Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korean wave adalah bentuk kebudayaan Korea Selatan yang

dikemas sedemikan rupa, merupakan rancangan pemerintah Korea untuk

memperbaiki citra Korea di mata negara lain, juga membuktikan kuatnya

negara ini dalam menularkan kebudayaan dan seni kepada negara lain

hingga mencapai seluruh bagian di dunia. Merebaknya Korean wave atau

dalam bahasa Korea disebut sebagai hallyu dimulai pada tahun 1997, ketika

drama Korea berjudul What is Love All About disiarkan oleh stasiun televisi

China. Kemudian dalam waktu singkat trend tersebut menyebar hingga

Taiwan, Hongkong, mempengaruhi etnis China di negara lain, hingga Jepang

(Lee, 2011, Korean Culture and Information Center, 2011). Saat ini Indonesia

termasuk negara yang dilanda “demam” Korea, yaitu akibat globalisasi

Korean wave melalui media informasi (Desire, 2012).

Menurut Ravina (2010), Lee (2011), dan Jung (2011) media yang

dapat menjembatani Korean wave antara lain adalah televisi, majalah dan/

koran, radio, juga internet. Program televisi, musik pop, berbagai buku dan

majalah merupakan bentuk media yang memberikan efek besar dalam

regulasi informasi dengan konten internasional, khususnya di Indonesia

(Sen&David, 2000). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jung (2011)

mengenai ras dan etnis pada para penggemar K-pop diketahui bahwa media

sosial (internet) merupakan jenis media informasi yang paling digemari dalam

konsumsi dan distribusi K-pop di seluruh dunia, yaitu mencapai 91%. Hal ini
dikarenakan regulasi informasi melalui internet dinilai lebih cepat

dibandingkan media off-line.

Fenomena Korean wave yang muncul melalui media informasi

diketahui telah mempengaruhi semua kalangan, khususnya remaja (Mariani,

2008, Desire, 2012). Bahkan remaja di Indonesia merupakan 40,55%

pengakses media informasi internet (sosial media) di seluruh dunia (Hui,

2010), sehingga menurut Jung (2011) hal ini merupakan faktor penting

merebaknya Korean wave pada kalangan remaja di Indonesia. Berdasarkan

studi kualitatif yang dilakukan oleh Puspitasari&Hermawan (2013) di distrik

Solo pada siswa SMP, siswa SMA, dan mahasiswa diketahui bahwa

penggemar Korean wave paling banyak adalah siswa SMA (remaja). Menurut

Salim (2010), media massa merupakan bentuk media informasi yang secara

khusus dapat mempengaruhi perubahan yang terjadi pada remaja.

Penerimaan dan preferensi audien terhadap konten dalam media informasi

dapat mempengaruhi dan memberi dampak perubahan dalam kehidupan,

demikian pula yang terjadi pada remaja (Lita&Cho, 2012).

Masa remaja adalah suatu fase perkembangan yang dinamis dalam

kehidupan seorang individu. Masa ini merupakan periode transisi dari masa

anak ke masa dewasa yang ditandai dengan kecepatan pertumbuhan dan

perkembangan fisik, mental, emosional serta sosial, yaitu berawal pada usia

9-10 tahun dan berakhir di usia 18 tahun (Fadlyana, 2004, WHO, 2010,

Arisman, 2004). Nursanti (2013) serta Puspitasari&Hermawan (2013)

menjelaskan bahwa pengaruh besar yang dibawa oleh Korean wave bukan

hanya muncul dari musik Korean Pop (K-Pop) yang sangat dinikmati oleh

pendengarnya, namun hingga dapat menancapkan imajinasi penampilan fisik


bintang Korean wave, yaitu berparas cantik, penampilan enerjik, dan bentuk

fisik yang menarik.

Masalah yang paling sering dialami remaja adalah penampilan fisik.

Adanya pola pikir, terutama pada laki-laki, bahwa wanita adalah objek untuk

dilihat menyebabkan mereka mengukur penampilan fisik sebagai nilai atau

ukuran superioritas dan penerimaan oleh lingkungan sekitar (Latha et. al.,

2006, Franzio&Klaiber, 2007). Karakter yang ditampilkan dalam televisi:

cantik, berpendidikan, memiliki pekerjaan yang mapan, serta kehidupan

sosial yang baik menjadi role model bagi remaja termasuk dalam hal

penampilan fisik (Botta, 2003). Berbagai studi mengenai pengaruh media

selalu megindikasikan kepada hasil penilaian citra tubuh yang negatif

(negative body image), berhubungan dengan gambaran tubuh ideal yang

diberikan oleh media (Birkeland, et. al., 2005, Groesz, et. al., 2002, Becker,

2004). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Field et. al. (2001) diketahui

bahwa gambar wanita yang disuguhkan pada majalah mempengaruhi

persepsi remaja perempuan mengenai bentuk tubuh ideal mencapai 69%,

serta 47% diantaranya dilaporkan dapat membuat remaja sampai melakukan

diet untuk mendapatkan bentuk tubuh ideal tersebut. Harrison&Hefner (2006)

juga menjelaskan bahwa menonton televisi pada remaja perempuan

berhubungan dengan keinginan mereka untuk memiliki tubuh yang kurus saat

dewasa nantinya. Para remaja tidak mendapat pengetahuan yang cukup

mengenai bentuk tubuh ideal, sedangkan informasi yang mereka terima

melalui berbagai macam media informasi menetapkan standar ideal pada

kisaran underweight (Veggi, et. al., 2004).


Persepsi yang salah menimbulkan masalah-masalah baru pada

remaja yang merugikan, yaitu terbentuknya body image yang tidak sesuai

(Brieske&Lazers, 2004).Menurut Latha et. al. (2005), persepsi mengenai

body image yang salah akan menimbulkan ketidakpuasan terhadap

penampilan fisik, sehingga remaja cenderung akan melakukan berbagai

usaha untuk mengontrol berat dan bentuk tubuhnya. Remaja biasanya akan

melakukan diet sehingga dapat memenuhi ekspektasi akan body image ideal

menurutnya. Diet yang dilakukan pun biasanya tidak benar sehingga dapat

menjadi awal berkembangnya eating disorders. Hal ini sesuai dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Polivy&Herman (2002).

Ketidakpuasan terhadap penampilan fisik merupakan prekursor

penting terhadap kejadian eating disorders. Bentuk eating disorders yang

populer pada remaja adalah anoreksia nervosa dan bulimia (Khomsan,

2003). Menurut Ata et. al. (2007) perempuan memiliki resiko lebih tinggi

dibandingkan laki-laki untuk mengalami gangguan perilaku makan, yang

berhubungan dengan faktor resiko psikososial. American Psychological

Association (2008) menjelaskan bahwa perilaku makan menyimpang (eating

disorders) dapat mengakibatkan gangguan kesehatan, antara lain: anemia,

palpitasi, kehilangan massa tulang dan rambut, kerusakan gigi, esophagitis,

dan gangguan siklus menstruasi sampai berhenti menstruasi. Salah satu

penanganan utama yang diberikan adalah terapi psikologis karena penderita

eating disorders memiliki resiko tinggi mengalami gangguan mental berupa

depresi, kecemasan, hingga kecenderungan untuk bunuh diri atau menyakiti

diri sendiri.
Menurut Salim (2010) serta Widianti&Candra (2012), remaja dengan

status gizi lebih atau obesitas memiliki kecenderungan yang lebih besar

untuk tidak puas terhadap bentuk tubuhnya. Lorasch-Gunderson (2012)

menambahkan selain media informasi, faktor-faktor yang mempengaruhi

munculnya body image sebagai prekursor utama terjadinya eating disoders

adalah dukungan sosial dari keluarga dan teman sebaya. Bagi remaja yang

telah tinggal terpisah dengan orang tuanya atau menghabiskan banyak waktu

dengan temannya, media informasi dan pengaruh teman sebaya merupakan

faktor yang dominan mempengaruhi perkembangan penyimpangan perilaku

makan. Dengan demikian diperlukan pengontrolan faktor status gizi,

dukungan sosial dari teman sebaya sebagai faktor yang mempengaruhi body

image untuk menurunkan bias dalam penelitian.

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat disimpulkan bahwa

Korean wave dalam bentuk musik, drama, film, maupun produk hiburan

lainnya tersebar melalui media berupa televisi, radio, majalah, serta internet.

Karakteristik hallyu stars (selebriti Korea) yang identik dengan tubuh

langsing, tinggi, dan menarik dapat menimbulkan persepsi body image yang

negatif pada remaja. Body image yang negatif pada remaja putri dapat

menimbulkan gangguan perilaku makan yang disebut eating disorders. Hasil

penelitian Wijayanti (2012) menunjukkan bahwa Yogyakarta sebagai kota

pelajar menyimpan potensi para remaja yang berperilaku fanatik terhadap

kebudayaan Korea, ditunjukkan dengan terbentuknya komunitas penggemar

Korean wave. Dengan demikian peneliti tertarik untuk meneliti “Hubungan

Paparan Korean wave melalui Media Informasi dengan Body image dan
Risiko Eating disorders Pada Remaja Putri Sekolah Menengah Atas Negeri di

Kota Yogakarta”.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini secara umum adalah: Apakah

ada hubungan antara paparan Korean wave melalui media informasi dengan

body image dan risiko eating disorders pada remaja putri Sekolah Menengah

Atas Negeri di Kota Yogyakarta?

Rumusan masalahnya secara khusus adalah:

1. Apakah ada hubungan antara paparan Korean wave melalui media

informasi dengan body image?

2. Apakah ada hubungan antara status gizi dengan dengan body image?

3. Apakah ada hubungan antara dukungan sosial teman sebaya dengan

body image?

4. Apakah ada hubungan antara paparan Korean wave melalui media

informasi dengan risiko eating disorders?

5. Apakah ada hubungan antara body image dengan risiko eating

disorders?

C. Tujuan Penelitian

1. Umum

Menganalisis hubungan paparan Korean wave melalui media informasi

dengan body image dan risiko eating disorders pada remaja putri Sekolah

Menengah Atas Negeri di Kota Yogyakarta.

2. Khusus
a. Menganalisis hubungan paparan Korean wave melalui media

informasi dengan body image.

b. Menganalisis hubungan antara status gizi dengan dengan body

image.

c. Menganalisis hubungan antara dukungan sosial dari teman sebaya

dengan dengan body image.

d. Menganalisis hubungan paparan Korean wave melalui media

informasi dengan risiko eating disorders.

e. Menganalisis hubungan body image dengan risiko eating disorders.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang hubungan

media informasi, khususnya paparan Korean wave dengan body image

dan munculnya risiko eating disorders pada remaja putri di Sekolah

Menengah Atas. Selain itu, diharapkan penelitian ini dapat menjadi dasar

untuk mengembangkan penelitian sejenis yang berkaitan dengan media

informasi dan hubungannya dengan body image serta risiko eating

disorders, khususnya pada remaja putri.

2. Manfaat praktis

Diharapkan dapat menambah informasi dan masukan dalam

perencanaan program gizi dan edukasi, khususnya yang berkaitan

dengan masalah gizi remaja. Serta dapat menambah informasi mengenai

pengaruh media informasi yang diakses oleh siswa terhadap persepi

tubuhnya dan risiko terjadinya penyimpangan perilaku makan. Informasi


ini dapat diberikan dalam kurikulum dan disampaikan dalam kegiatan

belajar mengajar, maupun kegiatan khusus siswa putri di sekolah.

Khususnya untuk industri hiburan dan media informasi,

diharapkan hasil dari penelitian ini dapat menambah informasi mengenai

pengaruh tayangan atau informasi yang diberikan melalui media informasi

terhadap body image dan risiko eating disorders pada remaja putri di

Sekolah Menengah Atas sehingga tayangan atau informasi yang

diberikan melalui pertimbangan yang bijaksana.

E. Keaslian Penelitian

1. Salim, Luluk B (2010) dengan judul Hubungan Persepsi Tubuh,

Perilaku Makan dan Status Gizi Siswi SMP Negeri 8 Yogyakarta.

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan

cross-sectional, dilakukan pada siswa kelas 1 sampai kelas 3 SMP

Negeri 8 Yogyakarta. Hasilnya tidak terdapat hubungan antara persepsi

tubuh dengan perilaku makan, maupun antara perilaku makan dengan

status gizi. Namun terdapat hubungan yang bermakna antara persepsi

tubuh dengan status gizi pada siswi SMP N 8 Yogyakarta.

Persamaan dengan penelitian ini adalah penggunaan instumen

pengukuran perilaku makan, subjek penelitian merupakan remaja putri,

serta rancangan penelitian.

Perbedaannya, penelitian ini tidak menggunakan varibel paparan media

terutama Korean wave (Hallyu) pada siswa putri. Selain itu, instrumen

yang digunakan untuk mengukur body image, dan subjek penelitian

adalah siswa SMA di Kota Yogyakarta.


2. Becker, Anne (2004) dengan judul Television, Disordered Eating, and

Young Women in Fiji: Negotiating Body image and Identity During

Rapid Social Change. Penelitian ini merupakan hasil investigasi dari

dampak pengenalan televisi pada komunitas yang berada di daerah

pedesaan Fiji Barat. Merupakan penelitian kohort kualitatif dengan semi

structural, open-ended interview yang dilaksanakan selama 3 tahun pada

30 subjek. Dari penelitian ini diketahui bahwa penggambaran dalam

tayangan televisi berhubungan erat dengan imaginasi remaja masyarakat

Fiji, yaitu skenario yang ditayangkan termasuk bentuk tubuh. Karakter

dalam televisi menjadi role model termasuk dalam aspek penampilan.

Persamaan dengan penelitian ini adalah variabel paparan media dan

body image, serta subjek penelitian berjenis kelamin perempuan.

Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada paparan media, yaitu fokus

pada Korean wave (Hallyu) tidak hanya melalui televisi saja, variabel

risiko eating disorders, desain penelitian, serta lokasi penelitian.

3. Botta, Renee (2003) dengan judul For Your Health? The Relationship

Between Magazine Reading and Adolescents’ Body image and

Eating Disturbance. Subjek penelitian ini sebanyak 196 remaja laki-laki

dan 201 remaja perempuan rata-rata berusia 18,9 tahun di Amerika.

Penelitian cross-sectional ini mengetahui hubungan intensitas membaca

majalah dengan variasi tipe majalah dengan body image and eating

disturbance/BIED (persepsi tubuh dan gangguan makan) pada remaja.

Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa majalah olahraga lebih kecil

perannya dalam mempengaruhi perilaku obsesif dalam body image dan

perilaku makan baik pada remaja laki-laki maupun perempuan. Tipe


majalah kesehatan yang beredar paling mempengaruhi timbulnya efek

negatif. Pada remaja perempuan, membaca majalah kesehatan

berhubungan dengan peningkatan risiko bulimia dan anoreksia.

Persamaan penelitian ini adalah variabel pengaruh paparan media,

variabel body image dan eating disorders, serta desain penelitian.

Perbedaan dengan penelitian ini adalah jenis media sumber paparan,

tidak melibatkan responden laki-laki, metode assessmen dan analisisnya,

serta lokasi penelitian.

4. Widianti, Nur & Candra, Aryu (2012) dengan judul Hubungan antara

Body image dan Perilaku Makan dengan Status Gizi Remaja Putri di

SMA Theresiana Semarang. Penelitian ini menggunakan desain cross-

sectional dengan jumlah subjek 72 siswi. Sebanyak 40,3% siswi SMA

Theresiana Semarang merasa tidak puas dengan bentuk tubuhnya. Dari

penelitian yang dilakukan diketahui bahwa ada hubungan antara body

image dan perilaku makan dengan status gizi remaja putri.

Persamaan dengan penelitian ini adalah subjek, variabel yang diukur,

serta desain penelitian.

Sedangkan perbedaannya adalah lokasi penelitian, variabel paparan

Korean wave melalui media informasi, serta instrumen pengukuran

perilaku makan.

5. Lorasch-Gunderson, Debra (2012) dengan judul Relative Influence of

Family, Peers, and Media on the Development of Eating disorders in

Adolescent. Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa berusia 18-21

tahun di Universitas St. Thomas, Minnesota. Dari penelitian ini ditemukan

bahwa pengaruh keluarga, teman sebaya, serta media pada munculnya


gejala penyimpangan perilaku makan berbeda-beda untuk setiap

respondennya. Tekanan dari keluarga adalah faktor penting pada

perkembangan eating disorders berdasarkan hasil penelitian ini. Namun

untuk subjek yang telah tinggal terpisah dengan keluarganya, teman

sebaya dan media merupakan faktor yang mempengaruhi munculnya

gejala eating disorders.

Persamaan dengan penelitian ini adalah desain penelitian cross

sectional, serta variabel media.

Perbedaan dengan penelitian antara lain: lokasi penelitian, variabel

paparan Korean wave melalui media informasi, serta instrumen

penelitian.

6. Wijayanti, Ardiani (2012) dengan judul Hallyu: Youngsters’

Fanaticism of Korean Pop Culture (Study of Hallyu Fans in

Yogyakarta City). Studi kualitatif ini dilakukan pada remaja yang terpapar

produk budaya popular Korea Selatan dan memiliki tingkat antusiasme

serta fanatisme yang cukup tinggi, antara lain anggota komunitas hallyu

di Kota Yogyakarta Jjang Kewer Parodi (JKP) dan Aikei. Hasil penelitian

ini menunjukkan perilaku fanatik remaja timbul akibat adanya proses

interaksi dengan budaya Korea Selatan sehingga merujuk pada

komunikasi budaya. Komunikasi budaya antar penggemar hallyu

menjadikan para remaja tersebut menggembangkan pola perilaku

tertentu sebagai wujud kecintaan mereka terhadap hallyu.

Persamaan dengan penelitian ini adalah variabel paparan hallyu atau

kebudayaan Korean Selatan serta subjek penelitian remaja di Kota

Yogyakarta.
Perbedaan dengan penelitian ini adalah desain penelitian, variabel body

image dan risiko eating disorders, serta instrumen penelitian.

Secara umum, penelitian mengenai hubungan paparan Korean wave

(hallyu) melalui media informasi dengan body image dan risiko eating

disorders berbeda dengan penelitian sebelumnya dalam hal variabel, subjek,

dan lokasi penelitian.

Anda mungkin juga menyukai