Pengertian Manajemen Rumah Sakit
Pengertian Manajemen Rumah Sakit
Rumah sakit sebagai salah satu subsistem pelayanan kesehatan menyelenggarakan dua
jenis pelayanan untuk masyarakat yaitu pelayanan kesahatan dan pelayanan administrasi.
Pelayanan kesehatan mencakup pelayanan medik, pelayanan penunjang medik,
rehabilitasi medik dan pelayanan perawatan. Pelayanan tersebut dilaksanakan melalui
unit gawat darurat, unit rawat jalan, dan unit rawat inap. Dalam perkembangannya
pelayanan rumah sakit tidak terlepas dari pembangunan ekonomi masyarakat.
Perkembangan ini tercermin pada perubahan fungsi klasik RS yang pada awalnya hanya
memberikan pelayanan yang bersifat penyembuhan (kuratif) terhadap pasien melalui
rawat inap. Pelayangan RS kemudian bergeser karena kemajuan ilmu pengetahuan
khususnya ilmu kedokteran, peningkatan pendapatan dan pendidikan masyarakat.
Pelayanan kesehatan di RS saat ini tidak saja bersifat kuratif (penyembuhan), tetapi juga
bersifat pemulihan (rehabilitatif). Keduanya dilaksanakan secara terpadu melalui upaya
promosi kesehatan (promotif) dan pencegahan (preventif). Dengan demikian, sasaran
pelayanan kesehatan RS bukan hanya untuk individu pasien, tetapi juga berkembang
untuk keluarga pasien dan masyarakat umum. Fokus perhatiannya memang pasien yang
datang atau yang dirawat sebagai individu dan bagian dari keluarga. Atas dasar sikap
seperti itu pelayanan kesehatan di RS merupakan pelayanan kesehatan yang paripurna
(komperhensif dan holistik).
Pelayanan RS di Indonesia saat ini sudah bersifat padat modal, padat karya, dan padat
teknologi dalam menghadapi persaingan global. Dalam hal rujukan medik, RS juga
diandalkan untuk memberikan pengayoman medik (pusat rujukan) untuk pusat-pusat
pelayanan yang ada di wilayah kerjanya. Sifat pengayoman sangat erat kaitannya dengan
klasifikasi Rumah Sakit. Ada empat jenis RS berdasarkan klasifikasi perumahsakitan di
Indonesia yaitu kelas A, B, C, dan D. Kelas RS yang lebih tinggi (A) mengayomi kelas
Rumah Sakit yang lebih rendah dan mempunyai pengayoman wilayah yang lebih luas.
Pengayoman dilaksanakan melalui dua sistem rujukan yaitu sistem rujukan kesehatan
(berkaitan dengan upaya promotif dan preventif seperti bantuan teknologi, bantuan sarana
dan operasionalnya) dan rujukan medik (berkaitan dengan pelayanan yang bersifat kuratif
dan rehabilitatif)
Dan berubahnya RS kelas A dan B menjadi RS seadanya, bahkan ada yang menjadi
Perusahaan Jawatan (Perjan), menejemen klasik RS di Indonesia sudah pasti mengalami
perubahan. Perubahan dalam hal peningkatan profesionalisme staf, tersedianya peralatan
yang lebih canggih, dan lebih sempurnanya sistem administrasi RS yang akan bermanfaat
untuk peningkatan mutu pelayanan kesehatan RS
Di Indonesia dikenal tiga jenis RS sesuai dengan kepemilikan, jenis pelayanan dan
kelasnya. Berdasarkan kepemilikannya, dibedakan tiga macam RS yaitu RS Pemerintah
(RS Pusat, RS Propinsi, RS Kabupaten), RS BUMN/ABRI, dan RS Swasta yang
menggunakan dana investasi dari sumbar dalam negeri (PMDN) dan sumber luar negeri
(PMA). Jenis RS yang kedua adalah RS Umum, RS Jiwa, RS Khusus (mata, paru, kusta,
rehabilitasi, jantung, kanker, dsb). Jenis RS yang ketiga adalah RS kelas A, kelas B
(pendidikan dan non-pendidikan), RS kelas C dan RS kelas D (Kepmenkes No.51
Menkes/SK/II/1979). Pemerintah sudah meningkatkan status semua RS Kabupaten
menjadi kelas C.
Kelas RS juga dibedakan berdasarkan jenis pelayanan yang tersedia. Pada RS kelas A
tersedia pelayanan spesialistik yang luas termasuk spesialistik. RS kelas B mempunyai
pelayanan minimal sebelas spesialistik dan subspesialistik terdaftar. RS kelas C
mempunyai minimal empat spesialistik dasar (bedah, penyakit dalam, kebidanan, dan
anak). Di RS kelas D hanya terdapat pelayanan medis dasar.
Pasal 4 :
1. RS Umum yang dimaksud dalam keputusan ini adalah RS kelas A, kelas B, kelas C.
2. RS Umum kelas A adalah RSU yang melaksanakan pelayanan kesehatan yang
spesialistik dan subspesialistik yang luas
3. RS Umum kelas B adalah RSU yang melaksanakan pelayanan kesehatan spesialistik
yang luas.
4. RS Umum kelas C adalah RSU yang melaksanakan pelayanan kesehatan spesialistik
paling sedikit empat spesialis dasar yaitu: Penyakit Dalam, Penyakit Bedah, Penyakit
Kebidanan/Kandungan, dan Kesehatan Anak.
1. Direktur
2. Wakil Direktur yang terdiri dari:
Komite Medik (KM) juga diberikan jabatan nonstruktural yang fungsinya menghimpun
anggota yang terdiri dari para kepala Staf Medik Fungsional (SMF). KM diberikan dua
tugas utama yaitu menyusun standar pelayanan mediks dan memberikan pertimbangan
kepada direktur dalam hal:
1. Pembinaan, pengawasan dan penelitian mutu palayanan medis, hak-hak klinis khusus
lepada SMF, program pelayanan medis, pendidikan dan pelatihan (diklat), serta
penelitian dan pengembangan (litbang).
2. Pembinaan tenaga medis dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan etika profesi.
Semua kepala SMF diangkat oleh Dirjen Yan. Medik Depkes RI berdasarkan usulan dari
Direktur RS. Dengan mengkaji struktur organisasi dan tugas-tugas pokok RS, dapat
dibayangkan bahwa manajemen sebuah RS hampir mirip dengan manajemen hotel. Yang
berbeda, tujuan mereka yang berkunjung dan jenis pelayanannya. Masyarakat yang
berkunjung ke RS bertujuan untuk memperoleh pelayanan medis karena kejadian sakit
yang dideritanya, sedangkan mereka yang berkunjung ke hotel adalah untuk bersenag-
senang.
SMF yang menggantikan UPF ( Unit Pelaksanaan Fungsional) terdiri dari dokter umum,
dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter subspesialis. Mereka mempunyai tugas pokok
menegakkan diagnosis, memberikan pengobatan, pencegahan penyakit, peningkatan dan
pemulihan kesehatan, penyuluhan, pelatihan dan penelitian pengembangan pelayanan
medis. Untuk RS kelas A jumlah SMF yang dimiliki minimal 15 buah yakni(1) Bedah (2)
Kesehatan Anak (3) Kebidanan dan Penyakit Kandungan (4) Penyakit Dalam (5)
Penyakit Saraf (6) Penyakit Kulit dan Kelamin (7) THT (8) Gigi dan Mulut (9) Mata (10)
Radiologi (11) Patologi Klinik (12) Patologi Anatomi (13) Kedokteran Kehakiman (14)
Rehabilitasi Medik (15) Anestesi.
Masing-masing Wadir juga dilengkapi sekretariat khusus dan bidang-bidang yang dibagi
lagi menjadi subbagian dan seksi ( sesuai dengan SK Menkes No. 134). Susunan RSU
kelas B hampir sama dengan kelas A. Bedanya hanya terletak pada jumlah dan jenis-jenis
masing-masing SMF. Untuk RSU kelasB tidak ada subspesialisasinya.
Susunan organisasi RS kelas C dan D lebih sederhana jika dibandingkan dengan kelas A
dab B. Di sini tidak ada wakil direktur, tetapi dilengkapi dengan staf khusus yang
mengurus administrasi. Kondisi ini berpengaruh pada jenis pelayanan medis dan jumlah
staf profesional (medis dan paramedis) yang dipekerjakan pada tiap-tiap RS ini. Secara
umum, jenis kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan juga akan ikut menentukan
peningkatan kelas sebuah RS di suatu wilayah, terutama yang berlokasi di ibu kota
provinsi.
Rumah sakit perlu menerapkan sistem manajemen yang berorientasi pada kepuasan
pelanggan. Untuk itu rumah sakit di Indonesia harus menciptakan kinerja yang unggul.
Kinerja yang unggul atau Performance Excellence merupakan salah satu faktor utama
yang harus diupayakan oleh setiap organisasi untuk memenangkan persaingan global,
begitu juga oleh perusahaan penyedia jasa pelayanan kesehatan.
Banyak cara yang dapat dilakukan oleh para pengelola rumah sakit untuk menciptakan
kinerja yang unggul diantaranya melalui pemberian pelayanan yang bagus serta tindakan
medis yang akurat dan mekanisme pengelolaan mutu tentunya.
Salah satu strategi yang dilakukan oleh pengelola rumah sakit swasta dalam
mempertahankan atau meningkatkan jumlah konsumen adalah pelayanan. Tuntutan untuk
mendapatkan pelayanan yang berkualitas dan nyaman semakin meningkat, sesuai dengan
meningkatnya kesadaran arti hidup sehat. Keadaan ini dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan, sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat yang perlu mendapat perhatian
dari pengelola rumah sakit.
Untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut, di setiap kota besar seperti Jakarta
banyak sekali usaha rumah sakit dengan kualitas pelayanan dan peralatan medis yang
prima dapat kita temukan di setiap sudut kota, sehingga masyarakat konsumen yang
tadinya harus ke luar negeri demi servis dan kualitas dokter yang prima, sekarang tidak
perlu lagi ke luar negeri.
Dalam usaha peningkatan kualitas pelayanan terhadap konsumen, rumah sakit berusaha
untuk mempunyai tenaga dokter ahli yang tetap, sekaligus memperkerjakan dokter waktu
dan dokter kontrak. Bahkan di beberapa rumah sakit di kota besar seperti Jakarta dapat
kita jumpai pelayanan Unit Gawat Darurat (UGD) yang ditangani oleh dokter tetap
maupun dokter kontrak.
Bahkan ada rumah sakit yang menyediakan tempat dan sarana lengkap seperti
laboratorium dengan tenaga analis, radiologi dan tempat perawatan yang serba lengkap.
Sedangkan untuk tenaga dokternya mereka mengambil dokter-dokter spesialis yang
terkenal dan pengelola rumah sakit menganggap dokter spesialis dan pasiennya sebagai
“customer” mereka
Untuk menjaga agar dokter spesialis ternama tersebut tetap menjadi customer mereka,
maka pihak rumah sakit melakukan strategi sedemikian rupa. Diantaranya dengan
menyediakan peralatan medis yang dikehendaki oleh para dokter tersebut
Kriteria penilaian/pengukuran kinerja yang dimiliki oleh MBNQA juga dapat digunakan
oleh industri jasa pelayanan kesehatan, yang disebut dengan Performance Excellence for
Health Care based on MBNQA. Kriteria dari Performance Excellence for Health Care
based on MBNQA terdiri dari 7 kategori, yaitu: Health Care Results, Patient -and Other
Customer- Focused Results, Financial and Market Results, Staff and Work System
Results, Organizational Effectiveness Results, Governance and Social Responsibility
Results.
Dengan penerapan sistem manajemen mutu secara menyeluruh dan model pengukuran
tepat maka perusahaan akan menjadi perusahaan kelas dunia yang siap memenangkan
persaingan.
Dalam penerapannya, manajemen di rumah sakit dapat dilihat dari fungsi perencanaan
rumah sakit dan fungsi pergerakan dan pelaksanaan rumah sakit.
1. Keterbatasan dalam ketepatan informasi dan fakta-fakta tentang masa yang akan
datang.
2. Memerlukan biaya yang cukup besar.
3. Hambatan psikologis.
4. Menghambat timbulnya inisiatif.
5. Terhambatnya tindakan yang perlu diambil.
Langkah-langkah Perencanaan Rumah Sakit:
1. Analisis situasi
Tujuannya adalah untuk mengumpulkan data atau fakta. Analisis situasi ini melibatkan
beberapa aspek ilmu yaitu:
Pengumpulan data dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung, yaitu:
* Masalah penyakit (medis), intervensi medis yaitu diagnosa penyakit, pengobatan dan
tindak lanjut.
* Masalah kesehatan masyarakat (Public health), surveilen, analisis epidemiologi,
intervensi yaitu promosi kesehatan, perlindungan spesifik atau imunisasi dan deteksi dini.
2. Mengidentifikasi masalah dan prioritasnya
Masalah dapat dibagi dalam tiga kategori yaitu masalah tentang penyakit, masalah
manajemen pelayanan kesehatan (masalah program), dan masalah perilaku, sikap dan
pengetahuan masyarakat. Prioritas masalah secara praktis dapat ditetapkan berdasarkan
pengalaman staf, dana, dan mudah tidaknya maslah dipecahkan. Prioritas masalah
dijadikan dasar untuk menentukan tujuan.
Contoh masalah tentang penyakit antara lain KIA/ KB, tingginya prevalensi anemia pada
remaja putri dan wanita hamil, partus kasep, kematian ibu bersakin, BBLR, kematian
neonatal dan perinatal (misalnya akibat tetanus neonatorum, ISPA, diare), infertility,
mioma, Ca. Cervix, Ca. Mammae serta masalah komplikasi pemakaian IUD.
* Masalah input, jumlah staf kurang, keterampilan dan motivasi kerja rendah, peralatan
kurang memadai, jenis obat yang tersedia tidak sesuai.
* Masalah proses, terkait dengan fungsi manajemen (POAC) yaitu kurang jelas tujuan
program, kurang jelas rumusan masalah program (Planning), pembagian tugas tidak jelas
(Organizing), kepemimpinan kurang (Actuating), pengawasan atau supervisi lemah
(Controlling).
Contoh masalah manajemen pelayanan kesehatan antara lain tingginya jumlah anak yang
menderita diare, air minum yang terkontaminasi air limbah, kebutuhan masyarakat akan
penyuluhan kesehatan, banyaknya tumpukan sampah di sepanjang jalan umum,
pemilikan jamban keluarga yang masih rendah, kurangnya persediaan oralit di Posyandu
dan tervatasnya jumlah staf yang mampu melakukan deteksi dini diare. Yang menjadi
prioritas atau masalah utama adalah tingginya jumlah anak yang menderita diare.
* Hambatan pada sumber daya yaitu meliputi motivasi yang rendah pada staf pelaksana,
partisipasi masyarakat yang rendah, peralatan tidak lengkap, informasi tidak valid, dana
yang kurang dan yang waktu kurang.
* Hambatan pada lingkungan yaitu meliputi geografis (jalan rusak), iklim, tingkat
pendidikan rendah, sikap dan budaya masyarakat (mitos, tabu, salah persepsi) serta
perilaku masyarakat yang kurang partisipatif.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah membuat daftar hambatan dan kendala
program kemudaian mengeliminasi, memodifikasi, serta mengurangi yang tidak bisa
dilakukan dan menyesuaikannya dengan tujuan operasional kegiatan program.
RS adalah sebuah organisasi yang sangat kompleks. Manajemennya hampir sama dengan
manajemen sebuah hotel. Yang membedakan hanya pengunjungnya. Pengunjung RS
adalah orang yang sedang sakit dan keluarganya.Mereka pada umumnya mempunyai
beban sosial-psikologi akibat penyakit yang diderita oleh salah seorang dari anggota
keluarganya.
* Sifat pelayanan kesehatan yang ientasi kepada konsumen penerima jasa pelayanan
(customer service). Hasil perawatan pasien sebagai customer RS ada tiga kemungkinan
yaitu sembug sempurna, cacat (squalae), atau mati. Apapun kemungkinan hasilnya,
kualitas pelayananharus diarahkan untuk kepuasan pasien (customer satisfaction) dan
keluarganya.
* Pelaksanaan fungsi actuating cukup kompleks karena tenaga yang bekerja di RS terdiri
dari berbagai jenis profesi.
Kompleksitas ketenagaan dan jenis profesi yang dimiliki oleh RS, menuntut
dikembangkannya kepemimpinan partisipatif. Model kepemimpinan manajerial seperti
ini akan menjadi salah satu faktor yang ikut menentukan mutu pelayanan RS (quality of
services) karena pelayanan kesehatan di RS hampir semuanya saling terkait satu sama
lain. Atas dasar ini, pelayanan di RS harus mengembangkan sistem jaringan kerja internal
(networking) yang solid dan menunjang satu sama lain.
Semua staf RS harus memahami visi dan misi pengembangan RS serta kebijakan
operasional pimpinan. Untuk menjaga otonomi profesi dari masing-masing SMF, kualitas
pelayanan di RS harus disesuaikan dengan standar profesi yang harus ditetapkan oleh
setiap perkumpulan dokter ahli (ikatan profesi). Stanndar profesi dikenal denga medical
of conduct dan medical ethic juga harus selalu diperhatikan oleh semua staf SMF dalam
rangka menjaga mutu pelayanan RS (quality of care).
Sehubungan dengan kompleksitas sistem ketenagaan dan misi yang harus diemban oleh
RS, penerapan fungsi actuating di RS akan sangat tergantung dari empat faktor. Faktor
pertama adalah kepemimpinan direktur RS; kedua adalah koordinasi yang dikembangkan
oleh masing-masing Wakil Direktur dengan kepala SMF dan kepala instalasinya; ketiga
adalah komitmen dan profesionalisme tenaga medis dan non medis di RS (dokter,
perawat, dan tenagapenunjang lainnya), dan keempat adalah pemahaman pengguna jasa
pelayanan RS (pasien dan keluarganya) akan jenis pelayanan kesehatan yang tersedia di
RS.
Peranan dokter spesialis sangat besar pengaruhnya di dalam penerapan fungsi actuating
ini. Sifat otonomi profesi di tiap-tiap SMF harus diiatur agar tidak menjadi penghambat
penerapan fungsi actuating di RS. Untuk itu, mereka harus memahami benar visi dan misi
RS yang ingin dikembangkan oleh pihak manajemen (direktur) RS. Oleh karena itu,
fungsi RS harus dilihat dalam konteks kesatuan kerja dari sebuah tatanan sistem yang
terpadu.Pelayanan kesehatan dimasing-masing SMF adalah subsistemnya.
Di pihak lain, intensitas dan frekuensi komunikasi abtara pihak pimpinan RS dan semua
staf profesional harus berlangsung dinamis. Kepemimpinan, komunikasi, koordinasi
merupakan faktor penting didalam pengembangan fungsi actuating. Ketiganya akan
memudahkan penjabaran visi dan misi serta strategi pimpinan RS menembangkan mutu
pelayanan kesehatan di masing-masing SMF.Di sisi lain, dibutuhkan juga peningkatan
keterampilan manajerial di pihak pimpinan RS sehingga lebih mampu mengintregasikan
masing-masing tugas SMF ke dalam satu kesatuan gerak (networking) yang harmonis
dan saling menunjang peningkatan mutu pelayanan RS demi kepuasan pelanggannya.
Jika pendekatan ini kurang dipahami oleh pihak manajemen RS dan pimpinan SMF,
budaya kerja yang berorientasi kepada peningkatan mutu pelayanan RS tidak akan
berkembang. Meraka cenderung akan bertindak sendiri, arogansi profesi dan dukungan
sarana dan prasarana (input) pelayanan RS (teknologi dan peralatan kedokteran, logistik,
keuangan, dan sebagainya) kurang mendapat perhatian. Untuk itu pengembangan budaya
kerja staf di SMF harus diarahkan untuk mendukung tercapainya visi dan misi RS.
Meraka harus menyadari akan peranannya sebagai staf RS yang diberikan tugas istimewa
memberikan asuhan pelayanan medik dan kesehatan kepada masyarakat (customer) yang
menggunakan jasa pelayanan RS.
Dalam pelayanan kesehatan dan kedokteran terutama di rumah sakit maupun praktik
pribadi, peranan pencatatan Rekam Medik sangat penting dan sagat melekat pada
pelayanaan. RM adalah orang ketiga dalam pelayanan kesehatan. Catatan demikian akan
berguna untuk merekam dan mengingatkan dokter engan keadaan, hasilpemeriksaan dan
pengobatan yang telah diberikan bila pasien daang kembali untuk berobat ulang setelah
beberapa hari, bulan bahkan tahu.
Untuk mendukung peningkatan mutu dan peranan RM dalam pelayanan kesehatan, IDI
juga menerbitkan Fatwa IDI tentang RM, dalam SK No. 315/PB/A.4/88, yang
menekankan bahwa praktek profesi kedokteran harus meaksanakan RM, tidak saja untuk
dokter yang bekerja di rumah sakit tetapi juga bagi dokter yang praktik pribadi.
Untuk pasien rawat jalan, termasuk pasien gawat darurat RM mempunyai informasi
pasien antara lain:
Untuk pasien rawat inap, sama seperti sebelumnya hanya denagan tambahan:
Untuk di rumah sakit biasanya yang terpenting pelu diperhatikan untuk pasien rawat inap,
yaitupenmbuatan resume akhir. Yang isinya antara lain menjelaskan :
* Anamnesis
* Hasil penting pemeriksaan fisik diagnostik, laboratorium, rongent dan lain – lain.
* Pengobatan dan tindakan operasi yang dilaksnakan.
* Keadaan pasien waktu keluar
* Anjuran pengobatan dan perawatan.
* Untuk menjamin kontinuitas pelayanan medik dengan kualitas yang tinggi serta bahan
yang berguna bagi dikter pad awaktu menerima pasien untuk dirawat kembali.
* Bahan penilai staf medik rumah sakit
* Untuk memenuhi permintaan dari badan – badan resmi tentang perawatan seorang
pasien.
* Sebagai bahan informasi bagi dokter yang bertugas, dokter ang mengirim, dan dokter
konsultan
* Sebagai alat komunikasi antara dokter dan tenga kesehatan lainnya yang ikut andil
dalam pelayanan kesehatan.
* Merupakan dasar untuk perencanaan pengobatan dan perawatan yang harus diberikan
kepada pasien
* Sebagai bukti tertulis segala pelayanan, perkembnagna penyakit dan pengobatan selama
pasien berkunjung atau dirawat di rumah sakit.
* Sebagai dasar analisis, study, evaluasi terhadap mutupelayanan yang di beriakn kepada
pasien
* Melindungi kepentingan hukum bagi pasien, rumah sakit maupun dokter dan tenaga
kesehatan lainnya
* Menyedikan data – data khusus yang sangat berguna untuk penelitian dan pendidikan
* Sebagai dasar di dalam perhitungan biaya pembayaran pelayanan medik pasien
* Menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikan, serta sebagai bahan
pertanggungjawaban dan laporan
Dalam pelaksanaan kegunaan RM di atas maka staf medik dan tenaga kesehatan lainnya
dituntut untuk mengisi RM scara cepat, akurat, dan mudah dibaca. Tanpa adanya
informasi medik yang dicatat dengan baik oleh kalangan medik maupun paramedik, maka
kegunaan seperti yang di kemukakan sebelumnya tidak akan tercapai.
Mutu asuhan kesehatan sebuah RS akan selalu terkait dengan struktur, proses, outcome
sistem pelayanan RS yersebut. Mutu asuhan pelayanan RS juga dapat dikaji dari tingkat
pemanfaatan sarana pelayanan oleh masyarakat, mutu pelayanan dan tingkat efisiensi RS.
Aspek struktur
Struktur adalah semua masukan (input) untuk system pelayanan sebuah RS yang meliputi
tenaga, peralatan, dana dan sebagainya. Ada sebuah asuransi yang mengatakan bahwa
jika struktur sistem RS tertata dengan baik, akan lebih menjamin mutu asuhannya. Baik
tidaknya struktur RS diukur dari tingkat kewajaran, kuantitas, biaya, efisiensi, mutu dari
masing – masing komponen struktur.
Proses
Proses adalah semua kegiatan dokter dan tenaga professional lainnya yang mengadakan
interaksi secara profesional dengan pasiennya. Interaksi ini diukur antara lain dalam
bentuk penilaian tentang pasien, penegakan diagnosa, rencana tindakan pengobatan,
indikasi tindakan, penanganan penyakit, dan prosedur pengobatan.
Dalam hal ini juga dianut asumsi bahwa semakin patuh tenaga profesi menjalankan
”standards of good practice” yang telah diterima dan diakui oleh masing – masing ikatan
profesi, akan semakin tinggi pula mutu asuhan terhadap pasien. Baik tidaknya
pelaksanaan proses pelayanan di RS dapat diukur dari tiga aspek yaitu relevan tidaknya
proses itu bagi pasien, efektivitas prosesnya, dan kualitas interaksi asuhan terhadap
pasien.
Outcome
Outcome adalah hasil akhir kegiatan dokter dan tenaga profesi lainnya di RS terhadap
pasien. Di sini diperlukan pedoman untuk mengukur mutu asuhan pelayanan kesehatan.
Indikator mutu pelayanan medis meliputi :
Indikator mutu yang berkaitan dengan tingkat kepuasan pasien dapat diukur dengan :
Untuk mengukur mutu pelayanan sebuah RS, angka-angka standar tersebut di atas
dibandingkan dengan standar (indikator) nasional. Jika tidak ada angka standar nasional,
penilaian dialkukan dengan menggunakan hasil pencatatan mutu pada tahun sebelumnya
di RS yang sama setelah dikembangkan kesepakatan pihak manajemen / direksi RS yang
bersangkutan dengan masing-masing SMF dan staf lainnya yang terkait.
Mutu pelayanan medis dan kesehatan di RS sangat erat kaitannya dengan manajemen RS
(quality of services) dan keprofesionalan kinerja SMF dan staf lainnya di RS (quality of
care). Keduanya merupakan oucome dari manajemen manjaga mutu di RS (quality
assurance) yang dilaksanakan oleh gugus kendali mutu RS. Dalam hal ini, gugus kendali
mutu dapat ditugaskan kepada komite medik RS karena mereka adalah staf fungsional
(nonstruktural) yang membantu direktur RS dengan melibatkan semua staf SMF RS.
Persentase pemakaian tempat tidur pada satu satuan waktu tertentu. Indikator ini
memberikan gambaran tentang tinggi rendahnya tingkat pemanfaatan tempat tidur RS.
Frekuensi pemakaian tempat tidur dalam satu satuan waktu (biasanya per tahun) tempat
idur RS. Indikator ini akan memberikan gambaran tingkat pemakaian tempat tidur RS.
Rata-rata hari tempat tidur tidak ditempati dari saat ke saat sampai terisi berikutnya.
Indikator ini juga menberikan gambaran tingkat efisiensi penggunaan tempat tidur.
Angka kematian di atas 48 jam setelah dirawat untuk tiap-tiap 100 penderita keluar RS.
Total pasien keluar hidup & mati dalam periode yang sama
Jumlah pasien keluar hidup & mati dalam periode yang sama
Total kematian dalam 10 kali operasi dalam periode waktu tertentu x 100%
Jumlah populasi
Hospitalization Rate
Jumlah populasi
Jumlah populasi
Jumlah populasi
1. BOR : 75-85%
6. GDR : <3%