berhubungan dengan penyakit infeksi saluran kemih,
diterbitkan pada tahun 2012, diunduh pada tanggal 24 September 2016,
pukul 21.00 WIB.

BAB 4
HASIL
19

Jenis Jenis Jumlah popula P S C Negara Perlakuan Hasil Kesimpulan


jurnal riset sampel si val D I
(penga ue
rang)
Marlina, Correlati 35 35 0,0 Indonesia - Peneliti - Pemasa Terdapat
et all on study 19 mengobservasi ngan hubungan
(2012) tindakan kateter antara
kateterisasi yang baik dan pemasangan
dilakukan oleh tidak kateter
responden. infeksi = dengan
- Setelah lima hari 27 kejadian ISK
akan dilakukan - Pemasa pada pasien
urinalisa ngan di ruang
- Pengumpulan kateter rawat inap
data dilakukan kurang penyakit
dengan mengisi baik dan dalam
27 item tidak RSUDZA
kuesioner infeksi = Banda Aceh.
mengenai 4
prosedur - Pemasa
kateterisasi dan ngan
2 pertanyaan kateter
untuk observasi baik dan
hasil lab ada
mengenai infeksi =
adanya 1
bakteriuria dan - Pemasa
piuria. ngan
kateter
kurang
baik dan
ada
infeksi =
3
Ihnsook Experim 97 120 Korea - Peneliti Insiden Jenis
, et all ental menggunakan kumulatif perawatan
(2010) study protocol dan CAUTI per perineum
ceklist 100 hari tidak
pemasangan penggunaan mempengar
kateter dan kateter uhi kejadian
pengaplikasian adalah : CAUTI.
perawatan 1 minggu =
perineal sesuai 3,18
standart UTI. 2 minggu =
20

- Perineal care 3,31


dilakukan 4 minggu =
dengan 3,04
menggunakan Tidak ada
sabun dan air perbedaan
(n=22), sabun yang
pembersih signifikan
(n=24), povidone tentang
iodine 10% perawatan
(n=28), NS perineum
(n=23). pada pasien
- Peneliti juga yang
mengontrol menggunaka
penggunaan n kateter
antibiotik, tingkat dengan
kesadaran, pecal menggunaka
incontinence n sabun dan
demam dan air, sabun
diabetes. pembersih,
povidone
iodine 10%,
dan NS.
Regina, Descript 233 233 Amerika - Peneliti - Pencega NICHE
et all ive menggunakan han hospital
(2012) design 25 item CAUTI sudah
pertanyaan mencaku melakukan
dengan 3 p sarung pemasangan
komponen : tangan kateter
a. Alat 97%, sesuai
pemasanga mencuci standart
n kateter, tangan namun
teknik 89%, masih perlu
pemasanga steril sedikit
n, teknik 81%, peningkatan.
perawatan teknik no-
b. Personil, touch
pendidikan insertion
dan 73% dan
pelatihan, silver-
catheter coated
policy catheter
c. Dokumenta- 59%.
si,pengawas - Pelatihan
21

an dan teknik
pelepasan. aseptik
dan
pencega
han
CAUTI
saat INH
sudah
diberikan
oleh 64%
rumah
sakit.

Mojtaba Observa 100 100 0,1 Iran - Data demografi, - ISK Tingkat
, et all tional 64 klinis dan hasil terjadi multidrug-
(2007) study dan data diperoleh pada 28 resistent UTI
0,5 melalui review pasien sangat tinggi
7 grafik. - 27 di ICU pada
- Resisten pasien pasien
terhadap resisten sepsis.
antibiotik terhadap Harus ada
ditentukan ciprofloxa protocol
dengan cin khusus
menggunakan - 23 dalam
MIC (minimal pasien pengobatan
inhibitory resisten pasien
consentration). terhadap terhadap
Amikacin resisteni
- 28 antimikroba.
pasien
resisten
terhadap
Cefepime
- 26
pasien
resisten
terhadap
Ceftazidi
me
- 27
pasien
resisten
terhadap
22

Ceftriaxo
ne

Ana, et Pre post 279 279 Amerika -Peneliti - Tingkat Protocol


all experim mengimplement infeksi CAUTI
(2012) ental asikan protokol menurun berhasil
study baru sesuai dari 1,8 diterapkan
evidence-based menjadi dengan baik.
untuk 0,7/100 Ditunjukkan
mengetahui hari dengan
penurunan - Penggun penurunan
insiden CAUTI. aan tingkat
kateter CAUTI.
dari 0,5
menjadi
0,3

BAB 5
PEMBAHASAN
23

Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang terjadi di sepanjang saluran


kemih, termasuk ginjal itu sendiri, akibat proliferasi suatu mikroorganisme.
Sebagian besar infeksi saluran kemih disebabkan oleh bakteri, tetapi virus dan
jamur juga dapat menjadi penyebabnya. Infeksi bakteri tersering disebabkan oleh
Escherichia coli. Salah satu penyebab ISK adalah pemasangan kateter.
Kateterisasi merupakan tindakan memasukkan selang plastic atau karet
melalui uretra ke dalam kandung kemih (Potter & Perry, 2005). Pemasangan
kateter semakin lama akan menurunkan sebagian besar daya tahan alami pada
traktus urinarius inferior dengan menyumbat duktus periuretralis, mengiritasi
mukosa kandung kemih dan menimbulkan jalur artifisial untuk masuknya kuman
(mikroba patogen) ke dalam kandung kemih (Smeltzer & Bare, 2005). Kemudian
mikroba patogen tersebut akan berkembang biak maka akan mengakibatkan
kerusakan serta gangguan fungsi organ semakin luas yang akhirnya
memunculkan manifestasi klinis yang signifikan untuk diagnosis infeksi saluran
kemih (Darmadi, 2008).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Marlina dan Roni (2012),
didapatkan bahwa ISK (Infeksi saluran kemih) diakibatkan oleh pemasangan
kateter yang kurang tepat. Menurut hasil penelitian didapatkan bahwa 27 pasien
(77,1%) yang dilakukan pemasangan kateter dengan baik oleh responden tidak
mengalami infeksi saluran kemih dan hanya 1 pasien (2,9%) yang mengalami
infeksi saluran kemih. Selain itu terdapat 3 pasien (8,6%) yang dilakukan
pemasangan kateter kurang baik oleh responden mengalami infeksi saluran
kemih dan 4 pasien (11,5%) tidak mengalami infeksi saluran kemih.
Infeksi saluran kemih disebabkan oleh adanya mikro organisme
patogenik dalam traktus urinarius, dengan atau tanpa disertai gejala. Faktor risiko
yang umum mencakup ketidakmampuan atau kegagalan kandung kemih untuk
mengosongkan isinya secara lengkap, penurunan mekanisme pertahanan
alamiah dari pejamu, peralatan yang dipasang pada traktus urinarius, seperti
kateter dan prosedur sistoskopi. Pasien diabetes sangat berisiko karena
peningkatan kadar glukosa dalam urin menyebabkan suatu infeksi-akibat
lingkungan pada traktus urinarius. Kehamilan dan gangguan neurologi juga
meningkatkan risiko karena kondisi ini menyebabkan pengosongan kandung
kemih yang tidak lengkap dan stasis urin (Smeltzer & Bare, 2001).
Tanda-tanda dan gejala yang terjadi pada penyakit saluran kemih, yaitu:
rasa nyeri, perubahan eliminasi urin dan gejala gastrointestinal. Gejala ISK
24

bawah biasanya meliputi disuria, ada dorongan sering berkemih, nokturia, atau
nyeri pada pelvic atau suprapubis. Pasien ISK atas sering menunjukkan gejala
sistemik meliputi, demam, mual dan muntah, sakit kepala, dan lemah sesuai
dengan keluhan spesifik dari nyeri di daerah panggul, punggung bawah, dan
abdomen (Smeltzer & Bare, 2005).
Jika timbul infeksi saluran kemih meskipun sudah dilakukan berbagai
tindakan higiene, maka keluhan atau penyimpangan yang didengar dan terlihat
oleh perawat yaitu, pada wanita sakit yang membandel pada perut bagian
bawah, pada pria sakit disekitar muara uretra, urine yang baru dikeluarkan
berbau menyengat dan keruh, dan ada peningkatan suhu tubuh.
Penelitian yang dilakukan Ihnsook, et all (2010) adalah membandingkan
perawatan perinium pada pasien yang menggunakan kateter. Didapatkan bahwa
tidak ada perbedaan dalam perawatan perinieum menggunakan sabun dan air
dan menggunakan sabun pembersih, povidone iodine 10%, dan NS.
Kathleen dan anna (2012) memberikan cara pencegahan ISK :
1. Kateter antimikroba silver-alloy
Kateter menggunakan berbagai lapisan dan perubahan bahan baku untuk
mencegah infeksi dan menigkatkan kenyamanan. Lapisan terdiri dari
hydrogel, silicon dan perak. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Beattie dan Taylor menunjukkan hal yang positif dalm mengurangi IS dengan
menggunakan Silver – Alloy
2. Insisi yang tidak perlu
Pemasangan kateter berulang kali tanpa order dokter terlebih dahulu. Hal ini
dapat meningkatkan ISK dengan komplikasi : urethritis, hematuria, striktur
uretra, perforasi kandung kemih dan urosepsis.
Penggunaan kateter harus dibatasi untuk pasien pra-operasi untuk pasien
bedah, pemantauan khusus untuk pasien kritis, retensi urin akut dan untuk
membantu dalam penyembuhan ulkus decubitus untuk pasien inkontenesia.
Ketika kateter sudah terpasang, perawat perlu mengajukan pertanyaa
“apakah pasien benar-benar membutuhkan pemasangan kateter”

3. Waktu yang tepat untuk melepas kateter


Durasi kateter merupakan faktor resiko dari perkembangan infeksi. Resiko
bakteriuria meningkat 3 – 10 persen setiap harinya pada pasien yang
dipasang kateter dalam jangka waktu pendek (kurang dari 7 hari). Oleh
25

sebab itu perawat perlu mempertanyakan kateter apakah pasien masih perlu
menggunakan kateter apa tidak.
4. Penggunaan teknik aseptic
Dalam pemasangan kateter menggunakan teknik pemasangan steril untuk
mengurasi resiko infeksi. Kateter dan urobag terlepas jika hanya irigasi
kateter. Pengambilan specimen urin menggunakan jarum steril dan jarum
suntik melalui port yang telah di desinfektan.
5. Perawatan perineal
Pasien yang menggunakan kateter memiliki tingkat infeksi lebih tinggi akibat
dari mikroorganisme yang bermigrasi dari kandung kemih ke bagian luar
kateter. Beberapa sumber mengatakan bahwa tempat penyisispan kateter
dibersihkan dengan sabun dan air setiap hari
6. Kebersihan tangan/cuci tangan
Untuk keselamatan pasien dan perawat, penting dalam mencuci tangan
sebelum tindakan pemasangan kateter.ketika akan mengosongkan urobag
perawat perlu mencuci tangan dan menggunakan sarung tangan. dan setelah
mengososngkan urobag mencuci tangan kembali.

BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
26

1. Hubungan pemasangan kateter dengan kejadian infeksi saluran kemih


yaitu durasi kateter merupakan faktor resiko dari perkembangan infeksi
dengan risiko bakteriuria meningkat 3 – 10 persen setiap harinya pada
pasien yang dipasang kateter dalam jangka waktu pendek (kurang dari 7
hari)
2. Pengaruh intervensi keperawatan terhadap hubungan pemasangan
kateter dengan kejadian infeksi saluran kemih yaitu tidak ada perbedaan
dalam perawatan perinieum menggunakan sabun dan air dan
menggunakan sabun pembersih, povidone iodine 10%, dan NS.

6.2 Saran
1. Penggunaan kateter harus dibatasi, ketika kateter sudah terpasang,
perawat perlu melakukan pengkajian mengenai kebutuhan pemasangan
kateter serta jangka waktu pemakaiannya, dan melakukan pencegahan
dengan perawatan perineal setiap hari.
2. Perlu adanya peningkatan protocol dalam teknik pemasangan dan
perawatan kateter untuk meminimalkan angka kejadian infeksi saluran
kemih.

DAFTAR PUSTAKA
27

Betz, Cecily Lynn & Linda A. Sowden. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri,
Ed. 5. Alih bahasa Ns. Eny Meiliya, S.Kep. Editor bahasa Indonesia : Egi
Komara Yudha, S.Kp, MM. Jakarta : EGC

Hidayat, A. A. A. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep


dan Proses Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika.

Istiantoro, Yati H dan Gan, Vincent HS. Penisilin, Sefalosporin dan Antibiotik
Betalaktam lainnya. Dalam : Ganiswarna, Sulistia G, editor. Farmakologi
dan Terapi. Edisi 5. Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran,
Universitas Indonesia ; 2007. Hal. 664-93

Suwitra dan Mangatas. 2004. Diagnosis dan Penatalaksanaan Infeksi Saluran


Kemih Terkomplikasi. Dexa Media, No. 4, Vol. 17.

Thomas, E. L. (2007). Male external catheter and internal catheter. Diakses dari
http://www.copyright.com/ccc/do/viewpage?pagecode

Tjay,T.H., Rahardja,K., 2007, Obat-Obat Penting, Edisi kelima, hal 645-655, PT


Elex Media Komputindo, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai