Anda di halaman 1dari 20

Halaman 1 dari 20

Sejarah
Qawaid Fiqhiyyah
Fase Penyempurnaan
Firman Arifandi

muka | daftar isi


Halaman 2 dari 20





































 

muka | daftar isi


Halaman 3 dari 20
Table of Contents
Muqaddimah ........................................................... 4
A. Fase Pertumbuhan dan Pembentukan .............. 4
1. Periode Rasulullah SAW................................ 5
2. Periode Sahabat ........................................... 6
3. Periode Tabi’in dan Tabi’u tabi’in ............... 11
B. Fase Perkembangan dan Kodifikasi................. 16
C. Fase Penyempurnaan...................................... 19
D. Kitab dan Tokoh Qawaid Fiqhiyyah ............ Error!
Bookmark not defined.
1. Mazhab Hanafi .. Error! Bookmark not defined.
3. Mazhab Maliki ... Error! Bookmark not defined.
4. Mazhab Syafi’i ... Error! Bookmark not defined.
5. Mazhab Hanbali . Error! Bookmark not defined.

muka | daftar isi


Halaman 4 dari 20

Muqaddimah

Perjalanan sejarah syariat atau tarikh tasyri’


sedikitnya memberikan kepada kita gambaran
bahwa di dalamnya terdapat pula bagaiamana asal
muasal berkembangnya ilmu qawaid fiqhiyyah ini.
Meskipun tidak banyak kitab-kitab klasik yang
membahas perkembangan qawaid fiqhiyyah sendiri
secara detail hingga posisinya dalam hukum Islam,
setidaknya dengan adanya kitab qawaid dari masa
ke masa sudah bisa menjadi acuan bagi para ulama
era sekarang untuk mengetahui sejarahnya.
Ali Ahmad an Nadawi menguraikan bahwa
setidaknya ada 3 klasifikasi fase perjalanan qawaid
fiqhiyyah1:
1. Fase Pertumbuhan dan Pembentukan
2. Fase Perkembangan dan Kodifikasi
3. Fase Pensistematisan

A. Fase Pertumbuhan dan Pembentukan

Pada fase pertama ini, para ulama


mengatakan bahwa embrio ilmu qawaid sudah ada
sejak 3 periode awal Islam, yaitu periode Rasulullah
SAW, Periode sahabat, dan Periode tabi’in serta
tabi’u tabi’in2.

1Ali Ahmad An-Nadawi, 1994. Al Qawaid Al Fiqhiyyah. Damaskus. Darul Qalam.


Hal 89

muka | daftar isi


Halaman 5 dari 20
1. Periode Rasulullah SAW
Dalam periode ini diyakini bahwa ternyata benih-
benih qawaid al fiqhiyyah telah ada sejak zaman
risalah Nabi Muhammad SAW. Sekalipun dalam era
ini Rasulullah SAW dan para sahabat tidak pernah
menakaman hal tersebut adalah kaidah, namun dari
pelafadzannya ditemukan oleh ulama bahwa
Rasulpun mengeluarkan kaidah bahkan dari matan
hadist yang beliau ucapkan.
Imam-imam mujtahid kemudian melakukan
pengembangan terhadap nushus yang bermakna
kulliy atau general.
Secara tidak langsung banyak hal diucapkan oleh
Rasulullah yang memiliki esensi qawaid fiqhiyyah,
diantaranya adalah :

‫الخراج بالضمان‬

Hak yang menerima hasil karena harus


menanggung kerugian

‫إنما األعمال بالنيات‬

Setiap pekerjaan tergantung pada niatnya

‫العجماء جرحها جبار‬

Kerusakan yang dilakukan binatang tidak


dikenakan ganti rugi

‫ال رضر وال رضار‬

Tidak boleh berbahaya dan tidak membahayakan


muka | daftar isi
Halaman 6 dari 20
‫كثيه فقليله حرام‬
‫ما أسكر ر‬

Apa-apa yang memabukan dalam kadar yang


banyak, maka dalam kadar sedikitpun ikut haram.
Karakter hadist yang dijadikan oleh para ulama
sebagai sumber kaidah dalam qawaid fiqhiyyah
adalah yang berlafadz ringkas namun bermakna
luas. Seperti pada karakter hadist-hadist tersebut di
atas.
2. Periode Sahabat
Sebagai generasi yang ikut terlibat dalam
perjuangan awal tersebarnya agama Islam, para
sahabat nabi memang menjadi generasi istimewa.
Bahkan bila mereka berinfaq sedikit saja misalnya,
maka sebanyak apapun infaq generasi berikutnya
tidak akan mampu menyamai pahala infaq shahabat
yang sedikit itu. Sabda Rasulullah kepada Khalid
yang khilaf mencela Abdurrahman ibn Auf
menegaskan hal itu. Kalau kamu berinfaq emas
sebesar gunung Uhud, maka pahalanya tidak akan
pernah bisa sepadan dengan infaq shahabat yang
'hanya' sebesar satu mud atau bahkan setengahnya.
Padahal sabda tersebut juga disampaikan kepada
seorang shahabat, yaitu khalid. Hadits tersebut
menunjukkan betapa besar pahala Abdurrahman
ibn Auf dibanding Khalid. Dan lebih betapa besar
lagi bila dibandingkan dengan generasi setelah
Khalid. Dan itu juga berarti bahwa antara satu
shahabat dengan shahabat yang lain tidak berada
dalam satu level meski mereka sama-sama di
thabaqat shahabat.

muka | daftar isi


Halaman 7 dari 20
Kisah Khalid ibn Walid dan Abdurrahman ibn Auf
ini diceritakan dalam kitab paling sahih yaitu Al Jami
As Sahih karya imam Al Bukhari. Demikian juga
dalam kitab Sahih muslim. Selain menunjukkan
bahwa dalam thabaqat shahabat ada thabaqat-
thabaqat lagi yang lebih kecil, kisah tersebut yang
pertama harus berhasil kita pahami adalah tentang
keutamaan
shahabat. Agar ketika kita membaca
kegemilangan mereka, kita tidak menyamakannya
dengan tokoh-tokoh gemilang pada umumnya.
Karena mereka memang berbeda. Banyak tokoh
berpengaruh, berprestasi, memiliki sumbangsih
kepada kemanusiaan, dan lain sebagainya, tetapi
selama mereka bukan shahabat, maka kita tidak
memiliki kewajiban sebagaimana kepada para
shahabat.
Jasa dan sumbangsih mereka tidak akan pernah
bisa kita bayar dengan lunas.
Kemuliaan sahabat
Terdapat sejumlah ayat tentang kemuliaan para
Sahabat yang penting untuk disuguhkan. Ayat-ayat
itu antara lain; Surat At Taubah ayat 100, Al Anfal
ayat 64, Al Fath ayat 18 dan 29, dan lain sebagainya
yang jika semuanya disebutkan bisa mencapai
seratusan ayat. Bahkan kata Al Khathib Al Baghdadi
jikapun tidak ada ayat maupun hadits yang
menegaskan keutamaan mereka, maka sejarah
perjuangan, pengorbanan, hijrah, jihad, hingga
memerangi para ayah dan anak-anak, kesetiaan,
kekuatan iman dan keyakinan, itu semua cukup
muka | daftar isi
Halaman 8 dari 20
untuk membuktikan keutamaan mereka. Inilah
madzhab semua ulama dan para fuqaha yang
pandangan-pandangan mereka biasa diterima.
Jika kita terbiasa memberikan penghormatan
kepada para kyai, ustadz, tokoh-tokoh tertentu yang
memang seharusnya dihormati, maka para shahabat
nabi adalah jauh berlipat-lipat penghormatan yang
seharusnya kita berikan kepada mereka. Tentu saja
tidak dalam bentuk penghormatan kepada mereka
yang hidup, seperti dengan mengirimkan hadiah
tertentu. Mengkaji sirah dan thabaqat mereka
dengan penuh rasa hormat juga bentuk
penghormatan itu. Di luar itu semua, penghormatan
kepada mereka bukanlah kultus yang terlarang.
Penghormatan tersebut masih dalam batas
keyakinan bahwa mereka manusia, mereka bukan
nabi sehingga sangat bisa untuk salah dan keliru.
Tetapi dengan kekeliruan kesalahan itu pun mereka
telah mendapatkan jaminan ampunan, kasih sayang,
dan ridha dari Allah Subhnahu Wa taala.
Kriteria Sahabat
Ternyata Dengan kemuliaan dan keutamaan yang
demikian, barangkali membuat kita penasaran siapa
sajakah yang berhak menyandang gelar shahabat.
Dan ternyata para ulama berbeda-beda dalam
mendefinisikannya. Said ibn Al Musayyib misalnya,
mesnyaratkan adanya durasi suhbah atau
mulazamah sekitar setahun hingga dua tahun,
ditambah dengan adanya andil turun perang sekali
atau dua kali pertempuran. Tentu ini syarat yang
tidak mudah. Sebab ada Jarir ibn Abdillah Al Bajali
muka | daftar isi
Halaman 9 dari 20
yang diriwayatkan baru masuk Islam sekitar lima
bulan menjelang wafatnya Rasulullah Shallallahu
'alaihi Wa Sallam, yang akan sulit disebut sebagai
shahabat dengan syarat ini. Dan entah ada berapa
yang serupa dengan yang mulia Jarir ibn Abdillah.
Dan memang syarat yang diajukan oleh Said ibn
Al Musayyib itu tidak diterima oleh mayoritas
ulama. Meski banyak ulama ushul fiqih yang juga
mesnyaratkan durasi suhbah yang lama, tapi tidak
ada yang sampai tegas menentukan batasan
setahun hingga dua tahun. Para ulama ushul fiqih
menjelaskan bahwa batasan lamanya durasi itu
ditentukan oleh urf (tradisi penilaian publik). Jika
menurut urf sudah dianggap lama suhbahnya
dengan Rasulullah, maka akan disebut sebagai
shahabat.
Para ulama hadits berbeda lagi. Mereka
memberikan syarat yang jauh lebih mudah untuk
memasukkan seseorang disebut sebagai shahabat.
Asal pernah bertemu dengan nabi dalam kondisi
beriman dan meninggal juga dalam kondisi beriman,
maka dia adalah shahabat. Tidak ada syarat harus
ikut perang, ada durasi suhbah yang lama,
meriwayatkan hadits, bersyahadat di hadapan
Rasulullah, dan lain-lain. Bahkan sekedar pernah
melihat nabi saja dan beriman serta meninggal
dalam keimanannya, sudah bisa disebut shahabat
dalam definisi ini. Tentu ini berbeda dengan batasan
banyak ulama ushul fiqih yang mesnyaratkan
adanya suhbah.
Memang logikanya, kemuliaan menjadi shahabat
seharusnya diperoleh bukan dengan mudah, Hanya
muka | daftar isi
Halaman 10 dari 20
dengan pernah melihat. Karena kemuliaan shahabat
bukanlah sekedar kemuliaan. Dan Inilah barangkali
nalar yang dimiliki para ulama ushul fiqih itu.
Namun, karunia Allah sangatlah luas. Dan dengan
kedudukan Rasulullah yang demikian agung,
tidaklah mengherankan jika melihatnya saja bisa
menjadikan pelakunya meraih keutamaan shahabat.
Namun tentu saja tidak boleh dilupakan bahwa
antara satu shahabat dengan shahabat yang lainnya
tidaklah satu thabaqat. Mereka yang hanya melihat
saja, tentu tidak bisa disamakan dengan mereka
yang setiap hari membersamai nabi, ikut dalam
banyak pertempuran, memberikan banyak
pengorbanan, dan segala macam bentuk
perjuangan yang lain.
Sahabat dan Qawaid Fiqhiyyah
Para sahabatpun dikenal mempunyai kontribusi
nyata dalam pembentukan qawaid al fiqhiyyah. Lagi-
lagi sekalipun mereka tidak menamakanya sebagai
kaidah fiqhiyyah dalam berargumen, namun ulama
dengan ijma’nya sepakat mengkategorikan sejumlah
riwayat para sahabat untuk menjadi landasan
sumber kaidah dan dianggap sebagai embrio
munculnya Qawaid Fiqhiyyah.
Di antara yang sangat terkenal dalam kitab al-
madkhol fi tasyri’ al Islamiy adalah perkataan Umar
bin Khattab radiyallahu anhu.
‫مقاطع الحقوق عند ر‬
‫الشوط‬

Penerimaan hak berdasarkan pada syarat-


syaratnya .
muka | daftar isi
Halaman 11 dari 20

Kemudian perkataan Ibnu Abbas Radiyallah anhu :

‫شء فإن لم تجدوا‬‫ر‬ ‫ر‬ ‫ر‬


‫ وكل ي‬،‫مخي‬
‫شء يف القرآن أو أو فهو ر‬
‫كل ي‬
”‫فاألول‬ ‫فهو األول‬

Segala sesuatu dalam Al Qur’an yang


menggunakan kata “atau, atau” maka itu adalah
berkonotasi pilihan, dan segala ayat dalam quran
yang berkalimat “jika tidak menemukannya” maka
itu yang utama dan paling utama untuk dikerjakan.
Perkataan Ibnu Abbas RA di atas dikategorikan
sebagai qaidah fiqhiyyah dalam bab kaffarah dan
pilihan dalam konsekuensi hukum.
Ada juga atsar dari Ali RA yang diriwayatkan oleh
Abdul Razaq

‫من قاسم الرب ح فال ضمان عليه‬

“Orang yang membagi keuntungan tidak


menerima kerugian”

3. Periode Tabi’in dan Tabi’u tabi’in


Beberapa ulama dalam lingkup tabi’in dan tabiu
tabi’in juga telah mengeluarkan sejumlah redaksi
qawaid al fiqhiyyah, di antaranya adalah perkataan
Qadhi Syuraih bin Haris Al Kindi (76 H):

‫من رشط عىل نفسه طائعا ر‬


‫غي مكره فهو عليه‬

Barangsiapa yang tanpa paksaan membuat


muka | daftar isi
Halaman 12 dari 20
syarat kepada dirinya sendiri untuk taat, maka ia
harus menaatinya

‫من ضمن ماال فله ربحه‬

Barangsiapa mengurus harta maka dia berhak


mengambil keuntungannya.
Imam Muhammad Bin Hasan al-Syaibani (189 H),
dari kalangan pembesar mazhab Hanafi yang juga
hidup se-era dengan imam Abu Hanifah RA juga
mengemukakan sebuah pendapat dalam eranya
yaitu :
Apabila seseorang mempunyai wudhu, kemudian
timbul keraguan dalam hatinya, apakah ia sudah
berhadats hingga menjadikannya batal atau belum,
dan keraguan ini lebih besar dalam pikirannya; lebih
baik ia mengulangi wudhunya.
Apabila ia tidak mengulangi wudhu dan sholat
beserta keraguaannya itu, menurut kami
(Hanafiyah) boleh, karena ia masih mempunyai
wudhu sehingga ia yakin bahwa ia telah hadats
(batal).
Apabila seorang muslim terpercaya atau
muslimah yang terpercaya, merdeka maupun tidak,
memberi tahu bahwa ia telah hadats (batal), tidur
terlentang, atau pingsan, ia tidak boleh
melaksanakan shalat (sebelum mangulangi wudhu)3.

3Muhamad bin Hasan As Syaibani. Kitab Al Ashal. Juz 3. India. Dairah Al Maarif
AL Utsmaniyyah. Hal 162
muka | daftar isi
Halaman 13 dari 20
Pernyataan imam al-Syaibani tersebut tertuang
dalam Kaidah:
‫رر‬
‫اليقي ال يزال بالشك‬

keyakinan tidak dapat menghilangkan keraguan


Dari ulama di era ini juga, Khair bin Nu’aim (137
H) juga berkata :
‫من أقر عندنا ر ئ‬
‫بش ألزمناه إياه‬

Barang siapa mengaku memiliki sesuatu, maka


kami bebankan sesuatu itu pada dirinya4.
Yang sangat terkenal adalah kaidah yang
dikeluarkan oleh imam Abu yusuf ya’qub bin
Ibrahim (182 H) , dimana beliau menulis kitab “al
Kharraj”.
Terdapat di dalamnya serangkaian kaidah
fiqhiyyah, di antaranya adalah surat yang ditujukan
untuk Harun ar Rasyid yang berbunyi :

‫ليس لإلمام ان يخرج شيئا من يد أحد إال بحق ثابت‬


‫معروف‬

tiada wewenang bagi seorang imam untuk


mengambil sesuatu dari seseorang kecuali dengan
ketentuan yang nyata dan cara yang baik”
Ada kaidah lain berbunyi:
‫رر‬
‫المسلمي ال وارث له فماله لبيت المال‬ ّ
‫كل من مات من‬

4 Ali Ahmad An Nadawi. Op.Cit. hal 92


muka | daftar isi
Halaman 14 dari 20
Barang siapa meninggal tanpa punya ahli waris
maka hartanya diserahkan kepada baitul maal.
Kaidah di atas berlaku dalam perihal
pembagian harta waris untuk baitul mal dan regulasi
finansial di dalamnya.
Termasuk dari perkataan imam Syafi’i (204 H)
rahimahullah :

‫األعظم إذا سقط عن الناس سقط ما هو أصغر منه‬

Perkara besar bila gugur dari pembebanan


terhadap seseroang maka perkara yang kecilpun
ikut gugur5

‫غيه‬ ّ
‫الحاجة ال تحق ألحد أن يأخذ مال ر‬

Hajat tidak dapat dijadikan alasan seseorang


untuk mengambil harta orang lain

‫الرخص ال يتعدى بها مواضعها‬

Keringanan tidak boleh melampaui batas-


batasnya

‫العاص فال‬
‫ي‬ ‫الرخصة عندنا ال تكون إال لمطيع فأما‬

Keringanan diberikan kepada yang taat, bukan


bagi yang bermaksiat
Kemudian kaidah dari Imam Ahmad bin Hanbal
(241 H), dalam kitab Al Masail yang dikemukakan
oleh Abu Daud

5 As Syafi’i. 1961. Al Umm. Juz 3. Beirut. Darul Ma’rifat. Hal 236


muka | daftar isi
Halaman 15 dari 20
‫كل ما جاز فيه البيع تجوز فيه الهبة والصدقة والرهن‬

Setiap perkara yang boleh diperjualbelikan boleh


pula dihibahkan, disedekahkan, dan digadaikan6.

Telah terbit sejumlah kitab dalam era ini sebagai


pondasi pertama perangkuman qawaid al fiqhiyyah,
namun semuanya tidak dinamakan sebagai kaidah
fikih tapi tercampur dalam satu kitab pembasahan
fiqih.
Seperti kitab al umm karangan imam Syafi’i, juga
kitab al khorroj milik imam Abu Yusuf, dan sejumlah
sohifah dari tulisan imam Abu Hasan Syaibani.
Dapat disimpulkan bahwa pada fase ini beberapa
poin penting yaitu :
a. Embrio Kaidah Fiqih sudah ada sejak masa
ulama mutaqaddimin bahkan pada era
Rasulullah SAW, sekalipun tidak dinamakan
sebagai Qawaid fiqhiyyah.
b. Pernyataan para ulama di atas dapat dijadikan
sumber perjalanan sejaran qawaid fiqih,
karena jelas merekalah referensi dalam
beragama terutama dalam disiplin ilmu ini.
c. Beberapa kaidah sudah menyerupai redaksi
kaidah ulama mutaakhirin.
d. Para ulama mutaakhirin setelah era tabiu
tabiin mengambil rujukan dari ulama
mutaqaddimin dalam membentuk qawaid

6 Abu Daud. Kitab Masail al Imam Ahmad. Beirut. Darul Fikr. Hal 202-203
muka | daftar isi
Halaman 16 dari 20
fiqhiyah.

B. Fase Perkembangan dan Kodifikasi

Diyakini bahwa pada masa inilah dimana qawaid


fiqhiyyah mempunyai posisi tersendiri sebagai
disiplin ilmu ke dua setelah ushul fiqh.
Memasuki abad ke 4 Hijriah dan setelahnya,
dimana semangat Ijtihad telah melemah sementara
taqlid terus mewabah karena saat itu mulai banyak
timbul perkara-perkara baru dalam kehidupan
manusia.
Era ini juga menjadi awal masa di mana bidang
fiqh mulai mengalami dikotomi dalam kemasan
mazhab. Pembukuan terhadap fiqih azhab tertentu
dirasa cukup menjadi penenang bagi setiap orang
saat itu untuk merujuk kepada bacaan tertentu
pada masalah tertentu pula. Seolah-olah era Ijtihad
sudah mati secara total pada masa itu.
Namun, berkembangnya persoalan-persoalan
baru ternyata tak mampu terjawab oleh kitab-kitab
mazhab.
Ulama-ulama pun bangkit untuk membuat
kumpulan kaidah yang diharapkan dapat menjaga
hukum dan fatwa ulama dari teori yang salah.
Ibnu Khaldun (808H) telah mengisyaratkan bahwa
ketika mazhab fiqih setiap imam menjadi disiplin
ilmu khusus bagi pengikutnya, dan para pengikut ini
tidak mempunyai kemampuan dan alat untuk
berijtihad dan melakukan qiyas, mereka
muka | daftar isi
Halaman 17 dari 20
memandang perlunya melihat kepada perkara-
perkara yang serupa dan memilahnya sebagai furu’
untuk dipantau kepada ushul imam mazhabnya7.
Di antara ulama yang memulai kodifikasi
terhadap qawaid al fiqhiyyah adalah :

a. Imam Abu Hasan al Karkhi (340 H) dengan


kitab Ushul al Karakhi

b. Abu Zaid al Dabusi (430 H) menyusun kitab


ta’sisun Nadhar

c. Abu Thahir ad Dibas (Abad ke 4 H)


menyusun 17 kaidah yang disempurnakan
Karakhi menjadi 37

d. Imam Abi Laits as-Samarqhandi (373 H)


dengan kitab yang terkenal hingga saat ini
yaitu ta’sisu nadhir

Memasuki abad ke 7 dan 8 Hijriah, terlihat bahwa


qawaid al fiqhiyyah mengalami peningkatan yang
signifikan. Bahkan banyak yang menjulukinya masa
keemasan kodifikasi untuk bidang ini.
Semakin deras bermunculan dari setiap mazhab
yang menyusun dan mengklasifikasikan qawaidh
fiqhiyyah menjadi bab tertentu dalam satu kitab.
Jika yang memulai kodifikasi di abad ke empat
adalah kebanyakan dari ulama Hanafi, maka di abad
ini yang lebih pesat menyebarkan karya ilmu qawaid
adalah dari golongan Syafi’iyah. Namun bukan
7 Ibnu khaldun. Muqaddimah. Beirut. Darul Fikr. Hal 49
muka | daftar isi
Halaman 18 dari 20
berarti dari mazhab yang lain tidak sama sekali
berkontribusi.
Di antara karangan yang sangat terkenal hingga
sekarang adalah :

a. Zainul Abidin Ibnu Ibrahim (716 H) atau


dikenal ibnu wakil AsySyafi’I menyusun
kitab al asybah wa nadzoir
b. Al Maqarri Al Maliki (758 H) menulis kitab Al
Qawaid

c. Tajuddin as Subuky (771 H) juga mengarang


kitab yang serupa namanya dengan karya
Ibnu Wakil yaitu al asybah wa nadzoir

d. Az Zarkasyi As Syafi’i (794 H) menulis Al


Mantsur fil Qawaid
e. Ibnu rajab al hanbali (795 H) menulis Al-
Qawaid fil fiqhi

f. Najmuddin at-Thufy (716 H) menulis al-


Qowaid al-kubra

g. Izzuddin bin Abdissalam (660 H) menyusun


kitab Qowaidul Ahkam fi Mashalihil Anam
(hingga saat ini, kitab tersebut menjadi
rujukan dan muqorror dalam mata kuliah
qawaid fiqih di sejumlah perguruan tinggi di
timur tengah).

Yang lebih mengesankan lagi, ulama di era abad ke


sembilan dan sepuluh mencoba mengklasifikasikan
qawaid dengan mengumpulkan semua karya dari
muka | daftar isi
Halaman 19 dari 20
seluruh mazhab.
Seperti imam as shuyuthi yang mengumpulkan
qawaid penting dari al a’lai, as subuky, dan az-
zarkasyi bahkan dengan nama kitab yang sama,
yakni al asybah wan-nadzoir. Di era inilah sangat
dikenal sekali sebagai masa kodifikasi dan
penyusunan maqashid al fiqhiyyah.

C. Fase Penyempurnaan

Telah terkumpul dan terkodifikasi dalam kitab


tersendiri untuk bidang qawaid al fiqhiyyah. Namun
bukan berarti qawaid fiqhiyyah telah dinyatakan
sempurna.
Langkah-langkah penyempurnaan dilakukan
ketika ketika disusun Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah
oleh komite (lajnah) Fuqaha pada masa Sultan al-
Ghazi Abdul Azis Khan al-Utsmani (1861-1876 M)
pada akhir abad XIII H. Majallat al-Ahkam al-
‘Adliyyah ini menjadi rujukan lembaga-lembaga
peradilan pada masa itu.
Kitab Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah, yang ditulis
dan dibukukan setelah diadakan pengumpulan dan
penyeleksian terhadap kitab-kitab fiqh, adalah suatu
prestasi yang gemilnag dan merupakan indikasi
pada kebangkitan fiqh pada waktu itu. Para tim
penyusun kitab itu sebelumnya telah mengadakan
penyeleksian terhadap kitab-kitab fiqh, lalu
mengkonstruksinya dalam bahasa undang-undang
yang lebih bagus dari sebelumya . Dari era inilah
kemudian qawaid al fiqhiyyah tersebar luas untuk
menjadi landasan utama proses pengambilan
muka | daftar isi
Halaman 20 dari 20
hukum.

muka | daftar isi

Anda mungkin juga menyukai