Anda di halaman 1dari 14

STANDAR 

PROFESI
by budi399 on November 22, 2010

STANDAR PROFESI

1. Pengertian Standar Profesi

Semua profesional dalam melaksanakan pekerjaannya harus sesuai dengan apa yang disebut
standar (ukuran) profesi. Jadi, bukan hanya tenaga kesehatan yang harus bekerja sesuai dengan
standar profesi medik. Pengembangan profesi yang lain pun memiliki standar profesi yang
ditentukan oleh masing-masing Namun pengembangan profesi di luar dokter jarang berhubungan
dengan hilangnya nyawa seseorang atau menyebabkan cacat, sehingga mungkin tidak begitu
dipermasalahkan. Tenaga kesehatan (dokter) dalam melakukan pekerjaannya selalu berhubungan
dengan orang yang sedang menderita sakit. Apapun jenis penyakitnya, tentu mempengaruhi
emosi pasien (Supriadi, 2001: 49). Dengan perkataan lain, tenaga kesehatan selalu berhubungan
dengan orang yang secara psikis dalam keadaan sakit, juga secara emosi membutuhkan perhatian
dan perlakuan ekstra dan seorang dokter.

Dalam lingkungan masyarakat ada beberapa jenis profesi seperti guru, jurnalis, advokat, hakim,
jaksa dan sebagainya Bila dibandingkan dengan profesi lainnya sebagaimana disebutkan
terdahulu, profesi kedokteran mempunyai kekhususan yang membedakannya dengan profesi
lain. khususan profesi kedokeran terletak pada sifat otonom dan ukuran mengenai kemampuan
rata-rata dan dokter sebagai pengemban profesi, ketelitian, ketekunan, kehati-hatian, dan rasa
pengabdian yang tinggi (Nasution 2005: 38).

Walaupun dokter dalam memberikan pelayanan medis mempunyai otonomi profesi, tetapi
kemandirian dokter berdasar otonomi tersebut tetap harus dipagari dengan peraturan yang
berlaku, Salah satu dan peraturan tersebut adalah standar pelayanan medis.

Beberapa pendapat para pakar tentang standar profesi antara lain :

Komalawati memberikan batasan yang dimaksud dengan standar profesi adalah pedoman yang
harus digunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik. Berkenaan dengan
pelayanan medik, pedoman yang digunakan adalah standar pelayanan medik yang terutama
dititik beratkan pad proses tindakan medik (Komalawati, 2002: 177).

Standar profesi dalam bentuk standar pelayanan medik ini juga harus dipakai acuan oleh Rumah
Sakit, karena prosedur tetap di dalam standar profesi dibuat sesuai dengan setiap bidang
spesialisasi, fasilitas dan sumber daya yang tersedia.

Pengertian Standar Profesi Medis menurut Leenen salah seorang pakar Hukum Kesehatan dan
Negeri Belanda yang dikemukakan oleh Koeswadji (1998: 150):

De formulering van de norma voor de medische profesionele standar zou dan kunnen zijn:
zorgvuldigd de medische standar handelen als een gemidelde bekwaam arts van gelijke medische
categorie in gelijke omstandighecjen met middelen die in redelijke verhouding staan tot het
concreet handelingsdoel.

Terjemahan bebasnya adalah:

Norma standar profesi medik dapat diformulasikan sebagai berikut:

a. Terapi (yang berupa tindakan medik tertentu) harus teliti


b. Harus sesuai dengan ukuran medis (kriteria mana ditentukan dalam kasus konkret yang
dilaksanakan berdasarkarn ilmu pengetahuan medik), yang berupa cara tindakan medis tertentu.
Dan tindakan medis yang dilakukan haruslah berdasarkan ilmu pengetahuan medik dan
pengalaman.
c. Sesuai dengan kemampuan rata-rata yang dimiliki oleh seorang dokter dengan kategori
keahlian medis yang sama.
d. Dalam kondisi yang sama
e. Dengan sarana dan upaya yang wajar sesuai dengan tujuan konkrit tindakan medis tertentu
tersebut.
Rumusan Leenen tentang Standar Profesi Kedokteran tersebut lebih dijelaskan secara detail oleh
Hariyani (2005: 63) sebagai berikut:

a. berbuat secara teliti/seksama (zorgvuldig handelen) dikaitkan dengan culpa/ kelalaian. Bila
dokter bertindak tidak teliti, tidak berhati-hati maka ia memenuhi unsur kelalaian, dan bila
tindakannya sangat tidak berhati-hati atau ceroboh maka ia memenuhi “ culpa lata”.
b. Sesuai ukuran ilmu medik (volgens de medische standard).
c. Kemampuan rata-rata (average) dibanding kategori keahlian medik yang sama (gemiddelde
bewaamheid van gelijke medische categorie).
d. Situasi dan kondisi yang sama (gelijke omstandigheden).
e. Sarana upaya (middelen) yang sebanding/ proporsional (= asas proportionalitas) sebagai
terjemahan dari met middelen die in redeljke verhouding staan dengan tujuan konkrit tindakan
perbuatan tersebut (tot het concreet handelingsdoel).

Kelima unsur yang dikemukakan Leenen ini dipakai pedoman oleh para hakim Belanda di dalam
menangani dugaan malpraktik yang diajukan ke pengadilan Belanda sampai saat ini. Demikian
juga yang dilakukan oleh para hakim di Indonesia, bila ada tuntutan malpraktik terhadap seorang
dokter, kelima unsur rumusan Leenen inilah yang dipakai untuk menguji kebenaran tuduhan
tersebut.
Menurut Penjelasan Pasal 53 ayat 2 UU No. 23/1992; Standar Profesi adalah pedoman yang
harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik (Supriadi, 2001:39).
Nasution (2005:42) mengemukakan pendapat Koeswadji (1992: 104) tentang pengertian standar
profesi sebagai berikut:

Standar profesi adalah niat atau iktikad baik dokter yang didasari etika profesinya, bertolak dan
suatu tolak ukur yang disepakati bersama oleh kalangan pendukung profesi. Wewenang untuk
menentukan hal-hal yang dapat dilakukan dan yang tidak dapat dilakukan dalam suatu kegiatan
profesi merupakan tanggung jawab profesi itu sendiri.
Supriadi (2001: 52) mengemukakan pendapat Prof. Mr. W.B. Van der Mijn sebagai berikut:

Dalam melaksanakan profesinya, seorang tenaga kesehatan harus berpegang pada tiga ukuran
umum meliputi:
a. kewenangan;
b. kemampuan rata-rata;
c. ketelitian yang umum.

1.1. Kewenangan

Yang dimaksud dengan kewenangan ialah kewenangan hukum (rechtsbevoegheid) yang


dipunyai oleh seorang tenaga kesehatan untuk melaksanakan pekerjaannya. Atas dasar
kewenangan inilah, seorang tenaga kesehatan berhak melakukan pengobatan sesuai dengan
bidangnya.

Di Indonesia, kewenangan menjalankan profesi tenaga kesehatan pada umumnya diperoleh dan
Departemen Kesehatan. Namun sejak berlakunya UU Praktik Kedokteran pada tanggal 6
Oktober 2005, maka kewenangan dokter untuk menjalankan praktik kedokteran di Indonesia
diperoleh dan Konsil Kedokteran Indonesia (pasal 29 ayat (2) UU Praktik Kedokteran). Dengan
diterbitkannya Surat Tanda Registrasi Dokter oleh Konsil Kedokteran Indonesia, maka dokter
pemilik Surat Tanda Registrasi (STR) tersebut, berhak untuk melakukan praktik kedokteran di
Indonesia, karena telah memenuhi syarat administratif untuk melaksanakan profesinya. Dari
persyaratan administratif yang telah dipenuhi ini, dokter sebagai pengemban profesi telah
memperoleh kewenangan profesional dalam menjalankan pekerjaannya. Menurut Supriadi,
seorang tenaga kesehatan yang melakukan pekerjaan tanpa kewenangan, dapat dianggap
melanggar salah satu standar profesi tenaga kesehatan.

Sebagai ilustrasi tentang kewenangan profesional, dapat kita ambil tindakan pembedahan sebagai
contoh. Tindakan pembedahan yang dilakukan oleh seorang Dokter Spesialis Bedah, tidaklah
dapat digolongkan dalam tindak pidana penganiayaan. Tetapi bila tindakan tersebut dilakukan
oleh seseorang yang tidak mempunyai kewenangan profesioal maka dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana penganiayaan.
1.2. Kemampuan Rata-rata

Dalam menentukan kemampuan rata-rata seorang tenaga kesehatan, banyak faktor yang harus
dipertimbangkan. Selain dan faktor pengalaman tenaga kesehatan yang bersangkutan fasilitas,
sarana prasarana di daerah tempat tenaga kesehatan (dokter) tersebut bekerja juga ikut
mempengaruhi sikap dokter dalam melakukan pekerjaannya. Sehingga sangat sulit untuk.
menentukan standar kemampuan rata-rata ini.

Sebagai contoh misalnya :

a. Kemampuan dokter yang baru menyelesaikan pendidikannya, tentu berbeda dengan dokter
yang sudah mempunyai pengalaman menangani pasien selama 25 (dua puluh lima) tahun.
b. Kemampuan dokter yang bekerja di Irian Jaya dengan fasilitas dan sarana prasarana yang
mungkin sangat sederhana, tentu tidak bisa disamakan dengan dokter yang melaksanakan
pekerjaan profesinya di Jakarta yang semuanya serba modern dan canggih.

Berkaitan dengan kemampuan rata-rata ini, penulis mempunyai pengalaman menarik yang akan
penulis sampaikan agar menambah wawasan bagi para pembaca sekalian.

• Penulis pernah melakukan pembiusan bersama dengan Dokter Ahli Anestesiologi dari
Singapura, di salah satu kota di Jawa Timur, sekitar tahun 1999 dalam rangka kerjasama bakti
sosial untuk menangani kasus pembedahan pada bibir sumbing. Di Singapura, untuk melakukan
pembiusan selalu menggunakan peralatan canggih untuk memantau keadaan pasien selama
pembiusan dan operasi berjalan sampai pasien sadar kembali. Ventilator (alat untuk pernafasan
buatan), pulse oxymeter (alat untuk memantau kadar oksigen dalam darah), capnograph (alat
untuk memantau kadar C02 dalam darah) dan alat-alat lain yang di rumah sakit tempat penulis
bekerja tidak tersedia, semuanya mereka bawa dari Singapura. Selain itu, Dokter Ahli
Anestesiologi telah menjalani subspesialisasi lagi menjadi Ahli Anestesiologi Anak, Ahli
Anestesiologi Kebidanan, Neuro-Surgery Anesthesiologist dan sebagainya. Sedangkan di
Indonesia, jumlah Dokter Ahli Anestesiologi sangat minim, bahkan beberapa kota di Jawa saja
masih belum bisa dilayani oleh Dokter Ahli Anestesiologi, sehingga kadang-kadang masih
terjadi pendelegasian wewenang kepada perawat mahir anesthesi.
Dalam pelayanan anesthesi sehari-hari, penulis dituntut oleh keadaan untuk bisa melakukan
pembiusan pada semua kasus dan semua Umur berbeda dengan pembiusan yang dilakukan oleh
sejawat dari Singapura tersebut. Dokter dari Singapura tersebut, adalah Dokter Ahli
Anesthesiologi Anak (Pediatric Anesthesiologist) yang hanya berkompeten untuk melakukan
pembiusan pada anak-anak saja. Pada saat itu, penulis sedang mempersiapkan pembiusan untuk
operasi tonsilectomi (pengambilan amandel) pada pasien dewasa. Karena perawatan yang minim,
alat pantau yang ada pada penulis berasal dan anugerah allah SWT yaitu panca indera dan
“feeling” sebagaimana semboyan yang telah diajarkan oleh para guru penulis “Waspada Dasa
Netra”. Pada saat sejawat dari Singapura melihat bagaimana penulis melakukan. pembiusan, dia
terheran-heran dan menganggap hal tersebut sebagai hal yang luar biasa yang tidak mungkin bisa
dilakukan olehnya. Dalam hal demikian, tentunya kemampuan sejawat dari Singapura dan
kemampuan penulis sulit diperbandingkan.

Peralatan canggih semacam yang dibawa oleh tim Singapura ini sebenarnya sudah ada di
beberapa kota besar di Indonesia, antara lain di Bandung, Jakarta, Surabaya dan di kota-kota lain
sebagai pusat pendidikan dokter maupun rumah sakit rujukan (top referral hospital), termasuk di
rumah sakit pendidikan yang ada di kota tempat penulis bekerja, Namun di tempat penulis
bekerja sebagai abdi negara, alat-alat canggih tersebut belum bisa disediakan karena sangat
mahal.

Dan uraian di atas, dapat dibayangkan betapa sulitnya menilai kemampuan rata-rata dan seorang
dokter. Dokter yang terbiasa memantau keadaan pasien durante anestesi dengan pulse oxymetri
akan merasa kurang aman bila harus bekerja di rumah sakit tanpa tersedianya fasilitas tersebut.
Jika kemudian terjadi kematian, dan dokter dituntut sebagai pelaku malpraktik, apakah dokter
yang bersedia melakukan pembiusan tanpa pulse oxymetri dapat dikatakan “bekerja substandar”
atau rumah sakit yang tidak bisa menyediakan peralatan tersebut harus ditutup karena
fasilitasnya yang substandar? Padahal belum tentu kematian pasien sebagai akibat kekurangan
oksigen, karena banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan anestesi
sebagaimana pernah penulis kemukakan di dalam buku lain dengan judul “Malpraktik & Risiko
Medik dalam Kajian Hukum Pidana”.

1.3. Ketelitian yang Umum

Untuk menentukan ketelitian umum, harus berdasarkan ketelitian yang dilakukan oleh dokter
dalam melaksanakan pekerjaan dan situasi yang sama. Tolak ukur untuk menentukan ketelitian
mi sangat sulit, karena setiap bidang keahlian mempunyai aturan main sendiri-sendiri yang
seharusnya bisa dituangkan di dalam “Standar Umum”. Sebagai contoh misalnya, standar untuk
pelayanan anestesiologi dapat berpedoman kepada Keputusan Direktorat Jenderal pelayanan
Medik Depkes RI Nomor HK. 00.06.3.3.320 tentang “Standar Umum Pelayanan Anestesiologi
dan Reanimasi di Rum Sakit”. Standar mi hanya berlaku untuk pelayanan anestesiologi dan
reanimasi, sedangkan untuk pelayanan di luar anestesiologi tentunya tidak dapat mengacu
kepada peraturan tersebut.
Dalam Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, pengertian standar
profesi disebutkan di dalam penjelasan pasal 50 sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan standar profesi adalah batasan kemampuan (knowledge, skill and
professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan
kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi.

Penjelasan pasal 50 ini, merupakan penjelasan dan pasal 50 sub a yang menyebutkan bahwa
dokter yang melaksanakan praktik kedokteran sesuai dengan standar profesi dan standar
operasional prosedur, berhak memperoleh perlindungan hukum. Kemudian di dalam pasal 50 sub
b disebutkan lebih Lanjut bahwa memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan
standar prosedur operasional juga merupakan hak dokter.

Dan bunyi pasal 50 sub a dan b dan penjelasannya tersebut, dapat diketahui bahwa undang-
undang menghendaki di dalam pelaksanaan praktik kedokteran, dokter berhak untuk
melaksanakan praktik sesuai dengan standar profesi, dan bila telah melaksanakan pratik sesuai
standar profesi yang berlaku, maka ia berhak mendapat perlindungan hukum.
Dan standar profesi yang dijelaskan di dalam penjelasan pasal 50, maka dapat diuraikan unsur-
unsur dan standar profesi sebagai berikut:

1. Standar profesi merupakan batasan kemampuan minimal bagi dokter.


2. Kemampuan tersebut meliputi:
a. knowledge (pengetahuan);
b. skill (keterampilan); dan
c. profesional attitude (prilaku yang profesional).
3. Kemampuan yang terdiri dan 3 (tiga) unsur tersebut, harus dikuasai oleh seorang individu
(dokter yang melakukan praktik kedokteran).
4. Kemampuan tersebut juga merupakan syarat untuk diizinkannva seorang dokter melakukan
kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri.
5. Yang berhak membuat standar profesi menurut undang-undang Praktik Kedokteran adalah
organisasi profesi. Organisasi profesi dari dokter yang berlaku saat ini adalah Ikatan Dokter
Indonesia (IDI), yang dalam hal standar profesi dan masing-masing bidang spesialisasi, dapat
diserahkan kepada masing-masing ikatan profesi di dalam bidang spesialisasi tersebut.
Sebagai contoh misalnya standar profesi tentang pembedahan, diserahkan kepada Ikatan Ahli
Bedah Indonesia (IKABI) untuk membuatnya, sedangkan standar profesi untuk penyakit anak
diserahkan kepada Ikatan Dokter Anak Indonesia (1DM) dan sebagainya.

Selain standar profesi, undang-undang juga menyebutkan adanya standar prosedur operasional
yang diartikan di dalam penjelasan pasal 50 UU Praktik Kedokteran sebagai berikut:

Standar prosedur operasional adalah suatu perangkat instruksi/ langkah-langkah yang dibakukan
untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu.

Tujuan dibuatnya standar prosedur operasional ini adalah untuk memberikan langkah yang benar
dan terbaik berdasar konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi
pelayanan. Sedangkan yang berhak membuat standar prosedur pelayanan adalah sarana
pelayanan kesehatan, dan perbuatanya tetap mengacu atau berpedoman kepada standar profesi,
atau dengan perkataan lain standar prosedur operasional tidak boleh menyimpangi dan standar
profesi yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi.
Komalawati (2002: 178) menyebut standar prosedur operasional sebagai prosedur yang diuraikan
oleh pemberi pelayanan kesehatan dan setiap spesialisasi, yang dalam aplikasinya disesuaikan
dengan fasilitas dan sumber daya Yang ada. Standar proses ini merupakan acuan atau pelengkap
bagi Rumah Sakit karena dapat mengikuti kondisi rumah sakit di mana prosedur tersebut
ditetapkan.

2. Ruang Lingkup Standar Profesi

Pekerjaan profesi yang dilakukan oleh seorang dokter hendaknya dilandasi oleh dua prinsip
perilaku yang mendasar, yaitu kesungguhan untuk berbuat demi kebaikan pasien, dan sedapat
mungkin tidak menyakiti, mencederai maupun merugikan pasiennya. Dalam mengemban
profesinya inilah dokter harus selalu berpedoman kepada Standar Profesi yang berlaku berupa
standar pelayanan medis (Nasution 2005: 42).

Pendapat Nasution tersebut juga dikemukakan oleh Komalawati (2002: 177) dengan versi yang
hampir sama, yaitu standar profesi yang berkaitan dengan pelayanan medik yang lebih dititik
beratkan kepada tindakan medik, yang dapat digunakan sebagai pedoman adalah stadar
pelayanan medik yang telah disusun oleh IDI pada tahun 1993.

Standar pelayanan medis sangat diperlukan, karena dalam kenyataan praktik sehari-hari sering
dijumpai adanya
perbedaan penanganan dan pemeriksaan pasien, maupun perbedaan sarana atau peralatan yang
digunakan. Tanpa adanya standar pelayanan medis, maka penyimpangan yang terjadi akan sulit
untuk diketahui.
Tolak ukur dan perilaku yang memenuhi standar pelayanan medik dan seorang dokter saat ini
hanya bisa dinilai dan kesungguhan upaya pengobatan yang dilakukannya dengan segenap
kemampuan, pengalaman dan keahlian yang dimilikinya setelah memeriksa dan menilai keadaan
pasiennya. Dengan perkataan lain, bila dokter tidak memeriksa, tidak menilai dan tidak berbuat
sebagaimana yang di perbuat oleh sesama dokter terhadap pasien, maka dokter tersebut telah
dapat dikategorikan sebagai melakukan tindakan yang melanggar standar pelayanan medis yang
berlaku (Nasution 2005: 42).
Komalawati (2002: 178) juga mengemukakan bahwa standar pelayanan medis mencakup standar
pelayanan penyakit dan standar pelayanan penunjang. Keduanya ini akan selalu berkembang
seiring dengan perkembangan teknologi. Oleh karena itu, agar standar profesi ini selalu
mengikuti perkembangan teknologi di bidang kedokteran, maka perlu dilakukan evaluasi secara
berkala untuk kemudian diubah sesuai dengan perkembangan situasi kondisi setempat
berdasarkan evaluasi tersebut.

3. Tujuan Ditetapkannya Standar Profesi

Komalawati (2002: 177) menyebutkan beberapa tujuan ditetapkannya standar pelayanan medis
atau standar profesi medis, antara lain adalah:
1. Untuk melindungi masyarakat (pasien) dan praktek yang tidak sesuai dengan standar profesi
medis.
2. Untuk melindungi profesi dan tuntutan masvarakat yang tidak wajar.
3. Sebagai pedoman dalam pengawasan, pembinaan dan peningkatan mutu pelayanan
kedokteran.
4. Sebagai pedoman untuk menjalankan pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien.

4. Landasan Pola Pikir Pelaksanaan Standar Profesi Medis

Wiradharma (1996:80) menyebutkan beberapa landasan pola pikir dalam pelaksanaan Standar
Profesi Medis sebagai berikut:
1. Adanya indikasi medis atau petunjuk menurut ilmu kedokteran, ke arah tujuan pengobatan
atau perawatan yang konkrit, artinya upaya yang dilakukan harus profesional dengan hasil yang
ingin dicapai.
2. Dilakukan sesuai dengan standar medis menurut ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran
sat ini.
3. Tindakan tersebut harus dilakukan secara teliti dan hati-hati, tanpa kelalaian, yang tolak
ukurnya adalah dengan membandingkan apa yang dilakukan oleh dokter tersebut dengan dokter
lain dan bidang keahlian yang sama yang kemampuannya rata-rata bila berhadapan dengan kasus
seperti itu dengan situasi kondisi yang sama.

Contoh kasus:

Bila ada seorang pasien yang mengeluh sakit panas 5 (lima) hari terus menerus. Setiap dokter
tentu akan melakukan diagnosa banding beberapa kemungkinan penyakit dan pasien tersebut,
baik dan yang ringan sampai yang berat.
untuk menegakkan diagnosa tersebut, dokter akan melakukan pemeriksaan laboratorium. Dokter
yang melakukan pemeriksaan semacam ini yang tidak berbeda dengan teman sejawat lainnya,
dapat dikatakan telah melakukan tindakan medis sesuai standar profesi medis (Isfandyarie, 2005:
27).

5. Pengaturan Tentang Standar Profesi Medis di Indonesia


Sebenarnya di Indonesia belum ada pengaturan standar profesi medis yang umum dan mendasar
seperti yang dianut di Belanda. Pengaturan yang ada berupa standar pelayanan medis yang diatur
dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 595/Menkes/SK/VII/1993 tentang Standar
Pelayanan Kesehatan di setiap sarana pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan medis
sesuai dengan kebutuhan dan standar pelayanan yang berlaku, sebagai tindak lanjut dalam
rangka mengantisipasi Pasal 32 ayat (), Undang—Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan yang mengatur tentang pelaksanaan pengobatan dan perawatan. (Koeswadji, 1998:
151).
Pengaturan tentang standar profesi yang ada masih terbatas pada bidang spesialisasi tertentu,
sebagai contoh misalnya: Standar Profesi di bidang keahlian Anestesiologi yang disusun oleh
Sub Direktorat Penunjang Medik, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik bersama dengan Ikatan
Profesi (Ikatan Dokter Ahli Anestesiologi yang disingkat dengan sebutan IDSAI).

Standar Profesi yang berjudul “Standar Umum Pelayanan Anestesiologi dan Reanimasi di
Rumah Sakit” tersebut telah ditetapkan sebagai Keputusan Direktorat Jenderal Pelayanan Medik
Depkes RI dengan Nomor HK. 00.06.3.3.320. yang berlaku sejak tangga 5 April 1999. Di dalam
Keputusan tersebut disebutkan bahwa Standar Pelayanan Anestesiologi dan Reanirnsi ini harus
dipakai sebagai pedoman pelaksanaan pelayanan Anestesiologi dan Reanimasi di Rumah Sakit
seluruh Indonesia.

Standar yang harus dijadikan pedoman oleh Dokter Ahli Aiesesiologi dalam melakukan
profesinya ini, juga berlaku bagi perawat maupun dokter yang membantu pelaksanaan pelayanan
dibidang anestesiologi dan reanimasi di rumah sakit. Selain itu, pihak Rumah Sakit pun juga
diwajibkan untuk memenuhi fasilitas-fasilitas yang ditetapkan oleh Keputusan Dirjen Yanmed
Depkes RI tersebut.

Setiap pelayanan di bidang anestesiologi dan reanimasi harus mengacu kepada Keputusan
Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Depkes RI tersebut. Bila terjadi cacat atau kematian pasien
selama prosedur anestesia berlangsung, Dokter Ahli anestesiologi (DSAn) yang bersangkutan
dapat dikatakan melakukan malpraktik kalau dalam melakukan prosedur anestesi tidak sesuai
dengan Standar Umum tersebut.

Namun apabila DSAn sudah berbuat sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, dengan
dukungan fasilitas dan perlengkapan dan Rumah Sakit yang juga sesuai dengan Standar tersebut,
maka bila terjadi cacat atau kematian dan pasien selama prosedur anestesia, maka DSAn yang
bersangkutan tidak dapat dikatakan telah melakukan malpraktik.

Berdasarkan pendapat Komalawati sebagaimana telah diuraikan di atas, standar profesi dalam
pelayanan medik juga dapat berpedoman pada standar pelayanan medik yang dapat dianggap
sebagai standar proses yang disusun oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada tahun 1993, maka
standar pelayanan medik yang dibuat oleh IDI tersebut dapat digunakan sebagai pedoman secara
nasional.

Seiring dengan perkembangan zaman, maka standar tersebut telah mengalami beberapa kali
perubahan. Standar pelayanan medik volume pertama memang diterbitkan tahun 1993
sebagaimana disebutkan oleh Kornalawati (2002:177). Tetapi pada tahun 1997 telah di revisi
dengan edisi kedua, kemudian revisi ketiga juga dilakukan pada tahun 1998 dengan penambahan
volume sampai dengan volume ketiga. Edisi ketiga inilah yang berlaku sampai saat mi, yang
dicetak kedua pada tahun 2002.

Standar pelayanan medik yang telah di perbaharui secara berkala oleh PB IDI (Pengurus Besar
IDI) dengan penerbitan terakhir pada tahun 2002 tersebut antara lain memuat pernyataan
Merdias Almatsier, dalam Sambutan Ketua Umum PB IDI sebagai pembukaan buku Standar
Pelayanan Medis tersebut sebagai berikut:
Standar profesi merupakan pedoman yang harus dilkuti oeh setiap tenaga profesinya. Standar
pelayanan medis merupakan salah satu standar profesi kedokteran yang merupakan pedoman
bagi setiap dokter di Indonesia dalam melaksanakan asuhan medis. Pelayanan kedokteran
dinyatakan bermutu bilamana sesuai dengan standar pelayanan medik ini.

Dari pernyataan Ketua PB IDI tersebut, sesuai dengan penjelasan pasal 50UU Praktik
Kedokteran yang menyebutkan bahwa yang berhak membuat standar profesi adalah IDI sebagai
organisasi profesi, maka dapat diartikan bahwa standar pelayanan medik yang dibuat oleh IDI
dengan penerbitan terbaru tahun 2002 ini merupakan hukum positif yang berlaku bagi setiap
anggota DI.
Dengan perkataan lain. setiap dokter yang melakukan praktik kedokteran berhak mendapat
perlindungan hukum bila melaksanakan tugas sesuai dengan standar pelayanan medik ini.
Namun bila yang dilakukan dokter dalam praktik kedokteran menyimpangi dan Standar
Pelayanan Medik yang diterbitkan oleh PB IDI ini, maka dokter tersebut dapat dianggap
melakukan praktik yang tidak sesuai standar profesi atau dapat juga dikatakan sebagai
malpraktik.
Oleh karena itu, agar dokter lebih memahami tentang Standar Pelayanan Medik ini, penulis akan
menguraikan lebih lanjut apakah memang standar pelayanan medik ini bisa dan dapat dianggap
sebagai hukum positif yang berlaku bagi praktik kedokteran sebagaimana yang dikehendaki
undang-undang.
Dari buku Standar Pelayanan Medik (SPM) yang disusun oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan
diterbitkan oleh Yayasan Penerbit IDI (YP IDI) 2002, penulis mencermati hal-hal berikut:
Pendahuluan Standar Pelayanan Medik — beberapa materi yang dapat dipakai sebagai acuan
penggunaan Standar Pelayanan Medik, antara lain:

a. Landasan praktik kedokteran harus berpedoman pada 2 (dua) pokok perilaku, yaitu:
• Kesungguhan untuk berbuat demi kebaikan pasien (doing good).
• Tidak ada niat untuk menyakiti, menciderai dan merugikan pasien (primum non nocere).
Dokter harus menghargai hak pasien untuk dirawat/diobati/ditangani oleh dokter dengan
profesional dan bertanggung jawab secara klinis dan etis.
Wewenang untuk menentukan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam suatu
kegiatan profesi adalah menjadi tanggung jawab profesi.
b. Dalam rangka peningkatan dan pengawasan mutu pengamalan profesi, perlu ditetapkan
Standar Pelayanan Medik yang mencakup: Standar ketenagaan, Standar prosedur, Standar
sarana, Standar hasil yang diharapkan.
c. Maksud penyusunan Standar Pelayanan Medik adalah dapat digunakan sebagai pedoman
secara nasional.
d. Tujuan dan fungsi Standar Pelayanan Medik yaitu:
• Melindungi masyarakat dan praktik-praktik yang tidak sesuai dengan standar profesional.
• Melindungi profesi dan tuntutan masyarakat yang tidak wajar.
• Sebagai pedoman dalam pengawasan praktik dokter dan pembinaan serta peningkatan mutu
pelayanan kedokteran.
• Sebagai pedoman untuk menjalankan pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien.

e. Batasan dan standar adalah sebagai suatu pedoman yang dijalankan untuk meningkatkan mutu
menjadi makin efektif dan efisien. Diterbitkannya Standar Pelayanan Medik mi mungkin saja
dapat menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan bagi dokter, namun karena pentingnya
fungsi Standar Pelayanan Medik sebagaimana disebutkan di atas, maka tim penyusun IDI
memberikan beberapa ketentuan khusus sebagai berikut:
• Standar Pelayanan Medik dianggap sebagai prosedur yang seyogyanya diikuti, dan tidak untuk
digunakan, terhadap kepentingan hukum. Karena prosedur ini lebih merupakan keinginan
pelayanan kesehatan dan setiap spesialisasi dan sumber daya manusia nya
• Standar Pelayanan Medik merupakan prosedur untuk kasus yang akan ditangani oleh spesialis
Yang bersangkutan, tetapi bagi daerah yang belum memiliki dokter ahli, tidak menutup
kemungkinan dapat dilakukan oleh dokter umum.
• Standar ini merupakan acuan dan pelengkap untuk rumah sakit, sehingga dapat mengikuti
kondisi dan situasi dan rumah sakit yang bersangkutan.
• Secara berkala standar ini perlu dievaluasi dan disesuaikan dengan perkembangan teknologi
kedokteran.
f. Cakupan dan Standar Pelayanan Medik tersusun menjadi 2 (dua) bagian yaitu:
• Standar Pelayanan Medik yang terdiri dari 17 bidang spesialisasi, dan
• Standar Pelayanan Penunjang yang terdiri dan 3 (tiga) bidang spesialisasi.
Berdasarkan uraian dan Pendahuluan Standar Pe1ayanan Medik tersebut, PB IDI nampaknya
telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membuat Standar Pelayanan Medik yang sesuai
dengan beberapa pendapat pakar tentang standar profesi sebagai mana telah disebutkan
terdahulu. Namun, di sisi lain masih terlihat adanya kontroversi dan ambivalensi dalam
penggunaan buku yang diterbitkannya ini.

Dalam tujuan atau fungsi Standar Pelayanan Medik, PB IDI mengharapkan Standar Pelayanan
Medik ini dapat gunakan sebagai perlindungan terhadap masyarakat dari praktik-praktik yang
tidak sesuai dengan standar profesi. Hal ini berarti bahwa agar masyarakat bisa terlindungi dari
praktik yang tidak sesuai dengan standar profesi tersebut, maka praktik kedokteran harus
berpedoman kepada Standar Pelayanan Medik ini tentunya. Demikian juga sebaliknya, dokter
yang telah melaksanakan praktik kedokteran sesuai dengan Standar pelayanan Medik yang
ditetapkan oleh IDI ini harus bisa dilindungi dari tuntutan yang tidak wajar dari masyarakat
penerima jasa pelayanan medis tersebut.

Dengan diterbitkannya buku ini, semestinya fungsi kontrol terhadap praktik kedokteran dan
sekaligus perlindungan hukum terhadap dokter bisa terlaksana. Namun nampaknya IDI juga
khawatir terhadap kemungkinan timbulnya dampak yang kurang menguntungkan bagi dokter,
seandainya Standar Pelayanan Medik ini dipakai acuan dalam menentukan layak tidaknya
seorang dokter dalam melaksanakan pelayanan mediknya. Kekhawatiran ini dikarenakan Standar
Pelayanan Medik ini masih dibuat berdasarkan keinginan pelayanan kesehatan dan SDM tiap
bidang spesialisasi saja, belum dikaji secara hukum agar setiap kalimat yang tertuang di dalam
Standar Pelayanan Medik ini cukup bermakna dan tidak malah membahayakan profesi dokter.
Karena bila Standar Pelayanan Medik ini benar-benar dijadikan acuan, maka ketidak sesuaian
hasil yang dicapai oleh dokter dalam melakukan pengobatan terhadap pasien dengan Standar
yang tertuang di dalam buku ini, akan mengakibatkan dokter mengalami tuntutan Malpraktik
dengan dasar melakukan praktik kedokteran substandar.

Oleh karena itu, di dalam kalimat berikut yang memuat tentang batasan, IDI menambahkan
klausula “Standar ini bukan untuk digunakan di bidang lain khususnya untuk kepentingan
hukum”. Dengan pernyataan ini, berarti Standar Pelayanan Medik juga tidak dapat berfungsi
sebagaimana 4 (empat) fungsi atau tujun yang tercantum di atas.

Menurut hemat penulis, buku ini sudah cukup bagus sebagai pedoman yang bisa dipakai
dikalangan intern anggota IDI, dengan masih diperlukan adanya penyempurnaan di beberapa bab
yang menyangkut bidang-bidang spesialisasi tertentu. Untuk kepentingan hukum, memang
sebaiknya buku ini tidak dijadikan pedoman, karena kalau kriteria Standar yang dipakai penuntut
umum atau penggugat berdasar buku ini, akan banyak sekali dokter yang akan mengalami tuntut
malpraktik atau dianggap melaksankan praktik kedokteran substandar.

Untuk lebih jelasnya, penulis akan mengungkapkan beberapa kasus yang dimuat dalam buku ini.
Mudah-mudahan uraian penulis ini akan bisa membantu penyempurnaan buku ini untuk dapat
digunakan sesuai fungsi dan tujuan pembuatan Standar Pelayanan Medik. Tentunya untuk
tercapainya hal tersebut partisipasi organisasi profesi dan masing-masing bidang spesialisasi
akan sangat menentukan berhasilnya tujuan dibuatnya Standar ini.

5.1. Beberapa Contoh Klausula dalam Standar Pelayanan Medis yang Dapat Merugikan Dokter.
Kasus Bedah (Bab I)

Luaran Obstruksi Usus sembuh, dengan lama perawatan 7-10 hari. Bila ternyata dalam waktu 10
hari pasien tidak sembuh, DSB bisa dituntut oleh pasien atau keluarganya karena pengobatan
yang dilakukannya tidak sesuai dengan standar. Apalagi kalau sampai pasien tersebut meninggal
dunia, sang dokter riskan untuk terkena pasal 359 KUHP.

Padahal berdasarkan pengalaman penulis, bila seorang pasien mengalami dugaan Obstruksi
Usus, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan dokter:
1. Menyingkirkan Diagnosa banding terhadap adanya paralisis usus (Standar Pelayanan Medik,
2002: 3).
2. Menentukan kemungkinan penyebab obstruksinya. Bila penyebab meragukan, kadang-kadang
diperlukan observasi pasien 2-3 han sebelum operasi (laparatomi eksplorasi) diputuskan. Kalau
penyebabnya kemungkinan scibala (faeces yang keras) karena pasien sering mengalami obstipasi
(kesulitan dalam buang air besar), apakah tepat bila dilakukan laparctomi ? Hal semacam ini
pernah beberapa kali penulis jumpai dalam praktik.
3. Pemeriksaan laboratorium baik darah maupun foto abdomen 3 posisi, kadang-kadang tidak
menunjukkan gambaran yang jelas.
4. Perbaikan keadaan umum pasien, mungkin telah mengalami gagal ginjal, sepsis atau renjatan
dan sebagainya.
5. Jenis operasinya sendiri, kalau ternyata operator harus melakukan reseksi usus (pemotongan
usus) apalagi dengan ditunjang keadaan pasien yang hypoalburninemia (kadar albumin yang
berguna untuk pemulihan jaring di dalam darah kurang/tidak normal), lama perawatan tidak
mungkin bisa kurang atau sama dengan 10 hari. Di samping itu, kemungkinan sembuh juga tidak
bisa dijanjikan 100%.
6. Beberapa hal yang telah disebutkan di atas akan sangat berpengaruh terhadap lama perawatan
maupun luaran (outcome) yang diharapkan.
Dari uraian di atas, sebaiknya di dalam menentukan lama perawatan dan luaran, tidak disebutkan
secara lugas sekian hari dan luaran sembuh. Mungkin bisa disebutkan lama perawatan tergantung
penyulit, bila tanpa penyulit sebutkan 99 % sembuh misalnya (ditulis berdasar statistik angka
kesembuhannya bila hal ini ditinjau dan segi hukum, perlu diingat bahwa perjanjian terapeutik
merupakan inspanning verbintenis (perjanjian upaya), bukan resultaat verbintenis (perjanjian
hasil). Untuk tercapainya hasil (kesembuhan) banyak sekali faktor-faktor yang
mempengaruhinya.

Kasus perforasi tifoid


( berlubangnya usus sebagai penyulit dan penyakit tipus )

Luaran sembuh total yang diperoleh dengan lama perawatan 10-14 hari bukan hal yang mudah
dicapai tergantung dan derajat penyebaran infeksi tipusnya sendiri. Perforasi yang merupakan
penyulit ini, bukan tidak jarang disertai dengan penyulit pada organ tubuh lainnya misalnya:
hepar(hati), otak(meningitis typhosa), keadaan
nutrisi pasien (under nutrition) dan sebagainya. Dalam luaran perlu ditambahkan: sekian persen
sembuh total, sekian persen mengalami penyulit, dan mungkin 0.0001 % bisa berakhir dengan
kematian misalnya.

Kasus Bedah Urologi

Kasus Pielonefritis Akut (Standar Pelayanan Medik, 2002:128) dengan lama perawatan 7 — 10
hari dan luaran sembuh total. Apakah hal tersebut dapat tercapai jika pada BNO-IVP ditemukan
adanya batu sebagai penyebab pielonefritis ? Apalagi bila disertai kenaikan ureum, kreatinin
yang signifikan yang mungkin memerlukan tindakan Hernodialysis (cuci darah).
Dalam batasan yang disusun oleh Tim Studi IDI memang disebutkan bahwa lama perawatan
yang dimaksud adalah khusus untuk penyakit tanpa komplikasi, hal ini sebaiknya diulang di
dalam penjabaran masing-masing penyakit di bidang spesialisasi terkait. Misalnya dalam kasus
Pielonefritis Akut tersebut di atas, sebaiknya ditambah dengan “lama perawatan 7— 10 hari bila
tidak ada kelainan lain yang menyertai, atau bila fungsi ginjal normal, dan BNO-IVP tidak
ditemukan adanya batu, dan sebagainya. Sedang dalam “luaran” sebaiknya disebutkan persentase
keberhasilan.

Kasus Bedah Plastik Estetis

Disebutkan luaran penampilan pasien bertambah baik, sebaiknya ditambahkan dengan bila tidak
ada reaksi penolakan dan tubuh pasien. Penulis pernah menjumpai seorang wanita yang
melakukan operasi plastik agar hidungnya mancung, ternyata hidungnya tambah mengalami
infeksi terus-menerus sehingg penampilannya mala hjauh dan menarik.
Bagian Penyakit Dalam

Sebaiknya disebutkan kriteria terhadap jenis penyakit yang dipilih, misalnya kasus yang dipilih
merupakan kasus Yang sering dijumpai dalam praktik sehari-hari.
Untuk kasus dehidrasi (Standar Pelayanan Medik, 2002:220) luaran sembuh sempurna juga
sebaiknya ditinjau kembali, karena dalam hal terjadi penyulit gagal ginjal misalnya kemungkinan
untuk tercapainya kesembuhan sempurna juga lebih kecil.

Bagian Paru (Bab VIII)

Luaran Pleuritis Eksudativa (Standar Pelayanan Medik, 20 02: 255), bila berobat secara teratur
apakah bisa dijamin untuk sembuh baik? Tidak adakah kemungkinan lain yang terjadi yang bisa
menimbulkan gej ala sisa, walaupun pasien berobat secara teratur ?

Penyakit Anak (Bab IX Standar Pelayanan Medik)

Luaran Demam Berdarah Dengue (Standar Pelayanan Medik, 2002: 291) perlu dievaluasi,
karena pada kenyataannya di dalam praktik sering diberitakan adanya kasus-kasus DBD yang
berakhir dengan kematian. Luaran sembuh tanpa sekuele perlu diperjelas dalam kasus yang
bagaimana DBD bisa sembuh tanpa sekuele tersebut ?
Dalam hal kasus overlap antara 2 (dua) bidang spesialisasi misalnya Hipertensi dengan No .ICD
401 yang tertuang dalam bidang spesialisasi Penyakit Dalam (Standar Pelayanan Medik, 2002:
222) dan Kardiologi (Standar Pelayanan Medik, 2002:598), sebaiknya dikaji ulang agar tidak
terjadi dobel standar.

52. Klausula dalam Standar Pelayanan Penunjang


Anestesiologi (Bab XVIII)

Pada tahun 1999, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik bersama dengan Ikatan Profesi (IDSAI)
telah menyusun Standar Pelayanan Anestesiologi dan Reanimasi di Rumah Sakit yang telah
disahkan sebagai Keputusan Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Depkes RI Nomor
HK.oo.o6.3.3.320. Keputusan Dirjen Yanmed Depkes RI yang ditetapkan pada tanggal 5 April
1999 di Jakarta mi berbeda dengan Standar Pelayanan Penunjang yang tercantum di dalam
Standar Pelayanan Medik yang diterbitkan oleh Yayasan Penerbit IDI ini.
Mengingat adanya perbedaan tersebut, tentunya IDI perlu melakukan pengkajian ulang standar
mana yang akan diberlakukan bagi pelayanan anestesiologi.

Radiologi

Sebagai pelayanan penunjang, seyogyanya Standar Profesi Radiologi dapat dilengkapi dengan
jenis-jenis pelayanan radiologi dan indikasinya, misalnya:
Photo rontgen untuk mengetahui adanya patah tulang kelainan sendi, dan sebagainya, USG untuk
deteksi kelainan abdomen bagian atas (batu kandung empedu dan sebagainya) dan abdomen
bagian bawah (tumor ovarium dan sebagainya), CT scan untuk pemeriksaan tumor kepala dan
sebagainya.
Hal ini perlu dicantumkan dalam Standar Pelayanan Medik, karena kemajuan di bidang radiologi
sangat pesat, sehingga di antara dokter sendiri mungkin ban ak yang belum mengetahui jenis-
jenis pemeriksaan radiologi maupun indikasinya. Dengan mengetahui jenis dan indikasi
pemeriksaan radiologi, dokter dapat melakukan pemeriksaan dengan indikasi yang tepat agar
dapat mengurangi biaya yang ditanggung pasien nya.
Agar Standar pelayanan Medik dapat berfungsi sebagaimana yang kita harapkan, dan beberapa
kelemahan yang penulis kemukakan di beberapa bidang spesialisasi tersebut kiranya perlu
ditindak lanjuti dengan evaluasi ulang dari bidang spesialisi terkait yang tidak bisa penulis
kemukakan semuanya dalam buku ini. Karena di luar beberapa kendala tersebut, banyak sekali
sumbangsih dari beberapa bidang spesialisasi yang telah tertuang di dalam Standar Pelayanan
Medik tersebut yang bisa berfungsi sebagai perlindungan dokter dari tuntutan yang tidak wajar
atau dengan perkataan lain, sebagian besar dari Standar Pelayanan Medik ini cukup bermanfaat
bagi kepentingan hukum.
Dengan penyempurnaan kelemahan-kelemahan yang ada, kekhawatiran terhadap adanya dampak
yang kurang menguntungkan dapat dinetralisir. Untuk itu diperlukan revisi dengan melibatkan
Tim Penyusun yang terdiri dan beberapa organisasi profesi dan bidang-bidang spesialis terkait
5agaimana tercantum dalam Pola Penyusunan Standar pelayanan Medik ini.

Anda mungkin juga menyukai